Anda di halaman 1dari 8

Langit Semakin Cerah

By Cecep Wijaya Sari

“Ok class, we are finished today, see you next week! “Alhamdulillah… akhirnya selesai juga. Sudah
sejak satu jam tadi aku tunggu kata-kata itu. Boring? It is. Siapa sih yang suka duduk selama berjam-
jam di ruang kelas sambil mendengarkan dosen berkoar-koar. Hanya bisa menatap dinding polos dan
whiteboard yang sama sekali nggak ada seninya. Ditambah lagi harus pasang telinga ngedengerin
materi yang gak jelas juntrungannya itu. Lebih parah lagi, tanpa kompromi dan tanpa basa basi, sekali-
kali dengan gaya komandan dia tunjuk siapa saja yang menurutnya jadi sasaran empuk, “You!” Ih,
nggak banget deh. Setidaknya itu yang aku rasakan. Yang lain? Bisa jadi. Tapi sudahlah, aku tidak mau
membahasnya berlarut-larut apalagi sampai menggunjing dosen itu. Merubah keadaan tidak, dosa iya.
Ah, I wanna go home now. Take a nap and just relax!

Langsung saja kurebahkan badanku yang sudah lemas ke kasur yang terhampar tanpa dipan
begitu sampai di kamar kostku. Sungguh nyaman rasanya melepas lelah walaupun berada di ruang
yang kecil tapi multifungsi ini. Kamar tidur, bisa. Ruang makan, boleh. Ruang belajar, oke. Ruang tamu
pun jadi. Sesaat kupandangi langit-langit yang menguning bekas tetesan air hujan yang sekali-kali
tembus. Kuputar lagu-lagu mellow kesukaanku dari winamp komputerku yang membuat pikiranku
semakin relax. Tapi entah mengapa kali ini mataku sulit terpejam. Pikiranku yang belum begitu tenang
kini mulai mengembara menelusuri setiap peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini.
Tidak terasa kini usiaku sudah menginjak kepala dua. Usia yang menurutku seharusnya sudah cukup
matang untuk bertindak dan mengambil keputusan yang tepat. Banyak sekali hal-hal di sekitarku yang
seharusnya aku jadikan pelajaran. Kuliah, organisasi, bahkan kerja part-time pun aku geluti hanya
untuk mendapat pengakuan dari orang-orang bahwa aku sudah layak disebut dewasa, sedewasa usiaku.
But I feel different. Di tengah-tengah kesibukanku yang menggunung, aku masih saja sempat
memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Semakin aku mencoba melupakannya semakin aku
tak bisa lari darinya.

“Tik, gimana ujian kemarin?” Tanyaku berbasa-basi sesaat setelah rapat selesai.
“Alhamdulillah lancar. Maaf Kang, saya harus segera pulang. Ada yang harus saya kerjakan.
Assalamualaikum..” Jawabnya dengan hanya menatapku sekali saja tanpa lupa melepas senyuman yang
terkesan dibuat-buat.
Waalaikum salam…” jawabku dengan nada yang sedikit menurun.

