Anda di halaman 1dari 14

DIRIKU UNTUKMU

Karya Fatma Roisatin Nadhiroh


Struktur Isi
Abstrak Bagaimana perasaanmu ketika sahabatmu telah menemukan seseorang yang dicintainya?
Akankah kau takut ditinggalkan olehnya? Tetapi, sebagai sahabat yang baik kau akan tetap
ada untuknya seperti apa pun dia bukan? Bahkan jika dia sering membuatmu berurai air
mata sepanjang malam. Kau akan tetap ada untuk menerimanya. Kehadiran sahabat
duniaku begitu indah. Sudah cukup lama aku mengenal mereka, sekitar 3 tahun yang lalu.
Namun, aku tak pernah tahu sejak kapan tepatnya menyebut Dira dan Putra sebagai
sahabatku. Bagiku mereka sahabat terbaik yang pernah aku miliki hingga saat ini. Walau
kini aku tak lagi dapat melihat senyum mereka seperti dahulu. Aku tak bisa membunuh
waktu bersama mereka lagi

Orientasi Bias sinar mentari menyusup di antara celah pepohonan di dekat kelasku, menembus
jendela kaca. Menyilaukan. Aku yang baru saja datang disambut dengan senyum hangat
seseorang yang selalu duduk di belakangku. Senyumnya yang masih lekat dalam
ingatanku.Kami terdiam hingga bel masuk berdering. Sesaat kemudian Ibu wali kelas
memasuki ruang kelasku. Seorang gadis berambut panjang dengan bola mata cokelat
terang yang tak pernah kulihat sebelumnya berjalan perlahan mengikuti langkah
beliauGadis itu berdiri di depan kelas dan memperkenalkan dirinya, sebagaimana seorang
murid baru. Ia menyebut dirinya ‘Dira’. Seusai ia memperkenalkan dirinya pada seisi kelas,
kemudian ia duduk di kursi yang masih kosong, di sebelahku. Ia meletakkan tasnya. Aku
terus memperhatikannya hingga ia melihat ke arahku seraya tersenyum manis dan
menjabat tanganku.“Dinda.” Kataku sembari membalas senyumnya dengan senyumku.Tak
hanya denganku. Dira juga melakukannya pada beberapa teman yang duduk di dekatnya
tanpa kecuali sahabatku, Putra.Tampaknya Dira sosok gadis pendiam dan sedikit misterius.
Setiap kali aku mengajaknya bicara panjang lebar atau menanyakan sesuatu, ia hanya
menjawab seperlunya. Bahkan tak jarang ia hanya menjawabnya dengan
senyum.“Dinda!!”Seseorang memanggilku dan membuat langkahku terhenti. Aku pun
menoleh. Kudapati Dira berlari dari kejauhan.“Kau tinggal di asrama
juga?”“Menurutmu?”Ia terdiam. Menunduk lalutersenyum padaku.“Iya. Apa kau murid
yang akan menempati kamar itu bersamaku?” tanyaku lagi.Dira mengangguk dan kembali
tersenyumTidak hanya di kelas namun kini aku benar-benar menghabiskan banyak
waktuku bersama Dira. Meski kadang ia begitu menyebalkan.

Komplikasi Ketika mentari sudah berjalan kembali menuju peraduannya, semburat merah yang
mewarnai langit yang semakin gelap. Aku dan Dira yang hendak kembali menuju asrama
setelah cukup lama menghibur diri di luaran sana mendapat kejutan yang tak pernah
kubayangkan sebelumnya.Ada sesuatu yang membuat dadaku begitu sesak. Aku tak dapat
lagi berkata-kata. Seseorang yang begitu dekat denganku dan beberapa bulan belakangan
ini tepat bersama kehadiran Dira, ia menjauhiku.“Dinda, kau kenapa?” tanyanya padaku
yang tiba-tiba terhenti dan pandanganku tertuju pada sosok di seberang sana yang
tampaknya begitu bahagia.Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menghempaskannya.
Dira menyadarkanku. Kemudian kutebar senyum padanya sebagai tanda aku baik-baik
saja.Sepanjang langkah kakiku menuju asrama aku hanya bisa terdiam. Memang aku
pernah ditolaknya. Menyakitkan. Kemudian kutahu ia bersama gadis lain. Ia yang pernah
memberiku harapan. Ia yang pernah memberiku semangat. Namun, kini ia juga yang
menjatuhkan aku dan membiarkanku dalam keterpurukan.“Dinda, aku bantu
membereskan barang-barangmu, ya?”Sesampainya di kamar, aku dibantu Dira
membereskan semua barangku yang harus aku bawa esok hari.

