Anda di halaman 1dari 13

Destiny

OPINI | 15 February 2014 | 16:13

10

Tahun 2000

Malam begitu sunyi, meskipun banyak beribu bintang dilangit, namun tak dapat
menggantikan sinar sebuah mentari, dan seperti layaknya malam, yang identik dalam gelap yang
menakutkan bagi anak anak pada umumnya.

Suasana pedesaan yang tenang hanya bersuarakan serangga serangga kecil yang tak terlihat.
Di sudut desa, tampak sebuah pemakaman umum yang juga terlihat mencekam bagi anak-anak
pada umumnya, namun itu tak berlaku bagi seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang
dengan asyiknya bersepeda melewati makam.

Namun tiba-tiba ia menghentikan laju sepedanya ketika mendengar suara tangis seorang
anak perempuan dari dalam makam. Anak laki-laki itu sama sekali tidak menunjukkan rasa
ketakutan, tanpa ragu Ia lalu memasuki makam mencari sumber suara. Tak lama kemudian iapun
mendapati anak perempuan yang tampak dua tahun lebih muda darinya tengah menangis sambil
menutup matanya.

“Hei.. Kenapa kau?” tanya anak laki-laki itu.

“Aku takut gelap, banyak orang mati disini..,” jawab si anak perempuan yang masih menangis
dan menutup matanya.

“kalau kau takut kenapa disini? Pulanglah..” ucap si anak laki-laki itu.
“Aku gak tau jalan pulang.. Aku takut..” jawab anak perempuan itu, si anak laki-laki lalu
tersenyum dan menarik tangan anak perempuan yang menutupi matanya.

“Bukalah mata kamu dan lihatlah…” pinta anak laki-laki itu.

“Gak mau! Takut..” anak perempuan itu tetap menutup matanya.

“Ayolah coba dulu, jangan takut, ada aku disini..,” perlahan anak perempuan itu membuka
matanya dan seketika tangisnya terhenti berganti dengan rasa takjub melihat banyaknya cahaya
kunang-kunang yang memecah kegelapan diantara mereka.

“Wow.. Kenapa bisa ada bintang-bintang disini?” tanya anak perempuan itu dengan takjubnya.

“Itu bukan bintang, tapi kunang-kunang.., bagus kan?” jelas anak laki laki itu.

“Sama saja” anak perempuan itu masih terlihat takjub.

“Yaudah ayo aku antar pulang..” anak perempuan itu mengangguk, ia lalu membonceng anak
laki-laki itu. Tak lama kemudian akhirnya mereka sampai di depan rumah anak perempuan, Ia
lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong bajunya.

“Ini buat kamu.., sebagai tanda terimakasihku.” anak perempuan itu memberikan sebuah permen
lolipop, namun tiba-tiba anak laki-laki itu ketakutan melihat permen lolipop dan pergi melajukan
sepedanya dengan sangat kencang meninggalkan si anak perempuan yang terlihat bingung pada
anak laki-laki itu yang begitu ketakutan melihat permen lolipop.

Tahun 2013

Ketika orang lain hanya menganggapmu sebagai benalu, menyingkirkanmu saat waktu
pentingnya, dan memanggilmu kembali saat sisa waktunya, hanya untuk mengisi sisa. Ketika
orang lain menganggap doamu tak begitu penting baginya, ketika itu kau akan mengerti, betapa
mahalnya waktu orang lain untukmu, dan betapa banyaknya waktumu yang tak berguna untuk
orang lain.
Siapakah hati yang inginkan ini? Hanya sebagai titik yang tak terlihat meski kebaikannya itu
tulus, entahlah! Hati yang disakiti tanpa disadari, selalu menempatkan diri pada satu titik terkecil
dan tak terlihat.

Hati itu tak berharap menjadi besar, ia hanya ingin terlihat, tak juga dari semuanya, ia hanya
ingin terlihat oleh satu hati yang diyakininya sebagai jawaban Tuhan atas permintaannya untuk
satu tempat, rasa yang tulus.

