Anda di halaman 1dari 152

TILL THERE

WAS YOU
TILL THERE WAS YOU

Penulis : Alia Restu Namira, Anggito Abimanyu, Annisa


Cahyani, Ayu Apriyani

Penyunting : Dena Azhar, Dina Amelia, Nabila Maharani. P,


Joddi Setiawan, Regina Amanda

Penyelaras Akhir : Ayu Apriyani, Annisa Cahyani

Desain Sampul : Farhan Fadilah. A. R

Anggito Abimanyu

Cetakan Pertama, Februari 2020

…..hlm; 20 cm

Penerrbit :

Dicetak oleh Percetakan


Ucapan Terima kasih
PROLOG

Mengatakan cinta kepada seseorang yang kita


sukai itu adalah hal sulit, itulah yang diucapkan
temanku kepadaku. Aku setuju dengan perkataannya,
terlebih lagi jika mengatakan kata aku mencintaimu
kepada seseorang yang sangat asing di dunia kita.

Aku jatuh cinta pada seseorang yang sangat


asing bagi kehidupanku. Asing dalam artian aku belum
pernah berbicara sama sekali dengannya. Hanya saling
sapa lewat senyum dari kejauhan saja yang kurasa
sedikit menyenangkan juga terkadang terasa sedikit
menyakitkan.
Cinta pandangan pertama ini, begitu
mendebarkan dan juga menyesakkan. Sama seperti saat
mendapat hadiah di hari ulang tahun, matamu berbinar-
binar penuh cahaya namun di saat yang bersamaan,
ketika membuka kotaknya, itu bukan hadiah yang di
inginkan dan itu membuatmu kesal sehingga ingin
melemparkannya ke sungai. Sialnya, itu tak bisa di
lakukan begitu saja saat itu, karena kau harus
menghargai pemberian dari orang lain, apa pun
bentuknya.

Aku melihatnya di sebuah taman kecil, itu adalah


pertemuan pertamaku dengannya. Saat itu, ia sedang
duduk di bangku taman sambil membaca buku. Pohon-
pohon rindang yang berada di taman yang menutupi
sinar matahari, membuat suasana disana terasa tenang.
Burung-burung yang bertengger di batang pohon
berkicau melantunkan melodi yang ringan, seperti
sedang menyanyikan lagu yang ceria. Bunga-bunga
yang indah juga bermekaran di sekitarnya, seolah
membuat perempuan yang sedang duduk disana
menjadi bagian dari bunga yang indah itu.
Saat itu, saat pertama kali aku melihatnya,
tubuhku tak bisa kugerakkan. Seakan-akan menahanku
untuk diam disana lebih lama sambil melihat
pemandangan yang indah dengan perempuan itu
sebagai pusatnya. Aku memandanginya cukup lama.
Entah berapa lama, intinya, aku sudah jatuh cinta.

Ketika aku memandanginya, tiba-tiba saja ia


melihat ke arahku. Dorrr! Aku seperti ditembak oleh
seseorang tepat di bagian dada. Tubuhku membatu,
mulutku membisu. Sulit rasanya menggerakan mulut
dan tubuhku. Jika ini akibat tembakan, mungkin aku
sedang mengalami pendarahan yang hebat. Sialnya, itu
bukan. Aku … hanya panik saja ….

Ah, aku tak bisa mengalihkan pandanganku


darinya. Terlalu sulit dengan situasi yang seperti ini! Aku
terus memandanginya dan tanpa sadar, saat aku
mencoba memfokuskan mataku, aku melihat
pemandangan yang lebih indah dari yang kulihat
sebelumnya. Perempuan itu tersenyum kepadaku. Aku
menjerit bahagia dalam hati. Ini adalah keajaiban!
Rasanya, aku ingin menghampiri perempuan
bertubuh mungil itu. Rasanya aku ingin berbicara dan
melihat senyumannya lebih dekat lagi, bisik diriku
kepada seluruh bagian yang ada dalam diriku

Tapi aku tidak bisa mendekatinya karena ia


dengan terburu-buru meninggalkan taman. Entah apa,
setelah ia pergi tubuhku bisa kembali kugerakkan.
Sepertinya, sihir yang ia gunakan telah dilepaskan ,
pikirku liar. Akhirnya, aku meninggalkan taman itu.
Senyumannya akan terus membekas di dalam ingatanku
hingga saat ini. Hingga, saat ini …
EPISODE 1

Masalah hidupku yang aku harapkan usai disini,


ternyata semakin berat dan beragam. Aku yakin semua
orang ingin mengakhiri masalah hidupnya seperti aku,
tapi ayahku bilang itulah hidup, singkat tapi
melanturnya lama. Orang tua, perkuliahan, dan teman-
teman membuatku selalu merasa tertekan. Hal itu pula
yang menjadikanku seorang penyendiri.

Keinginan ku hanyalah di mengerti oleh orang-


orang disekitarku. Tapi nyatanya itu hanya ekspetasiku
saja.

Sehari-hari sepulang kuliah kegiatanku hanya


berdiam diri di kamar sembari mengutuk ketidak
berdayaan diri ini. Berharap Ibuku akan menghampiriku
ke kamar dan bertanya “nak, ada cerita apa hari ini”
atau sekedar menyuruhku makan agar aku tetap sehat
dan kuat. Tapi, lagi-lagi itu hanya ekspetasi.

Ibu mengetuk pintu kamar dan memarahiku


“keluar kamar dong, lagi apasih dikamar terus, sosialiasi
sama yang ada dirumah” dadaku perih saat Ibuku
berbicara dengan menggunakan nada tinggi. Mereka
tidak mengerti apa yang sedang aku rasakan.

Tak hanya itu, masalah perkuliahanku pun


terasa berat. Memasuki semester akhir hanya
membuatku semakin tertekan, banyaknya tugas yang
harus aku selesaikan tanpa aku menyukai satupun hal
yang aku kerjakan karena selama ini apa yang aku
lakukan itu adalah keinginan orangtuaku.

Aku bukanlah orang yang pandai bersosialisasi.


Aku tidak mudah percaya pada orang lain. Dua tahun
yang lalu tepatnya saat aku menghadapi masalah
terberat dalam hidupku mereka datang dan memberikan
kepedulian yang tidak pernah aku dapatkan. Dititik
inilah aku sepenuhnya percaya pada mereka. Fadil,
Azhar, Fasya mereka sahabatku.
Fadil seseorang yang sangat ceria dan konyol
tetapi ketika aku sedang menghadapi masalah dan
membutuhkan teman untuk meluapkan semua
kesedihanku, dia selalu siap menjadi pendengar semua
curhatanku, terkadang dia menghiburku dengan
tingkahnya yang konyol.

Fasya tidak jauh berbeda dengan Fadil sama-


sama konyol dan ceroboh. Ada satu kesamaannya
dengan ku yaitu sama- sama ingin dimengerti.

Berbeda dengan Azhar, dia yang paling serius


dan sangat peduli terhadap kondisi teman dekatnya.
Aku senang dan juga terhibur dengan adanya mereka.

Aku ingat, masih ada satu orang di rumah yang


peduli terhadapku yaitu pembantuku Bi Irah. Sejak aku
kecil Bi Irah selalu ada untukku. Awalnya sanggat sulit
bagiku untuk menerima kehadiran Bi Irah, namun Bi
Irah tidak gentar dan tetap memberikan perhatiannya.
Sehingga lambat laun aku bisa membiasakan diri
dengan kehadirannya.

Hari minggu, hari yang membosankan bagiku,


aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pergi
ke taman. Saat itulah untuk pertama kalinya aku
bertemu dengannya. Seseorang yang bisa membuatku
terpaku dan bisa membuat waktu ku terasa lambat dan
jantung terpacu lebih cepat.

Seseorang itu adalah perempuan yang asing


bagiku. Aku tidak tahu namanya, aku tidak tahu hal
apapun tentangnya. Karena semua itu bukanlah hal
yang penting untuk bisa membuatku merasakan sesuatu
yang belum pernah aku rasakan.

Tubuhku tak bisa kugerakkan saat perempuan


itu tersenyum kepadaku. Senyumannya yang indah
membuatku menjerit bahagia. Dia bisa membuatku
melupakan semua masalah yang sedang aku hadapi.

Untuk pertama kalinya aku merasakan jatuh


cinta.


EPISODE 2

Saat aku terbangun dari mimpiku, aku sadar


mengetahui bahwa hari ini adalah tahun ketiga aku
bersama dengan penyakit yang mematikan ini. Pernah
suatu waktu aku berdo’a agar Tuhan membiarkanku
untuk mati saja. Pasalnya aku tak bisa seperti orang-
orang pada umumnya. Kuliah, bekerja, atau bahkan
mempunyai seorang pacar yang diidamkan.

Keseharianku biasanya pergi ke taman di dekat


rumahku, disana ada satu bangku, didekat pohon yang
rindang, aku sangat menyukai duduk di bangku itu,
kenapa? Yaa karena, angin berhembus sangat tenang
sambil sesekali mendengarkan lagu favoritku dan
terkadang aku menari dibuatnya.
Saat kelas 3 SMA aku begitu berambisi ingin
meneruskan sekolah ke jurusan yang sangat aku
inginkan. Aku suka membaca dan menulis, aku fikir aku
ingin memasuki jurusan sastra indonesia,
menyenangkan ya sepertinya karya-karyaku dikenal
orang banyak. Cita-citaku berbeda, jika teman-teman
SMA ku bercita-cita ingin menjadi guru, dokter, pilot,
dan profesi yang mengagumkan, lain hal nya denganku.

Sejak aku kecil cita-citaku hanya ingin


mempunyai banyak teman. Aneh? Tentu. Masalahnya
aku selalu merasa kesepian sedari dulu. Orang tuaku
yang sibuk, keluargaku yang jauh dari rumahku, dan
banyak lagi hal yang lain. Karena kebiasaanku
ditinggalkan oleh orangtua dan aku hanya sendiri
dikamar, akupun tak berani untuk mempunyai teman
karena aku selalu merasa canggung dan merasa tak
pantas mempunyai banyak teman.

Setiap hari sepulang sekolah aku hanya berdiam


diri dikamar bermain hp, membaca buku, menulis,
mendengarkan lagu lalu tidur. Sedangkan setiap malam
aku tak pernah bisa tidur. Pekerjaanku hanya melamun
ketika rembulan datang. Berbincang dengan diri sendiri.
Ah iya! Perihal berbincang dengan diri sendiri, aku pun
tak mengerti. Mungkin karena aku sering sendirian lalu
persona dari diri ini tak mau aku kesepian miris
memang.

Setiap malam aku selalu mendengar suara


yang sepertinya ingin mengambil alih kendali dari diriku
ini. Seperti “kamu makan apa hari ini?” “kenapa kamu
sendiri terus sih, main sana kaya orang orang!” “dasar
cengeng!” “lemah” “siapa yang ingin berteman dengan
orang aneh sepertimu Ra!” suara itu seakan akan terus
mengangguku. Aku sangat tak nyaman, siapa orang
yang harus aku datangi untuk sekedar bercerita?
Terkadang sepanjang malam aku hanya menangis. Aku
tak tidur di kasur empuk seperti orang-orang. Aku
hanya berbaring di lantai semalaman sembari memukul
dada yang aku rasa sangat perih dengan mengutuk ke
tidak berdayaan dan ke tidak normalan diri ini. Perihal
beribadah kepada Tuhan, sebelum tidur aku selalu
menyempatkan untuk solat 2 rakaat. Dan disetiap
rakaatnya aku selalu menangis. Aku tak mengutuk
Tuhan karena menciptakan hamba yang seperti aku.
Mungkin orangtuaku memberiku nama Aurora Raina
yang artinya langit yang selalu turun hujan. Sepertinya
begitu.

Hari ini hari minggu. Ada yang aku nantikan.


Yaitu pergi ke taman yang letaknya tak jauh dari
rumahku. Aku sangat merindukan sentuhan angin yang
tuhan kirimkan dan sepertinya angin itu memang
dikirimkan dari langit untukku. Sebanyak apapun
masalah yang aku lewati, aku selalu sadar bahwa hari
ini, kemarin, setiap harinya itu akan selalu ada hal kecil
yang harus aku syukuri. Terimakasih tuhan, kamu baik.

Ketika aku sampai disana, aku melihat seorang


laki-laki berwajah kusut. Entah dia punya masalah hidup
apa. Aku memandanginya sesekali, matanya terlihat
kurang tidur, rambutnya seperti menandakan bahwa
masalah hidup nya tak bisa ia selesaikan dengan baik.
Ah, malangnya. Ketika aku mendengarkan lagu di
bawah pohon rindang, aku tak sengaja melihat dia
sedang…. apa? Dia sedang memandangiku! Mata kami
berpapasan saat itu. Matanya indah. Melambangkan
orang yang jujur nan tulus. Ingin sekali aku bertanya
tentang masalah hidup yang sedang ia lewati, tapi aku
bukan orang yang seperti itu, aku sadar aku hanya
orang yang sangat payah. Memangnya siapa aku ingin
bertanya tentang keluh kesah hidup orang lain. Hidup
sendiripun sudah cukup hancur bahkan sepertinya aku
tak kalah malangnya dari orang itu.


EPISODE 3

Althair terbangun di pagi hari yang nyaman


dipertengahan musim kemarau. Tempat tidur
menahannya untuk tetap tinggal. Angin segar yang
masuk lewat fentilasi jendela mati berbisik kepada
seluruh bagian tubuh merayunya untuk kembali tidur.
Ketika ia mencoba menutupi wajahnya dengan selimut
tiba-tiba saja wajah perempuan itu tergambar dengan
jelas di dalam benaknya. Aku ingin melihatnya. Aku
merindukannya.
Altahair beranjak dari tempat tidur,
membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya. Ia
mengambil sandwich yang sudah disusun rapi.

“Selamat pagi, Den,” sapa Bi Irah.

“Pagi,” jawab Althair dengan nada dingin.

Pemandangan biasa yang Althair lihat setiap hari, hanya


Bi Irah yang ada dan memperlakukannya seperti itu.

“Bi, saya pergi” pamit Althair, kemudian ia


beranjak dari tempat duduk dan pergi ke Kampus
menggunakan sepeda motornya.



Sesampainya di Kampus tempat pertama yang ia


tuju adalah perpustakaan, ia tidak suka keramaian. Saat
ia sedang menikmati kesendirian teman-temannya
datang dan menghampiri Althair.

“Al,” panggil Fadil sembari menepuk pundak


Althair.
Althair menoleh sebentar kemudian dengan panik
membalikan buku yang berisi gambar perempuan itu.

“Gambar siapa, cantik banget” ucap Fasya, ia


dengan jelas melihat gambar perempuan di buku
Althair.

Fadil dan Azhar tentu saja merasa penasaran. Selama


ini Althair tidak pernah tertarik pada perempuan. Tidak
satupun dari perempuan yang mendekatinya ia
tanggapi. Mereka tahu Althair tidak pernah mau
berurusan dengan perempuan.

Fadil merebut buku Althair dengan paksa, “Cewe


lo?” tanyanya.

Althair menggelengkan kepalanya dan mencoba


merebut kembali bukunya.

“Kasih tau gue dulu, nanti gue balikin” Fadil


menyembunyikan buku di belakang badannya.

“Bukan siapa-siapa,” ucap Althair mencoba


menyangkal.

“ Al, lo nggak bisa bohongin gue.” Ujar Fasya.


Terlalu jelas untuk tidak mengetahui Althair saat ini
sedang berbohong. Gerak gerik nya terlihat gelisah, dan
juga terlihat suasana hatinya sedang baik, meskipun
Althair tidak menampakkan senyum langkanya.

Althair menyerah kemudian kembali duduk, “ dia


cewe yang gue lihat di taman” ucap Althair jujur,
temannya itu sulit untuk dibohongi, ia tidak bisa
menyangkal lagi.