Tika, nama gadis itu. Dialah sosok perempuan yang kuidam-idamkan selama ini. Sepasang
bola matanya yang indah memancarkan sinar yang lembut tiap kali dia memandang. Balutan busana
Muslim dan kerudung rapi yang menutupi keindahan tubuhnya tidak mengurangi kecantikan dan
keelokan parasnya. Tutur katanya yang lembut dan terjaga membuat lelaki manapun terpana
mendengarnya. What a perfect girl!, pikirku. Dia adalah mahasiswi kedokteran di universitas yang
sama denganku. Walaupun kontras dengan jurusanku yang bergerak di bidang bahasa, namun
kemampuan berbahasa serta bersosialisasinya melebihi kemampuanku. Jadwal kuliahnya yang padat
tidak membutakannya untuk melihat dunia di sekitarnya yang lebih kompleks. Kepiawaiannya dalam
berdiskusi dan ide-idenya yang brillian membuat roda organisasi tetap berputar dan semakin
menyadarkan orang-orang akan inner-beauty-nya yang memoles keanggunan wajahnya yang sudah
sempurna.
Sudah setahun aku mengenalnya. Perkenalan itu berawal dari keterlibatan kami sebagai aktivis BEM.
Usianya dua tahun lebih muda dariku. Sejak perkenalan itu aku sudah merasakan sesuatu yang lain
pada diriku setiap kali berinteraksi dengannya. Tapi aku mencoba untuk tetap bersikap wajar dan
berusaha menjalin hubungan dengannya sebatas teman biasa. Hari-hari pun berlalu sampai pada
akhirnya aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku untuk bisa lebih dekat dengannya. Tanpa
kusadari, perasaanku ini mempengaruhi sikapku padanya. Aku pun yakin dia menyadari hal ini. Itulah
sebabnya dia seolah-olah menjaga jarak dariku.
Di sisi lain, belakangan ini kulihat dia akrab sekali dengan Tora, teman dekatku. Dia adalah ketua BEM
yang cukup disegani para anggotanya. Umurnya dua tahun lebih tua dariku. Berperawakan tinggi
walaupun tidak setinggi Tora Sudiro. Tidak terlalu tampan tapi cukup enak dipandang. Selalu
berpenampilan rapi dalam setiap opportunity, termasuk kuliah. Setiap pertama kali melihatnya,
siapapun akan menilainya orang baik-baik dan berwibawa. Tidak mengherankan banyak wanita yang
menaruh hati padanya, termasuk Tika, mungkin. Tora pun tahu perasaanku padanya. That’s why dia
tetap menjaga dan menghargai perasaanku. Tapi… entah mengapa aku merasa ada yang dia
sembunyikan dariku.

***

Keesokan harinya aku mengikuti rapat penanganan korban tsunami di Pangandaran.


Rencananya, BEM akan mengirimkan bantuan yang sudah terkumpul dalam tiga hari ini. Mudah-
mudahan bisa meringankan beban mereka. Selesai rapat, aku sempatkan berbicara dengan Tora
mengenai Tika. Kulihat dia masih sibuk membereskan file-filenya.

“Tor, lo kemaren ketemu Tika ya?” Tanyaku sambil menepuk bahunya.


“Ah, enggak kok. Siapa bilang?” Jawabnya singkat.
“Trus, ngapain lo ke Jatinangor? Lo kan ga ada kuliah lagi di sana?”
“Oh, cuma maen-maen aja”
“Maen ke tempat Tika kan? Udah ngaku aja. Gak apa-apa ko. Gue kan ga ada hubungan apa-apa sama
dia”
“Enggak ko, serius. Gue cuma maen ke temen kost lama gue. Udah lama gak ketemu mereka”
“Udah lah ngaku aja. Kemaren gue liat kok lo jalan berdua sama dia di Pangdam*”
“mmmh… sebenarnya iya si. Gue kemaren mampir ke rumah Tika, tapi itupun cuma bentar kok. Lo
gak marah kan, Ri?
“Ya enggak lah. Gak penting kali gue marah. Nah gitu dong sekali-kali jujur gak usah ditutup-tutupi
…”

Dengan sedikit kesal aku ungkapkan kata-kata itu. Satu hal yang aku tidak suka dari Tora
adalah sikapnya yang cenderung introvert. Walaupun dia dekat denganku, dia tidak suka menceritakan
hal-hal pribadinya. Dia lebih suka memendamnya daripada berbagi denganku. Termasuk hal yang satu
ini. Dia lebih suka menghagai perasaan orang lain walaupun dengan suatu kebohongan. Baik memang,
tapi bagiku menyakitkan.

