Anda di halaman 1dari 11

Gwiyeoun, Saranghae

Cerpen Karangan: Hye Kim


Kategori: Cerpen Korea
Lolos moderasi pada: 14 April 2021

Hari itu cuaca sangat dingin, salju mulai berjatuhan mengenai rambutku dan jaket
tebalku ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.50, sebentar lagi pukul 23. Namun, aku
masih berada di sini, di bangku taman yang sepi dan dingin ini.

Ketika aku sedang melamun di tengah dinginnya cuaca ini, datang seorang gadis.
Gadis itu tidak cantik, tidak juga tinggi. Namun, saat ia menyapaku, kulihat wajahnya yang
begitu imut dan manis. “anyeonghaseyyo.. nae ileum-eul Lee Hye Ryeon-ibnida”. Aku masih
menatapnya, akhirnya aku membalasnya, “ah…, mianhae, naneun Kim Jae Ri-ibnida. Sedang
apa kau di sini? Ini sudah terlalu larut untuk gadis sepertimu”
“aniya, aku hanya ingin berjalan jalan saja”. kami mengobrol cukup lama, aku merasa
nyaman bicara dengannya. Kupikir aku menyukainya walau baru bertemu. “ini pakai jaketku,
pakaianmu itu tidak cukup menghangatkanmu”, aku memakaikan jaketku untuknya. “ah.. ani
ani.. kau tak perlu repot repot seperti itu, aku akan pulang sekarang. Nanti malah kau yang
kedinginan”. “gwenchana hye ryeon-a, aku bisa menahannya. Kau lebih membutuhkannya
daripada aku”. “gomawo”, katanya dengan memberikan senyuman manis yang baru pertama
kulihat. “ne. Arasseo, kajja kita pulang sekarang. Ini sudah terlalu larut”.

Selama musim dingin berlalu, aku menunggunya di tempat ini. Namun ia tak kunjung
datang. Apakah hanya malam itu perjumpaan pertama, juga terakhir kita?
Padahal aku belum sempat menyatakan perasaanku padanya.

Gwiyeoun.. saranghaeo

DAFTAR PUSTAKA
http://cerpenmu.com/cerpen-korea/gwiyeoun-saranghae.html
MUSIM
Cerpen Karangan: Dimas Ayu Subekti
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Patah Hati
Lolos moderasi pada: 14 April 2021

Lima belas hari lagi. Jantungku semakin berdebar tanganku mulai berkeringat setiap kali
melihat susunan tanggal tanggal di kalender yang menggantung tegak lurus di tembok
kamarku. Suara kerumunan manusia yang didominasi kaum hawa terdengar sampai kamarku.
Aku memalingkan wajah dari susunan tanggal tanggal dengan senyum selebar matahari dan
menemui semua orang di rumahku.

“Berisik banget padahal masih pagi.” Candaku.


“Kalau nggak berisik nggak seru.” Celetuk salah satu ibu sambil menggulingkan adonan ke
tumpukan wijen.
“Calon suaminya orang mana neng?”
“Calon suami saya? orang baik baik bu.”
Para ibu tertawa terbahak bahak mendengar jawabanku.

Hidungku terganngu dengan aroma seperti sampah busuk dan terasa lengket di semua penjuru
tubuhku. Otakku sudah mengirimkanku signal agar kakiku terus melangkah melewati
kerumunan ibu ibu dengan hati hati untuk menyegarkan tubuhku dengan mandi daripada
meneruskan pembicaraan yang tanpa ujung.

Selesai mandi dengan sabun berorama sakura membuatku lebih segar. Lebih segar lagi ketika
dua bola mataku menyaksikan notifikasi dari seorang yang menurutku sedingin es tapi juga
sehangat matahari.
“Sayang, aku on the way.”
Wajahku memerah tanganku seperti mati rasa begitu membaca pesan dari calon suamiku.

Hari ini kami akan pergi untuk fitting baju pengantin dan mengambil foto prewedding. Di
depan meja rias yang dipenuhi make up pikiranku seakan traveling membayangkan apa saja
yang terjadi nanti. Jari jemariku mulai menyentuh peralatan make up dan mengaplikasikan
secara perlahan pada wajahku.

“Dorr!!” Pintu terpelanting keras ke dinding.


