Anda di halaman 1dari 9

Prolog

“Aku sudah menduganya sejak awal”


“Menduga apa?” tanyaku
“Ya... menduga bahwa kamu bisa menjadi temanku” tuturnya.
Di ruangan yang berukuran 4 x 4 meter itu, aku dan juga teman baruku sedang asik
berbincang mengenai banyak hal, seperti mengenai berbagai alasan-alasan mengapa kami
memilih masuk jurusan Bimbingan Konsleing, mengingat dan mengungkapkan kisah-kisah
lama kami sebelum masuk universitas dan berbicara mengenai apakah aku percaya dengan
sahabat sejati? Dan mengenai pertanyaan dan pernyataannya yang berhubungan dengan
sahabat sejati waktu itu, akupun masih bingung dengan jawabanku. Ya ntahlah, akupun
masih belum tahu dan masih menerka-nerka jawaban itu hingga sampai detik ini. Melihatnya
berbicara dan tertawa seperti itu, mengingatkanku pada teman lamaku dulu saat masih duduk
dibangku SMA. Teman dekatku atau bisa ku sebut dia sebagai sobatku. Karena dialah
setidaknya aku masih merasa ada secercah harapan dan udara agar aku bisa bernafas di
dalamnya. Meskipun begitu, aku tetap lebih sering menyendiri di akhir masa remajaku. Jika
ditanya kenapa? Ya.. karena aku tidak ingin mengganggunya bersama sahabatnya selain aku
di kelas, dan aku juga tidak mau jika ada orang lain yang merasa bahwa aku adalah parasit
baginya. Lagi pula, sebelum hal ini terjadi padaku, kedua sobatku memang sudah memiliki
teman dan juga sahabatnya masing-masing dulu dan begitu juga denganku sebelum peristiwa
itu terjadi. Mengenang masa-masa itu terlihat begitu menyulitkan dan sedikit menyakitkan.
Dan memang sebagian besar masa akhir SMA ku tidak terlalu menyenangkan. Bisa dibilang
itu adalah kenangan buruk, kenangan yang tidak mengenakkan dan menyesakkan bagiku, dan
dengan begitu akupun terpaksa harus mengingat kembali potongan-potongan kecil yang tidak
kusukai. Potongan-potongan itu seperti bekas luka yang selalu muncul tanpa perlu ku undang,
yah... itu adalah kejadian yang tidak mengenakkan dimasa-masa akhir SMA-ku. Kala itu,
hari-hari yang seharusnya menjadi hal yang menyenangkan, justru berubah menjadi hari-hari
yang tidak kusukai dan bahkan mungkin aku membenci setiap harinya. Sejak saat itu,
kehidupanku berubah tak tentu arah entah karena atmosfer dalam sekolahku yang mendadak
terasa menyesakkan karena perbuatannya ataupun karena diriku sendiri yang terlalu
berlebihan menanggapi hal-hal buruk yang dibuat olehnya. Jika boleh jujur, aku masih saja
mengutuk kenangan itu dulu.
Tapi sudahlah, bukankah itu sudah berabad-abad yang lalu? Lagipula kini, perlahan-
lahan aku sungguh sudah berdamai dan tidak ingin membenci kejadian itu lagi.
“oy.. kok malah bengong sih? Dari tadikan aku lagi ngomong dya” Arum menegurku.
“Eh.. iya kenapa rum?” jawabku tanpa merasa bersalah karena tidak mendengarkannya ya
karena memang aku sedang tidak fokus, melamun tadi. Sebetulnya aku agak sedikit
tersentak kaget dengan teguran kawanku ini, dan saking asiknya melamuni masa laluku tadi
sampai-sampai aku tidak tahu jika sekarang arum sudah mulai mengerjakan tugas kelompok
kami.
“Ah.. kau ini dari tadi aku sudah bercerita panjang kali lebar mengenai tugas ini, dan ternyata
kau tidak mendengarkanku. Yang benar saja dya”
“Hehehe sorry deh, karena ga dengerin penjelasanmu” jawabku
Hening sejenak, baik aku ataupun Arum kami berdua sama-sama diam dan memikirkan
pikiran kami masing-masing. Setelah jeda beberapa menit kemudian Arumpun tiba-tiba
bertanya padaku “Dya?”
