Anda di halaman 1dari 9

Dua Lelaki Bodoh

OPINI | 13 February 2014 | 20:03

76

23

Sudah lama aku mengenalnya. Delapan tahun kami bersama sebagai sahabat karib di SMP
hingga SMA. Dan entah mengapa selepas SMA kami ditakdirkan kuliah di kota kembang ini,
satu universitas pula. Dia FISIP, aku Ekonomi. Awalnya kami tinggal di pemondokan yang
sama. Tetapi karena masing-masing sibuk dengan dunia yang baru, akhirnya kami berpisah. Tapi
setahun setelah berpisah, ia datang lagi dan mengajakku pindah kos bersamanya. Saat itu aku
lagi sibuk bikin laporan tugas kuliah.

“Wang, kamu mau nggak kos sama aku?” cerocosnya.

“Pindah ke kosanmu?”

“Bukan! Kita cari kos baru. Kebetulan ada satu yang cocok.”

“Kenapa mau pindah? Ada masalah?”

“Terlalu ramai! Aku tak bisa konsentrasi belajar.”

“Kenapa mesti ngajak aku?”

“Yang ini rada mahal. Tapi sesuai kok dengan fasilitasnya. Hanya tiga kamar. Kebetulan tinggal
satu yang masih kosong. Aku sendiri udah lihat kemarin. Mau nggak?”

“Sewanya?”

“Satu juta tujuh ratus limapuluh ribu!”


“Buset, mahal amat?”

“Nggak juga! Kan bayarnya berdua? Jatuh-jatuhnya segitu juga!”

“Apanya yang segitu? Malah nambah.”

“Ya, nambah dikit apa salahnya?”

“Balik lagi sini aja!”

“Maksudku, kita kos di tempat yang agak eksklusif dikitlah.”

“Lagakmu, Git! Duit masih dari ortu, pengen nyari yang ekslusif.”

“Apa salahnya? Selagi mampu!”

Dan ia terus saja membujukku. Entah mengapa aku menurut saja waktu itu.

***

Sebulan kemudian, baru aku tahu kenapa ia ngotot pindah ke sini. Bukan karena tempatnya.
Ternyata ia jatuh hati dengan anak empunya kos. Makanya, ia belai-belain pindah. Dan
kebetulan sekali, aku berkesempatan bertemu dengannya. Namanya Dian. Kulitnya putih mulus.
Rambutnya sepundak dan bergelung-gelung kecil dan berkesan natural.

“Aa teman sekamar Aa Anggit, ya?” tanyanya saat aku duduk di ruang depan sembari menonton
tivi.

“Iya, tapi panggil saja saya Iwang.”

“Saya Dian.”

“Kok, jarang keliatan?”

“Saya di Jakarta.”
“Kerja apa kuliah?”

“Kuliah sembari kerja,” jawabnya sedikit malu-malu.

“Wah, hebat! Di mana?”

Ia kemudian menyebut nama salah satu sekolah fashion yang cukup terkenal dan nama desainer
kondang tempatnya bekerja. Pantas aja penampilannya terlihat stylish dan elegant. Sumpah, aku
rasanya melayang melihat senyumnya itu. Sebagai cowok normal, tentu saja tak kusia-siakan
kesempatan berbincang-bincang dengannya.

Sudah cukup lama kami mengobrol, tiba-tiba saja si Anggit pulang. Raut tak senang jelas
terpancar di wajahnya. Ia langsung ikut nimbrung dan mendominasi pembicaraan. Gadis mana
yang tidak senang bila ada dua perjaka yang saling berebut perhatian? Ketika sudah senja, Dian
pun mengakhiri pembicaraan. Ketika Dian menghilang, Anggit menyeretku ke kamar.

“Apa-apan kau? Jangan sok aksi deh di depan dia!” semburnya.

“Emang kenapa? Aku cuma ngobrol kok!”

“Ngobrol apa? Dari gayamu, orang buta sekali pun tahu kalau kau suka sama dia!”

“Kalau iya kenapa? Kenapa kau yang marah?”

“Aku yang kenal lebih dulu! Dan aku juga sudah bilang, aku suka sama dia. Aku ngotot pindah
ke sini pun karena dia. Sekarang kau malah tebar-tebar pesona dengannya!”

“Jangan berlagak! Kau bukan siapa-siapa dia, pacar juga bukan! Mengapa mengatur-aturku?”

“Pokoknya kau harus menjauhinya!”

“Aturan dari mana itu? Dari Hong Kong?”

“Jadi kau ingin mendekatinya juga?”