***
Sementara itu, sepulang kuliah kulihat Tika sedang asyik berbincang-bincang dengan teman-
temannya di kantin kampus. Tempat yang lumayan kondusif untuk dijadikan tempat nongkrong karena
letaknya tidak jauh dari gerbang kampus dimana jelas terlihat para mahasiswa lalu-lalang pergi dan
pulang kampus. Penasaran apa yang mereka perbincangkan, aku mengajak temanku untuk makan di
kantin itu.

“Hai Tik!” Sapaku begitu masuk kantin


“Eh, kang Fahri…” Balasnya nya dengan roman muka yang cukup ceria. Lain dari biasanya
“Udah beres kuliahnya?”
“Belum Kang. Nanti ada kuliah lagi jam satu. Makan kang…”
“Iya nih, baru mau makan”

Balasku dengan melontarkan sedikit senyuman saja tanpa memperhatikan teman-temannya.


Aku sengaja memilih meja yang dekat dengan dia agar bisa mencuri dengar tentang apa yang mereka
perbincangkan.

“Tik, kayanya Tora emang bener-bener suka deh sama lo…” Temannya mulai melanjutkan
perbincangan.
“Ah, kata siapa. Enggak ko. Kita Cuma temenan aja” jawab Tika singkat.

Oh, ternyata tepat dugaanku. Mereka sedang berbicara tentang Tora. Pantas Tika kelihatan
lebih berseri. Kulihat dia tersipu malu menjawabnya. Pipinya yang merah semakin memerah.

“Soalnya dia sering nanyain lo..”


“Oh, mungkin ada perlu. Akhir-akhir ini kita kan banyak kegiatan”
“Bukan cuma nayain koq, nyeritain lo juga sering..”
“Masa sih? Mungkin karena kemaren aku ditunjuk jadi ketua panitia penanganan korban tsunami di
Pangandaran”
“Ah lo ini, ada aja jawabannya. Eh, tapi ngomong-ngomong, tadi Tora jalan ma siapa ya? Baru kali ini
gue liat dia jalan sama cewek.”
“Oh, sama temannya mungkin”
Kulihat ekspresinya mulai serius. Semakin meyakinkanku kalau dia menaruh hati pada Tora.
“Masa teman pake gandengan tangan segala? Mesra banget lagi”
“Masa sih?”
Kulihat wajahnya semakin memerah. Ekspresi tubuhnya semakin tidak terkendali seolah-olah tidak
percaya apa yang dia dengar.
“Ceweknya kali ya..?”
“Ya… mungkin aja”
“Lo cemburu ya..?’
“Ah, enggak. Orang gak ada apa-apa kok.”
“Kok ekspresi lo serius banget? He… santai aja kali. Gue bo’ong kok.”
“Ah, dasar anak jail Kamu! Yuk ah cabut..”

***

Semenjak kejadian kemarin siang, aku semakin yakin kalau Tora benar-benar meyembunyikan
perasaannya dariku. Sebelum aku dengar dari orang lain, aku ingin dia sendiri yang mengatakannya
dan berterus terang kepadaku. Hari ini aku putuskan untuk pergi ke tempat kostnya di DU* setelah
menelponnya terlebih dahulu semalam. Aku ingin permasalahan ini cepat selesai dan tidak selamanya
mengusik pikiran dan batinku.
Selepas kuliah, aku bergegas menuju Pangdam. Jilatan mentari siang yang membakar kulit tidak
mengurungkan niatku untuk pergi menemui Tora. Kulihat puluhan orang berjejer menunggu
kedatangan bis DAMRI jurusan Jatinangor - Dipati Ukur yang tidak pernah sepi penumpang yang rata-
rata mahasiswa itu. Ada yang sambil makan gorengan, ada yang sambil minum es, ada yang sms-an,
dan lain-lain tanpa melepaskan pandangan mereka pada arah kedatangan bis. Beberapa saat kemudian,
tibalah bis yang ditunggu-tunggu. Semua orang memburunya walaupun penumpang yang dari arah DU
belum semuanya turun. Semuanya berjejal dan berdesak-desakan memilih bangku yang kosong,
termasuk aku. Alhamdulillah, akhirnya aku mendapatkan bangku yang kosong. Langsung kusandarkan
kepalaku dan kupasang MP3 playerku. Tanpa terasa, mataku mulai terpejam dan terlelap. Sebelum aku
semakin terlelap, aku tunggu bapak kondektur yang biasa membagikan karcis. Tak lama kemudian,
Crek.. crek.. crek.. , tanpa berkata-kata, bapak kondektur membunyikan uang recehannya tepat
dihadapanku. Aku pun langsung menyodorkan uang lima ribuan kepadanya yang langsung dibalas
dengan kembalian dua lembar ribuan.
Satu setengah jam lamanya aku menikmati perjalanan menuju DU dalam bis. Cukup lah untuk sekalian
melepas rasa lelah selepas memeras otak mengerjakan ujian Grammar dan Composition yang
gampang-gampang susah. Tidak terasa kini aku sudah berada di depan kostan Tora yang hanya
beberapa meter dari kampus pusat.
Tok..tok.. tok.. Aku mulai mengetuk pintu yang suaranya terdengar nyaring sekali.