Perasaan inilah yang kini tengah dirasakan oleh Dimas, seorang pria muda yang baru saja
keluar dari tempat rehabilitasi narkoba, Dimas adalah mantan pecandu, dan kini ia tinggal
seorang diri dirumahnya. Kisah tragis dua tahun lalu telah menghancurkan semua kebahagiaan
Dimas, ketika itu keluarga yang selama dua puluh tahun menjadi surga baginya, seketika
menjadi neraka, saat kenyataan pahit telah hilang dari kerahasiaannya, ketika Ibunda Dimas tak
sanggup lagi memendam emosinya, dan tak dapat menerima kenyataan bahwa suaminya
berselingkuh, ketika itu emosi menjadi hal yang wajar. Namun ibunda Dimas lepas kendali
hingga ia dengan hati yang tersakiti telah meracuni suaminya hingga tewas. Dan sejak saat itu
Dimas kehilangan ayahnya untuk selamanya.

Kepedihan nyata tak hanya berhenti sampai disitu, sang ibu yang terlanjur rapuhpun
kehilangan akal sehatnya, dan iapun gila. Dimas yang baru saja melihat nyata yang
sesungguhnya setelah menyelesaikan bangku sekolahpun tak memiliki hati yang cukup kuat
hingga iapun tersesat ke jalan yang salah, terbelenggu dalam kesesatan narkoba.

Dan kini, Dimas benar-benar sendiri, meskipun beberapa usaha kost-kostan yang
ditinggalkan mendiang ayahnya sudah lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya, namun
bukan itu yang Dimas butuhkan saat ini, kepedulian dan penerimaan dirinya layaknya manusia
normal, itulah yang Dimas butuhkan kini.

Namun nyata yang ia terima tak seindah harapannya, semua teman-teman dan orang-orang
yang dulu baik padanya kini menjauhinya seolah dirinya adalah seorang pengidap virus menular
yang tak berguna dan berbahaya bagi siapapun.
Hari itu Dimas mencoba menemui ibunya yang kini dirawat di rumah sakit jiwa,
sesampainya disana kesedihan Dimas semakin bertambah manakala ibunya sama sekali tak
menyambutnya dalam pelukan kasih seorang ibu yang lama ia rindukan. Sang ibu justru tak
mengenalinya dan tak mau menemuinya. Dalam hati yang penuh luka Dimas tetap berharap
ibunya dapat segera sembuh dan berkumpul kembali bersamanya.

Dimas lalu pergi ke kampus, ini adalah hari pertamanya kuliah setelah sempat tertunda dua
tahun.

“Dimas…” terdengar suara yang memanggilnya saat memasuki kampus. Dimaspun mencari
sumber suara, ia lalu menoleh ke belakang, terlihat seorang gadis yang tampak sudah sangat
akrab dengan Dimas.

“Sella??” Dimas langsung mengenalinya, mereka lalu berpelukan. Sella adalah pacar Dimas
sewaktu SMA, dan hubungan mereka terhenti begitu saja tanpa kata putus sejak Dimas
mengalami masalah dalam keluarganya. Ternyata Sella juga mahasiswi di kampus yang sama
dengan Dimas, hanya saja sekarang Sella sudah semester empat. Merekapun lalu menuju kelas
masing-masing setelah sebelumnya sepakat untuk pulang bersama setelah jam kuliah selesai.

Dimas memasuki ruangan dengan tergesa-gesa, bersamaan itu terlihat seorang gadis
berkerudung yang juga berlari menuju ruangan yang sama dengan Dimas, dan tabrakan pun tak
dapat mereka hindari.

“Aduh maaf maaf.. Gak sengaja,,.” ucap Dimas.

“Gakpapa kok..” jawab gadis berkerudung itu.

