Anda di halaman 1dari 51

Maaf Yang Tak Terucap

Kumpulan Antologi Cerpen


Karya Generasi Z

Penulis:
Siti Nur Annisa, dkk.

Penyunting Naskah:
Rika Wulandari

Desain Sampul:
Muhammad Hary’s Simajuntak
Maaf Yang Tak Terucap
Kumpulan Antologi Cerpen Penata Isi:
Karya Generasi Z Riski Maulana

ISBN:

Diterbitkan Oleh:
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa taala, Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya buku antologi yang berjudul
“Maaf Yang Tak Terucap” dapat terselesaikan. Buku antologi ini berisi karya
tulis nonfiksi, yakni cerpen yang dituliskan oleh kalangan mahasiswa maupun
masyarakat umum.

Event Nulis Bareng atau disebut Nubar merupakan salah satu program
kerja Divisi Redaksi LPM Dinamika UIN SU periode 2022–2023 yang bergerak
untuk mewadahi pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat umum untuk menu-
lis bersama, yang kemudian tulisan tersebut dipublikasikan menjadi lembaran
cetak. Jika pada 2021 lalu tidak ada event ini, maka dengan kepengurusan yang
baru di 2022 inilah Divisi Redaksi LPM Dinamika UIN SU mengeluarkan geb-
rakan baru.

Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah bersedia membantu jalannya
Event Nubar ini hingga selesai. Terkhusus, ucapan terima kasih kepada seluruh
kontributor yang telah ikut serta untuk meramaikan dan menyukseskan event
ini. Semoga apa-apa yang kita tulis dapat bermanfaat untuk diri kita sendiri
juga orang banyak.

Harapannya dari event ini, seluruh tulisan yang disajikan oleh para penulis
dapat menambah wawasan dan referensi bagi pembaca. Kemudian, diharap-
kan juga agar kita semua terus konsisten dalam berkarya di mana pun kita
berada. Mengapa? Karena jasad bisa saja tiada, tetapi karya tidak ada matinya.

Tentunya dalam penyusunan buku antologi ini tidak luput dari kesalahan,
maka dari itu kami mengucapkan permohonan maaf apabila banyak kesalahan
dan kekurangan dalam penyusunannya. Namun terlepas daripada itu, kami
telah berusaha untuk dapat melakukan yang terbaik.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Medan, 13 Desember 2022

Deddy Irawan
(Pemimpin Redaksi 2022—2023)
Maaf yang Tak Terucap
Oleh: Siti Nur Annisa Hari demi hari yang kulewati bagaikan sebuah neraka. Sedikit berlebihan,
tapi memang itu adanya. Rumah menjadi tempat yang paling kuhindari. Ketika
bapak di rumah, aku selalu pergi bermain. Kalaupun lelah, aku tetap memaksa
“Mulai sekarang, ringankanlah bibir untuk mengucapkan diri untuk berada di luar.
kata maaf dan terima kasih. Hargai mereka yang pernah hadir di
Sampai aku masuk usia remaja pun, rumah tetap menjadi tempat yang
kehidupan mu, selagi mata dan mata masih bisa bertemu. Jangan
kubenci. Kehadiran bapak membuat diri ini tak nyaman. Entah karena dirinya
tunggu hilang baru kau tersadar”
yang pernah memukul atau meneriaki aku, yang pasti aku tak suka dengan
sikap dan perilakunya. Dia bahkan pernah melempar makanan yang kusajikan

A
padanya hanya karena tak sesuai dengan keinginannya.
da seseorang yang kehadirannya tidak kusukai. Aku pun takut jika
berpapasan dengannya. Hari-hariku terasa menyesakkan jika berada Ibuku yang terlampau sibuk, tidak pernah bisa menyempatkan diri untuk
di sekitarnya. Segores senyum pun enggan kuberikan padanya. Seseo- segala momen penting di sekolahku. Ya, bapak yang menggantikannya. Ia sela-
rang yang harusnya jadi cinta pertamaku. Ya, seseorang yang kumaksud ialah lu ada waktu senggang seusai bekerja. Saat acara perpisahan pun bapak datang
bapakku. untuk menemaniku, tapi aku tak menyukai kehadirannya. Wajahku cemberut
karena marah dan kecewa.
Kala itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Tidak banyak yang tahu
kalau anak dengan badan yang kecil ini harus menjadi dewasa sebelum wak- Aku tak pernah meminta barang atau uang saku pada bapak. Ya ... mudah
tunya. Dalam hidupku tidak ada figur seorang bapak. Aku punya bapak, tapi, saja, karena memang aku tak mengharapkan itu darinya. Bahkan aku selalu
ya, hanya raganya saja, yang diberikannya padaku hanya rasa takut. Aku begi- berkata kalau aku bisa hidup hanya dengan ibu. Bapak juga tak cukup der-
tu membencinya. mawan untuk memberikan anaknya uang saku.

Bapak selalu memperlakukanku dengan keras, memukulku tanpa segan, Rasa benci yang kurasakan begitu besar, sampai pada akhirnya mereka
meneriaki aku tanpa ragu. Aku selalu bertanya-tanya, apa salahku? Bahkan ke- berpisah. Seperti terlahir kembali, aku memiliki kehidupan yang baru. Rumah
tika aku menangis mencari ibu pun ia bukan memeluk atau menenangkan, ia akhirnya menjadi tempat ternyaman untuk beristirahat. Di rumah ini hanya
memukul punggungku dengan tangannya yang berat. ada aku dan ibu, keadaan yang mampu membuat kami bernapas dengan lega.

Keluargaku sudah hancur kala itu, aku pun hanya bisa menerimanya. Mau Bapak pergi entah ke mana, aku tak tahu dan tidak mau tahu juga. Sebisa
bagaimana lagi? Aku tak punya kuasa untuk memperbaiki hubungan yang su- mungkin aku tak ingin berjumpa lagi dengannya. Sampai suatu ketika, aku
dah rusak ini. Aku selalu bersikap tegar dan seolah tidak terjadi apa-apa, semua mendapat kabar kalau ia masuk rumah sakit. Sedih? Tentu tidak. Ibu men-
kulakukan agar ibu tidak bersedih. Aku pun tidak mengeluh dengan keadaan yarankanku untuk menjenguknya, dan kulakukan. Seperti biasa, di wajahku
ini, ibuku sudah terlalu lelah bekerja untuk mendengarkan keluhanku. Aku tak terlukis sedikitpun senyum jika berhadapan dengannya. Hanya menyapa
cukup jadi anak baik agar tidak membebaninya. dan duduk dengan manis.

Bapak memang bukan seorang “bapak” yang baik untukku, bukan juga Ada satu permintaan darinya yang dari lubuk hati sangat enggan kulaku-
suami yang baik untuk ibu. Akan tetapi, harus kuakui bahwa ia seorang yang kan. Bapak memintaku untuk menyuapinya bubur. Tangan kecilku menyua-
pekerja keras. Ia melakukan segala pekerjaan meski itu terlihat sulit, ibuku pun pinya dengan lembut dan hati-hati meski rasanya aku seperti menyuapkannya
memilihnya sebagai pendamping hidup karena alasan itu. Hanya saja ia sangat rasa benciku. Hanya sampai tiga suapan, dia memintaku untuk berhenti. Tiga
buruk melaksanakan tugasnya sebagai kepala rumah tangga. suapan yang terasa seperti tiga puluh suapan. Sedikit waktu yang kuhabiskan
dengannya terasa begitu lama dan menyesakkan.
Tak lama kemudian, bapak sudah bisa pulang. Ia tinggal di kediaman orang Aku pergi ke kamar dan mengambil album foto. Gambar pertama yang ku-
tuanya, di rumah kakek dan nenek. Keadaannya belum bisa dikatakan baik. lihat ketika bapak menggendongku di hari ulang tahun pertamaku. Lalu, ada
Ya, apa urusannya denganku? Waktu pun berlalu dengan baik dan aku tak lagi gambar di mana kami berlibur di tempat pemandian, ia memelukku dan kami
mendengar kabar dari bapak. tertawa di sana. Gambar lainnya di mana ia memelukku dengan tatapan yang
sendu, seperti pelukan rasa sayang. Aku tak tahu kalau aku pernah merasakan
Sampai di satu malam, ibu menerima telepon dari keluarga bapak kalau itu, aku bahkan tak mengiranya. Foto-foto tadi semakin membuat air mataku
kesehatannya semakin menurun. Kami pergi untuk melihat kondisinya. Ibu tumpah tak karuan.
saat itu langsung masuk ke ruangan di mana bapak terbaring. Ia duduk dan
mengucapkan sepatah-dua kata di telinga bapak yang pandangannya entah ke Hari-hari pun berlalu, terkadang aku masih suka menangis. Mengingat aku
mana, ia bersikap lembut meski mereka sudah berpisah. Ibu juga memerintah- tak pernah menghargai segala yang dia lakukan untukku. Ah, aku pun teringat
kan kepadaku untuk melakukan hal yang serupa. di mana bapak pernah mengantarku ke sekolah dengan becaknya. Aku tidak
terlalu senang, bukan ... bukan karena kendaraannya, tapi, ya, karena itu bapak.
Aku tak tahu harus berkata apa, aku hanya menggenggam tangan besarnya
yang dingin. Tidak, aku tidak menangis, sama sekali tidak. Aku hanya diam Hal-hal kecil yang tidak mau kuingat seketika muncul bertubi-tubi. Ketika
dan memandang wajahnya yang seperti orang kebingungan. Dia tidak melihat ia menutup wajahku agar tidak terkena debu, memegang badanku yang ter-
kami walau matanya terbuka lebar. Aku tak ada pikiran apapun kala itu, aku tidur di motor agar tidak terjatuh, mengambil rapor sekolahku, datang di se-
hanya mengira ia begitu karena menahan rasa sakitnya. tiap momen pentingku, menyuapiku kue ketika ulang tahun, pergi ke klinik
dengan kakinya yang berdarah untuk melihatku yang baru saja kecelakaan,
Entah firasat ibu yang memang kuat atau memang sudah takdirnya, kee- mengikat rambutku yang lusuh, memegangku dengan erat ketika naik wahana
sokan paginya aku menerima telepon kalau bapak sudah pergi. Aku yang saat permainan. Terlalu banyak hal-hal kecil yang baru kuingat setelah dia pergi.
itu sedang bersiap untuk pergi sekolah langsung terdiam sejenak. Tidak, aku
tidak menangis. Aku hanya terkejut. Sekarang aku tahu alasan kenapa ibu Menyesal, satu kata yang mewakili diriku. Ya, aku tahu, tak ada gunanya
menyuruhku mengucapkan beberapa kata di telinga bapak malam itu. menyesal sekarang, tapi manusia memang begitu. Seperti potongan lagu, “Ka-
lau sudah tiada baru terasa,” itulah yang kurasakan. Rasa bersalah itu terus ber-
Tanpa mengganti pakaian yang sudah kukenakan, aku langsung berangkat lanjut sampai sekarang. Aku akan menangis ketika mengingatnya. Aku bahkan
ke rumah kakek dan nenek. Sesampainya di sana, pemandangan yang kulihat bisa menangis hanya mendengar lagu tentang ayah. Rasanya sakit, dada terasa
adalah mereka yang sedang menangis terisak-isak. Entah rasa benciku yang sesak. Aku benci perasaan bersalah ini.
terlalu besar atau memang tak ada rasa simpatiku padanya, aku tidak bisa
menangis. Aku hanya sibuk mengabari teman-temannya dan anggota keluarga Entah sejak kapan rasa benci itu perlahan-lahan menghilang, yang ada han-
yang lain dengan telepon genggamnya yang jadul dan terikat dengan karet. ya penyesalan yang menghantui hari-hariku. Di tiap doaku, selalu aku selipkan
namanya. Kuucapkan kata-kata yang tak sempat terucap, kutumpahkan semua
Ibu datang menyusul. Kami duduk di samping tubuh bapak yang sudah hal yang belum pernah kukatakan padanya. Aku berharap, Yang Maha Kuasa
tidak memiliki raga, ia memakai pakaian putih dan harum. Ibu menangis se- mau menyampaikannya.
jadi-jadinya. Meskipun telah bercerai, bapak pernah menjadi bagian dari kisah
perjalanan hidup ibu. Aku masih tidak bisa menangis, aku juga tak tahu men- Aku selalu berdoa agar aku bisa berjumpa bapak di hari pembalasan nanti,
gapa. Aku hanya duduk diam saja, seperti patung yang tak bernyawa. Selesai hanya untuk sekedar mengucapkan terima kasih, juga permintaan maaf; maaf
disalatkan, bapak pun dibawa ke tempat peristirahatannya yang abadi. untuk kata yang tak sempat terucap di malam sebelum ia pergi, juga terima
kasih untuk kata yang tak pernah kuucapkan atas segala hal yang ia lakukan
Aku yang lelah memilih untuk pulang lebih awal, meninggalkan ibu yang untuk hidupku. Jika ia di hadapanku saat ini, aku sangat ingin mengatakannya.
sibuk berbincang dengan sanak saudara. Sesampainya di rumah, entah apa
yang merasuki diriku, aku menangis sejadi-jadinya. Aku pun bingung, kenapa
aku menangis? Tanpa aba-aba air mataku tumpah, aku tak bisa berhenti.
“Pak, maaf karena aku tak pernah menghargai kehadiranmu, maaf karena aku terla-
lu membencimu. Maafkan aku, Pak, aku selalu bersikap ketus padamu. Maaf aku tidak
Tokoh Utamanya Kamu
pernah bisa menjadi anak perempuan yang bersikap manis padamu,” Oleh: Hilda Putri Ghaisani