Hari ini terakhir kali aku menginjakkan kaki di tempat ini, di kota ini. Orang tuaku
memintaku kembali ke Jogja. Kupikir di saat seperti ini, aku dapat menghabiskan waktu
bersama Putra, sahabatku sekaligus orang yang aku cintai. Meski ia sempat berkata padaku
~ Aku memang menyayangimu, tapi maaf. Aku tidak mencintaimu. Namun, apapun yang
terjadi kita akan tetap menjadi sahabat ~Kini ia telah bahagia bersama sosok lain yang
menempati hatinya. Mungkin aku juga telah dilupakannya.Mataku masih terjaga hingga
tengah malam.“Din, belum tidur?”Aku menggelengkan kepala pada Dira. Ia terus
memandangiku lekat. Kami saling beradu pandang.“Aku sudah tahu semuanya. Maaf, jika
aku lancang. Namun aku tidak bermaksud begitu. Aku telah membaca seisi diarymu.”Aku
tak berreaksi apa-apa. Hatiku bersorak gembira. Lega rasanya. Rahasia itu tak lagi
kupendam sendiri.Dira terus menenangkanku hingga kita terlelap. Mentari telah
menunggu.

Resolusi Kusambut pagi ini dengan keceriaan. Aku tak ingin meninggalkan kesan bahwa jiwaku
terluka.Dira, teman-teman sekelasku, juga Putra mengantar keberangkatanku. Aku yang
tak pernah berani menangkap cahaya matanya, Putra. Kini kudapati matanya yang sedikit
sayu.“Din, aku bahagia dapat mengenalmu. Tak ada gunanya lagi aku minta maaf sekarang.
Aku yakin sakit hatimu tak akan pernah reda sebanyak apapun aku memohon untuk kau
maafkan. Aku memang bodoh. Terlalu sering membuatmu terluka. Kau yang seharusnya
kujaga…”

Koda Sstt, diamlah! Jangan kau ungkit lagi. Biarkan aku. Hanya aku yang kau sakiti. Cukup aku.
Jika kau tak dapat menjagaku. Semoga kau dapat menjaga ini dengan baik.” Kataku seraya
memberikan sebuah kalung kesayanganku yang selalu aku simpan sedari kecil, meski aku
tak pernah memakainya. Itu satu-satunya barang yang selalu aku jaga hingga kini. Karena
itu berharga untukku.Aku pun perlahan melangkahkan kaki, menjauh dari mereka yang
mengantarku dan menuju bus yang telah menungguku.

OCTAVIA YASMIN
XI IPS 2 / 28

STRUKTUR ISI
Abstraks Mata tak bisa memandang manda yang benar dengan sesungguhnya, namun hati bisa
merasakan mana yang benar mana yang salah. Saat mata melihat kebenaran
terkadang hati tak singkron dengan mata. Mata pintar untuk mengalihkan mata hati
kita.”

Orientasi Itu yang terjadi kepada dua teman yang menjadi lawan. Putri seorang gadis sederhana
dari keluarga sederhana yang mempunyai sifat toleransi tinggi kepada sesame,
rendah hati, dan sangat amat ramah pada setiap orang. Dia mempunya seorang
sahabat yang dia sayangi bernama wati, dia anak dari keluarga yang berada dan
sangat memanjakan wati. Tetapi, wati tak bangga dengan kekayaan yang telah dimiliki
kedua orang tua, kasih sayang adalah bagian yang sangat berhaga baginya.Mereka
sudah bersahabat mulai duduk di bangku SD, begitu pun sampai sekarang mereka
telah satu sekolah SMA di salah satu SMA swasta favorit di kota besar yaitu Jakarta.
Putri adalah salah satu seorang murid yang medapatkan beasiswa di sekolah tersebut
sedangkan wati seorang anak pemilik yayasan sekolah tersebut. Mereka bagaikan
seorang kakak dan adik karena mereka selalu bersama.

Komplikasi Selain itu mereka memiliki catatan prestasi yang sangat amat baik dan selalu bersain.
Tapi mereka berdua tetap selalu sportif dan tidak pernah menjadi masalah. Setiap
mereka bersama orang selalu merasa iri saat melihatnya, begitupun dengan ria anak
kepala sekolah yang mempunyai sifat yang sangat amat manja, semua yang dia ingin
kan harus di dapat saat itu juga.Pada suatu hari dia mempunyai niat untuk
memisahkan kedua sahabat ini. Dia meminta rendy yaitu kakanya untuk mendekati
wati dan putri supaya mereka berpikir jika rendy menyukai mereka berdua. Rendy pun
setuju dengan rencana ria lalu rendy menjalankan rencana itu. Perlahan rendy
mendekati satu persatu wati dan dan putri. Tak disangka wati dan putri juga suka
kepada rendy. Pada akhirnya putri mengalah dan membiarkan rendy dengan wati
lagian mereka juga serasi.Mereka berdua sekarang jadi terlihat jarang bersama,
dikarenakan wati sekarang jadi seiring jalan – jalan dengan rendy.saat itu juga rendy
menghasut wati dan putri. Sehingga pada saat itu wati sangat membenci putri karena
dia berpikir putri adalah seorang sahabat yang sengaja memanfaatkan kekayaannya
saja.Dia juga dengan gampang menuduh putri tidak suka melihat wati dan rendy
berpacara. Tuduhan selalu berdatangan ke putri. Putri nyatanya tidak seperti itu dia
mencoba membelah dirinya dan memberikan penjelaskan yang sebenarnya kepada
wati. Tetapi wati sudah tak mau mendengar penjelasan putri karena suda terkena
hasutan dari ria dan rendy.