Dimas lalu mempersilahkan gadis itu untuk masuk lebih dulu, sementara ia berjalan di
belakangnya, dan hari itupun berlalu dengan cepat. Dimas lalu mengajak Sella untuk ke
rumahnya.

“Kamu tinggal sendirian disini? Orang tua kamu kemana?” tanya Sella ketika sesampainya
mereka di rumah Dimas.
“Ceritanya panjang Sel, suatu saat kamu juga akan tau, tapi maaf sekarang aku belum bisa
cerita..” jawab Dimas, terlihat kesenduan di wajahnya. Sella pun mengerti.

“Permisi.. Assalamualaikum..,” terdengar suara dari luar rumah, Dimas lalu keluar untuk melihat
siapa yang datang, terlihat seorang gadis berkerudung yang tadi bertabrakan dengan Dimas,

“Maaf apa benar disini menerima kost? Saya mau kost disini apa masih bisa?” ucap gadis itu.

“Oh… Bisa bisa.. Kebetulan masih ada satu kamar yang kosong..” jawab Dimas. Mereka lalu
berkenalan, gadis itu bernama Ara, ia berasal dari Semarang, dan kini kuliah semester awal di
Bandung. Dimas lalu mengantarkan Ara ke kamar kost yang terletak di samping kiri rumah
Dimas, ada cukup banyak kamar kost disana. Dimas lalu membukakan pintu kamar nomor tiga
untuk Ara.

“Hanya ini kamar yang masih kosong, gimana? Apa kamu cocok?” tanya Dimas memastikan.

“Iya cocok, tapi apa bisa langsung saya tempati hari ini?” tanya Ara.

“Oh, tentu.. Ini kuncinya..” jawab Dimas. Sesaat Ara memandangi Dimas seakan ia teringat
sesuatu,

“Maaf, apakah sebelumnya kita pernah bertemu?” tanya Ara.

“Bukankah kamu yang bertabrakan tadi di kampus?” ucap Dimas.

“Iya saya ingat itu, tapi sebelum itu apakah kita pernah bertemu?” tanya Ara yang terlihat masih
penasaran. Dimas tampak mengingat-ingat.

“sepertinya belum, yaudah aku tinggal dulu ya..ada teman aku dirumah..” jelas Dimas, namun
Ara menahannya sejenak,

“Tunggu, ini saya ada permen dari Semarang, ya anggap saja sebagai salam perkenalan
kita..”Ara memberikan sebuah permen lolipop besar pada Dimas. Dan seperti yang sudah Ara
duga, Dimas langsung lari ketakutan melihat permen itu.
“Maaf aku tidak suka permen,..” jawab Dimas dalam langkah cepatnya, Arapun tersenyum,

“Ternyata keanehan itu tahan lama.” ucap Ara dalam hati.

Hari telah berlalu begitu cepat, tak terasa sudah enam bulan Dimas menjalani hidup barunya,
hubungannya dengan Sella pun semakin dekat, begitu juga dengan Ara, bahkan rahasia pahit
masalalu yang selama ini ditutupinya dari semua orang dengan terbukanya Dimas ceritakan pada
Ara, dan hati Dimas menjadi lebih tenang ketika Ara dapat menerima semua masalalu Dimas dan
tetap mau berteman dengannya. Bahkan seminggu sekali Dimas mengajak Ara untuk menjenguk
ibunya di rumah sakit jiwa. Ara pun senantiasa menguatkan hati Dimas.

Malam itu entah kenapa perasaan Ara menjadi sangat sakit ketika Dimas meminta
pertimbangannya untuk mengungkapkan perasaannya pada Sella, Dimas berniat untuk kembali
menjadi pacar Sella.

“Yaudah kau ungkapkan saja.. Lagian aku lihat Sella juga sepertinya masih menyukaimu” jawab
Ara berusaha menyembunyikan sesak di dadanya.