“Assalamualaikum…”
“Waalaikum salam… “

Tora keluar membukakan pintu untukku dengan setelan T-shirt dan celana sontoknya yang
biasa dia pakai dalam suasana santai.

“Eh, Fahri. Masuk, Ri” Sapanya mempersilakanku masuk.


“Iya makasih Tor. Wah. Kayanya lagi nyantai nih..”
“Ah, nggak juga. masih ada satu ujian lagi besok lusa. Lo udah beres?”
“Alhamdulillah… belum.”
“Ha..ha..ha.. bisa aja lo. Kapan beresnya?”
“Minggu depan. Tapi gampang koq, semuanya udah di luar kepala”
“Percaya deh sama lo…”
“Maksud gue, justru karena semuanya udah di luar kepala makanya gak ada yang masuk..”
“Ha.. ha.. dasar lo..”
Sengaja kutebarkan humor dan canda padanya untuk membuat suasana lebih segar. Aku tahu
dia lebih sibuk dariku karena aktivitasnya yang super padat. Aku pikir sedikit joke bisa membuatnya
lebih rilex. Awal perbincangan berlalu dengan suasana penuh keakraban dan santai sampai akhirnya
tibalah saatku untuk menyatakan tujuanku datang menemuinya.

“Tor, sebenernya sejauh apa sih hubungan lo sama Tika?” Pertanyaan itu langsung saja keluar dari
mulutku tanpa kurangkai dulu sebelumnya.
“Ya ampun Ri.. Ri.. Gue tu cuma temen sama dia. Gak lebih”
“Serius lo?”
“Serius..” jawabnya tegas. Dia berhenti sejenak. “Lo masih ngecengin dia ya?”
“Menurut Lo..?”
“Menurut gue sih iya”
“Lo salah Tor. Gue udah ngelupain dia.” Aku sengaja ucapkan kata-kata itu untuk memancing Tora
agar dia lebih terbuka padaku.
“Ah, serius Lo?”
“Serius”
“Oh…”

Kulihat ekspresi Tora semakin rilex. Berbeda waktu pertama kali kusinggung hubungannya
dengan Tika. Api di hatiku semakin menyala-nyala berupaya menguak misteri yang belum terpecahkan.
“Ri, gue beli minuman dulu ya. Lo haus kan?”
“Boleh lah.”
Sementara Tora keluar mencari minuman, mataku langsung tertuju pada komputernya yang sudah
menyala. Kucoba cari playlist lagunya siapa tahu ada yang setipe denganku. Dan… ragaku bak
disambar petir di siang bolong setelah tanpa sengaja kutemukan foto-foto Tika di file komputernya.
Kulihat lagi dan kucermati lagi. Ku gigit jariku sekuat mungkin berharap semua yang kulihat cuma
mimpi. Tetapi… apa yang terjadi adalah benar-benar nyata dan bukan rekayasa.