Putri sangat kecewa atas sikap wati jadi seperti itu, dia sangat amat sayang karena
perubahan sikapnya pada dirinya. “kenapa, kenapa kamu jadi seperti ini watii?” bisik
putri kepada wati saat pulang sekolah dan saat itu hujan turun dengan rintik.
Untungnya saat itu hujan sedang turun jadi tak ada orang yang tau jika dia menangis,
sakitnya seperti pisau yang ditusukkan ke dada oleh sahabatnya sendiri. Wati tidak
meandang lagi sebagai sahabat. “ya tuhan apa ini yang namanya teman yang berubah
mejadi lawan?” berbisik sambil menangis.Kemana putri dan wati yang selalu bersama
kemana pun mereka berada, selalu kompak dalam hal apapun. Saat itu lah sekolah tak
dihasi senyum tertawa mereka, semua isi sekolah rindu dengan senyum dan suara
tertawa mereka. Hanya rendy yang bahagia karena hancurnya persahabatan mereka
berdua. Putri sangat kecewa pada kejadian ini.

Resolusi Wati tak sengaja ingin menemui rendy ke kelasnya secara tidak sengaja wati
mendengar percakapan rendy dengan ria tentang membicarakan dirinya dan putri.
Wati pun sangat terkejut tak habis piker ternyata mereka berdua telah melakukan
semua yang telah terjadi ini. Tanpa lama berikir wati pun lansung menapar rendy dan
memutuskan hubungan mereka yang sengaja merencenakan semua ini.Wati langsung
berlari meninggalkan rendy dan ria dengan menangis menuju kelas putri, wati sangat
menyesal atas perbuatannya kepada putri yang mengorbankan persahabatan ini
hanya untuk laki – laki yang mempermainkannya agar berpisah dengan sahabatnya
putri. Tetapi setibanya di kelas dia tidak melihat putri di kelas lalu dia menanyakan
dengan teman yang ada di klas, ternyata putri sudah 2 hari tidak masuk sekolah dan
sedang di rawat di rumah sakit.Seperti tersambar petir hati langsung menangis,
bagaimana bisa dia sampai tidak tau jika putri di rawat di rumah sakit. Apa sakitnya
separah itu sampai di rawat di rumah sakit. Sepertinya putri tidak punya riwayat
penyakit apa – apa. Sampai di rumah sakit dia bertemu ibu putri, ibu putri terlihat
sangat amat sedih dengan pasrah duduk di depan ruang ICU. Wati pun semakain
takut, tak lama dokter keluar dari ruangan, dan ia ber kata “ibu, yang sabar dan tabah
jangan sampai berhenti berdoa untuk anak ibu, kita hanya bisa pasrah menungu
keajaiban dari tuhan.”Seketika tubuhku terasa lemas jantungku berdegub kencan. Ya
tuhan apa yang terjadi pada putri. Aku minta maaf puri, maafin sema salahku
belakangan ini, bisik wati dalam hati dengan air mata yang terus mengalir. Ibu putri
cerita sebenarnya putri mengidap penyakit leukimia sudah 2 tahub ini. Dan ternyata
dia menyembunyakan penyakitnya dari kelurga dan juga sahabatnya.

Koda Kabar ini membuat wati semakin merasa bersalah. Sebelum di rawt di rumah sakit
putri menitipkan selembar surat untuk wati. Setelah itu putri tersadar lalu senyum
kepada wati dengan berkata “sebelum kamu tahu tantang rencana meraka aku sudah
memaafkanmu.” Tak lama setelah mengucapkan kalimat tersebut putri kembali
menutup mata untuk selama – lamanya, wati sangan menangis dan memeluk
sahabatnya dan berbisik kamu adalah kawanku bukan lawanku. Terimakasih dan maaf
untuk semua kesalahanku. Tunggu aku disana sahabatku, putri.

STRUKTUR ISI
Abstrak Adalah Joe, yang hanya bisa mengejar tukang bakso dengan pandangannya yang pilu,
Joe merupakan mahasiswa yang bisa dikatakan maniak weight loss, yang mengatur
diet sehat dan diet ketat -macam betul. Hari-hari ia isi dengan konsumsi makanan
penuh gizi rendah kalori, plus dengan hati yang tidak menikmati. Joe tidak menyadari
bahwa ia tidak terlahir kurus, kedua orangtuanya gemuk, hampir seluruh sanaknya
gemuk, kecuali satu orang, yaitu Alex, si buncit yang humoris.