“Bapak, terima kasih juga, ya. Terima kasih atas kehadiranmu di setiap momen ter-

S
penting dalam hidupku. Terima kasih telah mengantarku ke sekolah, terima kasih untuk
pelukan hangat yang pernah engkau berikan,” ore hari ini diisi Kinan untuk pergi ke swalayan terdekat dari rumah ker-
abatnya. Ia ingin membeli beberapa perlengkapan juga cemilan untuk
Maaf dan terima kasih adalah kata-kata wajib dalam hidupku sekarang. dibawa dalam perjalanan pulangnya ke Solo. Dirinya sudah dua minggu
Aku tidak ingin lagi ada penyesalan untuk diriku. di Kota Jogja, pastinya sudah menikmati beberapa destinasi dan makanan di
kota ini.
“Mulai sekarang, ringankanlah bibir untuk mengucapkan kata maaf dan
terima kasih. Hargai mereka yang pernah hadir di kehidupan mu, selagi mata “Permisi, kamu yang tadi di Kopi Kenangan, kan?” tanya seorang pria yang
dan mata masih bisa bertemu. Jangan tunggu hilang baru kau tersadar” tak asing bagi Kinan.

“Oh, Mas yang tadi, ya?” tanya Kinan balik. Pria itu adalah seorang bartend-
er di salah satu Coffee Shop yang tadi Kinan kunjungi bersama teman-temannya.
Tentang Penulis
“Mas tinggal di sekitar sini?” tanya Kinan basa-basi.
Siti Nur Annisa atau akrab disapa ‘Nisa’ adalah perempuan yang sudah
memasuki usia kepala dua. Terlahir pada tanggal 1 April di Medan, Sumatra “Tidak, cuma mampir sebentar, kok, beli rokok,” jawab ‘Mas’ tersebut den-
Utara. Anak tunggal yang sangat menyukai kucing, dan menulis menjadi hobi gan rokok yang ditentengnya.
baru yang cukup menyenangkan.
Pembicaraan di petang itu menjadikan pertemuan mereka sedikit mencair.
Setelah pertemuan mereka tadi, Kinan meneruskan belanjanya yang ditemani
oleh pria itu, Raka namanya. Mereka berbincang mengitari swalayan sambil
Kinan memilah apa yang akan dibelinya.

“Kamu tinggal sekitar sini, Nan?” Mereka masih saling tanya jawab dan
mengenal.

“Oh, enggak, kok. Hanya berkunjung ke rumah kerabat saja, sekalian ber-
libur, hehe. Ini sudah mau kembali ke rumah,” jelas Kinan yang menoleh saat
namanya dipanggil.

“Hari ini pulangnya? Naik apa? Jam?” Raka bertanya berturut-turut, se-
dangkan Kinan malah tertawa heran melihat wajah pria asing itu yang penasa-
ran.

“Naik kereta, mungkin berangkat dari rumah sehabis Maghrib,” jawab


Kinan perlahan.
“Berangkatnya dari Stasiun Tugu?” Pertanyaan pria itu seperti sudah sangat “Oh, tidak, Pak, sudah selesai semua, kok. Sebentar lagi saya masuk, terima
hafal dengan kota ini. kasih, ya, sudah mengingatkan,” ucap Kinan tidak enak hati. Bergegas Kinan
mengambil seluruh barang bawaannya dan berjalan menuju gerbong. Kali ini
“Iya,” Begitu jawab Kinan singkat. terdengar teriakan dari seseorang yang berlari memanggil nama Kinan.

“Nanti kita ketemu di sana, ya? Saya temani sampai keretanya berangkat, “KINANNN!”
kebetulan rumah saya dekat dari Stasiun Tugu,” ujar pria yang saat ini sedang
menatapnya. Mendengar suaranya, Kinan menoleh dan mendapati seseorang yang di-
tunggunya sejak tadi. Pria dengan perawakan yang tinggi dengan pakaian
Entah mengapa ucapan pria itu membuat Kinan sedikit terkejut, apa mak- yang sudah setengah basah, warna bibirnya yang pucat, serta kantong plastik
sud dari ucapannya? Apakah pria itu tertarik dengannya? Jujur saja Kinan merah bawaanya membuat Kinan berdebar. Raka menepati ucapannya.
memang sedikit tertarik dengan pria itu, sehingga ucapannya barusan seperti
gelagat membangun pendekatan untuk hubungan mereka. “Kenapa hujan-hujanan?” tanya Kinan dengan nada khawatir dan dibalas
oleh senyuman dan sodoran kantong plastik.
***
“Ini Ayam Penyet Pak Gembus. Maaf, ya, tadi pembelinya ramai banget ...
Jam dinding menunjukkan pukul 18.20 WIB, sekitar dua puluh lima menit jadi telat, deh, ke sininya,” ucapnya dengan nafas terburu-buru.
lagi kereta berangkat. Dengan tentengan di tangannya, Kinan duduk di kursi
yang telah disediakan untuk menunggu kedatangan kereta. Tiba-tiba saja ge- “Maaf, Mas, keretanya sudah mau berangkat, saya masuk sekarang, ya?”
muruh hujan terdengar, suasana malam menjadi sangat dingin dan mencekam kata Kinan sambil menunjuk arah gerbong kereta.
akibat kilat yang sambar-menyambar. Sejenak Kinan memikirkan pria yang
tadi berucap ingin menemuinya di stasiun. “Iya, buruan masuk! Nanti ditinggal, loh,” candanya dan menyodorkan
kembali kantong plastik itu.
Kinan merasa sedikit gelisah, apakah dia kehujanan atau malah terjebak
macet di jalanan? Hingga pukul segini pun belum terlihat kedatangannya. Dengan bungkusan merah yang sudah di tangannya, Kinan segera masuk
Sempat terlintas di pikiran Kinan bahwa pria itu lupa dengan ucapanya sendi- ke dalam kereta untuk mencari tempat duduknya. Setelah itu, ia mengingat-in-
ri. Sibuk dengan lamunannya, ia baru tersadar saat terdengar suara peringatan gat ucapan pria tadi sebelum mereka berpisah.
bahwa sepuluh menit lagi kereta akan berangkat. Beberapa penumpang sibuk
“Nanti kalau sudah duduk, plastiknya langsung dibuka, ya,”.
bersiap-siap untuk masuk ke dalam gerbong. Tidak dengan Kinan, ia terlihat
menoleh kanan-kiri berulang kali mengharapkan kedatangan pria itu. Tak tunggu lama Kinan membuka bungkusannya dan mendapati sekotak
makanan juga sebotol minuman perisa. Betapa terkejutnya Kinan saat melihat
“Haruskah aku akan terus menunggunya? Bagaimana jika memang dia
ada sepucuk kertas yang menempel di botol minumannya.
lupa? Atau jangan-jangan dia sudah datang tapi tidak melihatku?” keluh Kinan
dalam hatinya. Saat Kinan sibuk menoleh dan terlihat sangat gelisah, ada ses- “Dimakan, ya. Ini makanan terenak seantero Jogja, jadi gak boleh dibuang!
eorang yang menepuk pundaknya. Ini nomor telepon saya: 0897-7677-7757, tolong hubungi setelah kamu baca su-
rat ini,” tulis Raka dalam suratnya.
“Permisi,” Suara itu sedikit mengejutkan Kinan, reflek ia menoleh ke sum-
ber suara. Setelah membacanya, Kinan melirik ke arah pria tadi. Terlihat pria tadi se-
dang memegang ponselnya seperti mengharapkan sebuah panggilan segera.
“Maaf, Mbak, apakah ada yang sedang ditunggu? Apakah ada barang yang
Bergegaslah ia mulai mengetikkan nomor itu dan memanggilnya.
tertinggal? Jika memang sudah lengkap, silakan masuk ke gerbong karena se-
bentar lagi kereta akan berangkat, ya,” ucap salah satu petugas stasiun.
“Ah, akhirnya... terima kasih sudah menghubungi saya langsung!” ucap 1 tahun kemudian
pria itu dengan nada senang.
Raka kini seorang fotografer terkenal di Jogja, ia selalu mendapat tawaran
“Terima kasih, ya, tadi saya lupa mengucapkannya,” Bukannya membalas, kerja yang mengharuskannya pulang-pergi dari berbagai kota. Mendengar se-
ia malah menimpalnya dengan ucapan terima kasih juga. buah Festival akan dilangsungkan di Solo membuat Raka ingin sekali memo-
tret beberapa keelokan dari model dan usungan acara tersebut. Raka datang ke
“Iya, sama-sama, Kamu tidak penasaran dengan nama saya?” tanya pria itu, Solo sehari sebelum festival dimulai.
kinan terkekeh.
Mengingat kota Solo adalah tempat di mana Kinan—orang yang ia sukai
“Hahaha, bukannya Mas sudah pernah menyebutkan nama, ya?” satu tahun lalu pada pandangan pertama—Raka dengan sangat berharap
dapat menemukan wanita idamannya itu ketika berada di kota ini. Raka sem-
“Hm, pernah memang, tapi itu, kan, bukan nama lengkap,” aku masih ter-
pat kehilangan kontak Kinan karena ponselnya hancur pada kecelakaan enam
tawa mendengarnya.
bulan lalu di perjalanan ke Surabaya. Jadilah ia yang tak pernah lagi berkabar
“Baiklah, jadi–” dengan Kinan.