“Huh… jangan suka ngagetin orang!” aku meraba dadaku.
“Ada kak Dito di ruang tamu.” Sambil membanting dirinya ke kasur.

Aku segera mempercepat langkahku ke ruang tamu dan kudapatkan seorang lelaki dengan
hidungnya yang selancip duri mawar dan wajah yang sedingin es sedang diterpa sinar
matahari yang melewati ventilasi rumahku membuatnya seperti lelaki paling tampan di dunia.

“Kamu dandan lama banget kayak siput.”


“Kamu mau kan punya calon istri cantik.”
“Ya mau.”
“Ya harus sabar.”
“Ya sudah, ayo berangkat.” Dito berdiri dan menggandeng tanganku.

Saat berhenti di lampu merah mataku tertuju pada suara bising keributan yang menggelegar
antara lelaki dan perempuan. Kuperhatikan mereka dengan seksama. Perempuan berambut
pendek sedang berbicara dengan sangat cepat hingga urat lehernya terlihat kepada laki laki
tinggi berkulit sawo matang yang sedang menggandeng perempuan lain berambut panjang
yang memegangi perutnya yang membuncit.

“Mereka nggapain lagi ribut di jalan.” Kata Dito sambil mengusap lututku.
“Kayaknya yang laki laki selingkuh sampai buat anak orang hamil de…” Aku masih terus
memperhatikan.
“Sok tahu kamu…”
“Lihat aja sendiri! kamu jangan gitu ya yang…” Aku mengelus pundak Dito.
“Gak mungkin. Aku sayangnya cuma sama kamu.”
“Semoga saja. Ayo jalan lampunya sudah hijau.”

Gas motor ditarik perlahan. Selama perjalan otakku masih teringat dengan kejadian yang
ditangkap bola mataku. “Jika lelaki tadi benar selingkuh semoga saja hal itu tidak terjadi
padaku.” Begitulah gerutuku dalam hati. Entah mengapa hati dan perasaanku menjadi tak
tenang. Firasat? semoga saja tidak.

Setelah perjalan yang membuat pikiranku menjadi traveling akhirnya kita sampai di butik
yang luasnya seluas gurun sahara. Ketika memasuki butik pelangi bulu badanku sampai
berdiri karena dinginnya seperti es tujuh tingkat. Mataku terpana dengan kerlap kerlip yang
menghiasi gaun warna warni yang terpajang di patung pada setiap sudut butik ini.

“Mbak Rena sudah datang. Mas Dito dimana?”


“Mas Dito masih di motor lagi telepon sama temennya.”
“Kalau gitu mbak Rena duluan fitting bajunya.”

Tangan putih nan lembut mbak butik merangkul pundakku diiringi hentakan hak tinggi warna
merah muda. Mbak butik mengajakku ke ruaang ganti. Gaun berwarna putih awan dengan
mutiara di seluruh bagian menarik perhatianku. Kukenakan gaun putih itu dengan hati hati.
Bibirku otomatis menyunggikan senyum ketika melihat pantulan bayanganku di cermin.
Senyumku memudar aku memalingkan kepala ketika telingaku terusik dengan suara keras
dari Dito.

“Sayang, kamu marah marah?”


“Ma.. marah marah? salah denger kamu.” Keringat mengucur deras didahinya. Dito gugup.
“Terus kenapa gugup gitu?” Aku mendekatkan wajahku padanya.
“Eh… kamu cantik banget pakai gaun itu.” Dia mendorongku menjauh.
“Gausah ganti topik. Telepon siapa kamu sampai marah marah gitu?”
“Bukan siapa siapa. Aku fitting dulu, kamu tunggu sini!”

Ada yang tidak biasa dengan sikap Dito. Aku mencoba menyangkal perasaan yang
mengganggu itu. Suara notifikasi dari telepon Dito yang tergeletak persis di samping tasku
membuat tanganku gatal untuk membukanya. “Dito, kamu harus tanggung jawab!” pesan itu
membuat mataku tidak berkedip. Tanganku bergetar hingga membuat telepon itu jatuh. Aku
terkejut, kakiku lemas hingga membuatku jatuh ke lantai.

