Anda di halaman 1dari 93

PROLOG

ANAK BAIK

SEOKJIN

10 0ktober 2009

“Ayo pergi, kita harus keluar dari sini!” Aku meraih tangan temanku dan berlari ke
pintu belakang kelas kami. Ketika aku melihat ke belakang sambil berlari, aku melihat orang-
orang itu keluar dari ruang kelas mengejar kami. “Berhenti! Berhenti disana!” Suara-suara
mereka seperti menguasai leher kami.

Kami dengan panik berpikir kemana harus pergi ketika kami berpisah menuruni
tangga. Tujuan pertama yang muncul di benakku adalah bukit dibelakang sekolah kami.
Kami hanya perlu menyebrangi taman bermain dan pergi ke gerbang sekolah lalu kami
berjalan ke dasar bukit. Meskipun tidak tinggi, tapi jalannya berbatu dan kasar. Setelah
berlari melewati gerbang dan memutari tikungan dengan kecepatan penuh, kami
mengabaikan jalan setapak dan melompat ke semal-semak. Kami menutupi tubuh kami dan
terus berlari. Kami berlari sudah begitu lama, akhirnya kami berhenti ketika suara langkah
kaki dibelakang kami menghilang.

Kami berbaring di tanah yang ditutupi lapisan daun kering, keringat menetes dari
wajah kami. “Mereka tidak akan bisa mengikuti kita disini kan?” Temanku mengangguk,
terengah-engah. Kami mengangkat sedikit kaos kami untuk menyeka keringat diwajah kami.
Pergelangan tangannya hitam kebiruan dengan memar. Leher kaosnya robek.

“Ayah belum pulang lebih dari seminggu. Ibu terus menangis. Pembantu dan supir
tidak datang lagi. Tante mengatakan bahwa perusahaan Ayahku ditutup. Orang-orang itu
datang ke rumah kami tadi malam. Mereka terus menekan bel dan meneriaki Ayah. Kami
tinggal didalam dengan semua lampu dimatikan, dan mereka terus menyumpahi kami
didepan pintu. Kami tidak bisa tidur sama sekali.” Temanku menangis sepanjang kisahnya.
Aku tidak bisa memikirkan apapun untuk dikatakan. Yang bisa kulakukan hanyalah
memberitahunya untuk tidak menangis.

Tidak lama setelah kelas dimulai tiba-tiba pintu depan terbuka dan empat atau lima
pria masuk. Mereka nakal dan gegabah. “Yang mana dari kalian putra dari Mr.Choi? Ayo
keluar bersama kami.” Tertegun, guru kami meminta mereka untuk segera pergi, tapi
mereka mengabaikannya. “Kami tahu kamu disini. Ayo keluar sekarang!” Beberapa anak
memandang temanku yang duduk disebelahku dan memulai berbisik. Para pria itu
memperhatikan dan datang kearah kami. “Tidak bisakah kalian lihat kami sedang belajar?
Tolong pergi.” Guru kami mecoba menghalangi mereka tapi salah satu pria itu
mendorongnya dengan keras ke papan tulis. Dia jatuh ke lantai.

Pria yang mendorong guru kami berjalan ke arah kami dengan mengancam. Semua
siswa menoleh kearah kami. Pria itu menyambar lengan temanku. ”Kami akan membawamu
ke Ayahmu dan akan mendapatkan uang darinya, dia tidak ingin kehilangan putranya kan?”
Para pria itu mengancam dan suasana jadi menakutkan.

Aku melihat wajah temanku. Dia gemeteran dengan kepala tertunduk. Dia temanku.
Aku meraih tangannya lewat bawah meja. Dia mendongak dan aku menarik tangannya “Ayo
kita lari.”

Langit semakin gelap. Sepertinya sudah tidak ada yang mengejar kami. Kami masuk
ke jalanan setapak, melalui pepohonan dan semak-semak. Banyak peralatan bermain yang
kosong muncuk dihadapan kami. Aku bersandar dan temanku duduk dibangku. “Aku
khawatir kamu akan dapat masalah karena aku.” Temanku tampak gelisah, lalu aku
mengatakan kepadanya bahwa aku akan baik-baik saja. Yang bisa kupikirkan hanyalah cara
mengeluarkan temanku dari sana. Aku harus membuatnya jauh dari pria-pria itu. Tapi ketika
kami melarikan diri, aku menyadari bahwa kami tidak punya tempat untuk pergi.

“Ayo pergi ke tempatku.” Aku pastikan sudah sekitar jam 9 malam saat ini sudah
beberapa waktu telah berlalu sejak matahari terbenam. Aku kelaparan. Dia pasti juga begitu.
“Bukankah orang tuamu ada dirumah? Tidakkah kamu akan dapat masalah jika
membawaku?”. “Kita bisa menyelinap masuk. Jika kita mendapat masalah, maka kita akan
dapat masalah bersama.” Rumahku tidak jauh dari kaki bukit. Segera, rumahku mulai terlihat
dari kejauhan. “Kamu masuk lewat belakang ketika aku buka gerbang dan sembunyi dekat
pohon. Aku akan membukakan jendela nya nanti.”

Ibu sedang duduk di sofa ruang tamu. “Kemana saja kamu? Tadi gurumu
menelepon.” Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku mengatakan padanya aku menyesal.
Biasanya itu cara tercepat untuk mengakhiri percakapan. Kata Ibu, Ayah akan pulang
sebentar lagi dan langsung pergi ke kamarnya. Kamarku berada di sebrang kamar mereka
dengan ruang tamu ditengah. Aku segera masuk ke kamar dan membuka jendela.

Kami mendengar gerbang depan terbuka saat bermain game komputer dan setelah
makan camilan roti dan susu. Temanku menatapku dengan mata ketakutan. “Tidak apa-apa.
Ayah tidah pernah masuk ke kamarku.” Lalu, pintu kamarku tiba-tiba terbuka sebelum aku
selesai berbicara. Kami melompat dari tempat kami duduk dengan ketakutan.

“Apakah kamu putra Mr. Choi?” Ayah melanjutkan tanpa menunggu jawaban. “Ayo
keluar. Seseorang menunggumu disini untuk membawamu.” Ada seseorang berdiri di dekat
pintu. Aku pikir dia Mr. Choi pada awalnya tapi dengan cepat aku sadar bahwa itu bukan dia.
Dia adalah salah satu dari pria-pria dikelas sebelumya. Aku menatap Ayah. Dia tampak
lelah, dengan raut wajah dan kelopak matanya yang bergetar. Lebih baik tidak
mengganggunya disaat dia dalam suasana hati seperti ini. Ketika aku mencoba membaca
wajahnya, pria itu masuk ke kamarku dan meraih bahu temanku. Aku berdiri menghalang
didepan temanku. “Tidak. Ayah, jangan biarkan orang ini membawanya. Dia adalah salah
satu dari orang jahat.”

Dia terus menatapku dan tidak bergerak. “Tolong bantu dia, Ayah. Dia temanku.”
Pria itu mencoba menarik temanku keluar. Aku berpegangan pada lengan temanku, dan
Ayah memegang bahuku. Dia menggenggamnya dan menariknya dengan keras. Aku
melepas tangan temanku. Dia diseret keluar dari pintu. Aku mengamuk untuk membebaskan
diri, tapi ayah menguatkan cengkramannya. “Sakit!” Aku berteriak, tapi dia tidak
melepaskannya. Dia menggenggam bahuku lebih erat, air mata mengalir di wajahku.
Aku menatap ayah. Dia seperti dinding abu-abu yang besar. Wajahnya tanpa
ekspresi, bahkan tatapan kelelahannya tadi kini hilang. Dia perlahan membuka mulutnya
dengan mata tertuju padaku. “Seokjin, jadilah anak yang baik.” Dia masih memiliki tatapan
kosong. Tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan, untuk menghentikan rasa sakit.

“Seokjin.” Aku menoleh kepalaku ke arah tangisan temanku. Dia lolos dari
cengkraman pria itu dan berlari ke pintu kamarku. Dia menangis. Ayah. dengan satu
tangannya masih mencengkram pundakku, membanting pintunya tertutup dengan tangan
satunya. Aku minta maaf padanya. “Aku minta maaf, Ayah. Aku tidak akan membuat
masalah lagi.”

Hari berikutnya, kursi di sebelahku kosong. Guruku bilang dia pindah ke sekolah lain.

BAYANGAN
MASA KECILKU

HOSEOK

23 Juli 2010

Itu semua terjadi saat aku berhitung sampai empat. Aku menghitung beberapa buah,
mungkin tomat atau melon. Aku tidak yakin. “Empat.” Setelah aku mengatakannya, sebuah
kenangan dari masa kecilku muncul di depan mataku. Aku berpegangan tangan dengan
seseorang.

Itu adalah hari dimana aku pergi ke taman hiburan dengan Ibu. Aku terpesona oleh
bendera dan deretan toko yang penuh warna. Orang-orang berpakaian seperti badut
melambai padaku dan musik yang bergema di setiap sudut. Ibu berhenti didepan komidi
putar. Kuda-kuda putih berputar-putar dibawah lampu yang berkilauan. Aku baru saja akan
bertanya, “Bu, apa kita kemari untuk menunggangi ini?” Lalu seseorang memanggilku.
“Hoseok.” Aku mendongak.

Itu guruku. Teman-teman sekelasku menatapku bingung. Kenangan masa kecilku


menghilang. Guruku mendesakku untuk melanjutkan hitungan. Lima. Enam. Ibu muncul
didepan mataku lagi. Dia tampak persis sama dengan semenit yang lalu. Wajahnya yang
teduh saat dia berdiri didepan cahaya, dan semilir angin mengibas rambutnya. Ibu
memberiku sebatang coklat. “Hoseok, tutup matamu rapat-rapat dan jangan membukanya
sampai kamu menghitung sampai sepuluh ya.”

Tujuh, Delapan. Sembilan.. Aku berhenti. Guruku memberi isyarat untuk


melanjutkan. Teman-teman sekelasku menatapku lagi. Aku membuka mulut, tapi tidak ada
kata-kata yang keluar. Wajah ibu kabur. Rasanya seolah dia tidak akan pernah mencariku
jika aku menyelesaikan hitungan sampai sepuluh. Aku jatuh ke lantai.
TAEHYUNG

29 Desember 2010

Aku melepaskan sepatuku, melemparkan tasku ke lantai, dan berlari ke kamar. Ayah
ada di rumah. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan sudah berapa lama dia pergi dan
dari mana saja dia? Aku lari dan melemparkan diriku ke pelukannya. Semua menjadi buram
sejak saat itu. Aku tidak yakin apakah aku mencium bau alkohol pada napasnya. Pertama
kali, mendengarnya mengutuk, dan menampar wajahku. Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Napas alkoholnya menjijikkan dan napasnya sangat bau. Matanya merah seperti darah. Dia
memiliki janggut yang berantakan. Tangannya yang besar menampar wajahku. "Apa yang
kau lihat?" Dia menamparku lagi. Ayah meraih pundakku dan menarikku. Aku hampir
berhadapan dengannya. Mata merah dan jenggotnya yang berantakan. Dia bukan ayahku.
Ya, Dia Ayahku. Tapi seperti bukan. Kakiku menggantung di udara. Aku sangat ketakutan
sehingga aku tidak bisa menangis. Lalu, kepalaku membentur ke dinding dengan keras dan
aku jatuh ke lantai. Rasanya seperti kepalaku pecah. Aku hampir tidak bisa melihat lurus.
Dan pandangan menjadi gelap gulita.

JIMIN

6 April 2011

Aku pergi ke gerbang depan Arboretum Bunga sendirian. Langit mendung dan agak
dingin. Tapi aku merasa baik-baik saja. Hari ini adalah hari piknik sekolah, dan seperti biasa,
orang tuaku terlalu sibuk untuk tahu. Ini membuatku sedih. Tapi aku menerima evaluasi
(pujian) tinggi dalam kontes menggambar bunga, dan Ibu dari teman-temanku semua
mengatakan kepadaku, "Kamu sangat dewasa dan gentle." Aku pikir aku sangat keren.

“Jimin, tunggu di sini. Hanya sebentar." Kata guruku setelah piknik selesai dan kami
bersiap-siap meninggalkan Arboretum. Aku tidak menunggu. Aku tahu aku bisa jalan sendiri.
Aku memegang tali pengikat dari ranselku dengan kedua tangan dan mengambil langkah
dengan percaya diri. Semua orang sepertinya menatapku, jadi aku menjaga bahuku.
Setelah berjalan sebentar, hujan mulai turun. Teman-teman sekelasku dan Ibu mereka
semua telah pergi, dan tidak ada yang memberikan perhatian padaku. Kakiku sakit. Aku
berjongkok dibawah pohon. Hujan mulai turun semakin deras. Aku meregangkan leher untuk
memeriksa apakah ada yang datang dari kedua sisi, tapi tidak ada orang di sekitar.

Aku mulai berlari, memegang ransel ku diatas kepalaku dengan kedua tangan. Hujan
terus turun semakin deras, celana ku basah kuyup setelah beberapa langkah. Tidak ada
toko, rumah, atau halte bus yang terlihat. Dari kejauhan, aku melihat gerbang. Aku berlari ke
arahnya tanpa berpikir. Tanganku terasa kebas karena mencengkeram tali ransel. Aku
basah kuyup, dan gigiku menggigil. Diatas gerbang ada tanda yang bertuliskan Grass
Flower Arboretum. Itu gerbang bagian belakang. Ada gudang kecil di dalam gerbang.
SEOKJIN

21 Juli 2012

Pintu masuk terus membuka dan menutup. Aku terus menatapnya sambil duduk
diruang tunggu bandara. Orang-orang lewat membawa kopernya, beberapa memakai
kacamata hitam. Papan display elektronik terus berubah dengan waktu kedatangan,
penundaan, dan pembatalan. Supir itu bergumam dengan mata tertuju pada ponselnya.
"Belum ada kabar darinya." Aku melihat jam tanganku. Sudah lebih dari satu jam lewat
waktu yang dijanjikan Ayah untuk datang.

Sepanjang yang bisa aku ingat, aku selalu sendirian. Ayah sibuk dan Ibu acuh tak
acuh. Mereka mengatakan kepada ku untuk melakukan apa yang diperintahkan kepada ku
dan tidak mencoba hal lain. Jika aku tidak taat, mereka akan memarahi ku dalam diam. Aku
ingin membahagiakan orang tuaku.

Ibu meninggal belum lama ini. Ayah mengatakan kepadaku untuk tidak menangis
atau tidak menangis sendirian. Aku mencoba untuk mematuhinya, tapi itu tidak mudah. Dia
memutuskan untuk mengirimku ke nenekku di Amerika. Dia tidak terlihat sedih tentang hal
itu.

Supir ayah memberi pasporku. Sudah waktunya aku untuk pergi. Aku melihat ke
belakang saat menuju pintu keberangkatan. Pintu masuk itu tertutup. Supir itu melambai
padaku. Pesawat akhirnya mulai mempercepat landasan. Dan Ayah tetap tidak datang.

Aku melihat keluar jendela kecil di dekat tempat dudukku. Awan berlalu, dan langit
berubah gelap gulita. Pramugari membawakanku makanan, dan tiba-tiba cangkir jus tumpah
ketika kami turbulensi. Aku bingung, aku meminta beberapa serbet. Pramugari bertanya apa
aku baik-baik saja? Nasi goreng dan daging nya terendam dalam jus. Tanganku lengket dan
celanaku basah semua. "Tidak." Aku balas berbisik, tapi pramugari sepertinya tidak
mendengar. Dia bilang jangan khawatir saat dia mengambil nampannya. Aku mengangguk
dan terus menatap lantai.

NAMJOON

21 Juni 2016

Aku melesat menuruni tangga dari lantai 13. Aku kehabisan nafas dan kakiku
gemetaran. Aku terbaring di bayangan pintu masuk ke gedung apartemen. Aku mulai
terlambat hari ini karena sekolah keluar lebih lambat dari biasanya. Aku harus pergi dengan
kecepatan penuh untuk memasang selebaran di empat gedung apartemen pada tenggat
waktu. Jika tidak, bos ku akan menungguku dengan waktu kuliah yang panjang. Dengan
susah payah aku membujuknya untuk mempekerjakan seorang siswa sekolah menengah.
Tentunya, aku tidak bisa membiarkan diriku dipecat pada saat seperti ini. Ibu berhenti dari
pekerjaannya di restoran minggu lalu. Kami harus membayar tagihan dokter untuk Ayah,
belum lagi listrik dan gas yang tertunda. Aku terus mengangguk dalam bayangan. Ada anak-
anak bermain basket di kejauhan. Aku bangkit lagi. Waktunya untuk berlari. Aku
mengingatkan diriku harus melakukannya. Aku bisa melakukan nya.

YOONGI

19 September 2016

Api membakar rumah ku. Pagi tadi masih utuh, tapi sekarang sudah terbakar. Orang-
orang yang mengenali ku berlari ke arahku, meneriakkan kata-kata yang tidak dapat aku
pahami. Para tetangga menghentakkan kaki mereka, tampak gugup. Truk pemadam
kebakaran tidak bisa sampai ke rumahku karena akses jalan diblokir. Aku berdiri disana
membeku. Hari itu adalah akhir musim panas dan hari pertama musim gugur. Langit biru
dan udaranya segar. Tidak tahu harus berpikir apa, merasa apa, atau apa yang harus aku
lakukan. Tiba-tiba, aku memikirkan Ibu. Pada saat itu, rumahku ambruk dengan keras.
Semua diselimuti api. Atau, lebih tepatnya, itu adalah api raksasa. Atap, pilar, dinding, dan
kamarku jatuh satu demi satu seperti terbuat dari pasir. Yang bisa aku lakukan hanyalah
menatapnya dengan mata kosong.

Orang-orang menerobos melewatiku. Aku mendengar mereka mengatakan truk


pemadam kebakaran akhirnya bisa lewat. Seseorang mencengkeram pundakku dan
bertanya dengan nada mendesak, "Apa ada orang disana?" Aku hanya menatap kosong
padanya. "Apa Ibumu ada disana?" Dia mengguncangku dengan keras. "Tidak, tidak ada
siapa-siapa." Aku mendengar diriku mengatakan itu. "Apa maksudnya?" Itu adalah salah
satu wanita dari lingkunganku. "Bagaimana ibumu? Dimana dia?". “Tidak ada seorang pun."
Aku tidak yakin apa yang aku katakan. Seseorang menerobos melewatiku lagi.

JUNGKOOK

11 September 2017

Aku menunggu selama sepuluh hari, tapi kartu ucapan tidak pernah datang. Aku
membuka laci bawah dan mengangkat buku catatan untuk menemukan empat kartu.
JungKook, Selamat Ulang Tahun, dari Ayah. Aku sudah membaca lima kata ini berulang-
ulang.

Saat itu musim dingin, Aku berusia 7 tahun. Suara-suara dari ruang tamu
membangunkanku. Kamarku berada di loteng, dan aku bisa menggapai kamar orang tuaku
dengan menuruni lima anak tangga dan membuka pintu geser. Aku mengulurkan tangan
untuk membuka pintu dan berhenti. Walaupun saat itu aku masih kecil, aku dapat
merasakan dari atmosfer yang berat melalui pintu itu, bahwa ini bukan waktu yang baik.

Ayah mengatakan bahwa terlalu sulit untuk melanjutkan hidup dan dunia ini terlalu
berat untuk ditanggungnya. Ibu tidak menjawab. Dia mungkin menangis diam-diam atau
tidak bergerak sama sekali. Sebuah keheningan panjang terjadi. Ayah berkata dia akan
hancur kalau terus hidup seperti ini dan dia harus pergi sekarang. Ibu protes keras,
memanggilnya pria paling tidak bertanggung jawab. Kemudian, aku mendengar namaku.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan Jungkook?". Aku menunggu lama di balik pintu, tapi
Ayah tidak menjawab. Lalu aku mendengar suara pintu depan terbuka. “Aku benar-benar
hampa, dan tidak ada yang bisa kulakukan untuk Jungkook.” Itu adalah kata-kata terakhir
dari Ayahku.

Aku berlari menaiki tangga ke loteng. Aku memindahkan kursiku ke dinding tepat
dibawah jendela dan berdiri diatasnya. Ayah sedang berjalan menyusuri jalan yang landai.
Mula-mula suara langkah kakinya, lalu pinggang, dada, dan pundaknya. Sepertinya dunia
yang tidak dia kenal perlahan-lahan menelannya.

Seseorang menyentak pintu kamarku terbuka, dan aku mendorong laci dengan
kakiku. Itu adalah Ibu. Dia berkata bahwa tidak ada kartu ulang tahun yang akan datang dan
Ayah orang yang seperti itu. Itu adalah hal yang biasa. Ayah berpikiran lemah, tidak
kompeten, dan yang paling penting, ketidakcocokan sosial yang membuat dia meninggalkan
kami. Ibu benar. Tidak ada kartu ulang tahun yang akan datang. Aku adalah dunia yang
terlalu berat baginya untuk menanggung dunia yang dia tinggalkan. Seorang anak yang
tidak pernah bisa menjadi alasan untuk mempertahankan semuanya. Itu Aku.

SEMUA BERAWAL
DARI SINI

SEOKJIN
02 Maret 2019

Aku masuk ke kantor kepala sekolah mengikuti Ayah. Baunya seperti jamur. Sudah
sepuluh hari sejak aku kembali dari Amerika, dan aku baru tahu sebelumnya bahwa aku
akan berada satu kelas lebih rendah karena sistem sekolah yang berbeda, "Tolong jaga
anakku dengan baik." Aku merinding dengan tangan Ayah di pundakku. "Sekolah adalah
tempat yang berbahaya. Sekolah harus dikontrol dengan ketat." Kepala sekolah menatap
mataku. Mengenakan setelan hitam, pipinya yang keriput dan mulutnya yang sedikit
bergetar setiap kali dia membukanya. Bagian dalam bibirnya yang menghitam bahkan lebih
gelap. "Apa kamu tidak setuju, SeokJin?" Seketika aku terkejut pada pertanyaannya yang
tiba-tiba, Ayah mengencangkan genggamannya di pundakku. Aku merasakan ada rasa sakit
dibagian belakang leher ku. "Aku yakin kamu akan berperilaku baik." Kepala sekolah
berusaha keras melakukan kontak mata, sementara Ayah semakin mendekatiku. Aku
mengepalkan tanganku saat cengkeramannya hampir mematahkan tulang bahuku. "Kamu
tahu kamu harus membuktikannya kan? Kamu akan menjadi murid yang baik kan?" Kepala
sekolah menatapku tanpa sedikit senyum. "Iya." Segera setelah aku menjawab, Ayah
melepas cengkramannya. Rasa sakit di bahuku menghilang. Ayah dan kepala sekolah
tertawa terbahak-bahak. Aku bahkan tidak bisa mengangkat kepalaku. Aku terus menatap
ke sepatu cokelat Ayah dan sepatu hitam kepala sekolah. Sentuhan sepatu mereka bersinar
terang, meskipun aku tidak tahu dari mana cahaya itu berasal.

JIMIN
12 Maret 2019

Sudah beberapa hari sejak semester baru dimulai, tapi teman-teman sekelas ku
masih terasa asing bagiku. Tidak sulit menebak bahwa mereka sedang membicarakanku.
Aku mencoba untuk bersikap acuh tak acuh tapi tidak berhasil. "Kami mendengar kamu
tinggal di sebuah apartemen di seberang sungai. Kenapa kau datang ke sekolah ini?" Aku
pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Tidak ada yang perlu aku katakan. Aku terus
berjalan melewati mereka dengan kepala tertunduk. "Hei, kau mendengarku tidak?" Aku
mempercepat langkahku. Aku telah pindah dari satu sekolah ke sekolah lain saat aku keluar
masuk rumah sakit. Tidak ada lagi sekolah yang tersisa di dekat lingkunganku untuk aku
dipindahkan.

Aku menuju ke ruang kelas yang berubah menjadi gudang yang aku bersihkan
sebagai hukuman karena terlambat ke sekolah. Ketika aku membuka pintu, aku mulai
mendengar suara-suara didalam. Siapa yang berada disini pada jam segini? Aku hampir
akan menutup pintu dan berbalik saat seseorang memanggil namaku. "Hei, kamu Park Jimin
kan?" Mereka adalah siswa senior yang membersihkan kelas bersamaku karena terlambat
juga. Aku tidak yakin apa aku harus menjawabnya atau aku pergi begitu saja. Seseorang
menepuk pundakku. "Apa kamu tidak ingin masuk?" Tanpa disadari. Aku berjalan ke ruang
kelas. "Senang bertemu denganmu lagi. Apa kamu tidak ingat aku? Aku Taehyung. Kita
berada di kelas yang sama."

Sebelum aku menyadarinya, aku duduk dikursi. Pintu ruangan terus membuka dan
menutup. Tujuh siswa yang melakukan bersih-bersih bersama semuanya ada disana. Tidak
ada yang bertanya. Kami hanya mendengarkan musik, membaca buku, menari dan
bermain-main. Rasanya seperti kami sudah bersama dalam waktu yang lama.

YOONGI

12 JuNI 2019

Aku berhenti sekolah tanpa berpikir lagi, tapi aku tidak punya tempat untuk pergi.
Hari ini panas, aku tidak punya uang dan tidak ada hubungannya juga. Namjoon yang
pertama kali mengusulkan kita untuk pergi ke laut. Yang lain tampak bersemangat tentang
hal itu, tapi aku tidak peduli. "Apa kalian punya uang?" Mendengar pertanyaanku, Namjoon
menyuruh yang lain untuk menggali ke dalam saku mereka. Beberapa koin dan bahkan lebih
sedikit surat tagihan. "Kita tidak bisa pergi." "Kenapa kita tidak jalan saja?" Itu pasti
Taehyung. Ekspresi NamJoon seperti memberitahu yang lain untuk menggunakan
kepalanya dan berpikir sebelum berbicara. Semua orang kecuali aku berseru, tertawa tanpa
alasan, dan bermain-main. Aku berbaring kembali karena aku sedang tidak mood. Matahari
sangat terik. Saat itu tengah hari, dan tidak ada keteduhan dibawah pohon. Jalan aspal tidak
memiliki trotoar, dan setiap kali sebuah mobil melewatinya, ia akan menyebarkan awan
debu yang tebal.

“Ayo kita pergi kesana." Itu Taehyung. Atau, apakah itu Hoseok? Aku tidak
memperhatikan, tapi itu pasti salah satu dari keduanya. Aku tidak melihat ada gunanya pergi
kesana .. Haruskah aku memberitahu mereka untuk melanjutkan pergi tanpa aku? Aku
menoleh dan hampir menabrak seseorang. Itu Jimin. Dia berdiri disana seperti patung.
Wajahnya gemetar sampai ke otot terkecil seperti dia telah melihat sesuatu yang
menakutkan. "Apa kamu baik-baik saja?” Dia sepertinya tidak menyadari pertanyaan itu.
Tatapannya tertuju pada plang yang bertuliskan 2.1km ke Arboretum Bunga. Keringat
menetes dari wajahnya, yang telah berubah pucat seperti dia akan pingsan. "Park jimin! "
Aku memanggilnya lagi, tapi dia tidak bergerak, dia hanya berdiri di sana, menatap ke arah
plang itu.

"Hei, sepertinya terlalu panas untuk pergi ke Arboretum. Ayo pergi ke laut saja." Aku
mencoba menyarankan ini selurus mungkin. Aku tidak tahu ada apa di Arboretum Bunga itu,
tapi aku punya firasat bahwa kita harus menghindarinya. "Kami kekurangan uang tunai."
Hoseok keberatan. "Kita bisa berjalan." Itu Taehyung lagi. "Kurasa kita akan bisa
memikirkan sesuatu begitu kita sampai di stasiun kereta. Tentu saja, kita akan melewatkan
makan malam." Namjoon menimpali. Jungkook dan Taehyung merengek. Jimin tersentak,
setelah itu semua orang mulai menuju stasiun. Jimin, dengan kepala tertunduk dalam dan
bahunya membungkuk, tampak seperti anak kecil. Aku melihat kembali ke tanda plang itu.
tulisan Arboetum Bunga perlahan menghilang dari pandangan kami.

JUNGKOOK

12 Juni 2019

Matahari masih sangat terik saat kami tiba di stasiun kereta dekat tepi laut.
Bayangan kami hampir tidak terlihat, melayang di sekitar kaki kami. Tidak ada tempat untuk
bersembunyi dari matahari. Kupikir aku mendengar deru ombak, dan tak lama kemudian
hamparan pantai berpasir yang indah terbentang di depan mata kami. Hari itu adalah awal
musim panas. Para pelancong sudah bertengger di bawah payung. Sesuatu tentang laut
yang membuatku merasa tenang. Taehyung dan Hoseok berteriak kegirangan dan berlari ke
depan. Ketika mereka memberi isyarat, Jimin dan SeokJin bergabung dengan mereka.

Mereka memanggilku. "Jungkook!" Aku melambai ke mereka dan tersenyum senang.


Atau, aku tersenyum untuk berpura-pura gembira. Aku masih takut mengungkapkan
perasaanku dan beradaptasi dengan lingkungan yang aneh. Seseorang pernah mengatakan
kepadaku bahwa aku seperti anak yang pemalu dan terintimidasi. Sama hari ini. Aku merasa
agak tidak enak di hadapan yang lain, seakan-akan aku tidak pantas berada disana.

Tidak banyak yang bisa kami lakukan di pantai, tujuan mendadak kami. "Ayo
balapan." Hoseok menyarankan tiba-tiba dan berlari ke depan. Semua orang mengejarnya
tapi dengan cepat menyerah. Terlalu panas. Namjoon membawa payung yang sobek, ia
menemukannya di suatu tempat. Kami bertujuh berbaring di bawah payung. Sinar matahari
melewati bayangan di payung, bintik bulat sinar matahari terus bergerak sedikit demi sedikit,
dan kami menggeliat untuk menghindarinya.

"Apakah kamu ingin pergi melihat batu ini?" Hoseok mengangkat ponsel nya. Ada
foto batu besar di pantai. "Kata mereka, jika kamu meneriakkan mimpimu menuju laut
sambil berdiri diatas batu karang ini, itu akan menjadi kenyataan." Jimin mengambil
ponselnya dan melihat foto itu. "Bukankah agak jauh? Setidaknya 3.5 km dari sini." Yoongi
berguling. "Aku tidak akan pergi. Aku tidak punya mimpi untuk ke tempat itu. Bahkan jika
aku punya mimpi, aku tidak akan berjalan 3,5 km di cuaca yang panas seperti ini ... tidak
mungkin." Taehyung bangkit berdiri. "Aku akan pergi."

Kami mulai berjalan dibawah payung yang sobek. Pantai berpasir terbakar dibawah
terik matahari, dan udaranya begitu panas sehingga kami hampir tidak bisa bernapas. Kami
berbaris di pantai seperti berserakan, dengan kaki kami tenggelam ke dalam pasir yang
panas. Hoseok berusaha membuat lelucon, tapi tidak ada yang menjawab. Taehyung jatuh
ke tanah dan menyatakan dia menyerah. Namjoon mengangkatnya lagi dan mendorongnya
dari belakang. Semua wajah kami merah cerah dan meneteskan keringat. Kami mencoba
mengipasi diri kami sendiri dengan ujung kaus kami, tapi itu hanya membuat kami makin
kepanasan. Meskipun begitu, kami terus bergerak maju.

Beberapa waktu sebelumnya, aku bertanya pada yang lain apa impian mereka.
Seokjin berkata dia bermimpi menjadi anak yang baik. Yoongi mengatakan tidak masalah
untuk tidak punya mimpi. Hoseok hanya ingin bahagia. dan Namjoon. Apa yang dia katakan
pada kita? Aku tidak begitu ingat, tapi tidak begitu istimewa. Pada dasarnya, tidak ada dari
kita yang memiliki mimpi untuk dikejar. Jadi, mengapa kita berjalan di sepanjang pantai yang
panas ini dibawah terik matahari untuk mencapai 3,5 km jauhnya, yang konon katanya bisa
membuat mimpi menjadi kenyataan?

Sepanjang jalan, kami membuang payung yang dipegang Namjoon, Hoseok, dan
Seokjin. Itu menghalangi sinar matahari, tapi terlalu berat untuk dipegang. "Hentikan
melakukan ini." Itulah yang dikatakan Yoongi kepadaku saat kami beristirahat sejenak
setelah membuang payung. Awalnya, aku bingung. Sebenarnya, aku jarang berbicara
dengan Yoongi dan bahkan tidak menyadari bahwa dia berbicara kepadaku. Yoongi
menunjukkan jari-jarinya padaku. "Mereka akan menjadi seperti ini." Dia juga memiliki
kutikula mentah karena menggigit kukunya. Aku ragu-ragu memasukkan tanganku ke dalam
saku. Aku tidak menjawab karena aku tidak tahu harus berkata apa. "Apa mimpi mu?"
Tanya Yoongi. "Kamu tidak memberi tahu kami milikmu." Dia tampaknya tidak benar-benar
tertarik pada jawabanku. Dia sepertinya meminta agar pembicaraan terus berlangsung, "Aku
tidak tahu. Aku tidak pernah memikirkannya." Yah, tidak ada yang salah dengan itu.

"Ngomong-ngomong, apa itu mimpi?" Tanyaku setelah beberapa keraguan. Yoongi


menjawab dengan suara lirihnya. "Sudah kubilang aku tidak punya." “Tidak, maksudku.."
Aku ragu-ragu dan melanjutkan. "Aku bertanya-tanya apa itu mimpi? Apa yang orang
maksud dengan mimpi?" Dia menatapku dan kemudian mengalihkan pandangannya ke
langit, mengerutkan kening. "Sesuatu yang ingin kau raih? Aku kira.”

Hoseok mengambil alih, melambaikan ponselnya ke arah kami. "Definisi kamus


adalah yang pertama, 'Serangkaian peristiwa imajiner yang kamu alami saat kamu tidur';
kedua, 'Situasi atau cita-cita yang ingin kamu sadari', dan ketiga, ‘Harapan atau pikiran
salah satu yang hampir tidak mungkin atau sama sekali tidak mungkin berubah menjadi
kenyataan.” "Apakah definisi ketiga itu aneh? Bagaimana mungkin bisa berubah menjadi
kenyataan itu disebut mimpi?" Hoseok merespon. "Orang-orang kadang menyuruhmu
bangun dari mimpimu. Jadi, jika kamu bermimpi untuk kembali dan pulang sebelum kita
sampai ke batu, bangunlah dari mimpimu!"

Beberapa dari kami tertawa keras, tapi sisanya tidak menunjukkan reaksi apapun,
mungkin karena mereka tidak punya energi lagi. "Itu aneh. Bagaimana bisa sesuatu yang
paling ingin kamu capai dalam hidupmu dan sesuatu yang tidak mungkin terjadi keduanya
itu disebut mimpi?" Kata Yoongi, tertawa kecil. "Mungkin itu berarti orang-orang begitu putus
asa. Mereka hanya tidak bisa menyerah pada mimpi mereka walaupun mereka tahu itu tidak
akan menjadi kenyataan. Jangan pernah mencoba untuk memiliki mimpi." Aku
memandangnya dengan heran. "Bagaimana bisa?" Yoongi sudah mulai menggigit kukunya
dan, merasa sadar akan pandanganku, dia meletakkan tangannya di sakunya. "Karena sulit
memiliki mimpi."

Aku ingin tahu mengapa dia menggigit kukunya tapi aku tidak ingin bertanya.
Sebaliknya, aku melihat ke jariku sendiri. Sudah kebiasaan sejak masa kecilku untuk
melukai diriku sendiri. Aku tidak ingat kapan pertama kali dimulai. Yang bisa aku ingat
adalah perasaan yang berbeda ketika aku memotong jariku dengan pisau pada suatu hari.
Setelah sensasi menyakitkan berlalu, darah menyembur dari lukanya. Rasanya mati rasa
dan berguncang pada saat yang sama. Ibu membawaku ke rumah sakit dan lukanya dijahit,
disterilkan, dan diperban. Dia berpura-pura membuat keributan di depan dokter tapi tidak
memberiku makan malam atau membantuku minum obat setelah kami pulang. Aku tidak
benar-benar mengharapkannya. Dia sudah seperti itu sejak Ayah pergi.

Lukanya sembuh dengan sangat lambat karena aku terus menekannya dengan
ujung kuku ku. Setiap kali aku menekan lukanya, rasa sakit yang tajam menembus jari ku.
Terkadang sangat menyakitkan sampai aku hampir menangis. Tapi itu juga membantuku
merasa terjaga lagi. Bahkan sekarang, aku terkadang merasa hampa. Segalanya tampak
tidak berarti dan semua energi keluar dari diriku.

"Berapa lama lagi kita harus berjalan?" Taehyung bertanya, Hoseok tampak bingung.
"Aneh. Aku yakin pasti ada di sekitar sini." Kami semua berdiri disana dan melihat sekeliling.
Hanya suara ombak yang pecah di pantai yang mengisi keheningan dibawah langit biru.
Ratusan ribu kerikil berserakan di pantai seperti butiran pasir. Batu di foto itu tidak terlihat.

"Haruskah kita terus melangkah lebih jauh?" "Aku tidak bisa melangkah lagi." "Aku
kelaparan dan haus" Ditengah percakapan kami, Jimin menghela nafas dengan matanya
tertuju pada ponselnya. Taehyung, yang sedang melihat ponsel Jimin, menendang kerikil
dengan tatapan kosong. Jimin membaca artikel itu dengan keras. ‘Sebuah resort kelas atas
akan dibangun di pantai ini, dan perusahaan konstruksi menghancurkan batu-batu itu
karena menghalangi pandangan dari lantai pertama dan kedua dari resort.’ Kami melihat
sekeliling. Pita kuning dipasang di sepanjang pantai untuk menandai bahwa area tersebut
ditetapkan sebagai zona pengembangan, dengan ekskavator raksasa berkeliaran di latar
belakang. Tanda yang bertuliskan "Konstruksi pinggir laut" mulai terlihat.

"Kurasa kita datang ke tempat yang tepat." Hoseok berkata, mengetuk kerikil dengan
ujung sepatunya. Semua kerikil yang tersebar di pantai pasti adalah sisa dari batu itu. "Tidak
apa-apa. Lagipula tidak ada batu yang membuat mimpi jadi kenyataan." Namjoon
menghibur Hoseok dengan ringan menepuk pundaknya, "Kami tidak punya mimpi di tempat
pertama." "Tidak ada yang menyadarinya bahkan jika kita melakukan ini." "Ini mimpi mewah
bagi kita untuk bermimpi." Semua orang mencoba mengatakan sesuatu yang positif, tapi itu
tidak berhasil. Kami tidak berharap banyak, tapi kami juga tidak datang jauh-jauh kesini
hanya untuk melihat ini.

Yoongi, yang mengatakan kepadaku untuk tidak memiliki mimpi karena itu terlalu
sulit, tidak berbeda. Setelah melihat laut dengan hampa selama beberapa menit, ia mulai
menggigit kukunya lagi. Dia tampak benar-benar tidak menyadari apa yang dia lakukan.
"Yoongi" Dia berbalik untuk menatapku. "Jangan .." Kata-kata ku terganggu oleh suara
keras dari suara pengeboran. Kami semua berbalik pada saat yang sama. Mereka
melanjutkan pekerjaan konstruksi. Suara keras itu terdengar seolah-olah itu berasal dari
batu padat besar yang di bor dan membuat udara di sekitarnya berguling-guling.

Yoongi mengerutkan kening dan menepuk pundakku. "Apa katamu?" Yoongi


menggumamkan sesuatu, "Jangan lakukan itu." Aku menangkupkan tangan di mulut dan
berteriak. Yoongi sepertinya tidak mendengarku dan menggelengkan kepalanya lagi, dan
mengerutkan kening. Aku akan berteriak lagi, tapi dia sudah berhenti menggigit kukunya.
Aku bisa melihat laut dibalik bahunya. Kerikil yang tak terhitung jumlahnya berserak dibawah
kakiku. Batu itu pasti besar, kuat, dan cukup tua untuk membuat impian orang menjadi
kenyataan. Tapi sekarang, itu tidak lebih dari setumpukan kerikil. "Apa dunia ini berat
untukmu juga?" Aku bertanya. Seperti yang diharapkan, gemuruh gempa bumi menelan
suaraku. Penampilan bingung Yoongi memberitahuku bahwa dia tidak mengerti. Aku
berteriak lagi. "Apa kamu ingin menyerah pada dunia ini juga?" Dia menggumamkan
sesuatu kali ini, tapi aku tidak tahu apa itu. Aku menggelengkan kepalaku, dan Yoongi
berteriak lagi. Melihat pantomim kita, Hoseok dan Taehyung tertawa terbahak-bahak. Tawa
mereka juga tidak terdengar, tapi wajah mereka menunjukkan suasana hati mereka.