Aku masih terhanyut dari berbagai macam peristiwa-peristiwa masa lalu, dan seketika itu
pula Arum memanggilku
“Dya?” panggilnya untuk yang kedua kali.
Aku yang sedang duduk dan melamun dengan asiknya sambil melihat langit biru nan indah di
atas sana, langsung tersadar dari lamunanku dan menoleh kearahnya.
“Ya?” jawabku
Arum pun perlahan-lahan bertanya padaku
“Dya, kamu percaya ga kalo di dunia ini ada yang namanya sahabat sejati?”
Akupun terdiam sesaat, dan dengan asal menjawab pertanyaannya.
“Yahhh... ntahlah mungkin iya atau mungkin juga tidak?” jawabku sambil lalu
Bab I
“Sepenggal Kisah”

Dan ini adalah kisah pertamaku sebelum mengenal teman baikku Arum Faza
Maulidya. Saat pertama kali aku melihatnya, aku yakin bahwa dia sebelumnya bukan
termasuk dalam kelasku ini. Aku benar-benar yakin akan hal itu, satu hari berlalu aku masih
saja memperhatikannya ntah kenapa ada sesuatu hal yang menarik darinya dan itu
membuatku penasaran dengannya. Hingga hari kedua dan ketiga, aku masih merasa
demikian. Saat itu, dia terlihat seperti orang yang bingung dan merasa kurang nyaman saat
pertama kali masuk dalam kelas ini. Dan itu memang benar-benar terlihat jelas dari sorot
matanya. Aku bisa tahu hal itu karena, sikap dan raut wajahnya memperlihatkan semuanya.
Dari cara dia tersenyum dan berkenalan serta menjawab saat beberapa teman lainnya
bertanya padanya, itu sungguh-sungguh terlihat seperti agak dipaksakan. Dia juga hanya
berbicara seperlunya saat ditanya, setelah itu ia hanya diam di tempat duduknya. Saat itu aku
belum berkenalan dengannya, dan hanya melihat semua itu dari sisi kiri samping tempat
duduknya. Sebenarnya aku sudah mengerti dan tahu mengapa ia bersikap demikian, ya
karena ia sama sepertiku. Sama-sama masih belum nyaman dan bahkan mungkin memang
benar-benar sama sekali tidak nyaman berada di sini, di ruang kelas Bimbingan Konseling
(BK)- A. Karena bagiku ruangan itu bahkan seperti pasar namun juga seperti ruang isolasi.
Sekilas akan terlihat seperti pasar karena memang sangat ramai dan juga berisik, akan tetapi
jika diamati lebih dalam lagi maka akan terlihat seperti ruang isolasi bawah tanah, sebab di
dalamnya aku merasa seperti seorang narapidana kejih yang tak dianggap ataupun dilihat oleh
mereka bahkan mungkin diacuhkan dan diremehkan karena alasan masuknya narapidana
tersebut dalam sel. Karena itulah, aku benar-benar muak dan tidak nyaman berada di
dalamnya, itulah mengapa aku mengatakan bahwa mungkin perasaannya sama sepertiku.
Akhirnya keesokan harinya aku memutuskan untuk mencoba bertanya dan
mengobrol dengannya hanya sedikit yang kutanyakan memang, akan tetapi menurutku itu
sudah bagus untukku agar perlahan-lahan rasa penasaranku bisa terjawab nantinya. Ah! Oh
iya, aku lupa berdongeng sedikit mengenai diriku. Sejak dulu saat aku masih duduk di
bangku SMP, biasanya aku selalu berusaha mendekati teman kelasku yang membuatku
penasaran terhadapnya, penasaran di sini maksudnya adalah tentang karakter dan dari bahan
gunjingan orang lain sih, hehe. Biasanya aku akan mendekati orang-orang tersebut lalu
sedikit demi sedikit mengenalnya lebih jauh dan mencari tahu kebenaran tentang gujning-
gunjingan yang dituduhkan geng tukang gosip di sekolah. Lalu, dan sampai sekarang aku pun
masih melakukan hal yang sama seperti dulu. Hari-hari berikutnya aku pun perlahan-lahan
mulai akrab dengannya, ya meskipun belum begitu dekat namun sejauh ini sudah cukup baik.