“Mbak Rena kenapa? mas Dito! Mas Dito!” mbak butik berteriak hingga membuat semuanya
panik.
“Sayang kamu kenapa?”
“Aku mau pulang… aku mau pulang.”
“Iya kita pulang sekarang.”

Ada sekat tak terlihat antara aku Dito. Kami pun menjadi sedingin es kutub saat di jalan. Tak
ada satu kata pun terucap dari mulutku dan Dito. Sampai akhirnya aku meminta Dito untuk
menepikan motornya di trotoar dekat penjual bakso.

“Laper sayang?” turun dari motor.


“Iya. Aku juga mau tanya sesuatu sama kamu.” Duduk di kursi penjual bakso.
“Bang, bakso dua. Satu pedas satu biasa aja.” Teriak ke abang bakso
“Kamu selingkuh kan?”
“Kamu lagi sakit kan? ayo pulang aja!” Berdiri dan menggandeng tanganku.
“Jujur sama aku.” Aku menangkis tangannya.

Dito mempermainkan ibu jarinya tanda sedang gelisah. Kepalanya hanya tertunduk. Dia tidak
berani menatap mataku. Belum selesai aku menginterogasinya teleponku berdering. Teman
terdekatku menelepon dia membuatku terkejut atas pernyataanya. Aku mengerutkan kening
dan tanganku menggennggam kuat seperti akan menonjok Dito.

“Dasar berengsek!”
“Kamu ngomong apa sih sayang?”
“Bisa bisanya kamu selingkuh sama sahabatku terus dia hamil anak kamu!”
“Aku bisa jelasin sayang.” Dito mencoba memelukku.
“Sayang… sayang…. kamu jelasin aja ke orangtuaku.” Melepaskan pelukan Dito.
“Taksi!” tanganku melambai ke arah taksi dan membuang cincin pertunangan di jalan.

Aku pulang ke rumah dengan tangisan yang menggemparkan alam semesta. Aku bersimpu,
menunduk dan memeluk erat ibuku. Tubuhku gemetar tanganku mati rasa hatiku seperti
ditusuk seribu pisau. Tidak ada kata kata yang sanggup keluar dari mulutku. Melihatku
menangis gemetar ibuku juga ikut menangis menambah sedih suasana.

“Kenapa kak? mana Dito?” ayah datang dan duduk disebelah ibu.
“Di… Dito selingkuh sama sahabatku sampai hamil.” Tangisku semakin kencang.
“Sahabat kamu yang sering ke rumah? kurang ajar Dito.” Menggebrak meja.

Mendung sedang menyelimuti rumahku. Sama sekali tidak ada awan putih disini. Ayahku
langsung menelepon orangtua Dito untuk datang ke rumah beserta Dito. Jarum jam terus
bergulir ke kanan suara tarikan rem motor sudah terdengar. Berjalan dengan kepala tertunduk
diikuti orang tuanya dibelakang, Dito memasuki ruang tamu.

“Maaf, apa Dito berbuat salah sampai Rena nangis.”


“Dito sudah selingkuh sampai menghamili anak gadis orang lain. Saya mau pernikahan ini
batal!”
“Kita bisa bicarakan dengan kepala dingin pak.”
“Ibu sama bapak pulang saja dan ajari Dito untuk menjadi manusia yang benar.”

Orangtua Dito kembali ke rumahnya beserta Dito. Kini semua persiapan di rumahku hanya
sia sia. Tidak akan ada peristiwa sakral yang akan terjadi dalam lima belas hari lagi. Hati
manusia seperti musim yang tidak dapat ditebak. Jika pun bisa, mungkin tebakannya akan
meleset. Aku masih beruntung karena mengetahuinya sebelum pernikahan. Tuhan masih
menyelamatkanku sebelum laki laki itu menghancurkanku

DAFTAR PUSTAKA
http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-sedih/musim-2.html
BETAPA
Cerpen Karangan: LazyBoy
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Patah Hati
Lolos moderasi pada: 14 April 2021

Aku Chandra. Aku akan menceritakan sedikit pengalaman pahitku dengan orang yang paling
kucintai dulu. Aku tidak bisa mengungkapkan semua ini dengan kata-kata. Jadi,
kulampiaskan semua perasaanku lewat tulisan ini. Berawal dari kesalahpahamanmu.
Seminggu setelah kau pergi, suasana hatiku kian sulit menerima semua keadaan ini. Ya,
hatiku ibarat kapal di lautan yang terombang-ambing oleh dahsyatnya ombak laut. Kau
meninggalkanku, dengan menggoreskan luka di hatiku.

