Anda di halaman 1dari 3

32 (Renata P. S.

Saragih)

Naman gue Dinda, seperti biasa dipagi hari gue sudah pergi dari kost untuk hunting
makanan bersama teman-teman. Hidup di kota besar dengan uang bulanan yang cukup banyak,
bisa membuat gue seperti ratu di kota ini. Nongkrong di starbucks, nonton film tiap akhir
pekan atau belanja barang-barang branded adalah kegiatan rutinitas gue. Namun kuliah di
universitas terkenal tidak mudah. Sebagai mahasiswa, tugas-tugas dosen selalu menghantui.
Dengan mudah teman-teman yang lain bisa menyelesaikan tugas itu. Sedangkan gue,
menentukan judulnya aja udah pusing.
Suatu hari emak nelpon gue, katany perusahaan ayah bangkrut. Karena itu tiba-tiba
kehidupan gue berubah 180 derajat. Gue harus pindah ke kost yang lebih murah, walaupun jauh
dari kampus. Terkadang hanya bisa makan sekali dalam sehari. Gue juga harus menjauhi teman-
teman, bukan karena dikucilkan tapi gue hanya gak sanggup mengikuti gaya hidup mereka.
Semester ini adalah jadwal gue mengajukan tugas skripsi. Ayah sudah memperingatkan
kalau gue nggak menyelesaikan skripsi semester ini, semester depan ayah tidak sanggup
membayar uang kuliah. Mendengar itu gue makin stress, masalahnya gue dapat dosen
pembimbing yang tekenal sangat sulit.
“Pokoknya kalau dapat dosen itu harus siap mental, kuasain materi-materinya, pelajarin
ini, pelajarin itu” kata kakak tingkat yang mendapat dosen yang sama.
Belum lagi ada kabar yang beredar kalau dosen itu akan ke luar negri tiga bulan lagi. Itu
artinya gue tugas harus selesai kurang dari tiga bulan. Sudah banyak cara yang gue buat supaya
tugasnya diterima, tapi ternyata tetap aja tidak berhasil.
Seminggu lagi dosennya akan pergi, waktu yang sedikit untuk menyelesaikan tugasnya.
Suatu hari gue duduk di perpustakaan sambil melamun. Gue hanya menatap tugas-tugas yang
dipenuhi coretan merah. Sampai siang tiba, gue belum juga mendapatkan ide untuk
menyelesaikan tugas. Tiba-tiba seseorang mencolek punggung gue, orang itu adalah Santi
sahabat gue.
“ Eh Din, ngapain lo disini, gada kerjaan apa?” katanya sambil memperhatikanku.
Gue hanya ketawa kecil. Kadang gue heran sama hidup Santi, kelihatannya mulus-mulus
aja gitu. Udah cantik, pintar, kaya, apa lagi tugasnya sudah diterima bulan ini. Padahal dosen
pembimbingnya sama dengan gue. Kayaknya roda kehidupan itu ga berlaku buat Santi.
“Ditolak lagi?” tanyanya melihat gue dengan tugas-tugas yang berserakan. Dengan
melihat saja dia langsung tau apa yang terjadi. Gue hanya mengangguk.
“Mau gue bantu gak? Gue tau caranya biar tugas lo diterima. Kalau lo mau, kita
ketemuan nanti sore ya di lantai tiga tempat kita biasa nongkrong itu. Soalnya gue masih ada
urusan sekarang. Gimana?” katanya.
Gue mengangguk penuh semangat dan mengucapkan terimakasih ke Santi.
Kedatangannya seperti penyelamat bagi gue. Ya, dia memang sohib gue yang terbaik walaupun
gue menjauh dari dia.
Hari sudah sore, gue duduk di balkon lantai tiga. Di sana cukup sejuk. Gue ga sendirian,
ada lima orang lagi berkeliaran di situ. Gue segera membuka buku untuk mengisi waktu. Belum
sampai lima menit, mata gue berat, rasa kantuknya gak bisa ditahan, gue tertidur dan kaget waktu
kepala gue terjedot ke dinding di belakang.
Saat udah sadar, tempat ini udah sepi dan hari udah mulai magrib. Namun Santi belum
juga datang, gue udah coba hubungin dia katanya dia masih ada urusan lagi dan bakalan telat.
Tiba-tiba gue pengen ke kamar mandi. Kamar mandinya berada di tengah lorong. Gue harus
melewati kelas-kelas yang ada di lorong. Saat melintasi kelas dekat kamar mandi, gue melihat