Menit berikutnya, kami semua melihat ke laut dan meneriakkan mimpi kami. Hoseok
menutupi telinganya dengan kedua tangan dan membuka mulutnya lebar-lebar. Dia
tampaknya bersaing dengan suara pengeboran, tapi tetap tidak terdengar. Sama hal nya
dengan Taehyung, Jimin, dan Namjoon. Masing-masing dari kami meneriakkan cerita yang
tidak akan pernah mencapai tujuan. Aku berdiri dibelakang Yoongi dan Seokjin pada
awalnya dan berjalan melewati mereka ke titik dimana ombak bergulung. Semua indra ku
menjadi hidup. Suara-suara yang lain menjadi terjerat dan membentuk jaring yang rumit
dengan aroma laut yang agak mencurigakan tapi menyegarkan dan angin yang kencang
melilit jari-jari ku. Sebelum aku menyadarinya, aku berteriak ke laut. Di tengah suara bor
yang menggelegar, aku bahkan tidak bisa mendengar apa mimpiku.

Kemudian, suara pengeboran berhenti dengan tiba-tiba seperti semula. Seluruh


dunia terasa sunyi, seolah-olah suara telah dipotong bersih dengan pisau. Seperti itu. Tapi
tangisan kami tidak dalam urutan yang sempurna. Taehyung terbatuk-batuk seolah-olah dia
menelan dengan cara yang salah saat mencoba untuk menutup mulutnya dengan terburu-
buru. Suara seseorang membuat nada tinggi bukan kepalang. Kata terakhir yang terdengar
adalah, ".., Tolong" oleh Seokjin. Seketika, kami semua menutup mulut. Untuk sesaat, tidak
ada yang bergerak. Lalu, kami tertawa bersama. Kami memegang sebelah kami dengan
tawa, semua menunjuk satu sama lain.
"Ayo kita ambil foto di sini." Atas saran Seokjin, kami berdiri berjajar dengan laut
sebagai latar belakang kami. Seokjin mengatur timer dan berlari. Klik! Hari ini di panas terik
awal musim panas tercetak pada ingatan kami di foto ini. Jalan pulang kembali lebih pendek
dari jalan ke batu. Tepat ketika kami berpikir kami akan setengah jalan, payung sobek itu
muncul. Segera, stasiun kereta mulai terlihat. "Bisakah aku menyimpan fotonya?" Seokjin
mengeluarkan polaroid dari tasnya dan menulis "12 Juni" dibagian belakang. "Mimpimu saat
kamu berteriak, itu akan menjadi kenyataan." Aku menatapnya. "Apa kamu tahu apa yang
aku katakan?" SeokJin hanya menepuk pundakku tanpa mengatakan apapun dan
melangkah ke depan.

SEOKJIN

25 Juni 2019

Tidak ada yang berubah dari ruang kelas yang berubah jadi gudang ini. Kami tidak
pernah membuat janji sebelumnya, tapi sebagian besar dipenuhi oleh orang-orang dan
gumaman suara. Keheningan seperti ini jarang terjadi. Ketika aku melangkah masuk, aku
melihat tanaman pot di dekat jendela. Siapa yang membawa tanaman kesini? Ruangan ini
selalu gelap tanpa listrik, dan dedaunan hijau tampak lebih hijau ditengah cahaya yang
masuk melalui jendela. Aku mengambil foto dengan ponsel ku. Seperti yang diharapkan,
fotonya tidak di ambil dengan baik. Aku selalu berfikir foto itu jatuh dan tidak ada angin untuk
menangkap apa yang dilihat mata manusia.

Ketika aku mendekati pot nya, aku melihat huruf “H” yang tertulis dilantai, setengah
tertutup pot. Aku mengangkat pot untuk melihat tulisan. “Tanaman Hoseok” yang ada
disana. Aku tertawa kecil. Harusnya aku telah mengetahuinya. Aku memposisikan pot
kembail untuk menutupi coretan dan melihat sekeliling. Aku tidak menyadari sebelumnya,
tapi pinggiran jendela banyak coretan. Kusen jendela, dinding, dan langi-langit penuh
dengan tulisan seperti “Masuk ke perguruan tinggi atau mati!” Tulisan cinta yang bertepuk
sebelah tangan, tanggal, dan banyak nama yang sulit ku kenali. Ruangan ini pasti berfungsi
sebagai ruang kelas normal seperti yang lainnya. Melihat siswa masuk kelas setiap pagi dan
pergi lari di sore hari. Pada hari-hari sekolah kembali. Siswa pasti mengisi ruang kosong ini.
yang telah kosong berbulan-bulan karena liburan, dan mengobrol di aula. Beberapa dari
mereka pasti dihukum karena terlambat dan meninggalkan kelas, sama seperti kami.
Apakah kelas ini ada guru yang menggunakan kekerasan, memberikan ujian tanpa akhir,
atau PR? Apakah ada siswa seperti aku, yang melaporkan teman-temannya ke kepala
sekolah?

Tiba-tiba, aku mulai bertanya-tanya apakah nama Ayah ada di dinding? Ayah juga
lulusan dari sekolah ini. dia percaya itu menambah prestasi keluarga kami untuk menghadiri
sekolah menengah dan universitas yang sama dari generasi ke generasi. Aku melihat-lihat
setiap nama dan akhirnya aku menemukan namanya di antara yang tertulis ditengah kolom
kiri. Dibawah namanya tertulis “Semuanya berawal dari sini.”
AKHIR MUSIM PANAS,
AWAL DARI KESENDIRIAN

TAEHYUNG

20 Maret 2020

Aku berlari menyusuri lorong membuat suara berisik dan berjalan meluncur.
Namjoon berdiri di depan ruang kelas. “Ruang kelas kami”. Itulah yang aku sebut markas.
Ruangan untuk kita bertujuh. Aku diam-diam berjinjit ke Namjoon untuk menjatuhkan
topinya.

“Kepala sekolah!” Aku mendengar suara mendesak lewat jendela kelas kami yang
sedikit terbuka setelah aku mengambil sekitar lima langkah ke Namjoon. Kedengarannya
seperti Seokjin. Aku berhenti disana. Seokjin sedang berbicara dengan kepala sekolah?
Diruang kelas kami, tentang apa? Aku dengar namaku dan Yoongi disebut dan Namjoon
menarik nafas dalam-dalam. Merasakan kehadiran kami, Seokjin membuka pintu. Dia
membawa ponsel di tangannya. dia tampak kaget dan bingung.

Aku menyembunyikan diriku di satu sudut dan memperhatikan mereka. Seokjin


berbicara seperti membuat pembelaan untuk dirinya sendiri, dan Namjoon memotong
pembicaraan. “Tidak apa-apa. pasti ada alasan baik.” Aku tidak bisa mempercayainya.
Seokjin memberitahu kepala sekolah tentang apa yang Yoongi dan aku lakukan beberapa
hari terakhir. Tentang kami meninggalkan kelas, memanjat dinding sekolah, dan bertengkar.
Dan Namjoon mengatakan itu akan baik-baik saja.

“Apa yang kamu lakukan disini?” Aku berbalik kaget dan melihat Hoseok dan Jimin.
Hoseok memberikan tatapan seperti dia yang lebih kaget daripada aku dan melingkari
tangannya di pundakku. Dia menyeretku ke ruangan. Namjoon dan Seokjin memandang
kami. Namjoon senyum berseri-seri padaku seolah tidak ada hal aneh yang terjadi. Pada
saat itu, aku memilah pikiranku. Namjoon pasti punya alasan. Dia jauh lebih
berpengetahuan, cerdas, dan dewasa daripada aku. Dan ini ruangan kami. Aku berjalan
menuju Namjoon and Seokjin, aku tersenyum dengan senyum konyol yang semua orang
sebut “Senyum persegi”. Aku memutuskan untuk tidak memberitahu siapapun tentang
percakapan mereka yang baru saja aku dengar.

NAMJOON

15 Mei 2020

Aku melintasi ruang kelas yang berubah menjadi gudang, yang berfungsi sebagai
tempat persembunyian bagi kami bertujuh, meluruskan beberapa kursi di sepanjang jalan.
Aku mengambil meja yang terbalik dan menyeka debu dengan telapak tanganku. Hari ini
adalah hari terakhir aku di sekolah ini. Keluargaku telah memutuskan untuk pindah dua
minggu lalu. Ayah mengalami "Komplikasi," yang tidak mampu kami lakukan. Uang sewa
kami sudah terlambat selama berbulan-bulan. Niat baik tetangga kami, upah dari pekerjaan
paruh waktuku di pom bensin tidak bisa menanggung semuanya. Kami harus pindah
sebelum deposit kami habis.

Aku melipat selembar kertas menjadi dua, meletakkannya di atas meja, dan
mengambil pensil. Aku tidak tahu harus menulis apa. Beberapa menit telah berlalu.
Sementara aku sedang menulis di atas kertas, ujung pensil itu patah. “Aku harus bertahan
hidup”. Itulah yang aku tulis tanpa menyadarinya sebelum serpihan-serpihan ujung pensil
hitam tersebar dimana-mana. Aku meremas kertas itu, memasukkannya ke dalam sakuku
dan berdiri. Debu naik ketika aku mendorong meja. Sebelum berjalan keluar dari ruangan,
aku meniup jendela dan menulis tiga kata. Tidak ada pesan perpisahan yang akan cukup
untuk yang lain tahu bagaimana perasaanku. Pada saat yang sama, tidak ada pesan
perpisahan yang diperlukan untuk membuat diriku dimengerti. "Sampai ketemu lagi." Itu
adalah harapan, bukan janji.

JUNGKOOK

25 Juni 2020

Aku menekan tuts piano dengan jari-jariku, debu menutupi ujung jariku. Aku
menekan tuts lebih kuat, tapi aku tidak bisa memainkannya seperti Yoongi. Sudah dua
minggu sejak Yoongi berhenti datang ke sekolah. Rumor mengatakan bahwa dia akhirnya
diusir. Hoseok tidak mengatakan apa-apa, dan aku tidak bertanya. Pada hari itu dua minggu
yang lalu, Yoongi dan aku adalah satu-satunya yang ada di markas ketika guru masuk. Itu
adalah hari dimana orang tua kami datang ke sekolah untuk pertemuan. Kami pergi kesana
tanpa rencana, kami hanya tidak ingin tinggal di dalam ruang kelas kami. Yoongi tidak
melihat ke belakang dan terus bermain piano. Aku berbaring di dua meja yang disatukan
dengan mata tertutup. Sesuatu tentang Yoongi dan piano sepertinya tidak cocok, tapi
keduanya sebenarnya tidak bisa dipisahkan. Aku tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu.
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan suara yang keras seperti seseorang telah
menghancurkannya. Suara piano berhenti.

Aku terus mundur ketika guru menampar wajahku sampai aku jatuh. Aku duduk
membungkuk, menahan arus kata-kata kasar yang tak ada henti-hentinya. Tiba-tiba, guru itu
berhenti berteriak. Aku mendongak dan melihat Yoongi melangkah dan mendorong bahu
guru itu. Aku juga bisa melihat pandangan guru yang tercengang dari balik bahu Yoongi.
Aku menekan tuts dan mencoba meniru nada yang dia mainkan hari itu. Apa dia benar-
benar diusir? Apa dia akan kembali? Dia bilang dia terbiasa dipukul dan ditendang oleh
guru. Jika aku tidak ada disana, apa dia masih akan berbalik melawan guru itu? Jika aku
tidak ada disana, apa dia masih akan bermain piano disini?
YOONGI

25 Juni 2020

Segera setelah aku melangkah ke dalam ruangan, aku mengeluarkan sebuah


amplop dari laci bawah meja. Aku mengeluarkan kunci piano yang setengah terbakar dari
amplop, melemparkannya ke tempat sampah, dan berbaring ditempat tidur. Aku masih
terengah-engah dan tidak bisa menghentikan pikiranku.

Aku kembali ke rumah yang terbakar setelah pemakaman. Kerangka piano yang
dulunya masih berdiri dikamar Ibu. Aku menjatuhkan diri ke lantai. Sinar matahari sore naik
dari jendela dan kemudian menyusut. Aku mengangkat kepalaku dan melihat beberapa tuts
piano dari kejauhan. Catatan apa itu? Berapa kali jari-jariku menyentuh kunci-kunci itu? Aku
berdiri dan meletakkan salah satu kunci di sakuku.

Empat tahun telah berlalu. Rumah itu penuh keheningan. Keheningan yang
membuatku gila. Sudah lewat jam sepuluh, jadi Ayah pasti sudah tidur. Segala sesuatu dan
semua orang di dalam rumah ini harus tenang setelah dia pergi tidur. Itu aturannya. Aku
tidak terbiasa dengan keheningan yang begitu dalam. Atau dengan tepat waktu dan
mengikuti aturan. Lebih tak tertahankan lagi bahwa aku tinggal di rumah ini terlepas dari
semua itu. Aku menerima uang saku darinya, aku makan malam dengannya, dan aku
dimarahi olehnya. Terkadang aku menantangnya dan menyebabkan masalah, tapi aku tidak
memiliki keberanian untuk meninggalkannya, melarikan diri dan menemukan kebebasan
sejati.

Aku mengambil kunci piano tadi dari tempat sampah dibawah meja. Ketika aku
membuka jendela, udara malam berhembus dalam pikiranku untuk memainkan kembali
peristiwa hari itu secara berurutan. Aku melemparkan kunci piano keluar dari jendela
dengan sekuat tenaga. Sudah dua minggu sejak aku pergi dari sekolah. Mereka
mengatakan aku diusir. Aku mungkin juga akan diusir dari rumah bahkan jika aku ingin. Aku
tidak bisa mendengar kunci piano menyentuh tanah karena sangat jauh. Sekarang aku tidak
akan pernah tahu catatan apa yang dibuatnya. Itu tidak akan pernah terdengar lagi. Aku
tidak akan pernah memainkan piano lagi.

SEOKJIN

17 Juli 2020

Suara jangkrik yang melengking menyakiti telingaku begitu aku keluar dari gedung
sekolah. Taman bermain itu penuh dengan siswa yang tertawa, bermain, dan berlomba. Hari
itu adalah awal liburan musim panas, dan semua orang bersemangat. Aku bergerak dengan
cepat melewati kerumunan dengan kepala tertunduk. Yang aku inginkan adalah keluar dari
sana.

"Seokjin!" Bayangan seseorang melompat ke arahku, dan aku buru-buru


mengangkat kepalaku. Itu adalah Hoseok dan Jimin. Mereka tersenyum lebar, baik hati,
seperti biasa dan menatapku dengan mata nakal. "Kamu tidak langsung pulang pada hari
pertama liburan kan?" Hoseok berkata, lalu menarik lenganku. Aku menggumamkan
sesuatu yang terdengar seperti “Ya” dan memalingkan kepalaku.
Apa yang terjadi hari itu adalah kecelakaan. Aku tidak bermaksud untuk itu terjadi.
Aku tidak berpikir Jungkook dan Yoongi akan ada disana di markas pada jam itu. Kepala
sekolah mencurigai bahwa aku melindungi yang lain. Dia mengancam akan memberi tahu
Ayah betapa buruknya aku di sekolah. Aku harus mengatakan sesuatu. Aku
memberitahunya tentang tempat persembunyian kami karena aku pikir tempat itu akan
kosong. Tapi itu menyebabkan Yoongi diusir. Tidak ada yang tahu aku terlibat di dalamnya.
"Selamat berlibur! Mari tetap berhubungan (kontekan)." Hoseok pasti sudah membaca
wajahku. Dia perlahan melepaskan tanganku dan mengucapkan selamat tinggal, bahkan
dengan terang-terangan aku tidak bisa menjawab. Tidak ada yang bisa aku katakan. Hari
pertamaku di sekolah ini, terlintas di benakku ketika aku melewati gerbang sekolah. Kami
semua terlambat dan dihukum. Tapi kami bersama, jadi kami bisa tertawa bersama. Aku
telah menghancurkan semua kenangan yang kami bagi bersama. Setelah aku memutuskan
untuk hidup seperti yang diinginkan Ayah, setelah aku memutuskan untuk tidak mengejar
kebahagiaan, aku telah menggigit lebih banyak daripada yang bisa aku kunyah.

HOSEOK

15 September 2020

Ibu Jimin berjalan melintasi ruang gawat darurat menuju tempat tidur. Dia memeriksa
label nama di kaki tempat tidur dan infus yang menjuntai di atasnya dan membuang helai
rambut dari bahu Jimin. Dengan ragu aku berjalan ke arahnya dan membungkuk. Aku
merasa harus mengatakan kepadanya mengapa Jimin berakhir di ruang gawat darurat dan
bagaimana ia mengalami kejang di halte bus. Ibu Jimin sepertinya menyadari aku ada
disana untuk pertama kalinya. Tapi dia segera memalingkan matanya setelah mengucapkan
terima kasih dengan cepat tanpa menunggu aku untuk menjelaskan.

Tidak sampai para dokter dan perawat mulai memindahkan tempat tidurnya dan aku
mengikutinya, Ibu Jimin melirikku lagi. Dia mengucapkan terima kasih sekali lagi dan
mendorong bahuku. Setelah dipikir-pikir, dia tidak benar-benar mendorongku. Dia hanya
meletakkan tangannya di pundakku dan dengan cepat melepasnya. Pada saat yang singkat
itu, sebuah garis ditarik diantara kami. Garis itu tegas dan kuat. Dingin dan tak terhapuskan.
Aku tidak akan pernah bisa melewati batas itu. Aku tinggal di panti asuhan selama lebih dari
sepuluh tahun. Aku bisa mengenali garis-garis seperti itu dengan seluruh indraku, melihat
mata orang, dan merasakan atmosfernya.

Aku melangkah mundur dengan bingung dan jatuh ke belakang. Ibu Jimin hanya
menatapku kosong. Dia kecil dan cantik, tapi bayangannya besar dan dingin. Bayangan
besar itu menyelimutiku ketika aku terbaring di lantai ruang gawat darurat. Ketika aku
melihat ke atas, tempat tidur Jimin sudah tidak ada.

JUNGKOOK

30 September 2020

"Jungkook, kau tidak pergi ke sana kan?" Aku hanya melihat ke bawah ujung
sepatuku. Aku menolak untuk menjawab, guru memukul kepalaku dengan buku absen. Aku
masih belum menyerah. Disitulah kami bergaul. Sejak aku pertama kali masuk ke ruangan
markas itu, tidak satu hari pun aku tidak datang. Yang lain tidak akan tahu. Mereka punya
rencana lain dan bekerja paruh waktu dan tidak selalu mampir. Yoongi dan Seokjin
terkadang tidak muncul berhari-hari. Tapi aku berbeda. Aku pergi kesana tanpa kecuali. Ada
hari-hari ketika tidak ada orang lain datang. Itu baik-baik saja untukku. Itu baik-baik saja
karena ruangan itu ada disana dan karena yang lain akan muncul nanti, atau besok, atau
hari berikutnya.

"Aku tahu kau bergaul dengan orang yang salah!" Buku absen menghantam
kepalaku lagi. Ketika aku mengangkat mata dan menatap guru, buku absen turun lagi.
Adegan pukulan Yoongi membanjiri pikiranku. Aku mengepalkan gigiku dan menahan diri.
Aku tidak ingin berbohong dan mengatakan aku tidak pergi kesana. Dan kemudian aku
berdiri di depan ruangan. Rasanya seolah-olah yang lain ada disisi lain pintu. Ketika terbuka,
mereka akan melihat ke belakang dan mengeluh padaku karena aku datang terlambat.
Seokjin dan Namjoon biasanya membaca, Taehyung pasti sedang bermain game, Yoongi
berada di depan piano, dan Hoseok dan Jimin yang terus menari.

Tapi, ketika aku membuka pintu, hanya Hoseok yang ada disana. Dia datang untuk
membersihkan apa yang tersisa dari barang-barang kami. Aku berdiri membeku dengan
tangan di kenop pintu. Hoseok datang ke arahku, meletakkan tangannya di atas pundakku,
dan mengantarku kembali ke luar. "Ayo pergi." Pintu ruangan tertutup di belakang kami. Aku
menyadari saat itu juga. Hari-hari itu telah berlalu dan tidak akan pernah datang lagi.

AKU HARUS BERTAHAN HIDUP

NAMJOON

17 Desember 2021

Aku terus memperlambat langkahku dan akhirnya berhenti. Sudah masuk pagi hari di
desa dimana bus tidak sering datang. Seluruh desa diselimuti salju bercahaya yang turun
sepanjang malam. Pepohonan membungkuk seperti binatang buas putih besar dan
menumpahkan salju seperti rambut setiap kali angin bertiup. Aku tahu tanpa melihat ke
belakang bahwa hanya akulah yang meninggalkan jejak kaki yang melintasi lapangan salju
di desa. Kedua kaki ku basah karena sol sepatuku yang terbuka. Aku pernah mendengar
ungkapan bahwa Tuhan membuat kita kesepian untuk menuntun kita kepada-Nya. Tapi aku
tidak kesepian. Aku tidak mengikuti jalan menuju diriku sendiri. Ini adalah retret (sementara
menjauhkan diri sendiri dari lingkungan). Aku melarikan diri dari diriku sendiri.
Keluarga ku tiba di desa ini pada musim gugur lalu. Jumlah barang yang kami bawa
terus bertambah setiap kali kami pindah ke kota baru. Sekarang kami hanya perlu mobil van
kecil pengiriman untuk pindah. Kami tidak pilih-pilih tempat tinggal. Hanya ada dua pilihan.
Dekat sebuah rumah sakit untuk Ayah, atau seorang majikan yang mau mempekerjakan
seseorang tanpa ijazah sekolah menengah.

Desa ini memiliki keduanya. Ada bus yang beroperasi dua kali sehari berhenti
didepan rumah sakit yang dikelola pemerintah daerah, dan beberapa restoran kecil berjejer
dibelakang kota. Restoran-restoran ini menjual sup dan kentang goreng yang dibuat dengan
ikan kecil yang ditangkap dari sungai, dan pada bulan-bulan musim panas adalah
puncaknya. Kerumunan yang mencari perjalanan ke tepi sungai datang dari dekat kota, dan
permintaan pengiriman untuk mereka yang tinggal di desa dengan tempat istirahat di
punggung gunung tinggi. Selama musim dingin, saat sungai membeku, restoran-restoran
menggunakan ikan yang diawetkan yang sudah ditangkap pada musim panas. Tidak ada
banyak turis di musim panas, tapi panggilan untuk pengiriman tetap stabil. Aku adalah salah
satu pengantar barang ke kota.

Tentu saja, ada persaingan disini juga. Sebagian besar rumah tangga hidup dari
bertani, dan, seperti yang bisa ditebak, tidak begitu kaya (menghasilkan). Kurir adalah satu-
satunya pekerjaan paruh waktu yang tersedia untuk anak laki-laki di kota. Pemilik restoran
membuat kami saling bersaing. "Bukannya wajar kalau aku mempekerjakan orang yang
paling membuatku terkesan?" Bagi mereka, tidak masalah bahwa kami adalah anak
dibawah umur dan tidak memiliki SIM. Anak laki-laki yang sudah dipekerjakan secara
perwilayah. Mereka hanya sedikit, tapi mereka mengancamku dengan perpeloncoan
(pelatihan) yang keras.

Selama liburan, kompetisi menjadi semakin sengit. Kami secara sukarela dan
kompetitif menjalankan tugas dan mengeluarkan sampah untuk para pemilik. Konektivitas
mereka hanya mendorong kami lebih jauh. Namun, tanpa diduga, kami bertemu untuk
mengembangkan solidaritas diantara kami. Kami saingan, tapi kami bersimpati satu sama
lain. Jika salah satu dari kami tidak muncul, yang lain akan bertanya-tanya apa yang terjadi.
Mereka juga mengingatkanku pada waktu yang aku habiskan di ruang kelas yang berubah
menjadi gudang di sekolah dulu. Beberapa dari mereka mirip dengan Yoongi, dan beberapa
mirip Jimin. Aku jadi bertanya-tanya. Jika teman-temanku dari sekolah dulu bertemu di desa
ini, apakah kami akan bersaing dan mencoba mengungguli satu sama lain? Jika aku
bertemu dengan bocah pengantar ini di sekolah, apakah kita akan menjadi teman?

Salju turun deras ketika mulai kompetisi, naluri teritorial, dan rasa solidaritas kami
yang aneh mencapai puncaknya. Kemudian, kompetisi mereda secara langsung. Pergi
dengan sebuah skuter adalah suatu keharusan untuk melakukan pengiriman ke desa
tempat istirahat, tapi sangat berbahaya untuk mengendarai sepeda motor ringan di
sepanjang jalan pegunungan yang tertutup salju. Jalan setapak menuju ke desa dengan
tempat istirahat yang terjal dan berliku. Jalan kaki bukanlah pilihan.

Pada akhirnya, itu adalah pertarungan antara Taehyung dan aku. Taehyung berusia
dua tahun lebih muda dan tinggal di pinggiran desa dekat kebun. Taehyung bukan nama
aslinya. Itu Jongsik atau Jonghun. Tapi dia mengingatkanku pada Taehyung. Dia tidak
memiliki senyum konyol atau terbuka dengan mudah kepada siapapun dengan sifatnya yang
lembut dan naif. Sebaliknya, dia selalu tampak agresif, marah, dan tidak puas. Diluar, dia
tampak serupa dengan Yoongi, tapi, anehnya. Dia lebih mengingatkanku pada Taehyung.
Taehyung dan aku adalah satu-satunya yang cukup miskin untuk mengambil risiko dan terus
melakukan pengiriman ke desa pegunungan yang tertutup salju. Sama dengan hari itu.
Ketika pesanan lain menelepon ke restoran, aku berkeliaran di sepanjang sungai. Tidak ada
orang lain yang muncul saat laporan cuaca memperkirakan salju tebal di sore hari.
Taehyung muncul beberapa menit kemudian. Alih-alih pergi ke restoran dan mengobrol
seperti biasa, ia hanya menjatuhkan diri di tanah dekat jembatan dan tidak bergerak. Itu
adalah salah satu dari hari-hari itu. Hari-hari ketika wajahnya tergores dan memar. hari-hari
ketika matanya merah dan pakaiannya berlumuran darah. Apa ada yang salah dengannya?
Apa seseorang memukulnya? Aku tidak bertanya kepadanya.

Salju mulai turun saat aku sedang menunggu makanan disiapkan. Disaat yang sama
aku merasakan sesuatu yang dingin di leherku, salju mulai turun lebih tebal dan lebih
banyak. “Apa kamu yakin kamu akan baik-baik saja?" Pemilik itu menjulurkan kepalanya.
Taehyung bangkit berdiri, dan aku menoleh ke arahnya. "Tentu saja!" Kami berdua
menjawab secara bersamaan. “Kamu tidak pernah tahu berapa banyak lagi salju yang akan
jatuh dari langit.” Kata seseorang di dalam restoran itu. "Salju mulai turun. Aku akan kembali
sebentar lagi." Pemilik menatap wajahku dengan tatapan ragu. "Tapi kau masih belum
begitu mahir mengendarai skuter." Taehyung datang, mengatakan dia sudah mengendarai
skuter berkali-kali. Pemilik mendecakkan lidahnya ketika dia melihat wajahnya. "Tidak, tidak
hari ini. Kamu harus istirahat." Aku tidak melewatkan kesempatanku dan melompat masuk.
"Ini pertama kalinya. Hari ini adalah hari pertamaku melakukan pengiriman di cuaca
bersalju. Kau tahu aku akan sangat berhati-hati." Pemiliknya menyerah. “Masuklah sini.
Kamu harus melakukan beberapa perjalanan pulang-pergi jadi hati-hati."

Aku bisa merasakan tatapan Taehyung mengikutiku di belakang punggungku saat


melangkah ke restoran. Dia berdiri di sekitarku sementara aku mengemas makanan yang
sudah siap diantar dan memasukkannya ke dalam wadah. Itu aneh. Taehyung biasanya
bertindak senang dan bangga tidak seperti ini. Ketika aku balas menatapnya, dia mengambil
langkah ke arahku seolah dia ingin mengatakan sesuatu. Kemudian, dia berbalik lagi.
Pemilik terus mengomeliku tentang mengemudi di jalan yang tertutup salju. Aku pura-pura
mendengarkan, dengan antusias dan menganggukkan kepalaku. Mengendarai skuter
bukanlah sesuatu yang membutuhkan banyak perhatian, keterampilan, dan pikiran.

Bertentangan dengan apa yang aku pikirkan, ternyata tidak mudah memanjat lereng
melalui salju dengan skuter. Salju belum menempel dijalan, tapi saraf indraku gelisah karena
serpihan tebal salju terbang ke segala arah. Skuter tua itu berjuang mendaki lereng. Seolah-
olah skuter itu menempel padaku. Dingin, tapi aku meneteskan keringat dan semua ototku
tegang. Menit berikutnya, keringatku mengering dan aku merasakan hawa dingin
dipunggungku. Aku terus mengulangi sebuah pikiran pada diriku sendiri. Aku telah naik dan
turun lewat jalan ini tanpa masalah, semua turun dan naik sampai awal musim dingin. Selain
itu, salju tidak lengket dan jalannya tidak licin.

Skuter tergelincir tanpa daya dalam perjalanan ke bawah selama perjalanan ketiga.
Aku baru saja mulai mendapatkan kepercayaan diri dan berpikir bahwa aku cukup pandai
mengendarai skuter dihari bersalju. Karena salju sudah turun selama beberapa saat dan
jalannya sedikit macet, salju mulai menumpuk disana-sini. Tapi itu tidak apa-apa ditengah
jalan, dan lerengnya tidak terlalu curam. Kemudian, begitu pikiran itu terlintas, roda belakang
meluncur keluar. Aku terkejut, aku menginjak rem dengan kuat. Apa aku memegangnya
terlalu erat? Pikiran ini memenuhi kepalaku. Aku pikir aku ingat pemilik mengatakan sesuatu
tentang rem. Pemilik memperingatkan tapi aku mendengarkan setengah hati dan berpacu
hanya dipikiranku. Skuter itu mendapatkan kembali kendali untuk sesaat, tapi roda-rodanya
mulai berputar sebelum aku bahkan bisa menghela nafas lega. Lalu, aku terlempar ke jalan.
Aku jatuh seperti skuter itu melemparku sekuat tenaga. Skuter meluncur dijalan dengan
sendirinya dan pasti menabrak sesuatu. Aku mendengar bunyi gedebuk.

Aku melompat berdiri. Aku tidak mampu memeriksa apa aku terluka atau apa ada
yang sakit. Aku berlari ke skuter, yang berada disisi kanan bawah pohon. Tertutupi dengan
daun yang jatuh. Aku mengambilnya untuk melihat ada goresan atau tidak dibagian bawah
badannya. Aku memasukkan kunci dan memutarnya. Tapi tidak mau nyala. Keringat
menggulungi leherku. Setiap sendi di tubuhku sakit. Aku dicekam ketakutan. Tidak mungkin
aku bisa membayar untuk skuter ini.

Aku memutar kunci lagi, kali ini aku menendang mesinnya. Mesin itu bergerak dan
berputar tapi mati dengan cepat. Aku mengutuk pelan, menutup mataku, dan menendang
tanah sekuat tenaga. Tanganku, yang memegang kunci, tidak bisa berhenti gemetar. Wajah
orang tua dan saudara lelakiku lewat. Aku melihat ke langit dan mengumpulkan akalku. Aku
mengepalkan tanganku. Kemudian, aku memutar kunci nya lagi.

Mesin akhirnya nyala setelah beberapa upaya. Skuter itu hidup, terdengar seperti
lengkingan hewan yang sekarat. Aku jatuh ke tanah. Tenagaku terkuras. Dan ada goresan
yang dalam berada pada bagian mata. Aku terkejut dan menggosoknya keras-keras dengan
ujung sepatu sneakerku. Tapi itu skuter tua, sudah dipenuhi dengan penyok dan goresan.
Mungkin tidak akan ada yang menyadarinya.

Saat aku berdiri tegak, salah satu pergelangan kakiku baru terasa sakit. Kemudian
aku mulai memeriksa kondisiku sendiri. Untungnya, tidak ada luka serius. Ada luka kecil
diatas tulang pergelangan kaki kiriku yang berdarah, paha dan pinggangku mungkin akan
sakit keesokan paginya, tapi aku sudah ada disana sebelumnya.

Taehyung memperhatikanku memarkir skuter dan masuk ke dalam restoran. Apa dia
memperhatikanku? Aku menjadi gugup tapi aku mencoba mengobrol dengan pemiliknya
sesantai mungkin. Pesanan pengiriman berikutnya segera hadir. Aku harus keluar lagi
sebelum aku menjadi hangat.

"Hei .." Taehyung bicara kepadaku ketika aku mendekati skuter. Apa dia melihat
goresan itu? Aku menjawab dengan suara keras dengan sengaja. "Apa?" Setelah beberapa
keraguan, Taehyung melanjutkan. "Aku ingin bertanya bantuan." "Bantuan? Bantuan apa?"
Saat itulah ponsel ku berdering. Aku mengangkat satu tangan untuk menenangkannya dan
mencari-cari ponsel ku. Itu adalah Ibu. Ayah sudah mencoba keluar sendirian dan jatuh. Dia
memintaku untuk membawanya ke rumah sakit. Aku menutup mata. Kemarahanku bangkit.
Aku mengepalkan gigiku. Aku bisa merasakan kejengkelanku perlahan melambung dari
perutku. Kepingan salju, yang sekarang terasa lebih besar, jatuh di wajahku. Aku naik dan
turun dijalan licin dalam cuaca seperti ini tapi hampir tidak mendapatkan apa-apa.
Pergelangan kaki kiri ku terluka, dan pahaku terkulai. Tapi aku berencana untuk naik skuter
itu lagi. Itu satu-satunya cara untuk mendapatkan sedikit uang hari ini.

Aku bisa mengerti mengapa dia mencoba berjalan sendiri. Itu adalah kebanggaan
terakhirnya sebagai kepala keluarga kami dan upayanya untuk menjaga harga dirinya
sebagai orang tua. Tapi kami tidak mampu membayar kemewahan seperti itu dalam
menghadapi kemiskinan. Martabat, kebanggaan, rasa keadilan, dan moral hanya
menyebabkan beban yang lebih besar dan lebih banyak uang untuk dibelanjakan. Ketika
aku membuka mata, Taehyung menatapku. Aku menyerahkan kuncinya.

Ketika Ayah dan aku turun dari bus dari rumah sakit, matahari sudah terbenam.
Kepingan salju yang besar sebelumnya terus tumbuh dan menciptakan banyak salju. Bus
berjalan pelan. Butuh dua kali lebih lama dari biasanya untuk sampai ke rumah sakit dan
kembali ke rumah. Aku berjalan pulang membawa ayah di punggungku dengan memegang
payung tanpa ada yang melihat. Rambutku basah dan tanganku yang memegangnya
seperti mati rasa karena kedinginan.

Aku beristirahat di bawah pohon zelkova melewati jalan yang ditanggul. Aku menarik
napas dan melihat keatas. Pemandangan panorama desa bertemu mataku. Desa yang
diselimuti salju tampak tenang dan damai. Cahaya kuning hangat mengalir melalui jendela-
jendela rumah yang berbeda disana-sini. Aroma nasi dan sup rebus mempertajam seleraku.
Ketika kami memasuki gang setelah melintasi jembatan, anjing-anjing mulai menggonggong.
Meskipun kami telah tinggal di desa ini selama beberapa bulan sekarang, anjing-anjing itu
masih menyalak seperti melihat orang asing. Ibu muncul ketika kami masuk. "Dia harus
menerima perawatan rawat jalan selama tiga hari lagi." Aku membaringkan Ayah di
kamarnya dan pergi ke luar. Masih belum ada tanda-tanda salju akan reda. "Mengapa kamu
begitu membenciku? Setidaknya berikan aku alasan." Aku berteriak pada anjing-anjing yang
menggonggongkan. Aku mendengar tentang kecelakaan Taehyung pada hari berikutnya.

Ketika aku mampir ke restoran. Disepanjang sungai, aku melihat pemilik restoran
berbicara dengan seorang polisi. Firasat ku membeku. Aku pikir dia datang untukku. Karena
aku telah merusak skuternya pada hari sebelumnya. Aku bisa mendapat masalah karena
mengemudi dibawah umur dan tanpa SIM. Haruskah aku lari kembali ke rumah? Tapi bus
tidak akan datang pada waktu ini. Tidak mungkin melarikan diri dengan kondisi Ayah seperti
itu.

"Apa kamu mendengar?" Itu adalah pemilik restoran lain di sebelah. Dia mengatakan
kecelakaan itu terjadi ketika Taehyung mengemudi menuruni bukit setelah pengiriman.
Tubuhnya hanya berbaring disana selama lebih dari tiga jam sampai seseorang di mobil
yang lewat menemukannya. Seorang penduduk dikota dengan tempat istirahat disebut
pemilik restoran itu, tapi tidak ada yang berangkat untuk menemukannya.

Petugas polisi mengatakan Taehyung adalah pengemudi yang tidak baik. Dia juga
menyalahkannya karena tidak memakai helm. Aku melihat helm, yang belum pernah kulihat
sebelumnya, diletakkan di konter tempat makan. Pemiliknya terus mengatakan bahwa dia
tidak pernah memaksa Taehyung untuk keluar dan bahkan mencoba untuk
mengeluarkannya. Itu benar. Taehyung dan aku bersikeras bahwa kami baik-baik saja
dengan itu. Tetangga-tetangga semuanya menyerbu masuk. Disitu adalah sebuah desa
kecil tempat semua orang mengenal orang lain. Setidaknya mereka memiliki satu atau dua
kenangan tentang semua orang disana, entah itu tentang perkelahian tinju, fitnah, atau
pengkhianatan. Serangkaian cerita tentang dia mengalir keluar. Dia tinggal bersama Ibu dan
saudara perempuannya dan tidak punya ayah.
Ibu Taehyung menggeliat kesakitan dibangku depan restoran dan meratapi. Bawa
anakku kembali. Bawa kembali anakku yang malang. Itu kematian yang salah. Awalnya,
para tetangga mencoba menenangkannya dan menangis bersamanya. Tapi cuaca dingin
dan matahari terbenam lebih awal. Dimalam hari, Ibu Taehyung dibiarkan sendirian, dan
aroma masakan makan malam mengalir keluar melalui jendela seperti biasa. Setiap kali
angin bertiup di pohon-pohon yang melapisi sungai, salju turun dalam gumpalan. Dia hanya
duduk di tengah-tengahnya.

Aku melihatnya duduk sendirian ketika aku membawa Ayah pulang dari rumah sakit.
Tanpa disadari, aku berhenti berjalan dan ingat tempat kecelakaan itu. Setelah mendengar
tentang Taehyung, aku berjalan sendirian. Nafasku membeku dan jatuh ke tanah seperti
kristal es. Bentuk Taehyung yang digambar dalam garis putih dijalan setengah terhapus.
Aku berhenti di kakinya. Daun lembab berguling-guling, dan jejak kalsium klorida keabu-
abuan masih tertinggal. Itu bisa jadi aku yang terbaring disana. Jika aku yang melakukan
pengiriman itu, jika itu aku dan bukan Taehyung, maka garis besar ini harus nya aku. Itu
bisa saja keluargaku meratap di bangku itu, bukan Ibu Taehyung.

Aku membungkuk setelah Ayah terbatuk dengan keras. "Namjoon." Ayah


memanggilku ketika kami hendak memasuki lorong setelah melintasi jembatan. Segera
setelah aku memperlambat langkahku, anjing-anjing itu mulai menggonggong. Ayah
melanjutkan dengan lemah, suara lemahnya itu hampir tidak terdengar, hilang ditengah
gonggongan sengit. Aku berpura-pura tidak mendengarnya.

Satu minggu telah berlalu. Desa dengan cepat kembali nomal. Ibu Taehyung
terkadang menangis sedih didepan restoran, tapi tidak ada yang berbagi kesedihannya.
Orang-orang hanya mencerca saudara perempuan Taehyung sampai dia membawanya
pergi. Beberapa mengatakan itu hanya kecelakaan lalu lintas. Aku mulai bekerja di restoran
lain. Bahkan, aku dituntut mengerjakan semua pengiriman ke tempat peristirahatan di desa.
Sekali lagi salju turun mengikuti, dan jalan setapak itu terus membeku dan mencair.
Pesanan pengiriman tetap berjalan sekarang, tapi tidak ada yang melamar untuk melakukan
pekerjaan pengiriman. Aku menghasilkan lima atau enam pengiriman dalam sehari, dan
penghasilanku jadi meningkat banyak. Aku selalu memastikan untuk memakai helm dan alat
pelindung. Aku tidak pernah mengalihkan pandangan dari jalan dengan semua indra ku.

Tadi malam, aku membuat pengiriman terakhirku. Aku tidak tahu itu akan menjadi
yang terakhir pada saat itu, tapi ternyata itu yang terakhir. Tempat istirahat ditutup untuk
berbulan-bulan karena musim dingin. Ketika aku pergi kesana, orang-orang berkumpul di
kantor. Mereka sepertinya sedang berdiskusi tentang penjualan fasilitas itu. Aku tidak
mengenali beberapa wajah. Mereka pasti orang asing yang baru saja pindah. Sementara
aku meletakkan makanan dan mengambil uang, salah satu dari mereka mulai berbicara
tentang kecelakaan Taehyung. Orang asing lain mendecakkan lidahnya dan menyebutkan
betapa berbahayanya mengendarai sepeda motor di hari yang sudah diketahui. Orang asing
yang pertama kali menyebutkan kecelakaan Taehyung membuat aku ingin selalu lebih
berhati-hati. Aku berterima kasih padanya karena mengkhawatirkanku. Tapi aku tidak
bersungguh-sungguh. Jika dia begitu khawatir tentang lereng yang tertutup salju dan
keselamatan ku, dia seharusnya tidak menyuruh kami mengantar makanan sejak awal.