Orientasi Namun Joe percaya dengan motivasi dari seminar bisnis multilevel yang pernah
digelutinya 5 bulan lalu, “tidak ada yang tak mungkin”, “jika kalian ingin mencapai apa
yang kalian inginkan”, dan “sukses usia muda”, tentu saja sukses bagi Joe adalah
sukses menurunkan berat badan, apa yang membuat Joe tidak pernah berhasil adalah
nafsu makan yang sama besar dengan badan, memang ia memakan sayur, dengan
porsi yang sangat banyak.

Komplikasi Tertawa dapat membakar lemak” dan dengan sangat serius menanggapi, Joe sama
dengan kedua orangtuanya, pemurung dengan muka berlemak -sulit dibuat tertawa.
Namun hari dimana ia membaca artikel itu adalah hari dimana ia seolah terlahir
kembali. Joe menjadi pribadi yang gampang sekali tertawa, bahkan saat seseorang
berbicara serius (pada saat itu Joe menerima caci maki), sikap Joe yang berubah tentu
mengundang berbagai penafsiran dari masyarakat, dan didominasi oleh pandangan
bahwa ia telah gila.Sedikit namun sakit, Joe perlahan-lahan diabaikan, teman-
temannya sering memandang paham ke arahnya ketika ia mencoba berbicara hal yang
lucu, hanya merespon berupa tersenyum penuh simpati, keluarga Joe pun perlahan
mulai mengabaikannya, dan ketika Joe menimbang badannya, mendapati beratnya
hanya berkurang sedikit, beberapa ons, ia meningkatkan intensitas ‘latihannya’.Hingga
pada suatu pagi, pihak keluarga sudah tidak kuat lagi dan melaporkan Joe ke rumah
sakit Jiwa di pusat kota, dan sorenya datanglah sebuah avanza hitam ke rumah Joe,
membawa lima orang dokter jiwa (orangtua Joe sudah mengatakan sebelumnya kalau
Joe bertubuh besar dan suka melawan) dan menyeret paksa Joe ke dalam mobil,
bahkan Joe tetap tertawa karena salah satu motivasinya dalam latihan tertawa ini
adalah “memandang positif dari segala sesuatu”, singkat cerita, Joe harus menginap
sampai waktu yang belum ditentukan di balik jeruji besi yang dicat putih, berjalan
dalam takdir, takdir untuk bersama penghuni-penghuni lain yang juga melakukan
‘latihan’ yang sama.Dan tibalah mereka di RSJ pusat kota, avanza itu diparkir tepat di
depan pintu masuk, Joe digiring layaknya tahanan, begitu sampai di dalam, semua
orang terkejut, dengan wajah ‘inikah dajjal yang terkutuk itu’ Joe melirik marah ke
sekeliling, seperti banteng menghadap matador, kedua tangannya yang diborgol
bergetar, dokter-dokter yang menggiringnya mulai cemas, anak itu tepat seperti apa
yang dikatakan orangtuanya -pelawan.Para dokter yang menggiring Joe mulai
mempercepat langkahnya menuju kamar sel nomor 3 di ujung kiri, dekat tangga, yang
di bawah nomornya bertuliskan ‘tidak perlu menunggu mukjizat untuk sembuh’,
borgol semakin bergetar, menimbulkan bunyi krincing-krincing yang menarik
perhatian hingga ke pintu depan, seolah akan ada yang kerasukan.

Resolusi Kedamaian yang biasanya ada di sore hari RSJ tersebut, hilang dalam sekejap diganti
riuh yang menegangkan, alarm berbunyi, satu orang di ruang resepsionis tergesa-gesa
menekan nomor pada telepon yang ada di meja, para pasien di ruang bawah
mendekatkan diri mereka ke jeruji, bohong dengan wajah takut namun mereka sangat
menikmati.Satpam rambut mangkuk segera mencekik Joe dari belakang, Joe pun
segera meresponnya, dengan reflek serta kekuatan, yang dibangun dari setidaknya
beberapa bulan diet ketat (dan sehat), membuat badan besarnya tidak hanya besar
bodoh, namun besar sehat yang di dalam setiap ototnya terdapat kekuatan dari gizi
makanan mahal. Joe langsung menjungkirkan si satpam ke depan, tubuh satpam yang
tadi menggantung di belakang Joe terhempas keras ke lantai.Si Satpam, muka
‘bule’nya memerah, matanya melihat ke atas sekali, hingga hanya putih yang terlihat
di matanya yang bulat, terkapar kejang-kejang, dan dadanya kembang-kempis, persis
seperti ingin mengeluarkan bunyi mirip kentut dari punggungnya yang menempel di
lantai. Para dokter ragu dalam keterburu-buruan yang seolah akan mengambil
tindakan mantap -namun tidak melakukan apapun.Satu, dua dokter tumbang dengan
satu dorongan, hanya dua pria yang takutberdiri dan memilih untuk pura-pura mati,
namun mata lebar Joe masih terfokus pada satu dokter, yang berlari ke arah pintu
depan, Joe bergegas mengejarnya, dengan lambat.

