Anda di halaman 1dari 3

Diary Merah Hati Tentang Dia

Cerpen Karangan: Raissa Indah Hanjani


Lolos moderasi pada: 5 February 2015
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Remaja

Aku tak pernah bertemu orang seperti dia. Dia terlihat bagaikan pangeran-pangeran yang ada
dalam dongeng yang sering aku bayangkan. Aku melihatnya sebagai mimpi yang tiba-tiba
hadir dalam relung hidupku. Aku terlalu sulit mendiskripsikan apa yang aku rasakan.
Semuanya terasa begitu aneh namun menyenangkan. Ya! Dia adalah… hemmm… namanya
pun aku tak tahu, hari ini aku pertama masuk MOS di salah satu SMP favorit di kotaku. Aku
paling gak suka hari pertama karena semuanya begitu baru bagiku, gedung sekolah yang
baru, seragam baru, teman-teman yang baru dan semua begitu asing bagiku. Ketika itu semua
anak baru dikumpulkan dalam satu aula, disana berkerumun banyak anak yang sibuk mencari
teman baru, memperkenalkan dirinya atau mungkin hanya say hay saja, tapi itu tak
membuatku tertarik hingga ketika mataku tertuju pada seorang anak laki-laki dan entah
mengapa aku tertarik untuk memperhatikannya. Tubuhnya tinggi membuatnya terlihat di
antara anak-anak yang lain dan senyumnya ya ampun… suwer aku gak bohong manis
banget… dan sejak saat itu hari-hari ku dipenuhi segala sesuatu tentang dirinya.

“Tet… Tet… Tet…”


Bel berbunyi 3 kali menandakan waktunya pulang sekolah dan itu bagaikan alunan symphony
Ludwig van Beethoven karena suara itu mengakhiri pelajaran matematika yang
memusingkan. Segera saja ku bereskan buku-buku tebal yang menumpuk di atas bangku, lalu
ku masukkan semua ke dalam tas ransel merah.

“Sar, ntar sore jadi ngerjain PR bareng gak?” Ujar Dyah teman sebangku ku. Dia gadis
berkacamata yang pintar plus ketua kelas dan aku beruntung bisa duduk satu bangku
dengannya namun gara-gara duduk sebangku dengan dia aku pun harus duduk di bangku
deretan paling depan karena dia maunya duduk di bangku deretan depan. Pertama karena dia
gak kelihatan tulisan di papan tulis kalau dia duduk di belakang, kedua karena dia adalah
anak pintar jadi menurutnya dengan duduk di depan maka akan lebih berkonsentrasi
mendengarkan penjelasan guru. Tapi tidak bagiku, duduk di depan membuatku tidak leluasa,
mau menguap aja gak bisa dan yang paling nyebelin adalah kalau guru lagi melemparkan
pertanyaan dan kenapa anak-anak yang duduk di depan digariskan untuk menjawabnya
terlebih dahulu, derita itu tak berhenti sampai disitu, berhubung waktu itu SMP masih
mengunakan papan tulis jadi kalau gurunya selesai menerangkan di papan tulis pasti anak-
anak yang duduk di depan yang disuruh menghapus dan apesnya tugas menghapus papan
tulis selalu saja jatuh padaku.
“Oh… jadi dong, nanti jam 3 sore aku ke rumah mu ya” Ujar ku.
“Okey Sar, sip…” Sahut Dyah.

Akhirnya kami pun keluar kelas. Jika sudah waktu pulang kelas begini sekolah yang tadinya
sunyi senyap tiba-tiba mendadak riuh ramai. Aku pun lekas meninggalkan kelas dan segera
menuju samping garasi sepeda motor. Ku lihat anak laki-laki itu menghampiri sebuah sepeda
motor warna abu-abu metalik. Di tengah siang bolong seperti ini pun dia masih terlihat
ganteng. Dia masuk di kelas 1 C dan disitu dia menjadi ketua kelas. Ah sayang aku tak
sekelas dengan dirinya karena aku di kelas 1 F jadinya aku tidak bisa mengenalnya lebih
jauh. Tapi entah mengapa hari demi hari aku semakin mengaguminya. Mungkin orang bilang
ini hanya cinta monyet, namun aku tak peduli, aku begitu asyik dengan perasaanku sendiri,
mendadak aku bagaikan sherlock holmes karena aku tahu semua tentang dia, mulai rumahnya
di mana, hobinya apa, makanan kesukaannya apa, warna favoritnya apa, everything about
him, I know…
Namun anehnya hingga detik ini aku hanya bisa memandanginya dari jauh tanpa berani
menegurnya, tanpa berani menyapanya. Yang tahu perasaanku ini hanya teman sebangku si
Dyah. Ya! mungkin aku terlalu pengecut atau mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk
bisa bersamanya, bercanda bareng, ngerjakan PR bareng atau bahkan sekedar ngobrol
dengannya. Semua itu terasa jauh bagiku karena waktu kelas dua pun kita tidak sekelas, dia
masuk di kelas 2 F dan aku masuk dikelas 2 C. Arggghhh… kenapa sih gak bisa sekelas
dengan dia. Dan lagi-lagi aku hanya bisa memandanginya dari jauh. Melihatnya lewat di
depanku saja sudah membuat jantungku berdegup kencang dan denyut nadi ku meningkat
menjadi lebih dari 94 kali permenit. Jujur dia adalah salah satu alasan aku rajin masuk
sekolah, hehehe. Semua isi diary ku dipenuhi namanya, segala sesuatu tentangnya yang
mungkin menurut orang lain tak penting namun bagiku penting. Hingga pada suatu hari aku
memberanikan diri untuk memberinya sebuah hadiah kecil di hari valentine, sebuah coklat
berbentuk hati pada kotak cantik berwarna merah.