“Apa kau tahu apa yang benar-benar berbahaya?" Orang asing itu berseru tepat
sebelum aku menutup pintu di belakangku. "Kalsium klorida dan dedaunan basah, bukan
salju itu sendiri. Kecuali kau seorang pengemudi yang sangat baik, kau akan tergelincir jika
menginjaknya. Bukankah hari itu bersalju? Lalu, dia pasti ... " kata-kata terakhirnya tidak
terdengar ketika pintu ditutup. Aku melintasi tempat istirahat yang kosong. Aku melewati bar
makanan ringan dan konter diskon khusus lokal dan menuju pintu keluar.

Aku berjalan menuruni tangga satu per satu. Cuaca dibawah nol derajat, tapi tidak
terasa dingin. Kunci terus tergelincir dari jari-jariku, dan aku terus memutarnya tanpa hasil.
Aku mengepalkan tinjuku. Skuter tua itu berderak seperti orang gila dan akhirnya nyala. Aku
menarik keluar dari tempat istirahat perlahan. Sebuah arah jalan dimulai dari plang tempat
istirahat. Aku berbelok ke kanan dalam lingkaran lebar, berjalan ke bawah bagian lurus
pendek, dan datang ke arah lain yang menikung ke kiri. Ini adalah tempat dimana aku
terpeleset pertama kali dan kemudian Taehyung jadi mengalami masalah.

Aku terus menatap ke depan dan dengan cepat melewati tempat itu. Aku mencoba
meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak akan mengalihkan pandangan dari jalan agar tetap
aman, tapi ada rasa bersalah. Rasa bersalah karena bertahan hidup sendirian, rasa
bersalah karena merasa lega bahwa akulah yang masih hidup. Bersalah karena tidak bisa
maju. Bersalah karena tidak berbicara untuk mempertahankan keterampilan menyetirnya
dan karena tidak mengakui bahwa aku tidak melihat helm di tempat makan. Mungkin aku
hanya seorang munafik yang berpura-pura bersalah.

Aku telah menyebarkan daun basah ditempat dimana Taehyung jatuh. Aku tidak
bermaksud untuk itu terjadi, tapi aku bertanggung jawab untuk semua itu. Aku adalah orang
yang telah menaburkan kalsium klorida. Dengan niat yang baik, untuk mencegah jalan dari
licin. Bahkan, aku melakukannya sendiri karena aku benar-benar percaya bahwa aku akan
melakukan pengiriman berikutnya dan melewati sini lagi. "Apa kau tahu apa yang
sebenarnya berbahaya?" Apa yang aku dengar di tempat istirahat diputar ulang dalam
pikiranku. "Dia pasti mengendarinya dan menyelinap." Jika aku membuang daunnya, jika
aku tidak menaburkan kalsium klorida, apa dia akan aman?

Beberapa orang sudah berada di halte bus, menunggu bus pertama hari itu. Aku
menganggukkan kepala sebagai salam dan kemudian menunduk. Aku mencoba untuk tidak
melakukan kontak mata dengan siapa pun. Bus pertama hari itu mulai terlihat.

Bus itu berangsur-angsur berhenti. Dengan kepala menunduk rendah, aku


menaikinya setelah penumpang lain. Aku tidak punya rencana khusus. Aku hanya
menyelinap pergi. Dari wajah Ibu yang letih. Dari saudaraku yang tersesat. Dari Ayah yang
berjuang melawan penyakitnya. Dari kekayaan keluarga kami yang menurun. Dari
keluargaku yang membutuhkan pengorbanan dan kepatuhan dariku. Dari aku yang
berusaha pasrah dengan nasib ku. Dan yang terpenting, dari kemiskinan. Kemiskinan yang
menggerogoti jantung kehidupan. Mengubah apa yang berharga menjadi sesuatu yang tidak
berarti. Itu membuat kamu menyerah pada apa yang tidak boleh dilepaskan. Itu membuat
kamu ragu, takut, dan putus asa.

Tadi malam, aku meninggalkan tempat istirahat, mampir ke warung makan, lalu
pulang. Aku tidak ingat siapa yang aku temui dan apa yang aku bicarakan dan pikirkan di
antaranya. Seluruh tubuh dan pikiranku terasa mati. Aku tidak tahu apakah berangin, dingin,
baunya, atau siapa yang aku temui. Otakku sepertinya membeku. Aku bergerak secara
mekanis seperti zombie yang tidak menyadari siapa aku, apa yang telah aku lakukan, apa
yang aku lakukan sekarang, dan apa yang aku pikirkan. Anjing-anjing menggonggong yang
mengguncangku keluar dari mulut gang rumah terkemuka. Pada saat itu, semua indraku,
yang telah lumpuh, terbangun seketika dan pemandangan yang tak terhitung dari masa lalu
ku menyebar di depan mataku, hari-hari melompat dari satu tempat ke tempat lain, saat aku
terpeleset di jalan, aku merangkak ke jalan pemilik restoran dan bersaing dengan anak laki-
laki lain untuk mendapatkan pekerjaan pengantaran, anak-anak yang menertawakanku, dan
aku melihat teman-temanku yang mengenakan seragam sekolah menunggu bus. Suara
anjing-anjing menggonggong dan mata mereka yang mengancam dipenuhi kebencian
ditambahkan ke dalam adegan-adegan ini.

Aku hampir berteriak, "Hentikan! Kau ingin aku melakukan apa?" Tapi aku menahan
diri. Suara Ayah terdengar di telingaku. Suara lemah ayah. Aku memikirkan apa yang dia
katakan kepadaku malam itu saat kami pulang dari rumah sakit .. Aku pura-pura tidak
dengar tapi dengar jelas sepanjang hari melalui gonggongan anjing. Apa yang telah aku
pikirkan berulang-ulang sejak hari itu. Aku coba untuk tidak memikirkan "Pergilah, Namjoon.
Kamu harus bertahan hidup."

Bus berangkat ke Songju beberapa jam kemudian. Aku tidak meninggalkan pesan
ketika aku pernah meninggalkan Songju satu tahun yang lalu. Sekarang, aku kembali ke
kota tanpa pemberitahuan. Aku memikirkan teman-temanku. Aku belum berhubungan
dengan mereka lagi. Aku bertanya-tanya apa yang mereka lakukan dan apakah mereka
masih disana. Aku tidak bisa melihat keluar melalui jendela yang tertutup salju. Perlahan aku
menulis di jendela dengan telunjukku. "Aku harus bertahan hidup."

APA YANG HARUS DICARI


KETIKA HILANG

HOSEOK

02 Maret 2022

Aku suka bergaul dengan orang-orang. Segera setelah aku meninggalkan panti
asuhan, aku mulai bekerja di Two Star Burger sebagai pekerja paruh waktu. Aku harus
berurusan dengan orang yang tak terhitung jumlahnya, selalu tersenyum, dan selalu terlihat
energik. Aku menyukai pekerjaan ini. Ada beberapa hal yang membuat aku tersenyum atau
merasa semangat dalam hidupku. Aku menemukan lebih banyak orang yang jahat daripada
orang yang baik. Itulah mengapa aku sangat menikmati pekerjaan ini. Sambil selalu mengel
uarkan tawa, sengaja berbicara dengan nada lebih tinggi, dan berpura-pura ceria di depan
para pelanggan, aku benar-benar bisa berubah. Aku merasa lebih baik setelah tertawa
terbahak-bahak dan menjadi lebih baik hati dengan bekerja keras untuk melayani pelanggan
dengan ramah. Tentu saja, ada hari-hari yang sulit. Aku butuh semua energi ku kembali
untuk mengambil setiap langkah dalam perjalanan pulang pada akhir hari. Terkadang aku
menderita dengan kebiasaan bullying. Tapi aku hanya bisa tersenyum dan tertawa. Tertawa
memberiku energi yang baru.

Aku lulus dari sekolah menengah pada bulan Februari. Ijazah sekolah menengah
tidak membawa banyak perubahan. Itu hanya membuatku bekerja lebih lama di tempat
burger. Aku menghasilkan sedikit lebih banyak uang, tapi masih belum cukup untuk pindah
ke kamar yang lebih baik. Dengan dimulainya semester baru, Two Star Burger dipenuhi oleh
mahasiswa baru yang terlihat bingung dan kakak kelas yang berusaha terlihat dewasa.
Mereka semua terlihat imut. Kami dulu seperti mereka. Apa yang orang lain rencanakan?
Aku memikirkan mereka dari waktu ke waktu.

Terakhir kali aku melihat Seokjin adalah awal liburan musim panas. Dia seperti
menghindariku, jadi aku menjaga jarak. Kemudian aku mendengar bahwa dia pindah ke
sekolah lain. Yoongi, seperti biasa, tidak menanggapi telepon kami, dan tidak ada yang tahu
apa yang terjadi pada Namjoon. Taehyung, yang sangat menyukai NamJoon, mulai
meninggalkan sekolah di beberapa titik dan mendengar dia sering keluar-masuk kantor
polisi karena menggambar grafiti di tembok jalan. Jungkook sesekali muncul di depan pintu
kaca burger. Sepertinya dia selalu berkelahi karena biasanya ada luka dan memar di
wajahnya. Sedangkan Jimin, terakhir kali aku melihatnya ketika dia didorong masuk ke
ruang gawat darurat. Kenangan hari itu sering terlintas di benakku dan menghantuiku. Apa
aku melakukan sesuatu yang salah? Apa aku melewatkan sesuatu?

Pelanggan lain masuk ke toko. Aku menarik napas dalam-dalam dan menyapanya
dengan nada tinggi. Aku tersenyum lebar dan memandang ke arah pintu. Ternyata itu
seseorang yang aku kenal.

TAEHYUNG

29 Maret 2022

Setelah pemilik pom bensin meludah ke tanah dan pergi, aku hanya terus berbaring
ditanah. Dia menangkapku karena aku menggambar graffti di dinding belakang, dan dia
memukuli ku tanpa ampun. Aku pikir aku sudah terbiasa dipukuli, tapi ternyata tidak.

Aku mulai menyemprotkan grafiti beberapa waktu lalu. Aku pikir cat yang kurang
disemprotkan di dinding dari kaleng seseorang yang telah dibuang. Cat kuning yang
disemprotkan ke dinding abu-abu sangat menonjol dengan jelas. Pemandangan itu terasa
tidak nyaman. Aku mengambil kaleng cat lain dan menyemprotkannya di atas cat kuning.
Aku tidak menyukainya. Segera, aku menggunakan semua cat kaleng. Setelah yang terakhir
habis, aku melemparkannya ke tanah dan melangkah mundur. Aku seperti kehabisan napas
seolah-olah aku baru saja berlari dengan kecepatan penuh.
Aku pun tidak tahu apa arti warna di dinding ini. Aku juga tidak tahu apa yang aku
gambar dan mengapa aku menggambarnya. Tapi aku dapat mengatakan bahwa itu
menunjukkan keadaan pikiranku. Aku telah menyemprotkan pikiranku ke dinding. Awalnya,
aku pikir itu jelek. Dan kotor, dan bodoh, tidak berguna, dan menyedihkan. Aku tidak suka
itu. Aku menggosok cat yang basah dengan telapak tanganku. Aku ingin menghapus
semuanya, lapisan-lapisan cat tercoreng dan dicampur bersama untuk menciptakan lebih
banyak kombinasi warna. Tapi aku tidak bisa menghapusnya. Aku duduk dan bersandar di
dinding. Tidak jadi masalah apa aku menyukainya atau tidak. Tidak jadi masalah itu jelek
atau indah. Itu hanyalah sebagai bagian dari diriku.

Aku duduk tegak dan mulai batuk. Darah berceceran ke telapak tanganku. Lalu,
tangan seseorang mengambil kaleng semprotan. Aku mengangkat kepalaku mengikuti
tangan itu, dan wajah yang tidak asing mulai terlihat. Itu adalah Namjoon. Dia mengulurkan
tangannya. Aku terus menatapnya. NamJoon menarikku. Tangannya begitu hangat.

YOONG

07 April 2022

Aku berhenti mendengar suara piano yang canggung. Di tengah malam, api dalam
tong drum membuat suara berderak di tengah-tengah lokasi konstruksi yang kosong. Aku
mengenali lagu itu sebagai lagu yang pernah aku mainkan belum lama ini, tapi tidak
berhasil. Aku berjalan dengan sembarangan dengan mata terpejam. Aku mabuk, terhuyung-
huyung dan tersandung. Dengan panasnya api, bunyi piano, udara malam, dan efek alkohol
semuanya seperti meleleh.

Aku mendengar suara klakson yang keras. Mobil itu baru saja melewatiku. cahaya
lampu utama yang menyilaukan, angin yang berhembus dari mobil, dan sisa alkohol yang
membuatku merasa pusing. Aku mendengar supir itu mengutuk. Aku akan melemparkan
beberapa kata ketika aku menyadari aku tidak bisa mendengar suara piano lagi. Tidak ada
piano, hanya derak api yang berkobar, angin mendesing, dan suara mobil yang lewat.
Kenapa berhenti? Siapa yang bermain?

Nyala api keluar dari tong drum dengan retakan dan terbang ke langit yang gelap.
Aku menatap kosong pada nyala api yang berubah menjadi abu pekat dan jatuh ke tanah.
Wajahku memerah karena panasnya api. Pada saat itu, aku mendengar suara keras,
seolah-olah seseorang telah membanting tuts piano dengan tinjunya. Aku melihat ke
belakang secara naluriah. Darahku mengalir ke seluruh tubuhku. Mimpi buruk yang pernah
aku alami di masa kecilku. Itu suara yang sama yang kudengar dalam mimpi buruk itu.

Aku mulai berlari menuju toko musik. Aku hilang kendali, tubuh ku bergerak sendiri.
Aku merasa seolah telah melakukan ini berkali-kali. Aku tidak yakin apa itu, tapi sepertinya
aku lupa sesuatu yang tidak ternilai.

Seseorang sedang duduk di depan piano di toko musik dengan jendela yang pecah.
Sudah beberapa tahun, tapi aku langsung mengenali wajahnya. Aku memalingkan mataku.
Aku tidak ingin terlibat dalam kehidupan orang lain. Aku tidak ingin mencoba menghibur
seseorang yang kesepian. Aku tidak ingin menjadi penting bagi seseorang. Aku tidak yakin
bisa melindungi seseorang itu sampai akhir. Aku tidak yakin bisa bertahan dengan
seseorang itu sampai akhir. Aku tidak ingin menyakiti seseorang itu. Aku tidak ingin terluka.
Cukup sulit bagi kita untuk mencoba menyelamatkan diri ketika saat terakhir tiba, apalagi
bersama orang lain.

Aku membungkuk. Aku akan berbalik dan pergi tanpa melihat ke belakang. Tapi aku
mendekati piano tanpa menyadarinya. Aku menekan tuts note yang salah. Jungkook
menatapku. Itulah pertama kalinya kami bertemu sejak aku putus sekolah.

SEOKJIN

11 April 2022

Dengan bunyi yang tajam, mobil berhenti tepat waktu. Aku tidak melihat lampu lalu
lintas berubah, terganggu oleh pikiran-pikiran lain. Para siswa yang mengenakan seragam
sekolah yang akrab menatapku melalui jendela mobil ketika mereka menyeberang jalan.
Beberapa dari mereka menatapku dengan marah, beberapa tertawa dengan cepat seolah
bercanda dengan teman-teman mereka, beberapa berjalan dengan mata tertuju pada buku-
buku mereka, dan beberapa melihat sekeliling sambil berbicara di telepon. Mereka semua
terlihat damai.

Ketika lampu lalu lintas "Berjalan" mulai menyala, mobil-mobil yang tidak sabar
bergerak dan menyalip. Mereka yang menyalip ke persimpangan pada menit terakhir
langsung bergegas. Aku menginjak pedal gas.

Aku tiba di persimpangan pom bensin dalam waktu singkat. Aku melihat Namjoon
mengisi bensin mobil dari kejauhan. Aku mengepal setir. Aku tahu apa yang harus aku
lakukan, tapi tidak berarti aku tidak takut. Apa aku bisa mengakhiri rangkaian nasib buruk
dan kesakitan ini? Bukankah kegagalan berulang berarti tidak ada kemungkinan untuk
berhasil? Bukankah itu berarti kita harus menyerah? Apa kebahagiaan benar-benar menjadi
harapan yang sia-sia bagi kita? Kepalaku pusing dengan pikiran-pikiran ini.

Aku menghirup dalam-dalam dan menghembuskan napas perlahan. Aku jadi


memikirkan wajah Yoongi, Hoseok, Jimin, Taehyung, dan Jungkook satu per satu. Aku
berganti jalur dan berhenti di pom bensin. Namjoon mendekat. Aku menurunkan jendela
mobil. "Lama tidak bertemu!"

NAMJOON

11 April 2022

Ketika aku selesai mengisi sebuah mobil dan berbalik, sesuatu menyentuh pipi ku
dan jatuh ke tanah. Aku mundur selangkah dan melihat ke bawah untuk menemukan uang
kertas yang kusut di kakiku. Aku membungkuk dan mengambilnya. Orang-orang di dalam
mobil mencibir. Aku ketakutan. Seokjin memperhatikanku dari kejauhan. Aku tidak bisa
melihat ke atas. Apa yang akan aku lakukan ketika aku melihat mata mereka yang
mengendarai mobil mewah dan mencibir orang lain dengan angkuh? Aku harus melawan
mereka. Aku harus membela diri sendiri jika mereka memperlakukanku dengan tidak adil. Itu
bukan masalah keberanian, kebanggaan, atau kesetaraan. Itu hanya akan jadi masalah
saja.

Tapi ini pom bensin, dan aku pekerja paruh waktu disini. Aku harus mengambil
sampah yang dibuang dari jendela mobil. Aku harus berdiri disana dan mengambilnya ketika
pelanggan mengutuk. Aku harus mengambil uang kertas itu ketika pelanggan
melemparkannya ke tanah. Aku telah hidup seperti ini sepanjang hidupku. Ini memalukan,
tapi aku harus menanggungnya. Aku mengepalkan tangan. Kuku ku seperti meresap ke
dalam daging.

Aku terus menatap ke tanah ketika orang lain melempar uang kertas itu. Orang-
orang di mobil menggerutu karena kesenangan manja mereka dan menarik diri. Mereka
pergi, tapi aku tidak bisa mengangkat kepalaku juga. Aku hanya tidak bisa menatap mata
Seokjin. Dia sudah tahu betapa pengecut dan miskinnya aku. Tapi aku tidak ingin dia tahu
semua kebenaran tentangku. Dia hanya berdiri disana di ujung pandanganku. Dia tidak
mendekat atau mulai berbicara.

JUNGKOOK

11 April 2022

Akhirnya, aku mendapatkan keinginanku. Aku sengaja menabrakan diriku ke preman


dijalan dan mereka memukuliku dengan keras. Aku tertawa ketika mereka melakukannya,
jadi mereka semakin memukul ku, memanggilku gila. Aku bersandar pada rana toko dan
melihat ke langit. Sudah larut malam. Tidak ada yang berkelap-kelip di langit hitam pekat.
Rumput terlihat dikejauhan dari jalan beraspal. Saat angin bertiup, rumput berbaring
telentang. Itu tampak seperti diriku. Aku tertawa terbahak-bahak untuk menahan air mata.

Aku memejamkan mata dan melihat bayangan jelas Ayah tiriku membersihkan
tenggorokannya (marah-marah). Kakak tiriku tertawa kecil. Kerabat Ayah tiriku memalingkan
muka atau melanjutkan pembicaraan dengan mereka yang sedang santai. Mereka bertindak
seolah-olah aku tidak ada disana, seperti keberadaanku tidak berarti apa-apa, Ibu terlihat
bingung. Aku mengaduk debu jalanan saat mengangkat diri dari tanah dan terbatuk. Perutku
sakit seperti ditusuk dengan pisau.

Itu adalah bangunan kosong yang belum selesai dimana konstruksi telah dihentikan.
Aku berjalan disepanjang pagar penjaga yang dipasang pembatas dengan terbentang. Aku
melangkahkan kakiku ke dalam kekosongan, dan kegelapan mulai merembes melalui jari
kakiku. Pemandangan malam warna-warni kota terbuka dibawahku. Papan reklame, klakson
mobil, dan bau debu yang tajam semuanya bercampur menjadi satu dalam kegelapan dalam
arus angin yang berputar. Aku merasa pusing dan terhuyung. Saat aku merentangkan
tanganku dengan lebih lebar untuk menjaga keseimbanganku, sebuah pemikiran datang
kepadaku. Hanya satu langkah ke depan. Hanya itu yang diperlukan untuk mengakhiri ini
semua. Aku membungkuk ke arah kehampaan yang gelap. Kegelapan yang merembes ke
jari-jari kaki ku muncul padaku seolah-olah itu akan menelan seluruh tubuhku. Aku menutup
mataku, dan kota yang berantakan, kebisingan, dan ketakutan semua menghilang. Aku
menahan napas dan perlahan membungkuk lagi. Aku menjernihkan kepalaku. Aku tidak
ingin memikirkan siapa pun. Aku tidak ingin meninggalkan apa pun dikepala ku. Aku tidak
ingin mengingat apa pun. inilah akhirnya.

Ponsel ku berdering. Aku kembali pada diriku sendiri seolah terbangun dari mimpi
panjang. Semua indra ku langsung kembali normal. Aku mengeluarkan ponsel ku. Itu adalah
Yoongi.

YOONGI

11 April 2022

Aku berjalan, memperhatikan langkah kaki Jungkook mengikuti di belakangku.


Serangkaian kontainer muncul di sepanjang bentang jalan kereta api. "Itu yang keempat dari
ujung." Hoseok mengatakan dia bertemu dengan Namjoon dan Taehyung dan menyuruhku
datang. Aku bilang akan, tapi aku tidak sungguh-sungguh. Aku benci terlibat pertengkaran
dengan orang lain, dan Hoseok tahu itu. Dia tidak kepikiran bahwa aku benar-benar muncul.

Ketika aku membuka pintu, Hoseok tampak terkejut. Kemudian, setelah melihat
Jungkook, dia datang ke arah kami, membuat gerakannya yang berlebihan dengan wajah
penuh perasaan campur aduk. Jungkook bangkit, mungkin untuk menyembunyikan bibirnya
yang pecah-pecah. Aku melewati Jungkook dan Hoseok, dan berjalan ke dalam ruangan
kontainer. "Sudah berapa lama nih?" Hoseok, yang mencoba untuk memeluk Jungkook, dan
Jungkook yang mencoba untuk menghindari pelukannya, terus berdebat satu sama lain.

Setelah beberapa saat, Namjoon datang bersama Taehyung. Kaos Taehyung terlihat
robek. Kami bertanya apa yang terjadi, dan Namjoon berpura-pura membungkukkan kepala
Taehyung. "Orang ini ditangkap lagi karena membuat graffti dijalan, jadi aku harus
mengeluarkannya." Taehyung melanjutkan tentang bagaimana kausnya robek saat ia
berusaha melarikan diri dari polisi.

Aku menjatuhkan diri ke salah satu sudut dan memandang mereka. Namjoon
memberi Taehyung kaos ganti untuk dipakai, dan Hoseok mengeluarkan hamburger dan
minuman. Jungkook berdiri dengan canggung, melihat sekeliling. Kalau dipikir-pikir, kami
seperti ini dulu di sekolah menengah. di ruang kelas yang berubah menjadi gudang,
Namjoon selalu ditertawakan saat mencoba berunding dengan Taehyung, Hoseok selalu
sibuk, dan Jungkook selalu mondar-mandir seolah dia tidak tahu harus berdiri dimana.

Sudah berapa lama ya? Aku tidak ingat kapan terakhir kali kita semua bersama. Apa
yang terjadi pada Seokjin dan Jimin? Aku jadi bertanya-tanya, meskipun itu bukan
karakterku. Aku belum pernah kesini sebelumnya, tapi anehnya terasa nyaman. Aku melihat
keluar pintu. Tiba-tiba, Aku merasakan keinginan untuk keluar dari tempat ini. Kecemasan
misterius membanjiri setelah kedamaian yang tak bisa dijelaskan itu. Pikiranku tertuju pada
ruangan yang kami gunakan sebagai tempat persembunyian di sekolah menengah. Kami
dulu tertawa dan mengobrol bersama, tapi hari-hari itu sudah lama berlalu. Demikian juga,
waktu yang kita habiskan disini akan berakhir. Apa ada gunanya punya perasaan yang baik,
rasa memiliki yang tiba-tiba, dan antisipasi yang tidak berdasar?
SEOKJIN

11 April 2022

Cahaya yang masuk dari jendela ruangan itu tampak seperti semacam sinyal.
Sebuah sinyal yang menuntun kita ketika kita tersesat, sinyal yang menunjuk ke tempat
berlindung ketika kita tidak punya tempat untuk pergi, dan sinyal yang menerangi teman-
teman yang berdiri di samping kita. Aku memarkir mobil ku di sudut agak jauh dari jalan
kereta api dan melihat yang lain berkumpul mengikuti sinyal itu. Hoseok pertama kali masuk
ke dalam ruang kontainer, diikuti oleh Yoongi, Jungkook, Taehyung, dan NamJoon. Seperti
apa mereka sekarang? Apa yang sedang mereka bicarakan sekarang? Bukannya aku tidak
ingin bertemu mereka. Tapi ini baru permulaan. Waktunya masih belum matang. Suatu hari
nanti, kita semua akan bersama lagi. Kami akan tertawa bersama di tengah-tengah sinyal
itu. Sejauh ini aku akan pergi. Aku memutar mobil ku.

NAMJOON

28 April 2022

Aku tahu ada yang tidak beres dengan Taehyung. Meskipun dia berpura-pura baik-
baik saja, kecemasannya muncul dalam perilakunya, ekspresi, dan suaranya. Tidak peduli
seberapa keras dia berusaha. Ini bukan tentang ditangkap karena grafiti. Bagi Taehyung,
grafiti adalah permainan, dan menyenangkan. Luka dan memar yang terkadang mewarnai
wajahnya pasti berasal dari ayahnya yang kejam, tapi itu juga bukan alasannya. Ketika
wajahnya babak belur, Taehyung semakin melebih-lebihkan, bertingkah riang dan berbicara
tanpa henti.

Taehyung tampaknya dalam mimpi buruk. Aku tidak memaksanya untuk berbicara
karena aku memutuskan untuk menunggu sampai dia siap. Aku juga ragu bahwa aku pantas
atau tidak untuk menjadi orang yang mendengarkan masalahnya. Aku berusaha bersikap
seperti kakak laki-laki dan berpura-pura menjadi dewasa, tapi aku tidak ada disana ketika
yang lain melewati masa-masa tersulit mereka. Mereka mengatakan aku sudah dewasa, tapi
itu tidak benar.

Taehyung mengingatkanku tentang apa yang aku alami di desa dulu. Faktanya,
keduanya tidak memiliki kesamaan. Aku menyadari hal itu ketika aku tinggal di desa. Tapi
bocah itu mengingatkanku pada Taehyung, sama seperti Taehyung sekarang
mengingatkanku padanya. "Aku ingin bertanya." Bertanya? Apa skuter itu benar-benar
tergelincir pada dedaunan yang lembab? Apa anjing-anjing itu masih menggonggong?
Bagaimana dengan orang tua ku? Aku menggelengkan kepala. Aku berdiri untuk memaksa
pikiran-pikiran itu keluar. Tepat saat aku ingin keluar dari kontainer, Taehyung mulai
membolak-balik badan seperti sedang mengalami mimpi buruk.

Taehyung terbangun dengan kaget ketika aku menyentuh bahunya dan duduk
disana dengan linglung untuk waktu yang lama. Dia membiarkan air matanya mengalir di
wajahnya dan terus mengoceh. Dia mengatakan Yoongi meninggal, Jungkook jatuh dari
atap, dan aku terjebak dalam perkelahian. Dia berkata bahwa dia pernah mengalami mimpi
seperti ini berulang kali. Begitu jelas sehingga terasa seperti kenyataan dan kenyataan
terasa seperti mimpi. "Jangan tinggalkan aku." Wajah bocah lelaki di desa itu ditumpangkan
pada wajah Taehyung. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk memberikan jawaban
kepadanya. Aku tidak bisa memaksa diri juga untuk mengatakan bahwa dia tidak perlu
khawatir karena aku tidak akan kemana-mana.

HAL-HAL DENGAN SAYAP HARAPAN


(“harapan” istilah bulu dari sayap by Emily Dickinson)

SEOKJIN

02 Mei 2022

Aku sangat gugup sampai jari-jariku tegang. Aku mengepalkan tanganku.


Bagaimana jika aku gagal? Aku sudah melakukan ini berulang kali, tapi aku merasa takut
setiap kali mencoba. Aku mengambil napas dalam-dalam, lambat dan memikirkan tentang
Yoongi. Dia pasti mabuk sekarang, menyalakan korek api dengan satu tangan dan
memegang ponsel dengan tangan satunya lagi. Dia mungkin sedang berbaring di sofa,
merenungi alasan mengapa dia harus terus hidup. Atau alasan untuk tidak melakukannya.

Bagaimana Yoongi melihat dunia dan dirinya sendiri? Aku menghadapi pertanyaan
ini setiap kali aku mencoba menyelamatkannya. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa
terus berusaha menghancurkan dirinya sendiri. Itu tidak berarti aku sangat senang hidup
didunia ini atau setiap hari dalam hidupku dipenuhi dengan kebahagiaan. Aku tidak pernah
terpikat oleh apa pun, bahkan dari hidup dan mati.

Melihat ke belakang, aku tidak berbeda ketika pertama kali memulai ini semua. Apa
aku bisa meluruskan kesalahan dan menyelamatkan kami semua? Aku tidak memahami
makna dan berat nya pertanyaan ini. Memang benar bahwa aku sangat ingin
menyelamatkan kami semua. Tidak ada yang pantas mati, putus asa, ditekan dan dihina.
Lebih dari itu, mereka semua adalah temanku. Kami mungkin memiliki kekurangan dan
bekas luka kami yang telah diputarbalikkan. Kami mungkin bukan siapa-siapa. Tapi kami
masih hidup. Kami memiliki hari-hari untuk hidup, rencana untuk diikuti, dan impian untuk
dipenuhi.

Awalnya, aku tidak terlalu memikirkannya. Aku pikir itu semua akan tergantung pada
berapa banyak usaha yang aku lakukan setelah aku menemukan siapa yang aku
selamatkan duluan dan dimulai dari mana. Itulah yang aku pikirkan. Aku percaya aku bisa
menyelesaikannya dengan membujuk mereka dan mengubah banyak hal. Aku simple dan
naif. Tapi itu tidak lebih dari upaya untuk menyelamatkan diriku sendiri. Setelah serangkaian
percobaan dan kesalahan, aku sadar. tidak sesederhana itu untuk menyelamatkan yang
lain.

Yoongi tidak mudah ditangani. Dia mungkin yang paling sulit dari semuanya. Dia
selalu mengubah waktu dan tempat untuk usaha bunuh diri. Aku harus mendekatinya
dengan cara yang berbeda dari yang lain. Solusi yang berfungsi dengan baik terakhir kali
tidak bekerja pada waktu berikutnya. Tepat ketika aku berpikir aku akhirnya mengungkap
satu misteri, itu ke halang oleh yang lain.

Pada awalnya, aku tidak bisa menjelaskan alasannya. Setelah semuanya, yang bisa
aku tebak adalah bahwa kesulitan Yoongi terhubung dengan konflik batinnya. Namjoon
terjebak dalam pertengkaran karena para pelanggan kasar di pom bensin. Tapi Yoongi
berbeda. Dia tidak memiliki target yang pasti dan tidak memiliki alasan yang pasti. Dia
memiliki terlalu banyak variabel (kejadian berubah-ubah).

Aku mencoba membayangkan apa yang ada di kepala Yoongi. Suatu hari, aku
pernah mengikutinya diam-diam selama berjam-jam. Langkah kakinya tidak aman dan tidak
dapat diprediksi. Dia terhuyung-huyung melewati jalan-jalan malam dan mencoba
melemparkan dirinya ke dalam api. Dia terkadang berjongkok di tanah dan mendengarkan
musik yang keluar dari suatu tempat di dalam toko perbelanjaan bawah tanah. Setelah
malam mengikutinya, aku menyadari betapa gersang, membosankan, dan besarnya hidupku
sendiri. Bukan aku iri pada Yoongi. Penderitaan yang dia alami, pergi dari satu tempat
ekstrem ke tempat ekstrem lain, berada diluar bayanganku. Yang bisa aku lakukan hanyalah
melihatnya jalan terhuyung-huyung.

Satu kemunduran selalu diikuti oleh yang lain. Lapisan keputusasaan baru muncul
bahkan sebelumnya telah dilucuti. Aku mungkin tidak bisa menyelamatkan Yoongi. Aku tidak
bisa menemukan ide. Tapi pada saat itu, harapan masuk. Aku pernah mendengar bahwa
harapan memiliki sayap. Itu adalah burung kecil dengan sayap. Seekor burung terbang ke
ruang kerja Yoongi, yang berada di sebuah bangunan yang telah ditinggalkan ditengah
lingkungan pembangunan kembali. Sudah diputuskan untuk menghancurkan lingkungan itu
Sejak lama, tapi dibiarkan kosong ketika rencana pembangunan kembali itu terhenti. Burung
itu terbang melalui jendela yang pecah. Yoongi berdiri di tengah ruang kerja dengan
pemantik api di tangannya. Seluruh ruang kerjanya bau bensin. Aku berdiri tepat diluar pintu.
Aku akan melompat masuk saat aku mendengar bunyi gedebuk dan kepakan sayap.
Pintunya setengah terbuka, jadi aku bisa mengintip. Yoongi membelakangiku.

Burung itu jatuh ke lantai. Mengepakkan sayapnya lagi tapi gagal naik ke udara.
Yoongi berdiri diam dan menatap burung itu. Aku masih tidak bisa melihat wajahnya. Burung
itu melompat-lompat di sekitar ruang kerja untuk mencari jalan keluar. Menabrakkan
sayapnya ke dinding dan kursi, dan bulu-bulunya yang rontok dilantai. Yoongi hanya
menatapnya. Tangannya masih memegang pemantik api bergantung di udara. Dia akhirnya
menjatuhkan lengannya, tenggelam, dan menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Aku
pergi ke ruang kerjanya malam itu. Luas tapi sunyi. Hanya sofa, kursi, dan piano yang kotor
yang bisa kutemukan disana. Potongan kertas yang kusut berserakan di seluruh penjuru.
Dia pasti sudah mencoba menyalakan api. Beberapa dari kertas itu tampak seperti garis-
garis musik, dengan kalimat lirik tertulis di atasnya.
Aku melihat sekeliling. Aku menemukan sesuatu dengan sayap. Burung itu
berjongkok dibelakang piano, dengan darah kering di sekitar luka disayapnya. Tampak
ketakutan dan gemetar ketika aku mendekat. Tetesan kecil darah dioleskan dilantai.
Remahan roti dan air diletakkan di depan piano.

Aku mundur selangkah. Bahkan jika aku membiarkannya keluar jendela, dia tidak
bisa terbang. Berapa lama untuk menyembuhkan lukanya? Akankah Yoongi tetap aman dan
sehat saat burung itu tinggal disini? Kemudian, sebuah pikiran muncul di benakku. Yoongi
pasti berhenti sendiri karena ini. Burung kecil yang terluka ini. Suatu hal yang rapuh yang
tidak bisa melindungi atau menyelamatkan dirinya sendiri. Makhluk mungil yang
mempercayakan hidupnya pada Yoongi.

Setelah hari itu, aku sadar. Jika semua perubahan yang terkait dengan upaya bunuh
diri Yoongi ada dalam diri Yoongi sendiri, mengapa tidak menyeret setidaknya satu dari
mereka? Aku harus mencari target yang tepat dan menciptakan situasi yang tepat.
Perubahan yang bisa memberi Yoongi alasan untuk berhenti menghancurkan dirinya sendiri.
Seseorang yang bisa berbagi bekas luka dan keinginannya. Seseorang itu bukan aku. "Itu
bukan sesuatu yang bisa kamu lakukan sendiri." Dengan susah payah aku menyadari penuh
arti kata-kata yang kudengar lama setelah semua ini dimulai.

Aku menyadari bahwa Jungkook memiliki pandangan yang sama di matanya seperti
Yoongi, ketika Namjoon mengatakannya. "Jungkook masih memiliki foto itu." Maksudnya
foto yang kami ambil bersama saat di pantai disekolah menengah. Namjoon sepertinya ingin
memberitahuku bahwa Jungkook masih memikirkanku, tapi aku diingatkan akan
pemandangan yang sama sekali berbeda.

Pada hari kami pergi mencari batu yang membuat mimpi jadi kenyataan, kami
tertawa, mengeluh, dan bermain dibawah terik matahari. Dan, merasa hancur saat
menemukan bahwa batu itu telah lenyap, aku meneriakkan mimpiku, yang bahkan tidak bisa
kudengar, ke arah laut.

Pada saat itu, aku melihat Jungkook berteriak beberapa pertanyaan pada Yoongi.
Aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan, tapi aku bisa merasakan bahwa itu penting
bagi Jungkook. Apa yang dia tanyakan pada Yoongi? Kenapa dia? Aku belum
memikirkannya saat itu. Yoongi tidak seceria Hoseok, tidak seramah Jimin, dan tidak
sepintar NamJoon. Yoongi kenapa ya? Tiba-tiba aku sadar. Yoongi lah yang
menyelamatkan Jungkook. Keduanya memiliki pandangan yang sama di mata mereka.

Tidak sulit untuk mengirim Jungkook ke Yoongi. Jungkook sendirian disekolah dan
dirumah. Dia tidak punya tempat untuk pergi setelah pulang sekolah. Dia biasanya
menghabiskan waktunya di restoran burger Hoseok atau berkeliaran di sekitar pintu
kontainer Namjoon. Aku melihat pintu kontainer dan membuat Hoseok meninggalkan toko
sebelum Jungkook mampir. Setelah berkeliaran sebentar, Jungkook akhirnya menuju ke
ruang kerja Yoongi. Dia tampaknya memiliki perasaan campur aduk. Haruskah aku masuk?
Bagaimana jika dia pikir aku menjengkelkan? Harapan dan ketakutan keduanya berputar di
wajah Jungkook. Sejak hari itu, dia mengunjungi ruang kerja Yoongi setiap hari. Pada
awalnya, Yoongi dengan datar menyuruhnya pergi, tapi dia tidak benar-benar bersungguh-
sungguh.
Sebuah bayangan muncul sesaat. Itu Jungkook. Aku membenamkan diri lebih dalam
ke kursi. Mereka tidak tahu aku sudah kembali. Kecuali Namjoon, yang kutemui di pom
bensin. Namjoon mengatakan semua orang akan senang, tapi aku menolak untuk bertemu
mereka. Aku sedang menunggu saat yang tepat. Aku harus menunggu sampai kita semua
bersama.

Mungkin kami diikat bersama dengan tali dan saling mendukung satu sama lain.
Tidak mudah untuk mencari jaringan tali ini. Ini seperti labirin yang rumit. Ketika beberapa
tali dan simpul ditemukan, bagian-bagian lain akan terbelit. Ketika satu senar ditarik terlalu
kencang, semuanya runtuh dalam sekejap. Aku harus menghubungkan titik-titik, satu tali
dengan tali yang lain, mengamati dengan cermat yang lain, untuk membuat mereka
menyelamatkan satu sama lain tanpa menyadarinya.

Jungkook berhenti di depan ruang kerja Yoongi dan menatap dari lantai dua. Dia
tidak terlihat terlalu ceria. Yoongi telah melewati masa sulit selama sepuluh hari terakhir. Dia
banyak mabuk dan menyiksa dirinya sendiri. Aku mendorong Jungkook ke dalam
penderitaannya. Penderitaan Yoongi pasti terlalu berlebihan untuk Jungkook. Suatu hari,
Jungkook menyerah pada Yoongi. Saat itu, Yoongi melemparkan dirinya ke dalam nyala api,
tapi kejamnya, Yoongi tidak mati. Jungkook tidak pernah memaafkan dirinya sendiri jika
gagal menghentikannya.

Sekitar sepuluh menit telah berlalu sejak Jungkook pergi ke ruang kerja Yoongi. Ada
suara pecah keluar dari jendela lantai dua, dan Yoongi, dengan bibir nya pecah-pecah,
muncul dipintu masuk gedung, sambil jalan terhuyung-huyung. Dia bergegas menuruni jalan
miring. Aku melihat ke jendela lantai dua. Jungkook pasti duduk disana dekat cermin yang
hancur. dia pasti berpikir dia tidak bisa menyelamatkan Yoongi. Dia pasti berpikir tidak ada
harapan lagi.