“Caraka Setya, biasa dipanggil Mas Raka. Saya 21 tahun, kalau kita seu- Raka menyusuri jalanan asri Kota Solo, ia melirik kearah Coffee Shop yang
muran boleh panggil Raka. Maklum, saya anak pertama jadi selalu dipanggil tampaknya nyaman dengan pohon besar di depannya. Kopi Kenangan naman-
Mas,” Dipotongnya langsung ucapan Kinan, benar-benar tidak sabaran. ya, nama yang sama dengan Coffee Shop tempat ia bekerja setahun lalu. Raka
masuk dan memesan secangkir kopi.
“Kamu tidak mau menyebutkan nama balik?” Lagi-lagi aku tertawa, lelaki
ini bawel sekali. “Benar-benar rindu dia,” ucap Raka lirih memandangi beberapa wanita
muda yang sedang bersenda gurau.
“Hahaha, tadi Masnya panggil nama saya, kan, tau dari mana?” tanya Kinan
balik. Keesokan harinya, tepat pukul 09.45 WIB, Festival telah dimulai. Beberapa
penampilan menarik dari pengisi acara telah disuguhkan, tak lupa diabadikan-
“Kamu memang gemar bertanya balik, ya?” candanya, “di kopimu tadi saya nya dengan kamera digital hadiah ulang tahunnya dulu. Beberapa kali Raka
tulis dengan nama Kinan, jadi saya pikir nama kamu adalah Kinan,” jelasnya. terkagum melihat model batik yang dipamerkan, sangat indah. Lenggak-leng-
gok model yang anggun dan cantik pun turut menarik perhatiannya, terkhusus
“Oh, iya benar hahaha. Saya lebih muda, kok, jadi bisa panggil Mas Raka. pada satu model yang tak asing tertangkap kameranya.
Nama saya Pertiwi Kinanti, dipanggil Kinan,” jawabnya.
“Matanya kenapa mirip sekali dengan Kinan?” ucap Raka dalam hati sam-
“Pertiwi Kinanti,” Ulang Raka di telepon, sembari mengingat-ingatnya un- bil mengalihkan kameranya. Penasaran dibuatnya, Raka mengikuti model
tuk dapat ia simpan sebagai kontak wanita dambaannya. Ya, mulai hari ini dia tersebut dan terus mengamati dari jarak jauh. Hingga Festival selesai pun Raka
menemukan seorang wanita pujaannya. tak lengah memandangi wanita itu.

Kembalinya Kinan ke kota asalnya menimbulkan sedikit rasa sedih pada “Jika memang itu Kinan, itu artinya kami memang berjodoh. Ya, kuharap
wajah pria itu, tak berhenti ia menatap ekor kereta seakan tak rela bahwa ga- begitu,” ucapnya lirih.
dis dambaannya benar-benar sudah pergi meninggalkan kotanya. Meski belum
genap satu hari, ia begitu yakin perasaan ini nyata. Saat para model telah selesai, otomatis make-up yang digunakan telah ter-
hapus. Hal ini menjadi kesempatan untuk Raka memastikan wanita yang tadi
*** dilihatnya.
“Ternyata benar dugaan saya bahwa kamu adalah Kinan. Saya sempat pan- “Kamu salah satu pengisi acara?”
gling karena riasan wajahmu tadi,” ucap Raka sedikit mengagetkan wanita itu.
“Sebenarnya bukan, tapi tiba-tiba disuruh menggantikan,” jawab Kinan
“Mas Raka?” Saat ini Kinan memang sedang menerima tawaran menjadi sambil berjalan pergi meninggalkan Raka karena telah dipanggil rekannya.
model batik Festival, dan benar saja model yang sedari tadi diincar Raka adalah
Kinan. “Lalu, aku ditinggal sendirian?” tanya Raka pada dirinya sendiri. Ya, me-
mang begitulah nasib.
Pertemuan mereka saat itu tanpa disengaja. Kinan, seorang mahasiswi De-
sain Komunikasi Visual Universitas Sebelas Maret yang diberi tawaran apik Acara sudah dimulai, beberapa penampilan istimewa disuguhkan. Penon-
oleh salah satu relasinya di luar kampus untuk menjadi model di ajang ber- ton bertepuk tangan dengan sangat antusias, begitupun Raka. Pandangannya
gengsi tersebut. Sedangkan Raka, melakukan pekerjaannya dengan memotret fokus dengan penampilan di atas pentas, terutama penampilan saat ini. Sebuah
model yang sekiranya menarik perhatiannya. pertunjukkan Disney dari beberapa mahasiswa, penampilan dari negeri don-
geng yang sering Raka dengar, Putri Salju dan Tujuh Kurcacinya. Beberapa
Setelah pertemuan itu, mereka asik berbincang di sekitar alun-alun Solo— sentuhan unik menjadikan penampilannya sedikit berbeda, tentu saja tetap
tempat Festival tadi —hingga malam hari, tak lupa mereka saling berbagi kon- memanjakan mata penonton. Tak disangka, Kinan muncul dengan gaun putri
tak lagi setelah lama tidak berkomunikasi lewat telepon. Betah di Solo karena saljunya yang manis. Menonton selama 35 menit tak terasa bagi Raka, terlebih
bertemu Kinan, Raka memintanya untuk bisa mengajaknya ke suatu tempat ada wanita dambaannya yang menjadi tokoh utama di penampilan itu.
agar bisa menikmati kota ini lagi sebelum ia kembali ke Jogja.
“Bagaimana penampilan kami? Membosankan, ya, Mas?” tanya Kinan saat
“Oh, Mas mau gak kalau besok ikut saya ke acara kampus? Terbuka untuk kembali dari panggung.
umum, kok, kebetulan Dies Natalis jurusan saya,” Kinan mengajaknya setelah
beberapa saat membahas latar belakang mereka. “Sangat menarik perhatian, apalagi kamu Putri Saljunya,” jawab Raka sam-
bil tersenyum dibalas delikan dari Kinan, mereka terkekeh.
“Boleh, sudah lama tidak pernah ke kampus lagi,” Spontan dijawab Raka
atas ajakan Kinan. “Saya kira akan sangat menakutkan berdiri di panggung itu. Ya... takut saja
penonton tidak suka, karena seharusnya bukan saya yang jadi putri saljunya,”
“Bentar, Mas Raka alumni UNS?” dibalas dengan anggukan, sungguh ter- ucap Kinan dengan nada khawatir.
kejut kinan.
“Penampilan tadi, tuh, sangat keren! Siapapun tokoh utamanya, dialah kun-
“Iya, Jurusan Seni Rupa,” jawab Raka. ci utamanya. Penampilan tadi apik sekali karena pemeran utamanya kamu,”
Sanjungan Raka membuat Kinan salah tangkah, ucapannya barusan seak-
“Loh, serius? Kok waktu itu Mas di Jogja?” an-akan menjadi pertanda bahwa pria di hadapannya juga menaruh perasaan
yang sama.
“Waktu itu saya lagi ikut pertukaran pelajar dan kebetulan di UNY,” jawab
Raka santai. “Seandainya di penampilan tadi aku bisa berperan sebagai seorang pangeran, aku
sangat bahagia jika kamu sebagai putrinya,” gumam Raka dalam hati.    
“Ya ampun, gak nyangka senior di kampus juga. Maklum, Mas, selama ini
online terus jadi gak kenal Kating, hehe,” ucap Kinan sedikit menyesal dan han- “Kopi akan nikmat ketika diseduh sesuai target penikmatnya, karena
ya dibalas kekehan dari Raka. Setelah perjanjian kemarin, mereka berdua kem- semua tergantung selera. Kuncinya ialah siapa yang menjadi penyeduh dan
bali bertemu di Aula Fakultas Seni Rupa dan Desain UNS. siapa yang menikmati. Seduhan kopi kemarin mengantar kita pada kenik-
matan di pertemuan selanjutnya”
“Mas Raka nanti duduk di sini aja, ya, di sini paling nyaman untuk melihat
penampilan,” perintah Kinan yang diiyakan oleh Raka.
Tiket
Tentang Penulis: Oleh: Izzatul Muthmainnah

Hilda Putri Ghaisani nama panjang saya, kerap dipanggil Hilda di keseha-
rian. Saya seorang mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan Universitas
Tanjungpura. Saat ini saya aktif berorganisasi dan menulis di naungan yang “Untuk segala hal yang terjadi pada diri ini, memang yang
sama, LPM Mimbar Untan. Berangkat dari sebuah opini dan cerpen yang ga- terbaik hanya pemberian dari Sang Kuasa. Sedang apa yang
gal diterbitkan membuat gairah menulis menuntun saya untuk membalaskan dikehendaki diri, belum tentu dikehendaki-Nya”
kegagalan sebelumnya. Beberapa tulisan telah terbit di website kami mimba-
runtan.com mulai dari bentuk tulisan ringan, feature, ataupun indepth telah

M
terpublikasikan.
alam ini mungkin menjadi salah satu malam yang paling indah da-
lam hidup Gala. Jika kalian bertanya karena apa, maka jawabann-
ya tidak begitu spesial tapi begitu mengesankan untuknya. Seorang
penulis yang sejak kecil Gala idolakan datang ke kotanya! Untung saja tadi
nenek menyuruhnya membeli garam di warung. Jika tidak, mungkin ia tidak
akan membaca koran yang terpampang foto penulis favoritnya itu.

“Bro, Penulis favorit kita mau datang ke Indonesia! Seneng banget rasanya!”
ucap Gala dengan begitu senang di telepon.

“Sudah tahu, kamu aja yang enggak lihat pesanku!” jawab Bagas, sepupu
Gala.

“Lah, iya? Hehe,”

“Dasar! Ya sudah, jangan lupa pesan tiket meet & greet nya, Gal, keburu ha-
bis nanti. Aku lagi di jalan, nih, aku tutup, ya? Assalammu’alaikum,”

“Yo, wa’alaikumussalam,”