Fadil mengerling curiga bermaksud bercanda,


“Terus, lo suka?” tanyanya penasaran. Althair bungkam
sebentar, kemudian menjawab, “Mungkin,” mereka
sudah menduga jawaban yang akan dilontarkan Althair.

Azhar terkekeh sekilas merasa lucu melihat


Althair jatuh cinta, “Akhirnya, ya.” Celetuknya ambigu.
Althair mendelik kesal, kemudian membereskan buku
dan beranjak dari tempat duduknya.

“Kemana?” tanya Azhar.

“Kelas” jawab Althair.


Althair menghela nafas, Dosennya terlalu
banyak bicara membuat kesal. Dengan terburu-buru ia
keluar kelas. Terlalu bersemangat hingga lupa
menyimpan kunci motornya. Panik, itu kunci satu-
satunya yang ia miliki.

“Nyari ini?” Althair menoleh belakang, disana


Azhar berdiri membawa kunci motornya sembari
tersenyum membuat Althair semakin kesal.

Althair berjalan menghampiri Azhar dan merebut


kunci motornya.

“Mau kemana? Tumben, biasanya lo diem di


perpus dulu,"

“Pulang” jawab Althair singkat.

“Jangan bohong terus. Lo bisa cerita sama gue,


kalau udah siap,” ucap Azhar kemudian meninggalkan
Althair yang masih mematung. Azhar terlalu peka.


Memang benar suasana hati Althair saat ini
sangat baik. Terlihat jelas di wajahnya, ia sedang
bahagia. Tanpa alasan yang jelas. Ia pun merasa aneh
mengapa bisa sebahagia ini hanya dengan memikirkan
perempuan itu.

Althair tidak pernah merasa sesemangat ini saat


akan bertemu seseorang, tepatnya melihat seseorang
dari kejauhan. Sesuai dugaannya, perempuan itu
memang ada disana, duduk sendirian sembari membaca
buku di bangku taman. Althair tersenyum kecil dan
sangat berharap bisa dekat dengannya, tapi apa daya
dia hanya bisa tersenyum melihat perempuan itu dari
jauh. Althair memutuskan untuk pulang kerumah
dengan hati yang berbunga-bunga.



Sesampainya di rumah Althair bergegas


memasuki kamarnya dan menutup pintu sembari
melempar tas sembarangan lalu menjatuhkan tubuhnya
ke kasur. Ia yang sedang memikirkan perempuan yang
duduk di taman tersentak kaget saat pintu kamarnya
diketuk.

“Den,” panggil Bi Irah.

“Ada apa, Bi?” jawab Althair. Ia beranjak dari


tempat tidurnya kemudian menegakkan tubuhnya.

“Ini bibi bawakan air,” ucap Bi irah.

“Masuk aja, Bi.”

Bi irah membuka pintu kemudian memasuki


kamar Althair dan merasa heran, majikannya itu terlihat
berbeda tidak seperti biasanya. Tanpa sadar Bi Irah ikut
tersenyum, Altair hari ini sedang bahagia.



Malam hari Althair sudah duduk di ruang makan


sembari menunggu makanan siap. Selang beberapa
waktu, orangtua Althair datang.
“Tumben keluar kamar” sindir Ibu Althair.

Althair bungkam, tidak berniat untuk


menanggapi sindiran Ibunya.

Orang tua Althair menaiki tangga, pergi ke


kamarnya untuk mengganti pakaian. Melihat
kesempatan, Althair akan makan malam di kamarnya.
Tidak mau lagi menerima sindiran dari Ibunya.

Namun, ia tidak berhasil. Saat akan membuka


pintu kamar, Ibunya memanggil.

“Al,” panggil Ibu Althair.

Althair menghela nafas kemudian menoleh pada


Ibunya.

“Ibu mau bicara,”



Posisi Althair sekarang berada di ruang makan,


tepat dihadapan kedua orangtuanya. Suasana
canggung, tidak terbiasa makan bersama.
“Al, bagaimana kuliahmu?” tanya Ayahnya
memulai pembicaraan.

“Ya gitu” jawabnya cuek tidak suka dengan topik


pembicaraan Ayahnya.

“Skripsi gimana, ada masalah?” tanya Ibunya.

“Enggak”

“Baru sampai mana?” tanya Ayahnya lagi.

“Baru mulai”

Seketika Ayahnya menghentikan kegiatan


makannya, ia tentu saja marah dengan apa yang
diucapkan anaknya. Karena setahu Ayahnya Althair
sudah kuliah cukup lama.

“Kamu…”

Belum sempat sang Ayah menyelesaikan


pembicaraannya, Althair dengan lancang meninggalkan
ruang makan dan kembali ke kamar membuat Ayahnya
semakin kesal.


EPISODE 4

Telepon Aurora berdering saat ada seseorang


yang menelepon. Ibu! Ibunya menelepon mengatakan
kalau ia akan pulang malam ini dari luar kota. Aurora
bergegas pulang,membereskan rumah dan memasak
sebisanya. Ia ingin memperlihatkan pada ibunya bahwa
dia anak yang mandiri dan baik.

Sesampainya dirumah, Aurora mulai


membereskan bagian-bagian rumah. Ia memasak
dengan bahan yang tersedia di dapur. Rencananya akan
membuat sayur bayam dan bakwan jagung, dan
berharap ibunya menyukainya.
Tepat pukul dua puluh lebih lima belas menit
Ibunya datang.

“Assalamu’alaikum,” salam Ibunya dengan


senyuman hangat seperti biasanya.

“Wa’alaikumussalam, Ma” jawab Aurora sembari


salam

“Besok kita check up jam berapa Ra?”

Entah mengapa Aurora merasa sangat sedih.


Pasalnya bukan itu yang ingin ia dengar dari Ibunya. Di
ekspetasinya ketika ibu datang langsung memeluknya
dan mengatakan jikalau ia merindukannya.
Mengharukan sepertinya.

“Besok pagi jam 9 ya Ma! Mama laper enggak?


Ara bikin sayur bayem loh tapi gatau tuh enak atau
enggak hehe” tawar Aurora.

“Waaaa terimakasih sayangku cantikku Mama


mandi dulu nanti kita makan barengan ya!” ucap Ibu
sembari meninggalkan Aurora.


“Ra, selama Mama pergi kamu ngapain aja?”


tanya Ibu sembari menyuapkan makanannya.

“Baca-baca buku aja di kamar, gimana


masakannya enak?” jawab Aurora mengalihkan topik
pembicaraan.

“Enak, kamu belajar masak dari mana?”

“Ara belajar lewat tutorial di youtube ma.” jawab


Aurora dengan bangga.

“Mama udah selesai makannya, kamu istirahat


aja Mama yang beresin.” titah Ibu Aurora.

“Ara aja yang beresin, Mama istirahat kan baru


pulang.”

“Yaudah, Mama istirahat duluan ya.”


“Ra yuk sarapan, sebentar lagi kita berangkat”

Aurora bingung, harus senang atau sedih. Ia


senang ada ibu yang menemaninya disini, hari ini, tapi
ia sedih mengapa harus ia yang memiliki sel yang rusak
juga merusak, dimana harusnya ia berbagi cerita
dengan ibunya, menghabiskan waktu dengannya, ia
malah diharuskan untuk check up ke Dokter yang
menurutnya itu adalah hal yang menegangkan. Aurora
tidak tahu apa yang akan dikatakan Dokter itu, mungkin
hal buruk atau baik, yang pasti hari ini ia akan
mendapat kabar darinya.

“Bu, Ara pakai baju warna apa ya yang bagus?


Pink kah? Atauu kuning? Atau merah?”

“Setiap baju yang kamu pakai, kalau kamu


cantik bajunya pasti terlihat cantik, warna apapun itu.
Berhubung Ara nya ibu cantik seperti fairytale pasti pake
baju apapun kamu tetap cantik! Yu makan dulu Ra, ibu
bikin telur dan kornet seperti bekal SMA mu setiap hari”


Di perjalanan Aurora hanya diam memikirkan
apa yang akan dikatakan Dokter disana.

“Mikirin apa Ra? kamu takut? Udah gausah


takut, kita ke Dokter kan untuk kamu, yang pasti kamu
harus kuat apapun diagnosa yang Dokter kasih, kamu
harus kuat.”

“Iya Ma, Ara masih takut tapi Ara kuat kok, Ooh
iya Ma, apa Mama hanya mengantarku Check up atau
Mama akan tinggal disini untuk beberapa waktu?”

“Ara kesepian Ma, Ara ingin Mama disini


menemaniku andai Mama tahu itu” ucapnya dalam hati.

“Maaf banget Ra Mama harus kerja lagi masih


banyak yang harus Mama kerjakan disana, maaf ya Ra”

Mendengar itu Aurora merasa sedih, Ibunya


selalu sibuk dengan pekerjaannya, ia pun tahu harus
mengerti bahwa Ibunya bekerja untuk dirinya, namun ia
ingin ibunya bisa menemaninya.


Sesampainya di Rumah Sakit, mereka langsung


mengambil nomor antrian. Setelah masuk ruangan
Dokter menyapaku.

“Selamat siang Ara! Apakabar? Silahkan duduk,


Bu bagaimana perkembangan tentang penyakit nya
Ara? Apa sudah ada kemajuan semenjak check up bulan
kemarin?” tanya Dokter yang selama ini merawat
Aurora.

“Ahhh maaf Dokter saya tanya dulu sama Ara”


jawab Ibu Aurora binngung.

“Lha kok tanya Ara memangnya ibu tidak tahu?”

“Saya sibuk bekerja, Dok. Saya pulang ke


Bandung hanya untuk mengantar Ara check up saja.
Setelah ini pun saya harus langsung bersiap-siap untuk
pergi bekerja kembali.”

“Duh Bu, memangnya di rumah tidak ada siapa-


siapa lagi? Pasalnya untuk saat ini dan mungkin untuk
kedepannya Ara tidak dianjurkan untuk tinggal sendirian
Bu. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan
kepada Ibu.”



“Ra, kamu pengen ada temen di rumah enggak?


Mau sewa pembantu rumah tangga untuk nemenin
kamu di rumah? Kamu kesepian kan?” tawar Ibu Aurora

”Hah? Memangnya kenapa Bu? Enggak perlu


kayanya, Ara udah biasa sendiri nanti malah risih kalau
ada orang lain di rumah. Dokter bilang sesuatu ya sama
Mama?” tolak Aurora.

“Emmm gini Ra, tadi waktu check up Dokter


bilang kalau dalam sebulan ini kamu gak ada
perkembangan, bisa jadi karena kamu banyak pikiran
katanya. Emang iya Ra? Kamu banyak pikiran? Apa sih
yang kamu pikirin? Mama Jadi penasaran?”

”Emmm enggak Ma, Ara suka gabisa tidur dan


itu buat kepala Ara sakit banget sih sampe ga nyaman
tidur di kasur. Terus kalo Ara sedih Ara suka duduk di
taman depan dengerin musik, udah deh.”
“Ra, maafin Mama ya... enggak pernah telpon
kamu malam-malam buat tanyain keadaan kamu. Buat
pembantu rumah tangga coba dipikirin lagi deh yaa..
Mama enggak mau kamu kaya gitu, Mama pengen ada
yang temani kamu.”

“Gimana nanti deh. Mama pergi lagi kapan?

“Lusa Mama pergi sayang. Kamu pengen apa


sebelum Mama pergi?”

“Ara pengen ajak Mama ke taman yang biasa


Ara datengin.. bagusss banget Ma, terus Ara enggak
mau makan di rumah hari ini, bosen tau huhu”

“Siap baginda! Hahahah”

Sebelum Ibu pergi lagi Aurora memutuskan


untuk mengajak Ibunya pergi ke taman yang sering
Aurora kunjungi hanya untuk menunjukkan bagaimana
kegiatannya saat libur atau ketika bosan.

“Ma, kalau Ara enggak ada di rumah cari Ara


kesini aja ya. Ara nyaman banget kalau udah ada disini
sampe Ara lupa waktu kayanya.” Ujar Aurora senang.
“Iyaiya.. rambut kamu udah panjang tuh, mau
dipotong ga?” tawar Ibu Aurora.

“Enggak ah, kalo rambut Ara pendek nanti


telinga sama leher Ara kedinginan. Kan Mama enggak
ada buat meluk Ara jadi Ara harus angetin diri Ara
sendiri.” tolak Aurora merajuk.

Sekilas Aurora melihat wajah Ibunya di bangku


taman, di wajahnya Aurora seperti melihat sebuah
ketakutan, kegelisahan, atau kebingungan. Ada apa ya
kira kira?

“Ma, Mama belum kasih lihat hasil check up ku


bulan ini. Hasilnya sudah Dokter kasih kan?” Deg..
Aurora semakin jelas melihat sebuah ketakutan di mata
Ibunya.

“Ma, bicara saja hasilnya bagaimana?

Tiba tiba saja langit mendung, seperti suasana


hati mereka sekarang. Hujan pun perlahan-lahan turun
ketika Aurora mendengar penyakitnya tak ada kemajuan
malah sebaliknya. Yang lebih naas Aurora harus
mendengar Ibunya mengatakan bahwa ia harus
melakukan kemoterapi. Untuk pertama kali nya Aurora
mendengar kata-kata semenyakitkan itu. Hujan pun

turun semakin deras .




Aurora pergi menuju kamarnya dengan tergesa-


gesa setelah pulang dari taman. Dadanya terasa sesak,
keadannya kacau dan yang bisa ia lakukan hanya
menangis.

Ibunya tentu panik, merasa takut dengan


keadaan Aurora. Berusaha untuk mengetuk pintu kamar
anaknya dan membujuk dengan nada halus berharap
anaknya luluh.

“Ra, buka pintunya, ya? Bicara sama Mama,”

“Ara mau sendiri dulu, Ma.”


EPISODE 5

Aurora tidak mau keluar kamar, ia tidak mau


menemui siapapun bahkan Ibunya yang sebentar lagi
akan meninggalkannya untuk kembali bekerja. Ia masih
belum menerima. Ia masih belum siap. Ia masih belum
bisa berdamai dengan keadaan. Keinginan Aurora saat
ini hanya pergi ke taman untuk menenangkan diri.


Seperti hari-hari sebelumnya, Athair dan teman-
temannya benyak menghabiskan waktu di
Perpustakaan. Berbeda dengan kemarin, saat ini
suasana hati Althair sedang tidak baik. Perdebatan
dengan kedua orangtuanya membuat ia menjadi sangat
murung.

“Al, lo kenapa sih?” tanya Fasya penasaran,


Althair hanya menoleh tidak berniat untuk menjawab.

“Ada masalah?” tanya Fadil selanjutnya

“Gue gak apa-apa” jawab Althair berbohong.

“Kita tau lo sebenernya ada masalah, jangan


pernah mendem sendiri, itu cuma bikin lo tambah
stress.” ucap Azhar menasihati.

“Gue cerita ke kalian mungkin nanti, gak


sekarang.”

“Oke” jawab mereka serempak, tapi inget kita


selalu ada buat lo! Azhar menambahkan.
“Gue pergi dulu ya” ucap Althair setelah
memakai tasnya.

“Mau kemana lo, bentar lagi ada kelas” tanya


Fasya geram.

“Jangan lupa, gue titip absen” tegas Althair.

“Eh Al, gak bisa gitu” protes Fadil dan Fasya,


Althair tidak berniat memberhentikan langkahnya.

“Udah biarin aja, dia butuh waktu sendiri.


Mendingan sekarang kita ke kelas” ucap Azhar
menenangkan.