Aku menyalakan mobil setelah melihat Jungkook lari keluar dari gedung. Yoongi
akan menuju ke motel di ujung blok. Aku harus meninggalkan petunjuk untuk Jungkook ke
tempat Yoongi. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku menjatuhkan beberapa tisu bernoda
darah di dekat gerbang motel.

Aku duduk di mobil, aku melihat Jungkook menaiki tangga motel. Aku meninggalkan
foto di depan cermin di ruang kerja Yoongi pagi ini. Itu foto kami semua yang diambil saat
kami pergi ke pantai. Apa jungkook melihat foto itu? Aku tidak tahu apakah Jungkook
mengikuti Yoongi karena foto itu, apa Jungkook memutuskan untuk mencoba melihat sedikit
harapan, atau apakah Jungkook termotivasi oleh sesuatu yang lain.

Aku tidak yakin bagaimana Jungkook bisa menyelamatkan Yoongi. Saat yang
menentukan dalam hidup, saat terakhir, bagi kita masing-masing, termasuk Jungkook dan
Yoongi, tidak dapat diganggu. Itu hanya dapat dibagikan oleh mereka berdua yang
menderita luka yang sama, memahami ketakutan, mimpi, dan kekalahan satu sama lain,
dan oleh karena itu melihat satu sama lain melalui inti masalah.

Aku menatap jendela motel. Aku bertanya-tanya apa yang Jungkook dan Yoongi
bicarakan disana. Dan aku sangat berharap sesuatu (burung) dengan sayap itu bisa lepas
landas ke langit dari sana.
YOONGI

02 Mei 2022

Seprai terbakar dan langsung menyala. Segala sesuatu yang suram dan lusuh
lenyap dalam panas yang tak tertahankan. Bau apek, kelembaban yang menekan, dan
cahaya gelap dan suram tidak lagi dikenali. Hanya rasa sakit yang tersisa. Rasa sakit fisik
yang sepertinya mendidih dalam nyala api. Ujung jariku terasa seperti meleleh dengan
lepuh. Wajah ayah yang tanpa ekspresi dan suara musik menyebar ke udara.

Aku berbeda dari dia. Ayah tidak mengerti aku dan aku juga tidak mengerti dia. Jika
aku mencoba, apa aku bisa membujuknya? Aku kira tidak. Yang bisa aku lakukan hanyalah
bersembunyi, menentang, dan melarikan diri. Terkadang aku merasa bukan dia yang
berusaha kuhindari. Pada saat-saat seperti itu, rasa takut membanjiri ku. Kenapa aku
melarikan diri sejak saat itu? Apa itu bisa melepaskan diriku? Segalanya tampak tidak ada
harapan.

Aku pikir aku mendengar seseorang memanggilku, aku tidak menundukkan


kepalaku. Aku tidak bisa bernapas. Aku tidak bisa bergerak. Tapi aku tahu. Itu Jungkook.
Dia pasti marah padaku. Dia akan berduka untukku. Aku hanya ingin kegagalan. Aku ingin
mengakhiri asap, panas, sakit, dan ketakutan ini. Jungkook meneriakkan sesuatu. Tapi aku
tidak bisa mendengar. Segalanya di depan mataku berantakan. Itu adalah saat terakhir. Aku
mengangkat kepalaku. Pandangan terakhirku adalah ruangan yang kotor dan terisolasi ini,
api merah panas bergulir, dan wajah Jungkook yang tak berbentuk.

JUNGKOOK

02 Mei 2022

Aku mendongak dan menemukan diriku didepan kontainer. Aku membuka pintunya
dan masuk. Aku berbaring meringkuk dan membuka diri dengan semua pakaian yang bisa
kutemukan. Aku merasa dingin dan tubuhku gemetar. Sulit untuk menenangkan diri dan
berbaring diam. Aku merasa ingin menangis, tapi air mataku tidak mengalir.

Adegan Yoongi berdiri ditengah kobaran api yang terus berulang dalam pikiranku.
Api menyala dari seprai. Aku tidak bisa berpikir. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku
bukan pembicara yang baik. Aku bahkan tidak bisa mengungkapkan perasaanku sendiri
apalagi membujuk orang lain. Air mata mengalir deras dan batuk menyumbat
tenggorokanku. Menjadi lebih sulit untuk berbicara. Satu-satunya kata yang bisa ku ucapkan
ketika aku melompat ke dalam nyala api adalah "Aku pikir kita semua akan pergi ke laut
bersama."

"Ada apa? Apa kamu mimpi buruk?" Seseorang mengguncang bahuku. Aku
membuka mataku untuk melihat Namjoon. Rasa lega mengalahkanku. Namjoon meletakkan
tangannya di dahiku dan memberitahuku aku demam. Itu benar. Dalam mulutku terasa
seperti mengembang, tapi pada saat yang sama juga sangat dingin. Kepalaku dan
tenggorokanku sakit. Aku nyaris tidak bisa menelan pil yang Namjoon bawakan padaku.
"Kembalilah tidur. Kita bicarakan nanti." Aku mengangguk. Lalu aku bertanya padanya, "Apa
aku akan tumbuh menjadi orang dewasa sepertimu?"
LANTAI PALING ATAS KOTA

HOSEOK

10 Mei 2022

Penyakit narkolepsiku bisa terjadi kapan saja, dan dimana saja. Aku pingsan tanpa
peringatan saat bekerja dan dijalan. Aku pura-pura tidak peduli tentang itu di depan mereka
yang mengkhawatirkanku. Aku tidak pernah memberi tahu siapa pun bahwa aku tidak tahan
jika harus menghitung sampai sepuluh.

Aku selalu bermimpi tentang Ibu ketika aku pingsan. Semua mimpi yang sama. Aku
sedang menuju ke suatu tempat dengan Ibu dengan di bus. Aku senang dan ceria. Aku
membaca tanda-tanda jalan yang lewat, memperhatikannya, dan terus gelisah. Aku berusia
sekitar 7 tahun dalam mimpi ku.

Kemudian, tiba-tiba terlintas di benakku. Ibu telah meninggalkanku. Aku berumur 20


tahun saat aku menyadari hal itu. Ibu masih duduk di kursi bus di depanku. Dia terlihat
persis sama dari belakang. Ketika aku berbisik, "Bu," dia menoleh seolah dia mendengarku.
Siluetnya berkilauan dibawah sinar matahari yang cerah dan rambutnya berkibar-kibar ditiup
angin seperti ditaman hiburan hari itu. Bagian paling menyedihkan adalah yang aku tahu.
Bahwa aku akan terbangun dari mimpi jika dia menoleh lebih jauh dan menatap ku.

Aku mencoba mengatakan padanya untuk tidak berbalik, tapi suaraku gagal. Aku
terus berusaha teriak. "Bu, jangan berbalik. Jangan berbalik." Tapi dia selalu berbalik dan
menatapku. Tepat ketika mata kami akan bertemu, semuanya berubah putih, dan lampu
neon pucat di langit-langit kamar rumah sakit muncul.

Sama pada hari ini. Ketika aku membuka mata, hal pertama yang terlihat adalah
lampu neon di langit-langit. Aku memakai seragam pasien. Dokter berkata bahwa aku
sepertinya mengalami gegar otak dan memerlukan pemeriksaan yang lebih teliti. Aku
dipindahkan ke kamar rumah sakit yang berisi enam orang. Aku merasa lelah. Aku selalu
merasa lelah ketika sadar kembali.

JIMIN

11 Mei 2022

Aku dipindahkan ke bangsal operasi sekitar dua minggu yang lalu. Pada awalnya,
rasanya aneh melihat orang-orang datang dan pergi dengan bebas. Segera, aku tahu
bahwa itu hanyalah bagian lain dari rumah sakit. Ada pasien, perawat, dan dokter. Aku
diberi obat dan suntikan. Secara keseluruhan, itu hampir sama dengan bangsal psikiatris.
Satu-satunya perbedaan adalah bahwa bangsal operasi memiliki lorong yang lebih panjang
dengan ruang tunggu ditengah jalan. Tentu saja, ada satu perbedaan utama lagi. Aku
diizinkan bebas berkeliaran di sekitar bangsal. Pada malam hari, aku menyelinap keluar dari
kamarku dan berkeliling. Aku melompat dan menari di ruang tunggu dan berlari menyusuri
lorong lantai pertama dengan kecepatan penuh. Ini adalah sukacita sederhana yang tidak
diizinkan di bangsal psikiatris.

Suatu hari, aku menemukan sesuatu yang aneh tentang diriku saat aku berlari di
aula. Pada titik tertentu melewati dapur dan tangga darurat, tubuhku berhenti tanpa alasan.
Aku memiliki sekitar lima langkah lagi untuk mencapai akhir, tapi aku berhenti dan tidak
dapat mengambil langkah lain. Di ujung lorong ada sebuah pintu. Pintu yang terbuka ke
dunia luar. Diluar rumah sakit. Pintu itu tidak memiliki tanda "Off Limits", dan tidak ada yang
berlari untuk menghentikanku. Tapi aku tidak bisa melangkah lebih jauh. Aku menemukan
alasannya. Itu adalah bagian dari lorong seperti bangsal psikiatris. Seolah-olah sebuah garis
ditarik dari lantai, aku berhenti tepat pada titik itu, dimana lorong bangsal psikiatris akan
berakhir.

Mereka memanggilku anak yang baik di bangsal psikiatris. Terkadang aku


mengalami kejang, tapi selebihnya aku patuh. Aku tersenyum dan terus berbaring tanpa ada
yang lebih bijak. Dan aku tahu batasanku. Lorong bangsal psikiatris dapat dicapai dalam 24
langkah bahkan. Ketika aku pertama kali dirawat di rumah sakit, aku berusia 8 tahun. Aku
menangis dan menuntut untuk pulang bersama Ibu, memegangi pintu besi diujung lorong
itu. Dengan panik aku mencoba membuka pintu sampai perawat datang berlari dan
memberiku suntikan. Untuk sesaat, para perawat menjadi tegang setiap kali aku melangkah
ke aula. Sekarang, tidak ada yang memperhatikanku bahkan jika aku berlari menyusuri
lorong dan mencapai pintu. Aku sudah tahu bahwa pintunya terkunci. Aku terus berlari ke
pintu dan kembali. Aku tidak lagi memohon pada mereka untuk membukakan pintu atau
menangis.

Tapi dunia ini penuh dengan orang-orang yang lebih bodoh dari pada aku. Mereka
memegang dan mengguncang pintu tanpa henti. Mereka ditekan oleh staff, diberikan
suntikan, dan diikat ke tempat tidur mereka. Jika mereka berperilaku sedikit lebih baik pasti
dapat diterima, hidup mereka bisa menjadi jauh lebih nyaman. Para idiot itu tidak tahu cara
yang lebih baik.

Aku tidak seperti ini pada awalnya. Aku juga jatuh tak berdaya oleh obat penenang
yang disuntikkan paksa oleh perawat dan tertangkap karena mencoba melarikan diri dari
rumah sakit pada hari-hari awal. Aku memanggil Ibu, menangis cukup keras hingga serak
beberapa kali. "Aku tidak sakit. Aku baik-baik saja sekarang. Tolong datang dan bawa aku
pulang." Aku terjaga sepanjang malam selama beberapa hari, tapi Ibu tetap tidak datang.

Ketika aku dibawa ke rumah sakit setelah mereka menemukanku tidak sadarkan diri
di Arboretum Bunga, orang tua ku tidak mengajukan pertanyaan. Mereka mengabaikan fakta
bahwa aku hanya pingsan disana. Itu sama saat aku mengalami kejang. Mereka merawatku
di rumah sakit, memberhentikanku sekolah setelah beberapa waktu, dan memindahkanku
ke sekolah lain. Reputasi keluarga penting bagi mereka. Seorang putra dengan penyakit
mental tidak dapat diterima.
Aku tidak menjadi anak yang baik dalam semalam. Tidak ada kejadian dramatis atau
kejadian yang tak terlupakan. Aku terus menyerah pada diriku sedikit demi sedikit, tepat saat
kuku ku tumbuh. Aku berhenti menangis dan ingin pergi ke luar di beberapa titik. Aku
berhenti berlari menuju pintu di koridor.

Aku bersekolah di sela-sela waktu menginap di rumah sakit, walaupun aku tahu aku
akan dikirim kembali ke rumah sakit. Rasanya menyegarkan untuk melihat ke langit dan
menikmati aroma setiap musim. Tapi aku berusaha untuk tidak menahannya dalam
ingatanku. Mereka akan segera dijauhkan dari ku. Teman juga. Memiliki riwayat penyakit
mental tidak ada gunanya untuk berteman.

Ada satu pengecualian. Aku bertemu satu grup yang terasa mereka seperti teman
sejati. Hampir dua tahun lalu. Aku berusaha untuk tidak mengingatnya, tapi aku tidak dapat
mengingatnya kembali pada masa itu. Aku harus berpisah dengan mereka setelah kejang di
halte sepulang sekolah. Adegan terakhir yang aku ingat adalah jendela bus terbuka dan
muncul plang Arboretum bunga. Saat itulah aku pingsan.

Ketika aku membuka mata, aku sudah berada di rumah sakit. Ibu di sudut ruangan
berbicara dengan ponselnya. Pikiranku berputar sebentar. Aku tidak tahu dimana aku
berada atau bagaimana aku bisa sampai disini. Aku memandang sekeliling dan menemukan
jendela dengan palang logam. Kemudian, semuanya kembali pada ingatanku. Langit biru
yang aku lihat dalam perjalanan kembali kepadaku. Langit biru yang kulihat dalam
perjalanan pulang, permainan konyol yang kami mainkan di halte bus, bus antar-jemput
Arboretum semakin dekat, dan tatapan tajam melalui jendela bus.

Aku menutup mata. Tapi terlambat. Gerbang depan Arboretum muncul didepan
mataku. Hari itu adalah hari piknik sekolah dikelas satu. Aku berlari melewati hujan lebat
dengan ransel diatas kepalaku. Sebuah gudang mulai terlihat. Pintu dibiarkan terbuka. Aku
melangkah masuk. Bau lengket, bau apek, suara napasku yang berat, dan suara
melengking, suara logam.

Aku duduk ditempat tidur dan berteriak. "Tidak! Aku tidak ingat! Aku lupa," Ibu berlari,
memanggil seseorang. Aku menggelengkan kepalaku dengan keras. Aku mengayunkan
tanganku ke segala arah untuk menghilangkan bau, sentuhan, suara, dan penglihatan itu.
Tapi ingatan itu terus datang membanjiri. Bendungan yang menahan mereka selama
sepuluh tahun terakhir runtuh dan setiap detail hari itu melonjak dalam benak, mata, sel, dan
kuku ku seolah-olah itu akan terjadi lagi. Aku mengalami kejang dan disuntik. Obat itu
mengalir melalui pembuluh darahku, dan aku dengan cepat tertidur. Aku memejamkan mata
dan berharap ini semua hanya mimpi dan ketika aku bangun lagi, aku tidak akan bisa
mengingat apa pun.

Keinginan itu hanya harapan. sebagai gantinya, siklus kejang, suntikan, dan tidur
yang disebabkan oleh suntikan yang terasa seperti jatuh dari tebing masih terus berlanjut.
setelah aku bangun dari tidur, seluruh tubuhku terasa seperti tertutup lumpur. lumpur yang
tampak seperti darah. tidak peduli sekeras apa pun aku berusaha mencucinya, bau gudang
itu tetap melekat. Aku menggosok sampai berdarah, tapi masih terasa kotor.

Ketika dokter bertanya kepadaku dengan nada prihatin, aku gemetar dan meminta
maaf pada awalnya. Aku berulang kali mengatakan bahwa aku menyesal. Itu semua
salahku. Tolong izinkan aku melupakan semuanya. Kemudian, aku mencoba berpura-pura
tidak terjadi apa-apa. Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan. Aku tidak ingat apa-apa. Jadi
aku menatap dokter dan tersenyum. "Aku tidak ingat apa-apa." Apakah dokter benar-benar
percaya padaku? Aku tidak yakin. Tapi yang penting adalah aku sudah menjadi anak yang
baik. Hidupku di rumah sakit sangat damai. Itu adalah tempat yang ideal untuk
menghabiskan waktuku. Aku tidak merindukan apa pun dan tidak merasa terkekang, takut,
atau kesepian. Sampai tadi malam. Sebelum aku bertemu dengan Hoseok lagi.

Aku dipindahkan ke bangsal operasi karena aku berkelahi dengan orang idiot yang
terus berusaha untuk sampai ke pintu di ujung lorong meskipun ada kendala dari perawat.
Kami berdua terluka dan dimasukkan ke dua kamar yang berbeda di lantai lima bangsal
operasi. Aku ditempatkan di kamar yang berisi enam orang. Tempat tidur berada di tengah,
dan pasien di kedua sisi sering berganti.

Aku terbangun. Pasien di sebelahku sepertinya mengalami mimpi buruk dan terus
mengerang. Suara erangan datang dari tempat tidur di sebelah kiriku. Aku menarik selimut
itu ke atas kepalaku. Aku muak dan lelah dengan mimpi buruknya. Aku tidak ingin
mendengar ini. Aku mencoba bertahan untuk sementara waktu, tapi mimpi buruknya terus
berlanjut. Akhirnya, aku bangkit dan melangkah ke tempat tidurnya. Aku menepuk
pundaknya dan mencoba membantu. "Tidak apa-apa. Itu hanya mimpi."

Aku menemukan pagi ini bahwa pasien itu adalah Hoseok. Aku menarik tirai untuk
sarapan, dan Hoseok duduk di ranjang di sebelahku. Dia tampak senang melihatku lagi. Apa
aku harus senang juga? Mungkin, disalah satu sudut pikiranku. Dia bergaul denganku dan
merawat ku, seorang pindahan yang benar-benar orang asing di sekolah. Dia juga
mengantarku pulang setelah sekolah. Aku masih ingat hari-hari ketika kami biasa berjalan
pulang dengan es loli ditangan kami. Tapi dia juga orang yang melihat kejanganku di halte
bus sebelum aku datang ke sini. Dia yang membawa ku ke rumah sakit ini. Dia pasti
bertemu Ibuku. Aku tidak ingin menjelaskan keadaanku padanya.

Aku keluar dari kamar dengan makananku tidak tersentuh. Hoseok sepertinya
mengikutiku, aku tahu setiap sudut rumah sakit ini. Dia tidak bisa menyusulku. Aku
berkeliaran di rumah sakit sepanjang hari. Dari tangga, aku melihat yang lain, bahkan
Jungkook juga ada ketika mereka datang untuk menjenguk Hoseok. Mereka tidak banyak
berubah.

Sepanjang siang itu, aku naik dan turun tangga dan berkeliaran di lantai lain. Aku
bersandar ke jendela di ujung lorong dan menghitung mobil yang lewat. Aku menjadi kesal.
Aku telah melewatkan semua makananku, dan tidak ada tempat untuk duduk dan bersantai
dengan nyaman. Sangat menjengkelkan mendengar suara tawa datang dari kamarku. Aku
menjadi lebih marah karena aku tidak tahu mengapa aku sangat marah. Aku kembali ke
tempat tidur karena sudah larut malam. "Kemana saja kamu?" Dia bertanya dengan santai.
Lalu, dia memberiku sepotong roti.

Pasti karena aku kelaparan. Roti itu terlihat hangat dan lezat. Aku tidak bisa tidak
mengakuinya. Aku sudah lama terkurung di bangsal psikiatris. Aku sebentar lagi
dipindahkan ke bangsal operasi tapi akan segera dikirim kembali ke bangsal psikiatris. Aku
tidak akan keluar dalam waktu dekat. Seperti yang dia saksikan, aku adalah orang yang
mengalami kejang dijalan. Aku adalah seorang pasien yang mungkin berbahaya. Aku tidak
ingin menambahkan bagian akhir. tapi aku pikir itu akan menghentikannya untuk
mengkritikku.

Dia berhenti sejenak. Kemudian, dia mengambil rotiku. "Jimin, jangan melebih-
lebihkan. Apa kamu tidak tahu kalau aku punya penyakit Narkolepsi? Aku bisa pingsan
kapan saja atau dimana saja. Apa aku juga berbahaya?” Dia menggigit rotiku. Aku hanya
membeku, tidak tahu harus berkata apa. Lalu, dia berkata, "Apa? Kamu mau roti ini lagi?”
Dia menggigit roti lagi dan mengembalikannya kepadaku. Aku segera mengambilnya
kembali. Dia bertanya lagi kepadaku. "Apa kejang itu menular? Narkolepsi tidak. Jadi jangan
khawatir." Dia tidak berubah sedikit pun.

HOSEOK

12 Mei 2022

Aku membuka pintu darurat dan melesat menuruni tangga. Jantungku berdegup
kencang didadaku. Aku benar-benar melihat Ibu di lorong. Begitu aku melihat ke belakang,
pintu lift terbuka dan kerumunan orang keluar. Ibu menghilang dari pandanganku. Aku mati-
matian berdesakan di kerumunan dan melihatnya melewati pintu darurat dari kejauhan. Aku
mengikutinya ke tangga darurat dan berlari menuruni tangga dua demi satu. Aku turun
beberapa tangga tanpa istirahat.

"Bu!" Ibu berhenti. Aku mengambil satu langkah lagi dengan terburu-buru. Dia
berbalik. Langkahku menuruni tangga. Wajah Ibu sedikit demi sedikit mulai terlihat. Namun,
kaki ku terpeleset dan seluruh tubuh ku meluncur ke depan. Aku mengayunkan tanganku
untuk menjaga keseimbangan, tapi terlambat. Aku menutup mataku rapat-rapat, takut aku
jatuh dari tangga. Pada saat itu, seseorang meraih lenganku dari belakang. Aku nyaris
menghindari jatuh dari tangga. Saat aku menoleh, Jimin sedang berdiri disana tampak
terkejut. Aku cepat melihat ke depan lagi, dengan cepat aku berterima kasih padanya.

Aku melihat seorang wanita. Dia tampak bingung. Ada seorang anak lelaki
disebelahnya. Wanita itu terus mengedipkan matanya yang besar. Dia bukan Ibu. Dia
melangkah mundur dengan bocah kecil yang tersembunyi dibelakang punggungnya. Aku
hanya berdiri di tangga tanpa sepatah kata pun, dan menatap wajahnya.

Aku tidak dapat mengingat apa yang aku katakan saat itu untuk keluar dari situasi
itu. Aku pasti bergumam bahwa aku menyesal atau aku salah mengira ternyata dia orang
lain. Kalau dipikir-pikir, aku bahkan tidak bertanya pada Jimin mengapa dia ada disana.
Pikiranku berantakan dan aku tidak bisa melihat detailnya. Dia bukan Ibu. Mungkin aku
harusnya tahu itu sebelum aku mulai mengejarnya. Aku sudah lebih dari sepuluh tahun
sejak hari aku ditinggalkan sendirian di taman hiburan. Dia pasti sudah tua dan terlihat
berbeda dari yang kuingat. Bahkan jika aku bertemu dengannya lagi, tidak akan mudah
untuk mengenalinya. Wajahnya hampir sepenuhnya terhapus dari ingatanku.

Aku melihat ke belakang. Jimin baru saja mengikutiku tanpa sepatah kata pun. Dia
bilang dia sudah tinggal di rumah sakit ini sejak sekolah menengah, sejak aku terakhir
melihatnya di ruang gawat darurat. Ketika aku bertanya padanya apakah dia ingin keluar,
dia terus mundur, tampak bingung. Mungkin Jimin juga terikat dalam kenangan seperti ku.
Aku mengambil langkah ke arahnya. "Jimin, ayo keluar dari sini."

JIMIN

15 Mei 2022

Tiga hari berlalu setelah Hoseok dipulangkan dari rumah sakit. Aku tidak ingin
mengucapkan selamat tinggal, jadi aku mengikutinya diam-diam. Sementara aku terus
bersembunyi dan menandai di belakangnya, Hoseok berjalan menyusuri lorong panjang
menuju pintu. Dia dengan acuh tak acuh melewati garis dekat pintu darurat, tempat aku
selalu berhenti. Aku mengawasinya dari belakang. Tanpa disadari, aku berhenti disana. Aku
bisa mengambil setidaknya lima langkah lagi untuk sampai pintu, tapi aku hanya berdiri
disana.

Hoseok perlahan mengulurkan tangan dan dengan lembut mendorong pintu terbuka.
sinar matahari menyilaukan masuk melalui pintu terbuka bersama dengan udara luar.
Baunya sedikit menyengat tapi terasa menyegarkan pada saat bersamaan. Pemandangan
disisi lain pintu menyapu ku. Ketika Hoseok melangkah keluar, pintu mulai menutup. Aku
bisa meluncur jika berlari sekarang. Aku melihat ke lantai. Ada garis batas, yang tidak
terlihat oleh siapa pun kecuali aku, masih ada di sana.

Aku berbalik. atau, aku akan berbalik ketika seseorang lewat, dan mendorong
bahuku dengan keras. Aku jatuh ke lantai. Aku mengangkat kepalaku, masih terbaring
dilantai. Aku telah melewati batas. Si idiot berlari melewatiku, menuju pintu. Dia adalah
orang yang mendorongku. Dia terus mendorong orang lain dalam jalanannya. Dia tidak
memperhatikan mereka. Saat dia mendorong pintu sekuat yang dia bisa, sinar matahari
masuk lagi. Dia berlari ke luar. Seorang perawat mengejarnya, tapi dia lebih cepat. Pintu
mulai menutup lagi. Aku melompat berdiri. Satu langkah diatas garisku. Aku mengambil satu
langkah lagi. Hanya ada tiga langkah lagi untuk sampai ke pintu. Tapi aku mencari-cari lagi,
dan menyadari batasku.

Ada orang asing yang sudah menempati tempat tidur Hoseok. Aku menutup mataku
tapi tidak bisa tidur. Mau tak mau aku memikirkan apa yang dikatakannya sebelum dia
keluar. "Jimin, ayo keluar dari sini." Dia memakai ekspresi rumit yang belum pernah kulihat
sebelumnya. Dia belum pernah melihat atau terdengar seperti itu sebelumnya. Aku hanya
berdiri disana tampak ragu-ragu, tidak tahu bagaimana harus merespon. Ada satu alasan
lagi mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-katanya. Ada insiden yang terjadi
tepat sebelum itu.

Aku sedang menunggu lift dilantai dua tempatku menjalani terapi fisik. Aku
tersandung saat berkelahi dengan si idiot, dan pergelangan tanganku terluka dan tidak
sembuh dengan baik. Aku mulai tidak sabar ketika Hoseok semakin dekat, tapi lift macet
dilantai sembilan. Aku pikir aku mendengar seseorang memanggil nama ku tepat saat aku
berpikir untuk naik tangga. Seseorang itu sedang berdiri di depan pintu darurat di ujung
lorong. Aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang terkena sinar matahari dari jendela.
Ketika aku mengambil langkah ke depan, orang itu tiba-tiba berlari melalui pintu darurat.
Profil orang itu segera terlihat, tapi aku masih tidak bisa mengenali siapa orang itu. Siapa
itu? Aku berjalan menuju tangga darurat, dan merasa aneh.

Ketika aku membuka pintu keluar darurat dan memasukkan kepalaku, seseorang
lewat dengan cepat. Secara naluriah aku menarik kepalaku. Kami hampir bertabrakan. "Bu!"
mendengar tangisan putus asa, aku memasukkan kepalaku kembali. Itu Hoseok, dengan
panik melompat menuruni tangga. Dan ada seorang wanita berdiri di kaki tangga. Ada apa
ini? Aku melangkah ke bawah. Hoseok kehilangan pijakan tepat pada saat itu. Aku melesat
maju dan mengulurkan tangan tanpa berpikir dan menangkapnya. Hoseok goyah saat aku
tiba-tiba menahannya, dan aku nyaris tidak berhasil menjaga keseimbanganku.

Dia tidak mengatakan apa-apa sampai kami naik kembali ke tangga dan melangkah
ke lorong lantai lima. Dia tetap diam saat kami berjalan ke kamar rumah sakit. Lalu, dia tiba-
tiba berhenti dan menatapku. "Jimin, ayo keluar dari sini.” Aku tidak bisa menjawab. Dia
memberitahuku dengan tegas. "Aku akan kembali untukmu." Aku menjawab, "Aku akan
kembali ke bangsal psikiatris dalam beberapa hari."

Tiga hari-hari berlalu. Aku harus kembali ke bangsal psikiatris pada hari berikutnya.
Aku merapikan barang-barangku dan berbaring. Aku melemparkan dan berpaling sebentar
dan segera tertidur.

Aku terbangun dengan perasaan berat. Rumah sakit adalah tempat yang aneh, dan
sulit untuk tidur nyenyak. Aku bisa merasakan semua yang ada di sekitarku dengan mata
terpejam, dan bahkan suara terkecil membuatku tetap terjaga. Kamar rumah sakit gelap
gulita. Angin sepoi-sepoi bertiup melalui jendela yang terbuka. Gorden mengepak di tengah
aliran udara yang sudah pengap. Langit-langit, lantai, kegelapan, dan kesunyian. Mereka
semua akrab.

Aku terbangun malam ketika tangan seseorang memegangiku. Itu adalah Hoseok.
Aku duduk kaget, dan dia menaruh telunjuknya di bibirnya. "Kami semua datang bersama."
Dia mengatakan mereka menungguku di luar. Dia mengulurkan tangannya.

Aku masih terkubur dari banyak ketakutan. Aku tidak melihat orang tua ku. Aku akan
dianggap sebagai buronan dari bangsal psikiatris di dunia luar. Lebih aman tinggal di rumah
sakit sebagai pasien yang patuh. Aku tidak yakin aku bisa beradaptasi dengan baik di luar
sana. Aku bisa memikirkan sejuta alasan untuk tidak pergi.

Hoseok tidak ragu. dia meraih tanganku, membawaku berdiri, dan memberiku kaos.
Aku sudah bangun dari tempat tidur sebelum aku menyadarinya. Lorong terlihat sunyi.
Beberapa perawat ada di meja kerja. Mereka semua sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri
dan bahkan tidak melihat ke arah kami, tapi Hoseok dan aku berjalan setenang mungkin,
dan tegang. Lift sedang menunggu di lantai lima. Ketika pintu terbuka, Namjoon dan SeokJin
berdiri di dalam.

Kami turun ke lantai pertama dan melangkah ke lorong ketika Hoseok tiba-tiba
mendorongku ke pintu di sebelah kiri. Itu sebuah ruangan (tempat makan pasien). Biasanya
penuh sesak dengan pasien dan pengasuh di siang hari, tapi pada malam hari, sangat
tenang dan gelap dengan hanya lampu-lampu jalan yang suram. Lilin menyala, Jungkook
dan Taehyung keluar dari kegelapan itu. Wajah Yoongi juga terlihat dibelakang mereka. di
atas meja ada camilan dan beberapa kaleng soda.
Seorang perawat datang melalui pintu belakang tepat ketika aku memegang kaleng
soda. Sebelum aku selesai menyapa mereka, perawat bertanya apa yang kami lakukan
disini, dan Yoongi mengatakan kami sedang pesta ulang tahun. Dia melangkah ke ruang
tunggu. "Apa kalian semua pasien rawat inap disini? Kurasa bukan." Aku adalah satu-
satunya yang mengenakan seragam pasien. Tanpa disadari, aku menguatkan tanganku di
sekitar kaleng soda. Aluminium bisa kusut dengan suara menakutkan. Hoseok meraih
pundakku. "Tidak apa-apa." Itu NamJoon. "Ketika aku memberi sinyal, mulailah berlari."
Pasti Jungkook.

Seokjin, yang sudah berada di dekat pintu depan, melirik kami dan pergi keluar.
Hoseok melihat sekeliling kami dan memerintahkan dengan suara rendah. "Lari, Jimin."
Kami semua mulai berlari. Aku terjebak dalam kegembiraan dan berlari bersama mereka.
Taehyung kehilangan pijakan dan hampir jatuh, dan makanan ringan dan botol soda plastik
terbang ke udara. Kami melesat dengan cepat melewati meja-meja dan menjatuhkannya di
lorong lantai pertama. Suara keras dan langkah para perawat terus mengejar kami. Lorong
terbentang di depan kami seperti yang terjadi kemarin.

Jantungku berdebar kencang saat aku melewati dapur kecil dan datang ke tangga
darurat. Tanpa disadari, langkahku mulai melambat. Kepalaku dibombardir dengan banyak
pertanyaan. Apa ini akan baik-baik saja? Apa aku yakin mungkin lebih sulit diluar sana. Aku
mungkin tidak memiliki siapa pun di pihakku. Akan lebih aman dan lebih nyaman disini.
Tidak terlalu terlambat. Lebih baik aku berhenti disini. Lebih baik aku mengakui batasanku.
Lebih baik aku menjadi anak yang baik.

Barisku hanya beberapa langkah jauhnya. Aku melihat kembali. Sekarang petugas
kebersihan bergabung dan mengejar yang lain, tanganku memegang kaus dan gemetar
hebat. Mereka tampaknya dibelakangku. Mungkin aku tidak punya kesempatan. "Tidak apa-
apa, Park Jimin, Lari!" Suara itu mendorongku ke depan. Aku mengambil satu langkah lagi.

Aku telah melewati batas. Hanya mengambil satu langkah lebih dekat ke pintu,
perubahan dramatis akan terjadi. Sesuatu dalam diriku berguling dan melengkung seolah
aku baru saja melompat dari satu tebing curam ke tebing yang lain. Ketika aku melemparkan
seragam pasien ku dan mengenakan kaos, aku terus melangkah maju ke pintu. Langkah
selanjutnya lebih cepat, dan lebih cepat lagi. Dinding di kedua sisi melintas dengan cepat,
dan pintu semakin dekat dengan langkah besar. Hanya lima langkah lagi yang tersisa untuk
sampai dari garis ke pintu. Bagi orang lain, jaraknya hanya lima langkah. Tapi aku belum
berani sejauh ini. Ini adalah pertama kalinya aku berhasil melewati garis sendiri. Pintu itu
bisa dijangkau.

Begitu aku melewati pintu itu, lingkungan akan benar-benar berbeda dari yang
mengelilingiku. Aku menolak untuk memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku akan
fokus mengambil satu langkah pada satu waktu. Aku mendorong pintu dengan sekuat
tenaga. Setiap sel tubuhku bertabrakan dengan udara di luar. Tidak ada sinar matahari yang
menyengat atau angin kencang seperti yang selalu aku bayangkan. Aku merasa ingin
menangis. Suara detak jantungku bergema ke segala arah.
JIMIN

16 Mei 2022

Rumah Hoseok ada di atas bukit. Seperti ruangan beratap dari gedung multiguna
keluarga yang sudah rusak diujung jalan buntu. Menuju jalan buntu lewat jalan sempit
berliku yang jauh dari jalan utama dan menaiki tanjakan yang panjang dan curam. Disitulah
dia tinggal. Ketika kami memasuki ruangan, Hoseok menyombongkan bahwa ruangan itu
berada dilantai paling atas kota dengan seluruh dunia terlihat di bawahnya. Dia benar.
Kamar atap ini memiliki pemandangan segalanya. Ketika aku melihat lurus ke bawah, aku
bisa melihat stasiun kereta api dan kontainer berdiri berjajar di sepanjang jalur kereta api.
Namjoon tinggal di salah satu kontainer itu. Tidak jauh dari situ ada sekolahan yang selalu
kami datangi bersama.

Sambil melihat sekolah kami, garis pandangku mencapai titik di seberang sungai.
Sebuah komplek apartemen besar di kaki gunung. Disitulah rumahku. Tidak, di situlah
rumah orang tua ku berada. Aku telah melarikan diri dari rumah sakit tanpa rencana apa
pun. Rumah sakit pasti sudah menghubungi orang tua ku, dan mereka pasti sedang
mencariku sekarang. Aku belum berani bertemu mereka secara langsung. Aku tidak bisa
pulang. Aku tidak punya tempat untuk pergi dan tidak punya uang. Hoseok menyuruhku
untuk mengikutinya dan membawaku kesini. Dan begitulah cara ku berakhir di rumah
Hoseok.

Aku melihat ke komplek apartemen lagi. Aku harus kembali kesana suatu hari nanti.
Aku harus bertemu orang tua ku dan memberi tahu mereka bahwa aku tidak akan kembali
ke rumah sakit. Aku menarik napas dalam-dalam, dan Hoseok mendekat dan berdiri
disampingku.

HOSEOK

16 Mei 2022

Aku bisa menjadi diriku yang paling jujur dirumah. Terkadang aku berteriak di atas
nafasku dan bernyanyi di jendela. Terkadang aku juga memainkan musik dan menari seperti
orang gila. Dan terkadang aku terbangun di malam hari dan menangis. Saat aku
melakukannya, aku hanya berbaring diam, menatap langit-langit. Tapi aku tidak pernah
pingsan karena narkolepsi di rumah.

Jimin tidak pulang setelah meninggalkan rumah sakit. Dia datang ke rumah ku dan
sekarang sedang menatap kota yang bersandar pada pagar pengaman di atap. Dia pasti
sedang mencari sekolah kami, tempat makan Burger Two star, dan lampu yang berganti di
sepanjang jalan kereta api sepertiku. Dia juga harus mencari rumahnya. Itu selalu ada
dalam insting manusia. Semua orang pasti akan mencari rumah mereka ketika mereka
memanjat suatu tempat yang tinggi atau menyebar peta besar.

Aku berpikir untuk bertanya padanya mengapa dia tidak pulang. Tapi aku menyerah.
Pikirannya pasti berantakan, dan aku tidak ingin makin memperburuknya. Selain itu, aku
bisa menebak itu berdasarkan reaksi Ibu Jimin saat di ruang gawat darurat hari itu. Bahkan,
aku jarang bertanya pada temanku. Aku merasa sudah tahu jawaban sebagian besar dari
mereka. Dan aku tidak ingin mereka merasa canggung. Atau mereka mungkin mengira aku
terlalu ingin tahu dan mengganggu.

Sejujurnya, aku selalu ingin tahu kemana orang lain pergi ketika mereka berjalan
didekat toko ku. Tapi aku tidak pernah berlari untuk bertanya pada mereka. Kemana
Jungkook pergi dengan lukanya? Apa ruang kerja Yoongi ke arah itu? Mengapa Namjoon
meninggalkan sekolah? Dimana Taehyung pertama kali belajar grafiti? Kalau dipikir-pikir,
aku tidak tahu banyak tentang yang lain.

"Apa kamu menemukannya?" Aku mendekat ke Jimin dan bertanya. "Menemukan


apa?" Jimin terdengar bingung. "Rumahmu." Jimin mengangguk. "Aku tumbuh di panti
asuhan disana." Aku menunjuk ke suatu tempat diluar rel kereta api. "Apa kamu lihat
supermarket di arah sungai dari pom bensin tempat Namjoon bekerja? Kamu lihat tanda
neon berbentuk plang dibelakangnya? Panti asuhanku ada di sebelah kiri tanda neon itu.
Aku sudah tinggal disana selama lebih dari sepuluh tahun." Mata Jimin seperti bertanya-
tanya mengapa aku menceritakan semua ini kepadanya. Teman-temanku sudah tahu
bahwa aku dibesarkan di panti asuhan. Aku sudah menganggap sebagai rumahku sendiri.
Aku tidak memaksakan diri untuk berpikir begitu. Aku benar-benar percaya bahwa itu adalah
rumahku. Rumah tanpa Ibu.

"Aku harus mengakui sesuatu." Sesuatu yang telah aku bohongi. "Bahwa
Narkolepsiku itu palsu." Mungkin itulah sebabnya aku tidak bisa bertanya apa-apa tentang
siapa pun. Bukan karena aku takut menyakiti mereka. Itu karena aku telah berbohong,
karena aku tidak memiliki keberanian untuk jujur. Karena, begitu aku mengakuinya, aku juga
harus mengakui bahwa aku tidak punya siapa-siapa, "Ibu," tidak hanya di panti asuhan tapi
di seluruh dunia. Itulah mengapa aku tidak bertanya kepada mereka tentang masalah
mereka.

Jimin tidak pandai menyembunyikan perasaannya. Dia tampak terkejut cukup jelas.
Aku tidak tahu bagaimana cara meminta maaf kepadanya. Jimin telah menderita atas diriku
berkali-kali. Dia pasti menangis ketika pertama kali menyaksikannya. "Aku tidak sengaja
melakukannya. Aku pasti mengabaikan bahwa ada cara lain bagiku untuk baik-baik saja.
Aku tahu ini tidak masuk akal. Aku tidak bisa menggambarkannya dengan jelas."

"Lalu, apa kamu baik-baik saja sekarang?" Jimin, yang telah mendengarkan dengan
tenang selama beberapa waktu, menoleh ke arahku dan mengajukan pertanyaan. Apa aku
baik-baik saja sekarang? Aku bertanya pada diri sendiri. Jimin masih menatapku. Dia tidak
mengkritik atau bersimpati kepadaku. Aku melihat ke pemandangan kota yang terang
dibawah. "Yah, aku tidak tahu. Kita akan bisa mengetahuinya seiring berjalannya waktu. Aku
juga menantikannya. Bukan begitu?" Jimin tertawa kecil. Aku juga tertawa bersama.