seseorang sedang berdiri di dekat jendela. Gue sempat berhenti karena tertarik dengan model
pakaiannya. Dia memakai rok selutut yang mengembang serta kemeja yang dikancingkan sampai
ke leher, rambutnya ikal dan wajahnya juga bersih. Tapi gue segera ke kamar mandi untuk buang
air kecil. Setelah itu gue mendapat pesan dari Santi kalau bentar lagi dia datang. Akhirnya gue
keluar dari kamar mandi. Saat melintasi kelas, gadis itu masih ada kali ini dia melambai ke arah
gue.
“Kamu manggil aku?” tanyaku kebingungan.
Dia hanya tersenyum. “Adek baru ngerjain skripsi ya?” tanyanya.
Sebenarnya dia tampak lebih muda, dan gue heran karena dia manggil gue adek. Gue
hanya mengangguk keheranan, gimana dia tau gue lagi ngerjain skripsi.
“Kalau ga kuat lepasin aja dek”
Gue semakin bingung. Kepala gue tiba-tiba pusing, mata gue jadi sedikit kabur.
“Sini dek, ikut aku” ajaknya
Anehnya gue ngikutin dia lalu dia membawa gue ke kamar mandi. Dia terus tersenyum
dan gue rasa wajahnya makin bersinar.
“Lihat di sana!” katanya sambil menunjuk ke atas.
Lalu dia berbisik tepat di belakang telinga gue “Lepasin aja kalau berat”
Saat gue mengangguk seketika segalanya menjadi gelap. Gue serasa masuk ke tempat
yang ga ada cahayanya. Sampai gue dengar seseorang memanggil nama gue.
“Din, sadar Dinda, ayo bangun!”
Gue membuka mata dan melihat wajah Santi yang sangat khawatir, dia hampir menangis.
“Din, gue tau hidup lo berat. Tapi bukan berarti lo bisa ngelakuin ini”.
Gue bingung dan bertanya “Gue kenapa?”
Santi menunjuk ke atas. Sebuah tali menggantung dan terayun-ayun.
“Hah… trus gadis itu tadi kemana?” tanyaku nyaris histeris.
Santi segera membantuku untuk bangkit dan bertanya siapa gadis yang kucari. Aku lalu
menjelaskan ciri-ciri gadis yang ku temui tadi. Namun Santi menutup mulutku, menyuruh diam.
Suasana jadi semakin mencekam.
“Pokoknya kita keluar dulu sekarang. Cepat-cepat!” Santi memapahku dan bergegas
keluar dari gedung. Perjalanan turun terasa lama dan Santi hanya terdiam, wajahnya sangat
tegang. Barulah saat kami di lantai bawah, Santi bernapas lega.
“Ada apa sih, San?” aku bertanya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Din, kayaknya lo barusan ketemu sama penunggu lantai tiga” jawabnya.
Gue diam membatu. Gue udah sering dengar tentang penunggu lantai tiga, tapi gue ga
nyangka bakalan ketemu sama dia. Konon katanya dia ini mahasiswi yang stress karena masalah
skripsi lalu bunuh diri di kampus. Itulah mengapa gaya berpakaiannya sangat kuno sebab dia
memang bukan berasal dari dunia dan zaman ini.
Kami segera lari ke parkiran, di sana kami menceritakannya ke satpam. Dengan
inisiatifnya, satpam itu datang ke kamar mandi dan mengecek lantai tiga. Saat dia turun dia
bilang tali gantungan itu sudah tidak ada. Satpam itu menyuruh kami pulang dan menasehati
kami agar tidak main ke lantai saat magrib sendirian.
Santi mengajakku mampir ke sebuah cafe. Dia memesan teh manis hangat untuk
meredakan gemetar di seluruh tubuh kami. Santi memandangku dengan ragu dan khawatir. Gue
mengangguk mengerti dengan pandangannya.
“Gue meski hidup gue berat, gue ga akan pernah ngelakuin hal gila itu. Percayalah sama
gue” kata gue
Santi tersenyum lalu menepuk punggungku dan berkata “Gue bakalan bantuin lo sebisa
mungkin, Din. Jangan khawatir dan jangan menjauh lagi, janji”
Gue tersenyum dan mengangguk, Santi ikut tersenyum lega. Hari itu tidak akan gue
lupakan. Dari situ gue akan tetap berusaha sampai tugas gue diterima dosen.

Anda mungkin juga menyukai