Sesampai nya di Taman, Aurora duduk dibangku


biasa dekat pohon rindang. Untuk keduakalinya Aurora
melihat laki-laki yang sama pada waktu itu. Bahkan
mukanya pun sama. Masih menandakan sedang
bersedih. Rambutnya berantakan seperti biasanya.
Begitupun bola matanya. Tapi entah darimana Aurora
begitu yakin kalau laki-laki itu orang yang lembut.
Aurora jadi penasaran tentang alasan mengapa laki-laki
itu datang ke Taman kecil seperti ini, karena
kebanyakan laki-laki akan menghabiskan waktu dengan
teman-temannya.

Aurora tidak berani untuk menyapa lebih dulu,


menanyakan kenapa laki- laki itu ada disini, atau apa
dia punya masalah, karena ia sendiri bingung untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya sekarang.
Jadi ia hanya sesekali melirik laki-laki tersebut. Aurora
kembali menyenderkan punggunya pada bangku taman
dan mencoba untuk menenangkan pikirannya.



Lain halnya dengan Althair ia merasa


masalahnya seketika hilang pasalnya ia melihat
perempuan yang sama sedang duduk di bangku Taman.

Saat ini Althair sudah mengambil ancang-


ancang, rencananya tepat hari ini ia akan mendatangi
perempuan itu dan mengajaknya berkenalan. Tapi
usahanya gagal, tiba-tiba ada wanita yang diyakininya
Ibu dari perempuan itu menghampiri dan duduk
disebelahnya. Entah apa yang mereka bicarakan Althair
tidak tahu. Tidak lama setelah itu mereka pergi
menyisakan Althair yang sedang menggerutu gue kalah
cepet.



“Ra, sebenernya Mama gak tega ngasih tau


kamu,” ucap Ibu Aurora sedih. Aurora masih menunggu
Ibunya melanjutkan ucapannya.

“Mama harus tetep pergi, Mama tahu Mama


jahat ninggalin anak yang seharusnya…Mama rawat,
Mama minta maaf tapi Mama janji pulang cepet” ucap
Ibu Aurora sambil menggenggam tangan anaknya.

“Ara ngerti Ma, tapi Ara mohon setiap Ara check


up Mama temenin Ara ya?” pinta Aurora

“Pasti sayang,” ucap Ibu memeluk Aurora.


“Kalau ada apa-apa telpon Mama ya sayang”

Aurora menjawab dengan anggukan dan tetap


memeluk Ibunya.



Setelah sampai di pekarangan rumah, Althair


memakirkan motornya, dengan terburu-buru ia pergi
menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti, saat Bi
Irah melihatnya.

“Udah pulang, Den?” tanya Bi Irah.

“Iya Bi, saya ke kamar.” ucap Athair dingin.

“Iya, Den.” jawab Bi Irah.

Althair segera melangkahkan kakinya kembali ke


kamar. Hari ini ia tidak mau di ganggu oleh siapapun.
Niat awalnya pergi ke taman tadi untuk menghibur diri,
gagal. Ia berfikir mungkin bukan waktunya ia kembali
bertemu dengan perempuan itu.


Althair terbangun dari tidurnya dan segera


melihat jam disampingnya. Sial, jam sudah menunjukan
pukul tujuh empat tiga. Ia akan melewatkan kelas, lagi.
Terlalu malas untuk beranjak dari tempat tidur dan
berniat kembali memejamkan kedua matanya sebelum
terdengar suara Ibu memanggilnya.

“Althair!”

Althair menutup kedua telinganya menggunakan


bantal. Ibunya tidak menyerah, ia membuka pintu
kamar Althair.

Ibu Althair menghela nafas, “Kamu enggak


kuliah?” tanyanya.

Althair masih bungkam, membuat Ibunya kesal.

“Kapan beresnya kalau kamu males kuliah?”

Althair mendengus kesal, sejak kapan ibunya


mengurus hidupnya. Ia tidak suka. Althair segera pergi
ke kamar mandi tanpa menoleh sedikit pun pada
Ibunya.



Pukul delapan lima belas Althair baru sampai di


Kampus dan segera pergi ke kelas untuk menemui
teman-temannya. Ia merasa bersalah karena kejadian
kemarin, mengabaikan teman-temannya dan berbuat
semaunya. Saat memasuki kelas hanya ada Azhar yang
sudah berada disana. Duduk dengan tangan yang sibuk
menulis di buku catatan.

“Al, gue kira enggak akan masuk lagi,” ucap


Azhar.

Althair meletakkan tasnya di atas meja, “Ngapain


juga dirumah,”

“Udah siap cerita?” tanya Azhar.


“Ayah gue tanya tentang skripsi,” ucap Althair
memulai cerita, “Dia marah waktu gue bilang baru
mulai.”

Azhar mengangguk mengerti, “Disini lo juga


harus ngerti maksud Ayah lo, orangtua mana sih yang
mau anaknya gagal, pendapat gue lo harus serius kuliah
meskipun gue tahu lo dipaksa, Ayah lo cuma mau lo
berhasil, Al.”



Aurora segera menyiapkan keperluannya Ibunya


yang akan kembali bekerja. Kalau boleh jujur, ia tidak
ingin ditinggalkan seperti ini, namun apa boleh buat ia
harus mengerti.

“Mama, pulang kapan?” tanya Aurora.

“Besok siang, Ra.” Jawab Ibu Aurora.

Aurora mengangguk sembari tersenyum, hanya


satu hari, namun hatinya masih tidak bisa menerima
ibunya kembali pergi.
Aurora memberikan tas keperluan Ibunya yang
sudah ia siapkan, “Makasih, Ra.” Ucap Ibunya.

“Mama,” panggil Aurora.

Ibu Aurora bergumam sebagai jawaban.

“Hati-hati di jalan,” ucap Aurora.

Ibu Aurora menepuk halus pucuk kepala Aurora,


”Kalau ada apa-apa, hubungan Mama, ya.”

Aurora mengangguk kemudian memeluk erat


Ibunya.

“Mama berangkat, ya.”

Aurora melambaikan tangan saat ibunya


memasuki mobil kemudian menghela nafas dengan
berat, Ia sendiri lagi.



Althair dan teman-temannya pergi ke tempat


billiard. Setelah sebelumnya beberapa kali dibujuk
akhirnya Althair menyetujui untuk ikut.
“Huh...capek gue jadi laper, ada yang bawa
makanan gak?” tanya Fadil.

“Nih gue bawa,” jawab Althair sembari


memberikan satu wadah sandwich pada Fadil, sebelum
teman-temannya bertanya,

“Tadi gue gak sempet sarapan, jadi gue bawa


itu” ucap Althair menjelaskan.

“Ibu lo baik banget, gue aja gak pernah dibuatin


bekal” ucap Fasya.

Raut wajah Althair berubah. “Bukan Ibu gue tapi


Bi Irah, mana ada Ibu gue buatin bekal,” jawab Althair
malas.

“Huss… gak baik ngomong gitu” ucap Azhar.

“Oh iya, gimana hubungan lo sama cewe yang


kemarin lo gambar?” tanya Fadil penasaran.

“Gimana apanya orang gue gak kenal?” Althair


balik bertanya.
“Duh… susah ya ngomong sama lo. Gini ya Al, lo
udh lihat cewe di Taman itu lama masa gak ada
kemajuan sih” ucap Fasya geram.

“Kemarin gue mau samperin dia, tapi keduluan”


ucap Althair.

“Maksud lo ditikung, Al?” ucap Fadil heboh

“Bukan, yang nyamperin dia perempuan


mungkin Ibunya.” jelas Althair

“Gue kira ditikung” ucap Fasya dan Fadil


serempak.

Jam menunjukkan pukul tiga belas lima puluh,


sudah lama mereka berada di tempat billiard.

“Gue duluan” pamit Althair, kemudian beranjak


dari tempat duduknya.

“Kebiasan ya lo, selalu pergi duluan” ucap Fasya


kesal.

“Udah biarin aja,” ucap Azhar

“Mungkin dia mau nemuin cewenya” bisik Fadil


pada Fasya diakhiri kekehan Azhar.
Althair hanya melihat mereka sekilas setelah
mendengah apa yang dibisikkan oleh Fadil



EPISODE 6
Sore hari awan terlihat gelap, namun hal itu
tidak menghalangi niat Althair untuk pergi ke taman.
Setelah pulang dari tempat billiard, ia segera melajukan
motornya menuju taman.

Seperti biasa, Althair hanya memandang Aurora


dari jauh, yang berbeda adalah keadaan Aurora. Tidak
ada lagi senyuman indah dalam wajahnya. Aurora
hanya duduk sembari menatap langit, tanpa buku dan
tanpa mendengarkan musik. Ini tidak biasa.

Althair semakin khawatir saat melihat Aurora


menghembuskan nafasnya dengan berat. Terlihat jelas
keadaan Aurora saat ini sedang tidak baik.

Althair memberanikan diri untuk mendekati


Aurora yang saat ini menunduk sembari memejamkan
matanya. Tidak ada lagi gangguan untuk ia mendekati
Aurora.

Dengan ragu-ragu Althair duduk tepat disebelah


Aurora, namun hal itu sama sekali tidak menganggu
Aurora. Ia kemudian berdehem untuk memecahkan
kesunyian.

Karena hal itu, Aurora membuka matanya


kemudian menoleh ke samping, terkejut melihat ada
seseorang disampingnya. Alisnya terlihat naik, merasa
penasaran dan juga binggung.

“Kenapa masih ada disini?” tanya Althair.

“Hm?” Aurora kembali merasa binggung.

“Kayanya, bentar lagi hujan,” ucap Althair


kemudian mendongkakan kepalanya untuk melihat
langit.

Aurora ikut melihat langit yang saat ini terlihat


semakin gelap. “Entahlah, aku ngerasa lebih tenang
disini,” ucapnya. “Kamu kenapa disini?” lanjut Aurora.

“Entahlah,” jawab Althair. Ia mengalihkan


pandanganya untuk memperhatikan Aurora yang terlihat
lebih manis dari jarak sedekat ini.

“Padahal sebentar lagi hujan, tapi kenapa langit


masih tetap tenang dan indah, ya?” tanya Aurora.
“Aku ingin seperti itu,” ucap Aurora masih
memperhatikan langit. “Meskipun sedang bersedih,
langit tetap tenang sambil menunggu pelangi yang
membawa kebahagian datang.” lanjutnya.

Tiba-tiba raut wajah Aurora menjadi lebih


murung setelah mengucapkan kata-katanya. Ia terlihat
seperti sedang menahan rasa sakit di dadanya, sakit
yang mungkin sudah ia tahan sejak lama, sakit yang
mungkin membuatnya menderita.

“Indah,” ucap Althair saat menatap Aurora,


membuat Aurora balik menatap Althair dengan wajah
yang kebinggungan. “Meski tanpa pelangi, langit itu
akan selalu terlihat indah. Mau tenang atau pun gelisah,
langit selalu indah.”

“Kamu tidak perlu menjadi langit untuk terlihat


indah dan tetap tenang, kamu tidak perlu menunggu
pelangi untuk merasakan bahagia.” ucap Althair tiba-
tiba. Ia sama sekali tidak terpikirkan untuk
mengeluarkan kata-kata seperti itu.

“Kamu itu ya kamu. Kamu itu indah dan kamu


bisa bahagia kapan pun kamu mau. Kalau ada sesuatu
yang menyesakkan, keluarkanlah. Berteriaklah sekeras
mungkin sampai kamu merasa tenang.”

“Lalu,” Aurora menatap Althair dengan serius,


menunggu perkataan Althair selanjutnya.

“Lalu, berbahagialah!” seru Althair.

Aurora terkejut kemudian air matanya terlihat


keluar membasahi pipinya.

“Merasalah bahwa kamu itu sedang bahagia.


Tidak peduli jika langit memandangmu rendah, tidak
peduli jika dunia memperlakukanmu buruk,
tersenyumlah!”

Aurora menyapu bersih air matanya, kemudian


kembali menatap langit. “Kamu benar.” Senyum
indahnya terlihat kembali.

“Aku akan selalu mendukungmu.” ujar Althair


pelan.

Aurora kembali tersenyum dan Althair yakin


senyuman itu ditujukan untuknya. “Terima kasih,” balas
Aurora.
“Kalo gitu, aku pamit dulu ya. Bener kata kamu,
bentar lagi kayanya mau hujan.” pamit Aurora kemudian
beranjak dari bangku taman.

Althair hanya menganggukan kepalanya sebagai


jawaban. Aurora melangkahkan kakinya meninggalkan
Althair.

Althair masih tidak bisa berkutik, ia dengan setia


memperhatikan Aurora yang berjalan semakin menjauh.



Althair pulang ke rumah dalam keadaan bahagia.


Membuat Bi Irah binggung, keadaan Althair seratus
delapan puluh derajat berbeda dengan tadi pagi. Bi Irah
tidak ingin menganggu kebahagian Tuannya sehingga
membiarkan Althair memasuki kamarnya tanpa bertanya
apapun.

Althair melemparkan tasnya sembarangan


kemudian menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur
kesayangannya tanpa menganti pakaian. Ia
menampakan senyum langkanya sembari tidur
terlentang melihat langit-langit kamarnya.

Jantungnya tidak bisa berhenti berdetak dengan


cepat saat berbicara dengan Aurora tadi. Ia sama sekali
tidak terpikirkan untuk berbicara sebanyak itu dengan
Aurora. Semua terjadi begitu saja tanpa direncanakan.

Selama ini, ia belum pernah berbicara dengan


perempuan manapun, selain Ibunya dan Bi irah.
Maksudnya belum pernah ia yang memulai
pembicaraan. Biasanya perempuan lah yang akan
mengajaknya berbicara terlebih dahulu. Aurora adalah
pengecualian.

Althair masih belum bisa melupakan bagaimana


Aurora tersenyum padanya. Senyumnya sangat indah, ia
tidak bisa berpaling sama sekali. Sebut saja Althair
hiperbola, menurutnya senyum Aurora lebih indah
dibandingkan langit.


Sama halnya dengan Althair, keadaan Aurora
tidak jauh berbeda. Ia masih merasa bahagia dengan
pertemuan tadi.

Aurora sadar laki-laki yang mengajaknya bicara


tadi adalah laki-laki yang sering memperhatikannya dari
kejauhan. Ia senang laki-laki itu sekarang berani
mendekatinya. Sekarang ia memiliki teman baru.

Aurora kembali tersenyum saat membayangkan


bagaimana laki-laki itu memberi nasihat padanya. Saat
ini, ia lebih merasa percaya diri berkat perkataan
Althair.

Aurora memasuki kamarnya masih dengan


senyumannya yang belum pudar. Duduk bersandar di
tempat tidurnya dan kembali memikirkan kejadian sore
tadi, dan Aurora baru saja menyadari, ia dan laki-laki
tadi belum berkenalan.


EPISODE 7
Pukul lima empat puluh Althair sedang bersiap-
siap, pagi ini entah kenapa suasana hatinya menjadi
hangat, mungkin karena pertemuan kemarin dengan
sang pujaan. Pertemuan yang tidak pernah
terbayangkan olehnya. Saat itu Althair menjadi orang
yang sangat berani, sungguh menakjubkan.

“Den, ditunggu sarapan sama Tuan dan Nyonya


di bawah” suara Bi Irah tidak mengaganggunya sama
sekali karena hari ini ia sangat senang.

“Iya tunggu, Bi” ucap Althair sembari membuka


pintu kamarnya.

Terlihat orangtuanya sudah menunggu Althair di


ruang makan.

“Mau kemana Al, udah rapi gitu?” tanya Ayah


Althair.

“Kampus, Yah” jawab Althair lantang

Dari kejauhan Bi Irah terkekeh pelan melihat


bagaimana ekspresi Tuan dan Nyonya saat itu.
“Memangnya gak kepagian, Al?” tanya Ibu
Althair.

“Gak kok Bu” jawab Althair sembari mengigit


sandwich yang ia pegang.