Koda Polisi: Apakah ia berhasil mengejar anda?Dokter: Tidak, saya berlari ke arah jalan
besar, dan terus berlari sambil sesekali menoleh ke arah rumah sakit, disana Joe,
masih berdiri di luar dekat pintu, kepalanya menoleh ke segala arah dengan
dingin.Polisi: Baik, baik pak, terima kasih, sekarang bapak boleh keluar lewat pintu
yang di sana.Dokter: T-t-terima kasih pak, kalau boleh tau, apa bapak pernah
mendengar nama Joe? Mana tahu, mana tahu ini kan, dia pernah melakukan tindakan
kriminal.Polisi: (mengangguk mantap) kami semua saudara Joe, ayo bapak yang di
pintu itu sudah menunggu pak dokter dengan tongkat baseballnya, silahkan.
STRUKTUR ISI

Abstrak Kesedihan masih mendera diriku. Setelah ditinggal pergi pendamping hidupku, kini
anakku satu-satunya juga telah tiada. Hujan air mata tentu saja menetes di sini; di
mataku. Terkadang aku merasa, Tuhan mengujiku terlalu berat. Ingin menghakimi-
Nya, namun apa daya, aku tak bisa. Sungguh aku tak sanggup memaki Pencipta
diriku yang telah menyelamatkanku dari sebuah insiden naas beberapa tahun yang
lalu. Aku percaya ada hikmah dari semua ini. Aku sungguh percaya bahwa Dia tidak
akan menjahatiku. ucapku kepada batinku sendiri.

Orientasi Hujan air mata tentu saja menetes di sini; di mataku. Terkadang aku merasa,
Tuhan mengujiku terlalu berat. Ingin menghakimi-Nya, namun apa daya, aku tak
bisa. Sungguh aku tak sanggup memaki Pencipta diriku yang telah
menyelamatkanku dari sebuah insiden naas beberapa tahun yang lalu. Aku percaya
ada hikmah dari semua ini. Aku sungguh percaya bahwa Dia tidak akan
menjahatiku. ucapku kepada batinku sendiri.

Komplikasi Tak terasa ini sudah 40 hari kepergian istriku, dan 7 hari kepergian anakku. Sedih
dan duka itu tentu masih ada, namun menipis, setipis kain tissue yang sering aku
gunakan untuk menyeka air mata dan ingusku karena berduka. Namun aku sadar,
bahwa berduka terlalu lama tak akan ada gunanya. Menjalani hidup sekuat mungkin
adalah solusi atas kekosongan dan kesedihanku ini.

Resolusi Ada pepatah yang bilang, bahwa kesibukan bisa membuat kita lalai dari kesedihan
dan keresahan hati kita. Dan ternyata itu benar. Kesibukan yang kujalani sebagai
layouter cukup menguras hati dan pikiran. Bayang-bayang sang pendamping hidup,
serta bayang-bayang sang anak tidak terlalu sering menghantuiku; membuat air
mata menetes di mataku.

Koda Tak pernah kupikirkan siapa yang akan menggantikan pendamping hidupku di dunia
ini. Yang aku pikirkan saat ini adalah bagaimana menjalani hidupku sebaik mungkin
dan tidak larut dalam duka. Dan aku akan terus bertahan, terus menjalani hidupku,
hingga nanti aku menyusul anak dan kekasihku di Sana.
Struktur Isi

Abstrak Semua orang memanggilnya Ompi. Ompi adalah orang kaya, ia punya seorang
anak laki-laki bernama Edward. Karena suatu hal, Ompi mengganti nama anaknya
menjadi Ismail. Ompi mengganti nama anaknya lagi menjadi Indra Budiman, tapi
anaknya memilih nama Eddy. Ompi jengkel, tetapi karena sayang kepada anak
satu-satunya itu, Ompi menyetujui nama Eddy tetapi nama belakangnya Indra
Budiman. Ompi menginginkan nama depan untuk anaknya, yaitu dokter. Ompi
berangan-angan anaknya menjadi seorang dokter.