Semakin lama aku berbincang dengannya semakin banyak pula kemajuan pertemananku
dengannya, dia orang yang asik pikirku saat itu dan sepertinya antara aku dengannya
memiliki banyak persamaan. Yah.. itulah dia, kawan baruku yang merubah atmosfer
kehidupanku di kampus menjadi terasa cukup hangat dan menyenangkan. Dan inilah kisahku,
sebuah kisah yang tak terlalu membuat banyak orang penasaran akan tetapi, hanya menjadi
suatu cerita biasa yang sederhana serta berbagi pengalaman yang pernah aku alami.
***
Seperti kata pepatah“Mati Satu Tumbuh Seribu”, sama halnya dengan sebuah ikatan
persahabatan. Akan ada begitu banyak orang dekat denganmu, akan tetapi satu persatu dari
mereka akan pergi meninggalkanmu sendirian. Kemudian selanjutnya, akan ada orang baru
yang hadir dan tumbuh berada disampingmu. Memang begitulah hidup, karena pada
kenyataan manusia yang hidup tidak akan bisa hanya bergantung pada satu atau pun dua
orang saja. Bodoh memang jika dulu, sekitar satu tahun yang lalu aku menyia-nyiakan waktu
akhir masa sekolahku sendirian saja, sungguh bodohnya diriku ini. Ah! Yasudahlah, lagi pula
itu sudah berlalu dan kini aku hanya fokus pada apa yang akan datang dikemudian hari, dan
bukankah sekarang pun aku sudah mulai sedikit melangkah maju dari sebelumnya? Atau
mungkin aku masih sama seperti dulu? Masih terjebak diantara kenangan masa lalu itu.
Tidak terasa sudah hampir satu semester aku lalui di kampusku ini, dan ya tentu saja
kini aku sudah akrab dan dekat dengannya bahkan dia sudah mulai mempercayaiku dan
sering berbagi pengalaman dan kisahnya di masa lalu padaku. Siang itu arum memanggilku
dan mengajakku untuk mengerjakan tugas kelompok yang harus kami selesaikan sebagai
tugas akhir uas mata kuliah psikologi umum. Akhirnya, di sinilah kami di kamar 302 yang
menjadi tempat tinggalku sekarang. Kamar ini tidak terlalu luas dan hanya berukuran 4 x 4
meter dan di dalamnya pun hanya berisi satu buah kasur, lemari, meja lipat, tas, laptop dan
barang-barang lain selayaknya anak kuliahan yang tinggal sendirian di kota orang. Pagi
menjelang siang tadi, dosen pengampu mata kuliah psikologi kami tidak masuk, dan
beliaupun memberikan tugas pada kelasku. Tugas ini adalah tugas yang terakhir diberikan
beliau sebelum pembelajaran di semester satu ini akan berakhir, dan tentu saja aku sangat
senang mendengar hal itu. Jika kau bertanya kenapa? Ya tentu saja karena aku ingin cepat-
cepat libur semester hehe, lagipula aku sudah cukup jenuh dengan berbagai tugas dan
persoalan yang ada dalam kelasku ini.
“Eh gaes pak Herman ga bisa masuk nih hari ini” seru Uzi sambil setengah berteriak.
“Eh serius ga lu zi?” sahut Dimas.
“Eh iya ah yang bener, ntar tiba-tiba bapak masuk lagi” (sahut beberapa teman lainnya di
kelas).
“Iyalah serius, tapi kita dapet tugas nih. Kata beliau ini tugas terakhir sebelum UAS kok.
Udah ya gue langsung bagi kelompok aja”. Jawab Uzi dengan tenang.
Siang itu kelas semakin gaduh dan ramai, selagi uzi selaku PJ (Penanggung Jawab)
yang sedang sibuk membagi-bagikan kelompok ada juga Dea yang tengah membantu Uzi. Oh
iya aku lupa memperkenalkan Dea, dia ini kawan baikku juga di kampus setelah Arum, aku
dikenalkan arum saat itu.
“Eh dy, kenalin ini namanya Dea” seru Arum padaku.
Aku pun mengulurkan tanganku pada Dea, sekaligus memperkenalkan diriku padanya.
“Kenalin namaku Arindya Putri Pratama, panggil aja dya” sembari tersenyum dan
mengulurkan tangan.