Ayah dan Ibunya saling tatap, merasa aneh


dengan sikap Althair saat ini. Biasanya iya akan cuek
saat ditanya oleh kedua orangtuanya. Namun, hari ini
Althair terlihat berbeda

“Ayah seneng kalau kamu setiap hari kaya gini,


semangat dan bersikap hangat sama keluarga.” Ucap
Ayah Althair.

“Iya, Yah” jawab Althair dengan anggukan.

“Al, berangkat ya” pamit Althair pada Ayah dan


Ibunya sembari menggambil tasnya.

“Bi, saya pergi” tidak lupa pamitnya pada Bi


Irah, dijawab dengan anggukan oleh Bi Irah.

Biasanya saat keluar rumah muka Althair terlihat


biasa, berbeda dengan sekarang ia menjadi sangat
ekspresif.


“Zar, Sya” panggil Fadil sembari menatap


seseorang yang sedang diam di sudut Lapang

“ Apaan” jawab Azhar dan Fasya serempak


tetapi pandangannya masih berkutat pada telepon
genggamnya.

“Gue gak salah lihat kan, itu Althair” tanya Fadil

“Mana ada Althair datang jam segini, dia datang


tuh beberapa menit sebelum kelas atau gak telat” timpal
Fasya

“Lo gak percaya, lihat tuh,” sembari tangannya


menggerakan kepala Fasya agar menoleh kearah
Lapangan.

“Wah.. itu bener si Al, tumben banget dia dating


jam segini. Lihat senyum-senyum sendiri lagi” ucap
Fasya tidak percaya.
“Loh, kenapa pada aneh, harusnya bagus lah dia
rajin berarti.” Ucap Azhar sembari melangkah menuju
Lapangan.

Saat Althair sedang menikmati paginya di


Lapangan tiba-tiba tiga orang temannya datang.
Biasanya ia akan kesal tapi berbeda dengan sekarang
Althair menoleh sembari tersenyum. Sungguh
pemandangan yang tidak biasa. Ketiga temannya itu
merasa ngeri dan aneh. Senyuman itu pasti bukan
ditujukan untuk mereka.

“Gue tahu, lo habis ketemu sama cewe itu kan”


tebak Fadil

“Ya, bener dugaan lo” ucap Althair

“Kenapa bisa, gue kira lo gak berani” ucap Fasya


dengan kekehan.

“Niatnya kemarin gue cuma mau liat dia dari


jauh aja, tapi gue lihat kayanya dia lagi ada masalah.”
jelas Althair

“Lanjutin lah jangan setengah-setengan kalau


cerita” protes Fadil
“Ya gue khawatir aja dia kenapa-napa, gue
beraniin diri buat nyamperin dan ajak ngobrol dia.
Ngobrol sama dia tuh asik,” ucap Althair sembari
menatap langit pagi, teman-temannya masih setia
menunggu cerita lanjutannya.

“Tapi gak lama sih,dia pamit soalnya langit udah


mendung”

“Lo ngomongnya dia-dia aja, heran gue” ucap


Fasya kesal. Althair terdiam cukup lama karena ucapan
temannya itu.

“Gue baru inget kalau kita belum kenalan”



Siang ini, pukul empat belas lebih sepuluh


Aurora tengah menunggu kedatangan Ibunya, bisanya
ia akan pergi ke taman tapi hari ini adalah
pengecualian. Selama menunggu ia habiskan dengan
menulis, entalah semua yang ada difikirannya ia
curahkan dengan tulisan. Ia saat ini tidak mempunyai
teman untuk sekedar bercerita.

Ting…ting…ting! Aurora berlari menuju pintu


utama rumahnya dengan semangat. Pasti ibunya yang
datang.

“Assalamu’alaikum,” salam Ibunya

“Wa’alaikumussalam, Ma” jawab Aurora sembari


salam.

“Ara kangen” ucap Aurora langsung memeluk


tubuh Ibunya.

“Mama juga kangen Ara” ucap Ibu sembari


mencium pucuk kepala Aurora.

“Sekarang kita makan yuk, Mama bawa


makanan kesukaan kamu” tawar Ibu pada Aurora

“Yuk, Ma” jawab Aurora dengan anggukan.


Pukul tujuh belas dua puluh, saat memasuki
rumah Althair dikejutkan dengan kehadiran kedua
orangtuanya, tidak biasanya mereka sampai di rumah
sore hari. Althair mendengus kesal, sangat malas untuk
kembali berurusan dengan kedua orangtunya.

“Kenapa baru pulang Al, main dulu?” tanya Ibu


Althair.

“Kamu tuh sekarang sudah semester akhir, gak


baik kalau main-main terus. Gak ada manfaatnya.” Ucap
Ayah Althair.

Althair memilih bungkam tidak mau lagi


membuat masalah. Jika ia menjawabnya urusan akan
sepakin panjang. Ia langsung melangkahkan kakinya
menuju kamar tanpa sedikit pun menoleh atau sekedar
memberi salam pada orangtuanya. Baru saja pagi tadi
orangtuanya bersikap baik, sekarang sudah berubah lagi
fikirnya.


EPISODE 8
Pagi ini Aurora terlihat tidak bersemangat,
mungkin karena hari ini ia dan Ibunya akan pergi untuk
check up ke Dokter. Entahlah berurusan dengan dunia
medis ia sangat tidak suka. Dokter selalu saja mengatur
semua yang di lakukannya, melarang untuk tidak pergi
jauh-jauh, selalu istirahat di rumah, menjaga pola
makan, Aurora bosan dengan semua itu.

“Sudah siap, Ra?” tanya Ibu Aurora sembari


membuka pintu kamar Aurora.

Aurora yang sedang bercermin pun menoleh”


Sudah, Ma”

“Ya sudah, sekarang kita berangkat” ajak Ibu


Aurora.



“Berdasaran pemeriksaan tadi, kita bisa lihat


bahwa kondisi Ara itu tidak membaik, untuk itu tentang
kemoterapi saya harap Ara menerimanya, semua
dilakukan agar untuk kebaikannya” jelas Dokter
“Bagaimana Ra, apa kamu setuju?” tanya Ibu
pada Aurora.

Aurora masih diam, bingung akan menjawab


apa. Aurora bukannya tidak mau tapi lebih tepatnya
takut, ia tahu kalau semua itu berisiko, bisa jadi sembuh
atau sebaliknya.

Aurora menghembuskan napasnya dengan


berat, berharap keputusan yang diambilnya itu bernar.

“Ara setuju, Ma” ucap Aurora lemas.

“Baik, untuk jadwalnya nanti pihak Rumah Sakit


akan melakukan kemoterapi pada Ara setiap tiga
minggu sekali, semoga Ara segera sembuh” jelas
Dokter.



Althair, Azhar dan juga Fasya sedang menunggu


Fadil di sebuah café dekat Kampus. Tidak bisanya Fadil
membuat mereka menunggu seperti ini.
Drrtt… drrtt… telefon Fasya berbunyi. Fasya
langsung mengangkat telfonnya.

“Halo..lo di mana sih Dil, lama banget kita udah


nunggu dari tadi.” ucap Fasya nyerocos.

“Bantuin gue, kaki gue kayanya patah nih Sya,


sakit banget.” ucap Fadil kesakitan.

“Lo kenapa, di mana sih Dil” ucap Fasya panik

Althair dan Azhar saling melirik kebingungan, kenapa


Fasya sangat panik. Apa yang terjadi pikir mereka.

“Gue di jalan Kebangsaan, lo cepetean ke sini


jalanan sepi jadi ga ada yang bantuin gue” jelas Fadil.

“Ok, gue sama yang lain ke sana, inget lo jangan


kemana-mana” perintah Fasya

“Lucu ya lo, gimana gue bisa pergi berdiri aja


susah” ucap Fadil kesal sembari menutup panggilannya.

“Fadil kecelakaan, kita harus cepat bantuin dia,


di sana gak ada orang jadi dia sendirian” jelas Fasya.

“Ok, pake mobil gue aja, lo Al pake motor


sendiri” ucap Azhar
Mereka bergegas pergi ke tempat Fadil
kecelakaan. Perjalanan tidak terlalu lama karena jarak
café ke jalan Kebangsaan tidak terlalu jauh.

Dari kejauhan mereka bisa melihat kaki Fadil


masih tertindih motornya. Cepat-cepat teman-temannya
itu membantu Fadil masuk kedalam mobil Azhar dan
langsung membawanya ke Rumah Sakit.



Sesampainya di loby mereka panik dan mencari


petugas agar cepat menangani temannya itu. Setelah
menaikkan Fadil ke bangsal, petugas segera
mendorongnya ke ruang rawat untuk mendapat
perawatan.

Althair dan temannya menunggu di depan ruang


rawat Fadil dengan khawatir.

“Gue telfon Ibunya kali ya” tanya Azhar.


“Ya udah telfon aja, tapi bilang ke Ibunya jangan
khawatir” ucap Althair, dijawab anggukan Azhar sembari
menjauh dari ruang rawat untuk menelfon Ibunya Fadil.

Tidak lama Dokter pun keluar, mengatakan


bahwa kecelakaan yang dialami Fadil tidak terlalu parah
sehingga kondisinya saat ini baik-baik saja, tapi
beberapa hari kedepan Fadil harus menggunakan
tongkat untuk membantunya berjalan.

Dokter memperbolehkan mereka untuk masuk


ke ruang rawat. Di sana mereka melihat keadaan Fadil,
Fasya ingin sekali tertawa karena biasanya Fadil tidak
bisa diam tapi sekang ia harus istirahat dibangsal
seharian.

“Ini sakit gak?” tanya Fasya sembari memegang


kaki Fadil yang diperban.

“Aww.. gila ya lo, ini tuh masih sakit malah


pegang-pegang sembarangan.” Jawab Fadil mengaduh.

“Oh iya Dil, tadi gue udah telfon Nyokap lo kalau


lo kecelakan, tapi tenang gue suruh dia jangan
khawatir” jelas Azhar.
“Ok, makasih ya. Gue udah ngerepotin kalian”
ucap Fadil.

“Santai aja kali Dil, kita tuh udah lama bareng-


bareng jadi lo gak perlu sungkan” jelas Althair.

“Gue laper, anter gue ke kantin yuk, Al” pinta


Fasya.

Althair dan Fasya pun pamit untuk pergi ke


kantin. Jarak ruang rawat ke kantin itu tidak terlalu
jauh, maka dari itu Althair menyanggupinya dan soal
laparnya Fasya itu tidak bisa di tahan jadi terpaksa
Althair meng-iyakan ajakannya.

Setibanya di kantin, Fasya banyak sekali


memborong makanan. Entahlah perutnya itu pasti perut
karet tapi itu semua tidak berpengaruh pada tubuhnya,
badannya tetap proposional meskipun senang sekali
makan.

Althair duduk di bangku kantin, sambil


menunggu acara belanjanya Fasya selesai.
Pendangannya menyapu seluruh sudut kantin dan
terpaku pada lorong karena di lorong itu ada Aurora
yang ia sukai sedang bersama Ibunya. Untuk apa dia
ada disini, apa dia sakit pikirnya penasaran.

“Al…Al.. lo denger gue gak sih?” ucap Fasya


sembari menepuk pundak Althair.

“Eh…iya, udah selesai?” tanya Althair

“Dari tadi, gue panggil-panggil lo, malah


ngelamun ada apa sih?” tanya Fasya penasaran.

“Ga..gak ada apa-apa, ya udah yuk balik” jawab


Althair gelalapan. Mereka pun kembali ke ruang rawat.

Berhubung orangtuanya Fadil datang ke Rumah


Sakit, Althair dan temannya pamit karena hari juga
sudah sore. Ia melewatkan satu hari tidak mengunjungi
taman karena Fadil kecelakaan, kalau pun dia datang ke
taman kemungkin ia tidak akan bertemu dengan Aurora.


EPISODE 9
Waktu terasa cepat berlalu, baru saja kemarin
Aurora merasa tidak sendirian, Ibunya dengan setia
mengantar dan menunggu dirinya berobat di rumah
sakit. Namun, hari ini Aurora kembali merasakan
kesepian. Di tinggal kembali oleh Ibunya bekerja.

Dua puluh empat jam tidak cukup untuk


mengobati rasa rindu Aurora pada Ibunya. Jika boleh
menngungkapkan lagi ia ingin Ibunya selalu berada di
sampingnya kapan pun.

Rasanya terlalu lama Aurora terdiam setelah


Ibunya pergi berkerja. Akhirnya, ia memutuskan pergi
ke taman untuk kesekian kalinya.

Menurut Aurora, Taman adalah tempat


ternyaman yang ia temukan selama hidupnya. Tempat
yang menjadi saksi kebahagiannya dan juga tampat
yang menjadi saksi kesedihannya.

Seperti biasa Aurora membawa Novel, MP3, dan


Earphone kesayangnnya. Ia mendudukan diri di bangku
tepat di bawah pohon rindang kemudian memasangkan
Earphone yang sudah tersambung dengan MP3 di kedua
telinganya, dan membuka novelnya yang sudah ia baca
hampir seratus halaman.

Cuaca hari ini sangat baik, tidak terlalu panas


dan juga tidak hujan. Di dukung suasana itu Aurora pun
terlarut dengan kegiatannya saat ini.



Sampai saat ini Althair masih merasa penasaran


dengan yang dilihatnya kemarin di Rumah Sakit. Ia tidak
mungkin salah lihat, matanya masih normal dan ia
dengan jelas tahu bahwa perempuan yang ia lihat
kemarin adalah Aurora.

Tekadnya sudah bulat sejak kemarin, ia akan


menemui Aurora, lagi. Ia tahu betul Aurora pasti berada
di taman.

Firasatnya memang benar, Aurora seperti biasa


duduk di bangku yang sama. Althair tersenyum tipis
ketika melihat Aurora yang bersenandung kecil
menikmati lagu kesukaannya, mungkin.

Dengan keberaniannya, Althair kembali


menghampiri Aurora, yang berbeda ia meminta izin
terlebih dahulu untuk duduk disebelah Aurora.

“Boleh duduk disini?” tanya Althair.

Aurora terlonjak kaget, ia segera melepas


Earphone di telinganya. “Hm? Oh, boleh.” ucapnya
sembari tersenyum manis.

Althair ikut tersenyum, kemudian mendudukan


diri di samping Aurora. Ia masih belum terbiasa melihat
senyum manis Aurora dari jarak dekat seperti ini,
jantungnya masih berdetak dengan cepat, tidak bisa
diajak berkompromi.

Althair membuka tas miliknya dan sibuk


merogoh mencari sesuatu yang sebelumnya ia beli
dekat kampus tadi. Mata Aurora terus mengikuti gerak-
gerik Althair.

“Ini,” ucap Althair sembari menyodorkan satu


batang coklat.
Aurora mengernyit binggung. “Buat aku?”
tanyanya pelan, telunjuknnya menunjuk dirinya sendiri.

Althair menganggukan kepala nya. Sebenarnya


ia ragu memberikan coklat pada Aurora. Ia takut Aurora
merasa aneh dengan sikapnya yang mungkin terlalu
cepat. Takut Aurora merasa risih.

Aurora kembali menampakan senyumnya


kemudian meletakkan novel yang masih ia pegang ke
samping kirinya dan menerima coklat pemberian Althair.
“Makasih,” ucapnya.

Althair masih terlarut dengan pikirannya, tidak


tahu harus mengatakan apalagi. Aurora pun begitu
masih bungkam merasa canggung, ia masih
memandangi coklat pemberian Althair.

“Aurora,” ucap Aurora tiba-tiba, menyodorkan


telapak kanannya.

Saat ini Althair lah yang terkejut dengan


perkenalan tiba-tiba dari Aurora. Sejak tadi ia
memikirkan bagaimana cara berkenalan, namun Aurora
lebih dulu memperkenalkan diri.
Althair menyambut telapak tangan kanan Aurora
dengan telapak tangan kanan miliknya. “Althair,”

Tanpa diperkirakan tiba-tiba saja hujan turun.