“Tapi Ra, aku takut Sella tidak bisa menerimaku jika dia tau masalaluku..” jelas Dimas tampak
khawatir.

“Kalau dia benar benar tulus dia pasti akan menerima semua masalalumu seburuk apapun itu.”
jelas Ara yang sengaja juga menyiratkan perasaannya pada Dimas, namun sayangnya Dimas tak
menyadari itu.

“Baiklah aku pergi dulu.. Thanks ya Ra..” ucap Dimas sambil berlalu meninggalkan Ara untuk
menemui Sella. Kini Ara tak dapat lagi menahan air matanya yang kemudian ia biarkan keluar.

Akhirnya malam itu juga di sebuah restaurant Dimas mengungkapkan perasaannya pada
Sella, dan betapa senangnya Dimas ketika mendengar jawaban Sella mau kembali menjadi
pacarnya. Namun tiba-tiba Hp Dimas berdering, Ara menelponnya dan mengatakan bahwa
ibunya kabur dari rumah sakit dan kini berada di rumahnya, Dimas dan Sella pun langsung
bergegas pulang ke rumah Dimas.
Tak berapa lama kemudian mereka sampai di rumah, terlihat Ara tampak sedang menyuapi
ibunya dengan sepiring nasi, Ara pun lega melihat kehadiran Dimas dan Sella.

“Gimana ibu??” tanya Dimas panik.

“Dari tadi ibu kamu teriak-teriak panggil nama kamu, lalu dia minta makan..” jelas Ara pada
Dimas. Dimas lalu mendekati ibunya dan memeluknya.

“Ibu kenapa kabur dari rumah sakit bu..” tanya Dimas sedih.

“Dimas… Dimas anak ibu… Ibu tidak gila nak,, ibu sudah sembuh, biarkan ibu tinggal disini
nak.., tolong ibu…” ucap ibu Dimas tegang.

“Iya iya bu, ibu tenang ya.., ayo bu, Dimas antar ke kamar, ibu harus istirahat dulu..” Dimas lalu
membawa ibunya ke kamar untuk istirahat, sesaat kemudian Dimas keluar menemui Ara yang
nampak khawatir dan Sella yang terlihat masih sangat terkejut.

“Gimana? Ibu kamu udah tidur??” tanya Ara khawatir. Dimas mengangguk, ia lalu mendekat
pada Sella,

“Sell, sekarang kamu udah tau kan?” ucap Dimas.

“Sebenarnya ada apa sih Dim? Aku gak ngerti..” tanya Sella bingung. Dimas lalu menceritakan
semua masalalunya, tentang perselingkuhan Ayahnya, pembunuhan yang dilakukan ibunya
hingga kejiwaannya terganggu, dan tentang narkoba yang sempat mencanduinya, semuanya ia
ceritakan pada Sella.

“sekarang terserah kamu apakah masih mau tetap bersamaku atau tidak, aku terima apapun
keputusan kamu Sell..” jelas Dimas pasrah. Sella masih nampak terkejut tak percaya mendengar
semua cerita masalalu Dimas, Ia pun langsung keluar pergi meninggalkan Dimas tanpa sepatah
kata apapun. Dimas hanya tertunduk lemas melihat reaksi Sella.

“Ternyata aku salah, orang yang kuharapkan paling memahamiku, yang ku kira paling mengerti
dan menerima apa adanya diriku, ternyata tak lebih dari orang asing yang menganggap rendah
diriku. Seburuk itukah aku hingga bahkan ia tak mau berkata apapun untuk sekedar salam
perpisahan?” ucap Dimas, terlihat jelas perasaan sedih dan kecewa di wajahnya. Ara yang
melihat itu semua berusaha menenangkan Dimas, Ia mencoba merangkulnya, dan menggenggam
tangannya untuk menguatkan.