“Minuman datang…”
Sontak suara Tora membuyarkan lamunanku.
“Eh, nyari apaan lo” Tanya Tora ketika melihatku di depan komputernya.
“Cari musik. Lo simpen dimana si?”
“Oh, cari aja di drive D. nama filenya lagu aing*”

***

Aku adalah tipikal orang yang tidak akan berhenti sebelum semua permasalahan selesai.
Merasa yakin Tora menyembunyikan sesuatu dariku, aku mulai atur rencana untuk menyibaknya. Aku
mulai bertanya-tanya pada orang-orang di sekitar Tora dan juga Tika. Aku yakin dalam seminggu ke
depan semuanya akan terbuka dengan terang dan gamblang. Sedikit demi sedikit, informasi yang
kudapat sudah cukup membantu sampai akhirnya aku tahu siapa yang harus kutemui untuk bisa
memberikan jawaban yang benar-benar bisa memuaskanku.
“Hai, maaf kamu temannya Tika ya?”
“Iya. Kamu siapa ya?”
“Kenalin, gue Fahri. Teman Tika di BEM.”
“Mira. Mmm.. kayanya lagi ada perlu nih.”
“Iya. Gue mau tanya sesuatu. Belakangan ini Tika keliatan akrab sama cowok ya. Lo tau ga siapa?”
“Oh, Tora maksud Lo? Itu kan anak BEM juga. masa gak kenal?”
“Oh ternyata lo tau juga. gue kenal ko. Tapi, lo tau ga mereka ada hubungan apa?”
“Wah lo kayanya ketinggalan gossip nih. Mereka kan baru jadian…”

***

JADIAN? Kata-kata itu masih jelas terngiang di telingaku. Aku semakin tidak percaya bukan
hanya kepada Tora tapi juga kepada Tika. Tika, sosok perempuan alim yang selama ini kukenal tidak
pernah mengenal kata pacaran dalam kamus hidupnya. Aku tahu dia orang yang kokoh memegang
prinsip hidupnya. Tapi mengapa semudah itu dia jatuh ke pangkuan Tora. Sebegitu sempurnakah Tora
di matanya sehingga dia rela meninggalkan misi hidupnya? Tora, sahabat yang sangat kukagumi
kepribadiannya. Sosok lelaki yang bijaksana, berwibawa, dan patut menjadi panutan. Apa artinya
semua itu kini. Diam-diam dia tega menusukku dari belakang. Menghacurkan semua harapanku
menjadi puing-puing tanpa makna. Mengubur semua impian yang kini telah sirna. Tak bisa kubiarkan
semua ini terjadi begitu saja. Bara api yang masih menyala di dalam jiwaku tak bisa kupadamkan
sekarang. Aku harus membuatnya mengerti betapa sakitnya dibohongi.
Kuatur rencana serapi mungkin sehingga aku berhasil menemui Tora keesokan harinya dan
mengajaknya makan bersama di sebuah kafe di jalan Dago.

“Tor, Lo pacaran kan sama Tika?” Spontan kata-kata itu keluar dari mulutku setelah sekian menit aku
dan Tora menutup mulut.
“Udah berapa kali si mesti gue bilang? Gue tuh gak ada apa-apa sama dia.”
“Mendingan Lo ngaku aja lah. Gak ada ruginya buat lo.”

Tora tidak langsung menjawab. Dia mengambil air putih di gelasnya yang masih penuh.
Ekspresi wajahnya mulai serius.

“Ri… dengerin ya…”


“Gue liat ko foto-foto Tika di computer lo. Gue tau lo sering cerita tentang Tika ke orang lain. Gue tau
Lo pacaran dari teman deket Tika.” Belum sempat dia menjawab sudah kupojokkan dia dengan kata-
kataku yang semakin membuatnya gugup.
“Oke deh kalau memang itu mau lo. Gue emang pacaran sama Tika. Lo gak ada apa-apa kan sama dia.
Lo sendiri yang ngomong.”
“Dasar munafik Lo’

Brak… spontan dia memukul meja dengan keras sehingga membuat semua mata di kafe itu
tertuju padanya.