Padahal cuaca tadi sangat baik untuk sekedar duduk di
bangku taman.

Aurora panik begitu pula dengan Althair. Aurora


segera beranjak dari tempat duduknya. Althair
mengikuti Aurora berdiri dan segera menarik tangan
Aurora untuk berlari menuju tempat teduh.

Althair membawa Aurora ke saung yang masih


berada di taman, tidak terlalu jauh dari bangku yang
tadi mereka duduki.

Keduanya belum sadar sepenuhnya, masih


melihat bagaimana hujan itu turun tanpa melepaskan
genggaman tangan mereka.

Aurora tersadar dan dengan canggung mencoba


melepaskan tangannya dari Althair. Althair pun tersadar
dan segera melepaskan.

“Maaf,” ucap Althair merasa tidak enak.


Ini pertama kali bagi Althair memegang tangan
perempuan, meskipun tidak sadar. Tadi ia hanya reflek
berniat untuk menghindari hujan.

Aurora mengangguk canggung, ini juga pertama


kali baginya ia berpegangan tangan dengan laki-laki.

Althair memperhatikan Aurora yang sedang


memandang hujan dengan wajah serius dan beralih
pada pada rambut Aurora yang terlihat basah karena
hujan.

Secara tiba-tiba Althair membalikkan badannya


menghadap Aurora kemudian maju selangkah lebih
dekat dan yang membuat Aurora terkejut adalah Althair
memegang rambutnya.

Aurora dengan reflek ikut menghadap Althair, ia


memperhatikan bagaimana Althair berusaha membuat
rambutnya kering. Meskipun tidak tahu dengan cara itu
apakah bisa kering atau tidak.

“Mama kamu marah kalau kamu kehujanan?”


tanya Althair masih sibuk mengeringkan rambut Aurora.
Aurora menggelengkan kepalanya. “Mama engga
di rumah,” jawabnya.

“Kemana?” tanya Altahir, lagi.

“Kerja,”

Althair mengangguk mengerti kemudian


menyudahi kegiatannya. Tangannya turun kemudian
menatap tepat pada kedua mata Aurora.

Aurora pun ikut terkunci, tidak bisa berkutik


sama sekali saat di tatap se-intens itu oleh Althair.
Jantungnya berdetak sangat cepat. Ia segera
mengalihkan pandangnnya kemanapun.

Kemudian Althair pun mundur satu langkah dan


tidak lagi menatap Aurora, beralih menatap ke arah lain.

Keduanya sama-sama salah tingkah.


EPISODE 10
Drrtt… drrtt… telfon Aurora bergetar tanda ada
pesan masuk.

Ahh, Jasmine! Yaampun kemana saja orang itu! Pikir


Aurora

“Halo? Dengan siapa dimana?” sapa Aurora.

“Apakah ini customer MCD?” jawab Jasmine


bercanda.

“Hahahaha kamu! Kemana aja, gila sibuk banget


sih!” ucap Aurora senang.

“Aku mau kerumah nih, kangen” ucap Jasmine


dengan suara seperti anak kecil.

“Ayok sini, rumahku gak pindah kemana-mana


kok hahaha”



Sesampainya Jasmine di rumah Aurora, ia


langsung memeluknya. Dari dulu, Jasmine memang
selalu menjadi orang pertama yang khawatir tentang
keadaaan Aurora.

“Aku bawa lumpia basah dari kantin Bu Isah nih!


Enaknya bukan maen. Sini coba, makan yang banyak
ya.” pinta Jasmine.

“Ampuuun deh masih aja tau makanan


kesukaanku hahaha” ucap Aurora bahagia.

“Ohiya aku anak sastra Indonesia nih.” ujarnya


menyombongkan diri.

“Wih keren banget kamu! Selamatt” ucap Aurora


sembari menyodorkan telapak kanannya, Jasmine
menyambut uluran tanggan Aurora dan terkekeh kecil.

“Kamu masih suka nulis cerita pendek ga Ra?


tanya Jasmine

“Masih-masih, ada apanih?” jawab Aurora

“Aku tuh dapet tugas bikin cerpen, tapi harus


fiksi aku bingung banget Raa aaaa pusinggg huhu” ucap
Jasmine sembari tangannya mengacak-acak rambutnya.
“Emmm kamu masih inget ga cerpen yang aku
bikin pas SMA?” tanya Aurora dan menyudahi kegiatan
makannya.

“Gilaaa yakali aku inget kan banyak banget Ra.”

“Sang peri?” tanya Aurora, takut temannya lupa.

“Ah! Ituuuu aku inget sih, rumah jamur kan?”


jawab Jasmine semangat.

“Iyaa, kalo kamu mau, kamu bisa pake itu. Tapi


ga gratis ya, kamu harus nginep disini malem ini. Oke?”

“Oke banget sistah!”

Aurora merasa senang, karena Jasmine akan


menemaninya walau hanya satu malam. Mereka bisa
banyak berbincang.

“Ra, mana cerpennya? Aku harus salin sekarang,


soalnya aku harus analisis juga” ucap Jasmine.

“Aku gak mau ya bantuin analisis nya”

“Iyaaaaa bu bos”
“Ya udah nih” ucap Aurora sembari
menyodorkan buku ceritanya, Jasmine pun mulai
membaca kembali cerita yang dulu pernah ia baca.

Di sebuah rumah jamur, ada seorang gadis… dia


seperti elf tapi punya sayap seperti Peri. bening… dan
berkilauan.

Suatu hari sayap itu rusak dan dia tidak bisa


terbang lagi.

Kemudian ada seorang elf lain datang ke rumah


jamur, mereka berbincang tentang sayap itu.

"bangsa elf seharusnya tidak punya sayap, tapi


kamu punya dan seorang peri tidak punya badan
seperti kamu.. sayapmu berharga.. jika sayapmu adalah
sayap seorang Peri.. Maka sayapmu tak bisa pulih..
mungkin kamu harus tanya Papa Edd"

"Dan kau harus tau bahwa di hutan terdalam


ada goblin.. mereka mencari yang -berharga- dan
mengubah aura di sana"

Seharusnya sang gadis pergi secepat yang dia


bisa.. Karena dengan berjalannya waktu, sayap nya
yang rusak akan berubah warna jadi hitam yang berarti
kematian dan itu bukan hal yang baik. Karena dia
harus pergi dari rumah jamur jika sayap nya berubah
warna.

elf lain berkata sang gadis punya 2 pilihan...

1. Dia pergi temui Papa Edd untuk tau bagaimana


caranya sayapnya pulih

2. Melepas sayapnya agar para goblin tidak masuk


terlalu jauh melewati perbatasan hutan terdalam dan
datang ke rumah jamur

keduanya pilihan yg sulit dan berat.

Akhirnya sang gadis memilih pergi ke hutan


terdalam dan "sang penjaga" membuat sebuah tanda di
punggung sang gadis, dengan sebuah mantra. Mantra
agar sang gadis ingat dari mana dia berasal dan
kemana dia harus kembali.

”lantunan nada kegelapan akan mengantarmu melewati


semuanya
kau akan kembali saat semua tujuanmu tercapai

kau harus kembali untuk menjadi yang paling berharga


dan untuk yang paling berharga

untuk setiap bunga sakura yang bermekaran

untuk setiap kristal yang bersinar

dan untuk setiap lantunan nada yang selalu


menemanimu

untuk mereka yang sangat indah

untuk mereka yang berharga

dan untuk mereka yang menjadi alasanmu untuk


kembali"

Seketika sayapnya berubah menjadi Hitam dan


sang gadis pergi ke hutan terdalam memakai jubah
yang sebelumnya di hadiahkan oleh elf..

"Sang penjaga" tidak bisa menjalankan


perannya sebagai penjaga. Karena sang penjaga hanya
bisa diam di perbatasan antara rumah jamur dan real
life. Sang penjaga hanya bisa berusaha membuat sang
gadis ingat kemana dia harus kembali denga bantuan
"yang paling berharga"

Semakin jauh sang gadis berjalan di hutan,


semakin gelap, dingin, sakit, gila. Dia semakin lupa
siapa dirinya, lupa apa tujuannya dan lupa untuk apa
dia kembali.

Tapi sang gadis bisa mendengar suara sang


penjaga meski sangat samar "Jaga duniamu"

"selama dia hidup aku berterimakasih"

"kalian sangat berarti"

Dia ingat bahwa dia harus kembali, ia punya


janji untuk kembali. Tapi tak ingat untuk apa kembali
dan untuk siapa.

Tiba-tiba seseorang datang, dia cantik memakai


sebuah mahkota berwarna hitam menyeramkan untuk
ukuran seorang elf.

"Sayapmu berharga, tukarkan itu dengan


kehidupan. Kau harus kembali kan? kau butuh
kehidupan. Tukarkan itu, aku akan pergi dari sini
setelah kau berikan sayapmu. Aku berjanji demi
lantunan nada kegelapan yang membawamu &
membawaku ke Tempat ini"

Setelah itu.... sang gadis memberikan sayapnya.


Karena dia harus "kembali" ke kehidupan.

Kamu tau.. gadis itu tersesat di hutan yang


kelam. dia bisa saja tersesat selamanya di sana dan tak
kembali. "kematian" Tapi ada yang memaksanya untuk
tetap kembali ke kehidupan. "sesuatu yang berharga"
untuk hidupnya..

Precious things..

Kamu punya "sesuatu yang berharga" juga yang


harus kamu jaga disini dan belum saatnya kamu masuk
ke hutan kematian.

Setelah Jasmine selesai membaca, ia mulai


menganalisis ceritanya. Jasmine mengatakan bahwa ia
tahu istilah-istilah yang Aurora pakai.

“Ra, waktu SMA aku gak ngerti sama apa yang


kamu tulis, tapi sekarang aku ngerti sama apa yang
kamu maksud di ceritanya, aku buktiin ya, Ra” jelas
Jasmine sembari membetulkan posisi duduknya jadi
menghadap Aurora.

“Ok, boleh. Aku dengerin” ucap Aurora

“Jadi di ceita ini, maksud dari rumah jamur itu


alam semesta kan? sayap rusak itu kesehatan kita, terus
Papa Edd itu Dokternya, selain itu ada goblin yang
berarti hawa nafsu kita, yang berharga di cerita ini
maksudnya jiwa kita, terakhir ada hutan terdalam
adalah alam halusinasi. Benar kan?” jelas Jasmine
panjang lebar, tersenyum bangga dengan apa ia
katakan.

“Seratus buat kamu, akhirnya ada juga yang


ngerti cerita aku” ucap Aurora senang.

“Makasih ya, Ra udah mau bantu aku” ucap


Jasmine sembari memeluk tubuh Aurora.


EPISODE 11

Matahari bersinar terang pagi ini dengan indah.


Hari ini Althair tidak ada kelas. Biasanya ia akan
menghabiskan waktu untuk tidur seharian. Namun, kali
ini berbeda, ia akan pergi ke taman untuk kesekian
kalinya. Tidak perlu di jelaskan lagi Althair mau apa
kesana.

Althair bangkit dari tidurnya menegakkan


badannya kemudian diam mengumpulkan
kesadarannya. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya
dan memasuki kamar mandi.

Tidak membutuhkan waktu lama, Althair sudah


keluar dari kamar mandi dan telah mengenakan pakaian
casual nya dengan rapi,
Althair segera keluar dari kamarnya dan melihat
Bi Irah yang sedang menyiapkan sarapan. Sialnnya,
orangtua Althair ada disana, duduk rapi di ruang makan.
Ia menghela nafas sebentar, kemudian dengan berani
melewatkan ruang makan tanpa menoleh sedikit pun
pada orang tuanya.

“Al!”

Althair tahu betul siapa yang memanggilnya


dengan suara berat dan tegas. Tanpa mempedulikan
panggilan itu Althair keluar rumah tanpa takut.



Althair duduk di bangku taman yang biasa di


duduki oleh Aurora. Namun saat ini tidak ada Aurora
disana. Mungkin hari ini Aurora sedang bersama ibunya,
pikir Althair.

Althair masih menunggu kedatangan Aurora.


Hampir satu jam, ia masih belum melihat tanda-tanda
keberadaan Aurora. Ia beranjak kemudian
melangkahkan kakinya untuk kembali kerumah.
Langkahnya terhenti saat mendengar suara lembut yang
memanggil namanya.

“Althair!”

Althair segera menoleh ke arah suara. Ia melihat


Aurora yang berjalan menghampirinya dengan tangan
yang melambai menyapa.

Althair membalas dengan tersenyum. Ia senang


Aurora masih mengingat namanya.

“Dari tadi disini?” tanya Aurora.

Althair menggelengkan kepalanya. “Enggak,”


jawabnya bohong. Tidak mau membuat Aurora merasa
tidak enak.

“Mama kamu ada?” tanya Althair takut tiba-tiba


Ibu Aurora datang.

“Enggak, kenapa?”

Althair menggaruk kepalanya yang tidak gatal.


Binggung, bagaimana cara mengajak Aurora. “Mau
ikut?”


Aurora turun dari motor Althair kemudian


berusaha membuka helmnya namun ia tidak bisa.
Althair yang menyadari itu segera membantu
membukanya kemudian melepaskan helm Aurora.

Aurora merasa takjub setelah sampai di kampus


Althair. Ia tidak pernah membayangkan akan menginjak
tempat ini, kampus impiannya, dulu.

Althair telah memarkirkan motornya kemudian


menghampiri Aurora yang masih mengedarkan
pandangannya. “Kenapa?” tanyanya.

Aurora menjawab hanya dengan gelengan


kepala kemudian mengalihkan pandangannya pada
Althair.

“Mau ke perpustakaan?” tawar Althair.

Aurora tentu saja mengangguk bahagia.




“Tunggu disini, aku beli minum.” ucap Althair


kemudian pergi meninggalkan Aurora.

Setelah Althair pergi, Aurora beranjak dari


tempat duduknya untuk mencari buku. Setelah
menemukan buku yang dicari, ia kembali ke tempat
duduknya.

Saat sedang asyik membaca, tiba-tiba tiga orang


laki-laki mendekat kemudian menyimpan tas diatas
meja dan duduk mengelilinginya, membuat Aurora
merasa sedikit takut.

Tiga orang laki-laki itu adalah Fadil, Fasya, dan


Azhar yang juga merasa aneh saat ada perempuan yang
menduduki tempat yang biasa Althair tempati.

“Maba?” tanya Fadil pelan pada kedua


temannya.

Fasya dan Azhar menggeleng tidak tahu.


Althair yang baru kembali berdecak sebal saat
melihat ketiga temannya yang sibuk berbisik sembari
menatap Aurora. Ia tahu Aurora merasa tidak nyaman.

Althair menghampiri Aurora dan memberikan


minuman yang ia beli kemudian menarik Fasya yang
duduk tepat dihadapan Aurora. Fasya mengalah dan
duduk di samping Fadil.

“Makasih,” ucap Aurora.

Mata ketiga temannya itu sukses terbuka lebar.


Tidak mempercayai apa yang baru saja mereka lihat.
Althair membawa seorang perempuan.

“Al, pacar lo?” tanya Fasya.

Althair menggelengkan kepalanya.

“Perempuan yang lo cer—”

Althair dengan sengaja melempar sedotan


kearah Fadil yang lansung ditepis.

Fadil berdecak, “Sok galak, nyampah lagi,”

“Kenalin Azhar,” sapa Azhar sembari


mengulurkan telapak tangannya.
“Auro—”

Belum selesai dan belum sempat membalas


uluran tangan Azhar, Althair segera menepis tangan
Azhar membuat Azhar kembali melongo.

“Aurora namanya,” ucap Althair


memperkenalkan.

“Gue tanya dia, bukan lo Al,” ucap Azhar.

Althair tidak mempedulikan perkataan Azhar.

“Cuma kenalan aja gaboleh, protektif banget ,


pacar lo aja bukan.” lanjut Azhar.