Memang ini bukan masalah yang kecil. Tapi, seharusnya kita bisa menyelesaikannya dengan
kepala dingin. Sesuai perkiraanku, kau langsung meluapkan semua emosimu padaku. Padahal
tidak seperti yang kau lihat. Kebetulan dia meminta bantuanku untuk menyelesaikan
tugasnya, tidak lebih. Kenapa hanya karena dia hubungan kita menjadi goyah?

Kau mengatakan ingin berpisah denganku. Ayolah! Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku
ingin mempertahankan hubungan kita yang sudah cukup lama ini. Tapi, kau tetap bersikukuh
dengan keputusanmu.

Tidak mau mengalah, sifatmu itu yang membuatku harus sabar menghadapimu. Kumohon
mengertilah! Kau hanya salah paham. Aku mencoba meluruskan perihal masalah ini. Namun,
kau masih tak percaya. Kau lebih percaya apa yang kamu lihat dibandingkan dengan
penjelasanku.

Kau memintaku untuk menjauh darimu. Dan, sejak hari itu, kau mengakhiri hubungan kita.
Betapa hancurnya, hati dan jiwaku. Ucapanmu itu bagaikan sambaran petir, dengan tegasnya
suaramu menggetarkan hatiku.

Sahabatku Tommy, yang mengetahui hubungan kita berakhir. Mencoba menghiburku. Setiap
kali aku bertemu dia. Dia selalu menanyakan ‘Kau masih belum bisa move on darinya?’
Sialan! umpatku. Aku sedang mencoba melupakannya, malah kau buka lagi pintu
kenanganku tentangnya.

Tommy yang sudah pakar tentang cinta, memberikan sedikit kata-kata penyemangat untukku.
Ia berkata ‘Sudahlah! Lupakan saja dia. Kalau dia percaya padamu, seharusnya dia tidak
meninggalkanmu semudah ini. The world is wide, bro! Kau masih bisa mencari perempuan
yang lebih baik darinya.’

Aku tersenyum, lalu berkata ‘Memang masih banyak (perempuan) di dunia ini. Ketika masih
bersama, aku orang yang paling tulus mencintainya. Tapi, ketika berpisah, aku orang yang
paling sulit untuk melupakannya.

Ya, melupakan orangnya, melupakan kenangannya, melupakan tentang semua yang ada
padanya. Aku memang tak sehebat kamu dalam perkara melupakan. Tidak bisa bagiku
secepat itu merelakan. Namun percayalah, detik demi detik berlalu akan kucoba
melupakanmu.
Satu hal yang menyebalkan dari orang yang kucintai adalah, tiba-tiba saja kau meminta hal
yang tak pernah terbayangkan. Dengan mudah kau mengatakan, ‘Lupakan saja aku!’ atau
‘Cukup sampai disini kisah kita’, dan seterusnya. Padahal kau hanya sedang bosan.
Bagaimana mungkin tak ada angin tak ada hujan, hubungan yang sudah lama kita
pertahankan begitu saja ingin kau jadikan kenangan. Begitu kejam kau melukaiku.

Setahun setelah kau pergi, hari demi hari kulalui, Setelah lepas dari patah hati dan rapuhnya
hati. Aku mencoba membuka lembaran baru. Menulis cerita hidupku sendiri. Semua rencana
yang kita ingin jalani berdua, lenyap begitu saja. Bagaimana pun, aku harus tetap berjalan.
Aku harus tetap bertahan hingga waktu yang tidak ditentukan. Dan, sedikit penyemangat dari
sahabatku Tommy. Thanks Tom! atas supportnya.

Hari ini aku menjalani aktivitas seperti biasa layaknya anak kuliahan. Sibuk dengan segala
tugas yang diberi dosen. Tidak lupa dengan kesibukanku di luar jam-jam kuliah. Aku bekerja
sebagai penyanyi di cafe dekat alun-alun kota Bandung bersama Tommy sebagai pemain
gitarnya. Pendapatannya juga lumayan untuk kebutuhanku sehari-hari. Fyi, aku tinggal (nge-
kost) di Bandung untuk kuliah, sedangkan orangtuaku tinggal di Jakarta. Aku memilih
menjauh dari orang tua karena aku ingin hidup mandiri.