“ Dizzy Edward Agustin, panggil aja Dea”. Jawabnya sambil menjabat tanganku.
Ah... sejak saat itulah aku mengenal kawanku ini “Dea”, awalnya aku mulai berpikir bahwa
dia ini terlihat seperti orang yang lembut, alim, pintar dan rada cuek tapi lama kelamaan ia
pun menunjukkan sifat aslinya yang sebenernya dan ternyata dia orang yang sedikit
menyebalkan dan tidak sealim yang dibicarakan anak-anak di kelas, meskipun begitu dia
orang yang sangat pemberani, baik dan juga sangat perduli dengan teman-temannya
meskipun ia tidak memperlihatkan sisi itu.
“Dya sama Arum ya” teriak Uzi.
“Yesss! Oy dy, liat noh kita sekelompok” seru Arum padaku sabil mengepalkan tangan dan
menariknya ke bawah. Arum menengok ke arahku, “Ah pantes aja nih anak tadi diem aja”
(eranngya). Saat itulah sifat nakal dan jailnya keluar, arum pun berjalan ke arahku dan
mendekatkan mulutnya ke telinga kananku.
“Oyyyy!” teriaknya.
Aku yang sedang melamun saat itu, langsung kaget dan menutup telinga dengan tangan kiri
secara spontan.
“Nah denger juga akhirnya” katanya sambil tertawa melihatku yang sedang kesakitan
mengelus-elus telinga.
Akupun lantas menatap ke arahnya dengan tajam dan menjawab,
“Udah puas ketawanya? (sambil menyetuh telinga) sakit nih ah rum, jail kamu tuh ga ilang-
ilang ya dari dulu”.
“Hehehe iya deh maaf, maaf. Abis kamu ngelamun mulu, ya.. makanya aku gituin” katanya
sambil berjalan menjauh dariku dan kembali ke tempat duduknya. “Noh kita sekelompok,
ngerjain yuk ntar siang di rusunmu aja”.
“Hem... iya deh terserah aja (sambil sedikit tersenyum)” jawabku singkat.
Siangnya, tentu saja kami jadi mengerjakan tugas itu di rusunawa kampus dan
sebenarnya aku tahu maksud dan tujuan Arum memilih tempatku tinggal saat ini, karena
selain karena memang dia ingin bermain ke kamar rusunku yang memang cukup dekat dari
kampus, dia juga menargetkan makanan-makanan yang ada di sana haha dasar tuh anak muka
badog (doyan makan). Setelah berjalan selama delapan menit, akhirnya aku dan juga Arum
sudah tiba di depan pintu berwarna putih. Akupun segera mengambil kunci kamarku dan
memasukkannya ke dalam klop pintu, saat pintu terbuka arum pun langsung menyelonong
masuk sebelum pemiliknya lebih dulu ke dalam, hahh emang ya tuh anak bener-bener (sambil
sedikit tertawa dan menyeletuk dalam hati “dasar arum”).
“Waduhh... nih kamer atau kapal pecah sih dy? Wkwk” tuturnya.
Sambil berjalan masuk dan menyalakan kipas, “Ah.. berisik deh rum, udah gausah komen
kamerku, aku yakin kamermu juga ga jauh beda dari kamerku (sambil menjulurkan lidahku
untuk meledeknya dan tertawa)”.
Arumpun diam tanpa suara dan hanya bisa cengar-cengir dari sudut kanan kamarku dan tentu
saja dengan tampang orang pada umunya.
“Eh dy, tau ga?” tuturnya memulai percakapan.
Aku yang sedang sibuk merapikan sedikit kamarku agar tidak terlihat sedikit berantakan,
menghentikan aktivitasku dan lantas menengok ke belakang, “tau apa?” tanyaku.
“Yahh itu, dy hehe” jawabnya.
“Ya apaan rum?” sambil melanjutkan merapikan kamar.
“Bahwa sebenarnya.......” tutur arum. “Aku sudah menduganya sejak awal”.
“Menduga apa?” tanyaku heran.
“Ya... menduga bahwa kamu bisa menjadi temanku” tuturnya.