Aurora hanya diam, tidak tahu harus berbuat


apa.

Ide jahil muncul di otak Fadil, ia mendekati


Aurora dan berpura-pura akan membisiki sesuatu.
Sebelum semua itu terjadi Althair berdiri dan segera
menarik Aurora menjauh dari teman-temannya
kesabarannya sudah habis. Ketiga temannya tertawa
lepas merasa lucu melihat Althair seperti itu.


Posisi Althair dan Aurora saat ini berada di


kantin, tepatnya di meja paling ujung yang jauh dari
keramaian.

“Maafin mereka,” ucap Althair.

Aurora mengangguk sekilas kemudian


tersenyum.

“Mau makan? Atau mau beli minum? Minuman


tadi ketinggalan,” tawar Althair.

“Enggak usah,” tolak Aurora.

Kemudian keduanya bungkam sesaat dan Aurora


kembali mengeluarkan suaranya.

“Althair,” panggil Aurora.

Althair mengalihkan pandangnnya pada Aurora


kemudian bergumam sebagai jawaban.

“Kamu semester berapa?” tanya Aurora.

“Tujuh,” jawab Althair singkat.


“Asik, ya. Bisa pergi ke kampus, ketemu temen-
temen,” ucap Aurora sedikit murung.

Althair hanya tersenyum tipis. Hal yang


dikatakan Aurora tidak semuanya benar. Ia sama sekali
tidak merasa bahagia berada dikampus.

“Kamu enggak kuliah?” tanya Althair.

Aurora mengelengkan kepalanya lemah.

“Kenapa?”

“Mama enggak ngebolehin,” jawab Aurora pelan.

Althair merasa menyesal menanyakan hal itu


saat melihat wajah Aurora yang berubah menjadi sedih.
Ia merutuki mulut bodohnya.

Althair kembali teringat dengan kejadian


beberapa hari yang lalu, saat ia melihat Aurora di rumah
sakit. Ia merasa penasaran dan akan menanyakannya.

“Aurora, kemarin lusa aku lihat kamu di rumah


sakit,” ucap Althair ragu.

Aurora menegak ludahnya gugup. Bagaimana


bisa Althair tahu itu.
“Kamu sakit?” tanya Althair pelan.

Aurora mengelengkan kepalanya cepat.


Berusaha menyangkal. Ia tidak mau Althair tahu.

“Mama aku bentar lagi pulang, bisa anter aku?”

Althair mengangguk kemudian beranjak dari


tempatnya membuat Aurora menghela nafas lega.


EPISODE 12

Pukul sembilan belas lebih dua puluh, Althair


keluar dari kamarnya dengan terpaksa. Lima belas
menit yang lalu kedua orangtuanya pulang bekerja dan
Ayahnya menyuruh Althair untuk ke ruang keluarga.

Althair dengan malas duduk tepat dihadapan


Ayahnya. Ia tahu betul apa yang akan dilakukan oleh
Ayahnya. Terlihat jelas pada raut wajah Ayahnya yang
tidak bersahabat.

“Kemarin kemana?” tanya Ayahnya datar.

“Kampus,” jawab Althair jujur.

“Bukannya kamu enggak ada kelas?”

Althair menghela nafas, ia tidak topik


pembicaraan Ayahnya yang selalu itu-itu saja.

“Ayah tanya jawab!” bentak Ayah Althair.

Althair masih bungkam, terlalu malas meladeni.

“Ayah selama ini biayain kamu sekolah biar


kamu jadi anak baik, bukan jadi anak kurang ajar kaya
gini,” ucap Ayahnya marah.

“Sampai kapan Ayah mau tahu urusan saya?”


tanya Althair pelan.

“Ayah hanya mau kamu sukses,”

Althair menatap tajam Ayahnya. “Sukses? Ayah


mau saya sukses untuk apa? untuk pamer sama temen-
temen Ayah?” sarkas Althair.
Althair memejamkan matanya sebentar mencoba
menahan amarahnya. “Ayah sadar selama ini hanya
mementingan keinganan Ayah?” tanyanya. “Ayah mau
saya sukses bukan untuk masa depan saya tapi Ayah
enggak mau derajat Ayah turun karena Anaknya gagal.”
Lanjutnya.

Ayah Althair bungkam karena perkataan anaknya


yang bisa dibilang kasar dan tidak sopan.

“Ayah terlalu ikut campur sama hidup saya. Saya


enggak suka.”



Althair terbangun dari tidurnya dengan keadaan


badan yang pegal-pegal. Kemarin setelah berbicara
dengan Ayahnya, ia masuk ke kamarnya kemudian
melemparkan barang-barang yang berada didekatnya
untuk melampiaskan kekesalan.
Mata Althair mengernyap beberapa kali.
Kepalanya masih belum bisa berfikir rasional. Ia
membutuhkan penyegaran.

Althair berakhir di taman untuk menyegarkan


pikirannya. Berharap Aurora datang dan bisa
membuatnya melupakan semua masalah, meskipun ia
tidak memiliki janji apapun dengan Aurora.

Satu jam berlalu, Althair tidak menemukan


tanda-tanda keberadaan Aurora. Namun, ia masih
bertekad untuk menunggu.

Akhirnya Althair menyerah setelah menunggu


selama empat jam. Aurora sepertinya memang tidak
akan pergi ke taman. Althair memutuskan untuk pulang
kerumahnya.



Ini adalah hari kedua Althair pergi ke taman


untuk bertemu dengan Aurora. Namun, lagi-lagi Aurora
tidak ada disana. Taman terlihat sepi dan
membosankan.

Althair merasa penasaran dan binggung kenapa


Aurora tidak seperti biasanya yang selalu menghabiskan
waktunya di taman.

Althair tidak memiliki kontak yang bisa


menghubungi Aurora, ia pun tidak tahu tempat tinggal
Aurora. Saat itu, Althair tidak mengantar Aurora pulang
sampai rumah karena Aurora melarangnya.



Puncaknya, hari ini. Hari ketiga Althair tidak bisa


menemukan Aurora. Jujur, ia merasa khawatir dan
gelisah. Perasaannya tidak bisa tenang, takut terjadi
sesuatu pada Aurora.

Althair menepuk kepala dengan tangannya, baru


sadar dan ingat. Ia segera menaiki motornya kemudian
melajukan dengan kecepatan tinggi.
Althair sudah sampai di Rumah sakit, dengan
tergesa-gesa menaiki lift agar cepat sampai di lantai
tiga. Tempat dimana ia pernah melihat Aurora bersama
Ibunya.

Althair mengedarkan pandangannya untuk


mencari Aurora. Sial, ia tidak menemukannya.

Althair membalikkan badannya dan


melangkahkan kakinya untuk kembali. Langkahnya
terhenti, mencoba lebih fokus untuk melihat dua
perempuan yang sedang berjalan mendekat, yang tidak
lain adalah Aurora dan Ibunya.

Althair mencoba bersembunyi, ia tidak mau


ketahuaan berada di sini oleh Aurora. Ia merasa sangat
khawatir melihat Aurora yang berjalan sembari
menunduk lemas. Tidak sabar untuk menanyakan kabar
Aurora.

Meskipun Althair tahu saat ini Aurora tidak baik-


baik saja.


Kembali berada di taman, namun saat ini berada
di taman Rumah sakit. Berdiri berhadapan dengan
Aurora yang menundukan kepalanya. Althair berhasil
membawa kabur Aurora dengan susah payah.

Althair ingin sekali segera merengkuh badan


Aurora yang semakin kecil. Namun, amarahnya lebih
mendominasi.

“Tiga hari aku nyari kamu,” ucap Althair pelan.

“Kamu tahu aku khawatir?” lirih Althair membuat


Aurora merasa bersalah.

“Althair, kamu enggak perlu khawatir, aku bukan


siapa-siapa kamu,” ucap Aurora memberanikan diri
mengangkat kepalanya menatap Althair.

Althair sontak kaget dengan ucapan Aurora. Ia


mendengus kesal. Merasa hidupnya tidak ada yang
sesuai dengan keinginannya.

“Selama ini aku salah ternyata,” ucap Althair


menatap tepat pada mata Aurora. “Aku pikir kamu
punya perasaan yang sama kaya aku,” lanjutnya.
Aurora kembali menundukan kepalanya. Althair
terlihat menakutkan kali ini. Ia tidak berani menatapnya.

“Lihat sini,” Althair melangkah maju kemudian


mencoba menarik dagu Aurora agar menatapnya.

Mereka saling menatap sebentar. Aurora segera


menepis tangan Althair dan mengalihkan
pandangannya.

“Aurora,” panggil Althair.

Tidak ada sahutan apapun dari Aurora membuat


Althair semakin kesal.

“Aku panggil jawab,” sentak Althair.

“Kamu kesini marah-marah buat apa?” tanya


Aurora kembali berani.

“Kamu sendiri yang buat aku marah.” sahut


Althair menaikkan suaranya.

“Aku enggak suka sama sikapmu yang kaya


gini.” ucap Aurora sembari mundur selangkah menjauhi
Althair.
Althair kembali mendekat dan Aurora
menatapnya menantang. “Apalagi?”

“Dengerin aku,” ucap Althair kembali pelan.

Aurora menggelengkan kepalanya. “Mending


kamu pulang,” usirnya.

“Terus kenapa kamu nangis?”

Aurora sama sekali tidak sadar dan langsung


menghapus air matanya. Namun, air matanya keluar
semakin deras dan bahkan isakan kecil terdengar.

Althair kembali menghela nafasnya panjang.


Bagaimana pun ia tidak tega melihat Aurora yang
menangis seperti ini. Apalagi menangis karena ulahnya.

Althair segera membawa tubuh Aurora ke dalam


pelukannya. Berusaha menenangkan dengan menepuk
halus punggung Aurora beberapa kali.


Duduk dibangku taman dengan keadaan mata
Aurora yang masih bengkak setelah menangis. Althair
memberikan minum yang baru saja ia beli pada Aurora.

“Maaf,” ucap Althair tanpa memandang Aurora.

Althair sangat merasa bersalah dengan kejadian


tadi. Sama sekali tidak bermaksud membuat Aurora
menangis. Amarahnya tadi terlalu menguasainya.

“Aku enggak mau kamu terlalu berharap sama


aku,” ucap Aurora tiba-tiba.

Althair memusatkan semua perhatiannya pada


Aurora yang mulai berbicara dengan serius.

“Aku enggak mau buat kamu kecewa, Al.” lanjut


Aurora.

“Jangan selalu pendam semuanya sendiri, kamu


juga manusia, kamu butuh cerita,”

“Aku sakit,” ucap Aurora jujur kemudian


memejamkan matanya sebentar mengumpulkan
keberanian untuk meneruskan. “Dokter bilang Kanker
otak.” lanjutnya.
Aurora kembali meneteskan air matanya dan
yang bisa Althair lakukan adalah memeluk Aurora untuk
kedua kalinya.



Aurora mengabari Ibunya untuk pulang. Tentu


saja Ibunya khawatir, tidak biasanya Aurora seperti itu.
Namun, ia bisa bernafas lega saat Aurora mengatakan
akan diantar oleh Althair.

Althair dan Aurora duduk di ruang tunggu,


menunggu untuk dipanggil. Althair menarik telapak
tangan Aurora kemudian mengenggamnya. Aurora
menoleh dan Althair tersenyum, meyakinkan Aurora
bahwa semuanya akan baik-baik saja. Karena hal itu,
Aurora merasa lebih tenang.

Hari ini, Aurora melakukan pengecekan sebelum


melakukan kemoterapi. Aurora membuka pintu setelah
dipanggil sembari menyakinkan dirinya sendiri, semua
dilakukan untuk kebaikannya.
Althair mengalihkan pandangnnya setelah Aurora
masuk. Menunggu dengan gelisah, takut hal buruk
terjadi pada Aurora. Ia hanya bisa berdoa untuk Aurora.

Setelah satu jam Althair menunggu, Aurora


keluar dari ruang dokter. Althair segera menghampiri
Aurora dengan khawatir.

“Gimana?” tanya Althair.

Aurora tersenyum. “Lancar. Dokter bilang


semuanya akan baik-baik aja. Kamu gak perlu khawatir.
Aku pasti sembuh.” ucap Aurora dengan yakin.

Althair menghela nafas lega setelah mendengar


itu.


EPISODE 13

Kemarin adalah hari yang sangat berarti bagi


Aurora, saat Althair meluangkan waktunya hanya untuk
mengantar Aurora berobat. Tidak pernah terbayang di
benak Aurora, ia sangat bahagia saat bersama dengan
Althair. Aurora bisa melihat tidak ada keterpaksaan
dalam diri Althair melainkan ketulusan. Aurora sangat
bersyukur, Tuhan telah mempertemukannya dengan
Althair. Seseorang dengan tingkat perhatian yang tinggi.

Rencananya Althair dan Aurora akan pergi untuk


pergi bermain-main hari ini.

"Bi, saya pergi, ya." pamit Althair.

"Iya, Den." ucap Bi Irah.


Sebenarnya Bi Irah penasaran, karena hari ini
hari libur, biasanya majikannya itu akan menghabiskan
waktu seharian di kamar. Tapi Bi Irah tidak berani
bertanya, rasa takutnya lebih besar melebihi rasa
penasarannya.

Althair segera melajukan motornya ke taman,


tempat dimana Althair janjian dengan Aurora.



Aurora sampai di taman sekitar pukul sembilan


lewat lima menit. Sembari menunggu kedatangan
Althair, Aurora menyempatkan diri untuk mendengarkan
MP3 juga membaca buku yang ia bawa. Saking asiknya,
sampai-sampai Aurora tidak menyadari kalau Althair
sudah duduk dan memandanginya. Aurora dibuat salah
tingkah oleh perbuatan Althair.

“Udah, cukup Althair lihatinnya, aku malu” ucap


Aurora menunduk malu.
“Tapi aku masih mau ngeliatin kamu, gimana
dong?” jawab Althair dengan nada menggoda.

Wajah Aurora seketika panas. Seharusnya,


Aurora terbiasa dengan sikap tiba-tibanya Althair, tapi
tetap saja rasanya malu, untuk menutupi kegugupannya
Aurora bertanya pada Althair.

“Sekarang, rencananya kamu mau bawa aku


kemana Althair ?”

“Ok, pertama kita pergi dulu ke mall,” ucap


Althair sembari menggenggam tangan Aurora.

“Tunggu di sini ya, aku bawa motor dulu,” pinta


Althair sembari melepas genggaman tangganya,
dijawab anggukan Aurora.

“Sini aku pakein helmnya,” ucap Althair


menggambil alih helm dari Aurora. Aurora terdiam
dengan perlakuan Althair yang tiba-tiba.

“Ayo naik,” ucap Althair. Aurora mengangguk


dan langsung naik dengan tumpuan pundak kekar
Althair.
Perjalanan ke mall cukup lama, mereka sama-
sama tidak ada yang memulai percakapan. Entahlah,
mungkin keduanya sama-sama malu.

Sampailah mereka di basement mall, Althair


meraih tangan Aurora untuk ia genggam. Mereka
memasuki lift untuk sampai ke lantai paling atas di mall
tersebut.

“Tunggu, kamu pakai ini pasti cantik” ucap


Althair sembari memasangkan jepitan sederhana yang
ia temukan di toko aksesoris. Althair tersenyum, benar
dugaannya Aurora terlihat sangat cantik, pikir Althair.

“Makasih, tapi… apa tidak terlihat aneh?” tanya


Aurora.

“Engga, coba lihat sini,” ucap Althair sembari


menuntun Aurora untuk bercermin. “cantik, kan.”
sambung Althair. Ia pun membelikan jepitan tersebut
untuk Aurora.

Mereka berjalan berdampingan. Sekarang tujuan


mereka adalah tempat makan, berhubung perut
keduanya sama-sama lapar sehabis mengelilingi mall.
Mereka pun menemukan salah satu tempat untuk
makan.