Gala memang sering pergi bersama Bagas ke toko buku setiap pulang se-
kolah. Mereka mendatanginya untuk membaca karangan-karangan terbaru
idolanya yang sering mereka sebut Elang. “Karena tulisannya yang tajam dan
menakjubkan seperti mata Elang,” begitu kata Bagas. Itulah sepupunya, suka
sekali menyamakan wajah orang dengan hewan. Kemarin adiknya yang baru
lahir saja disamakannya dengan beruang, katanya imut seperti di film “Masha
and the bear”. Mereka berdua juga sering menulis bersama. Terkadang di bawah
pohon dekat ladang nenek, duduk sambil minum es kelapa langganan mereka.
Sambil meletakkan ponselnya, Gala bergegas membuka website untuk me- “Nek, wifi-nya nenek matikan lagi?”
mesan tiket meet & greet di laptop. Dengan rumah yang terbilang jauh dari
kota, sudah menjadi hal yang biasa melihat kursor di laptop berputar-putar “Iya, Nang, Nenek khawatir meledak. Soalnya kedip-kedip dari tadi,”
sangat lama dan kemudian muncul gambar dinosaurus di layarnya. Sembari
“Sudah Gala bilang itu bukan bom, Nek …” ucap Gala kesal dan berlalu.
menunggu, ia pun memutarkan kursinya ke arah lemari buku miliknya, dan
mengambil novel yang belum diselesaikannya. Di sana ada banyak buku yang Terkadang susah menjelaskan sesuatu kepada Nenek, tidak jarang ia adu
sudah ia koleksi sejak lama. Tidak perlu membayangkan lemari itu rapi, tentu mulut dengan Neneknya hanya perkara sepele saja. Ayam dibiarkan masuk
saja berserakan, hahaha. Itu akibat setelah membaca, tidak pernah diletakkan rumah, lupa membedakan garam dengan gula, bahkan suara televisi yang san-
dengan benar. gat kencang hingga satu gang bisa mendengar siaran sinetron kesukaan nenek.
Selain buku koleksi Gala, di lemari itu juga banyak tersimpan novel pening- Menunggu wifi hidup kembali, Gala melanjutkan bacaanya dengan perasaan
galan almarhum bapaknya. Memang sejak kecil buku sudah mendarah daging kesal sekaligus khawatir kehabisan tiket. Sangat disayangkan untuk melewati
dalam dirinya, bahkan Gala menganggap sastra adalah bagian dari hidupnya. kesempatan kali ini! Apalagi, Elang adalah penulis nomor satu di dunia sejak
Setiap ada toko buku, ia akan menarik tangan bapaknya untuk singgah seben- ia kecil, dan tentu saja Gala akan sangat kesal jika batal bertemu. Tidak lama
tar. Katanya saja sebentar, tapi sampai diburu telepon oleh ibunya saja, Gala setelah gambar dinosaurus menghilang, laptop tiba-tiba mati, dan gelap gulita
masih asyik membaca buku. Kalau kata bapak setiap membangunkannya sho- menyelimuti seisi kamar. Pemadaman Bergilir! Ah!
lat shubuh, “Gala si Kutu Novel, bangun kamu!”.
Saking kesalnya karena hari ini tidak bisa memesan tiket, Gala pun memi-
Gala bisa dikatakan memiliki bakat menulis dari bapaknya yang merupa- lih tidur dan mencoba melupakan perihal tiket untuk sejenak. Sambil menat-
kan seorang penulis terkenal saat masih muda dulu. Sayangnya, ketika Gala ap dinding yang dipenuhi tempelan koran berupa cerpen karangan bapak dan
pulang dari toko buku, bapak pergi untuk selamanya. Mungkin ia memiliki poster penulis Elang. Ia mulai berkhayal bertemu dengan penulis favoritnya.
bakat menulis karena ditakdirkan untuk menjadi penerus bapaknya, sedang- Seperti mimpi saja rasanya dapat bertemu, setelah bertahun lamanya karangan
kan Bagas mulai suka menulis dan membaca buku karena sering mengikutinya Penulis Elang ia baca, dan menjadi panutannya dalam menulis.
ke toko buku tiap pulang sekolah. Ya.. kebetulan rumah mereka satu arah, ha-
nya saja sejak SMA Bagas pindah rumah ke kota yang akhirnya mereka hanya ****
bisa bertemu setiap lebaran. Ibu Gala menjadi seorang perantau di kota sejak
bapak pergi selamanya. “Gala si Kutu Novel … Bangun, Nak ...,”.

Tentu saja kenangan bersama bapak adalah masa-masa paling indah, bapak Mendengar suara bapak, sontak Gala langsung terbangun. Langsung ia
bisa menjadi apa saja bagi Gala. Jadi bapak bisa, sahabat juga bisa, kadang jadi melihat ke kanan dan kiri. Tidak ada siapa-siapa. Astagfirullah, cuma mimpi.
musuh dan kadang jadi alarm di setiap Subuh. Mungkin karena sama-sama Mungkin karena sebelum tidur ia memandangi karangan bapaknya.
mencintai sastra, Gala dan bapaknya bisa dikatakan ‘sefrekuensi’. Sejak bapak
Hampir saja lupa, Gala langsung membuka website untuk memesan tiket.
pergi, Gala semakin rajin membaca buku-buku karangan bapak dan menjad-
Namun seperti yang dikhawatirkan, tiket itu sudah habis sejak tadi malam.
ikannya semakin ingin memiliki segudang imajinasi yang hebat. Kepergian ba-
Gala langsung lemas dan rasanya ingin marah. Dalam hati mulai menyalah-
pak memang begitu terasa karena ia kehilangan bapak sekaligus sahabatnya.
kan nenek dan pemadaman bergilir kemarin. Menelepon Bagas saja susahnya
Namun siapa sangka? Ternyata Allah memberikan teman yang juga cinta den-
minta ampun, tidak diangkat-angkat padahal berdering. Rasanya mau marah
gan sastra seperti bapak, sahabatnya Bagas.
juga dengan Bagas.
Tidak terasa, sudah setengah jam Gala membaca novel sambil menunggu
“Tidak apa, Nak. Tahun depan Gala ikut lomba lagi, ya, pasti menang. Berdoa saja
jaringan yang masih saja tidak bisa diajak bekerja sama, kekesalan menyelimuti
pada Allah,” kata bapak saat ia kalah dari lomba.
hatinya.
“Sudah berkali-kali Gala ikut, tidak pernah menang pun, Pak!” “Pokoknya nanti kamu jemput aku di depan statiun, ya!” ucap Gala.

“Ingat yang selalu Bapak bilang, Nak. Setiap sesuatu yang dirasa baik, belum tentu “Ga mau, ah, kamu lama! entar penulisnya keburu pulang ke Jakarta!”
itu yang baik untuk Gala, begitu pun sebaliknya. Allah tahu yang terbaik buat Gala,” Jawab Bagas.

“Galaa, bangunn,” teriak Nenek dari luar. “Tenang, dia saja datang kesini mau jumpain aku, kok, hahaha,”

Astagfirullah! Lagi-lagi Gala teringat bapak. Setiap ada masalah, entah men- “Hahaha, pokoknya telat kutinggal, yaa! Aku mau nugas dulu, nih, Kamu
gapa kenangan tersebut yang selalu terlintas dalam pikiran Gala. tidur sana. Aku gak mau, ya, kita ketinggalan kereta. Assalammu’alaikum!”

Ping! “Yoo, wa’alaikumussalam,” ucap Gala sambil menutup telepon.

Muncul notifikasi pesan dari Bagas: “Tenang gal, tiket kita aman. Aku tahu di Bukan Gala namanya kalau tidak bisa tidur jika sedang bahagia. Entah apa
rumahmu mati lampu, kan? Makanya jangan pelupa!”. saja yang ia kerjakan malam itu. Main game, membaca novel karangan Penulis
Elang yang belum juga selesai, buat story whatsapp “Bismillah otw kota”, bahkan
Gala tertawa sendiri setelah sadar bahwa tadi malam ia sudah menitipkan saking senangnya, ia membongkar dan merapikan lemari bukunya yang entah
tiket itu kepada Bagas sebelum tidur lewat pesan. Jika sepupunya itu bisa den- kapan terakhir kali buku-buku di sana tertata rapi.
gar sekarang, akan ia katakan bahwa pelupa itu memang sifat manusia. Meski
pelupanya Gala itu memang sudah sampai di level tertinggi, begitu kata Bagas Alhasil, di pagi itu sudah puluhan notif telepon dari Bagas tertera di layar
setiap Gala lupa di mana meletakkan ponselnya. ponselnya. Jarum jam pagi itu membuat Gala sontak bangkit dari tempat ti-
durnya, langsung pergi ke dapur mencari neneknya. Ah! Masalah apa lagi ini!
****
“Sudah bangun, Nak?”
Kembali seperti kemarin, kali ini Gala memesan tiket kereta api untuk per-
gi ke kota. Memang belum selesai juga perkara tiket ini. Gala membuka lap- “Nenek kenapa tidak membangunkan aku?! Nenek lupa aku mau pergi ke
top dan ternyata kehabisan baterai. Mau tidak mau, Gala harus memesan tiket kota?!” Teriak Gala dengan nada yang tidak pantas dikeluarkannya.
kereta api dari ponselnya yang sangat lola1 itu. Sudah lama sejak Gala menab-
ung di celengan untuk membeli ponsel baru, tapi yang penuh adalah lemari “Ibumu mau datang siang ini, naik kereta api katanya. Tidak mau bertemu
bukunya karena terus membeli novel terbarunya Penulis Elang. Ibu?”

Kali ini jaringan lancar dan listrik juga aman, hanya ponselnya yang sangat “Ibu-Ibu! Sudah bosan! Perkara Ibu mau datang aku tidak jadi ke kota. Su-
tidak bisa diajak bekerja sama untuk kesekian kalinya. Kemarin Dinosaurus dahlah! Nenek memang tidak bisa tidak membuat kesal sehari saja!”
yang terpampang di layar laptop, kali ini hanya wallpaper ponsel yang terpam-
Bug! Suara bantingan pintu dari kamar Gala membuat Nenek terkejut dan
pang sejak ia menekan pencarian google di ponselnya. Rasanya ada saja kend-
terduduk lemas. Tidak menyangka cucu semata wayangnya berani berbuat
ala yang terjadi dari kemarin. Dimulai dari wifi yang bermasalah, listrik mati,
seperti itu. Lantas mengalir air mata dari pipi nenek hingga membasahi keru-
kehabisan tiket, dan kali ini ponselnya yang sangat lola. Syukur akhirnya layar
dungnya.
terlihat bergerak, segera ia pesan tiket itu sebelum konflik baru muncul, apala-
gi besok pagi-pagi sekali Gala harus sudah berangkat ke kota. “Sudahlah! Aku terlanjur malas rasanya. Kamu pergi saja sendiri!”
“Hari yang ditunggu! Penulis Elang, aku tidak sabar!”.

****
Loading lama..................
“Aduh sayang sekali, Gal. Kalau gitu, Kamu mau aku minta tanda tangan trakampus, LDK AL-IZZAH UIN SU.
Penulis Elang biar--” Belum selesai Bagas berbicara Gala sudah menutup pang-
gilan teleponnya marah dengan semuanya. Ia merasa dunia sama sekali tidak Dengan nama pena mizumy, selain menulis, ia juga sangat suka membaca
mendukungnya. hal-hal yang berbau sastra, desain, editing video, menonton film, ke toko buku,
serta mencintai langit dan laut. Sejak kecil ia sangat senang dengan dunia
“Berita terkini. Kereta Api perjalanan…” sastra dan menganggap sastra adalah bagian dari hidupnya.

Untuk kesekian kalinya, Gala rasanya semakin marah mendengar suara Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun sosial media Insta-
televisi yang dihidupkan nenek dengan suara yang sangat keras. gramnya, @izzamuth. Salam kenal! ^^

“…dari Kabupaten Siampat menuju kota terjadi kecelakaan maut. Rel di daerah Ka- Titi Mangsa: Medan, 11 Oktober 2022.
bupaten Siampat mengalami kerusakan, akhirnya kereta api keluar jalur dan menerobos
pemukiman warga. Tidak hanya itu, menyusul kereta api dari kota yang hendak menu-
ju ke Kabupaten Siampat pun keluar jalur hingga menyebabkan kebakaran besar. Kereta
habis terbakar dan sekitar 15 rumah juga habis terbakar. Saat ini, 25 mobil pemadam
sedang berusaha mematikan api yang terus menjalar dan belum ditemukan penumpang
yang selamat dalam kereta api tersebut…”

Astagfirullah!