JIMIN

19 Mei 2022

Aku harus kembali ke Arboretum Bunga. Aku harus berhenti berbohong tentang tidak
mengingat apa yang kulihat disana. Sudah waktunya untuk berhenti bersembunyi di rumah
sakit dan mengakhiri kejanganku. Untuk melakukan itu, aku harus kembali kesana. Tapi,
berhari-hari, aku pergi ke halte bus antar-jemput dan gagal naik bus.

Setelah aku melihat bus ketiga hari itu pergi, Yoongi tiba-tiba muncul dan jatuh
disebelah ku. Dia bilang dia keluar karena tidak ada yang bisa dilakukan dan dia bosan.
Kemudian dia bertanya apa yang aku lakukan disini. Aku menundukkan kepalaku dan
menendang tanah dengan ujung sepatuku. Aku duduk disana karena aku tidak punya
keberanian. Aku ingin berpura-pura bahwa aku baik-baik saja sekarang, aku cukup tahu,
dan aku dapat dengan mudah mengatasi ini. Tapi aku takut. Aku takut tidak tahu apa yang
akan aku hadapi, apa aku dapat menanggungnya, dan apa aku akan mengalami kejang lagi.

Yoongi terlihat santai. Dengan santai, dia menggumamkan sesuatu yang terdengar
seperti "Cuaca sangat baik" dengan cara yang bebas. Cuacanya sangat bagus. Tapi aku
sangat tegang sehingga aku tidak mampu untuk melihat-lihat, apalagi menikmati cuaca.
Langit biru. Angin sepoi-sepoi bertiup sesekali. Bus antar-jemput mendekat dari kejauhan.
Bus berhenti dan pintu terbuka. Pengemudi itu menatapku. Aku bertanya pada Yoongi.
"Maukah kamu pergi denganku?"

HOSEOK

20 Mei 2022

Aku meninggalkan kantor polisi dengan Taehyung. “Terima kasih.” Aku membungkuk
dan berteriak dengan lebih bersemangat, tapi aku benar-benar tidak berminat. Kantor polisi
tidak jauh dari rumah Taehyung. Jika dia tinggal lebih jauh dari kantor polisi, apa dia masih
ada disana sejauh ini? Mengapa orang tuanya memilih tinggal begitu dekat dengan kantor
polisi? Dunia begitu tidak adil bagi anak yang bodoh dan baik hati ini. Aku meletakkan
tanganku dibahu Taehyung dan dengan santai bertanya apa dia lapar. Taehyung
menggelengkan kepalanya. "Apa petugas polisi menyambutmu kembali dan membelikanmu
makanan?" Aku bertanya lagi, tapi dia tidak menjawab.

Kami berdua berjalan dibawah sinar matahari, tapi anginnya sedingin es seperti
menggigit hatiku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya ketika aku
merasakan rasa dingin di dalam tubuhku. Hatinya pasti merasa hancur dan terluka. Atau,
Apakah hatinya masih tersisa? Berapa banyak penderitaan yang dia alami? Aku tidak bisa
menatap matanya, jadi aku mengalihkan pandanganku ke atas. Sebuah pesawat terbang
menabrak langit yang agak suram. Aku pertama kali melihat bekas luka dipunggung
Taehyung pada saat di kontainer Namjoon. Aku tidak bisa bertanya pada diri sendiri ketika
dia tersenyum begitu lebar dengan hadiah kaosnya yang baru.

Aku tidak punya orang tua. Aku juga tidak memiliki ingatan tentang Ayah, dan
ingatan aku tentang ibu berhenti pada usia 7 tahun. Aku mungkin memiliki lebih banyak luka
yang terbuka mengenai keluarga dan masa kecil daripada siapa pun. Orang-orang selalu
berkata begitu mudah sehingga kita perlu menjalani luka-luka kita, merangkulnya, dan
menerimanya sebagai bagian dari hidup kita. Bahwa kita perlu berdamai dan memaafkan
orang lain untuk terus hidup. Bukannya aku tidak menyadarinya. Bukannya aku tidak mau
mencobanya. Tapi mencobanya tidak menjamin akan berhasil. Tidak ada yang mengajariku
bagaimana caranya. Dunia memberi kami luka baru bahkan sebelum yang lama bisa
sembuh. Tentunya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat terhindar dari luka. Aku
sadar akan hal itu. Tapi apa kita benar-benar harus terluka sedalam ini? Untuk apa?
Mengapa hal-hal ini terjadi pada kita?

"Aku baik-baik saja. Aku bisa pergi sendiri," Kata Taehyung di persimpangan. "Aku
tahu." Aku memimpin jalan. "Aku benar-benar baik-baik saja. Lihat. Aku baik-baik saja."
Taehyung tersenyum. Aku tidak menanggapi. Dia tidak mungkin baik-baik saja. Tapi begitu
dia mengakui bahwa dia tidak baik-baik saja, dia tidak akan sanggup menanggungnya. Jadi
dia mengabaikan kebenaran. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Taehyung mengikutiku, dan
memasang tudungnya. "Kamu benar-benar tidak lapar?" Aku bertanya kepadanya ketika
kami berjalan ke koridor luar yang menuju rumahnya. Dia tersenyum bodoh dan
mengangguk. Aku tinggal sebentar dan mengawasinya berjalan menuju pintu dan akhirnya
aku berbalik. Jalan yang dilaluinya dan jalan yang aku lewati sempit dan suram. Dia dan aku
berjalan sendirian.

SEOKJIN

20 Mei 2022

Rumah Taehyung berada disalah satu bangunan tertua di lingkungan itu. Cat nya
terkelupas disana-sini, dan gulma tumbuh dari retakan di dinding semen. Terlihat rusak. Aku
sedang menunggu Taehyung dan Hoseok di taman kecil bukit belakang gedung. Karena
berada di lereng, taman menghadap ke lorong luar dilantai gedung rumah Taehyung.

Hoseok muncul dari sekitar tempat yang mengarah ke sebuah gang dari kejauhan.
Taehyung mengikutinya. Wajahnya tidak begitu terlihat karena tudungnya ditarik ke bawah.
Taehyung dan Hoseok bertukar kata di depan gang. Taehyung seperti mencoba mengantar
Hoseok pulang dan Hoseok mengatakan ia baik-baik saja. Hoseok mulai berjalan lagi.
Keduanya datang ke depan gedung tanpa sepatah kata pun. Hoseok menaiki tangga dan
berhenti di depan pintu rumah Taehyung. Dia menyentuh bahu Taehyung dan memberi
isyarat padanya untuk pergi masuk ke rumah. Kemudian, dia berbalik dan mulai berjalan
menuju pintu keluar. Taehyung menatapnya dari belakang sejenak dan meraih gagang
pintu.

Aku menelepon Hoseok pada saat Taehyung mulai membuka pintu. Setelah nada
panggil berdering tiga kali, Hoseok mengeluarkan ponselnya di tengah lorong. Taehyung
sedang melangkah masuk ke rumahnya, "Hoseok, bisakah kamu memanggil taehyung?"
Hoseok berhenti berjalan. "Aku baru saja melihatnya." Aku bilang aku merencanakan
perjalanan ke laut untuk kita semua dan dia harus meminta Taehyung untuk ikut. Hoseok
tertawa, mengatakan tentu saja Taehyung akan ikut. "Tapi hanya untuk memastikan,
bisakah kamu bertanya padanya dan memberitahuku?" Aku segera menutup telepon. Inilah
saatnya. Hoseok harus pergi ke rumah Taehyung sekarang. Hoseok memiringkan
kepalanya ke samping, melihat layar ponselnya, dan berbalik. Kemudian, dia pergi ke rumah
Taehyung melalui pintu yang masih terbuka.
TAEHYUNG

20 Mei 2022

Aku menatap telapak tanganku. darah mengalir keluar. Tepat ketika kaki ku mulai
menyerah dan aku hampir pingsan, seseorang meraih ku dari belakang. Sinar matahari
masuk melalui jendela yang keruh. Kakakku menangis, dan Hoseok berdiri disana dalam
diam. Seperti biasa, lantainya dipenuhi piring-piring kotor, rintangan dan ujung, juga selimut.
Ayah sudah lolos dari kamar sebelum aku menyadarinya.

Kemarahan dan kesedihan yang tak terkendali yang muncul ketika memuntahkan
diriku pada Ayah yang masih segar dalam ingatanku. Aku tidak tahu apa yang menahan ku
saat aku akan menikamnya. Aku tidak tahu bagaimana memadamkan api yang mengamuk
didalam diriku. Aku ingin bunuh diri, bukan Ayah. Jika aku bisa, aku ingin langsung mati
disana.

Aku tidak bisa menangis. Aku ingin menangis, menangis dengan keras, menendang
dan menghancurkan segalanya. Tapi itu semua tampak diluar kendali ku. "Maaf, Hoseok,
aku baik-baik saja. Silakan pergi saja." Suaraku terdengar kering dan tenang, bertentangan
dengan pikiranku yang panik. Aku mengantar Hoseok pulang ke rumah tanpa kemauannya
dan menatap telapak tanganku. Darah masih mengalir turun. Alih-alih menikam Ayah, aku
malah menghancurkan botol di lantai. Botol itu pecah berkeping-keping dan menggores
telapak tanganku. Dunia berputar ketika aku memejamkan mata. Otakku membeku. Apa
yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku hidup?

Setelah aku sadar kembali, aku mendapati diriku melihat nomor Namjoon. Bahkan
dalam situasi ini, atau karena situasi ini, aku sangat merindukan Namjoon. Aku ingin
mengaku padanya. Aku hampir membunuh Ayah yang membawaku ke dunia ini dan yang
memukulku setiap hari. Aku hampir membunuhnya. Tidak, aku benar-benar membunuhnya.
Tak terhitung jumlahnya. Aku membunuhnya berkali-kali di kepalaku. Aku ingin
membunuhnya. Aku ingin mati. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tersesat. Aku hanya
ingin melihatmu sekarang.

HARI TERINDAH DALAM HIDUP KITA

JUNGKOOK

22 Mei 2022

Seseorang mengguncang bahuku untuk membangunkanku. Ketika aku membuka


mata, jendela mobil penuh dengan pemandangan laut. Angin laut terasa dingin, mungkin
karena aku baru setengah sadar. Aku membungkus diriku dengan kedua tangan dan keluar
dari mobil. Yang lain, sudah jauh di pantai tempat ombak menerjang pantai, melambai
padaku. Didepan mereka ada laut, dan di atas laut ada matahari. Seluruh adegan tampak
seperti bingkai yang diam.

Angin mengambil dan mengisi bingkai foto ini dengan pasir mengamuk tepat ketika
aku mengangkat tangan untuk melambai kembali. Debu berpasir naik dari tanah dan
berputar-putar. Yang lain berbalik sekaligus, menutupi wajah mereka untuk mengusir angin
yang kasar. Aku melakukan hal yang sama, menutup mata dengan erat, menundukkan
kepala, dan menutupi wajah dengan lengan. Kami berdiri di posisi ini di tengah suara ombak
dan angin bersiul untuk waktu yang lama.

Aku mencoba membuka mata ku, tapi tersengat pasir. "Jangan gosok mataku. Aku
hanya akan memperburuknya." Setelah mendengar Hoseok, perlahan-lahan aku berkedip.
Laut, langit, dan yang lainnya terus muncul dan menghilang melalui air mata yang mengalir
di mataku. Setelah aku berkedip beberapa kali, air mata mengalir, dan rasa pedihnya
mereda. Air mata pasti telah menyiram butiran pasir keluar. Aku mendengar yang lain
tertawa. Mereka menertawakanku yang berdiri di tengah pantai yang kosong dan
meneteskan air mata.

Tidak jelas siapa yang mulai berlari lebih dulu. Ini dimulai sebagai permainan yang
halus. Aku pura-pura mengejar yang lain yang terus mengejekku. Hoseok melesat seolah-
olah dia melarikan diri dariku. Kemudian, sisanya bergabung, berlari menuju dan menjauh
dari satu sama lain dan tertawa riang. Di beberapa titik, kami semua berlari di sepanjang
jalan pesisir. Aku berlari di belakang yang lain. Aku kehabisan nafas, berkeringat, dan sakit
kepala. Tapi aku tidak berhenti karena mereka melanjutkan terus.

Kami semua bertemu lagi, mengeluarkan Jimin dari rumah sakit, dan kembali ke
pantai yang sama. Itu semua tidak direncanakan. Yang aku lakukan hanyalah ikut, tapi
rasanya menggembirakan. Mungkin berlarian dengan hampa adalah satu-satunya cara
bagiku untuk menghadapi sensasi yang menakutkan ini. Aku melakukan hal yang sama
ketika kami semua meninggalkan sekolah dan datang ke pantai ini untuk pertama kalinya.

"Itu benar. Kami juga seperti ini dulu." Namjoon berkata demikian saat kami jatuh di
pantai untuk mengatur napas. "Kurasa saat itu sama panasnya. Kapan itu?" Itu adalah
Jimin. "Itu 12 Juni." Ingatanku yang baik mengejutkan semua orang. Aku ingat persis karena
foto yang kami ambil di pantai ini ditandai dengan tanggal. Aku terkadang mengambilnya
dan menatapnya. Aku tidak memberi tahu siapa pun, tapi aku merasa bahwa aku akhirnya
menemukan keluarga yang nyata. Saudara yang sebenarnya.

"Teman-teman." Aku mulai mengungkapkan rasa terima kasih ku tapi aku mendapati
diriku kehilangan kata-kata. "Apa ?" yang lain bergegas padaku satu per satu dan kemudian
melemparkan diri ke arah ku. Kami berguling-guling di pantai bersatu, bermain seperti anak-
anak.

"Kenapa kamu disini sendirian?" Aku duduk di sebelah Taehyung yang duduk
disalah satu sudut pantai berpasir yang jauh dari yang lain. Dia menatapku sebentar dan
mengajukan pertanyaan. "Apa disana terakhir kali kita datang ke sini?" Dia berbicara
tentang observatorium (tempat taehyung lompat ke laut)." Jika iya, kita akan memanjatnya.
Tapi aku tidak ingat itu." Dia mengangguk setuju. Dia terus menatap observatorium.
"Ayo pergi." Seseorang menepuk pundakku. Itu Seokjin. Wajahnya tidak bisa dikenali
saat dia berdiri melawan cahaya. Mungkin karena aku menatapnya dari posisi duduk, tapi
dia terlihat sangat tinggi. Aku berdiri, membersihkan debu dari pasir. Kakiku tenggelam ke
dalam pasir yang panas. Aku menyelinap ke bayangan Seokjin dan berjalan, menendang
pasir dengan ujung sepatuku. Pasir yang kutendang menabrak celana Seokjin, tapi dia tidak
menoleh ke belakang.

TAEHYUNG

22 Mei 2022

Aku telah melihat semua ini sebelumnya. Dalam mimpi yang terasa sangat jelas dan
aku melihat laut ini, kami bertujuh, dan observatorium yang menjulang tinggi. Aku berdiri di
observatorium diakhir mimpi. Semua orang menatapku. Mereka sangat jauh, jadi wajah
mereka sulit dilihat. Tetap saja, aku tersenyum pada mereka. Seolah aku mengucapkan
selamat tinggal pada mereka. Dan kemudian aku melompat.

“Seokjin?” mendengar Jungkook, aku menoleh untuk melihat Seokjin memanjat


observatorium. Dibagian paling atas, dia membalikkan tubuhnya ke arah kami. Dia
sepertinya mencoba memotret kami. Yang lain melambai padanya, tapi aku tidak bisa. Itu
seperti adegan terakhir dalam mimpiku. Satu-satunya perbedaan adalah Seokjin yang ada
disana, bukan aku.

Pada saat itu, rasanya seperti tanah tenggelam di bawah kakiku dan tubuhku
melayang di udara. Aku menutup mataku rapat-rapat, takut tubuhku akan jatuh ke tanah.
Aku tidak mengepalkan tangan, tapi luka di telapak tanganku mulai terasa sakit. Lukanya
tampak dalam tapi sembuh lebih cepat dari yang aku harapkan. Itu meninggalkan bekas
luka merah. Terkadang itu sangat menyakitkan. Seperti aku sedang dihukum. Dihukum
karena semua kesalahan ku. Rasanya sakit sekarang.

NAMJOON

22 Mei 2022

"Dia hanya setahun lebih muda dariku. Tidak, aku tidak bilang begitu. Aku lebih tua.
Aku tahu. Tapi dia bukan anak kecil lagi. Sudah waktunya dia mulai mengurus dirinya
sendiri. Aku mengerti. Aku mengerti. Tidak, aku tidak marah, maaf."

Aku melihat ke tanah setelah menutup telepon. Kami sedang dalam perjalanan ke
penginapan kami setelah menghabiskan hari di pantai. Angin sepoi-sepoi bertiup ke arah
kami. Rasanya seperti hati ku tersumbat dan akan meledak kapan saja. Semut berbaris
dalam lapisan tanah yang tertutup pasir dan tanah.

Bukannya aku tidak mencintai orang tua ku. Bukannya aku tidak khawatir tentang
kakakku. Aku akan menutup telinga kepada mereka jika aku bisa, tapi aku tahu aku tidak
akan pernah bisa. Aku tahu itu dengan sangat baik. Lalu, apa gunanya berjuang, kehilangan
kesabaran, merasa tertekan, dan mencoba membebaskan diri?
Nan jauh disana, seseorang berdiri seperti aku dengan punggung nya
menghadapku. Itu Jungkook. Jungkook pernah mengatakan kepada ku, "Aku ingin menjadi
seperti kamu ketika aku tumbuh dewasa." Aku tidak bisa mengaku bahwa aku jauh dari kata
orang dewasa, apalagi yang teladan. Rasanya terlalu brutal untuk menghancurkan
harapannya. Aku tidak bisa memberi tahu seseorang yang begitu muda, seseorang yang
tidak diberi kepercayaan, dukungan, dan kasih sayang yang layak ia terima, bahwa kamu
tidak hanya menjadi dewasa dengan bertambahnya usia dan semakin tinggi. Aku berharap
masa depan Jungkook akan lebih baik padanya daripada aku tapi aku tidak bisa berjanji
bahwa aku akan membantu dia di sepanjang jalan.

SEOKJIN

22 Mei 2022

Aku melihat yang lain. Mereka membuat lelucon konyol sambil tertawa, mengobrol,
dan tertawa terbahak-bahak lagi ketika seseorang bangun dan mulai menari. Aku tidak
percaya apa yang sedang terjadi di depan mataku. Kami tiba disini bersama setelah begitu
banyak cobaan dan kesalahan. Aku telah memimpikan hal ini mati-matian sehingga
tampaknya mustahil hal ini terjadi.

Tapi aku merasa gelisah karena aku masih memiliki sesuatu yang harus diakui. Aku
selalu ragu dan tidak bisa mengumpulkan keberanian. Tapi aku tidak bisa lari lagi dari itu
semua. Kecuali aku memberi tahu mereka, aku tidak akan bisa melihat wajah teman-
temanku.

Ketika makan malam hampir berakhir, aku memberi tahu mereka bahwa aku ingin
mengatakan sesuatu. Tapi mereka tidak terlalu memperhatikan. Hanya Taehyung yang
menatapku. Beberapa hari yang lalu, dia datang kepada ku dan bertanya tentang mimpi
yang dia alami. "Kamu tahu artinya kan?" Dia mendesakku untuk menjawab, tapi aku
bertindak seolah-olah aku tidak tahu. Aku hanya berkata, "Bagaimana aku bisa tahu? Itu kan
hanya mimpi." Taehyung terlihat marah dan berbalik.

Itu tidak sepenuhnya bohong. Aku juga tidak tahu mengapa Taehyung bermimpi
seperti itu. Tapi aku tahu betapa brutalnya mimpi itu. Itu sebabnya aku tidak bisa
mengatakan yang sebenarnya padanya. Terlebih lagi karena aku tahu apa yang dia
pikirkan. Dia tidak perlu tahu bahwa itu bukan mimpi, dia membunuh ayahnya tapi itu terjadi
dalam kehidupan nyata, dan berulang-ulang kali. Tidak seorang pun harus menjalani hidup
dengan penderitaan seperti itu. Aku tidak akan mengambil keputusanku kembali bahkan jika
itu merusak persahabatan kami.

Aku memalingkan wajahku untuk menghindari tatapan mata Taehyung. Aku menutup
mulutku, menarik napas, dan berbicara lebih jelas kali ini. "Aku harus memberitahu kalian
sesuatu." Namjoon dan Hoseok menatapku, dan yang lain juga terdiam. "Aku seharusnya
mengatakan ini pada kalian sejak lama. Ketika kita di sekolah menengah .."

Taehyung memotong. "Ketika kita di sekolah menengah? Kapan kau mengadukan


kami ke kepala sekolah? Atau ketika Yoongi dikeluarkan dari sekolah karena itu? Yang
mana yang mau kau bicarakan?" Kritikan tertulis dengan jelas di wajah Taehyung.
"Taehyung!" Namjoon memanggilnya dalam upaya untuk menahannya. Taehyung
mengibaskan tangan Namjoon dengan matanya tertuju padaku. "Itu semua ulahmu." Tidak
ada yang mengatakan apapun. Semua orang lengah dan tidak bisa memikirkan apa pun
untuk dikatakan. Aku melihat Yoongi. Taehyung benar. Yoongi dikeluarkan dari sekolah
karena aku. Aku bergumam dengan kepala tertunduk rendah. "Maafkan aku." Taehyung
mulai berbicara lagi.

TAEHYUNG

22 Mei 2022

"Seokjin, hanya itu? Apa kau tidak menyembunyikan sesuatu lagi dari kami?" Aku
memelototi Seokjin. Dia balas menatapku. Aku akan menekannya lebih keras ketika
seseorang meraih pundakku untuk menghentikanku. Aku tahu siapa orang itu tanpa melihat
ke belakang. Itu adalah Namjoon. "Jangan memotong. Kenapa kau peduli? Kau bahkan
bukan saudara kandungku yang sebenarnya." Aku bisa merasakan mata NamJoon
dibelakang kepalaku. Aku melepaskan tangannya tanpa melihatnya. Aku juga tahu itu. Aku
mengeluarkan amarah ku pada Namjoon.

Ketika aku menuju penginapan kami dari pantai, melewati hutan pinus, aku
mendengar Namjoon berbicara di telepon. Setiap kata yang dia katakan benar. Aku hanya
setahun lebih muda dan aku bukan saudara kandungnya. Aku harus menjaga diriku sendiri.
Tapi tetap saja sakit.

"Taehyung, maafkan aku. Jadi kita hentikan saja." Itu Seokjin yang pertama kali
membuka mulutnya. Seokjin adalah orang yang mengatakan pada ku bahwa dia menyesal.
Namjoon tidak mengatakan apa-apa. Dia terus menatapku dengan mata marah. "Hentikan
apa? Ceritakan saja semuanya. Kau sudah menyembunyikan sesuatu dari kami." Tatapan
semua orang sekarang tertuju pada Seokjin. Seokjin memberi pandangan yang sepertinya
menyuruh kita untuk berhenti.

"Ayo keluar dan bicara." Namjoon meraih lenganku lagi. Aku mencoba melepaskan
tangannya, tapi dia mengencangkan cengkeramannya untuk membawaku keluar. Aku
menguatkan diri terhadapnya. "Biarkan aku pergi. Apa hakmu? Apa yang kau tahu? Kau itu
tidak tahu apa-apa. Kau pikir kau sesuatu yang istimewa hah?"

Lalu, Namjoon tiba-tiba melepaskan lenganku, dan aku tersandung sebagai reaksi.
Atau, itu bukan reaksi yang membuatku tersandung. Saat dia melepaskan lenganku,
rasanya seolah rantai yang menghubungkan kami telah patah ditengah. Segala sesuatu
yang menopang ku dan berfungsi sebagai pijakan ku sepertinya sudah retak dan terbelah.

Mungkin aku berharap dia tidak akan melepaskan lenganku sampai akhir. Mungkin
aku berharap dia berteriak padaku untuk tutup mulut dan menyeretku keluar dengan marah.
Mungkin aku berharap dia akan memberiku omelan yang baik seperti kepada saudara
kandungnya atau seseorang yang terlalu berharga untuk menyerah.

Tapi dia melepaskan lenganku. Aku tidak bisa menahan senyum menyeringai. Aku
menyeringai sebelum menyadarinya. Aku meludah, "Apa jadi masalah tentang kebersamaan
kita? Apa gunanya hubungan kita satu sama lain? Kalau pada akhirnya kita semua akan
sendirian." Pada saat itu, Seokjin memukul ku.

JIMIN

22 Mei 2022

"Kita juga harus pergi." Itu yang dikatakan Hoseok. Aku menoleh, melihat melewati
pintu penginapan kami. Meja, kursi, pot, dan piring berserakan disemua tempat. "Jimin,
ayolah." Aku menutup pintu dengan tergesa-gesa. Mereka jauh di depanku. Yoongi dan
Hoseok memimpin, dengan Jungkook mengikuti dibelakang mereka. Kami bertujuh saat
kami pertama kali datang, dan sekarang hanya empat yang tersisa.

Aku mendongak ketika kami melewati observatorium. Tidak ada cahaya di pantai
setelah matahari terbenam. Observatorium dan laut menarik didalam kegelapan, dan tidak
ada yang terlihat. Yang ada hanyalah deru ombak yang menerpa. Aku menyadari bahwa ini
adalah tempatnya. Tempat yang kami kunjungi saat pertama kali datang ke laut bersama.
Batu, yang katanya membuat mimpi menjadi kenyataan. Kami berteriak di atas nafas kami di
tempat yang sama dimana batu itu telah hancur berkeping-keping untuk membuat resort
baru. "Jungkook, bukankah di suatu tempat di sekitar sini?" Aku menoleh ke belakang, tapi
Jungkook sudah berlari jauh di depan yang lain. Hoseok memanggilnya, tapi sepertinya dia
tidak mendengar. Itu terjadi padaku saat itu. Jungkook juga bergerak maju di jalurnya
sendiri. Jungkook selalu berada di belakang yang lain. Dia mengikuti dan berhenti ketika
yang lain juga berhenti. Aku juga sama. Aku melihat ke segala arah di persimpangan. Aku
harus berbelok ke kiri untuk sampai ke stasiun kereta atau ke kanan untuk pulang naik bus.

Aku harus pulang ke rumah suatu hari nanti. Aku tidak bisa menghindari selamanya.
Aku harus mengakui kebohonganku dan mengatakan yang sebenarnya kepada orang tua
ku. Bahkan jika mereka tidak mau mendengarnya. Aku harus mulai memasang tombol
pertama di beberapa titik. Aku melihat Yoongi melangkah ke jalan sebelah kiri. "Jimin,
cepatlah." Hoseok menoleh ke arahku. "Hoseok, aku akan pulang sekarang." Dengan
tatapan bingung, dia bertanya, "Pulang?" Aku mengangguk. Lalu, aku belok kanan.

JUNGKOOK

22 Mei 2022

Aku merasa tubuhku melayang di udara, tapi menit berikutnya, aku berbaring ditanah
yang keras. Aku tidak bisa merasakan apa pun selama beberapa waktu. Seluruh tubuhku
terasa begitu berat sehingga aku tidak bisa mengangkat kelopak mataku. Aku tidak bisa
menelan atau bernapas. Saat aku terjatuh pada kondisi setengah sadar, aku menjadi
semakin hangat dan tubuhku tiba-tiba gemetar. Rasa sakit dan haus yang tidak dapat
ditentukan secara naluriah memaksa mata ku terus terbuka. Sesuatu yang berkilauan
menarik perhatian ku, yang terasa kering seakan diisi dengan pasir. Awalnya, aku pikir itu
cahaya, tapi ternyata bukan. Itu terlihat cerah, besar, dan buram. Itu bergantung di udara
tapi tidak bergerak. Aku terus menatapnya sebentar, dan mulai terbentuk. Itu adalah bulan.
dunia tampak terbalik. Kepalaku dimiringkan ke belakang. Di dunia itu, bulan juga terbalik.
Aku mencoba bernapas saat tebatuk, tapi aku tidak bisa bergerak. Rasa dingin menyapu
tubuhku. Menakutkan. Aku mencoba membuka mulutku tapi tidak dapat mengucapkan
sepatah kata pun. Penglihatanku terus memudar meskipun mataku terbuka. Seseorang
bertanya kepada ku ketika kesadaranku semakin redup.

"Akan lebih menyakitkan untuk hidup daripada mati. Apa kamu masih ingin hidup?"

SETELAH KEMBALI DARI LAUT

SEOKJIN

13 Juni 2022

Setelah kembali dari laut, kami kembali ke kehidupan masing-masing. Seolah kami
membuat aturan, tapi tidak ada yang saling memanggil. Kami samar-samar berasumsi apa
yang lain sedang lakukan berdasarkan grafiti yang kami lihat di jalan-jalan, cahaya terang
distasiun, dan suara piano yang datang dari gedung yang rusak.

Penginapan di pantai kosong saat aku kembali setelah gagal menemukan Taehyung
Ketika dia habis malam itu. Tidak ada apa-apa selain foto dilantai. Dalam foto itu, kami
tersenyum bersama dengan laut latar belakangnya. Itu hanya beberapa jam sebelumnya,
Tapi sepertinya sudah lama sekali. Apa kami telah bekerja begitu keras dan begitu lama
tanpa alasan? Apa kita ditakdirkan berantakan seperti ini?

Aku melewati pom bensin tanpa berhenti. Kami akan bertemu lagi suatu hari nanti.
Kami akan tertawa bersama suatu hari seperti yang kami lakukan di foto. Aku akan
mengumpulkan cukup keberanian untuk menghadapi diri sendiri suatu hari nanti. Tapi hari
ini bukan waktunya. Angin lembap bertiup. Pada saat itu, ponselku berdering seperti
pengingat. Ponsel mengirim gema ke foto yang tergantung di kaca spion. Nama Hoseok
muncul di layar. "Seokjin, Jungkook mengalami kecelakaan malam itu."

JUNGKOOK

13 Juni 2022

Aku mendengar suara-suara samar dan membuka mataku untuk menemukan


Hoseok dan Jimin sedang menatapku. Setiap kali aku berkedip, wajah mereka terus
menghilang dan muncul lagi. "Apa kamu terluka? Apa terasa sakit?" Jimin bertanya. "Aku
baik-baik saja. Aku tidak terluka." Itu bohong. Itu kecelakaan serius dan aku hampir mati.
Para dokter terus memperingatkan yang lain selama berhari-hari bahwa mereka harus siap
menghadapi skenario terburuk. Aku sadar kembali setelah sepuluh hari dan mulai pulih
dengan kecepatan yang mencengangkan.

"Kamu seharusnya memanggil kami. Siapa kami bagimu?" Hoseok terdengar marah.
"Hoseok, bukan itu aku ..." Aku mulai berbicara tapi tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
Segera setelah aku tiba di rumah sakit, aku memikirkan mereka. Jika aku bisa berpikir
jernih, aku akan memanggil mereka terlebih dahulu. Tapi pikiranku kosong, dan aku
kesakitan. Obat penenang yang mereka berikan kepada ku begitu kuat sehingga kenyataan,
mimpi, ingatan, dan ilusi semua tampak terikat di kepala dan tidak mungkin untuk diurai.

Rasa sakit yang tak tertahankan akhirnya mereda. Tapi gambar-gambar aneh yang
melintas di depan mataku sementara aku menderita demam dan insomnia terus datang
kembali. Aku tidak yakin apakah adegan itu benar-benar terjadi atau hanya mimpi buruk
yang dipicu oleh rasa sakit yang hebat. Aku tidak bisa mempercayai ingatanku. Tapi aku
masih belum bisa menghubungi mereka. Aku tidak tahu harus berkata apa atau bahkan
bagaimana mulai untuk berbicara. Aku hanya tersenyum pada mereka. Atau aku mencoba
tersenyum pada mereka. Wajahku pasti terlihat menyedihkan dan aku hampir menangis.

HOSOEK

13 Juni 2022

Aku berjalan keluar dari kamar karena air mataku mengalir. Jungkook mengatakan
dia baik-baik saja itu mengharukan. Aku baru saja mendengar tentang kecelakaan Jungkook
sore itu. Tempat burger dipenuhi dengan pejalan kaki yang berlindung dari hujan. Beberapa
dari mereka adalah teman sekelas Jungkook. "Kenapa Jungkook tidak muncul lagi?" Aku
tidak menanyakan pertanyaan ini karena alasan tertentu. Aku kehilangan kontak dengan
yang lain setelah kembali dari laut, termasuk Jungkook. Kemudian, jawaban yang tidak
terduga datang kepadaku. "Oh, dia mengalami kecelakaan, Jadi dia absen." "Kecelakaan?
Apa dia terluka parah?" "Kita tidak tahu. Dia belum masuk sekolah sudah.. dua puluh hari?"

Aku segera menelponnya, tapi Jungkook tidak menjawab. Aku akan menelepon lagi
tapi memutuskan untuk membuka obrolan grup kami. Tidak ada pesan baru selama dua
puluh hari terakhir. Pesan terakhir adalah dari saat kami berada di laut. Lalu apakah itu..?
Malam itu ketika kami semua berpisah dan kembali ke rumah. Apa malam itu? Aku
meninggalkan pesan bahwa Jungkook terluka parah. Dan semua orang sudah siap, itu
konyol untuk tidak tahu apa yang terjadi padanya selama lebih dari dua puluh hari. Nomor
disebelah pesanku juga tidak bergerak, artinya tidak ada yang membuka obrolan untuk
membaca pesan ku. Apa hari-hari kita waktu itu tidak ada artinya? Apakah "Kita" hanya
teman disaat cuaca bagus saja? Aku marah pada diriku sendiri. Gila karena tidak
menghubunginya lebih awal. Gila karena membiarkannya pulang sendirian. Jungkook bukan
anak kecil. Tapi dia yang paling muda. Dia masih pelajar.

Aku berjalan mondar-mandir di koridor beberapa kali dan berhenti didepan


kamarnya. Melalui pintu yang terbuka, aku mengenali wajah Jungkook. Dia jelas tidak baik-
baik saja. Dia tampak pucat. Tiba-tiba, bayangan jungkook yang masuk melalui pintu tempat
persembunyian kami yang kosong muncul di benakku. Dia baru berusia tiga tahun disekolah
menengah. Wajah naifnya menunjukkan rasa kehilangan, seolah-olah dia menyadari
sesuatu telah berakhir. Apakah keberadaan kita mengingatkannya pada perasaan
kehilangan itu? Empat orang lainnya belum memeriksa pesanku di obrolan grup. Aku
memposting pesan lain. "Ini sangat mengecewakan."

"Kamu? Menari?" Ketika aku masuk ke kamar, Jimin dan Jungkook sedang berbicara
tentang tim dance. Jimin mengatakan baru sekitar dua minggu sejak dia bergabung dengan
tim dan memalingkan kepalanya dengan malu-malu. "Itu benar. Kamu penari yang baik. Kita
semua harus pergi dan melihatmu menari."

Taehyung menelpon pada saat itu. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu tidak
memeriksa pesanku sebelumnya?" Mencoba terdengar lebih marah daripada yang
sebenarnya. Taehyung tergagap dengan suara serak seolah-olah dia sedang menangis.

TAEHYUNG

13 Juni 2022

"Bagaimana JungKook?"

Hanya itu yang bisa aku katakan. Aku memotong jam kerjaku di toko serba ada dan
melangkah ke jalan untuk menemukan genangan air disana-sini. Hujan beberapa jam yang
lalu. Aku memperhatikan hujan ketika aku menoleh untuk melihat keluar pintu kaca ketika
salah satu pelanggan membeli payung. Wajahku terpantul di genangan air. mata ku penuh
dengan air mata dan tenggorokanku serak.

Hoseok mengatakan dia bersama Jungkook dan Jungkook terlihat lebih baik dari
yang dia kira. Aku lega. "Aku baik-baik saja." Hoseok pasti menyerahkan teleponnya kepada
Jungkook. Dia tampak berpura-pura bahwa dia baik-baik saja. "Bagaimana dengan mu?"
"Khawatirkan tentang dirimu sendiri." Jawaban ku singkat tanpa arti. Jungkook tertawa malu-
malu. "Aku akan ke sana sekarang."

Aku tidak bisa menepati janji ku. Aku tiba di rumah sakit dalam waktu singkat, berlari
menaiki tangga karena aku tidak sabar menunggu lift, dan melaju menyusuri lorong. Aku
baru saja akan melompat ke kamar Jungkook, tapi aku diam membeku disana. Aku bisa
mendengar suara-suara langkah melalui pintu yang terbuka. Itu adalah Namjoon. Seokjin
juga ada disana. Aku melangkah mundur tanpa menyadarinya.

"Aku masih sama." kata Namjoon. Memang itu dia. Dia selalu menjalani hidupnya.
Aku menjatuhkan diri di sebuah bangku di lorong. Orang-orang berseragam pasien lewat,
dan beberapa menangis.Jjika seseorang bertanya, aku pasti menjawab yang sama. Bahwa
aku masih sama. Itu benar. Aku hanya bolak-balik antara rumah ku dan toko serba ada.
Ayah masih minum dan membuat masalah dari waktu ke waktu. Lampu dalam rumah masih
redup dan saluran pembuangan sering tersumbat.

Ada satu perubahan. Mimpi burukku telah berhenti. Mimpi buruk Yoongi sekarat,
Jungkook jatuh, dan Hoseok gila dalam keputusasaan. Kalau dipikir-pikir, mimpi buruk itu
pasti berhenti setelah malam kami bertengkar di pantai. Itu digantikan oleh mimpi lain. Air
mata mengalir di wajah Seokjin. Kelopak bunga biru terhempas di jalan aspal pada malam
hari, diinjak-injak, dan diwarnai dengan darah seseorang. Aku membungkuk. Lift keluar dari
lantai bawah tanah kedua. Aku melihat kembali ke ruang pasien. Aku masih belum siap
untuk bertemu Seokjin dan Namjoon.

NAMJOON

13 Juni 2022

Aku tiba di kamar rumah sakit Jungkook pada tengah malam. Jungkook tampak baik-
baik saja. Dia banyak tertawa dan banyak bicara. Aku melakukannya juga. Kami berbicara
tentang pom bensin, cuaca, dan apa pun sehingga kami tidak perlu berbicara tentang apa
yang benar-benar penting. Jungkook seharusnya bertanya. Tapi dia tidak perlu
melakukannya. Dia tidak bertanya mengapa yang lain bertengkar malam itu, mengapa kita
pergi, dan mengapa kita tidak kembali. Aku tidak berbeda. Aku tidak memberitahunya
mengapa aku meninggalkan penginapan kami tanpa mengatakan apa-apa dan tidak
bertanya pada Seokjin apa masalah yang ia hadapi dengan Taehyung. Kami hanya
menelan pertanyaan yang seharusnya kami katakan. Dalam perjalanan kembali, Seokjin
bertanya apa aku baik-baik saja. "Apa kamu tahu kamu belum mengatakan sepatah kata
pun?" Aku mengatakan padanya bahwa aku tidak tahu dan aku minta maaf. Aku
mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja. Kami berpisah di dekat pom bensin.

Aku melihat-lihat jalan malam sebelum aku pergi ke pom bensin. Sangat sepi. tanda
“Jangan Jalan" berwarna merah berubah menjadi tanda "Jalan" berwarna hijau
dipersimpangan jalan. Aku menyeberangi jalan dan berjalan di sepanjang jalan kereta api.
Kontainer keempat dari ujung. Kami memiliki api unggun disini sebelum kami pergi ke laut.
Ini adalah pertama kalinya aku datang kesini lagi sejak hari itu.

Debu naik ketika aku membuka pintu kontainer. Aku berdiri disana beberapa saat
sampai mataku terbiasa dengan kegelapan. Dari apa yang aku dengar dari Jungkook, yang
lain tidak berhubungan satu sama lain. Tidak ada yang memberitahuku tentang Taehyung,
tapi tidak banyak yang berubah. Kontainer ini adalah satu-satunya tempat dimana Taehyung
bisa berlindung dari Ayahnya. Aku tahu itu tapi tidak mampir. Itu cukup melelahkan untuk
bolak-balik antara perpustakaan dan pom bensin. Itu adalah kebenaran dan alasan
sekaligus. Jauh di lubuk hati, aku mungkin menghindari Taehyung. Aku tidak mampu untuk
menghadapi Taehyung, itu terlalu melelahkan secara emosional.

Saat mata ku menyesuaikan diri dengan kegelapan, aku bisa melihat dari berbagai
sudut ruangan kontainer. Mereka dipenuhi dengan kenangan tentang kami berbagi
kehidupan bersama. Aku memberi tahu Seokjin bahwa aku baik-baik saja, tapi sebenarnya
tidak. Jungkook yang mengalami kecelakaan tidak bisa apa-apa. Tidak apa-apa untuk hanya
menenggelamkan apa yang terjadi malam itu sekaligus. Jika Taehyung dan Seokjin tidak
bertengkar malam itu, jika aku tetap bersama yang lain, jika ada yang bersama Jungkook
ketika pulang, maka tidak akan ada kecelakaan.