Tulisan ini juga kuselipkan sedikit kisahku bertemu denganmu, Ratih. Karena apa? Karena
pasti setiap kesedihan akan ada yang namanya kebahagiaan.

Jam kuliah berakhir. Aku dan Tommy pergi ke cafe untuk bekerja. Ketika sampai depan cafe,
tiba-tiba ada seorang perempuan yang membawa kertas bertumpuk. Tak sengaja, ia
menabrakku. Membuat kertasnya terjatuh berceceran. Ia langsung merapikan, dan aku ikut
membantunya. “Maafkan aku! Aku buru-buru. Aku jadi tidak melihat orang-orang
disekitarku.” ucapnya meminta maaf. “It’s Okay. Lain kali hati-hati.” balasku.
“Terimakasih”.
‘Tung–’ lalu ia pergi. Kau meninggalkan salah satu kertasmu. Dan di kertas itu ada nomor
telepon. “Ini pasti nomornya. Nanti akan kuhubungi.” ucapku dalam hati. Sekarang aku
bergegas masuk untuk bekerja.

Selesai kerja, aku mencoba menghubunginya. Benar saja nomor itu punya dia.
“Halo” suara dari seberang sana.
“Halo, aku Chandra. Orang kau tabrak waktu di cafe tadi.”
“Aku minta maaf Chandra. Sekali lagi aku minta maaf! Jangan kau hukum aku.”
“Hei! Hei! Kau sudah kumaafkan. Hanya saja aku telepon untuk mengembalikan kertasmu
yang terjatuh saat itu. Kita ketemuan di cafe nanti malam. Bagaimana?”
“Baiklah. Lagian aku sudah tidak sibuk.”
“Oke. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa”

Tepat pukul delapan malam, kau datang. “Disini!” kataku memanggilnya. Menghampiriku
lalu kusuruh duduk. Kita mulai berbincang, dimulai dengan perkenalan. “Hai, kenalkan
namaku Chandra.” menyodorkan tanganku.
“Hai, aku Ratih.” kau menjabat tanganku.
“Kau tinggal dimana, Ratih?”
“Aku tinggal tak jauh dari sini. Dan kau sendiri tinggal dimana?”
“Aku ngekost. Dekat dengan tempat kuliah ku.”
“Ohh..”
Aku membuka tasku, mengambil kertasnya yang terjatuh sore tadi. “Ini kertasmu.”
“Oh terimakasih.”
“Btw, kau kuliah dimana?” tanyaku.
“Aku…”

Tak terasa hampir satu jam kita berdua berbincang tentang kehidupan masing-masing. Aku
baru tahu ternyata kau satu angkatan denganku, tetapi beda jurusan. Aku jurusan informatika,
sedangkan kau jurusan farmasi. Aku memang tidak terlalu peduli dengan lingkungan
kuliahku. Kalau ada jadwal kuliah, ketika masuk, aku langsung ke kelas. Waktu istirahat
biasanya aku di kelas saja, kalau tidak ke perpustakaan meminjam buku. Setelah selesai
kuliah, aku pergi ke cafe untuk bekerja. Begitulah hari-hariku. Selalu ditemani dengan
kesibukan.

Sudah satu bulan lebih aku mengenalmu. Muncul sebuah perasaan bergejolak di hatiku.
Entahlah! Aku tidak mengerti. Ketika aku ingin tidur, aku selalu memikirkanmu.
Membayangkan hal-hal indah yang sudah kelewati bersamamu selama satu bulan ini.

Kau sekarang selalu datang ke cafe untuk melihatku bernyanyi. Dan, kau meminta
kunyanyikan lagu favoritmu yaitu; Naff – Akhirnya Ku Menemukanmu.

Selesai bekerja, kau biasanya mengajakku pergi ke suatu tempat untuk menenangkan pikiran
dan menghilangkan stres. Kau mengajakku ke rooftop. Ketika disana, kita bisa melihat
suasana indahnya kota Bandung pada malam hari. Sungguh indah! Siapapun yang melihat
pasti akan terpukau.

