Anda di halaman 1dari 6

Mencintaimu Dalam Diam

By Yuda .

Dering bel istirahat memaksa Pak Gatot menghentikan mulutnya yang sedang asik
menjelaskan kalkulus. Beberapa murid mulai menyeruak keluar kelas, bahkan
mendahalui Pak Gatot yang masih sibuk mengemasi beberapa tumpuk buku yang dia
bawa untuk mengajar pagi ini.

( Vo cerita si cowok )

Cowok: Setelah kelas kosong, Aku langsung mengambil sepucuk surat yang sudah
kurangkai semalam suntuk, kemudian memasukkannya kedalam tas Andien.

Cowok : Andien ? Dia adalah cewek paling cantik di kelasku. Yang juga ketua osis.
Yang juga langganan rangking 1. Yang juga sering menyumbangkan buku-buku dan
seragam bekasnya kesalah satu panti asuhan didekat rumahku. Aktif, pinter, baik. So
perfect.

Cowok : Surat? Ayahku bilang ini yang membuat cewek secantik ibuku mau
pacaran dan pada akhirnya menikah dengan cowok buruk rupa seperti dia.

Cowok : Cinta? Iya, aku mencintai Andien sejak kelas satu. Dan dia adalah cinta
pertamaku, jadi wajar jika aku menggunakan cara-cara lama.

Cowok : Baiklah, sekarang tinggal berpura-pura tidak berada didalam kelas sambil
menunggu reaksi Andien terhadap surat dariku. (Semacam menciumku di depan kelas)
Hahh.. Aku tidak sabar menunggu bel masuk berbunyi.

Cowok : aku sengaja masuk agak terlambat dari murid lain, memberikan waktu untuk
Andien membaca suratku sambil berbunga-bunga. Tapi ketika masuk suasana kelas
tampak biasa saja, Andien juga hanya asik bersenda gurau dengan teman sebangkunya,
tidak ada surat yang sedang dia baca. Aku bersimpuh, apa jangan-jangan dia membuang
suratnya.

Cowok : Ketika Aku sampai di mejaku, sudah tergeletak sebuah kertas(yang sepertinya
surat), aku segera bertanyaa pada Ipan, teman sebangku ku.

Cowok : “Cuy, dari siapa nih?”

Ipan : “Nggak tahu, pas aku masuk udah ada tuh.”

(jawab Ipan santai, bersikap tidak pedulian seperti biasanya.)


Cowok : Aku membuka surat itu perlahan, dan didalamnya hanya tertulis, “Iya
aku mau jadi pacar kamu.”

Cowok : Dengan penuh rasa bangga, aku berlari kedepen kelas sambil teriak. “Aku
jadian sama Andien… Yeeeeeeyy…”

(Teman-teman sekelas yang menyaksikan langsung berseru bergantian, “Ciee.. Ciee..” )

Cowok : Aku sempat melirik kearah meja Andien, teman-teman dekatnya langsung
menatap Andien, menunggu reaksinya terhadap kehebohan yang kubuat.

Cowok : Lalu tiba-tiba Andin datang dengan senyum tersipu sambil memberiku surat dari
tangannya. Andin yang lain. Bukan A-N-D-I-E-N, tapi A-N-D-I-N. Huhhff.. Mari kujelaskan.

Cowok : Jadi, ketika aku keluar kelas tadi, ada yang menukar meja kelas kami, bukan
cuma meja Andien dan Andin, tapi seluruh meja di kelas kami, mejaku juga berubah.
Kemudian entah bagaimana, meja milik Andien manjadi meja milik Bunga, lalu si Bunga
menemukan surat kemudian memberikannya pada Andin, Andin yang salah, Andin yang
tidak kucintai. Anj*ngggg..

Cowok: Ketika dia memberikan surat dariku, padaku. Aku hanya bisa menerima
sambil tersenyum getir, terlanjur mengumumkannya ke seisi kelas membuatku tidak bisa
berbuat apa-apa.

Cowok : Maka sejak hari itupun Aku dan Andin resmi jadian. Kenapa aku tidak
memtuskannya dan jujur bahwa hubungan kami hanya sebuah ketidaksengajaan? Aku
ingin sekali mengatakan yang sebenarnya pada Andin, tapi perlu diketahui juga bahwa
Aku dan Andin sudah satu kelas sejak smp, dan ketika kami smp Andin adalah orang yang
mudah sekali menangis, alias cengeng tingkat kayangan. Tentu saja aku tidak mau dia
menangis dihadapanku, sebagai laki-laki gentlemen, aku tidak bisa melihat seorang wanita
menangis, apalagi karenaku.

Cowok : Pernah suatu ketika aku bertanya padanya tentang seringnya dia
menangis karena hal-hal sepele ketika smp.

Andin : “Ihh.. Aku udah nggak gitu lagi tauu.. Sekarang Aku udah dewasa, nggak
cengeng lagi.. Aaakk..”

Cowok : (jawab Andin, kemudian menyodorkan sesendok nasi goreng kearah mulutku.)

Andin : “Emang kamu pernah liat aku nangis setelah kita sma?