Tapi aku bilang aku baik-baik saja. Dengan santai aku mengobrol dengannya seolah-
olah tidak ada yang salah dan menepuk pundaknya, memberitahunya untuk pulih dengan
cepat. Aku mengatakannya seolah itu adalah kata doa atau nasihat atau hiburan. Aku belum
berubah sedikit pun. Aku selalu ragu sebelum mengajukan pertanyaan dan membuat pilihan
di persimpangan jalan.

YOONGI

15 Juni 2022

Aku terbangun dari mimpi yang aneh. Aku pikir aku mendengar seseorang mengetuk
pintu, tapi aku tidak bisa mendengar apa pun setelah bangun. Aku pasti pernah
mendengarnya di mimpiku. "Jam berapa sekarang?" Aku mengambil ponselku, tapi
baterainya habis. Aku menghubungkan ponselku ke pengisi daya dan bangkit dari tempat
tidur. Kepalaku sakit dan pundakku terasa kaku. Bagian yang aku kerjakan sampai pagi
diputar ulang lagi dan lagi. Aku terjaga sepanjang malam selama beberapa hari, tapi aku
masih tidak bisa menemukan kunci untuk mengurai catatan yang kusut.

Mungkin itu karena potongan lagu yang diputar berulang-ulang, tapi dalam mimpiku,
aku berkeliaran di kabut mengikuti suara siulan yang samar. Setelah sekian lama, aku tiba
ditaman komplek apartemen. Disana aku menemukan kunci piano di antara semak-semak
tebal. Kunci piano yang setengah terbakar ditutupi dengan tanah dan daun busuk. Aku
berjalan ke kebun dan meraih kunci. Sama seperti aku hampir menangkapnya, komplek
apartemen, kabut, dan suara siulan menghilang sekaligus. Menit berikutnya, aku berdiri
ditengah ruang kerja ini. Di kejauhan, aku duduk di depan piano bersama Jungkook.
Jungkook mengatakan sesuatu, dan aku tertawa. Kapan? Aku tidak dapat mengingat
tanggal pastinya, tapi adegan itu tercetak jelas di ingatan. Ada banyak hari aku bisa melihat
pemandangan dengan jelas. Tiba-tiba, diluar menjadi gelap, dan aku berkeliaran dijalan
malam. Aku sedang dalam perjalanan kembali dari pantai. Aku memasukkan tanganku ke
saku ketika aku berbicara tentang pekerjaan ku pada Hoseok, dan aku merasakan kunci
piano dengan ujung jariku. Mimpi berlanjut dengan terputus-putus. Banyak kenangan
tumpang tindih satu sama lain dan serpihan-serpihan kenangan tertumpuk berantakan.

Aku mendengar suara gedoran di pintu masuk tepat saat aku mematikan musik.
Siapa itu? Aku membuka pintu tapi tidak ada orang disana. Aku minum segelas air dan
berbaring di sofa. Beberapa minggu terakhir seperti komidi putar yang sibuk. Semuanya
tidak bisa berjalan lancar ketika aku menulis lagu. Awalnya sulit berkonsentrasi. Dan aku
juga tidak terbiasa bekerja dengan pasangan.

Wanita itu lugas (tegas) dan blak-blakan. dia muncul dan keluar dari ruang kerjaku
kapan pun dia mau. dia tidak pernah ragu-ragu atau bertele-tele ketika dia mengevaluasi
pekerjaanku. dia mengambil pemantik ku ketika aku mencoba nyalakan rokok dan
melemparkan ku permen lolipop sebagai gantinya. dia mengomeli ku untuk tidur dan makan.
Aku tidak bisa berdebat dengannya karena penampilan dan potongan lagu jadi sangat
mengesankan. karena evaluasinya sangat akurat.

Itu memprovokasi (mendukung) ku. Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu di
ruang kerja ku. Aku kehilangan waktu dan menjadi kecanduan pada pekerjaanku. Aku akan
mengatakan sepanjang malam begitulah aku mulai bekerja. Aku tidak menjawab panggilan
atau memeriksa pesanku. Semua saraf ku gelisah, dan aku tidak ingin berbicara dengan
siapa pun. Aku mematikan pengingat setiap aplikasi obrolan. Akankah aku menjadi terampil
dan berbakat seperti wanita itu jika aku tidak menyia-nyiakan waktu ku dan melanjutkan
berlatih musik? Aku bertanya-tanya. Aku tidak ingin jatuh di belakangnya.

"Ini sangat bagus." Itulah yang dikatakan wanita itu setelah mendengarkan bagian
yang belum selesai kemarin malam. Itu adalah versi yang ditingkatkan dari apa yang aku
tulis sebelumnya. "Ini sangat bagus." Rasanya seolah aku pernah mendengar kata-kata
yang sama persis sebelumnya. Aku mencoba untuk mengingat kembali memori ketika dia
mengeluarkan gitarnya. Kemudian, dia mulai menyelaraskan dan memainkan variasi melodi
nya. Aku duduk di depan piano dan bermain bersama nya.

"Jangan lupa. Kita akan bertemu di rumah sakit besok pagi." Wanita itu mengemasi
gitarnya dan berdiri sekitar dua jam kemudian. Aku menatapnya dengan wajah kosong, dan
dia memutar matanya. Lalu, aku ingat. Dia memberikan pertunjukan solo gratis di rumah
sakit dan sekolah. Dia mengatakan padaku minggu lalu untuk mengikuti pertunjukan
berikutnya. Aku belum menjawab, tapi dia menyelesaikan rencananya sendiri. Dia bilang dia
akan menelepon pagi-pagi sekali dan aku harus memastikan untuk mengangkat telepon
nya.

Setelah dia pergi, aku duduk di depan piano lagi. Itu tidak buruk. Tapi rasanya ada
sesuatu yang hilang. Aku ingat dengan jelas bahwa aku hampir memahami bagaimana
terakhir kali aku mengerjakan bagian ini. Aku buat perubahan, tapi tidak ada yang cocok.
Aku berdiri dari bangku piano, merasakan tekanan di dadaku. Mungkin aku terlalu
menekankan pada sesuatu karena itu tidak datang kepada ku. Mungkin akan lebih baik
untuk menyempurnakan potongan sedikit lebih banyak dan berhenti menunggu sesuatu itu.
Aku melihat keluar jendela. Matahari mulai terbit.

Ponsel ku bergetar saat dihidupkan kembali. Dia belum menelepon. Aku berbaring di
sofa. Ponsel ku berdering lagi setelah beberapa menit. Nama Jimin muncul di layar. Yang
secara langsung mengingatkanku pada sebuah adegan dari mimpiku tadi malam, sebuah
rumah dengan nyala api. Seseorang bertanya kepada ku. "Apa ada orang di dalam?" Aku
menjawab, "Tidak, tidak ada seorang pun di dalam." Adegan berpindah, dan aku duduk di
kamar Ibu yang gelap. Ibu berkata, "Jika aku tidak memilikimu ... Jika kamu tidak
dilahirkan..."

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa pergi dari ruang kerja ke rumah sakit. Aku berlari
menaiki tangga seperti orang gila ketika aku keluar dari itu. Lorong itu anehnya panjang dan
gelap. Orang-orang berseragam pasien lewat. Jantungku terus berdenyut. Wajah mereka
pucat seperti seprai. Dan tanpa ekspresi. Mereka tampak mati. Aku bisa mendengar
napasku yang berat di kepalaku.

Aku bisa melihat Jungkook dengan seragam pasiennya berbaring di tempat tidur
melalui pintu yang retak. Dia pasti tertidur, tapi sepertinya dia sudah mati. "Dia hampir mati.
Para dokter mengatakan itu keajaiban dia masih bisa hidup. Malam itu, malam itu kami
kembali dari pantai." Suara Jimin masih terngiang di telingaku.

Aku menoleh. Aku tidak bisa melihatnya lagi. Banyak gambar melintas di depan mata
ku seperti panorama. Nyala api yang mengeluarkan bunyi berderak dalam drum di lokasi
konstruksi, kamar Ibu yang selalu gelap, bunyi piano yang berasal dari api, punggung
Jungkook saat dia dengan kikuk memainkan piano di toko musik, Jungkook berbaring tak
sadarkan diri di jalan yang kosong, rasa sakit dan ketakutan yang pasti dia alami saat dia
kehilangan kesadaran ..

Dia berkata, "Itu semua karena kamu." Dia berkata, "Jika kamu tidak dilahirkan .."
suara Ibu. Atau itu suaraku? Atau apa itu orang lain? Aku tersiksa sepanjang hidup ku
karena kata-kata itu. Aku ingin percaya bahwa itu tidak benar. Tapi Jungkook terbaring
disana. Dia berbaring di rumah sakit tempat pasien berkeliaran seperti orang mati. Jika aku
mengabaikannya dan meninggalkan toko musik, jika aku mati dalam kobaran api, apa
semua ini tidak akan terjadi?

Pada saat itu, melodi gitar wanita itu menembus pikiranku. Suara gitar tumpang
tindih dengan suara nyala api yang berkobar, suara piano, dan suara-suara lainnya yang tak
terhitung jumlahnya. Aku menutupi kepala dan telinga ku dengan kedua tangan, tapi suara
gitar hanya semakin keras. Aku berbalik dan mulai melarikan diri menyusuri lorong. Aku
bertemu orang yang lewat, tapi aku tidak punya waktu untuk berbalik dan meminta maaf.
mereka meneriakiku. Aku tidak melihat ke belakang. Aku harus lari dari suara itu dan
halusinasi. Kepalaku sakit. Aku telah kehilangan semua kepercayaan diriku. Aku berlari
menyusuri lorong, tersendat-sendat dan terhuyung-huyung, dan keluar dari rumah sakit.

JUNGKOOK

15 Juni 2022

Suara dari luar kamar membangunkan ku dari tidur. Aku mengalami mimpi aneh tapi
tidak bisa mengingat detailnya. Malam kecelakaan lalu lintas itu diputar kembali di ingatanku
seperti layar CCTV hitam dan putih. Aku bisa merasakan detak jantungku melambat dan
kemudian bertambah dengan cepat. Tiba-tiba, rasa sakit melonjak, dan seseorang berbisik
lemah. Menit berikutnya, aku bangun sambil merenggangkan tubuhku.

Seluruh tubuh ku basah oleh keringat. Sinar matahari menembus jendela dan
langsung ke wajahku. Aku melangkah ke lorong dan disambut oleh pemandangan yang
biasa. Ini adalah saat terakhir aku menggunakan penyanggah kaki. Aku masih harus
terbiasa dengan mereka tapi mereka jauh lebih mudah daripada kursi roda. Aku pergi keluar
melalui pintu masuk. Hari ini berangin. Keringatku dingin dengan cepat, dan rasanya dingin
di belakang leherku. Itu tidak sehangat yang aku pikir di dalam kamar pasien ku.

Ketika aku duduk di sebuah bangku dan membuka buku sketsa ku, dokter yang
bertugas mendatangiku. Dia mengatakan itu adalah keajaiban bahwa aku telah pulih, dia
tidak berpikir itu mungkin bisa selamat. Dia menepuk pundakku, mengatakan bahwa aku
adalah bukti keajaiban dari hidup.

"Kamu harus hidup dengan baik disisa hidupmu." Aku menoleh dan melihat seorang
gadis berdiri disana gadis yang aku temui kemarin di lorong. Gadis itu berkata aku sangat
menakjubkan dapat menemukan keajaiban tepat di sebelahnya dan bertanya bagaimana
perasaan ku. Aku menjawab bahwa aku benar-benar sehat.

Aku menurunkan mataku lagi ke buku sketsa. sebelum aku menyadarinya, aku
menggambar apa yang aku lihat didalam mimpi ku. Ingatanku kabur seperti layar CCTV.
Sulit berkonsentrasi pada gambar atau kenangan ku karena gadis itu terus bertanya
kepadaku. Setelah beberapa saat, Aku melihat ke atas. Lagu yang tidak asing dimainkan.
Seseorang sedang tampil dari kejauhan. Aku tahu lagu ini. Yoongi terkadang memainkan ini
di ruang kerjanya. Aku pergi ke arahnya dengan tongkat diketiakku. Y.K bertanda lebih
ringan tergantung di gitar.

JIMIN

03 Juli 2022

Hoseok berada dalam suasana hati yang buruk sejak dia mengunjungi Jungkook.
Jika ada yang benar-benar bisa mengikat kita bertujuh sebagai "Kita", Hoseok bisa. Dia
memeluk dan melindungi "Kami" seperti tempat berlindung. Tapi dia tidak selalu secerah
dan ceria di dalam ketika dia mencoba untuk tampil di depan kami. Itu lebih dekat ke rasa
tanggung jawab. Dia secara naluriah merasakan luka dan rasa sakit dari orang-orang di
sekitarnya dan tidak bisa menahannya dengan baik. Itulah sebabnya dia berpura-pura lebih
hidup daripada yang sebenarnya.

Bahkan hari ini, Hoseok hanya duduk di salah satu sudut ruang latihan untuk waktu
yang lama dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku bergabung dengan ‘Just
Dance’ dan mulai belajar cara menari yang tepat setelah aku kembali dari laut. Hoseok
memberiku kesempatan. Aku merasa canggung bertemu orang baru karena terlalu banyak
menghabiskan waktu di rumah sakit. Dia membawa teman patner dance baru juga. Wanita
itu adalah teman yang dia temui di panti asuhan.

Dia adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya tertawa ketika dia dalam
suasana hati seperti ini. Ketika dia menggumamkan sesuatu sambil melihat ponselnya
bersama, dia tertawa kecil. "Kamu tertawa. Kamu tertawa.." Dia mengolok-oloknya. Hoseok
memalingkan wajahnya, menyuruhnya untuk berhenti. Dia tertawa lagi.

Ruang latihan menjadi sunyi dalam sekejap setelah aku mematikan musik. Aku
hanya berbaring di lantai. Aku suka menari saat aku masih kecil. Aku banyak menari dan
sering dipuji karenanya. Tapi ruangan pasien bukanlah tempat yang bagus untuk menari.
Ketika aku bersekolah di sela-sela perawatan di rumah sakit, aku hanya menundukkan
kepalaku di dada untuk menghindari mata teman-teman sekelasku. Setelah beberapa saat,
tubuhku terasa sangat kaku. Aku tidak bisa melakukan gerakan yang Hoseok lakukan
dengan mudah. Tidak ada yang bisa dilakukan selain terus berlatih, bahkan setelah semua
orang pergi.

Aku memutar ulang video gerakan dance yang aku pelajari sebelumnya di ponsel ku.
Gerakan Hoseok lancar tapi akurat dalam video. Aku tahu bahwa mereka adalah produk dari
praktik selama bertahun-tahun dan bahwa akan membutuhkan waktu lama bagi seorang
pemula sepertiku untuk mencapai level itu. Itu seperti angan-angan. Aku hanya bisa terus
mendesah keras.

Aku pergi ke "Rumah orang tua" ku pada hari aku meninggalkan pantai sendirian.
Ketika aku melihat ke jendela-jendela yang terang benderang, aku hanya berpikir, "Apa
tempat ini pernah menjadi rumah kami?" Aku menekan bel di depan gerbang. Butuh
beberapa saat untuk membuka. Aku naik lift dan turun di lantai 17. Meskipun pintunya
terbuka, tidak ada yang keluar untuk menyambut ku.

Orang tua ku sedang duduk di sofa ruang tamu, menonton film berwarna hitam putih
di TV. "Aku tidak ingin kembali ke rumah sakit." Aku berseru setelah beberapa keraguan.
"Jangan khawatir. Aku tidak akan melakukan apa-apa. Tapi aku tidak akan kembali kesana."
"Kemana saja kamu?" Ibu bertanya. "Dengan teman-temanku." "Teman-teman? Cuci
mukamu dan tidurlah. Kami akan meluangkan waktu untuk memikirkan apa yang harus kami
lakukan padamu." Ayah memotong.

Aku membungkuk dan pergi ke kamarku di koridor. Segera setelah pintu menutup
dibelakangku, aku pingsan. "Kami akan meluangkan waktu untuk memikirkan apa yang
harus kami lakukan padamu." Suara Ayah terngiang di kepalaku. Aku mencoba menguatkan
diri, tapi itu tidak mudah. Aku nyaris tidak tidur malam itu. Sebagai gantinya, aku membuat
dua resolusi. Aku akan menemukan apa yang ingin aku janjikan pada diriku. Dan aku akan
membuktikan bahwa aku pandai.

Aku mengangkat diri dan berdiri di depan cermin. Aku bisa meniru lekukan dengan
cukup baik, tapi kakiku terus berputar. Aku terus membuat kesalahan. Seharusnya aku
melakukan langkah-langkah dengan pasangan ku yang baru menari pada hari berikutnya,
dan aku ingin membuatnya terkesan. Aku ingin diakui sederajat dengannya, bukan
mendengar "tidak buruk."

JIMIN

04 Juli 2022

Ketika aku kembali ke diri ku sendiri, aku menggosok lengan ku begitu keras
sehingga kulit ku terkelupas. Tanganku gemetar dan aku bisa mendengar suara napas ku
yang berat. Darah tipis mengalir dilenganku. Dari pantulan di cermin, aku bisa melihat
mataku memerah. Dari apa yang baru saja terjadi berpacu di benakku.

Aku kehilangan konsentrasi saat menari dengan pasanganku. Langkah ku terjerat.


Aku menabraknya, jatuh, dan menguliti lenganku. Darah itu mengingatkanku pada
Arboretum Bunga. Aku merasa mati lemas. Aku tidak ingat bagaimana aku bangun, berlari
keluar dari ruang latihan, dan aku berhasil ke kamar kecil. Aku menggosok dan mencuci
goresan itu seperti orang gila, menjadi semakin takut saat aku melihat darah tersedot ke
selokan wastafel. Aku pikir aku bisa mengatasi ini. Aku pikir aku akan baik-baik saja. Tapi
ternyata tidak. Aku harus melarikan diri. Aku harus mencucinya. Aku harus melihat ke arah
lain. Kemudian, aku tiba-tiba menyadari bahwa pasanganku juga terjatuh.

Aku segera bergegas kembali ke ruang latihan tapi tidak ada seorang pun disana.
Mantel dan tas Hoseok berserakan dilantai. Aku berlari keluar. Hujan deras. Aku bisa
melihat Hoseok, dengan rekan menariku di punggungnya, berlari dengan sekuat tenaga
dikejauhan. Dia sepertinya tidak sadar. Lengannya yang lemas bergerak ke segala arah.

Aku mengejarnya dengan payung ditanganku tapi aku berhenti. Aku mencoba
mengingat saat dia jatuh tapi tidak bisa. Saat aku melihat darah, semua yang ada di
sekitarku lenyap. Aku tidak akan bisa membantu bahkan jika aku mengejarnya. Aku telah
menyakitinya dengan mendorongnya ke lantai, tapi aku tidak berhenti untuk melihat apa dia
baik-baik saja karena aku gemetaran seperti jeli karena darahku sendiri.

Aku berbalik. Setiap kali aku melangkah, hujan berhamburan ke sepatuku. Lampu-
lampu depan mobil berayun di sampingku. Ketika hari piknik saat itu juga hujan, seperti hari
ini. Pada hari itu, aku melarikan diri dari Arboretum Bunga. Tubuhku tertutup lumpur yang
tampak seperti darah. Aku belum tumbuh sedikit pun dari bocah kecil berusia delapan tahun
itu.

HOSEOK

07 Juli 2022

Pergelangan kaki ku tidak sembuh dengan baik. Aku mengalami kecelakaan kecil
beberapa hari yang lalu. Sekarang aku dapat mengatakan bahwa itu "Kecil." Tapi itu serius
pada saat itu. Jimin dan gadis itu bertemu satu sama lain saat berlatih gerakan menari dan
mereka berdua jatuh tersungkur. Aku menggendong gadis itu di punggung ku dan berlari ke
rumah sakit. Tidak jauh, tapi hujan. Dia tidak sadarkan diri.

Sementara dia dirawat, aku hanya mondar-mandir di lorong. Saat itu sudah larut
malam, tapi lorong di depan ruang gawat darurat penuh dengan orang-orang minum kopi
dari mesin penjual otomatis atau melihat ponsel mereka. Hujan dan keringat menetes dari
rambutku. Aku menggelengkan rambutku dengan satu tangan, duduk di bangku salah satu
sudut, dan secara tidak sengaja menjatuhkan tasnya. Koin-koin berguling dilantai, dan
pulpen, sapu tangan berserakan dimana-mana. Ada juga tiket pesawat. Aku tahu bahwa dia
telah daftar audisi untuk tim dance internasional. Tiket ini berarti dia memenangkan tempat
itu.

Pada saat itu, dokter memanggilku. Aku memasukkan tiket itu kembali ke tasnya dan
berjalan menuju dokter. Dia mengatakan bahwa gadis itu kepalanya terbentur dan
mengalami gegar otak dan aku tidak perlu terlalu khawatir. Diluar masih hujan. Aku berdiri
didekat pintu masuk bersamanya. "Hoseok." Gadis itu memanggilku. Dia tampak seperti
ingin mengatakan sesuatu. "Tunggu disini. Aku mau beli payung." Aku berlari ke tengah
hujan lebat. Toko serba ada mulai terlihat. Aku tidak ingin mendengar apa yang akan dia
katakan. Aku tidak yakin apa aku bisa memberi selamat padanya.

Jimin dengan cemas menungguku kembali ke ruang latihan. Aku mengatakan


kepadanya bahwa gadis itu baik-baik saja, tapi Jimin tampak sedih dan menundukkan
kepalanya. Keesokan paginya, pergelangan kakiku bengkak. Aku tersandung sedikit pada
malam sebelumnya sambil menggendongnya di punggungku. Hujan, dan aku berlari. Aku
tidak jatuh. Tapi kakiku tergelincir sedikit saja. Aku memakai patch penghilang rasa sakit dan
mencoba berjalan lebih hati-hati. Aku pikir itu akan baik-baik saja. Awalnya tidak terlalu
bengkak. Tapi itu malah semakin buruk. Aku harus tetap berdiri sepanjang hari di tempat
kerja burger. dan aku tidak bisa melewatkan latihan menari.
TAEHYUNG

10 Juli 2022

Aku melaju menyusuri jalan yang landai dan melewati lorong-lorong sempit. Aku
sudah tinggal di lingkungan ini selama sekitar dua puluh tahun. Aku tahu setiap sudut dan
celah. Setiap sudut membawa kembali cerita dan kenangan. Tapi ini bukan waktunya untuk
mengenang. Polisi sedang mengejar ku. Aku tidak bisa tersesat dalam ingatan. Tapi ketika
aku berbelok dari sudut ke sudut, saat aku melompati satu pagar ke pagar lain, rasanya
seperti waktu yang berjalan mundur.

Aku menyemprotkan grafiti di halte untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.
Aku mengambil kaleng semprotan lagi karena seorang gadis. Aku bertemu dengannya
ketika dia mencoba mencuri makanan dari sebuah toko swalayan beberapa hari yang lalu.
Dia tidak bisa memaksa diri untuk melihat ke bawah tangan kosongnya. Jelas dia takut pada
tangan kosongnya. Aku tidak ingin mengakui bahwa aku tahu persis bagaimana
perasaannya. Kamu harus lihat langsung tangan kosongmu sendiri. Tidak ada yang bisa
melakukannya untukmu. Tapi aku tidak bisa menghilangkan pikiranku darinya. Aku
mengenali raut wajahnya. Tampilan ketika kamu merasa seperti dunia bukan milikmu. Ketika
kamu takut harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang salah dalam hidupmu.
Ketika kamu kesepian dan tidak tahu harus kemana dan tinggal.

Aku melihat gadis itu dari waktu ke waktu setelah hari itu. Kami tidak melakukan
sesuatu yang istimewa bersama. Kami hanya duduk di jalan atau berjalan di sepanjang jalur
kereta api. Lalu kami membuat beberapa grafiti bersama. Dia sepertinya merasa canggung
memegang kaleng semprot untuk pertama kali tapi melakukan yang terbaik untuk mengikuti
apa yang aku lakukan. Akhirnya, kami sampai di halte bus. Namjoon biasa turun di halte bus
ini. Polisi juga sering muncul disini. Aku pernah ketahuan menyemprot grafiti disini. Gadis itu
mencoba membaca wajahku ketika aku berdiri diam dengan kaleng semprotan di tanganku.

Aku belum berhubungan dengan NamJoon sejak aku melihatnya di rumah sakit. Tapi
aku melewati kontainernya di dekat rel kereta api pada suatu malam beberapa hari yang
lalu. Aku berada dijalan untuk menjauh dari Ayah dan emosinya karena mabuk. Aku hanya
berlari membabi buta, berkeliaran tanpa tujuan, dan melihat cahaya menyala di kontainer.
Seseorang ada disana. Itu pasti Namjoon. Aku ingin masuk. Tapi aku tidak bisa. Aku
semakin dekat dan bisa mendengar melodi samar dan suara dengkuran. Aku duduk di tanah
depan kontainer dan menatap langit. Malam itu benar-benar gelap gulita tanpa sedikit pun
bintang.

Polisi menangkap ku dengan cepat. Aku bersembunyi di gang jalan buntu. Tidak ada
jalan keluar. Itu pasti terjadi. Bahkan jika aku berhenti mengenang dan berkonsentrasi untuk
melarikan diri, aku tetap akan tertangkap. Itu yang diharapkan. Tidak ada masalah yang
dapat diselesaikan dengan pukulan kosong. Aku berjalan keluar dari gang dan mengangkat
kedua tanganku. Aku menyerah.
NAMJOON

13 Juli 2022

Aku mengemasi tas ku dan keluar dari perpustakaan. Sudah lebih dari sebulan sejak
aku mulai bekerja shift malam di pom bensin. Dan aku pergi ke perpustakaan pada siang
hari. Aku lelah setelah pulang dari bekerja sepanjang malam. Tapi aku tidak hanya duduk-
duduk setelah alarm berbunyi. Aku telah mencapai apapun selama sebulan terakhir ini. Aku
hanya menatap keluar jendela atau membaca majalah dengan bingung. Bukannya aku tidak
merasa tidak sabar. Aku tahu aku harus berjalan dengan kecepatanku sendiri. Tapi itu tidak
semudah yang aku kira. Apa yang dilakukan semua orang di perpustakaan ini? Apa aku bisa
menyusul mereka? Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana atau apa yang harus aku
pegang.

Aku menyandarkan kepalaku di jendela bus. Dari perpustakaan ke pom bensin.


setiap hari. Pemandangan alam yang luas terpampang di luar jendela. Akankah aku bisa
lepas dari rutinitas ini? Rasanya mustahil bagiku untuk berharap hari esok yang lebih baik.

Terlihat seorang wanita yang duduk di depan bus. Bahunya terangkat seolah dia
mendesah. Dia adalah wanita yang membagikan selebaran di jembatan penyeberangan.
Aku juga mengenalinya dari perpustakaan. Kami belajar di perpustakaan yang sama dan
pulang dengan bus yang sama selama sebulan terakhir. Aku tidak pernah memulai
percakapan dengannya, tapi kami menyaksikan pemandangan yang sama, melewati
pengalaman yang sama, dan mendesah dengan cara yang sama. Aku melihat bagaimana
dia tertidur di salah satu sudut perpustakaan dan hidungnya berdarah di depan mesin
penjual kopi. Aku tidak mencarinya, tapi dia menarik perhatianku dari waktu ke waktu. Aku
masih memiliki ikat rambut di sakuku, yang aku beli dari pedagang kaki lima tanpa berpikir
setelah aku melihat rambutnya diikat dengan karet gelang kuning.

Bus hampir dekat dengan tempat pemberhentiannya. Seseorang menekan tombol


stop, dan beberapa penumpang berdiri. Tapi wanita itu tidak melakukannya. Dia pasti
tertidur. Haruskah aku membangunkannya? Aku ragu-ragu. Bus akhirnya berhenti, tapi dia
tidak menunjukkan tanda-tanda bergerak. Penumpang turun, pintu geser tertutup, dan bus
terus melaju.

Bus sampai dihalte ku dan wanita itu masih belum bangun. Aku masih ragu ketika
aku keluar melalui pintu belakang. Tidak ada yang akan memperhatikannya. Dia sudah
ketinggalan tempat perhentiannya dan tidak bangun sampai beberapa pemberhentian lagi
telah berlalu. Mungkin akan menambah kelelahan dalam hidupnya.

Bus berangkat begitu aku turun. Aku tidak melihat ke belakang. Tapi aku telah
meletakkan ikat rambut yang kubeli di tas wanita itu, dan hanya itu. Beberapa hari yang lalu,
aku pernah kesini dan melihat beberapa grafiti dilukis di dinding depan halte bus. Aku
otomatis melihat sekeliling, tapi Taehyung tidak terlihat. Aku mengira dia terburu-buru pergi
karena kaleng semprotan berguling-guling di tanah. Aku menatap grafiti yang dilukis di
dinding untuk sementara waktu.
SEOKJIN

14 Juli 2022

Aku duduk di bangku bar tenda di sebelah Namjoon. Sudah lewat tengah malam,
tapi bar tenda dipenuhi dengan tamu yang datang untuk menutup hari-hari mereka dengan
minuman pahit. Panggilan telepon datang pada siang hari. Namjoon memintaku untuk
menemuinya setelah kerjanya di pom bensin. Dan dia belum mengatakan apa-apa sejauh
ini. Dia terus menuangkan minuman ke gelas demi gelas. Aku bertanya padanya apa ada
sesuatu yang salah, dan dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Hanya saja
hidupku tidak berubah sedikit sejak aku dilahirkan. Tidak menjadi lebih baik ataupun lebih
buruk."

Namjoon berkata bahwa energinya telah mengering. Bahwa dia berpura-pura


menjadi teman ketika dia tidak bisa melakukan apa pun untuk kita. Itu sebabnya dia tidak
bisa bertemu Taehyung atau mengunjungi Jungkook lagi. Dia membuat alasan bahkan saat
ini dia merasa bukan siapa-siapa.

Tahun-tahun sekolah menengah kami teringat setelah kami minum beberapa gelas.
Kejadian itu diungkapkan Taehyung di pantai. Mengapa Namjoon membelaku saat itu?
"Kenapa kamu melakukannya?" Alih-alih menjawab pertanyaanku, Namjoon bertanya yang
lain. Kenapa aku melakukan apa yang aku lakukan saat itu? Kematian ibu, masa kecilku di
rumah nenekku di Amerika, ekspresi dingin Ayah ketika aku kembali ke Korea. Aku tidak
pernah merasakan kehangatan sebuah keluarga. Mungkin aku merasa mabuk atau udara
malam, tapi aku rahasiakan semua rahasiaku yang belum pernah aku ungkapkan
sebelumnya.

"Sekarang aku tahu segalanya tentangmu, tapi bukankah yang lain juga
menunggumu untuk cerita? Menunggumu memberi mereka petunjuk tentang apa yang
terjadi hari itu?" Namjoon berkata setelah mendengarkan pengakuanku. Aku mengucapkan
selamat tinggal dan pulang. Aku berjalan di sepanjang jalan selama beberapa waktu, sedikit
terhuyung-huyung. Angin malam bertiup segar, dan bulan di langit yang cerah. Aku berhenti
di depan beberapa grafiti yang dilukis di halte bus. Jika aku mengakui semuanya, akankah
Namjoon percaya padaku? Jika seseorang mengaku kepadaku apa yang akan aku katakan,
apa aku bisa mempercayai orang itu?

Beberapa hari yang lalu, aku melewati toko serba ada tempat Taehyung bekerja.
Lewat jendela mobil, aku bisa melihatnya tersenyum. Dia sedang berbicara dengan seorang
pelanggan dan tertawa terbahak-bahak. Tawa akrab yang membuat mulutnya berubah
menjadi bentuk persegi. Apa yang dia bicarakan dan tertawakan dengan pelanggan? Yah,
Taehyung selalu seperti itu. Dia gemetar dengan tawa lelucon yang tidak ada seorangpun
menemukan yang lucu dan sampai meneteskan air mata padahal tidak ada yang merasa
sedih. Apa seharusnya aku berdamai saja dengan Taehyung? Masa depan jadi terlihat
suram.
HOSOEK

16 Juli 2022

Aku membalik halaman sketsa satu per satu. Kami tersenyum bersama di markas
yang tadinya ruang kelas, di terowongan, dan dengan latar belakang laut. Jungkook sedang
berbaring sendirian di jalan aspal. Darah mengalir di jalan. Bulan besar menggantung tinggi
di langit malam.

"Apa kamu terluka?" Aku menoleh ke belakang dan melihat Jungkook masuk ke
kamar pasien. Aku tetap menari dengan pergelangan kaki ku dibalut perban, dan sekarang
gips di sekitar pergelangan kaki ku. "Sepertinya aku dalam kondisi yang lebih baik daripada
kamu." Aku dengan sengaja menunjukkan reaksi dramatis terhadap kata-katanya dan
mengatakan bahwa kesehatannya tidak terkalahkan. Jungkook mengatakan dia akan
menjalani pemeriksaan menyeluruh minggu depan dan bisa pulang setelah itu jika tidak ada
masalah.

Aku memutuskan bahwa kita harus mengadakan pesta dengannya. Kami


mengadakan pesta di kontainer Namjoon pada hari Jimin melarikan diri dari rumah sakit,
dengan hamburger, cola, dan kue yang dibawa Seokjin. Kami bertengkar tentang siapa
yang harus memakai topi pesta satu-satunya sampai hancur. Kami mengolesi kue mahal itu
di wajah masing-masing. NamJoon mengeluh bahwa dia harus membersihkan semuanya
sendirian. Tapi itu menyenangkan. Kami bertujuh akhirnya berkumpul untuk pertama kalinya
setelah kami meninggalkan sekolah menengah. Kami menertawakan setiap kata dan setiap
gerakan. Setiap menit bersama sangat menggembirakan dan menggairahkan meskipun
kami tidak banyak bicara atau berbuat banyak. Aku ingin membuat hari seperti itu lagi.
Suatu hari kami akan bertemu dan tertawa bersama lagi.

"Hei, malam itu .." Jungkook mulai berbicara ketika kami turun dari lift dan menuju
pintu depan rumah sakit. Pandangannya tertuju pada sesuatu diluar. Dia sepertinya tidak
benar-benar melihat apa pun. Dia hanya mengedipkan matanya seolah berusaha menggali
kenangan lama. "Apa Seokjin berbicara tentang malam itu? Maksudku, apa dia mengatakan
bahwa dia melihatku, atau ..?" Jungkook berhenti berbicara. "Seokjin? Melihatmu?
Dimana?" Aku bertanya, tapi dia tidak membuka mulut lagi.

"Kamu orang yang baik, bukan?" Jungkook bertanya padaku sebelum kami berpisah.
"Berhenti bicara omong kosong." Aku menepuk pundaknya dengan main-main dan
melambaikan tangan. Aku dengan cepat menekuk langkahku. Apa aku orang baik? Saat
aku tumbuh dewasa, aku diberitahu bahwa aku adalah anak yang cerdas dan ceria. Dulu
aku diberi tahu bahwa aku sensitif dan mudah terpengaruh. Apa itu berarti aku adalah orang
yang baik? Aku tidak pernah memikirkan sebelumnya. Aku melihat ke belakang dan
melihatnya masih berdiri di pintu masuk dan menatap langit yang berawan.

SEOKJIN

24 Juli 2022

Aku mengikuti Ayah ke ruang pertemuan konferensi yang terang benderang. Aku
duduk di kursi dekat pintu masuk dan melihat sekeliling. Aku tidak yakin aku dipanggil
disana. Ayah duduk ditengah dan dikelilingi oleh wajah-wajah yang akrab. Aku melihat jam.
Pesta pelepasan Jungkook pasti sudah dimulai. Aku berpikir untuk menelepon yang lain
ketika Ayah membuka mulut dan seluruh ruangan menjadi sunyi. Suasananya berat, tapi
tidak terasa tidak menyenangkan. Sebaliknya, ruangan itu penuh dengan kegembiraan dan
harapan. Lampu padam, dan judul acara konferensi muncul di layar. Perencanaan untuk
‘Pembangunan Kembali Kota Songju’.

Ayah tiba-tiba memanggilku. Tepatnya, sekretarisnya yang memanggilku. Aku bilang


aku punya janji, tapi kupikir itu tidak akan berhasil. Ayah bertanya kepadaku di mobil dalam
perjalanan kesini apakah aku masih bergaul dengan teman-temanku itu. Aku tidak
menjawab. Dia tidak mengajukan pertanyaan. Dia hanya meremehkan mereka, mencela ku
karena dekat dengan mereka dan memerintahku untuk memutuskan hubungan dengan
mereka.

Dia bahkan tidak menatapku. "Jangan buang-buang waktu untuk yang lain. Aku
memberitahumu ini dari pengalaman. Lagipula, kamu harus banyak membantu disini.
Cobalah untuk belajar sebanyak mungkin. Kemudian, kamu akan segera tumbuh menjadi
seorang yang dewasa layak nya garam.”

JIMIN

24 Juli 2022

Bagian dalam kontainer itu penuh dengan hiasan. Hamburger, kentang goreng, dan
minuman yang Hoseok bawakan untuk kami diatas meja, dan hiasan natal tergantung di
dinding. Jungkook sedang duduk di tengah.

Hanya tiga dari tujuh gelas yang disajikan. Hoseok telah meninggalkan kerja paruh
waktunya setelah meletakkan makanan, dan Namjoon datang terlambat setelah kerja paruh
waktunya berakhir. Tidak ada yang bisa mengajak Yoongi, dan Seokjin mengatakan dia
datang tapi belum muncul. Taehyung duduk terdiam. Apa dia masih merasa tidak nyaman di
kontainer Namjoon? Aku hampir menyeretnya kesini, tapi tidak mungkin bisa menghidupkan
suasana.

Ini adalah bagaimana kami sebagian besar berkumpul lagi setelah kembali dari laut.
Tidak ada yang menjangkau yang lain terlebih dahulu, dan tidak ada yang tahu bagaimana
yang lain. Mungkin itu tak terhindarkan. Kami bukan lagi para siswa yang telah
meninggalkan sekolah untuk nongkrong bersama. Kami semua memiliki masalah dan
kewajiban kita sendiri sekarang. Kami tidak bisa mengabaikan semua itu hanya karena kami
ingin bersama. Sedangkan aku, aku harus bekerja keras untuk keluar dari rumah sakit dan
memutuskan apa aku akan kembali ke sekolah. Aku harus membuktikan kepada orang tua
ku, dan juga diriku sendiri, bahwa aku baik-baik saja. Aku harus memastikan bahwa aku
tidak menjadi beban bagi siapa pun.

Setelah beberapa waktu, Jungkook dengan ragu berdiri. Aku memeganginya,


mengatakan dia harus tinggal disini sedikit lebih lama dan melihat Namjoon. Jungkook
hanya tertawa, mengatakan dia hanya ingin melihat hujan. Aku tidak bisa menahannya
disana. Kami membersihkan meja dan meninggalkan kontainer. Kami menyalakan fungsi
senter pada ponsel kami. Jam setengah sepuluh. Kami berpisah di depan kontainer. Ketika
aku menyeberangi rel kereta api dan menunggu bus datang, aku bisa melihat Jungkook dan
Taehyung berjalan pergi di kejauhan dengan lampu senter menyala.

TAEHYUNG

24 Juli 2022

Aku berjalan menaiki tangga, mengambil tiga dan empat sekaligus. Botol-botol
minuman keras berguling disana-sini, dan gelas serta piring berserakan di lantai. Ayah jatuh
ke lantai di salah satu sudut dengan kepala tertunduk. Kakak perempuanku mengatakan itu
bukan apa yang aku pikirkan bahkan sebelum aku membuka mulut. "Suara Ayah agak
keras, dan seseorang pasti akan memanggil polisi, mengira dia memukuli kita."

Kemudian para petugas polisi muncul. Wanita-wanita dari lingkungan yang


berkumpul didepan pintu kami mendecakkan lidah mereka dan berjalan pergi. Kakakku terus
meminta maaf dan membungkuk kepada petugas polisi. "Tidak ada yang rusak dan tidak
ada yang terluka." Aku tidak perlu malu dengan situasi ini. Kebiasaan minum ayah sudah
lama menjadi gosip di lingkungan ini, tapi aku memandang sebaliknya. Ayah sepertinya
tertidur. Wajahnya terbakar matahari dan ditutupi dengan janggut lebat saat ia bekerja
sebagai buruh harian di sebuah lokasi konstruksi. Dia memiliki lebih banyak uban daripada
sebelumnya. Aku bisa melihat mulut dan lidahnya yang berliur.

Dulu aku membunuh Ayah dalam mimpiku. Suatu hari, aku hampir menikamnya di
dunia nyata. Mungkin dimulai dari situ. Aku mulai bersimpati padanya. Aku membenci diriku
sendiri karena bersimpati padanya. Mungkinkah orang itu bisa disebut orang tua? Dia tidak
memenuhi syarat untuk menjadi itu.