Dan dari situlah awal perbincanganku dengan Arum kawan baruku ini dimulai. Niat awal
yang ingin mengerjakan tugas justu dialihkan sementara menjadi ajang mengobrol panjang
lebar mengenai banyak hal, seperti alasan masuk jurusan ini, masalah di kelas, dan juga
membicarakan mengenai masa lalu (SMA). Ah! Tentu saja hal ini akan menjadi masalah
yang sedikit menyingguku dan membuatku melamun lagi. Saking asyiknya melamun akupun
secara tidak sadar tidak mendengarkan cerita-cerita yang sedang ia utarakan padaku.
Meskipun terkadang aku menjawab dan menyaut apa yang dibicarakannya, akan tetapi
sebenarnya aku tidak menyimak apa yang sedang ia bicarakan. Sampai-sampai, aku tidak
sadar jika sekarang arum sudah menghentikan ceritanya dan beralih mengerjakan tugas kami.
“oy.. kok malah bengong lagi sih? Dari tadikan aku lagi ngomong dya” Arum menegurku.
“Eh.. iya kenapa rum?” jawabku tanpa merasa bersalah karena tidak mendengarkannya ya
karena memang aku sedang tidak fokus melamun tadi.
“Ah.. kau ini dari tadi aku sudah bercerita panjang kali lebar mengenai tugas ini, dan ternyata
kau tidak mendengarkanku. Yang benar saja dya”
“Hehehe sorry deh, karena ga dengerin penjelasanmu” jawabku
Hening sejenak, baik aku ataupun Arum kami berdua sama-sama diam dan memikirkan
pikiran kami masing-masing. Setelah jeda beberapa menit kemudian Arumpun tiba-tiba
bertanya padaku “Dya?”
Aku masih terhanyut dari berbagai macam peristiwa-peristiwa masa lalu, dan seketika itu
pula Arum memanggilku
“Dya?” panggilnya untuk yang kedua kali.
Aku yang sedang duduk dan melamun dengan asiknya sambil melihat langit biru nan indah di
atas sana, langsung tersadar dari lamunanku dan menoleh kearahnya.
“Ya?” jawabku
Arum pun perlahan-lahan bertanya padaku
“Dya, kamu percaya ga kalo di dunia ini ada yang namanya sahabat sejati?”
Akupun terdiam sesaat, dan dengan asal menjawab pertanyaannya.
“Yahhh... ntahlah mungkin iya atau mungkin juga tidak?” jawabku sambil lalu
Ntah kenapa tiba-tiba saja Arum bertanya begitu, padahal saat itu tidak ada angin
ataupun hujan yang turun dan anehnya dia mengalihkan pembicaraan yang semula mengenai
motivasi (materi tugas kami) kini berubah menjadi sahabat sejati. Aneh memang, tapi ya
begitulah arum, selalu saja melontarkan pertanyaan dan pernyataan yang tidak terduga
menurutku.
“Eh udah ah, ayo kerjain rum, ntar aja curcolnya” tuturku lagi agar mengalihkan
pembicaraan.
Baik Arum ataupun aku saat itu, kami yang awalnya saling terdiam hanyut dalam pikiran
masing-masing kini sudah mulai sadar dan mengerjakan tugas kami kembali.
Akhirnya tugas itupun selesai kami buat, dan sekarang tinggal kami cetak lalu kami
serahkan pada Uzi (pj mk psikologi umum).
***
13 Desember 2016
“Hay Lia.. hay Gita,..” sapaku ramah pada keduanya di pagi hari, sembari menepuk pundak
merek berdua.
“Hay dya” jawab gita sambil tersenyum.
Aneh sekali, kenapa lia tidak balas menyapaku seperti gita erangku dalam hati. Ah! Mungkin
dia sedang ada masalah dan tidak mood hari ini, tenang dy mungkin ini hanya perasaanmu
saja.
Gita Harsyandi, merupakan teman pertama dan sobat terdekatku dulu sebelum dia
dipindahkan dan duduk dimeja depan bersama Lia Rahmawati (sobat keduaku setelah gita).