Sontak Gala keluar kamar, langsung memeluk erat neneknya dan menangis
tersedu-sedu. Perasaan malu dan merasa bersalah menyelimuti diri, ia tak
menyangka hal itu akan terjadi. Tidak terbayang apa jadinya jika tadi ia tetap
pergi. Pantas banyak sekali kendala untuk memesan tiket kemarin, ternyata
Allah telah menyelamatkannya. Ucapan bapak kala itu ternyata benar, Allah
memang tahu yang terbaik.

Masih terngiang berita yang barusan didengarnya. Gala baru sadar bukan
hanya kereta api dari kabupatennya saja yang kecelakaan, melainkan juga kere-
ta api dari kota. Astagfirullah! Melepas pelukan nenek, ia langsung berlari kel-
uar rumah tanpa alas kaki. Ibu naik kereta api dari kota!

Tentang Penulis:

Izzatul Muthmainnah adalah seorang pecinta sastra yang lahir di Medan, 2


Desember 2003 dan berasal dari Batubara. Perempuan Melayu ini merupakan
lulusan dari pesantren di Yayasan Islamic Centre Sumatera Utara (YIC-SU).
Saat ini sedang menempuh semester III di Universitas Islam Negeri Sumatera
Utara dengan mengambil jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI),
Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK). Ia juga aktif dalam organisasi in-
wilayah pusat. Jika ada halangan atau rintangan yang menghadang tugasmu,
Ibu Jari yang Berdosa pikirkan dengan matang dan jangan bertindak gegabah. Kita harus bersikap
Oleh: Fakta Putra Buana selunak mungkin dengan masyarakat, kalau perlu tanggalkan seragammu dan
berbaurlah. Mengerti?”

“Siap, mengerti!”
“Jangan pernah membuat kesalahan dengan bentuk dan
alasan apa pun, jika tak ingin berbuah penyesalan di kemudian Sayangnya, tugas kali ini menuntutnya untuk berjalan sendiri, tentunya dis-
hari. Setitik ulah bisa saja merenggut nyawa seseorang begitu esuaikan dengan agenda kerja yang telah dirancang oleh komandan. Detek-
mudah” tif Rahmat hanya diantar oleh seorang ajudan komandan yang juga juniornya
sendiri menggunakan sedan biasa tanpa atribut apa pun. Jika mereka menggu-
nakan Jeep milik pangkalan, tentunya akan menyita perhatian warga setempat.

K
Waktu keberangkatan mereka juga pagi-pagi sekali, hampir berbarengan den-
ampung Telu Watu, sebuah dusun yang masih terletak di wilayah Jawa
gan langkah para petani dan peladang. Penampilan mereka pula begitu seder-
Tengah, agaknya sulit tersorot oleh peta elektronik di gawai paling
hana layaknya warga desa.
canggih sekalipun, mengalami kegemparan selama tiga minggu ber-
turut-turut. Peristiwa ganjil dialami tiga orang pemuda dan terpaksa mem- “Far, kamu benar-benar gak bisa temani saya? Saya yakin penyelidikan ini
bawa mereka untuk segera bermuara pada gerbang kematian di depan mata. tidak bisa selesai hanya dalam tiga hari apalagi seminggu, sebab motif, pola,
Segenap warga bahkan perangkat desa setempat merasa telah melakukan cara dan waktu kejadiannya sangat misterius. Warga hanya bisa mengandalkan ke-
terbaik setelah berkaca pada kematian pertama, dan tetap saja tidak membuah- polisian,” ungkap Rahmat sangsi. Raut tegangnya tertuju kepada Jafar yang
kan hasil. Korban selanjutnya masih juga berjatuhan dengan kondisi menge- fokus mengemudi.
naskan. Pemuka agama juga dibuat heran karenanya. Lima orang pintar diseli-
diki satu per satu, apakah kejadian itu hasil dari kekejaman tangan mereka “Maaf banget, nih, Bang, bukannya saya gak mau ikut. Selain patuh sama
atau tidak, pula terbantahkan. Mereka mengaku hanya menghabisi seseorang perintah, saya juga masih ada tugas lain, Bang. Seperti menyelidiki jaringan her-
tergantung permintaan dari klien, bukan timbul dari keisengan belaka. oin yang masuk ke tiga kawasan di Kalimantan, saya gak bisa setengah-seten-
gah untuk menuntaskannya,” sahut Jafar tegas.
***
“Iya, iya, saya paham. Tetap saja saya keberatan dengan kasus penuh mis-
Salah seorang detektif handal yang pernah memecahkan beberapa kasus be- teri ini, kenapa harus saya sendiri yang bergerak? Setidaknya ada satu partner,
rat seperti bandit korupsi, pembunuhan berencana, penyalahgunaan jabatan, lah,” timpal Rahmat lagi.
serta kasus pidana lainnya ditunjuk langsung oleh sang komandan dengan ke-
percayaan penuh. Komandan yakin, kali ini detektif tersebut akan mengemban Suasana kembali hening nan kaku setelah Rahmat melontarkan kekece-
tugasnya secepat mungkin. waannya. Jafar memilih diam dan hanya memandang ke satu titik. Rahmat
menandaskan dua botol air mineral guna meredam emosi. Hanya dalam hitun-
“AKP Rahmat Sanjaya!” ucap sang komandan dalam sikap sempurna gan tiga menit, mobil pun berlabuh di sebuah persimpangan menuju gapura
dan pandangan nyalang, “saya tugaskan kamu untuk menyelidiki sekaligus desa. Untuk langkah awal, Rahmat berniat menyambangi rumah RT dan RW
menyelesaikan perkara kasus ini hingga tuntas. Saya percaya, kamu pasti bisa!” sembari menunjukkan surat tugas.
“Siap, laksanakan!” sahutnya lantang. “Hati-hati dan semoga sukses, ya, Bang,”
“Jika memang ada kesulitan di lapangan yang membuat kasus ini tidak bisa Setelah langkah Rahmat cukup jauh, mobil lekas melaju kembali ke pang-
segera selesai, segera hubungi kantor. Nanti kita akan minta bantuan ke kantor kalan. Langkah tegap nan mantap menyusuri tanah basah akibat guyuran hu-
jan dua jam lalu. Rahmat sengaja memilih jalur yang jarang dilewati oleh war- “Seminggu berlalu tubuhnya malah semakin kuyu. Anehnya, dua hari
ga. Tangannya merogoh kantung jaket lalu dipasangnya earphone ke telinga, setelah sembuh, ia tiba-tiba pamit sekitar jam 8 pagi. Katanya mau mengem-
memutar Touch Me1 dan disambung oleh Roadhouse Blues2, dua tembang rock balikan buku ke rumah Sugeng, teman kampusnya. Saya tunggu sampai jam
yang sering diputar untuk membuang senyap atau kantuk. 5 sore, kok belum pulang juga. Satu jam selepas Maghrib saya diberitahu oleh
Mbakyu Sartini, tetangga yang tinggal di seberang sana, katanya Naning sudah
Ketika perjalanan hampir tuntas, Rahmat melihat sebuah sepeda motor hen- ndak bernyawa. Dia bila ditemukan warga sudah terlentang di jalan besar sebe-
dak menerjang tubuh seorang gadis muda yang kemungkinan sebaya dengan lum masuk gapura kampung. Saya masih kepikiran, Mas, sama anak saya. Saya
keponakannya. Gadis itu tak merasa bahaya meski jarak motor terlihat beber- … saya” Tak lama pipi wanita itu basah. Bahunya naik turun. Rahmat memberi
apa senti dari tubuhnya. Mata si gadis hanya terpusat pada layar gawainya, sejenak waktu sampai tangisnya mereda.
karena itulah Rahmat segera menerjangnya.
Lelaki itu juga merasa terharu mendengar seluruh penuturan orang tua
“Awas!” Motor tersuruk ke arah selokan. Si gadis yang ditolongnya me- Naning. Hati siapa yang tidak teriris-miris melihat anak sendiri wafat dalam
masang wajah tegang campur kaget dan panik, dadanya naik turun. Rahmat kondisi mengenaskan. Tubuh Naning tergilas truk semen ketika hendak pulang
langsung menghampiri pengendara setelah melepas rengkuhannya. ke rumah. Motornya ringsek, bahkan sepasang tangannya gepeng dengan ibu
jari yang tanggal.
“Mas, lain kali hati-hati” Saat mulut Rahmat belum mengatup, matanya
seketika membelalak. Di kedalaman selokan, tubuh si pengendara sudah tak Begitu pula yang terjadi ketika Rahmat menyambangi kediaman korban
bergerak. Mulut dan matanya terbuka, leher dan kakinya patah, serta darah ter- kedua bernama Sekar Anjani. Rahmat tak kuasa pula menahan duka yang ber-
us mengalir dari ubun kepalanya. Motornya pun rusak parah. Rahmat kembali golak di dadanya. Kronologi peristiwa dipaparkan oleh sang kakek. Ibunda
menoleh ke arah si gadis, dan ia sudah lenyap. Sekar telah berpulang tiga tahun lalu mengidap kanker payudara, sementara
sang bapak terkena serangan jantung tepat sehari setelah Sekar dimakamkan.
***
“Saya teringat waktu itu cucu saya sempat bermimpi dikejar oleh golak
Rahmat dipersilakan agar menginap sementara di rumah Pak RT. Kebetu-
bara api yang bergulung seperti ombak di lautan. Kejadiannya tiga kali ber-
lan jarak rumahnya dengan ketiga korban tak begitu jauh. Setelah menyantap
turut-turut dan membuat badannya mandi keringat setiap bangun tidur. Dua
hidangan pagi berupa teh tubruk, ubi rebus, dan nasi kucing, Rahmat memulai
hari setelahnya ia terkena demam tinggi, terpaksa harus absen kuliah. Untun-
penyelidikan dari rumah yang paling dekat, yaitu Naning Kemuning. Mahasis-
glah penyakit itu berlangsung selama tiga hari,” Kakek menjeda kalimatnya
wi Fakultas Sastra di sebuah Universitas Negeri Kabupaten Jawa Tengah. Kor-
sebentar.
ban pertama dengan dua korban lainnya memiliki hubungan sebagai teman
satu sekolah dan sempat sekelas. “Nah, setelah pulih kembali tiba-tiba Sekar ingin masak ayam goreng bal-
ado, dan anehnya ia melakukannya dengan tatapan kosong, sesekali terkikik
“Bagaimana kronologi kejadiannya waktu itu, Bu?” tanya Rahmat kepada
sendiri. Saya lihat itu semua, Mas. Ketika ayam siap dimasukkan ke panci, dia
ibunda Naning. Wanita senja itu mulai terisak ketika harus membahas kema-
mengaduh kesakitan karena tersiram minyak panas. Hanya dalam hitungan
tian putri tunggalnya.
jam, tangan kanannya melepuh dan mau tidak mau kita bawa ke rumah sakit.
“Naning sempat mengalami mimpi buruk dua malam berturut-turut, katan- Lah, bukannya sembuh, malah makin nyeri dan bengkak, ”Kakek menjeda per-
ya tubuhnya hendak diterkam harimau di hutan sebelah utara. Sehari setelahn- kataannya sebentar, lalu melanjutkannya lagi.
ya, entah kenapa ia selalu lemas dan panas dingin sepulang dari kampus. Saya
“Lalu, kita bawa ke dokter lagi dan kata dokter tangannya harus segera
kompres dahinya, rutin minum obat, dan sempat juga dibawa ke Pak Kyai,
diamputasi akibat infeksi. Saat itu bapaknya belum punya uang dan harus
tetapi semuanya nihil,” ucap ibunya Naning.
hutang sana-sini, jadi, ya, tidak bisa langsung operasi. Besok paginya malah
tambah kaget karena dia meninggal, Mas. Balutan tangannya penuh darah dan
tangan kirinya memegang gunting. Firasat saya langsung ndak enak saat itu “Loh, saya kira Mas Rahmat bakal di sini sedikit lebih lama. Sudah mau
…,” Kakek berhenti bicara. pulang, tho?” kata Pak RT.