Orientasi Indra Budiman pergi ke Jakarta. Semenjak itu, Ompi yakin bahwa anaknya akan
menjadi seorang dokter. Dan benarlah. Setiap semester Indra Budiman mengirim
rapor dengan nilai-nilai yang baik. Ketika Ompi membaca surat anaknya yang
memberitahukan kemajuannya, Ompi berlinang air mata. Ompi akan melakukan
dan membayar sebanyak apa pun agar sang anak menjadi dokter.

Komplikasi Semenjak itu, Ompi tidak sabar menunggu anaknya menjadi dokter. Semua orang
tahu itu adalah cita-cita Ompi yang hanya akan menjadi mimpi. Indra Budiman
selama ini berbohong kepada Ompi. Ompi tidak percaya dengan omongan orang-
orang tentang anaknya. Ia terus mengirim banyak uang tanpa memikirkan
akibatnya hanya untuk menentang omongan orang tentang anaknya. Ompi terus
mengirimi anaknya surat. Orang-orang menjadi kasihan kepada Ompi. Mereka
tidak lagi membicarakan hal buruk tentang Indra Budiman di depan Ompi.

Ompi berfikir ini adalah saat yang tepat untuk anaknya bertunangan. Tetapi
banyak gadis yang menikah tanpa mempedulikan Indra Budiman. Ompi menjadi
benci kepada orang-orang yang mempunyai anak gadis itu. Ompi berbohong
kepada Indra Budiman dengan mengirimi surat bahwa banyak gadis yang
melamar Indra Budiman tetapi ditolak oleh Ompi. Indra Budiman percaya kepada
Ompi dan menyuruh Ompi untuk mengirimkan foto gadis-gadis itu. Ompi
menjadi cemas karena takut kalau ketahuan oleh Indra Budiman.

Resolusi Kecemasan Ompi mereda karena Indra Budiman tidak mengirim surat, tetapi
Ompi juga gelisah karena suratnya tidak dibalas. Sudah beberapa bulan Ompi
menunggu surat balasan dari Indra budiman tapi tak datang juga. Ompi putus
asa. Saat itu juga Pak Pos datang membawa tumpukan surat Ompi yang
dikembalikan. Ompi jatuh sakit. Kini dalam hidupnya, Ompi hanya menunggu
satu hal, yaitu surat dari anaknya, Indra Budiman. Setiap hari Ompi menengok
jendela menunggu Pak Pos mengantar surat dari Indra Budiman, tapi hal itu tidak
pernah terjadi.

Koda Hingga pada suatu hari, Pak Pos datang mengirimkan surat yang berisi bahwa
Indra Budiman sudah meninggal. Ompi tidak sanggup membaca dan mendengar
isi surat itu karena ia tidak mau mati lemas karena bahagia mendapat surat dari
anaknya. Didekap dan diciumnya surat dari Indra Budiman itu.
Struktur Isi

Abstrak Cuaca di Kyoto sangat bersahabat siang ini, aku memutuskan untuk berjalan-
jalan di taman. Sambil menggenggam buku harian kesayanganku, aku
memandangi foto mereka di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran.
Ah, aku rindu mereka hingga tak sadar air mata ini mulai mengalir.

PPPPPOrientasi Dahulu, aku dikenal sebagai sosok yang sangat pendiam, entah di sekolah, di
tempat les, di tempat mengaji, pokoknya selain di rumah, orang-orang
mengenalku sebagai anak perempuan yang sulit bergaul. Bukan hanya sulit
bergaul, bahkan untuk berbicara pun menjadi suatu hal yang sangat sulit
untukku.

Komplikasi Ajda… nama kamu bagus banget ya! Tapi kok nggak sama kaya orangnya sih?
Hahaha” Fino dan kawan-kawannya berulah lagi hari ini. Aku hanya bisa
mengelus dada, hal ini sudah tak begitu menyakitkan untukku. Hari kemarin,
aku terkena lemparan bola mereka yang penuh dengan tanah hingga
seragam putih biruku ternodai sejak pukul 7 pagi. Hari kemarinnya lagi, tas
coklat kesayanganku penuh dengan coretan spidol merah. Hari kemarin-
kemarinnya lagi bahkan aku dimarahi karena tertawa, mereka bilang aku tak
boleh tertawa karena gigiku tak enak dipandang. Konyol bukan?

Begitulah kehidupanku di masa putih biru. Aku selalu datang paling pagi dan
juga pulang paling awal karena aku takut jadi bahan olokan mereka jika
terlalu lama ada di sekolah. Aku juga tak pernah jajan di kantin, karena
biasanya ketika aku meninggalkan kelas, barang-barangku di kelas sudah tak
utuh lagi. Maka jadilah aku si anak kuper yang tertekan dan tak punya
teman. Tak terhitung berapa kali aku menangis di rumah dalam seminggu.
Emosiku tidak stabil, aku mudah marah dan menyalahkan orang lain.