“Kenapa? Wajar kan? Aku juga laki-laki.” Aku menatap langsung ke dua bola matanya. Kulihat
rahangnya mengeras dan sejenak tak bicara apa-apa..

***

Bukan Iwang namaku, kalau nggak bisa mendapat informasi tentang Dian. Diam-diam aku
mendekati Kang Tresna, namun lelaki itu tak mau banyak bicara, seakan-akan merahasiakan
segala sesuatu. Jawabannya selalu sama, ‘saya kurang tahu’, ‘saya nggak bisa menceritakan’, dan
banyak alasan lain yang nggak masuk akal. Aku pun paham, mulailah aku menyebar sedikit
‘pelicin’. Dan akhirnya ia memberiku nomor Dian sembari wanti-wanti jangan kasih tahu siapa-
siapa. Aku serasa menang lotere saja dapat nomor itu.

***

“Ya, halo?”

“Dian, ya?” sapaku dengan memeninggikan volume suara biar si Anggit bisa mendengar.

“Ini siapa?” terdengar suara Dian renyah di telinga.

“Masa nggak tahu sih? Ini aku, Iwang!”

“Eh, Aa Iwang? apa kabar? Kok tahu sih nomor Dian?”

“Tahu dong!”

“Kok bisa?”

“Bisa aja lagi!” jawabku dengan lagak sok cuek seakan-akan Anggit nggak ada.

“Aa Iwang dapat nomor Dian dari Aa Anggit ya?”

“Enggak! Pokoknya aku tahu aja. O ya, Dian, gimana kabarnya?” tanyaku kembali menekankan
kata ‘Dian’.

“Baik. Aa Iwang gimana?”


“Baik juga. Lagi ngapain nih?”

“Biasa, lagi corat-coret kertas.”

“Ngapain juga corat-coret kertas?”

“Maksudnya, lagi bikin sketsa rancangan!”

“O iya. Dian kan sekolah di fashion design, ya?” Aku baru tersadar. “Aku nggak ganggu, kan?”

“Ah, enggak! Santai aja. O iya, Rumah gimana? Baik-baik saja?”

“Baik, baik! Emang kenapa nanyain rumah?”

“Iya, Mami kan berpesan sebelum ke Melbourne, agar Dian sering-sering nengokin rumah. Biar
Kang Tresna nggak kerepotan mengurusnya.”

“O, gitu ya?”

Dan kami pun terus ngobrol panjang lebar hingga akhirnya ia terpaksa mengakhiri pembicaraan
karena ada pekerjaan lain yang mesti diselesaikan dengan sang desainer.

“Nanti kalau balik lagi ke Bandung, kasih tahu ya?”

“Kenapa?”

“Nggak kenapa-napa. Biar kita bisa saling ketemu.”

“OK deh. Bye!” telepon pun ditutup. Aku menghela napas puas. Baru saja menaruh HP di
kantong, Anggit langsung menanyaiku.

“Kau menelepon Dian?”

“Iya,” jawabku santai.

“Kau dapat nomornya dari mana?”


“Kamu pikir, kamu aja yang bisa dapat nomornya? Bisa ngajak Dian jalan bareng? Lihat saja
nanti. Aku juga bisa.”

Anggit langsung cemberut kesal.

“Awas saja!”

“Nggak usah pakai ancam-ancaman. Kita lihat saja nanti, dia lebih suka siapa. Yang penting
persaingan ini harus sehat,” jawabku enteng.

Persaingan? Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menjelaskannya. Semenjak tempo hari itu
memang sudah terlihat jelas kami bersaing untuk bisa memenangkan hati seorang Dian. Entah
karena didorong nafsu, atau ego kelelakian, maka persahabatan yang ada selama ini seakan
tersingkir. Aku tak berpikir kenapa aku harus ngotot untuk menarik perhatian Dian. Yang jelas
ada kebanggaan bila memenangkan persaingan ini. Atau bisa jadi karena kami dalam keadaan
menjomblo. Aku sudah hampir setahun diputusin oleh Nungki. Sedangkan Anggit juga senasib,
hanya saja cintanya ditolak oleh teman sekampusnya. Dan sekarang di hadapan kami ada sebuah
peluang bagus hingga kami bela-belain mendapatkan peluang itu.

;***

Hari itu aku cepat-cepat pulang kuliah karena hari ini Dian balik ke Bandung, dan aku tidak mau
didahului oleh si Anggit. Tapi ketika sampai di rumah, tak ada siapa-siapa. Rumah dalam
keadaan sepi. Aku sengaja duduk-duduk di beranda, menunggu kedatangannya.