“Jadi, almarhumah… bunuh diri, Mbah?” “Iya, Pak, saya merasa ini tidak bisa dituntaskan hanya dalam hitungan
hari. Saya harus merundingkannya dengan tim dan semoga bisa secepatnya
Sang kakek menarik napas berat, “Ya, bisa dibilang begitu, Mas,” kembali ke desa ini,”

Sebelum Rahmat memutuskan pamit karena kesaksian sudah tersimpan “Saya juga berharap Mas Rahmat bisa menyelesaikannya, sebab saya prib-
dalam gawainya, kakek Sekar menahan langkahnya. “Saya baru ingat juga, adi juga bingung dengan peristiwa ini. Sampai tidak sadar sudah terlewat tiga
Mas. Waktu cucu saya meninggal, sepasang ibu jarinya hilang sebelum diman- tahun lamanya,”
dikan. Saya masih bingung sampai sekarang, padahal sebelumnya masih utuh
semua,” tambahnya. Ketika langkah sang detektif belum jauh dari pekarangan rumah Pak RT,
seorang gadis berlari menghampiri dan hampir menubruk dadanya. Gadis itu
Hal yang sama pula dialami oleh korban ketiga, Sarto Sumarno. Sayangnya adalah gadis yang ditolong Rahmat tempo hari. Ia mengaku bernama Kemala
sang detektif tak bisa menemuinya karena kedua orang tua almarhum memilih Wahyuningsih. Terlontar kalimat panjang dari mulutnya yang sempat terger-
pindah ke Jakarta, tinggal bersama anak sulung. Mungkin untuk mengubur agap.
kepedihan peristiwa tersebut, mereka memilih untuk pergi sejauh mungkin.
Informasi lengkap justru didapat dari Pak RT yang juga sempat membantu saat “Saya tahu Bapak adalah polisi, maka biarkan saya menjelaskan semua ke-
proses pemakaman. resahan yang selama ini terjadi dan membuat saya tidak bisa hidup tenang,”
ungkapnya.
“Sarto ditemukan terbunuh tepat di malam Kamis Pahing, Mas, saat itu
rumahnya kemalingan. Televisi, kalung emas, bahkan motor baru milik al- “Memangnya ada apa?” tanya Rahmat bingung.
marhum hendak dicuri. Kebetulan almarhum sedang pergi ke kamar man-
di dan langsung melawan dua pencuri sendirian, padahal para pencuri itu “Begini, Pak. Tujuh tahun lalu, saat saya duduk di kelas dua SMP, saya dan
bawa parang dan celurit. Bapak dan ibunya terbangun saat salah satu pencu- ketiga teman yang lain; Naning, Sekar, dan Sarto pernah membuat kesalah-
ri menyenggol vas bunga sampai pecah dan menemukan almarhum dengan an dan mungkin saja tidak bisa termaafkan sampai sekarang. Kami berempat
kondisi berlumuran darah. Perutnya tertusuk, lehernya dibacok, dan tangan- pernah membuat seorang siswa bernama Budiman sakit hati. Kami pernah
nya terluka, terutama ibu jarinya yang nyaris putus. Waduh, saya ndak tega menuduhnya mencuri uang kas kelas, menghilangkan buku perpustakaan, dan
melihat jenazahnya, Mas. Ngenes, penuh luka,” membuat skenario lewat grup WhatsApp agar ia di-skors sama guru karena
mencoba untuk membobol kotak amal di masjid sekolah. Kami sadar bahwa itu
Saat malam menjelang, selepas menunaikan salat Isya, ada sesuatu yang semua keterlaluan, kami khilaf, Pak,” Gadis itu berucap panjang lebar.
melintasi pikirannya dan membuatnya bertanya-tanya. Mengapa ketiga korban
meninggal dengan kondisi hampir sama; ibu jari terpotong? “Saya mengaku bahwa sayalah dalang dari semua ini. Kami sudah beru-
saha minta maaf kepadanya, tetapi terlambat. Budiman bunuh diri dua hari
*** setelah di-skors oleh Kepala Sekolah. Kami sangat menyesal. Tolong bawa saya
ke penjara saja, Pak, hukum diri saya seberat-beratnya …,” akunya dengan wa-
Tiga hari sudah terlewati kala Rahmat mengumpulkan bukti. Ia merasa jah tertunduk dan menyesal, Rahmat menjadi serba salah sekaligus kaget. Saat
buntu, tidak bisa menuntaskan kasus sarat misteri ini tanpa kerja tim. Ia bu- ia mulai menyerah dengan kasus ganjil ini, datang sepotong pengakuan yang
tuh beberapa masukan dari para teman sejawat maupun juniornya. Ia berniat mengejutkan.
untuk kembali ke markas setelah sarapan pagi dan memaparkan semuanya ke-
pada komandan.
“Oke, silakan ikut saya. Kamu bisa jelaskan lebih lengkap di kantor. Mari!”
Wangian Surga di Palestina
Belum ada hitungan menit, Rahmat kembali dibuat kaget. Sebuah batang Oleh: S. Nuraf
kayu yang tersandar pada sebuah dinding rumah yang belum selesai digarap,
seketika jatuh menimpa kepala gadis tersebut. Paku di salah satu bagiannya
menancap lekat di dahinya. Kemala terkapar lemas secara mengenaskan, tewas “Langitku kini sedang bermimpi. Bertanya pada hari, di
membawa penyesalan dalam dada. manakah mentari nan indah? Di mana pula kibas sayap putih Si Bu-
rung Merpati? Mengapa malam yang semestinya indah akan rembulan
serta milyaran bintang, kini harus berganti kabut nan hitam? Tuhan,
kembalikan masa kecil kami ...”
Tentang Penulis:

Penulis lahir pada tanggal 20 Februari, setahun sebelum Orde Baru ditum-

H
bangkan. Sejak SD sudah mempunyai hobi mendengarkan musik dari genre amparan bumi Ilahi masih saja terlihat sama seperti tahun-tahun sil-
dan era tertentu, membaca fiksi dan nonfiksi (terutama biografi tokoh dan tips am. Tempat berteduh yang sering disebut sebagai rumah, kini hanya
menulis), menuangkan potongan imajinasi ke dalam sebuah karya, hasil dari meninggalkan debu yang beterbangan di atas tujuh petala langit dan
perenungan atau lingkungan sekitar. Akhir-akhir ini sedang hobi memburu tujuh petala bumi. Ribuan manusia telah gugur dan terhitung jihad karena ber-
kaset pita sebagai bagian dari kenangan masa lampau dan terus mengasah taruh nyawa demi membela agama Allah dan mempertahankan tanah kelahi-
lewat kumpulan cerpen Kompas, novel sastra terjemahan dari Jepang dan ran mereka.
Eropa, serta sejumlah fiksi lokal dari beberapa sastrawan favoritnya, contohn- Namanya Ammar Fathani, anak lelaki berumur 12 tahun itu terlahir dari
ya, Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, Leila S. Chudori, dan sebagainya. rahim seorang wanita paruh baya Palestina yang perkasa dan terkenal akan
Mulai menulis autodidak dalam format cerpen saat menginjak masa SMP di kesalihahannya dari Nablus bernama Maryam. Ammar menjadi seorang anak
atas kertas HVS. Bekasi, 15—10—2022. yatim sejak ditinggal wafat oleh ayah tercintanya, seorang pejuang agama
Allah yang telah tewas di medan perang. Seseorang yang rela ketika seratus
peluru menembus jantungnya tanpa belas-kasih dari para tentara Israel, demi
mempertahankan Masjid Al-Aqsa agar tetap berdiri kokoh di tempatnya. Sya-
hidnya seorang ayah tercinta menjadikan Ammar tumbuh sebagai sosok anak
yang tangguh dan tidak takut akan perlakuan bangsa Israel. Ammar kini hanya
tinggal bersama ibunya, menikmati musim ramadan di Palestina dengan bahan
makanan yang serba terbatas.

“Ibu, jika suatu saat nanti Ammar sudah besar… Ammar ingin menjadi sep-
erti ayah,” ujarnya ketika Maryam menyuguhkan sepotong roti kering di atas
piring miliknya.

“Kenapa Ammar ingin seperti ayah?” tanya Maryam.