“Allah.. tolong beri aku satu sahabat. Satu saja, aku mohon” ucapku dalam
sujudku. Rasa-rasanya aku sudah lupa bagaimana rasanya memiliki impian
dalam hidup. Setiap hari, aku hanya merasa hidup ketika aku tidak bertemu
dengan Fino dan kawan-kawannya. Aku lelah menjalani hidup seperti ini.
Wali kelasku sudah beberapa kali meminta orang tuaku datang ke sekolah
untuk membicarakan tentangku. Sebegitu mengkhawatirkankah diriku

Saat itu aku sudah putus asa. Aku memutuskan untuk mencari SMA sejauh-
jauhnya dari kotaku. Aku ingin menjadi Ajda yang baru tanpa bayangan dari
masa laluku. Aku mulai mempersiapkan keperluan untuk pendaftaran, aku
sungguh sungguh sudah siap untuk menjalani hidup yang baru.Tapi Allah
punya rencana lainAku gagal di seleksi tahap akhir karena nilai matematika
yang kurang 0,5 poin. Aku gagal menjauhi mereka yang selalu
menggangguku. Aku menangis semalaman.Hai, kamu Ajda kan? Kenalin aku
Irma teman sebangkunya Dwi. Kamu temannya Dwi kan?” Aku memandangi
orang yang menyebut dirinya Irma ini dengan tatapan terkejut. Jarang sekali
ada orang yang menyapaku terlebih dahulu, apalagi satu paket dengan
wajah riangnya.“Eh, iya. Salam kenal, Irma” Aku menjawab dengan
singkat.“Ajda diajak siapa untuk gabung di Rohis ini? Kayanya rohis ini seru
ya, kakak-kakaknya ramah banget. Aku bahkan sampai diajak secara pribadi
sama kakak yang berkerudung biru itu.” Ia berbicara sembari menunjuk
salah satu kakak yang ia maksud. Sedangkan aku masih keheranan karena ia
orang pertama yang banyak bicara kepadaku.Ya, akhirnya aku
memberanikan diri untuk mulai bergabung dengan ekstrakurikuler ketika
aku mulai memasuki dunia putih-abu ini. Dari sekian banyak ekstrakurikuler,
aku memilih Rohis. Dan tak disangka-sangka, Allah menjawab doaku mulai
dari tempat ini. Tempat yang aku kira akan memberikan luka baru.Semakin
lama, ekskul ini terasa berbeda. Ekskul yang notabene selalu mengadakan
acara di masjid ini ternyata memiliki kehangatan sebuah keluarga. Untuk
pertama kalinya dalam hidup, aku merasa mencintai dan dicintai selain di
rumahku sendiri.Perlahan-lahan, aku mulai mencoba untuk berubah dengan
bantuan mereka. Aku mulai memberanikan diri untuk lebih menunjukkan
diri. Aku mulai mencoba untuk lebih ekspresif, menunjukkan apa yang aku
rasakan. Dan kepercayaan diri itu mulai tumbuh meski perlahan.Suatu hari,
aku jatuh sakit tepat ketika kelas masih berlangsung sehingga aku harus
istirahat di ruang UKS. Aku tak menyangka, mereka berbondong-bondong ke
UKS, membawakan bekal dan merapikan barang-barangku dikelas. Bahkan
ada yang sampai ikut menemani, bergantian dengan teman lain yang sedang
luang. UKS tiba-tiba menjadi ramai, ada yang mengaji, ada yang memakan
bekal makan siangnya, ada yang iseng mendorong-dorong ranjang tempatku
beristirahat dan berbagai kegiatan lainnya.

Resolusi Lalu aku seketika tersadar. Allah telah menjawab doaku. Allah memberikan
banyak sahabat yang baik, bahkan bukan hanya satu. Tubuhku memang
masih menggigil dan demam. Tapi hatiku dialiri kehangatan yang luar biasa.
Aku tersenyum, memandangi mereka semua yang masih sibuk dengan
kegiatannya masing-masing di ruangan mungil ini. Dalam hatiku, aku berjanji
untuk menjaga titipanNya.“Hei, Ajda! Kamu ngapain nangis sendirian
disini?!” seru Dias, teman sekamarku selama menyelesaikan studi di Negara
ini. Aku terlonjak saking terkejutnya.“Eh Dias, duuh maaf, aku lagi rindu
sahabat-sahabatku. Aku sudah tak sabar untuk pulang” ujarku sambil
menghapus sisa air mataku.“Huh, aku kira kamu kenapa. Aku khawatir tahu!
Ya sudahlah, kita pulang yuk, udaranya sudah makin dingin”“Ayo” aku
beranjak dari tempat duduk dan tak lupa memasukan buku harianku
kedalam tas.

Koda Di sepanjang perjalanan pulang, aku tetap memikirkan kepulanganku tiga


bulan lagi. Aku sungguh sudah tak sabar berkumpul lagi bersama keluargaku
di rumah dan tentu saja dengan mereka.