Di tempat makan tersebut hanya tersisa dua


kursi kosong tepatnya disamping jendela besar yang
menghadap ke jalanan. Aurora duduk di hadapan
Althair.

“Kamu mau pesen apa, Ra?” tanya Althair.

Sebenarnya banyak yang Aurora inginkan tapi ia


bingung, karena Dokter melarangnya untuk tidak
makan-makanan yang tidak sehat. Althair pun mengerti
dengan diamnya Aurora.

“Kayanya kita makan bubur ayam aja deh, Ra.


Itu sehat kan?” ucap Althair meyakinkan. Akhirnya
Aurora mengangguk menyetujui ucapan Althair.

“Mbak, saya pesan dua mangkuk bubur ayam


sama teh manis,” ucap Althair.

Setelah Althair tahu bahwa Aurora sakit, ia akan


melakukan apapun untuk Aurora. Itu adalah salah satu
bukti bahwa ia sangat mencintai Aurora.
“Gak apa-apa kan hari ini kamu pulang malam?”
tanya Althair lalu menyuapkan buburnya.

“Kayanya sih gak apa-apa, Mamaku belum


pulang soalnya,” jawab Aurora apa adanya.

“Memang, setelah ini kita pergi kemana lagi, Al?”


tanya Aurora menambahkan.

Althair melihat kearah Aurora “Kemana aja, yang


penting sama kamu.”

Aurora terkekeh pelan, ada-ada saja pikirnya.


Menurutnya, Althair adalah orang yang bisa
membuatnya bahagia hanya dengan perkataannya yang
tidak pernah terpikirkan.



Danau dekat taman sukses menjadi tempat


selanjutnya untuk dikunjungi Althair dan Aurora. Duduk
bersebelahan diatas rumput dan mata berfokus pada
pemandangan indah.
Aurora mengalihkan pandangannya saat
mendengar suara panggilan dari handphone Althair,
sedangkan yang mendapatkan panggilan hanya bisa
menghela nafasnya. Pada layar handphonenya tertera
nama ‘Ayah’.

“Aku jawab telepon dulu,” tanpa menunggu


persetujuan, Althair pergi menjauh dari Aurora.

Aurora merasa binggung dan khawatir dengan


perubahan raut wajah Althair.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, Althair


kembali duduk disamping Aurora tanpa mengatakan
apapun, membuat Aurora semakin khawatir.

“Kenapa?” tanya Aurora memberanikan diri.

“Ayah,” sahutnya pelan. “Terlalu ikut campur,”

Aurora memfokuskan diri sepenuhnya untuk


mendengarkan cerita Althair.

“Orang tua aku sibuk kerja. Mereka gak pernah


bener-bener peduli, terlalu fokus menuntut, mau
anaknya sukses karena gak mau di cap rendah. Mereka
tak pernah membebaskan ku dalam bermimpi ingin
seperti apa aku kelak” lanjut Althair dengan mata yang
masih memperhatikan danau dihadapannya.

“Aku gak suka, Ra.” lirih Althair.

“Al, ada hari dimana kamu akan merasa lelah


dan marah akan segalanya. Aku ngerti perasaan kamu.
Bullshit juga aku nasehatin kamu yang notabanenya kita
belum kenal lama. Tapi ayolah, aku tau mungkin kamu
sudah mencurahkan rasa syukurmu pada hidup ini.
Semoga orangtua mu selalu sehat dan selamat.
Sebagian orang mungkin gak ada Ayah atau gak ada
Ibu bahkan gak punya orang tua sama sekali. Kamu
punya kado dari Tuhan yang mungkin kamu belum tau
letaknya dimana. Coba kamu bicara sama orangtua mu
di rumah. Omongin aja semua yang buat hatimu gak
tenang sampe nangis kalo bisa.” Aurora mengelus bahu
Althair mencoba menenangkan. “Gak apa-apa. Aku gak
bisa ada diposisimu yang masih bisa ngobrolin tentang
keresahan masa depan, Mamaku bekerja jauh dan
Ayahku gak ada. Ya, aku selalu sendiri tanpa omelan
orangtua jatuhnya. Kamu harus bersyukur, Al.”
lanjutnya dengan raut wajah yang berubah menjadi
sedih.
Althair tidak bermaksud untuk menceritakan
masalahnya dan membuat Aurora sedih. Padahal niat
Althair mengajak Aurora untuk membuatnya bahagia
dan melupakan sakitnya.

“Ra, dari pada kita sedih-sedih gini mending


sekarang kita pergi ke tempat selanjutnya, mau kan?”
tawar Althair.

Aurora menatap Altahir “Yaudah ayo”. Althair


pun menggenggam tangan Aurora dan mereka
meninggalkan Danau.



Pasar malam adalah tempat tujuan terakhir


Althair membawa Aurora. Althair berharap, malam ini ia
bisa memberikan kesan yang tidak akan pernah
terlupakan oleh Aurora. Diperjalanan Aurora
memasukkan tanggannya kedalam saku jaket Althair, itu
adalah permintaan Althair yang tidak ingin membuat
Aurora kedinginan.
“Kita sampai, Ra” ucap Altahir sembari menepuk
tangan Aurora.

“Kamu pasti kecape-an ya?” tanya Althair.

“Enggak kok, Al. Wah…. Bagus banget” jawab


Aurora senang karena Altahir membawanya ke tempat
yang belum pernah ia kunjungi.

“Seneng, Ra?” tanya Altahir sembari mengelus


puncak kepala Aurora.

Aurora melirik Altahir “Banget, makasih ya.


Kenapa kamu ada kepikiran bawa aku ke tempat ini?”
tanya Aurora penasaran.

“Karena aku pikir kamu belum pernah ke tempat


kaya gini, sederhana tapi romantis” ucap Altahir. Aurora
tersenyum dibuatnya.

“Kamu bener, Al aku belum pernah datang ke


tempat kaya gini. Jadi, boleh gak aku naik itu” ucap
Aurora, tanganya menunjuk bianglala besar yang
sedang berputar.

Althair mengangguk “Ayo, Ra.”


Altahir membeli dua tiket untuknya dan juga
Aurora. Setelah menuggu selama satu putaran, akhirnya
mereka pun naik. Selama berada di dalam bianglala
Aurora sangat menikmati pemandangan indah yang bisa
ia lihat dari atas. Althair tersenyum sembari
memperhatikan Aurora.

“Aku harap kamu gak pernah bosen ya, Ra.”


ucap Althair memecahkan keheningan. Entah kenapa
Althair bicara seperti itu, ia hanya takut Aurora tiba-tiba
meninggalkannya.

“Aku gak akan pernah bosen, Al. Karena kamu,


aku jadi gak ngerasa sendiri lagi, semua yang kamu
lakukan itu berarti buat aku. Makasih, kamu udah ada
buat aku.” ucap Aurora langsung memeluk Altahir.

Setelah menaiki bianglala rencana mereka


selanjutnya adalah berjalan-jalan mengelilingi pasar
malam. Sekitar sepuluh menit mereka berjalan, Aurora
terlihat kecape-an, Altahir pun memberhentikan
langkahnya.

“Kita selonjoran di situ dulu yuk” tawar Althair.


Aurora mengangguk setuju.
“Boleh ga, aku tiduran di paha kamu” tanya
Althair menatap Aurora.

“Ya udah, sini” jawab Aurora sembari menepuk


pahanya.

“Makasih, Ra” ucap Althair

Mereka sangat menikmati suasana malam hari,


sampai-sampai Althair memejamkan matanya tapi tidak
dengan Aurora.

Aurora mengamati wajah Althair, sangat tampan


menurutnya, ia memotret wajah Althair dengan
handphone nya.

“Kalau kamu mau foto bilang, Ra. Biar aku siap-


siap dulu” ucap Althair sembari membenarkan posisinya
menjadi duduk sangat dekat dengan Aurora. Aurora
membelalakan matanya terkejut.

“Aku tahu, kamu foto aku karena kamu takut


nantinya kangen kan” ucap Althair percaya diri “Padahal
kamu gak perlu foto, Ra. Kalau kamu kangen, aku siap
langsung datang buat ketemu kamu” lanjutnya sembari
membenarkan rambut Aurora yang tertiup angin.
Suasana malam hari saat itu sangat dingin,
Althair pun membuka jaketnya kemudian
memakaikannya kepada Aurora, tidak ingin membuat
perempuannya kedinginan.

Aurora merasa kepalanya sakit, tapi ia tidak


mengatakannya pada Althair. Ia tidak ingin membuat
Althair khawatir.

“Al, bisa kita pulang sekarang?” tanya Aurora


dengan suara pelan.

“Kamu gak apa-apa kan, Ra” tanya Althair,


pasalnya Aurora sangat menyukai tempat seperti ini tapi
memutuskan untuk pulang secepatnya, dan Aurora tidak
terlihat baik-baik saja, ada sakit yang ditutupinya pikir
Altahir.

“Gak apa-apa, Al. Aku baik-baik aja kok,


takutnya Mamaku udah pulang” jawab Aurora.

“Ya udah, kamu tunggu di sini”

Altahir melajukan motornya perlahan, takut


kalau Aurora kedinginan.
“Al, besok aku mau ketemu kamu di taman
biasa, bisa?” tanya Aurora

“Pasti bisa, Ra” jawab Altahir.


EPISODE 14

Althair teringat kemarin Aurora meminta untuk


bertemu di taman. Ia masih merasa bahagia saat
membayangkan hari kemarin yang bisa dikatakan
sebagai kencan pertamanya. Hari yang menurut Althair
akan selalu ia kenang.

Althair sudah siap dan bergegas pergi ke taman.


Ia tidak mau datang terlambat dan membuat Aurora
menunggu.

Pukul tujuh belas kurang, Althair telah sampai


dan mendudukan dirinya di bangku taman seperti biasa.
Suasana hati Althair berubah setelah teringat bahwa
kemarin saat Aurora meminta dirinya untuk mengantar
pulang ia terlihat tidak baik-baik saja. Ia merasa sangat
khawatir, takut hal buruk terjadi pada Aurora. Althairb
belum siap

Pikiran buruk Althair berakhir setelah melihat


Aurora yang menghampirinya dengan senyuman ceria
membuat Althair secara otomatis membalas dan
kembali pada mood awalnya. Merasa bahwa semua
akan baik-baik saja.

Aurora memang selalu tenang dan


menggemaskan. Tetapi, ia merasa Aurora berbeda dari
yang selama ini ia kenal. Aurora hari ini terlihat lebih
ceria. Hal yang positif memang, namun entah mengapa
membuat Althair takut.

“Udah lama?” tanya Aurora masih dengan


senyumannya. Ia mendudukan diri disamping Althair.

Althair hanya menggelengkan kepalanya masih


fokus memandang Aurora.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Althair pelan.

“Baik.” Jawab Aurora binggung. “Kenapa?”


Althair menggelangkan kepalanya, lagi. Tidak
mau memperpanjang dan membuat suasana menjadi
canggung.

"Heh, langit!" panggil Aurora tiba-tiba.

"Iya, sayang?" goda Althair.

"Enak aja! aku ini langitmu. Kalau gak ada aku,


kamu mau diem dimana?”

"Iya semestaku, ada apa?"

"Kalau sewaktu-waktu aku menghilang


bagaimana?"

"Ya, aku ikut menghilang, lah. Sang bintang


akan kehilangan porosnya, makannya jangan kemana
mana!" pinta Althair.

"Kamu lupa faktanya kali. Aku ini langit mendung


yang bergemuruh sebagai tanda akan turun hujan yang
deras, bukan Aurora yang ada di langit Canada!"

"Ra? serius? mau kemana? aku mau ikut," ucap


Althair khawatir. Aurora sangat aneh hari ini.
"Emm, aku harus rawat jalan dan aku gak mau
pengobatanku terganggu. Aku gak bilang kamu
menggangu, kok. Aku hanya ingin fokus dan lekas
sehat. Aku pengen jadi Aurora yang ada di langit
Canada, bukan Aurora yang bergemuruh."

"Berapa lama, Ra? astaga belum juga pergi, aku


udah khawatir aja."

"Aku gatau sih, hehe. Maaf ya?" ucap Aurora


mengalihkan pandangannya pada Althair.

"Aku ngerti sih, tapi janji ya ga lama-lama?"

"Emmm, sejak kapan bintang nuntut sama


semesta nya?"

"Hih, jadi nyebelin ya sekarang?"

Althair gemas kemudian mengacak-acak rambut


Aurora membuat Aurora dengan reflek menjauh dan
kembali merapihkan rambutnya.

"Ya becanda, kan. Kamu yang ajarin aku


becanda. Aku gak janji tapi aku berusaha sebaik-
baiknya. Kamu percaya ya sama aku!" ucap Aurora
meyakinkan.
"Iya, Ra. Aku tunggu."

"Kamu harus inget ya apa yang aku omongin


semuanya."

"Hmm? apa?"

"Nanti, sewaktu kamu sedang sedih-sedihnya.


Sewaktu kamu diejek karena berbeda atau tidak
sepemikiran dengan mereka. Sewaktu kamu merasa
serba salah dan tidak layak dicinta. Sewaktu kamu
merasa dunia tidak adil sebab yang menderita cuma
kamu saja. Percayalah, yang berpikir seperti itu bukan
kamu saja. Bisa jadi temanmu yang kelihatan ceria,
selebgram yang caption-nya berisi kalimat-kalimat
penyemangat saja, youtuber yang sering tersenyum di
depan kamera juga berpikir hal yang sama.” ucap
Aurora sembari menatap langit. “Rasa sedih sebab
kecewa, marah, gelisah itu sah-sah saja. Bukan
masalah, asal tidak lama-lama. Sedih itu sama seperti
luka yang meninggalkan bekas. Kamu akan pulih meski
tidak seperti sedia kala. Setelah itu, kamu akan makin
tumbuh dan paham kalau menjadi tidak baik-baik saja
itu tidak apa-apa. Kalau hidup itu bukan cuma perkara
bahagia." lanjutnya

"..." Althair membeku. Entah harus ia balas


dengan apa perkataan Aurora itu. Hatinya tak bisa
menolak bahwa semua perkataan Aurora benar dan
pasti karena ia berbicara begitu tulus.

"Yuk pulang udah sore, aku harus pulang


sebelum mangrib."

"Makasih ya, Ra. Beruntung sekali bintang


penakut ini bertemu denganmu. Makasih atas segala
ketulusanmu dalam menyampaikan apapun. Kamu
orang baik. aku ingin bertemu denganmu setiap hari,
selamanya."

"Apaan nih. pulang yuk udah sore. Aku harus


sampai rumah sebelum magrib"

"Ra, lekas sehat."

Aurora tersenyum lebar kemudian beranjan dari


duduknya dan berdiri. "Doakan saja. Pulang yuk udah
sore. Aku harus sampai rumah sebelum langit gelap,"

"Yuk!"
"Oke, selamat tinggal Althair!"


EPISODE 15

Kejadian minggu kemarin masih memenuhi


pikiran Althair. Ia tidak bisa melupakan bagaimana sikap
Aurora yang berubah dan perkataannya yang sedikit
aneh.

‘Selamat tinggal’ terasa aneh saat didengar.


Bukannya seharusnya ‘Sampai ketemu lagi’. Althair
berusaha untuk melupakan dan berpikir positif, itu
bukan apa-apa.

Satu minggu ini, Althair secara rutin mendatangi


taman, berharap Aurora berada disana duduk dengan
senyumannya. Namun, semua itu hanya ekspetasinya.

Ternyata, ucapan Aurora itu terbukti. Selamat


tinggal yang Aurora maksud, berarti bahwa perkataanya
benar perihal pengobatan. Althair menyesali sesuatu
karena ia tak menanyakan di Rumah Sakit mana Aurora
akan menjalani pengobatannya. Serta, pengobatan
macam apa yang ia lakukan. Ah! Althair merasa bodoh
sekali.

Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan,


setiap kali Althair melewati taman yang biasanya Aurora
datangi, Althair sudah tidak melihatnya lagi.



Althair Aldebaran

Entah kenapa, hari ini aku jadi teringat tentang


dia.

Seseorang yang membuat diriku selalu tetiba


saja tersenyum hanya karena sebuah temu yang
berlandaskan ketidaksengajaan.

Seseorang yang membuatku jadi punya kegiatan


baru, yaitu mencari tahu segala hal tentang orang lain
sampai sebegitunya.
Seseorang yang membuatku selalu menanam
spekulasi dan konspirasi jadi-jadian perihal menerka-
nerka, "Apakah ruang hatinya sudah ditempati?"

Seseorang yang membuatku jadi suka


membohongi diriku sendiri.

Kalau ketika seseorang itu kuingat-ingat lagi, aku


rasa, aku hanya mengagumi dan pasti akan dengan
cepat lupa saat esok hari. Tapi nyatanya saat hari ini
pun, aku masih, bahkan terus mengingat tentang
seseorang yang sangat amat mustahil dilupakan.

Semesta, kalau berkenan, aku punya keinginan,


boleh kah?

Satu, kau hilangkan saja dia, entahlah, terserah


mau kau pindahkan kemana, yang penting
keberadaannya tak lagi sedekat sebelumnya agar aku
tak terus-menerus menanam rasa.

Atau, dua, izinkan sebuah temu yang


sungguhan, yang dengan sengaja kau berikan, bukan
hanya sebuah candaanmu yang malah membuatku
kecanduan.
Bentuklah sebuah skenario yang benar-benar,
berikan aku dan dia sebuah jalan untuk mengetahui
satu sama lain. Berikan aku rencana yang istimewa. Tak
apa walau dengan jalan yang tak terduga-duga.

Tetap akan aku terima.

Terakhir, semesta, sampaikan sebuah "rindu"


dariku untuknya.

Semakin hari, aku semakin liar, gundah, dan tak


karuan. Aku khawatir. aku masih menunggu hadirnya
disini. Aku rindu, Tuhan. Aku kemana aku harus
mencarinya.



Aku berjalan di pagi hari sambil memegang


payung yang sudah kubuka. Mungkin orang-orang akan
menganggapku gila karena saat itu belum turun hujan
sedangkan aku sudah melindungi diriku dengan payung
yang kupegang. Seperti biasanya di musim hujan,
meskipun belum turun hujan, aku melihat daun-daun
yang gugur dari cabang pohonkembali tumbuh, bunga-
bunga yang layu, kini kembali bermekaran sambil
menyebarkan harumnya di sekitar taman. Rombongan
burung-burung kecil yang sebelumnya membisu, kini
kembali berkicau dan melantunkan melodi yang ceria.
Sungguh pemandangan yang indah, lirihku.

Hanya saja, ada yang berbeda. tak ada Ara di


sisiku,

perempuan mungil yang aku sukai. Yang kulihat hanya


seorang wanita yang sama kecil dengannya. Wanita itu
…, adalah Ibunya Ara! aku tak salah melihat. Wanita itu
memang Ibunya. Aku hampiri dengan cepat untuk
segera menanyakan dimana Ara berada..



“Permisi, apakah kamu temannya Ara?” tanya


wanita itu sambil menggendong tas kecil diantara
lengan dan bahu kanannya.

"Iya, Bu. Kok Ibu sendiri. Ara mana? " tanyaku.


"Jadi kamu Althair."

"Ara mana bu?" aku semakin tak sabar


menunggu jawabannya

"Sebelumnya Ibu mau nanya sama Al."

"Kenapa bu?"

"Dengan cara apa kalian bertemu?"

"Ohh waktu itu, kita saling menyapa dikala


keadaan aku dan Ara sedang tidak baik baik saja. Aku
dengan masalah hidupku dan dia dengan masalah
hidupnya. Tiba- tiba saja kami menjadi teman. Tapi Ara
bukan sekedar teman untuk saya, Bu. Ara orang baik. ia
menjadi orang yang berpengaruh besar untuk hidup
saya sampai saat ini. Kebetulan saja sepertinya ya, saya
sering kesini ketika saya sedang kebingunan. Tertiba
saya melihat dia sedang duduk dan menangis. tapi
ternyata dia orang yang kuat sekali."

“Iya, dia anak yang selalu bertingkah semaunya


dan sulit ditebak. dia memang selalu begitu …,” lirihnya
pelan, aku hampir saja tidak mendengarnya.
"Aku sudah lama menunggu Ara. Ibu harus tau
betapa senangnya saya bertemu Ibu hari ini. Selama ini
saya merasa kebingunan. Saya ingin bertemu tapi tak
tau dengan cara apa dan bagaimana."

“Sampai akhir hidupnya …,” wanita itu


menghentikan perkataannya. Kulihat sekilas raut
wajahnya berubah.

“Dia selalu bertingkah semaunya.” Aku seperti


ditikam oleh pisau yang tajam. Pisau yang dIbuat dan
diasah dengan segenap kemampuan yang di miliki
pembuatnya. Apa maksudnya sampai akhir hidupnya?
Bukannya Ara berjanji padaku untuk lekas kembali?!
Bukankah Ara masih ingin bercerita banyak hal
denganku?

“Apa maksudnya, Bu?” tanyaku seakan tidak


percaya dengan perkataan wanita itu.

“Apa maksud dari sampai akhir hidupnya?”

“Ara …, sudah meninggal.” jawaban wanita itu,


singkat dan menyakitkan. Aku masih tidak percaya. Aku
mencoba memastikan kembali jawabannya. Mungkin
saja aku salah dengar.

“I-Itu bohong,kan? bukannya dia baik-baik saja?


Bukannya dia masih terus tersenyum seperti biasanya?”
aku menatap mata wanita itu dan setelah kulihat, di
sana tidak ada kebohongan.

“Iya, dia tetap tersenyum sampai akhir. Dia


sudah berjuang dengan baik.”

Wanita itu, mencoba menahan tangisnya. Ia


membuka tas miliknya dan mengambil sesuatu dari
dalamnya.

“Ini, ada peninggalan dari Ara untukmu,”

wanita itu memberikan sepucuk surat kepadaku.

“Katanya, surat ini untuk bintang yang selalu


menemaninya dan membuatnya senang.” Aku
mengambil surat itu.

“Maafkan saya, saya baru bisa memberikan surat


ini sekarang. Ini sulit untuk saya berjalan keluar dari
rumah dengan suasana hati yang seperti ini.”
“Kalo begitu, saya pamit. Terima kasih sudah
mau menjadi teman Ara. kamu orang baik Al.
Terimakasih banyak!”

Wanita itu pergi. Aku hanya membungkukkan


badanku kepada wanita itu sebagai ungkapan terima
kasih. ah, ini pasti mimpi. Aku menggampar pipiku
sekeras mungkin dan itu … sakit.

Aku berjalan dari trotoar menuju bangku taman.


Payung yang kupegang, kulemparkan sejauh mungkin
sekuat tenaga. Aku tidak tahu kenapa aku melakukan
itu. Aku duduk dengan rasa kecewa dan tidak percaya.
Hanya satu pertanyaan yang menancap di dalam
kepalaku. "Kenapa?"

Padahal aku baru saja menemukan sosok yang


kuanggap sebagai rumah. Padahal kami baru saja
bertukar janji akan saling bertemu kembali. Padahal aku
baru saja melihat senyumnya lebihdekat, berbincang
semau kami. Membahas apa saja yang menimbulkan
tawa. Padahal …, aku baru saja merasa bahagia.

Aku membuka sampul surat yang diberikan oleh


Ibu perempuan itu dan mengambil surat yang ada di
dalamnya. Surat darinya, surat dari perempuan yang
aku cinta.

"Teruntuk ; Althair, bintangku.

Mungkin … setelah kamu membuka surat ini,


aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Mungkin setelah
kamu membuka surat ini, kamu akan bertanya-tanya
kenapa aku mengirimimu surat seperti ini.

Mungkin …, Ibuku masih kebingungan


mencarimu meskipun aku berharap ia segera bertemu
denganmu."

“Untungnya, Ibumu sudah menemukanku,”


lirihku pelan.

"Sejujurnya, aku merasa ragu menulis surat ini.


Aku ragu karena aku bukan siapa-siapa bagi hidupmu
tapi, aku ingin berterima kasih karena kamu sudah mau
menyemangatiku waktu itu. Waktu kita mengobrol
untuk pertama kalinya di pertengahan musim kemarau.

Sebenarnya, aku berharap kita mengobrol dari


dulu, saat kamu pertama kali memandangku. Oke,
cukup pembukaannya, hahaha. Pertama-tama, biarkan
aku meminta maaf. Maaf jika beberapa waktu yang lalu
aku tidak bisa datang ke taman itu. Setelah
pertemuanku denganmu dan sebuah janji untuk
bertemu kembali yang aku janjikan. setelah aku
berbicara

Denganmu, aku merasa aku memang harus


bahagia. Bertahun-tahun aku menderita menahan
penyakit yang menyerangku sehingga membuatkutidak
bebas.

Tapi, setelah mendengar perkataanmu, kurasa


kamu ada benarnya juga. Aku memang harus bahagia,
tidak peduli dunia mau memperlakukanku seperti apa.
aku harus tersenyum, tidak peduli jika langit terus
memandangku rendah.

Sejak saat itu, aku mulai melakukan apapun


semauku. Aku sering ujan-ujanan, aku makan-makanan
yang manis sebanyak yang aku mau.

Aku berlari-lari hingga kakiku tidak mau


mendengarkan kata-kataku, Aku begadang semalaman
sambil mencoret-coret tembok kamarku dan itu
menyenangkan. Aku sungguh … sangat bahagia. Tapi
kamu jangan khawatir, aku melakukan semuanya
memang karena aku ingin. Lagi pula Dokter juga bilang
kalo aku tidak akan lama lagi tinggal di dunia ini.

Aku ingin berterima kasih padamu, terima kasih


karena selama ini kamu selalu memperhatikanku,
terima kasih selama ini kamu mau menemaniku.

Terima kasih karena kamu sudah mau


menyemangatiku.

Terima kasih, kamu sudah mengubah duniaku


menjadi lebih berwarna.

Terima kasih sudah menjadi pelangi di


kehidupanku. Meski itu sebentar, tapi aku sangat
bahagia.

Aku sangat berterima kasih.

Dan yang terakhir, aku ingin meminta maaf


sekali lagi.

Maaf, aku tidak bisa melihatmu lagi di taman


itu.
Maaf, aku tidak bisa tersenyum lagi seperti yang
kau harapkan.

Maaf, mulai saat ini aku tidak bisamenemanimu


lagi. berjanjilah untuk tidak melupakan kata-kata yang
kuucapkan padamu selama ini. Anggaplah kata-kata itu
sebagai hadirku di hidupmu.

Semoga lekas berbahagia selalu. semoga kamu


tak pernah melewatkan hal-hal kecil untuk di syukuri.
Semoga kamu selalu melihat dan menganggap deretan
orang yang mencintai ketimbang yang membenci.
perlakukanlah semua orang seperti kamu
memperlakukanku. Lanjutkanlah hidupmu tanpa harus
ragu kembali. Bayangkan saja aku menjelma sebagai
langit yang mengawasimu dari atas. Ingat, aku dekat
denganmu! jadi jangan nakal ya! hahahaha."

"Ra, aku ingin menghabiskan sehari lagi bahkan


selamanya bersamamu. Ke mana saja, jalan kaki juga
tak apa jika itu bersamamu. Mungkin kita bisa ke
taman, selanjutnya mampir ke minimarket untuk
membeli es krim. Atau kita ke kedai kopi kesukaanku,
sekadar mengobrol. Menceritakan apa saja yang sudah
dilalui tanpa kita yang saling melengkapi.

Kalau misalnya hujan turun, Tak apa. kita hanya


tinggal meneduh, sembari menunggu hujan, sepertinya
akan lebih nikmat jika memesan dua teh hangat untuk
menghangatkan tubuh yang setengah basah. Tapi kalau
kamu mau meminjam jaketku atau memelukku, Tak
apa, aku lebih suka itu.

Kita akan menanti senja, di atap gedung kosong


atau di mana pun yang penting senja dapat terlihat.
Lalu kamu bersandar di pundakku, berterima kasih
sebab membuat hari-hariku lebih berwarna dari
biasanya. Dengan sedikit harapan penantian selama ini
akan mendapat jawaban baik dari sang waktu.

Tapi sayang, aku sudah terbangun dan sadar itu


hanya bagian dari bunga tidurku. Bagiku, mimpi
tetaplah ilusi. Bagaimanapun caraku untuk
menggapainya. Seperti matahari yang mengejar bulan
agar bisa menghiasi langit bersama.

Langit yang mendung kini menjadi semakin


murung. Awan kelabu sudah menutupi matahari hampir
sepenuhnya. Sama seperti kesedihan ini yang semakin
menjadi-jadi. Dadaku semakin sesak setiap kali
mengingatnya.


EPILOG

Ara..

Aku rindu menjadi apa yang selalu kau cari ketika kau

butuh sandaran diri.

Aku ingin kembali ke masa di mana kita belum saling

berbicara perihal apa yang kita ‘rasa’.

Aku masih ingin menjadi apa yang kau butuhkan ketika

kau butuh teman untuk mencurahkan rasa lelah yang

kau rasakan.
Aku masih ingin menjadi orang yang kau kabari ketika

kau tak bisa bangun pagi.

Aku masih ingin menjadi temanmu untuk berbagi foto

tentang fajar pagi dan senja di sore hari.

Aku masih butuh

untuk kau butuhkan.

Setelah aku membuka dan selesai membacanya,

tiba-tiba saja hujan mengalir deras. Deras sekali

sehingga memaksaku menutup mata. Hujan yang

membuatku merasakan perih, menyesakkan dada.

Sialnya, hujan itu bukan berasal dari langit yang sedang

murung. Hujan itu berasal dari perasaanku, juga dari

mataku.
Aku menyimpan kembali kedua surat itu ke

dalam sampul surat. Aku berdiri tegak, aku mencoba

menghapus air hujan yang membasahi pipiku namun

hujan itu terus mengalir tidak peduli berapa kali pun aku

menghapusnya. Aku berjalan mengambil payungku

yang sebelumnya kulemparkan.

Tidak peduli berapa kali pun aku membaca surat

kecil darinya, hatiku tetap merasa sakit meskipun

seharusnya aku merasa senang dan berbahagia.

Surat terakhirnya hanya berisikan tiga kata

dalam satu kalimat. Isinya adalah …

Sepertinya, aku menyukaimu, Al! mari bertemu lagi lain

kali. dimanapun itu. Aku ingin melihatmu setiap hari

selamanya. -Aurora Raina.


Seharusnya aku tersenyum bahagia setelah

membacanya, tapi tetap saja aku tidak bisa menahan

sakit dan air mata ini. Sungguh ironis.

Karena tanpa sadar, Aurora telah mengubah

kepribadianku menjadi lebih baik dan lebih terbuka

kepada siapapun. Terimakasih, Ra. Sudah berkenan

mendengar semua ceritaku dan memarahiku setiap kali

aku berbuat salah. Terimakasih sudah merubahku

menjadi manusia. Manusia yang tak tamak. Manusia

yang ingin belajar peduli kepada orang lain. Sungguh,

aku ingin bersaksi dihadapan siapapun jikalau hadirnya

kamu di dunia bukanlah sebuah kesalahan. Aku

mencintaimu, Ra. Terimakasih. Mari bertemu lagi lain

kali. Dimanapun itu..

Terimakasih untuk setiap pecakapan sederhana

kita.

Anda mungkin juga menyukai