“Lebih baik kau tau sekarang, karena kau akan jauh lebih sakit ketika semua ini terjadi saat kau
sudah terlanjur jauh berhubungan dengan Sella..” jelas Ara bijak. Dalam hati Arapun turut
merasakan kesedihan melihat kerapuhan diri seorang di hadapannya itu, orang yang sudah
menjadi sangat berarti baginya sejak pertama kali mereka bertemu.

Sejak hari itu Dimas mencoba kembali bangkit dari kecewanya, tentunya dengan bantuan
Ara yang selalu ada di sampingnya.

“Ingatlah kau masih punya ibu yang masih membutuhkanmu, kuatkan hatimu agar kau juga bisa
menguatkan hati ibumu..” itulah yang sering Ara katakan pada Dimas, dan Dimaspun merasa
kembali bersemangat tiap kali mendengar kata-kata itu dari Ara.

Kini hubungan Ara dan Dimas semakin dekat, keadaan ibu Dimas pun semakin membaik,
tak jarang Ara membantu Dimas mengurus ibunya meski hanya dengan membantunya
memandikan dan menyuapinya saat makan.

Kebaikan dan ketulusan hati Ara ternyata membuat hati Dimas tersentuh dan mulai
mengagumi sosok Ara. Suatu malam Dimas duduk sendiri di teras rumahnya, pikirannya
melayang ke masa lampau, ia merenungkan dua perbedaan antara Sella dan Ara ketika ia
menceritakan masalalunya, kala itu Ara langsung merangkul, menerima, dan menguatkannya,
sementara Sella malah menjauhinya tanpa sepatah kata apapun.

Dimas pun mulai menyadari kesalahannya, sesungguhnya dalam hati kecilnya yang
dibutuhkannya adalah Ara, bukan Sella. Dan yang berhak atas cintanya adalah Ara yang telah
menerima apa adanya dirinya. Tiba-tiba Dimas tersadar dari lamunannya ketika Ara datang
mendekatinya dan duduk di samping Dimas.

“Hei.. Lagi ngapain? Ibu kamu sudah tidur?” tanya Ara.


“Oh.. Hai Ra.. Udah kok.., baru aja ibu tidur..” jawab Dimas.

“Hmmm.. Dimas, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Ara.

“Boleh, kenapa Ra?” jawab Dimas.

“Apa dulu waktu kecil kamu pernah tinggal di Semarang?” tanya Ara.

“Enggak pernah, dari dulu aku tinggal disini kok.., tapi Eyang aku rumahnya di Semarang, jadi
aku sering kesana dulu sebelum Eyangku meninggal sepuluh tahun lalu, emang kenapa?” Dimas
balik tanya.

“Oh.. Gakpapa kok, eh taukah? Dulu aku pernah nyasar di kuburan lho waktu kecil.. Tapi untung
saja ada anak laki-laki yang menolongku waktu itu, hmm tapi dia aneh..” ucap Ara bercerita
mencoba memancing ingatan Dimas.

“Oh iya? Aneh kenapa emang?” tanya Dimas.

“Anak itu takut pada lolipop.. Haha..” jelas Ara mencoba melihat reaksi Dimas, wajah Dimas
nampak terkejut, namun sesaat ia kembali biasa dan tertawa. Ara pun kecewa.

“Itu adalah kenangan yang sangat berarti bagiku, yah.. Walaupun takut lolipop tapi dia tetap
menjadi pahlawanku, dia jugalah yang pertama kali menunjukkan bintang-bintang untuk
mengusir ketakutanku pada kegelapan.” jelas Ara berharap Dimas dapat mengingatnya.

“Apakah hingga kini anak itu masih berarti untukmu?” tanya Dimas, Arapun tersenyum
mengangguk.

“Hmm.. Semoga kau bisa segera bertemu dengannya ya..” ucap Dimas, Arapun menjadi sangat
kecewa dengan kata-kata Dimas.