“Ammar ingin jihad seperti ayah juga, Bu,” Sebingkis senyuman yang ter-
ukir di raut wajah anak kecil itu menjadikan hati sang ibu terasa pilu begitu
mendengar jawaban putra semata wayangnya.
Ammar hanyalah seorang anak kecil yang seharusnya menikmati masa Setelah beberapa menit mencarinya, Ammar menemukan seorang bayi per-
kecilnya dan merasakan kasih sayang seorang ayah. Akan tetapi, Allah lebih empuan yang diletakkan di tengah-tengah semak belukar. Ammar memung-
mencintai ayahnya hingga lebih dahulu memenuhi rangkulan Ilahi. ut bayi tersebut dan akan membawanya pulang ke rumah usai mengambil air
wudu nanti. Sebelum beranjak pergi, Ammar menenangkan bayi yang tidak
“Jika suatu saat nanti kamu menjadi seperti ayah, lalu siapa yang akan men- berdosa itu terlebih dahulu, agar perjalanan menuju pulang tidak ada rintan-
jaga Ibu, Sayang?” gan.
“Bu, Ibu pernah mengatakan bahwa janji Allah itu tidak akan pernah me- “Bayi mungil, diamlah. Kini kau tak perlu cemas dan takut karena aku ada
leset. Allah tidak akan pernah ingkar akan janji-Nya. Bukannya beruntung, ya, bersamamu,” ucap Ammar sembari mengelus punggung bayi itu dengan san-
Bu, kalau orang-orang yang jihad di jalan Allah itu akan lebih dekat dengan gat lembut.
penciptanya?” Ammar menyeka air mata ibunya yang jatuh di atas permukaan
raut wajah yang menangis. Saat bayinya sudah diam, Ammar pun meneruskan perjalanannya untuk
mengambil air wudu. Lokasinya merupakan satu-satunya sumber mata air
“Percayalah, Bu, Ammar akan selalu menjaga Ibu,” lanjutnya. yang masih bisa digunakan oleh warga Palestina tanpa harus diketahui oleh
tentara Israel. Ammar menaruh bayi mungil itu di atas bebatuan dengan sangat
“Semoga Allah senantiasa melindungimu, Anakku,” Ibunya mengecup ken- hati-hati kemudian gegas berwudu. Setelahnya, Ammar beranjak pergi dengan
ing Ammar dengan lembut. Ammar meng-aminkan doa wanita paruh baya itu menggendong bayi tersebut. Akan tetapi, di pertengahan jalan, bayi itu kem-
sembari memeluknya erat. bali menangis. Ammar berusaha menenangkannya, tetapi suara tangisannya
terdengar oleh beberapa tentara Israel yang sedang beroperasi di jalanan. Am-
Embusan angin di malam hari terasa menggigit setiap aliran darah. Tidak
mar berusaha untuk tetap tenang meskipun detak jantungnya kini kencang tak
ada selimut sebagai penghangat tubuh, tidak ada juga secangkir kopi ataupun
karuan.
teh hangat. Alam hanya dipenuhi oleh asap dan kabut hitam karena amukan
si jago merah. “Siapa di sana?!” Salah satu tentara Israel itu mulai berjalan ke arah di mana
Ammar berdiri.
Pukul 03.15 waktu Palestina, Ammar terjaga dari tidurnya. Ia beranjak dari
ranjangnya untuk menunaikan salat tahajud. Ia keluar dari gubuk untuk men- Ammar tidak menggubris ucapan tentara itu. Ia memilih melarikan diri
gambil air wudu yang letaknya tidak jauh dari pemukiman warga setempat. karena keberadaannya telah diketahui oleh beberapa tentara tersebut. Tentara
Sebelum berwudu, Ammar ingin sekali membangunkan Maryam untuk men- itu mengejar Ammar dengan menenteng senapan yang tentunya sudah berisi
emaninya mengambil air wudu. Ia merasa khawatir jika di luar sana akan ada peluru di dalamnya. Ia terus berlari sekuat tenaga hingga akhirnya menemu-
tentara Israel yang kapan saja bisa melenyapkan nyawa setiap orang yang me- kan sebuah tumpukan kardus di tempat pembuangan sampah. Ammar mem-
nentang mereka. Akan tetapi, melihat raut wajah ibunya yang tertidur dengan bungkam mulut bayi mungil itu dengan sangat hati-hati karena takut menya-
sangat pulas, Ammar mengurungkan niatnya dan mengumpulkan keberanian kiti tubuh bayi tersebut. Tentara Israel itu kini berada tepat di mana Ammar
untuk keluar sendiri saja. bersembunyi dari kejaran mereka.
“Bismillah, Ya Allah. Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan tan- “Sial! Ke mana anak sialan itu?!” ujarnya dengan rasa kesal.
gan manusia,” ujarnya sembari menatap langit-langit yang terbentang luas di
angkasa. “Ya Allah ... tolong lindungi kami, selamatkanlah kami. Laa haulaa walaa quwwata
Illa-billah,” Ammar membatin dalam dirinya.
Ammar berjalan dengan sangat hati-hati, sesekali ia menoleh ke belakang
untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihat dirinya berkeliaran di pagi Selang beberapa saat kemudian tentara Israel tersebut pergi dari sana. Rasa
buta. Sepanjang menelusuri jalan, suasananya sangat tenang. Namun, tidak be- lega menyelinap di relung jiwa Ammar, tidak hentinya ia memuja dan memuji
rapa lama terdengar suara tangisan bayi. Ammar menghentikan langkahnya asma Allah. Ammar bergegas meninggalkan tempat itu dan segera kembali ke
dan berusaha mencari sumber suara itu. rumah.
Setibanya di rumah, Maryam sudah menangis karena cemas akan kepulan- Meskipun awalnya sang ibu sangat berat hati melepaskan kepergian putranya,
gan Ammar yang tidak kunjung datang sejak tadi. Meskipun ini bukanlah yang dengan melihat keberanian yang ada pada diri anaknya itu meluluhkannya un-
pertama kalinya Ammar bertindak nekat, tetap saja hati seorang ibu tidak akan tuk memberi izin agar Ammar beranjak pergi.
pernah merasa tenang jika buah hatinya jauh dari pandangannya. Terlebih di
tengah maraknya pembantaian yang dilakukan para penguasa durjana dari “Ibu, Ammar pamit dulu, ya, mengambil air untuk kita,” Ammar mencium
bangsa Israel itu. tangan ibunya yang berdiri di ambang pintu sambil menggendong Jesna.

Kepulangan Ammar menghadirkan rasa lega di hati Maryam. Namun, ada “Fii ri’ayatillah, Anakku, pasanglah seluruh indramu. Jangan lengah, jika
hal yang berbeda di kepulangannya kali ini, Ammar kembali ke rumah dengan kepergok oleh tentara Israel, bergegaslah untuk menyelamatkan diri. Rasakan
membawa seorang anak bayi perempuan yang cantik jelita. Ammar mencer- dengan sepenuh hati bahwa Allah senantiasa bersama langkahmu. Semoga Dia
itakan kronologinya ketika ia menemukan bayi itu di tengah semak belukar selalu menjagamu, Sayang,” Dengan suara penuh wibawa sang ibu menaseha-
sampai Maryam menerima kehadiran bayi itu dengan rasa kasih sayang dan ti anaknya itu. Ia usap-usap kepala anaknya penuh akan rasa cinta dan kasih
cinta layaknya seorang ibu kandung. sayang.

“Kasihan sekali bayi yang tidak berdosa ini, ke mana orang tuanya? Apa- Sejurus kemudian Ammar meleset seperti anak panah sambil menenteng
kah mereka telah menjadi korban kekejaman tentara Israel? Sungguh malang ember. Maryam memandang anaknya yang yatim itu dengan meneteskan air
nasibmu, Nak,” Lalu wanita paruh baya itu mengecup kening bayi tersebut. mata.

“Ibu, kita beri apa, ya, namanya?” tanya Ammar. “Ya Allah, limpahkanlah satu telaga kesabaran yang tiada habis sumbernya
untuk anak-anak Palestina. Untuk sekedar mengambil air minum saja Ya Al-
“Bagaimana jika kita beri saja Namanya ... Jesna?” saran Maryam. lah, yang keluar dari bumi-Mu ini, mereka harus mempertaruhkan nyawa. Ya
Allah, lindungilah anakku Ammar. Jika Engkau pilih dia untuk syahid di jalan-
“Kenapa harus Jesna, Bu?” Mu, maka pilihlah jalan yang paling mulia dan paling Engkau ridai. Aamiin,”
Sang ibu berdoa penuh khusyuk saat Ammar ditelan kabut pagi.
“Karena, Jesna dalam bahasa negara kita memiliki arti taman surga. Artin-
ya, semoga kelak bayi ini menjadi wanita yang akan dirindukan oleh surganya Ammar berlari-lari kecil di perjalanan, hatinya begitu riang. Ya, hatinya se-
Allah,” Maryam menjelaskan dengan sangat santun. lalu riang sehabis tadarusan Al-Qur’an di subuh hari tadi. Hanya Al-Qur’an
lagu dan musik untuk jiwanya. Kepapaan dan kesengsaraannya semakin men-
“Masyaallah! Semoga Allah senantiasa memberkahinya,” sahut Ammar. jadikan ia tidak bisa berpisah dengan Al-Qur’an, satu-satunya pelipur lara. Al-
Qur’an memberikannya harapan-harapan masa depan yang cemerlang, men-
“Aamiin Yaa Rabbal ‘alamiin,” Mereka mencium bayi itu yang dibalas dengan
ciptakan nuansa-nuansa keindahan dalam hatinya.
senyum damai khas anak bayi. Usai bercengkrama, Ammar bergegas menun-
aikan sholat tahajudnya, setelah itu menjaga wudunya agar sampai pada wak- Ia terus berlari-lari kecil dengan hati yang riang. Ia masih terpaut dengan
tu subuh nanti. surat Al-Insan ayat 11 dan 12 yang tadi ia lantunkan dengan meneteskan air
mata.
Musim kemarau telah tiba, telaga air yang biasa dimanfaatkan oleh warga
Palestina kini telah mengering. Hanya ada satu sumber mata air yang masih “Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada
tetap utuh di bumi Gaza ini, yakni markas area perairan milik warga Palestina mereka kejernihan wajah serta kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan pada mere-
yang kini telah dirampas oleh tentara Israel. ka karena kesabaran mereka dengan syurga dan pakaian sutera,”
Persediaan air minum di tempat penampungan air milik keluarga Ammar Sesaat, ia merasa rindu ingin bertemu dengan Tuhannya. Ia merasa rindu
pun telah habis. Ibunya berencana untuk meminta bantuan pada salah satu ingin bertemu ayahnya di surga. Kerinduan yang tiada tara menjadikan hatin-
warga terdekat agar sudi memberikan persediaan air minum, akan tetapi nasib ya begitu haru, matanya tiba-tiba sendu dan berkaca-kaca. Ammar pun meng-
warga lain juga sama seperti mereka. Akhirnya, Ammar memutuskan untuk hentikan langkahnya, lalu ia duduk bersila menghadap kiblat di bawah pohon
memberanikan diri mengambil persediaan air tersebut di markas tentara Israel. kurma. Ia pejamkan matanya dan menengadahkan kedua tangannya mengha-
dap langit, dengan khusyuk bibirnya bergetar. Selepas tentara itu pergi, Ammar mendekati Al-Qur’an tersebut dan berusa-
ha meraihnya. Akan tetapi, belum sempat Al-Qur’an itu di tangannya, beberapa
“Ya Allah, Tuhan yang memberkati bumi Palestina dan sekitarnya, dengan tentara datang dari arah lain dan memergoki Ammar. Mereka mengejar Am-
asma-Mu yang paling Agung aku berdoa. Ya Allah, aku rindu ingin bertemu mar. Dengan sigap ia mempercepat langkahnya untuk mengambil Al-Qur’an
dengan-Mu, aku rindu ayahku yang syahid di jalan-Mu. Ya Allah, aku memo- itu dan bergegas melarikan diri. Namun sayangnya, kini seluruh tentara Israel
hon dengan segala keridaan yang Engkau letakkan pada kitab Al-Qur’an untuk malah mengejar dirinya hingga tubuh Ammar dipenuhi oleh ratusan peluru.
seluruh hamba-Mu yang membacanya, angkatlah diriku menemui ayahku den- Jasad Ammar dihempaskan di sembarang tempat. Mereka tidak sudi jika darah
gan belas kasih-Mu sebelum matahari berada di ubun-ubun kepalaku. Amin,” keturunan Palestina mengotori wilayah kekuasaan mereka.
Pohon kurma, kabut pagi, mentari yang mengintip di ufuk timur, pohon-po- Hari mulai senja. Maryam yang kini kembali risau karena putra tercintan-
hon zaitun, batu, debu, puing-puing pecahan mesiu, langit dan bumi serta para ya tak kunjung tiba, berencana untuk menyusul Ammar. Maryam menitipkan
malaikat mulia ikut mengambil doa suci Ammar pagi itu. bayi mungil Jesna pada salah satu warga, sebab ia tidak ingin terjadi sesuatu
hal yang dapat membahayakan nyawa Jesna.
Ammar bangkit sembari menyeka air matanya yang hangat, ia lanjutkan
perjalanannya. Kali ini ia tidak lagi lewat jalan biasa, ia merunduk dan menelu- Setelah menitipkan Jesna, Maryam pun bergegas pergi. Namun, tidak be-
suri sebuah parit menuju ladang anggur Israel. rapa jauh dari pemukiman warga, ia melihat ada rombongan dari kalangan
mereka menghampiri dirinya sambil membopong seorang anak kecil. Perasaan
Tidak berapa lama berada di ladang anggur untuk menembus telaga air Maryam kini semakin kacau. Ia berlari menghampiri rombongan tersebut dan
yang berada dalam pengawasan Israel, ia menangkap bayangan dua tentara betapa hancur hatinya bahwa anak kecil itu adalah putra tercintanya. Kekuatan
Israel berjalan mengitari perkebunan anggur itu. Dengan terpaksa ia memu- hatinya juga penyejuk jiwanya telah bersimbah darah sebab banyak peluruh di
tar haluan. Semestinya lima puluh meter lagi adalah pipa yang dapat men- tubuhnya. Maryam histeris melihat nasib yang menimpa Ammar. Ia memeluk
ghubungkannya dengan air. Ammar merangkak, lima meter di hadapannya erat tubuh anaknya sambil mengelus dan berulang kali mengecup kedua pipi
adalah terowongan kecil sepanjang seratus meter yang berakhir di tengah putranya itu dengan hati yang pilu.
ladang gandum. Terowongan itu asalnya adalah saluran irigasi yag kini tidak
lagi berfungsi. Jasad Ammar dimakamkan di kuburan para syuhada yang telah gugur se-
belumnya. Ammar dimakamkan di dekat ayahnya. Proses pemakaman Ammar
Kedua tentara Israel itu berjalan santai sambil terkekeh-kekeh. Senjata dihadiri banyak masyarakat Palestina. Proses pemakaman Ammar menjadi pu-
mereka lengkap, keduanya memegang roti yang diselimuti keju yang segar. sat perhatian sebab jasadnya mengeluarkan aroma yang sangat wangi seper-
Sepertinya mereka sedang sarapan pagi, dengan makanan yang disarikan dari ti kasturi. Hal ini membuat hati Maryam merasa terharu dan bahagia karena
darah dan nanah rakyat Palestina. Langkah keduanya semakin jelas, semakin putranya kini telah wafat sebagai golongan orang-orang yang syahid di jalan
mendekati parit persembunyian Ammar. Anak kecil itu terus merangkak pelan Allah.
menuju terowongan.
“Bukti cinta adalah pengorbanan. Jangan mengaku bahwa engkau
Akan tetapi, belum sampai di ujung terowongan. Ammar menangkap mencintai Allah, mencintai Rasulullah, serta mencintai ayat-ayat-Nya
semua perkataan dari kedua tentara itu bahwa mereka sangat bangga karena jika disaat ada kalangan manusia yang menghina salah satu di antaran-
telah menginjak-injak kitab suci Al-Qur’an. Dengan sigap, Ammar keluar dari ya, engkau hanya terdiam tanpa bisa berbuat apa-apa”
terowongan dan mengintip perbuatan kedua tentara tersebut. Darah anak Pal-
estina itu mendadak mendidih karena dengan sangat jelas ia melihat bahwa
benar Al-Qur’an nan suci itu kini berada di bawah telapak kaki kedua tentara
Israel.