Seseorang menepuk pundakku, dan aku menoleh ke belakang untuk melihat wajah
yang tidak asing. Dia adalah seorang perwira polisi yang telah dikirim ke rumah ku beberapa
kali. Aku juga pernah melihatnya di kantor polisi beberapa kali ketika aku dipanggil untuk
kasus grafitiku. Aku hanya menunduk pandangan rendah. Itu adalah isyarat untuk
mengatakan "Aku minta maaf." Karena membuat mereka terburu-buru ke sini, tapi aku juga
tidak yakin apa yang akan dikenakan diwajahku. "Tetanggamu pasti sangat
mengkhawatirkan kalian berdua. Ada seorang wanita yang melaporkan kejadian ini sama
sekali tidak terdengar jengkel dan meminta kami berulang kali untuk datang dengan cepat
sebelum seseorang terluka. Pastikan kalian untuk menemukannya dan berterima kasih
padanya nanti." Aku bertanya padanya apa suara wanita itu rendah dan serak. Dia tidak
bisa mengingat dengan tepat tapi itu bisa saja. Kakakku, yang sedang berbicara dengan
petugas polisi lainnya, menoleh untuk melihatku.

"Apa kamu masih berhubungan dengan Ibu?" Aku bertanya kepadanya setelah
semua orang pergi. Dia sedang membersihkan botol dan piring yang berserakan di lantai,
dan aku duduk di dekat dinding. Ayah masih tertidur dalam posisi yang tidak nyaman itu.
Matahari sudah terbenam, dan jendela panjang di atas kepala Ayah gelap gulita.

Kakakku bangkit dan duduk di bangku meja makan. Dia tidak mengatakan sepatah
kata pun, tapi kesunyiannya lebih dari menjawab pertanyaanku. Aku meminta alamat dan
nomor telepon Ibu. "Aku tidak tahu nomornya. Aku hanya tahu bahwa dia tinggal di
apartemen sewaan di Buk-gu, Munhyeon. Taehyung, kenapa kamu ingin
menghubunginya?" Dia bertanya. "Untuk bertanya padanya. Apa yang dia pikirkan. Kenapa
dia pergi. Kenapa dia muncul lagi." Kakakku duduk disebelahku. "Taehyung, Ibu
merindukanmu." Aku mendengus dan berdiri. Dia jelas tidak menyadari betapa marahnya
aku. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan menanyakan pada Ibu pertanyaan-
pertanyaan ini, tapi aku tidak terlalu penasaran dengan jawabannya. Bagaimana itu bisa
membantuku bahkan jika aku tahu mengapa dia pergi? Aku hanya ingin melepaskan
kemarahanku yang membara. "Kenapa dia datang kesini? Dia yang meninggalkan kita. Dan
sekarang dia ingin memerankan sosok ibu lagi?"

Aku mulai berjalan ke arah utara, ke arah Munhyeon. Aku ingin berjalan lebih cepat
dari hatiku yang berdenyut. Itulah satu-satunya cara bagiku untuk bisa bernapas. Sudah
lewat tengah malam. Bus berhenti berjalan dan aku tidak punya uang untuk naik taksi.
Berjalan adalah satu-satunya pilihanku. Untuk sampai disana, aku harus menyeberang rel
kereta api dan jembatan dan melewati pusat kota. Aku mungkin bisa sampai disana sebelum
matahari terbit. Aku merasakan langkah kaki seseorang dibelakangku ketika aku
menyeberangi rel kereta. Jungkook mengikutiku. Aku benar-benar lupa bahwa Jungkook
pulang bersamaku ketika aku berlari ke rumah ku saat aku melihat mobil patroli di depan
rumah.

"Pergi!" Aku berteriak pada Jungkook dan berjalan tanpa melihat ke belakang. Dia
pasti sudah melihat semuanya. Polisi, para tetangga mendecakkan lidah mereka, botol-botol
minuman keras yang berguling-guling, Ayah mendengkur, dan kakakku dengan kepala
menunduk. Jungkook pasti sudah melihat semuanya. Aku tidak pernah memberi tahu siapa
pun tentang kekerasan ayah. Tidak pernah. Aku tidak pernah memberi tahu yang lain bahwa
Ibu melarikan diri. Bukan karena aku sombong. Mungkin itu. Rasanya tidak adil bahwa aku
harus menjalani sendiri situasi dan kehidupanku yang menyedihkan ini.

Aku mempercepat langkahku. Akhirnya aku keluar dari daerah perumahan dan
menaiki tangga kereta api jembatan penyeberangan ketika aku mendengar langkah kaki
dibelakang ku. Aku melirik sekilas dan melihat Jungkook. Aku akan berteriak mengapa dia
masih mengikutiku tapi aku berubah pikiran. Itu bukan urusanku. Aku melangkah ke
jembatan setelah turun dari jalur kereta api. Jungkook masih mengikutiku dari jauh
dibelakang. Aku berhenti di tengah jembatan dan memandangi sungai.

Di tengah malam, jalan dan bangunan remang-remang oleh lampu jalanan, tapi tidak
sungai. Sungainya hitam pekat mengalir deras dibawah kaki ku dengan suara menderu.
Rasanya lebih mengancam karena tidak terlihat dalam gelap. Jungkook juga berhenti
dibelakangku dan menatap sungai. Hanya kami berdua di jembatan. Tidak ada pejalan kaki
lain dan tidak ada mobil. Kaos kami basah oleh keringat dan mengepakkan angin.

"Apa kamu tahu kita sudah berjalan selama satu jam?" Aku melambai pada
Jungkook, dan dia mendekat. Kami mulai berjalan berdampingan. "Boleh aku bertanya
kemana kita akan pergi?" Aku mengatakan padanya bahwa aku akan ke rumah Ibuku. Aku
punya sesuatu untuk dikatakan padanya. Jungkook mengangguk. Langkah ku semakin
lambat. Tiba-tiba aku bertanya-tanya apa aku benar-benar akan pergi ke rumah Ibuku. Aku
tidak tahu persis dimana dia tinggal. Aku tidak tahu nomor telepon atau alamat rumahnya.
Aku tidak punya rencana setelah tiba di komplek apartemen. Kemarahanku mereda hanya
dalam satu jam dan digantikan dengan rasa lapar dan sakit.

Aku membayangkan seperti apa pertemuan kami nanti. Bahkan, aku sudah
membayangkannya berkali-kali. Langkah kami selanjutnya tidak jelas. Setelah menanyakan
pertanyaanku pada Ibu, apa yang akan dia katakan? Apa dia akan menjawabnya? Jika iya,
atau jika tidak, bagaimana aku harus bereaksi? Mungkin lebih baik untuk kita semua jika aku
tidak bertemu dengannya. Itu selalu jadi kesimpulanku. Tapi aku terus membayangkan
momen itu dan sekarang berjalan di jalan malam seperti ini tanpa ada rencana untuk
bertemu ibu.

"Apa kakimu baik-baik saja?" Kalau dipikir-pikir, Jungkook baru saja melepaskan
gipsnya dan aku membuatnya berjalan berjam-jam. "Dokter bilang aku harus banyak
berjalan sebagai rehabilitasi." Jungkook menunjukkan kepadaku senyuman dan
melampauiku seolah-olah dia sedang berusaha membuktikannya. Aku tidak sanggup
mengatakan bahwa kita harus berhenti disini. Aku memutuskan untuk berjalan dengan
susah payah. "Apa kamu tidak lapar?" Saat aku lelah, semua indraku datang kembali
dengan berteriak. "Aku menyesal karena aku tidak menghabiskan kue dan hamburger itu."
Aku tertawa kecil mendengar kata-kata Jungkook. Manusia begitu kuat, bukan kepalang,
atau sangat lemah, dan kami adalah buktinya, merasa kelaparan, mengeluh bahwa kaki
kami sakit, dan tertawa bersama bahkan dalam situasi ini.

Lampu menjadi lebih terang dan lebih ramai, dan jalan yang sibuk segera muncul
didepan kami. Jauh di malam hari, tapi jalan yang terang itu penuh dengan orang dan mobil
yang lewat. Jam setengah empat pagi. Kami duduk di meja luar toko.

Jungkook mengatakan dia haus saat kami makan setengah mie instan kami. Aku
pergi ke toko untuk membeli minuman. Saat aku kembali, seseorang berdiri di depan
Jungkook. dia membelakangiku, jadi aku tidak tahu siapa dia atau apa yang dia lakukan.
Jungkook menatapnya dengan wajah khawatir. Aku berlari ke sisi Jungkook dan menatap
pria itu.

Pria itu mengenakan mantel gelap di tengah musim panas. Dia memiliki rambut kotor
dan kelabu lebat, dan janggutnya yang kotor diwarnai dengan kaldu ramen. Dia berbau
alkohol. Dia dengan rakus melahap mie instan ku. Tidak ada gunanya bertanya siapa dia
atau mengapa dia makan mie ku. Aku hanya terkejut tapi tidak marah. Sebenarnya aku
takut.

Pada saat itu, seseorang dari sekelompok pembuat onar yang keluar dari toko
mendorong bahu pria itu, dan yang lain tersandung padanya. Pria mantel itu kehilangan
keseimbangan dan mendorong meja saat dia jatuh. Cup mie instan Jungkook tumpah, dan
kaldu tumpah ke seluruh kakinya. Jungkook melompat berdiri dan buru-buru membersihkan
dari celananya. Dia bilang dia baik-baik saja dan tidak panas karena kaldu nya sudah dingin.

Sekelompok pembuat onar berjalan pergi, mencibir. Pria yang mengenakan mantel
kotor itu menatap cup yang jatuh. Jari-jarinya berada di atas meja dan tertutupi dengan mie.
Aku tidak bisa memaksa diri untuk bertanya apa dia baik-baik saja. "Bukankah seharusnya
kamu minta maaf? Kamu baru saja membuat kekacauan ini." Aku berteriak pada para pria
itu. Mereka melihat ke belakang. "Tidak, kami tidak mau melakukannya. Dia yang
melakukannya. Dan tidak ada yang menyuruhmu duduk disana. Bajingan kecil keluar jam
segini." Orang-orang itu mengutuk dengan tidak jelas.

Pria yang mengenakan mantel itu menatapku. Mata kami bertemu di udara. Dia
memiliki mata kekuningan dan wajah yang dipenuhi bintik-bintik karena usia. Dia
mengingatkanku pada seseorang. seseorang yang selalu minum, mengayunkan semuanya
dengan tangannya selalu mengepal, dan hidup seperti diktator dan pecundang.

Apa yang aku harapkan terjadi. Aku melemparkan diri ke arah orang-orang itu, dan
dua dari kelompok itu melemparkan pukulan ke arah ku. Aku menghindari pukulan pertama,
tapi pukulan kedua mengenai daguku. Jungkook melangkah untuk menghentikan ku tapi dia
terjebak dalam pertarungan juga. Meja dan kursi plastik terbalik, dan papan tanda "No
parking" ditendang. Orang pekerja paruh waktu di toko sudah menelepon polisi, seperti
mereka sudah terbiasa dengan kejadian seperti ini. Kami bisa mendengar sirene semenit
kemudian. Kami semua melompat berdiri dan berlari ke arah yang berlawanan, saling
berteriak bahwa mereka beruntung bisa lolos kali ini.

Aku sangat pandai melarikan diri. Terkadang aku sengaja ditangkap, tapi sekarang
bukan salah satu dari itu. Aku terus memimpin, memeriksa apa Jungkook mengikutiku.
Sebuah mobil keperakan melewati kami dengan kecepatan penuh. Kaca spionnya melawan
Jungkook. Dia tertegun dan tenggelam. Dia baru saja keluar dari rumah sakit setelah dua
bulan karena kecelakaan lalu lintas. Wajar kalau dia tertegun. Mobil itu berhenti, dan salah
satu pria yang menabrak kami sebelumnya menjulurkan kepalanya keluar dari jendela kursi
penumpang. "Awas kau. Kami membiarkanmu pergi kali ini saja. Tidak akan ada belas
kasihan lagi lain kali." Dan mobil itu lenyap dengan mesin yang menderu.

Jungkook perlahan mengangkat dirinya, memegangi lenganku. Dia tampak tidak


nyaman. Dia pasti telah melukai kakinya ketika dia jatuh. Bagian dalam mulutku berdenyut.
Darah dioleskan di punggung tanganku ketika aku menyeka mulutku dengan itu. "Kemana
kita harus pergi?" Jungkook bertanya. "Dengan kaki ini? Kita akan kembali." Jungkook mulai
berjalan, mengatakan bahwa dia baik-baik saja. "Lihat! Aku baik-baik saja." Aku berdiri
disana dan menyaksikan Jungkook menyeret satu kaki dari belakang.

"Ayo kembali!" Aku berteriak pada Jungkook. Aku memeriksa ponselku. Saat itu jam
empat lima puluh pagi. Kami masih punya waktu untuk sampai bus pertama datang. Aku
melihat sekeliling dan menemukan bukit rendah dibelakang kawasan hiburan. "Apa kamu
lihat matahari terbit?"

Aku menopang Jungkook saat kami berjalan ke atas bukit. Aku merosot di tangga
diujung lereng yang landai. Mereka mengatakan bahwa langit berada pada titik tergelapnya
tepat sebelum matahari terbit, dan itu benar. Tidak ada bintang yang terlihat di langit yang
gelap gulita. Tapi tanda-tanda lampu neon dari berbagai bentuk dan warna memancarkan
cahaya terang dibawah kota. Aku mengalihkan pandangan ke arah utara. Kurasa
lingkungan ini tempat tinggal Ibu. Pasti itu. Dia pasti makan, tidur, dan bersih-bersih di
apartemen itu.

"Jungkook, aku ikuti Ibu kalau begitu." Jungkook menatapku. Aku memusatkan
perhatian pada lampu yang mengalir keluar dari jendela komplek apartemen. Kemudian.
malam itu. malam itu sepuluh tahun yang lalu ketika Ibu meninggalkan rumah. malam itu
Ketika Ibu, kakakku, dan aku dipukuli sampai babak belur oleh Ayah dan kami menangis
sampai tertidur. Aku tidak ingat mengapa dia memukul kami begitu keras. Tapi aku ingat
saat sekali berpikir. Seharusnya aku berenang bersama teman-temanku besok, dan kurasa
Ibu tidak akan bisa menyiapkan makan siang untukku. Apa bibirku yang luka akan sembuh
besok? Jika tidak, mereka akan mengolok-olok ku. Bahuku sakit. Seharusnya aku tidak
berusaha untuk menghindari pukulannya. Kakakku menangis pelan. Bahkan lebih
menyedihkan mendengarnya hari ini.

Setengah tertidur, aku melihat sekilas Ibu berdiri di kaki kami dan menatap kami. Dia
pergi. Dia meninggalkan kita. Aku langsung tahu. Aku pura-pura tidur, bangun, dan
mengikutinya. Aku tidak punya rencana. Aku tidak berpikir untuk tinggal bersamanya. Aku
tidak merasa pahit atau takut. Seperti apa rasanya tidak punya Ibu, bagaimana rasanya
hidup tanpa Ibu, itu bukan sesuatu yang bisa kau mengerti.

Aku mengikutinya selama beberapa waktu. Dalam ingatanku, aku berjalan sepanjang
malam. Tapi aku harus banyak ingat karena aku masih kecil dulu. Dia tidak melihat ke
belakang. Bahkan sekalipun tidak. Apa dia benar-benar tidak menyadari aku mengikutinya?
mungkin dia berjuang untuk melihat ke depan karena takut harus membawaku bersamanya
jika dia melihat ke belakang. "Tentu saja, pikiran itu datang kepadaku untuk dipahami
setelah itu. Ketika aku berjuang untuk bertemu dengannya. Sekarang? Aku tidak tahu
mengapa aku sampai sejauh ini."

"Hei." Aku menatap suara Jungkook. "Maafkan aku." Aku menatapnya. "Minta maaf
untuk apa? Kenapa kamu menyesal?" "Kamu tidak bisa melihat Ibumu karena aku."
Jungkook menjawab. "Apa kamu idiot?" Aku berkobar. Aku tidak bermaksud kehilangan
kesabaran. Tapi suaraku kencang. Lidah ku terus tersandung karena aku tidak pandai
berbicara dan tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaanku. "Kenapa kamu merasa
menyesal? Orang-orang itu yang seharusnya minta maaf padamu. Apa yang kamu lakukan
itu salah? Aku yang harusnya minta maaf karena membawamu kesini. Orang tuaku, yang
membuatku membawamu kesini, aku yang harusnya minta maaf. Orang-orang yang
bertarung pertama juga harusnya minta maaf." Aku terus meninggikan suaraku. "Kamu
orang yang baik. Kamu sangat baik. Ini bukan salahmu. Ini bukan salahmu!"

Langit, yang tampaknya tetap gelap selamanya, mulai berubah menjadi kebiruan
dalam sekejap. Cahaya yang merembes ke langit dari ujung terjauh menghisap kilau tanda-
tanda lampu neon. Kami menyaksikan matahari terbit tanpa sepatah kata pun. Matahari
besar dan merah membara di atas komplek apartemen. Apa Ibu melihat matahari terbit ini
juga?

Kami berdua duduk di belakang bus bedampingan satu sama lain dalam perjalanan
pulang. Sebelum fajar menyingsingkan kami. Jalanan kosong, dan bus terus melaju. Aku
menoleh dan melihat ke arah utara sekali lagi. Malam itu. Ibu sudah berhenti berjalan. Dia
berdiri disana tak bergerak selama beberapa waktu. Dia juga tidak melihat ke belakang. Jika
aku terus maju pada saat itu, aku akan memanggilnya. Aku bisa memegang tangannya dan
bertanya kemana dia pergi, kemana dia tuju saat meninggalkan kami, dan kapan dia
kembali. Aku bisa menangis, membuat ulah, dan mungkin menariknya kembali ke rumah.
Tapi aku hanya berbalik dan pulang sendirian. Seluruh tubuh ku sakit dan aku tidak bisa
bersenang-senang bersama yang lain. Aku berbaring dilantai, berkeringat dan berusaha
tidur. Aku tidak tahu mengapa.
"Orang itu lagi." Mendengar suara Jungkook, aku melihat keluar jendela. Seorang
pria bungkuk dalam mantel kotor itu sedang berjalan sendirian.

KE ARAH MANA MATAHARI TERBIT

HOSEOK

25 Juli 2022

Aku berlari ke tempat Yoongi dalam perjalanan ke ruang praktek dari rumah sakit.
Aku menuju ruang latihan tanpa menyadarinya dan berhenti. Apa yang bisa aku lakukan
disana? pergelangan kaki ku semakin parah. Gips lunak telah diganti dengan gips keras.
Dokter memarahiku. "Kamu harusnya tidak meregangkan pergelangan kakimu." Tapi aku
tidak bisa duduk sambil bekerja di burger. Aku punya banyak hal yang terjadi di ruang
latihan juga. "Kamu harus ekstra hati-hati dengan pergelangan kakimu. Itu sudah disengat
sebelumnya, dan mungkin akan rusak secara permanen kecuali kalau kamu lebih hati-hati."
Dokter terus mengatakan ini lagi dan lagi.

Aku masuk ke jalan utama menuju rumahku dengan tongkat diketiakku. Aku
biasanya belum pulang pada jam segini sebelumnya. Aku tidak pernah melewatkan latihan
tanpa alasan khusus. Aku berhadapan langsung dengan Yoongi. Dia mabuk dan terhuyung-
huyung di lintas jalan. Dia tidak mengenaliku saat dia lewat.

Aku menoleh dan menatap tanda "Berjalan". Dua hari setelah kunjunganku ke
Jungkook di rumah sakit, aku pergi ke ruang kerja Yoongi. Dia tidak menjawab telepon ku,
jadi aku langsung pergi ke ruang kerjanya. Aku pergi di pagi hari sebelum aku pergi ke Two
Star Burger. Aku mengetuk pintu, tapi tidak ada yang merespon. Suara samar musik
mengalir melalui pintu. Aku berpikir untuk memanggilnya lagi tapi aku menyerah. Aku malah
menendang pintu.

Aku sudah mengenal Yoongi sejak SMP. Aku tahu bagaimana Ibunya meninggal,
bagaimana kematiannya mempengaruhi dirinya, dan bagaimana dia berjuang keras dalam
hidupnya. Aku berusaha menjadi teman yang menghibur dan dapat di andalkan baginya.
Aku menertawakan kata-katanya yang kasar dan membawanya berkeliling meskipun dia
pikir aku menjengkelkan. Tapi kami tidak penting baginya. Kami pikir setidaknya Jungkook
pasti berbeda. Dia pasti tahu siapa Jungkook baginya. Dia sudah mendengar tentang
kecelakaan Jungkook dari Jimin. Tapi dia tidak datang ke rumah sakit. Yang lebih parah,
seorang wanita yang mengaku sebagai rekan musiknya menghampiriku beberapa hari yang
lalu. Dia mengatakan padaku bahwa dia bertemu denganku setelah bertanya-tanya dengan
semua orang. Dia berkata bahwa dia tidak dapat menghubungi Yoongi.

Tanda "Berjalan" berubah menjadi hijau. Aku mulai menyeberang jalan, dan
mengejutkan diriku sendiri. Aku menoleh ke belakang ketika aku membungkuk. Aku
berusaha untuk tidak melakukannya tapi aku tidak bisa menahannya. Yoongi berbaring di
jalan di depan sebuah gerobak yang menjual aksesoris. Penjual itu berteriak kepadanya
ketika orang yang lewat mengerutkan kening.

"Kapan kau akan berhenti melakukan ini?" Dia menatapku kosong. "Apa kau pikir
kau satu-satunya orang yang mengalami masa-masa sulit? Apa kau pikir aku tersenyum
didepan orang lain karena hidupku cerah dan bahagia? Katakan padaku. Apa yang
membuatmu kesal? Semua orang tahu kau pandai bermusik, dan mereka semua ingin
bergaul denganmu bahkan ketika kau bertingkah. Ya, kau pasti sudah kesakitan sejak
Ibumu meninggal. Aku tahu, tapi kau tidak bisa seperti ini terus selamanya. Untuk membuat
musik? Bisakah kau hidup tanpanya? Bukankah kau pernah bahagia, bahkan hanya sekali,
hanya karena musik? Kenapa kau tidak pergi melihat Jungkook? Tidakkah kau tahu betapa
berartinya kau untuknya? Tidakkah kau melihat kita semua juga terluka? Tidakkah kau lihat
itu?"

Aku tidak bermaksud mendorongnya terlalu keras, tapi aku benar-benar kesal. Itu
bukan sepenuhnya karena dia. Aku kesal karena aku memakai kruk. Luka tidak terhindarkan
tapi juga fatal bagi seorang penari. Aku pikir aku sudah berhati-hati, tapi aku terluka pada
saat yang tidak terduga. Ini kesalahanku. Tidak ada orang lain yang bisa disalahkan untuk
itu. Aku tahu aku akan gugup dan sadar akan pergelangan kaki ku setiap kali aku menari,
dan itu membuatku putus asa. Atau yang lain, aku bisa terluka lagi. Namun aku tidak bisa
menghindarinya. Aku tidak bisa hidup tanpa menari. Aku harus terus menari meskipun
merasa putus asa dan terluka.

"Sudah waktunya untuk berhenti melarikan diri. Jika kau akan melarikan diri lagi,
jangan pernah kembali."

Aku berbalik dan menyeberangi jalan. "Hoseok." Aku pikir aku mendengar dia
memanggilku tapi aku tidak ingin melihat ke belakang. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri
atas segala kesalahan yang terjadi. Aku selalu berpikir aku harus melakukan ini atau
mengalami itu. Aku tidak ingin hidup seperti ini lagi.

YOONGI

25 Juli 2022

Aku membuka mataku di tengah malam. Hujan. Kutukan keluar dari mulutku secara
langsung ketika aku bangun dari tanah. Aku duduk diam beberapa saat. Seluruh tubuhku
basah kuyup oleh hujan. Aku gemetar dan kedinginan.

"Jika kau melarikan diri lagi, jangan pernah kembali." Suara Hoseok terdengar
ditelingaku. Yang bisa aku ingat setelah meninggalkan rumah sakit Jungkook adalah bahwa
aku terus goyah, menabrak sesuatu, dan jatuh. Karena mabuk, sakit kepala, takut, dan
putus asa, aku tidak tahu berapa banyak waktu telah berlalu atau dimana aku berada. Saat
itulah aku menemukan Hoseok. Pada saat itu, aku merasa tersendat. Setengah sukacita
dan setengah lega. Untuk beberapa alasan, aku percaya bahwa dia akan dapat memahami
kebingungan dan ketakutan ku meskipun aku tidak dapat memahami diriku sendiri. Tapi
Hoseok membuang muka. Dia berpura-pura tidak melihatku. Segera tanda jalannya berubah
Dan aku hanya berdiri disana mengawasinya berjalan pergi. Kemudian seseorang
mendorongku dan aku jatuh ke tanah. Aku mendengar orang-orang menjerit dan
mendecakkan lidah mereka kepada ku.

"Kenapa kau tidak pergi melihat Jungkook? Apa kau tidak tahu betapa berartinya kau
untuknya?" Tentu saja aku tahu. Mungkin itu sebabnya aku tidak bisa masuk ke kamarnya.
Aku merasa terdistorsi dan berduri. Siapa pun yang mencoba mendekatiku pasti akan
terluka.

Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke jalan gunung yang sunyi. Ada dua arah.
Aku bisa berjalan lebih jauh ke gunung atau aku bisa berbalik dan turun kembali. Aku mulai
bergerak menuju hutan gelap. Aku selalu mengambil resiko di persimpangan jalan. Aku tidak
punya tujuan. Aku sudah kehilangan waktu. Mungkin aku berputar-putar. Rasanya lutut ku
akan menyerah sebentar karena rasa dingin yang menggigit dan kelelahan. Aku kehabisan
nafas, dan hatiku berdenyut. Bagaimana jika aku pingsan disini dan mati? Jika aku
ditakdirkan untuk mati disini, maka disinilah aku akan mati. Aku tenggelam.

Rintik hujan jatuh di wajahku. Sama gelapnya dengan mataku yang terbuka seperti
saat mereka tertutup. Aku tenggelam dalam lapisan kegelapan. Aku memikirkan kematian
lagi dan lagi. Aku ingin lari dari ketakutan dan keinginan yang terus menghantui ku. Aku
ingin lari sejauh mungkin dari objek yang menakutkan yang aku tarik tanpa daya tapi tidak
bisa melihat dengan lurus, penderitaan yang mendorongku dari satu kejadian ekstrem ke
ekstrem yang lain. Sekarang saatnya. Itu semua akan menjadi lebih baik.

Aku telah menimbulkan rasa sakit pada orang lain karena aku menderita rasa sakit
yang lebih besar. Aku memalingkan muka dari luka-luka mereka. Aku tidak ingin
bertanggung jawab. Aku tidak ingin terlibat. Itulah aku. Momen ini harusnya menjadi berkah
bagi semua orang. Aku berkedip perlahan dan mulai tertidur. Rasa dingin, sakit, dan lelah
menghilang. Dan aku menjadi mati rasa pada kegelapan, terang, dan lingkunganku.
Semuanya menjadi redup.

Aku membuka mataku lagi karena suara piano. Aku terdiam. Kecuali suara tetesan
air hujan yang jatuh dan berdesir. Ditengah kesunyian, suara piano yang rapuh dan halus
terus melayang ke arahku. Seseorang memainkan piano jauh di gunung di tengah malam?
Aku pikir itu adalah halusinasi, tapi itu terus berlanjut.

Aku menyeringai. Melodi itu. Melodi yang aku coba sangat sulit untuk diingat.
Sesuatu yang telah aku perjuangkan telah hilang, yang membuat aku begadang semalaman
berhari-hari. Mengapa itu datang kepadaku pada saat seperti ini? Aku berkonsentrasi lebih
keras, tapi nada suaranya masih nyaris tak terdengar dari jauh dan terganggu oleh suara
hujan. Aku mulai terbatuk.

Aku mencoba berdiri tapi berhenti. Apa yang akan aku lakukan sekarang bahkan jika
aku bisa melihat melodi itu? Apa akan ada yag berubah jika aku menyelesaikan musikku?
Aku tidak pernah ingin diakui oleh orang lain, menerima tepuk tangan, atau menjadi
terkenal. Aku tidak pernah ingin membuktikan diri. Lalu apa artinya menyelesaikan bagian
ini?

Tapi aku mendorong diriku dari tanah dengan satu tangan dan mulai menuju ke arah
mana suara itu berasal. Aku terhuyung-huyung dan tubuhku gemetaran. Wajah dan
tanganku mati rasa. Aku tidak bisa merasakan kakiku. Tak satu pun dari bagian tubuh ku
yang tampaknya berada dibawah kendali ku. Tapi aku mengambil langkah tegas, satu per
satu, untuk lebih dekat dengan melodi itu.

Tetesan hujan deras menerpa kepalaku. Kemejaku basah kuyup. Setiap sendi dan
ototku seperti menjerit. Kakiku menggigil begitu hebat sehingga aku tidak bisa mengangkat
kakiku dari tanah. Kakiku tergelincir di rumput basah, dan ranting berduri menyapu
pundakku. Aku merasa kedinginan sampai ke intinya dan aku jatuh. Kecepatanku semakin
lambat. Melodi piano telah mereda dengan setiap langkah yang aku ambil.

Aku dengan cepat mempercepat langkahku untuk menemukan sumber musik


sebelum berhenti. Aku takut jika itu terjadi, aku tidak akan pernah bisa mendengarnya lagi.
Aku maju ke depan, tidak tahu jalan setapak dari hutan. Aku dikejutkan oleh ranting-ranting
yang terkulai. Kemudian, tiba-tiba, lutut ku remuk dan aku jatuh ke tanah. Aku kehabisan
napas sehingga aku ingin muntah. Semua indraku datang kembali, dan aku merasakan
lingkungan yang dingin, lelah, dan aneh jauh di dalam gunung dengan begitu jelas. Ketika
aku mempercepat langkahku semakin banyak, ketika aku memukul lebih banyak ranting
bercabang, ketika kakiku tergelincir lebih keras, suara piano menjadi lebih jelas. Semakin
parah rasa sakitnya, semakin keras suaranya jelas.

Aku akhirnya berhenti berjalan setelah berkeliaran dibawah hujan selama berjam-
jam. Melodi terdengar lebih jelas. Meledak di kepalaku ketika dikombinasikan dengan apa
yang telah aku tulis sampai beberapa hari yang lalu. Aku menutupi kepala ku dengan kedua
tangan dan tenggelam. Terasa lebih dekat dengan emosi daripada musik. Itu merangsang
rasa sakitku daripada pendengaranku. Semua itu adalah kombinasi dari penderitaan,
harapan, kegembiraan, dan ketakutan. Aku berusaha keras menjauh dari itu semua.

Tiba-tiba, sebuah pemandangan dari suatu siang yang cerah dan terang muncul
didepan mataku. Aku sedang memainkan lagu di depan piano di ruang kerjaku. Melodi itulah
yang terus berputar di kepalaku. "Kedengarannya sangat bagus." Jungkook mendekat. Aku
tertawa kecil. "Kamu selalu mengatakan itu."

Itu bukan melodi tunggal. Itu adalah kombinasi dari berbagai kenangan. Dari hari-
hariku biasa bermain-main pada tuts piano sebagai seorang anak. Dari hari-hari teman-
temanku menari selaras dengan kinerja ku di ruang kelas yang berubah menjadi markas.
Dari hari-hari ketika aku terjaga sepanjang malam menulis karya dan menghirup udara pagi
yang segar. Pianoku ada disampingku di setiap momen bahagia. Kenangan indah ini selalu
berakhir hancur berkeping-keping, tapi itu tidak bisa dipungkiri.

Apa artinya menyelesaikan bagian ini? Aku masih belum menemukan jawabannya.
Tapi ada sesuatu yang mendahului pertanyaan dan jawabannya. Aku ingin menangkap
semua ini sebelum tersebar ke udara. Itu bukan untuk menyenangkan siapa pun atau untuk
membuktikan sesuatu. Bahkan bukan untuk diriku sendiri. Aku hanya ingin menangkap
emosi, rasa sakit, dan ketakutan ini, yang akan meledak di kepala dan hati ku, dengan
musik. Tidak seharusnya itu tanda awal dari sesuatu. Tidak harus berarti apa-apa. Aku
hanya ingin menyelesaikan musik ini.

Suara piano tidak lagi terdengar. Hujan berangsur-angsur mereda, tapi tubuh ku
gemetaran tak terkendali. Aku memejamkan mata dan merasakan segala sesuatu
disekitarku dengan jelas. Tetesan hujan yang jatuh di pipiku, memercik ke tanah, dan
mengalir dalam aliran, angin dingin, bau tanah, suara gemerisik dedaunan. Dan nafasku.
Ketika aku bangun, tanda mata air mulai terlihat. Aku pikir aku telah menjelajah jauh ke
gunung, tapi aku kembali ke tempat ku mulai. Dan jalan setapak masih membentang ke dua
arah yang berlawanan. Aku menekuk langkahku ke arah matahari terbit.

JIMIN

28 Juli 2022

Aku memeriksa ke dalam Two Star Burger. Hoseok tidak terlihat. Sudah empat hari
sejak dia terakhir muncul di ruang latihan. Seseorang berkata dia memberitahu rekan
penariku bahwa dia akan istirahat, tapi setelah itu dia tidak menjawab panggilan dari
siapapun. Dia bahkan tidak membaca pesan yang diposting di obrolan grup Just Dance.

Aku tahu pergelangan kakinya yang sakit mengganggunya. Mungkin malam itu.
Malam ketika pasangan menariku terluka karena aku. Hujan malam itu, dan dia
membawanya ke rumah sakit dalam keadaan hujan. Kondisinya pasti semakin parah.

Ketika aku melangkah masuk ke restoran, para pekerja menyambutku dengan riang.
"Apa Hoseok libur hari ini?" Mereka mengatakan dia sedang cuti sakit, mungkin selama tiga
minggu, tapi mereka tidak yakin. Pergelangan kakinya semakin parah. Dia harus
mengenakan gips, dan manajer nya merekomendasikan agar dia mengambil cuti.

Aku berlari langsung ke rumahnya. Aku tidak sabar menunggu bus datang, jadi aku
berlari menanjak. Hari itu panas sekali. Punggungku basah oleh keringat. Aku bergegas
menaiki tangga ke kamar atapnya. Gagang pintu, yang dipanaskan oleh sinar matahari,
terbakar panas. Dan terkunci. Aku meninggalkan pesan di obrolan grup kami. “Dimana kamu
Hoseok?" Pada akhir hari, dia masih belum menjawab.

YOONGI

28 Juli 2022

Akhirnya aku bisa bangun di sore hari. Aku menggigil parah selama dua hari setelah
turun dari gunung. Aku tidak dapat mengingat kejadian detail dua hari itu. Aku gemetaran
karena demam. Aku terkadang kembali pada diriku tapi dengan cepat kehilangan lagi.

Seprai ku basah kuyup. Aku masih merasa pusing. Aku keluar dari ruang kerjaku,
berusaha menjaga diriku agar tetap stabil. Aku pergi ke rumah sakit untuk mengambil infus
dan memasukkan makanan ke mulut ku. Tapi aku membuang semuanya. Aku membaca
pesan Jimin saat aku sedang berkumur di toilet. Meskipun nomor di sebelah dengan pesan
turun, tidak ada balasan.
Aku berjalan di sepanjang jalur kereta api dan tiba di halte bus. Ada bangunan yang
belum selesai dari kejauhan. Konstruksi telah dihentikan selama berbulan-bulan. Toko musik
berada sedikit di atas bukit setelah melewati gedung itu. Aku berhenti di depan toko musik.
Tidak ada suara gemerincing dari ketenaran atau kinerja piano yang kikuk dan lambat. Aku
tidak punya energi untuk membungkuk, mengambil batu, dan melemparkannya. Semuanya
tampak seperti masa lalu yang jauh dan membuat ku bertanya-tanya apa itu semua benar-
benar terjadi. Aku bisa melihat piano melalui jendela.

"Tidakkah kau melihat kita semua juga terluka? Apa kau tidak melihatnya?" Itu yang
dikatakan hoseok tempo hari. Kenangan hari itu semuanya kusut di kepalaku. Tapi aku ingat
dengan jelas bahwa Hoseok agak berbeda hari itu. Itu bukan pertama kalinya Hoseok marah
padaku. Dia tidak pernah berada di tepi seperti itu, tapi dia selalu mendorong, menarik, dan
mendorongku setiap kali aku jatuh. Mengapa itu terasa berbeda?

Aku membuka pesan Jimin lagi. "Dimana kamu Hoseok?" Beberapa jam telah
berlalu, tapi Hoseok belum menjawab. Aku bisa melihat bahwa aku telah
mengecewakannya. Rasanya seolah ada sesuatu di dalam diriku yang terjatuh dan
berdentum. Hoseok sering marah dan mendorong kami. Tapi dia tidak pernah diam atau
melihat ke arah lain. Dia adalah orang yang selalu membuka jalan bagiku untuk kembali
tidak peduli seberapa jauh aku tersesat. Tidak kali ini. Tampaknya tidak bisa dibatalkan saat
ini.

HOSEOK

7 Agustus 2022

Aku menyalakan lampu dan melihat selebaran yang melekat pada pintu rumahku.
Bunyinya "pembangunan kembali" dan "pembongkaran." Orang-orang berbicara tentang
pembangunan kembali daerah ini lagi. Selalu ada obrolan tentang merobohkan kontainer
yang melapisi rel kereta api dan bangunan liar di sebrang rel kereta api. Aku meremas
selebaran dan melemparkannya ke tempat sampah. Pembicaraan pembangunan kembali
tidak dimulai dari kemarin. Tapi itu selalu mengancam seolah pembongkaran akan terjadi
pada hari berikutnya dan kemudian surut lagi setelah beberapa saat.

Aku meletakkan tasku dan berbaring di lantai. Sudah lama sejak matahari terbenam,
tapi bagian dalam ruangan masih panas. Aku menghabiskan setiap malam disini setelah aku
mengunjungi Jungkook. Rasanya melelahkan. Hidungku sering berdarah dari waktu ke
waktu saat aku sedang mencuci muka. Tapi aku selalu datang kesini alih-alih ruangan kecil
belakang pom bensin.

Tidak ada orang lain yang membuka pintu itu dan masuk kesini. Mungkin tidak ada
yang akan melakukannya. Semua yang bertemu akan berpisah, kecuali. Ini bisa menjadi
giliran kita. Tapi, jika seseorang masih merasa perlu "Kita" untuk bersama, aku ingin
mengirimkan sinyal pada mereka bahwa aku ada disini. Aku ingin menunjukkan pada
mereka bahwa tempat persembunyian "Kami" masih ada disini dan masih menyala.
TAEHYUNG

11 Agustus 2022

Aku keluar dari toko setelah menyelesaikan pekerjaan shift ku. Aku biasanya
mengeluarkan ponsel ku, tapi tidak ada panggilan atau pesan yang tidak terjawab. Saat itu
matahari terbenam, dan jalanan dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk melintas. Aku
memasukkan kedua tangan ke dalam saku dan berjalan. Angin hangat menyapu jalan. Aku
mulai berkeringat setelah mengambil beberapa langkah. Berapa lama musim panas ini akan
berlangsung? Aku menendang tanah, merasa frustrasi.

Aku terus berjalan dengan kepala tertunduk rendah dan berhenti di depan dinding
yang tampak tidak asing. Itu adalah dinding tempat gadis itu menggambar grafiti
pertamanya. Aku langsung melihat sekeliling. Sejak malam itu ketika aku meninggalkannya
di gang dan keluar di depan lampu mobil patroli sendirian, aku belum melihatnya lagi
dilingkunganku.

Aku menemukan tanda "X" besar yang disemprotkan diatas grafiti ketika aku
mencoba menemukan jejaknya. Apa artinya itu? Berbagai gambar tumpang tindih di bawah
grafiti "X”. Bayangannya menertawakanku saat aku mencoba berbaring di rel kereta api dan
menabrak kepalaku. Dan bagaimana dia membuat aku bangkit kembali ketika aku
membantunya melarikan diri dan terjatuh. Bagaimana dia kehilangan kesabarannya saat
aku mengambil rotinya dan memakannya. Bagaimana dia tampak muram setiap kali dia
melewati studio foto dengan foto keluarga yang dipajang. Aku mengatakan padanya saat
kami menyemprot dinding ini berdampingan, "Jangan kira kamu harus memikul bebanmu
sendirian. Bagikan dengan yang lain." Tanda Raksasa "X" disemprotkan ke semua
kenangan itu. Terlihat seperti menjerit bahwa mereka semua palsu. Bahwa mereka semua
bohong. Aku tidak pernah benar-benar melihat tembok ini sejak hari itu.

Aku berbalik saat aku menemukan kalimat pendek yang ditulis dalam huruf kecil
dibawah tanda "X." 'Itu bukan salahmu' tergores ke dinding. Itu tulisan gadis itu. Aku tidak
melihat aku yang menulisnya atau mengenali tulisan tangannya, tapi aku tahu. "Itu bukan
salahmu." Itu gadis itu.