Cowok : Ya, memang dia tidak pernah menangis sekarang. Tapi itupun karena tidak
ada yang mau berteman dekat dengannya, gossip bahwa dia anak yang cengeng sudah
berlanjut hingga dia sma. “Engga sih.” jawabku yang masih mengunyah nasi goreng sambil
melempar senyum seadanya kearahnya.
Cowok : Andin adalah seorang pacar yang manis, didukung pula dengan sikapnya
yang terkadang ngegemesin, mungkin karena dia anak tunggal dikeluarganya. Beberapa
hal manis yang paling kuingat dari Andin adalah, kebiasaanya menarik kedua ujung
bibirku, katanya agar dia selalu meninggalkanku dalam keadaan bahagia. Kemudian
berbisik ketelingaku,

Andin : “I love you, takut kamu lupa.”

Cowok : Hal semacam itu rutin dia lakukan setiap kali kami akan berpisah, setiap kali aku
akan pulang seusai mengantarnya kerumah, atau bahkan ketika kami ujian bergantian, di
mana dia baru akan ujian dikloter kedua, menyemangatiku yang akan ujian lebih dulu.
Sepertinya hal-hal manis ini yang juga membuatku semakin sulit mengatakan yang
sebenarnya pada Andin, entah kapan keberanian itu akan muncul, semakin lama semakin
sifat manis Andin membuatku nyaman, selama itu pula keinginan untuk jujur padanya
membuatku tersiksa.

Cowok : Tidak terasa hubungan kami berjalan hampir 6 bulan, aku selalu merasa tidak
pernah mencoba menjaga hubungan ini, toh sampai hari ini sepertinya aku belum juga
mencintai Andin, sebagaimana aku mencintai Andien. Tapi entah kenapa Andin selalu saja
sanggup menjaga hubungan kami. Andin tidak pernah sekalipun marah ketika melihatku
boncengan dengan cewek lain, dia juga hanya tersenyum ketika aku memarahinya yang
selalu memintaku berada disampingnya.

Cowok : Hingga suatu ketika, keinginan Andin untuk mengekangku semakin


menjadi. Dia mendatangi satu persatu teman dekatku, untuk memberitahu mereka agar
tidak terlalu sering mengajakku berkumpul untuk nongkrong dan semacamnya, salah satu
teman ada yang memberitahukan hal itu padaku, bagi teman-temanku itu tidak jadi
masalah, mereka bisa mengerti, tapi bagiku ini menjadi alasan kenapa teman-temanku
mulai menjauhiku akhir-akhir ini, memberi jarak, agar aku bisa lebih sering bersama
Andin, seperti yang Andin pinta pada mereka. Meski geram, aku masih saja tidak bisa
bersikap terlalu kasar pada Andin, maka yang kulakukan hanya akan jujur, ya jujur.
Mungkin ini yang terbaik buatku dan Andin, toh hubungan kami berawal dari sebuah
ketidaksengajaan.

Cowok : Malam itu aku sengaja mengajak Andin jalan menyusuri jalanan ibukota, sekedar
untuk memberi Andin kesempatan terakhir bersamaku. Sesekali kulirik dia yang bersender
di punggungku, entah bagaimana malam ini akan berakhir nanti, tapi yang pasti aku
harus mengatakan semuanya pada Andin.

Cowok : Bulan menerang malam itu, aku melihatnya. Juga bintang-bintang yang bertabur
disekitarnya. Andin melihat jam ditanganya.

Andin : “Pulang yuk, udah jam 10 nih.”


Cowok : katanya, sambil menarik punggung jaketku, hal yang dia selalu lakukan ketika
menyurhku bergerak.

Cowok : “Iya, kita pulang.” jawabku, meski ada sebuah rasa yang mengganjal. Bukan
karena aku ingin menikmati malam yang lebih lama bersama Andin, tapi karena aku
belum juga siap untuk mengatakan apa yang harus kukatakan pada Andin malam ini.

Cowok : Ketika sampai di depan rumahnya, Aku menghentikan motor, melirik sedikit
Andin yang turun sambil membenarkan tasnya. Dia tersenyum kearahku, kemudian
berbisik.

Andin : “I love you, takut kamu lupa.”

Cowok : katanya di depan telingaku. Lalu kedua jempol tangannya menarik kedua ujung
bibirku, membuatku sontak tersenyum. Dia melihatku sebentar, kemudian berbalik
melangkah menuju rumahnya.

Cowok : Aku yang belum juga siap mengatakan semuanya, akhirnya membranikan
diri memanggilnya. “ndin..?” teriakku.

Andin : “Iya?”

Cowok : “Emm.. Ada yang mau aku omongin bentar.”

Cowok : Andin yang sepertinya mulai membaca gelagat anehku, mulai memasang
wajah yang bertanya-tanya.

Andin : Emangnya ada apa ?”

Cowok : “Jadi gini.” Aku menhela nafas panjang, tidak pernah benar-benar yakin apakah
ini saat yang tepat untuk mengatakan semuanya.

Cowok : “Aku sebenarnya tidak pernah mencintai kamu.” Kataku, mengatakannya secepat
yang aku bisa.