Ketika orang lain bangga untuk pergi, maka aku selalu bangga untuk kembali
pulang.
RASA
KARYA PUTU WIJAYA

ROSYIDAH INTAN
XI IPS 2 / 33

STRUKTUR ISI

 Memandangi koran, melahap foto doktor termuda


Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27 tahun,
mataku tidak berkedip. "Cantik, badannya bagus, senyumnya
Orientasi mempesona," gumanku memuji. "Kalau aku masih muda,
aku akan datang kepadamu dan langsung melamar." Ami
yang sejak tadi di belakangku nyeletuk, "Begitu ya?
Bagaimana kalau ditolak?" Aku mengangguk.
"Ditolak, diusir, bahkan diinjek-injek pun aku masih senang.
Aku kagum di Indonesia ini masih ada perempuan yang
belum kepala 3 sudah jadi doktor. Sudah jadi bintang di
malam gelap bagi pelaut yang sesat. Gila!" Aku menunggu
reaksi Ami. Tapi Ami diam saja. Ia mengambil koran dari
tanganku. "Seorang wanita adalah sebuah cahaya," kataku
selanjutnya menggembungkan pujian. Tak ada jawaban.
Waktu kutoleh ternyata Ami sudah masuk ke dalam kamar.
Sepanjang malam aku jengkel. Baru surut esok paginya
setelah Ami ternyata tidak nampak sarapan. Pintu kamarnya
terkunci. Berarti ia bolos ke kampus.  Aku tak percaya. Aku
ketuk pintu kamar Ami, pura-pura menanyakan, apa dia
perlu kuantar ke puskesmas. Tapi tidak ada jawaban. Ya,
Komplikasi
orang sakit atau hanya pura-pura sakit sama saja. Aku cepat
pergi ke apotek dan membeli obat maag. Setelah beli tablet
kunyah untuk maag, aku bergegas pulang. Ternyata pintu
kamar Ami sudah terbuka. Hanya saja waktu aku masuk,
kosong. Aku taruh obat maag itu di atas meja belajar Ami.
Koran berisi foto doktor termuda itu tergeletak di atas buku-
buku Ami. Seakan-akan sengaja dipamerkan untuk aku yang
akan melihatnya. Langsung saja aku ungsikan, supaya jangan
memicu persoalan lebih jauh. Menjelang makan malam,
ternyata Ami belum pulang. Aku mulai was-was. Aku
terhenyak. Satu jam aku mondar-mandir dikili-kili perasaan.
Sudah jelas sekarang, Ami ke rumah temannya untuk
melarikan perasaannya yang tersinggung.
Aku sudah menyakiti dia. Dan penyesalan selalu terlambat.
Aku jadi sebal, kenapa masih membiarkan diri alpa. Kenapa
aku tidak peka. Aku tidak pernah lupa Ami bukan anak kecil
lagi tapi perempuan dewasa. "Bapakmu ini sudah manula
Ami. Bapak sudah kena biasan pendidikan kolonial, jadi
kuno. Bapak minta maaf sebab bapak sudah menyinggung
perasaanmu. Bukan maksud Bapak untuk menyindir. Sama
sekali bukan. Seperti kata pepatah, burung terbang di langit
Resolusi
dicari, burung di tangan dilepaskan. Kuman di seberang
lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Bapak
minta maaf." Ami tertawa. "Salah alamat, Pak!" "Salah
alamat bagaimana?" "Yang tersinggung itu bukan Ami, tapi
ibu." "Ah?" "Ibu. Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar
kamar, jangan makan malam di meja makan dan pergi
nginap belajar di rumah Rani." Aku terpesona."Jadi ibu
kamu?" "Ya!" Aku bengong.

Ami menunjuk ke rumah. Ternyata istriku, bukan tidur pulas


seperti kukira, tapi dia menunggu di teras rumah. "Bapak
harus bersyukur. Bapak punya seorang istri yang menyayangi
Bapak seperti itu. Tapi ibu memang tidak suka menunjukkan
perasaannya itu, karena dia terdidik untuk menyimpannya.
Tidak seperti Ami dan perempuan-perempuan sekarang yang
memang harus berani mengutarakan perasaan, karena
Koda zaman sudah berubah. Bapak pulang saja, sudah ditunggu."
Seperti anak muda yang baru kali pertama mengunjungi
rumah pacarnya, aku melangkah pulang. Kenapa begitu
banyak rahasia yang luput kutahu. Tetapi justru karena tak
pernah benar-benar tahu itulah aku jadi terus ingin tahu dan
mengejarnya. Goblok banget kalau selama ini aku merasa
sendirian. Itu di situ, bukan hanya rumahku, tapi istriku
menunggu. Bagaimana aku tidak akan mencintainya.

Anda mungkin juga menyukai