“Dik Iwang lagi ngapain?” tiba-tiba Kang Tresna sudah berada di dekatku.

“Lagi santai nih, Kang!” jawabku asal.

“Lagi santai atau nungguin Dian?”

“Emang dia udah pulang?” tanyaku pura-pura bego.

“Malah udah pergi lagi tuh dari tadi, sama Dik Anggit!” ujar lelaki separuh baya itu memberi
tahu.
“Apa? Pergi sama Anggit?” aku kaget, tidak percaya. Sialan anak itu! Sepertinya dia selalu saja
tahu apa-apa tentang Dian lebih dulu dariku.

“Rapi banget penampilannya. Pake jaket jins dan sepatu baru. Seperti pergi kencan!” Kang
Tresna terkekeh dan sedikit menggelengkan kepala seperti memanas-manasiku.

Apa? Pakai jaket jins dan sepatu baru? Kapan ia punya jaket dan sepatu baru? Jangan-jangan?
Tanpa mempedulikan Kang Tresna aku langsung kabur ke kamar. Ia ternyata memakai jaket dan
sepatu baruku itu untuk pergi bersama Dian. Awas kalau ia pulang nanti! Akan kulabrak dia.

Dengan perasaan tak menentu aku kembali duduk di beranda depan. Pergi kencan kok pakai
barang orang lain? Nggak modal apa? Aku ngedumel sendiri. Semakin berusaha menyabarkan
diri semakin gondok rasanya melihat kelakuan dia. Memang selama ini tak pernah ada masalah
jika dia memakai barang-barang milikku, atau pun sebaliknya, karena itu biasa kami lakukan.
Tapi kali ini rasanya aku nggak sudi. Enak bener dia itu.

Menunggu mereka pulang dengan hati kesal, aku dikagetkan oleh seseorang yang datang. Kurir
paket.

“Sore Mas! Ini ada kiriman paket.”

“Untuk?”

“Diansyah Putra. Benar, kan ini alamatnya?”

“Diansyah Putra?” aku mengerinyitkan kening sembari membaca alamat yang tertera. Aku
langsung teriak memanggil Kang Tresna. Pria itu pun tegopoh-gopoh menghampiri.

“Diansyah Putra siapa?” tanyaku.

Kang Tresna menatapku dengan tatapan yang tak biasa.

“Ya…Dian!” jawabnya pendek.

“Namanya kok seperti nama laki-laki?”


“Emang Dian laki-laki!” jawab Kang Tresna polos.

“WHAAT?” aku nyaris tak percaya. Kang Tresna tak langsung menjelaskannya. Dengan santai
ia menandatangani dan menerima paket dari Australia itu terlebih dahulu, dan setelah setelah si
kurir itu pergi, baru ia menjelaskan semuanya padaku. Aku hanya bisa melongo.

Ketika mereka pulang kencan, aku tak jadi melabraknya meskipun ia senyam-senyum penuh
kemenangan berhasil mengajak Dian jalan bareng hari itu sekali lagi. Cepat kuseret ia ke kamar
tanpa menghiraukan senyuman manis Dian.

“Apa-apaan sih?” ujarnya tak senang, mungkin ia mengira aku memarahinya.

“Bagaimana acara kencanmu dengan Dian?” tanyaku.

“Kenapa? Kau cemburu? Marah kalau aku tak minta ijin dulu memakai jaket dan sepatumu?”

“Nggak masalah. Tapi aku mau mau tanya sesuatu…”

“Nanya apaan, sih?”

“Sampai di mana hubunganmu dengan Dian?”

“Bukan urusanmu!”

“Kau suka dengannya?”

“Jelas! Ia juga suka denganku!”

“Buang saja rasa sukamu itu, Bro! Kau tak akan bisa menjadikannya seorang pacar,” kataku
dengan santai.

“Kenapa?”

“Karena ia laki-laki!”
“WHAAATT?” suaranya nyaris mengguntur di telingaku. Biji matanya seakan mau loncat
keluar. Wajahnya pun merah serasa barusan dialiri listrik tegangan tinggi. Sebagai seorang
sahabat aku wajib memberitahunya supaya ia jangan terperosok lebih dalam dalam kubangan
perasaan semu. Dan ketika Anggit merangsek pengen menemui Dian, aku menghalanginya.
Bukan salah Dian. Tapi kesalahan aku dan Anggit sampai bisa tertipu dengan penampilan
seseorang….

Anda mungkin juga menyukai