Cowok :Andin hanya membisu, matanya masih menatapku, tapi aku seolah bisa
merasakan dia mulai mengawang.

Cowok : “Sebenarnya hubungan kita berawal dari sebuah ketidak sengajaan. Waktu
itu aku sebenarnya menulis surat untuk Andien Cahya Dewi, bukan kamu. Awalnya aku
merasa bisa belajar mencintai kamu setelah kesalahpahaman itu, tapi ternyata aku salah.
Berbulan-bulan menjalani hubungan sama kamu, aku bukannya jatuh cinta, tapi malah
tersiksa. Dan aku ngerasa sekarang saat yang tepat untuk bilang sejujurnya ke kamu,
sebelum semuanya jadi lebih jauh lagi.”
Cowok : Andin masih juga terdiam. Ujung bibirnya seperti ingin mengatakan
sesuatu, tapi yang bisa kudengar hanya keheningan. Matanya kini berkaca-kaca. Aku bisa
melihat dengan jelas diriku disana, juga luka.

Cowok : “Harusnya sejak awal aku bilang ini ke kamu. Sudah terlalu terlambat
untuk menyesal, aku hanya bisa minta maaf, meskipun, kamu mungkin gak akan
memaafkan ku, aku bisa terima itu.”

Cowok :Airmata Andin yang sejak tadi menggantung, ruah. Aku ingin sekali
menghapusnya, tapi aku merasa tidak pantas melakukan itu, mengingat akulah
penyebabnya. Dia masih juga bisu, yang terdengar hanya isak yang berusaha dia tahan.

Cowok :Akhirnya kupaksakan tanganku menghapus tangisnya, kemudian menarik


kedua ujung bibirnya dengan ibu jari seperti yang biasa dia lakukan padaku. Tapi
sayangnya aku tidak sanggup meninggalkan senyuman disana.

Cowok :Maka kunyalakan motorku, untuk segera enyah dari sana. Tidak ada yang lebih
melukai, lebih dari melihat seseorang terluka, terutama karena kita.

Cowok :Aku menarik gas perlahan, dengan mata yang belum juga bisa melepaskan
diri dari Andin yang kini sibuk menyeka tangisnya. Entah kenapa, malam itu kenyataan
begitu menyesakkan dada. Aku memandang lurus-lurus kedepan, menyimpan sesak itu
dalam-dalam.

Cowok :Belum juga jauh, di perempatan jalan handphone ku berbunyi, aku segera
menepikan motor untuk mengangkat telpon. Di layar tertera nama Andin, aku menghela
nafas lalu mengangkatnya.

Cowok : “Iya ndin, ada apa?”

Andin : “Kamu belum nyampe rumah kan?” tanyanya, terdengar jelas suaranya
berusaha menahan isak.

Cowok : “Iya belum nih, baru nyampe sekitaran alun-alun, kenapa emang?”
tanyaku balik.

Andin : “Yaudah, kamu ke tempat nongkrong biasa ya, tungguin aku.”

Cowok : Dengan pikiran bertanya-tanya aku hanya bisa menjawab. “Iya.” Dan telpon di
matikan. Aku segera memacu motor menuju pelataran sebuah coffee shop. Tempat kami
biasanya menghabiskan sore atau akhir pekan berdua.

Cowok : Aku duduk di meja yang sama, kupandangi sekitaran tempat itu. Masih
hangat, secangkir espresso dan es kopi susu di atas meja, lonceng pesanan yang semakin
sering berbunyi kala ramai, juga senyuman. Belum juga rela segalanya akan segera pergi.
Cowok : Tak lama, sosok Andin terlihat mendorong pintu, buru-buru menuju meja
tempatku duduk. Meletakkan tasnya di atas meja seperti biasa.

Andin : “Kamu udah pesen?”

Cowok : “Udah. Kamu juga udah aku pesenin sekalian. Jadi?” kudapati air matanya
mengering, entah karena kesedihan itu sudah habis atau tissu.

Andin : “Aku mau jujur. Jadi ini sebenarnya terjadi, aku suka sama kamu sejak kita smp,
tapi sayangnya aku gak pernah punya kesempatan buat jadi temen deket kamu, meski
udah berusaha sekuat tenaga, tapi tetap aja nihil. Begitu pun ketika kita sma, aku juga
usaha buat deketin, tapi hasilnya tetap sama aja, bahkan aku heran kenapa kamu tidak
pernah bertanya-tanya kenapa bisa kita satu kelas ketika papa ku kepala sekolah. Setelah
selama itu berjuang dalam diam, ketika ada kesempatan tentunya aku manfaatin sebaik
mungkin. Aku ngeliat kamu naroh surat di meja Andien, setelah Aku baca, aku sadar
itulah kesempatanku. Setelah itu semuanya terjadi begitu saja.”

Cowok : Aku tertegun, tidak tau harus berkata apa. Tapi Andin menyadarkan ku satu hal,
bahwa kau boleh berjuang semampumu, mecintai sekuatmu, tapi segalanya hanya
terbayar lunas lewat kata.”

Anda mungkin juga menyukai