“Apakah kenangan itu tak berarti juga bagimu Dimas?” tanya Ara yang tertahan dalam hati. Ara
mencoba tetap tersenyum dalam rasa kecewanya.
Malam keesokan harinya, Dimas mengajak ibunya dan Ara untuk duduk bersama di teras
rumah, ia bermaksud mengungkapkan perasaannya pada Ara dan meminta restu Ibunya.

Terlihat Ara yang tengah mengupas buah apel untuk ibu Dimas. Dimas hanya tersenyum melihat
kedekatan Ara dengan Ibunya.

“Ra.. Terimakasih untuk semua kebaikanmu, dan maafkan aku yang terlambat menyadari bahwa
sesungguhnya yang hatiku inginkan adalah kamu..” ucap Dimas.

“Maksud kamu?” Ara bingung.

“Aku menyayangimu Ara.., maukah kau terus mendampingi hidupku untuk selamanya?” jelas
Dimas akan permintaannya. Ara nampak terkejut bahagia, iapun mengangguk tanda bahwa ia
menerima permintaan Dimas. Dimaspun tersenyum senang. Ia lalu mendekati ibunya,

“Ibu, Dimas mau ibu menjadi saksi kebahagiaan ini, apakah ibu mengijinkannya bu?” tanya
Dimas. Ibunya terdiam, pikirannya yang kosong melayang ke masalalu pada saat Ayah Dimas
meminta ijin padanya untuk menikah lagi. Seketika ibu Dimas lepas kendali, jiwanya kembali
terganggu.

“Kamu!! Laki-laki kejam! Teganya kau berselingkuh! Kau harus mati!” ucap ibu Dimas tanpa
kendali. Ia lalu mengambil pisau buah di meja dan mencoba menyerang Dimas, namun dengan
reflek Ara menghalangi tubuh Dimas dan akhirnya pisau itupun menancap di dada Ara. Seketika
tubuh Ara terjatuh dan bersandar pada Dimas.

“Araaa…” jerit Dimas tak percaya dengan apa yang ia lihat. Sesaat kemudian para tetanggapun
datang, sebagian dari mereka mengamankan Ibu Dimas dan membawanya kembali ke rumah
sakit jiwa, sedangkan sebagian lagi membantu Dimas membawa Ara ke rumah sakit.

Di rumah sakit Ara semakin pucat, Ia tampak menahan rasa sakit namun tak sedikitpun ia
mengeluh. Sementara Dimas tak sedetikpun melepaskan genggamannya dari tangan Ara, dan
setelah memeriksa keadaan Ara, dokterpun mengatakan tak sanggup, luka yang menusuk dada
kiri Ara cukup dalam hingga mengenai organ dalam yang vital, dokter mengatakan waktu Ara
tak akan lama lagi.
Mendengar itu Dimas semakin panik, ia terus memaksa dokter untuk menyembuhkan Ara,
sementara sikap Ara malah terlihat sangat tegar menghadapi kenyataan, bahkan iapun mencoba
menenangkan Dimas.

“Sudah Dimas… Sudah.. Tenanglah..” ucap Ara lirih. Ara berusaha untuk duduk, tapi tubuhnya
terlalu lemah, Dimas segera membantunya, menyandarkan tubuh Ara di bahunya.

“Semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan.., dan kumohon, jangan pernah kau menyalahkan
ibumu atas semua ini..” pinta Ara dengan segenap ketulusannya, Dimaspun tak kuasa menahan
airmatanya melihat ketegaran hati Ara.

“Dan sebelum aku pergi, aku ingin kau penuhi tiga permintaanku..,” lanjut Ara.

“Apa?” tanya Dimas singkat.

“Pertama, aku ingin ke makam, hanya berdua denganmu.,” pinta Ara. Dimas sedikit terkejut,
namun iapun memenuhi permintaan itu. Dimas lalu menggendong Ara menuju makam terdekat.
Sesampainya di dalam makam, Ara mengajak Dimas duduk di bawah pohon kamboja, Ara lalu
kembali menyandarkan tubuhnya di bahu Dimas.