Aku ingat pada hari aku pergi secara membabi buta untuk menemukan Ibu. Aku
terus berjalan dengan panik, dipenuhi dengan kebencian yang mendidih, tapi pada akhirnya
aku tidak bisa kemana-mana hari itu. Saat berjalan pulang ke rumah dengan tangan kosong,
aku menoleh ke arah kota tempat dia tinggal. Kota itu surut dibawah cahaya pagi hari
ditimur. Aku merasa ingin menangis. Sesuatu yang dengan kuat melekat tampaknya
menyelinap melalui jari-jariku. Gumpalan perasaan bersuara keras jadi berantakan.
Rasanya sedih dan sedih sekali, seolah aku telah menyerahkan sesuatu yang tidak boleh
dilepaskan.

"Itu bukan salahmu." Kalimat itu mengingatkan ku pada apa yang aku rasakan saat
itu. Aku mulai berjalan lagi. Aku melewati lorong-lorong sempit, naik dan turun lereng yang
tak terhitung jumlahnya. Akhirnya, rumahku, Magnolia Mansion, muncul. Aku menaiki
tangga. Ketika aku berdiri di depan pintu, aku bisa mendengar napas Ayah yang berat dan
derak gelas minuman keras. Aku mencari-cari, meletakkan tanganku di pagar pembatas,
dan melihat keluar. Matahari sudah terbenam. Warna merah redupnya menghilang dari
langit yang gelap. "Itu bukan salahmu." Gumamku. Aku mengambil napas dalam-dalam,
berbalik, dan pergi ke rumahku.

HOSEOK

12 Agustus 2022

Seseorang mendorong bahuku saat aku turun dari kereta. Aku menjatuhkan tiket
yang aku pegang. Itu terjatuh ke jalur kereta api dan menyelinap ke salah satu celah. Aku
melihat sekeliling. Hari itu pertengahan musim panas ketika aku pergi dan sekarang masih
musim panas. Kereta berangkat ke stasiun berikutnya, dan menggerakkan angin.

Pada akhir bulan lalu, aku meninggalkan Songju dengan kereta api dari platform ini.
Aku menyaksikan kota yang surut dari jendela. Sejauh yang aku ingat, aku tinggal di Songju.
Aku tidak pernah meninggalkan kota ini dan tidak pernah membayangkan hidup di tempat
lain. Aku hanya pergi ke tempat burger dan ke ruang latihan sesuai jadwal. Setelah menari
selama berjam-jam, aku pulang dan terjatuh. Meskipun kotanya kecil, di Songju aku harus
pergi ke suatu tempat, suatu tempat yang aku butuhkan.

Setelah pergelangan kakiku terluka, rutinitas harianku jadi berantakan. Aku pergi
bekerja dan ke ruang latihan mengenakan gips lembut. Kondisi pergelangan kaki ku
memburuk. Dengan gips, aku harus mengambil cuti sakit. Aku hanya memiliki tiga minggu
penuh tanpa kegiatan apa-apa. Tiga minggu tanpa kerja, tanpa tarian, dan tidak ada tempat.

Aku berhasil melewati pagi dihari pertama. Hujan yang mengguyur sepanjang malam
berhenti saat fajar. Aku membersihkan rumah dan mengatur pakaian ku. Aku potong rambut
dan menyeka air hujan dari bangku di depan rumahku. Tapi aku kehabisan kegiatan untuk
dilakukan pada sore hari. Ponsel ku juga tidak berdering. Beberapa pesan hanya dari rekan
kerjaku dan anggota Just Dance semua yang masuk. Namun, tidak ada panggilan dari yang
lain. Kalau dipikir-pikir, aku selalu menjadi orang yang pertama kali menghubungi yang lain.
Aku meletakkan ponsel ku. Aku tidak ingin menghubungi mereka terlebih dahulu kali ini.
Bagaimana jika tidak ada dari mereka yang mengirim pesan? Jadilah itu. Aku ingat
bagaimana aku bertemu Yoongi pada malam sebelumnya. Apa yang aku katakan terulang
terus di kepalaku. Aku melompat berdiri dan berteriak mengirim pesan ke udara. "Dia tidak
akan ingat lagi!"

Perjalanan pulang tampak lebih jauh dari biasanya setelah aku meninggalkan Yoongi
disana. Aku harus naik lereng menggunakan tongkat. Meskipun matahari telah terbenam,
udara terasa hangat. Dan juga lembab. Aku basah kuyup ketika aku sampai dirumah. Aku
tidak menyesali dengan apa yang aku katakan pada Yoongi. Sudah waktunya dia berhenti
mengasihani dirinya sendiri. Tapi saat itu, kata-kata itu terus kembali kepadaku.

Di atap, aku bisa melihat ke bawah kota. Kereta melewati pusat kota dan menghilang
dari sudut di kaki gunung. Dengan sembarangan aku melempar pakaianku ke tas dan pergi
ke stasiun. Aku melihat-lihat daftar kota di depan loket tiket dan memilih kota terbesar
didekatnya. Aku pikir akan lebih baik untuk pergi ke kota besar. Dan begitu saja, aku
meninggalkan kota Songju.
Aku turun dari kereta setelah sekitar dua jam. Begitu aku berjalan keluar dari stasiun,
aku dihadapkan dengan persimpangan yang ramai. Barisan gedung tinggi dan orang-orang
sibuk berjalan di bawah matahari yang cerah mulai terlihat. Aku naik bus pertama yang
berhenti di depan ku.

"Dimana aku harus turun?" Supir itu menatapku seolah aku sedang berbicara omong
kosong. Seorang penumpang yang menanyakan tujuannya sendiri? Ya, aku pasti terdengar
bodoh. Setelah dua puluh menit, bus tiba di lingkungan yang tampak seperti kota tua. Aku
meletakkan tas ku disebuah toko kecil yang terhubung ke sebuah pasar yang memiliki tanda
"Wisma". Aku melangkah keluar. Aku tidak tahu ingin ke arah mana.

Aku baru saja berkeliaran di sekitar lingkungan selama dua hari pertama. Tidak ada
gedung tinggi dan distrik komersial yang terang benderang. Tempat ini mirip dengan
lingkungan ku dimana kamar atapku di lereng dulu. Aku memilih untuk meninggalkan Songju
untuk pertama kalinya dalam hidup ku dan tiba di kota lain. Mungkin ini sebabnya. Aku
mencoba untuk tidak memikirkan kota dan orang-orang yang aku tinggalkan, tapi aku
kehilangan kendali. Aku menyalakan ponsel ku dan memikirkan yang lain. Aku mungkin
telah meninggalkan Songju, tapi pikiranku masih ada disana.

Pada hari ketiga, aku memutuskan untuk pergi lebih jauh. Tapi dalam waktu kurang
dari dua puluh menit setelah aku meninggalkan pasar, pundakku mulai terasa kaku dengan
kruk dibawahnya. Keringat mengalir di punggungku dibawah terik matahari. Sebuah
bangunan batu bata merah terlihat. Itu adalah Citizens 'Hall. Sementara aku menekan
tombol pada mesin penjual otomatis, pintu auditorium terbuka dan beberapa orang keluar.
Suara musik mengalir melalui pintu yang terbuka. Aku bisa melihat seorang pria
merentangkan kakinya ke salah satu sudut panggung dengan lampu sorot menerangi
kepalanya.

Aku menuju ke auditorium sebelum aku menyadarinya. Ketika aku menutup pintu
dibelakang, aku ditinggalkan sendirian dalam kegelapan dan musik. Aku duduk dikursi
terdekat. Suara musik mengalir di udara seperti ombak. Pria di atas panggung bergerak
perlahan dan meregangkan kaki, pergelangan kaki, lengan, leher, dan bahunya.
Peregangannya, yang berlangsung cukup lama, tampak seperti sepotong koreografi nya
sendiri. Kemudian, musik berhenti. Pria yang duduk dilantai mengangkat dirinya dan
berjalan ke tengah panggung. Panggung itu tenggelam dalam kesunyian untuk sementara
waktu.

Musik dimulai lagi. Kali ini, turun dengan deras. Pria itu mempercepat dan
mengendurkan gerakannya ke musik. Lengan dan kakinya tidak hanya membentuk garis
lurus dan kurva tapi juga bentuk tiga dimensi. Satu momen mengarah ke yang lain melalui
gerakan tubuhnya yang dinamis. Gerakannya menciptakan cerita yang seperti tidak ada
habisnya. Dia menyingkirkan udara dengan tangannya dan mengirim gema melalui tanah,
yang membuat adrenalin tidak mengalir ke mataku tapi ke pikiranku.

Nada musik tumbuh semakin rendah dan menuntun pria itu ke ledakan emosi yang
lebih besar. Dia meraung dengan marah sekuat tenaga, menarik napas, dan menatap
sesuatu. Penderitaan, harapan, kegembiraan, dan ketakutannya disampaikan tanpa
tersaring. Perasaan yang belum pernah aku alami sebelumnya menyembur dan berputar
dalam diriku.
Aku tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu. Cahaya auditorium dinyalakan. Aku
hanya duduk disana tanpa bergerak. Seseorang mendekatiku dan meminta aku untuk pergi
karena para penari sedang berlatih. Orang luar tidak diizinkan tinggal di dalam. Poster
pertunjukan Dance Academy dipasang di pintu masuk Citizens Hall. Pria di atas panggung
itu tidak ada di poster. Pertunjukan dijadwalkan berlangsung lusa.

Aku kembali ke wisma dan berbaring di bangku lebar di halaman belakang. Aku
menutup mata dan memikirkan jam-jam itu di auditorium. Ini adalah pertama kalinya aku
melihat kinerja nyata secara langsung. Itu adalah pengalaman yang sama sekali berbeda
dari apa yang aku lihat melalui jendela kecil bernama YouTube. Aku mungkin lebih
terpesona karena itu hidup. Aku menelusuri kembali setiap gerakan dan gerakan yang
membuat jantung ku berdebar.

Pada saat itu, ponsel ku berdering di saku. "Dimana kamu Hoseok?" Itu adalah
pesan dari Jimin. Nomor di sebelah dengan pesan turun secara bertahap, tapi tidak ada
pesan lain yang diposting sesudahnya. Apa yang harus aku katakan? Aku selalu
menjelaskan diriku sendiri walaupun setengah bercanda, tapi aku tidak ingin kali ini. Itu
adalah pertama kalinya aku tidak menanggapi pesan yang ditujukan kepadaku. Obrolan
grup kami menjadi hening.

Aku pergi ke auditorium pada tempat yang sama keesokan harinya. Aku
bersembunyi dikegelapan dan memperhatikan gerakan pria itu. Itu adalah gerakan yang
sama, tapi menyampaikan cerita yang berbeda dan emosi yang berbeda. Siapa dia?
Bagaimana dia bisa mengekspresikan dan menyampaikan semua perasaan seperti ini?
Latihan berakhir. Aku melangkah ke lorong, aku bertemu dengan mata pria itu ketika dia
berbicara dengan staff di depan. Aku membungkuk tanpa menyadarinya. Seorang staff
mendatangiku dan berkata, "Oh, kamu orang yang kemarin."

Pertunjukan itu berlangsung pada hari berikutnya. Tapi pria itu tidak ada di dalam
daftar. Pertunjukan itu memiliki susunan empat bab, tidak tertonjolkan. Pertunjukan
berlangsung selama lebih dari satu jam, aku bertepuk tangan dan berteriak beberapa kali
dari kursiku. Tapi itu dia. Aku tidak bisa menghidupkan kembali momen luar biasa yang
mendidihkan hati ku dan membekukan tubuh ku. Tidak ada yang bisa dibandingkan dengan
gerakannya yang luar biasa. Kenapa dia tidak bergabung dengan pertunjukan? Aku
mondar-mandir di sekitar panggung setelah pertunjukan, tapi hanya ada staff dan penari
yang sibuk merapikannya.

Aku bertemu dengan tim pertunjukan lagi di stasiun kereta. Aku melangkah ke peron
untuk pergi ke kota lain dan melihat sekelompok orang berkumpul dari kejauhan. Mereka
jelas mengalami kesulitan memuat set panggung dan semua ukuran peralatan di kereta.
Aku tidak memiliki tujuan tertentu ketika aku akan pergi dan membantu mereka. Hanya saja
mereka terlihat bingung dan tidak berpengalaman dan aku terbiasa mengatur dan
memindahkan barang-barang. Para pemain menghalangiku, tapi aku lebih baik daripada
kebanyakan dari mereka yang hanya berdiri disana dengan bingung. "Kamu orang itu lagi."
Aku melihat sekeliling dan menemukan staff itu.

"Aku bahkan tidak berterima kasih dengan benar." Staff datang ke tempat dudukku
beberapa saat setelah kereta berangkat. Dia duduk di kursi sebelah dan berkata bahwa
sekitar setengah dari staff mereka telah pergi karena itu keadaan jadi kacau. Dia
menambahkan bahwa mereka tidak akan berhasil tanpa bantuanku. Dia menunjuk ke kaki
ku dan bertanya apa tidak terlalu banyak tekanan pada pergelangan kakiku. Aku hanya
melambaikan tangan.

"Ngomong-ngomong, pria yang kulihat saat latihan. Kenapa dia tidak ada dalam
pertunjukan?" Dia tampak bingung pada awalnya. Lalu dia mengangguk. "Ah, Dia. Dia
direktur artistik kita." Penjelasan staff berlanjut terus. Bagaimana dia pernah menjadi penari
yang terkenal. Bagaimana dia menderita cedera yang mengerikan. Bagaimana dia
mengalami tahun yang membuatnya putus asa dan frustrasi. "Apa kamu tahu bagian yang
paling menakjubkan? Dia akan mengejutkan semua orang jika kembali sebagai koreografer
dan sutradara." Namun cederanya itu meninggalkan dampak yang abadi. Dia tidak bisa
tampil di panggung lagi. Staff itu menghela nafas panjang. Hari mulai gelap diluar jendela.

Aku datang untuk bergabung dan tur dengan pertunjukan secara kebetulan. Aku
membantu mereka menurunkan bagasi mereka di stasiun berikutnya, dan tas ku terhanyut
dalam proses. Untungnya, aku memiliki nomor salah satu anggota staff. Aku turun di stasiun
berikutnya, kembali ke stasiun mereka turun, dan menuju ke penginapan mereka, Sudah
larut malam. Aku diundang untuk menghabiskan malam bersama para staff. Aku sarapan
bersama mereka keesokan paginya dan pergi ke Pusat Kebudayaan Distrik, yang
merupakan lokasi mereka berikutnya.

Usulan staff untuk bergabung dengan mereka dan melakukan tur bersama pastilah
sebagian itu sebagai lelucon. Aku juga setengah bercanda menimpali. Pada saat itu,
latihannya dimulai. Aku mengawasinya dengan kosong. Dan kemudian aku bertanya pada
mereka. "Bisakah aku benar-benar pergi bersamamu?"

Aku berkeliling di tiga kota dengan mereka. Kami naik bus atau kereta api, turun,
membongkar di sebuah motel, mengisi makanan di mulut kami, memeriksa panggung
ditempat pertunjukan, kembali ke motel, dan naik bus atau kereta lagi. Pria itu menggeliat
dan berlatih setiap hari dimana pun dia berada. Dia tidak pernah melewatkan satu hari
meskipun dia tidak akan tampil di atas panggung.

Aku berteman dengan staff dan penari. tarian mereka dan tarianku berbeda, tapi
kami berbagi hasrat untuk mengekspresikan apa yang kami rasakan melalui gerakan. Kami
berbicara tentang menari di kereta dan sambil menunggu bus. Kami saling bercerita tentang
penari favorit kami dan menonton video mereka bersama.

Aku akhirnya harus bicara dengannya ketika aku menunjukkan kepada staff sebuah
video latihan Just Dance.

"Kamu penari?" Aku melihat sekeliling dan dia berdiri disana. Aku berdiri, sedikit
membungkuk. Aku melihat pria itu. Aku bingung harus bagaimana menjawab
pertanyaannya. Aku ragu untuk mengakui di depannya bahwa aku juga seorang penari.
"Kamu penari." Dia berkata, menunjukku di video. Begitulah caraku datang untuk berbicara
dengannya. "Kenapa kamu suka menari?" Aku dengan gugup mengecam akhir kalimatku.
"Yah, itu ... kamu tahu ..." Pria itu bertanya padaku ketika aku pertama kali mulai menari.
Aku mengatakan padanya bahwa itu adalah pertunjukan bakat di sekolah ketika aku berusia
sekitar dua belas tahun.
Teman-teman sekelasku menyeretku ke atas panggung. Tubuhku bergerak secara
langsung. Aku semakin bersemangat dengan tepuk tangan dan sorak-sorai penonton. Aku
tidak bisa memikirkan hal lain. Aku baru saja bergerak spontan. Setelah musik berakhir, aku
melihat ke depan, menyapukan jari-jariku ke rambut yang basah oleh keringat. Aku merasa
seolah-olah telah membuang semua benjolan yang menyumbat hatiku. Rasanya
menyegarkan dan bermanfaat. Butuh waktu lama bagi aku untuk menyadari betapa
menggembirakannya, dan perasaan itu tidak datang dari tepuk tangan hadirin, tapi dari
lubuk hatiku yang terdalam.

Pria itu menunjuk ke arahku di video dan berkata bahwa dia menyukai gerakanku,
"Tidak semua penari bisa bergerak seperti ini." Aku menyaksikan diriku sendiri di video. Aku
suka bagaimana penampilanku saat aku menari. Aku bisa terbang ke udara dari tanah dan
membebaskan diri dari mata dan tolak ukur dunia. Tidak ada yang penting bagiku kecuali
menggerakkan tubuhku ke musik dan mengomunikasikan perasaanku melalui tubuhku.
Diluar panggung, Aku terikat oleh banyak hal. Aku tidak bisa tinggal di udara dengan kakiku
yang jatuh ke tanah. Aku harus tersenyum dan tertawa bahkan ketika aku sedih. Aku
biasanya jatuh di jalan, minum obat yang tidak aku butuhkan. Ada saat-saat dimana aku
bisa mengungkapkan siapa aku sebenarnya. Saat-saat ketika aku percaya aku bisa bahagia
lagi. Saat-saat ketika aku bisa melepas semua yang membebaniku dan melambung tinggi.
Saat-saat aku bisa mencapai ketinggian diluar panggung yang tak terbayangkan. Menari
memberi ku saat-saat itu.

"Aku mendengarmu mengalami cedera serius." Pria itu menatapku. Aku tahu aku
bersikap lantang, tapi aku harus bertanya ini kepadanya. Pria itu memandangi para
pemainku dan membuka mulutnya. "Tinggi itu penting. Tapi begitu juga kedalaman. Kamu
harus mencapai dasar. Kamu harus turun sampai kamu tidak bisa turun, sampai kamu
merasa seperti akan mati lemas karena keputusasaanmu. Maka, kamu harus melarikan diri
dari itu. Yang penting adalah menemukan kekuatanmu. Dengan kata lain, kamu harus
menemukan apa yang membuat pasir menjadi kuat lagi. Begitu kamu menemukannya,
jangan pernah melepaskannya. Itu bisa orang atau keinginan. Itu bisa jahat dan menjijikkan.
Tapi tetaplah berpegangan pada itu." Itu adalah percakapan pertama dan terakhir kami. Tur
berlanjut, tapi aku tidak punya kesempatan lagi untuk berbicara dengannya. Aku
menyaksikannya berlatih setiap hari dan memikirkan apa yang dikatakannya. Dalam.
Keputusasaan tergelapku. Apa yang membuatku berdiri teguh lagi dari keputusasaan itu.

"Kamu tinggal di Songju? Direkturnya juga dari sana." Seorang staff mengatakan ini
kepadaku ketika aku sedang melihat selebaran promosi di ruang tunggu stasiun kereta.
Festival kembang api di tepi Yangjicheon di Songju. 30 Agustus. Sepanjang ingatanku, aku
melihat festival itu setiap tahun. Itu diadakan pada akhir setiap musim panas. Ketika aku
tinggal di panti asuhan, kami semua naik ke atap dan menyaksikan kembang api melonjak
ke langit malam dan mandi kembali. Setelah aku meninggalkan panti asuhan, aku tinggal
dilantai paling atas rumah multifungsi di lingkungan tertinggi di Songju. Itu adalah tempat
yang sempurna untuk menonton kembang api. Meskipun agak jauh dari pemandangn
kembang api, tapi memberikan pandangan luas, tanpa gangguan.

"Apa kamu berubah pikiran semalam?" Staff bertanya kepadaku. Dialah yang
menyarankan agar aku bergabung dengan staff beberapa hari yang lalu. "Kami pikir kamu
dapat diandalkan dan berbakat." Anggota staff lainnya setuju dengan antusiasku. Beberapa
bahkan bertepuk tangan. Aku hampir mengatakan ya. Aku menjadi terikat dengan mereka
tanpa menyadarinya. Touring adalah pekerjaan yang sulit, tapi aku menikmati setiap saat,
bahkan berbaring di tempat tidur di malam hari sambil mengerang. Pergelangan kakiku akan
sembuh secara bertahap ketika aku terus bekerja dengan mereka dan menampilkan lebih
banyak pertunjukan. Mungkin aku bisa mengikuti audisi dan terpilih sebagai anggota resmi
dan tampil di atas panggung. Mungkin aku bisa menerima pelatihan dari pria itu dan belajar
lebih banyak tentang kedalaman. Aku mulai berpikir ini mungkin tempat aku seharusnya.
Staff menyuruhku untuk tidur di atasnya, dan aku memberikan jawaban ku tadi malam. Aku
mengucapkan terima kasih atas sarannya dan mengatakan padanya bahwa aku harus
kembali. "Apa kamu yakin?" Dia bertanya sekali lagi. Mengambil tas ku, aku menjawab,
"Aku harus pergi untuk melepas pakaianku."

Aku naik kereta di jalur yang berlawanan. Aku akan tiba di Stasiun Songju dalam dua
jam. Rasanya mendebarkan. Aku belum terdorong untuk mencapai titik psikologisku. Itu
mungkin tidak pernah terjadi. Tapi aku memikirkan beberapa saat setelah percakapan
dengan pria itu. "Aku tidak akan menghubungimu lagi. Kau jalani hidupmu sendiri. Jangan
pernah kembali." Mungkin Yoongi merasa terpukul pada hari itu. "Hoseok." Aku berbalik dan
berjalan, dan dia memanggilku. Aku tidak melihat ke belakang. Aku meninggalkannya ketika
dia sedang tercekik karena keputusasaannya sendiri, aku melarikannya.

"Apa kamu baik-baik saja?" Aku mengirim pesan ini setelah banyak kebencian.
Kenangan hari itu semakin membebaniku setiap hari. Pesan Jimin masih terposting di
obrolan. "Dimana kamu Hoseok?" Aku mengirimi Yoongi pesan di obrolan lain hanya berisi
kami berdua.

Jawabannya datang saat fajar. Aku bangun, dikejutkan oleh getaran ponsel ku.
Nama Yoongi muncul dilayar. Dia mengirimiku file musik. Aku memakai earphone dan
memainkan file musiknya. Aku mendengarkan musiknya dengan mata terpejam, berbaring
di tempat tidur. Itu sangat indah dan tidak seperti apa yang pernah dibuatnya. Sukacita dan
keputusasaan terpotong di tengah kesedihan, dan lautan biru bergerak di balik gurun.
Bunga-bunga bermekaran dan layu, dan uang kertas melompat dan jatuh dengan cepat
pada menit berikutnya. Itu menyerupai Yoongi.

Aku bertanya apa judulnya, tapi dia menjawab dengan pertanyaan lain. "Kapan kau
kembali?"

Stasiun kereta sepi di tengah hari. Orang-orang yang membawa koper besar turun
ke peron untuk naik kereta yang melaju. Mereka mengingatkanku pada diriku saat hari aku
pergi. Aku mengenakan apa yang aku kenakan hari itu dan membawa tas dengan berat
yang sama. Tapi pergelangan kakiku pasti sudah sembuh. Bukan satu-satunya hal yang
telah disembuhkan. Aku membuka obrolan grup kami di ponsel ku dan memposting pesan.
"Apa kabar teman-temanku! Aku kembali! Bagaimana kabar kalian semua?"

HOSEOK

13 Agustus 2022

Aku mampir ke ruang latihan Just Dance untuk pertama kalinya. Aku bertemu
dengan suara musik yang keras, udara dipenuhi dengan bau keringat, dan ruangan yang
penuh adrenalin. Jantungku berdebar setiap kali aku datang kesini. Setelah menerima salam
keras dan berisik dari para anggota, aku duduk di dekat dinding dan menyaksikan mereka
berlatih. Kapan aku bisa menari lagi? Aku tidak sabar dan juga senang. Aku memikirkan
tarian pria itu. Apa aku bisa menari seperti dia suatu hari nanti? Pada saat itu, seseorang
datang mendekat dan duduk di sebelahku.

Itu adalah gadis itu. Dia menepuk pundakku, tersenyum, dan berkata, "Darimana
saja kamu? Apa kamu bersenang-senang sendirian?" Kami berdua di cermin duduk
berdampingan bersandar di dinding. "Bagaimana kabarmu?" Dia membuat ekspresi seperti
mencela ku untuk pertanyaan retoris seperti itu. Aku melanjutkan, menatap diriku di cermin.
"Apa aku sudah memberitahumu tentang ibuku?" Aku selalu mengulanginya ratusan kali.
Tapi dia selalu mendengarkan ceritaku dengan antusias. "Dia pasti hidup bahagia di suatu
tempat kan? Lalu aku akan baik-baik saja. Bahkan jika bahagia kita tidak pernah bertemu
lagi, tidak apa-apa jika kita berdua bahagia."

Dia menatapku. "Dan kupikir kamu mirip dengan ibuku. Tapi kamu bukan. Aku sibuk
mencari tahu ini." Dia tampak bingung. Aku tertawa kecil dan terus berbicara. "Jadi, kapan
kamu pergi? Tidak, bukan itu yang akanku katakan. Tapi Selamat. Itu adalah mimpimu." Dia
menundukkan kepalanya dan mengangkatnya lagi. "Maaf.. Seharusnya aku memberitahumu
dulu." "Jika kamu menyesal, belikan aku makan. Aku akan mengadakan pesta perpisahan
yang sangat bagus nanti."

Aku sengaja tersenyum lebar dan membuat kebisingan. "Mari kita bertemu lagi suatu
hari nanti sebagai penari yang terkenal. Bekerja keras lah. Karena aku tidak akan
membiarkanmu mengalahkanku." Dia mengangguk. Kami berdua di cermin duduk
bersebelahan bersandar di dinding.

SEOKJIN

15 Agustus 2022

Aku melihatnya untuk pertama kali di dekat jalur kereta api. Itu sekitar sebulan yang
lalu pada hari yang sama. Aku pergi menemui Jungkook di rumah sakit tapi disana hanya
sekitar sepuluh menit. Aku bahkan jarang berbicara dengan Jungkook ketika aku disana.
Untuk beberapa alasan, Jungkook tegang dan terus melindungiku. Tidak ada pesan yang
diposting di obrolan grup kami. Pesan Hoseok, yang mengatakan dia tidak akan
berhubungan lagi, adalah yang terakhir. Aku merasa pesan itu ditujukan pada Yoongi. Tapi,
setiap kali aku membacanya, sepertinya itu ditujukan kepadaku untuk beberapa alasan.

Aku meninggalkan rumah sakit dan berjalan membabi buta. Aku menyadari setelah
beberapa waktu bahwa aku berada di depan perlintasan kereta api. Bar penyeberangan
turun, dan aku bisa melihat kereta mendekat dari kejauhan. Itu mengingatkanku pada saat
aku naik pesawat sendirian di masa kecilku. Mungkin terdengar konyol, tapi serupa. Apa
yang kuharapkan? Apa pun itu, bukankah aku harusnya mengharapkan sesuatu seperti itu?
Apa rasa memiliki itu tidak lebih dari sebuah ilusi? Apa kekosongan ini? Apakah aku
sendirian? Apa kesalahan yang telah aku perbuat? Kereta pikiran ini berlanjut dengan angin
kencang yang digerakkan oleh kereta yang sebenarnya lewat.
Kereta menghilang dari pandangan secepat itu. Bar naik dan persimpangan terbuka
lagi. Dia berjalan ke arahku, berenang melawan aliran udara yang dibawa oleh kereta. Dia
menjatuhkan buku hariannya saat dia lewat di sampingku. Dalam buku hariannya ada daftar
keinginannya: mengikuti kelas bahasa Italia, mengikuti program menginap di kuil, menjadi
sukarelawan di tempat penampungan hewan, mengikuti kursus barista, dan berbagi
earphone dengan pacarnya sambil berjalan-jalan.

Smeraldo adalah salah satunya. Dibawah kliping majalah Smeraldo adalah paragraf
berikut:

Cinta bukan terutama tentang hubungan dengan orang tertentu; itu adalah sikap,
yang menentukan keterkaitan seseorang dengan dunia secara keseluruhan. Jika aku benar-
benar mencintai satu orang, aku juga mencintai semua orang, aku juga mencintai dunia, aku
juga mencintai kehidupan. Jika aku bisa mengatakan kepada orang lain, "Aku mencintaimu,"
aku harus bisa mengatakan, "Aku mencintaimu ke semua orang, aku mencintaimu melalui
dunia, aku juga mencintai diriku." -Dari Seni Mencintai oleh Erich Fromm

Aku melakukan banyak hal dengannya selama satu bulan. Kami berjalan-jalan,
berbagi earphone, dan mendengarkan musik seperti yang diinginkannya dan menjadi
relawan bersama di penampungan hewan. Kami tidak dapat menginap di kuil, tapi kami naik
bus dan melakukan pemberhentian terakhir dan menghabiskan waktu di kafe favorit kami.

Smeraldo adalah bunga yang dikatakan hanya tumbuh di bagian utara Italia. Aku
mampir disebuah toko bunga besar di dekatnya, tapi tidak ada yang pernah mendengar
tentang bunga itu. kemudian aku menemukan toko bunga kecil ini masih dalam
pembangunan. Itu di sudut sebelah kiri setelah menyeberangi jembatan ke Munhyeon.

Aku tidak memiliki harapan yang tinggi ketika pemilik, yang telah mengatur beberapa
dokumen di satu sudut, mendekatiku. Setelah mendengar nama bunga itu, pemilik itu
menatapku lama sekali dan memberitahu aku bahwa ia akan bisa mengirimkan bunga itu,
walaupun tokonya belum dibuka secara resmi. "Kenapa harus bunga itu?"

Dia tidak tahu bahwa aku memiliki buku hariannya. Dia tidak akan pernah bisa
membayangkan bahwa aku mengikuti daftar di buku hariannya untuk semua hal yang telah
kita lakukan bersama selama sebulan terakhir. Aku tidak mengembalikan buku hariannya
atau mengatakan padanya bahwa aku memilikinya. Aku tahu itu salah. Aku tahu aku hampir
menipu dia. Aku mencoba membersihkan diri beberapa kali, tapi aku takut. Aku takut dia
akan meninggalkanku seperti teman-temanku. Aku takut hatinya akan menjadi dingin begitu
dia melihat kesalahan, kebodohan, dan ketakutan ku.

Aku ingin membuatnya bahagia. Aku ingin membuatnya tertawa. Setiap kali aku
membuatnya bahagia, rasanya seolah aku menjadi orang yang lebih baik. Rasanya seolah
kekuranganku tidak terlihat. Aku hanya punya satu hal lagi untuk dipersiapkan. Itu adalah
bunga yang berarti "kebenaran yang tak terungkap"(The Truth Untold) dalam bahasa bunga.

Pemilik toko itu kelihatannya bingung atas permintaanku untuk mendapatkan bunga
Smeraldo pada tanggal 30 Agustus dan mengatakan bahwa akan sulit menemukannya pada
saat itu. Tapi pasti hari itu. Pameran kembang api dijadwalkan berlangsung di Yangicheon
Stream. Dia menyukai langit malam. Aku berpikir aku akan mengakui cintaku padanya ketika
kembang api meledak ke langit malam. Aku berpikir untuk menghadirkan bunga
kesukaannya dan mengungkapkan hati ku pada waktu favoritnya di tempat favoritnya.

TAEHYUNG

29 Agustus 2022

Itu adalah ide Hoseok untuk bersama-sama melihat kembang api. Setelah kembali,
obrolan grup kami mulai berdengung dan bersenandung lagi. Kami memberi tahu dia
bagaimana kami merindukannya dengan cara mencela dan ramah, dan Hoseok menjawab
dengan main-main bahwa kami seharusnya menyadari pentingnya keberadaannya
sebelumnya.

"Pastikan untuk datang ke pesta kembang api." Kita semua mengatakan yaa.
Namjoon akan tiba setelah shift pekerjaan paruh waktunya, dan Seokjin juga berjanji untuk
datang, walaupun terlambat, setelah pengangkatannya. Aku teringat akan mimpiku ketika
aku melihat pesan itu. Seorang wanita terbunuh dalam suatu kecelakaan dengan Seokjin
mengawasinya. Mimpi itu berakhir dengan kembang api. Kelopak api berwarna putih
mengalir turun dari langit malam.

Aku menggelengkan kepalaku untuk mengabaikan pemikiran ini. Tempat pertemuan


kami adalah kontainer Namjoon. Terkadang aku berjalan ke arahnya ketika aku tidak bisa
tidur di malam hari atau saat Ayah mabuk dan bertingkah. Aku tidak berjalan ke pintu atau
berkata lama seperti dulu. Aku hanya akan berbalik ketika melewati stasiun kereta api untuk
melihatnya.

Tapi kontainer itu menyala setiap waktu. Aku tidak menyadari betapa anehnya hal itu
sampai baru-baru ini. selalu menyala bahkan ketika dia pasti tertidur. Aku menyadari bahwa
itu adalah sinyal bagi kami untuk datang kapan saja. Aku tidak tahu. Itu hanya asumsiku
saja. Tapi aku percaya diri. Tetap saja, aku tidak bisa mengetuk pintu dan langsung masuk
karena aku tidak tahu harus berkata apa. Kembang api besok. Aku akan pergi tepat waktu
jika pergi segera setelah aku menyelesaikan pekerjaanku.

YOONGI

30 Agustus 2022

Aku turun dari bus dan berjalan di sepanjang jalur kereta api. Kontainer muncul dari
kejauhan. Aku melihat Taehyung dari jendela bus dalam perjalanan kesini. Dia juga berjalan
ke arah kontainer. Yang lain juga pasti datang.

Aku menyelesaikan bagian itu beberapa hari yang lalu. Aku mengubah versi yang
aku kirim ke Hoseok beberapa kali lagi. Aku memberinya judul "Harapan."(Hope).
Sejujurnya, judul itu tidak benar-benar cocok dengan karya itu. Itu mengandung rasa takut,
pengecut, dan inferioritas ku. Itu berisi semua momen yang aku coba hindari, menjauh, dan
menegur diriku sendiri. Tapi aku tidak dapat memikirkan kata lain yang dapat mencakup
semuanya.
Kontainer Namjoon muncul. Seseorang berdiri di depan. Wajahnya tidak terlihat tapi,
berdasarkan fisiknya, itu JiMin. Aku berhenti dan melihat sekeliling ketika seseorang
memanggilku dari belakang. Seseorang itu melambai padaku di depan kontainer pertama.

SEOKJIN

30 Agustus 2022

Aku menerima buket Bunga Smeraldo pada menit terakhir. Sudah melewati waktu
yang ditentukan, dan aku melihat arlojiku dengan tidak sabar. Untungnya, truk pengiriman
muncul sebelum dia melakukannya. Pemilik toko bunga mengendarai truk dengan logo
Flower Smeraldo di sampingnya.

"Maaf. Festival kembang api menghalangi jalanku."

Setelah truk pergi, aku tidak menemukan kartu di karangan bunga, yang aku pesan
dengan bunganya. Aku langsung menelepon pemiliknya.

"Ah, aku akan putar balik sekarang. Lampu baru saja berubah."

Sebelum pemilik menyelesaikan kalimatnya, dia muncul, berjalan ke arahku dari


persimpangan yang jauh dari kejauhan.

JUNGKOOK

30 Agustus 2022

Aku tiba di kereta api sangat awal. Udara mendingin setelah matahari terbenam, dan
gelap. Aku berpikir untuk masuk ke dalam kontainer tapi memutuskan untuk duduk di salah
satu sudut peron di seberang jalan kereta api. Sudah lama sejak kita semua bertemu.
Perasaan campur aduk melebihi sukacita dan harapan. Aku selalu teringat akan hari
kecelakaan itu.

Jimin adalah yang pertama tiba di kontainer. Dia membuka pintu, memeriksa ke
dalam, tapi tidak masuk. Aku melompat dari peron dan menyeberang rel lagi. Yoongi muncul
pada saat itu, berjalan perlahan dengan mata tertuju ke tanah, dan melihat ke belakang.
Ada Hoseok di belakangnya, penuh dengan tas di kedua tangannya. Aku merasa gugup dan
gelisah. Aku senang bertemu mereka. Tapi aku tidak bisa menikmati momen ini dengan
bebas. Aku sudah menunggu begitu lama untuk saat ini tapi ingin berbalik pada saat yang
sama. Set pertama kembang api meledak ke udara tanpa peringatan. Api putih melonjak ke
tengah langit malam dan meledak menjadi jutaan kelopak bunga yang berkilau dengan
suara letupan besar.
SEOKJIN

30 agust 2022

Truk pengiriman tiba-tiba berhenti setelah berbelok. Lampu depannya menyala. Aku
hanya berdiri disana tak berdaya di tengah-tengah tabrakan, terpental, dan jatuh. Aku tidak
bisa mendengar atau merasakan apa pun untuk sesaat. Hari itu musim panas, tapi angin
terasa dingin. Kemudian aku mendengar sesuatu memukul dan berguling-guling di jalan.
Aroma bunga menggelitiki hidungku. Aku kembali ke kenyataan. Buket Bunga Smeraldo
jatuh dari tanganku. Dia berbaring di tengah jalan. Darah mulai menyebar dari bawah
rambutnya yang acak-acakan. Darah merah gelap mengalir di jalan.

Dengan letupan keras, set pertama kembang api meledak ke udara di langit malam
dari kejauhan. Di suatu tempat, aku mendengar pecahan cermin.

EPILOGUE
MIMPI BURUK

TAEHYUNG

11 April 2022

Fajar datang saat aku bangun. Bau dan dengkuran Ayah yang akrab mengalir dari
kamarnya. Udara suram di sisi lain potongan kaca bening masuk ke pintu depan mengacak-
acak. Hanya perlu tiga langkah dari pintu masuk sempit tempat sepatu berserakan di kamar
tidur utama. Aku mulai tidur disana karena aku tidak tahu kapan.

Aku merasakan tekanan di punggung dan bahuku ketika aku mengangkat diri. Aku
melangkah keluar dengan segelas air di tanganku. Dengan ceroboh aku menyelinap ke
sepatu apa saja dan berjalan perlahan. Aku melewati kantor polisi, gang, dan jembatan
penyeberangan, dan kereta api diluar mulai terlihat. Itu sebelum matahari terbit, dan jalan
terbenam dalam keheningan tanpa mobil keluar. Muntahan seseorang dari tadi malam
sangat bau. Aku berjalan di sepanjang jalan kereta api. Satu, dua, tiga, empat. Aku berhenti
di depan kontainer keempat dari ujung. Itu milik Namjoon. Aku meraih gagang pintu dan
berhenti. NamJoon pasti tertidur sekarang. Dan apa yang aku lihat tadi malam dalam
mimpiku pasti tidak lebih dari mimpi buruk.

Aku menyesap air dan berbalik. Stasiun dan jalan kereta api yang bobrok, rumah-
rumah yang ditinggalkan, pohon-pohon dan rumput liar yang tumbuh dengan sembarangan
diantaranya. Sebuah plastik hitam bergulir ke arahku dan kemudian terbang ke udara.
Tempat itu lingkungan yang miskin.

Dalam mimpiku, tempat ini diselimuti api. Seluruh pemandangan itu tampak
berkilauan dan melambai. Mungkin karena panas atau mungkin karena aku bermimpi.
Jeritan seseorang, semacam suara tabrakan, suara tangisan, dan suara sesuatu yang
hancur datang bersama-sama dan membanjiri pikiranku. Gambar yang berkilauan dari
kejauhan tiba-tiba mendekat dengan kecepatan penuh. Aku merasa mual dan menutup
mata, tapi itu hanya mimpi. Aku tidak bisa menyingkirkan mereka dengan menutup mata.

Pandanganku, yang pertama dihalangi oleh api, mendorong orang-orang yang berdiri
dengan punggung menghadapku pada menit berikutnya, dan kemudian berhenti tiba-tiba.
Satu, dua, tiga, empat. Kontainer keempat adalah milik NamJoon. Pintunya jatuh. Ada noda
darah. Api melonjak ke dalam. Orang-orang minggir satu per satu. Lantai mulai terlihat.
Namjoon terbaring disana. Seseorang berteriak. "Dia meninggal."

Aku membuka mata ku untuk melihat langit-langit rumahku. Aku bisa mendengar
dengkuran Ayah. Itu semua hanya mimpi. Telapak tanganku tiba-tiba terasa sakit. Aku
menyalakan air keran dingin dan mengulurkan telapak tanganku. Rasanya mati rasa
dibawah semburan air. Aku mengisi cangkir dengan air dan meminumnya. Itu adalah mimpi.
Mimpi buruk.

Anda mungkin juga menyukai