Aku sendiri duduk di belakang meja gita bersama sobatku yang paling buaikkkk buangett,
Ugi namanya. Ugi itu sobatku juga di kelas X-4, meskipun kami berkawan baik dan sangat
dekat jika di kelas, kami jarang berkumpul bertiga dengan Marsya karena memang kami
bertiga memiliki sobat kami masing-masing. Aku dengan Ugi sendiri hanya sering asyik
mengobrol ketika jam pelajaran dimulai, ya tentu saja karena kami duduk sebangku dan jika
kami juga hanya berkumpul bertiga pada saat kegiatan ekstrakulikuler Pramuka. Delia Ugita
Rismawati, yang sering dipanggil ugi ini merupakan teman Sekolah Dasarku dulu, eh tapi
bukan satu sekolah melainkan sekolah musuhku dulu hehe. Waktu itu, pertengkaran anak
kecil antara anak SD Negeri Tambi 2 (sekolahku) dengan SD Negeri Tambi 1 (sekolah ugi).
Kami selalu berdebat dan mengolok-olok siapa sekolah yang paling bagus dan jelek, dan
memang saat itu SD Tambi 1 yang gedungnya lebih bagus dari gedung sekolahku selalu
meledek dan menghina bangunan gedung sekolahku karena itulah kami selalu berdebat dan
bermusuhan. Aku sendiri mengenal Ugi karena kita satu MDA dulu, meskipun tidak begitu
dekat, selain itu kami juga masuk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sama, ya
meskipun sama, tapi kami tidak begitu dekat dan beda kelas. Akan tetapi, saat aku dan ugi
dipertemukan kembali dalam satu sekolah dan dengan kelas yang sama di SMA Negeri 3
Indramayu ini, akhirnya kamipun merasa cocok satu sama lain sehingga semakin dekat
seperti sekarang ini, oh iya ugi ini orang yang baik, cantik, agak centil dan pintar nah karena
itu aku bersyukur sekali memiliki teman sepertinya. Dan sedangkan Marsya alias Natania
Marsyawati, aku mulai mengenalnya pada saat kita menjadi satu sangga (kelompok) dalam
kegiatan perkemahan pramuka. Dia itu orang yang sangat bawel, baik, cantik, dan orang yang
hebat menurutku. Ah iya! Aku lupa hehe bukankah tadi aku sedang bercerita mengenai Gita
dan Lia ya hehe, dan ya untuk Lia aku mulai mengenalnya karena gita memperkenalkannya
padaku saat itu, dan karena sobatku itu duduk dengannya maka akupun berusaha
mengenalnya lebih dekat seperti aku mengenal gita. Perlahan-lahan akupun mulai bisa
mengikuti dan mengimbanginya, meskipun tidak semua hal contohnya seperti kesukaan
mereka berdua yang sama-sama suka belanja dan sebagai cewek hal itu wajar dan biasa saja
akan tetapi jika menurut sudut pandangku jawabannya akan berbeda. Ya! Tentu saja
menurutku belanja itu hanya membuang uang yang sudah susah payah kukumpulkan, apalagi
jika berbelanja barang-barang yang tidak seharusnya dibeli. Aku yang notabenya cewe yang
agak tomboy, alhasil aku tidak terlau menyukai belanja dan lebih suka pergi bermain
timezone. Mengenai penampilanku pun jangan ditanya hehe tentu saja aku tidak
berpenampilan feminim seperti mereka berdua, bahkan bisa dibilang aku adalah orang yang
paling cuek dengan penampilan.
Aku dan Gita pada awalnya kami sangat dekat dan bahkan kemana-manapun selalu
berdua, pergi ke musholah, makan di kantin, belajar dan hal lainnya. Semakin lama berada di
kelas itu membuatku nyaman karena ada orang yang menetap disampingku, dan sampai pada
akhirnya Lia pun ikut bergabung bersama kami. Aku merasa senang dan baik-baik saja ketika
Lia ikut bergabung bersama kami, karena selain karena dia anak yang cukup pendiam dia
juga orang yang baik menurutku. Akhirnya pertemanan kami pun semakin berlanjut hingga
kami naik ke kelas XI-4 dan di sinilah awal perpecahan itu terjadi.