“Kenapa Ra? Bukankah kau takut gelap?” tanya Dimas. Ara hanya tersenyum.

“Aku ingin melihat bintang..” jawab Ara singkat.

“kan sudah kubilang, itu kunang-kunang Ara… Bukan bintang..” jelas Dimas. Ara langsung
terkejut mendengar Dimas mengetahui apa yang ia maksud.

“Dimas?? Kau mengingatnya??” tanya Ara. Dimas mengangguk mengiyakan.

“Maaf aku baru sadar, Aku mengingatnya sejak kemarin kau menceritakan kisah masa kecilmu.
Itulah sebabnya kenapa aku berani mengungkapkan perasaanku, karena aku tau kau pasti akan
menerimaku..” jelas Dimas.

“Lalu kenapa Dimas? Apakah semua tidak ada artinya setelah kau mengingatnya??” tanya Ara.
“Tanpa mengingat itupun kau sudah menjadi sangat berarti bagiku..” jelas Dimas. Ara tersenyum
haru. Namun wajahnya semakin pucat menahan rasa sakit, meski ia tetap berusaha
menyembunyikan kesakitannya.

“Dimas..” ucap Ara.

“Kenapa Ra..?” jawab Dimas.

“Kenapa kau sangat takut dengan permen lolipop?” tanya Ara.

“Karena Eyang aku pernah bilang penyebab giginya hilang adalah karena permen lolipop, dan
aku tak mau jika itu juga terjadi padaku..” jelas Dimas dengan polosnya.

“Jadi hanya karena itukah?” tanya Ara heran, ia mengangkat kepalanya dari bahu Dimas, namun
dengan segera Dimas kembali menyandarkan kepala Ara ke bahunya.

“Iya, emang gak boleh?” Dimas balik tanya.

“Boleh..” jawab Ara tersenyum. Sejenak mereka terdiam.

“Kelak jika kau merindukanku, ingatlah bahwa saat itu aku juga sedang merindukanmu, jadi
tolong datanglah ke makamku, itu adalah permintaanku yang kedua..” pinta Ara. Dimas hanya
menangis pilu mendengarnya.

“Tolong jangan pernah menangis, karena aku ingin menjadi senyummu, bukan airmatamu, aku
ingin menjadi kenangan indahmu, bukan sedihmu, itulah permintaanku yang ketiga…” ucap Ara
dengan suara yang semakin lemah.

“Aku menyayangimu Ara..” Ucap Dimas.

“Aku juga menyayangimu Dimas..” jawab Ara. Dimas lalu memeluk erat tubuh Ara.

Perlahan Ara menutup matanya dalam senyum bahagia, tangannya pun terlepas dari genggaman
Dimas. Menyadari bahwa Ara telah tiada, Dimas langsung menangis sejadinya, namun tiba-tiba
ia teringat pada permintaan Ara yang terakhir, ia lalu segera menghapus airmatanya. Seketika
tampak kunang-kunang berterbangan di sekitar Ara dan Dimas dengan indahnya.

Sejak kematian Ara, Dimas memutuskan untuk menetap di kota Semarang agar lebih mudah
mengunjugi makam Ara. Dan hari itu untuk kesekian kalinya Dimas datang ke makam Ara.

“Lihatlah Ra, bahkan tanpa kau mintapun aku sudah pasti akan sering kesini, karena setiap saat
aku selalu merindukanmu..” ucap Dimas sambil menaburkan melati di atas pusara Ara. Ia lalu
mencium batu nisan Ara penuh dengan kasih yang tulus.

“Aku berjanji, kelak kita kembali bertemu di Surga, akulah yang akan mengenalimu lebih dulu,
dan akulah yang akan menyayangimu lebih dulu… Ara..”

—THE END—

Anda mungkin juga menyukai