“Apa lo bilang?’ Dia berkata dengan mata yang berkaca-kaca. Posisinya kini sudah tegap dengan kedua
tangan mengepal. Baru kali ini aku melihat dia seperkasa ini.
“Gue bilang lo MUNAFIK!!” jawabku tegas denganl menekankan pada kata munafik sambil
mengarahkan telunjukku tepat di depan mukanya.

Tanpa basa-basi lagi dia langsung meninju pipi kiriku. Buk!!! Ach… tak kusangka pukulannya
sekuat ini sehingga aku tak bisa menahan badanku yang hilang keseimbangan dan akhirnya terjatuh.
Tapi aku bukan pecundang. Aku langsung berdiri dan membalasnya dengan kepalan tinju ke arah
perutnya yang belum sepenuhnya terisi makanan. Buk… Dia pun harus mengakui kehebatan tinjuku.
Badannya tersungkur ke belakang walaupun tidak terjungkal. Belum sempat kukeluarkan semua
kedigjayaanku, semua orang sudah mengerumuni aku segera melerai pertarungan sengit yang belum
usai.

***

Tiga tahun berlalu. Hari-hari berlalu begitu cepat laksana roda yang berputar pada porosnya.
Tora sudah meninggalkan kota kembang dan sekarang meniti karir di kota hujan Bogor. Menurut
informasi, dia bekerja pada sebuah industri otomotif ternama di kota itu. Kuliahku pun sudah selesai.
Gelar sarjana sudah di depan mata. bila kuingat kenangan-kenangan di masa lalu, ingin sekali ku
tertawa. Menertawakan diriku yang memaksakan diri menjadi dewasa tapi tidak pernah bisa
mewujudkannya.

“Assalamualaikum…”

Tiba-tiba terdengar ucapan salam dibalik pintu kamar kostku.

“Waalaikum salam” jawabku sambil membuka pintu.


“Kang, aya serat kanggo Akang”
“Oh.. nuhun nya, Cep”

Kuterima dua surat sekaligus. Yang satu berwarna pink dilapisi plastik, yang satu beramplop
polos. Kubuka terlebih dahulu yang berwarna pink. Sebuah surat undangan:

Akan menikah:
Prima Adriansyah
dengan
Tika Indah Wulansari

“Alhamdulillah…” syukur ku ucapkan kepada yang Maha Kuasa yang telah mempertemukan
dua insan untuk membina rumah tangga yang mudah-mudahan di ridloi-Nya. Tak ada sekecil pun rasa
kecewa, dengki, apalagi emosi selain mangingat kebodohanku di masa lalu. Ditanganku masih ada satu
lagi surat yang belum aku ketahui isinya. Kusimpan surat undangan itu dan kubuka surat yang satu lagi.

SELAMAT!!!

Anda terpilih untuk mengikuti program studi bahasa Inggris selama 3 tahun di Perth,
Australia. Biaya sepenuhnya ditanggung oleh British Council.
Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipiku yang kusam. Entah apa yang harus kupersembahkan
kepada-Nya sebagai wujud rasa syukurku atas segala yang telah Dia berikan. Haru dan bahagia
sekaligus bercampur menjadi satu. Tiada lagi kata-kata yang terucap selain ungkapan rasa syukur di
dalam hati. Kubuka jendela kamarku. Kubiarkan sinar mentari pagi memasuki seluruh isi kamarku.
Kuhirup udara segar dan kubiarkan mengisi rongga paru-paruku dan mengalir dalam tubuhku. Dan
kupandangi langit yang semakin cerah.***

Catatan:
Pangdam = Pangkalan bis DAMRI
DU = jalan Dipati Ukur
Kanggo = untuk
Nuhun = terima kasih
Cep = panggilan untuk anak laki-laki

Anda mungkin juga menyukai