Kembali pada perasaanku. Bertanya pada diriku sendiri. Apa aku akan merasakan jatuh cinta
lagi?

Mungkin sudah saatnya aku kembali bahagia. Tuhan memberikan kebahagiaan itu lewat
dirimu. Kalau memang benar, aku akan memperjuangkanmu. Tetapi, jika bukan, aku akan
mundur dan menganggapmu hanya teman saja.

Dan, semoga kejadian yang dulu. Tidak akan terulang kembali.

DAFTAR PUSTAKA
http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/betapa.html
KENANGAN DI POHON MANGGA
Cerpen Karangan: Hapsari Purwanti Rahayu
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Rindu, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 14 April 2021

Pohon ini terlihat begitu renta. Sudah nampak keriput-keriput yang tertanggal di kulitnya.
Namun, daunnya kian rimbun, batangnya kian kokoh, dan buah yang dihasilkannya begitu
nikmat. Oksigen yang berhembus dari pohon ini membuat siapa saja yang duduk di
naungannya merasakan kesejukan yang luar biasa. Aku merasakannya. Sejuk sekali.
Memori beberapa tahun silam kini terbesit lagi di benakku.

“Aliza? Sedang apa kamu disini?” Aku menghampiri gadis berusia sepuluh tahun itu. Dia
terlihat begitu fokus menggoreskan kulit pohon dengan sebuah paku berkarat yang
kemungkinan ditemukannya di sekitar sini.
“Aku mau ukir nama, Mbak juga boleh loh ukir nama Mbak di samping nama Aku,” katanya,
tanpa menengok ke arahku.
“Buat apa?”
“Buat kenangan Mbak.”
Aku tertawa kecil. Gadis ini memang selalu mendokumentasikan segala hal. Dia selalu bilang
‘Buat kenangan Mbak’ entah dalam bentuk visual maupun audio visual di kamera miliknya.

Aku mencari paku lainnya, namun keadaan tidak berpihak padaku. Aku tidak
menemukannya.
“Mbak, mau ukir nama Mbak juga? Nih pakai aja paku punya aku,” ucap Aliza ketika
melihatku sibuk mencari paku bekas atau benda apapun itu yang bisa digunakan untuk
mengukir di permukaan kulit pohon, namun tak juga berhasil aku temukan.
Aku tersenyum menerimanya kemudian menggoreskan kulit pohon dengan benda itu. Setelah
selesai aku dan Aliza tersenyum bersama melihat ukiran nama kita berdua.

Aku dan Aliza duduk di sebuah kursi kayu. Tidak jauh dari letak pohon ini berada.
“Aliza, kenapa kamu suka sekali mendokumentasikan hal-hal semacam ini? Mengumpulkan
banyak-banyak kenangan. Untuk apa?” tanyaku pada gadis mungil itu.
“Nggak tau Mbak, itu hobby-ku. Mmm menurut aku, setiap waktu punya kenangannya
masing-masing, aku nggak mau melupakannya. Aku ingin memeluk semua kenangan itu
Mbak.”
Dengan siapa sebenarnya aku berbicara sekarang? Apakah dengan gadis mungil yang masih
berusia sepuluh tahun atau dengan seseorang yang telah beranjak dewasa? Aku terkagum
mendengar alasan yang dituturkan Aliza.
“Itu alasannya?”
Dia mengangguk antusias. Namun tak lama setelah itu, Aliza terlihat begitu pucat dan
meringis, nampak jelas jika dia merasakan sakit.
Aku yang menyadarinya lantas memegang kedua pipi tembemnya. “Aliza? Kamu kenapa
sayang?” tanyaku panik.
“Mm, Aliza enggak apa-apa Mbak. Aliza mau istirahat dulu ya?”
Aku menganggukkan kepala kemudian mengantarnya masuk ke dalam sebuah rumah yang
terpampang jelas poster besar di terasnya bertuliskan ‘Pondok Harapan’ sebuah rumah yang
menampung anak-anak jalanan yang terlantar dan memiliki tingkat kesejahteraan rendah.
Pondok ini merangkul mereka.
“Mbak Kasih, Aliza kenapa?” tanya seorang pria yang usianya tak jauh berbeda denganku.
“Katanya dia mau istirahat. Mungkin kelelahan.”
Pria itu menganggukkan kepala. Dia yang mendirikan pondok ini, tentunya dengan beberapa
kawan lain yang juga ikut serta dalam setiap kegiatannya. Aku tidak termasuk dalam anggota
tersebut, hanya sesekali aku mampir ke tempat ini untuk memberi beberapa buku, hadiah
ataupun hanya sekedar bermain dengan anak-anak.
Aliza segera dipapah masuk olehnya kemudian aku memutuskan untuk pulang.