Bab II
“Lembar Baru”

15 Oktober 2018
Burung-burung pun mulai bernyanyi riang menyabut datangnya matahari pagi yang
cerah. Aku yang saat itu masih terpejam segera membuka kedua mataku karena silaunya sinar
yang masuk melalui celah-celah hordeng kamar rusunku. Akupun segera bergegas bangun
dari kasurku yang lembut, meraih handukku dan segera mandi untuk bersiap-siap berangkat
ke kampus pagi itu. Oh iya, aku tinggal di kamar ini bersama dua orang teman kampusku
juga yang berbeda jurusan denganku. Pagi yang begitu cerah, menyapaku dengan sangat
riang gembira. Sebelum melangkahkan kakiku pergi ke kampus, akupun membelokkan
langkahku ke warung makan langgananku untuk membeli sarapan setelahnya barulah aku
pergi dan melanjutkan langkah kakiku pergi ke kampus.
“Pagiiii, mbloooo” sapa Dea padaku.
“Wiihh.. pagi-pagi gini udah duluan dateng aja” tambah Arum yang menyusul Dea
menghapiri mejaku.
“Iyalah aku kan anak rajin, emangnya kalian berdua ngebo aja (sambil menjulurkan lidahku
keluar untuk meledek mereka)” balasku.
“Hahahaha iyadah terserah kamu aja dy mau ngomong apaan” tutur Arum sambil berjalan
menghampiri bangkunya.
Adanya kedua kawanku ini di kampus membuat hari-hariku menjadi terang, dan
sangat berwarna apalagi selain keduanya anak yang kadang-kadang nyebelin dan suka
banget jail mereka berdua juga ternyata anak yang rajin. Kerajinan mereka itu seperti virus
yang menyebar menyerang orang lain di dekatnya, nah virus positif itulah yang membawa
dampak baik bagiku.
“Eh kalian tau ga sih, kalo katanya kita bakalan ada kunjungan ke salah satu sekolah
menengah atas di kota Cirebon?” tanya Dea.
“Serius? Emang iya? Yang bener ah de, kamu kata siapa?” tutur Arum.
“Iya bener eh gatau juga sih hehe kan aku bilang katanya (sambil nyengir)” jawab Dea lagi.
Sambil mendengarkan dua kawanku berdebat, akupun berusaha mengingat-ingat apa yang
disampaikan oleh Uzi tadi. “Ah iya!” seruku membuat Arum dan Dea menoleh ke arahku.
“Iya apaan dy?” tanya Dea.
“Iya itu, apa yang dibilang sama kamu tadi de, bener kok. Kalo gasalah tadi aku juga
dengerin Uzi nyampein kunjungan itu”. Jawabku.
“Eh beneran nih seriusan?”tanya Arum lagi.
“Iya rum, bener aku juga denger kok tadi si Uzi bilang gitu.” Jawabku sambil tersenyum.
“Tuh kan apa kata aku, beneran kan (sambil menjitak kepala Arum)”. Seru Dea.
“Iya dah de, iya. Tapi gausah jitak kepala juga kali” tutur Arum.
“Hehehe iya deh maap ya” jawab Dea.
Mereka memang selau seperti itu, berdebat dan kemudian saling menjitak satu sama
lain. Rasanya jika tidak ada momen seperti itu, maka tak ada hiburan untukku.
“Tapi... btw itu kunjungan dalam rangka apaan ya? Kitakan masih semeter I? Tanyaku
kepada keduanya.
“Hem.. kao gasalah sih katanya, buat ngelatih mental kita dy, sebelum jadi orang yang ahli”
jawab Dea.
“Emang kunjungan di SMA mana?” tanya arum.
“Kata si Uzi sih di SMA Kartika, rum. Kenapa? Kamu mau cari gebetan di sana? (sambil
menyikut lengan arum dan tersenyum jail).
“Yaaaaaaa.... kalo emang ada sihhh, kenapa engga? Iya ga dy? Jawabnya.
Sambil memandang keduanya akupun lantas menoleh ke Arum seraya menjawab “Hem.. ya
ya ya boleh juga tuh rum (sambil nyengir).
SMA Kartika ini merupakan salah satu sekolah menengah atas swasta di kota
Cirebon. Sekolah dengan luas 7200 m2 ini, memiliki lima ruang kelas, satu ruang
laboratorium, satu ruang perpustakaan dan satu ruang sanitasi siswa. Dengar-dengar murid di
sini merupakan murid yang nakal dan juga pandai. Ini sangat menarik bukan? Perpaduan
antara murid nakal tetapi juga cerdas, sepertinya kunjungan kali ini benar-benar menarik
perhatian bagiku.

Anda mungkin juga menyukai