“Gimana Tik, coklatnya udah lucu belum?” tanyaku berulang-ulang dan mungkin itu
membuat sahabatku Tika menjadi bosan.
“Ya ampun… Sari, tu bungkusnya dari tadi kamu buka tutup buka tutup, ntar rusak lho,
lagipula yang namanya coklat kan yang penting rasanya bukan lucu gak lucunya, emangnya
boneka” sahut si ika sambil sedikit manyun melihat kelakuanku yang hiperpanik.
“Aduh Tik, tapi aku malu, sumpah aku gak pernah ngelakuin ini sebelumnya”
“Jangan bilang kamu gak jadi ngasih, Sari… santai aja kenapa sih, kamu kan cuma ngasih
coklat dan itu gak akan membuat duniamu kiamat, lagipula tu coklat kalau gak jadi
dikasihkan ke dia, buat aku aja deh, aku akan menerimanya dengan suka cita” katanya sambil
tertawa.
“idih… itu sih kamunya yang doyan…”
Akhirnya apa yang terjadi, aku pun tidak berani memberikannya sendiri, aku titipkan dengan
temanku yang kebetulan sekelas dengan si Dia. Aku tetap menjadi pengecut…

Hingga pada akhirnya di hari itu tanggal 28 november 2003, aku bertekat untuk tidak jadi
pengecut, aku ingin dia tahu kalau aku suka padanya, aku hanya ingin dia tahu, aku tak peduli
dia suka padaku apa tidak, karena aku hanya ingin semua yang terganjal di hati bisa keluar
semua. Mungkin sebenarnya dia tahu kalau aku suka padanya karena sering banget dia
memergokiku mencuri pandang ke arahnya, ditambah coklat valentine yang pernah ku
berikan padanya. Tapi jika aku tidak mengatakannya secara langsung rasanya dada ini sesak
banget dan ku putuskan aku harus mengatakannya.

Sewaktu dia mau menuju kelasnya, ku cegat dia di tengah lapangan upacara.
“Bisa kita bisa bicara sebentar” ujarku gugup, panas dingan gak karuan.
“Iya, ada apa?” jawabnya datar.
“Aku mau ngomong sesuatu” ujarku terbata-bata. Ya ampun sumpah kakiku lemes banget,
rasanya aku pingin kabur, berlari dan bersembunyi.
“Katakan saja disini” ujanya tanpa ekspresi sekali lagi.
“A..ku su…ka kamu…” sambil bergetar bibirku mengucapkan itu, aduh aku lebih memilih
mengerjakan PR fisika bertumpuk-tumpuk daripada disuruh mengucapkan kata-kata barusan.
“Maaf, tapi aku gak punya perasaan yang sama denganmu” dia pun dengan tenang
meninggalkanku.
Dan aku, apa yang terjadi padaku, aku cuma bisa mematung di tengah lapangan kayak orang
bego, rasanya tubuhku kaku semua, mati rasa dari ujung rambut hingga ujung kaki, aku tak
peduli pada terik matahari yang menyengat ubun-ubunku, sekarang yang kurasa hanya
mataku terasa panas menahan air mata yang jatuh, hatiku hancur, sakit, perih, mending aku
dimaki-maki seratus orang daripada mendapat perlakuan dari orang yang ku kagumi seperti
ini. Dan hingga pada suatu hari aku mendapatkan kabar bahwa dia jadian dengan adik
kelasnya, dunia ku pun semakin runtuh dan hancur.

Delapan tahun semua itu telah berlalu, ku lihat lagi buku diary usang berwarna merah hati,
warnanya sudah pudar dan banyak dari lembarannya yang telah terlepas namun kenangan
dari isinya hingga kini tak pernah lekang. Tak sengaja ku temukan lagi di tumpukkan buku-
buku SMP yang mau aku loakan. Aku merasakan perih yang sama seperti yang ku rasakan
delapan tahun yang lalu. Namun juga ku rasakan lagi mimpi yang dulu pernah memberikan
sejuta rasa bagiku. Seperti apa dia sekarang, laki-laki yang pernah menghiasi masa putih
biruku, laki-laki yang juga pernah membunuh hatiku sampai mati, dan jujur aku kembali
merindukannya…

Anda mungkin juga menyukai