Keesokan harinya aku mendapat kabar dari pihak pondok harapan, terutama dari Fatih,
pendiri pondok itu sendiri.
Dadaku terasa sesak setelah mendengar perkataan Fatih dari sebrang sana. Aku bergegas
mengganti pakaianku dan pergi ke pondok itu.

Aku sampai di pelataran ‘Pondok Harapan’ bendera kuning menyapa indra penglihatanku.
Ada banyak orang di sini. Air mataku tak bisa lagi terbendung, akhirnya satu tetes butiran
bening terjatuh.
Fatih menyambutku. “Ayo Mbak masuk, sebentar lagi Aliza akan dibawa,” katanya dengan
nada sendu. Matanya masih terlihat merah. Aku tau ini menyakitkan.

Semuanya berjalan dengan lancar, langit cerah mengiringi kepulangan Aliza ke tempat
persemayaman terakhir. Kutatap lamat-lamat gundukan tanah yang sudah dipenuhi dengan
warna-warni bunga.
“Kenapa bisa seperti ini,” kataku datar, tanpa menoleh ke arah Fatih. Tatapanku masih
terpaku pada pusara Aliza.
“Dia sudah berjuang Mbak, Aliza anak yang cukup kuat. Tapi, mungkin Allah lebih sayang
Aliza. Dia sudah pulang ke tempat yang indah. Tidak ada lagi rasa sakit.”
Air mataku bertambah deras mendengar ucapan Fatih.

“Aku nemuin sesuatu di lemari Aliza, sepertinya untuk Mbak.”


Fatih menyerahkan amplop love berwarna merah marun.
Aku membukanya dan di dalam ada sepucuk kertas dengan tulisan tangan Aliza, aku
membacanya.

Mbak, makasih ya. Selama ini Mbak udah baik banget sama Aku. Mbak jangan lupain aku
ya? Aku mau kasih ini untuk kenang-kenangan.
Salam Sayang
Aliza Nithyahasna.

Aku melengkungkan senyuman di bibirku ketika membaca surat itu. Aliza adalah anak yang
pintar.
Mataku beralih menatap beberapa potret yang telah dicuci. Semuanya tentang kebersamaanku
dengan Aliza.
“Makasih Mbak, Aliza jauh lebih bahagia karena bertemu dengan Mbak.”
“Aku yang seharusnya bertemakasih sama kamu. Makasih udah jaga Aliza. Aku kagum sama
kamu Fatih. Niat kamu begitu mulia.”
“Aku cuma mau mengisi setiap lembar dalam hidupku agar bisa bermanfaat untuk orang lain
Mbak.”
Aku tersenyum menatap pria di hadapanku.


Semilir angin seolah membawaku kembali pada kenyataan, aku yang kini berdiri di hadapan
pohon mangga dengan ukiran namaku dan Aliza di kulitnya. Aku tersenyum mengingat
kenangan itu terlintas di benakku.

“Kasih, ternyata kamu disini?” Fatih menghampiriku kemudian merangkul bahuku. Aku
tersenyum ke arahnya.
“Inget Aliza,” ucapku parau.
Fatih tidak merespon ucapanku. Dia hanya tersenyum.

“Anak-anak belum makan, kita beli makanan dulu. Antar aku ya?”
Aku menganggukkan kepala kemudian dia membawaku pergi dari tempat terakhir kali Aliza
merajut kenangannya bersamaku. Genggaman tangan Fatih begitu erat. Aku melangkah
bersama pasangan hidupku.

DAFTAR PUSTAKA
http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/kenangan-di-pohon-mangga.html

Anda mungkin juga menyukai