Ammar mulai berpikir untuk mengalihkan perhatian kedua tentara terse-


but. Ia menemukan sebuah batu berukuran cukup besar, lalu ia lemparkan ke
arah selatan. Dengan sigap kedua tentara itu mencari sumber suara tersebut
dengan membiarkan Al-Qur’an tersebut terdampar di atas tanah.
Lari dalam Lingkaran Takdir
Tentang Penulis: Oleh: Putri Wahyuni

Nama aslinya Nur Afni Pulungan, berasal dari Kota Pinang, dan mer-

F
upakan salah satu mahasiswi dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. atimah adalah sebuah nama dengan nuansa yang sangat Islamiyah. Kata
Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Menjadi mahasiswi orang nama adalah doa, mungkin ayah dan ibu menginginkan aku memi-
dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dengan program studi Pendidikan Ilmu Ag- liki sifat seperti seorang Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW.
ama adalah pilihannya. Adapun alasan mengapa ia memilih terjun ke dunia Namun, siapa sangka kalau aku memiliki sifat kebalikannya, sehingga ayah-
literasi adalah dirinya yang menganggap bahwa dengan menulis bisa men- ibu memasukkanku ke dalam pondok pesantren.
jadi penyembuh luka lama, mengutarakan aspirasi dan mengubah mindset
seseorang. Penulis lebih suka berbicara lewat tulisan, ketikan, dan bahasa hati “Pokoknya Fatimah gak mau, titik,” teriakku dengan nada kesal.
daripada lisan, sehingga orang mengenalnya sebagai gadis introver. Prinsip
hidupnya adalah “Diam, tenang, dan maafkan”. @nurafni_elfaidzah. “Ayah dan Ibu sudah diskusikan ini. Mau tidak mau, kamu harus pergi be-
sok!” perintah ayah sambil memasukkan koper ke dalam bagasi mobil.

“Ayolah, Nduk, ini demi kebaikan kamu. Lagian nanti kalau libur semester
juga bisa pulang ke rumah, kok,” ucap ibu menenangkan.

“Fatimah bisa sekolah dekat sini, kan, Bu? Banyak teman juga di sini,” Mata
ayah melotot seolah tidak suka dengan pembantahanku.

“Kamu mau jadi apa? Pergi sama teman-temanmu ke bioskop? Lalu, pakai
baju di atas lutut? Begitu maksud kamu?” kata ayah sangat marah.

“ Ingat, kamu masih SMA, Fatimah, pikirkan masa depanmu! Tidak ada pe-
nolakan lagi, besok kita berangkat,” Ah, ini semua salahku, harusnya aku tidak
ikut menonton dengan mereka. Siapa yang tahu aku berpapasan dengan papa
di dalam lift? Duh, malangnya nasibku.

***

Hari yang sangat ingin aku hindari telah tiba, dengan berat hati dan pak-
saan aku ikut bersama papa. Sesampainya di sana aku disambut oleh para san-
tri yang tersenyum kepadaku. Dih, sok akrab banget, ucapku dalam hati dengan
muka datar. Setelah menurunkan barang-barang dan masuk ke kamar tidurku,
papa pun pulang. Tinggallah aku sendiri dengan sekelompok wanita berbaju
tertutup warna putih dan ramah ini.

“Hai, aku Dina. Nama kamu siapa?” Salah seorang wanita dengan warna
kulit gelap datang menghampiriku.

“Fatimah,” jawabku singkat dengan menyentuh sedikit ujung kukunya.


“Fatimah, kamu kenapa pakai jilbab seperti ini? Ini tidak benar, harusnya “Hah? Maksudnya, Mas?” Aku kebingungan, ditambah lagi dia yang masih
rambut kamu tidak kelihatan,” menutup matanya.

Yang dikatakannya benar, aku hanya menggunakan pasmina tanpa jarum “Anda tidak memakai hijab, Dik,” lanjutnya dengan malu.
yang kuselempangkan ke belakang sehingga rambut ku masih kelihatan.
Sangat berbeda jauh dengan mereka yang berpenampilan layaknya seorang Spontan aku tersadar dan melihat kepalaku yang belum mengenakan hijab.
ustazah sedangkan aku seperti wanita yang ingin ke acara pemakaman. Tentu Inilah akibat terburu-buru dan aku yang belum terbiasa. Aku langsung berba-
saja ini sangat sulit, aku tidak terbiasa! lik arah ke kamar dan meninggalkan laki-laki itu begitu saja.

“Terus, memangnya kenapa?” jawabku dengan nada tidak senang. “Astagfirullah, apa yang saya lihat hari ini telah menggoyahkan iman saya.
Siapa dia? Apa dia santri di sini? Mengapa saya tidak pernah melihatnya?”
“Saya hanya mengingatkan, Fatimah. Kalau kamu memerlukan bantu- ucap pria itu sambil mengelus dadanya.
an, bisa panggil saya atau teman-teman yang lain, ya,” ucapnya ramah dan
meninggalkanku yang tak menghiraukan perkataannya. Aku memilih berbar- Setelah satu jam lewat pengurus pondok memberikan arahan dan peraturan
ing di tempat tidur. yang ada di pondok ini, akhirnya aku mendapat peringatan 1. Jika aku melaku-
kan kesalahan lagi, maka akan mendapatkan peringatan 2 dan aku akan dipu-
*** langkan. Tentu saja itu membuatku semangat. Kubaca lagi buku peraturan yang
diberikan tadi dan melihat satu kesalahan terbesar agar aku bisa mendapat per-
“Fatimah! Fatimah!” Haish suara itu, sangat mengganggu tidurku, batinku da- ingatan 2. Ya... agar aku tidak perlu menunggu libur semester untuk pulang.
lam hati.
“Pergi keluar pondok tanpa izin,” ejaku membaca tiap kata satu per satu.
“Apa, sih, ganggu banget!” ucapku sambil menarik selimut. ssrrakkk..., seli-
mutku basah. Aku berpikir untuk segera menyusun rencana, kuambil kembali koperku
dan mencari benda merah yang merupakan warna favoritku. Jumlah uang
“Apa, sih, berani banget ganggu tidur orang! Mikir, dong, jadi basah, ‘kan!” yang ada di dompet hanya sedikit, untungnya aku bawa kartu kredit! Aku begitu
omelku dengan nada kesal dan mata setengah sadar. senang mengetahuinya. Bersiap-siap menjalankan rencana, aku mengenakan
abaya hitam juga pasmina merah. Aku membayangkan betapa indahnya dunia
“Kamu, ya, anak baru, ini bukan rumahmu! Bangun, sudah jam 8! Kamu di luar sana tanpa harus terkurung seperti tahanan di sini. Tak lupa kugunakan
sudah melewati tiga agenda pagi di pondok ini,” Suara ibu-ibu cempreng ber- masker agar tidak dikenali oleh banyak orang.
teriak di depanku, “saya tunggu 15 menit, kemudian segera datang ke kantor,”
tegasnya dan berlalu dari pandanganku. Setelah mencapai batas luar gerbang pondok, aku kebingungan bagaimana
caranya untuk pergi ke kota besar? Di sini sangat pedalaman, tidak ada ak-
Aku hanya bisa pasrah dan bergegas ke kamar mandi. Setelah 30 menit ber- ses transportasi online. Aku menelusuri daerah sekitar dan hanya menemukan
lalu, aku melihat jam di tangan ku. penduduk yang berlalu-lalang, diikuti beberapa kerbau dan lembu di belakan-
gnya. Sepertinya ... rencanaku kali ini gagal. Tak lama kemudian, suara sepeda
“Duh, mati! Aku terlambat 15 menit, pasti ‘nenek sihir’ itu bakal ngomel
motor terdengar dari jarak jauh, aku tentu memainkan dramaku dengan se-
lagi,” Aku segera berlari menuju ke ruangan yang dimaksud. Dubrakk, aku
mangat.
menabrak seseorang.
“Tolong!” teriakku dari jauh. Pria itu menghentikan sepeda motornya dan
“Astagfirullah,” ucapnya spontan menutup matanya.
berhenti.
“Duh, maaf, ya, Mas. Saya buru-buru banget jadinya gak keliatan,” ucapku
“Ada perlu apa, Mbak?” tanyanya antusias.
dengan sedikit rasa bersalah.
“Maaf, Mas, ibu saya sedang di rumah sakit dan katanya kritis. Bisakah Mas
“Maaf, nama adik siapa? Apakah adik baru masuk agama Islam?” tanyanya
antarkan saya ke sana?” ucapku dengan nada lirih.
dengan ragu dan tangan yang masih menutupi mata.
“Oh, iya, Mbak. Silakan naik,” Akhirnya... setelah sekian lama aku berdiri. “Sebelum kau berjanji akan menolongku, maka aku tidak akan turun!”
ucapku seolah meyakinkannya.
Aku sangat senang, akhirnya aku menjalankan misiku dengan lancar. Un-
tung saja pemuda ini gampang ditipu. Walaupun dia sangat tampan, tetap saja “Iya, baiklah! Aku berjanji akan menolongmu, sekarang turunlah!” teriak-
dia pemuda desa. Selama perjalanan dia tidak berbicara apa pun, apalagi aku. nya dan mengulurkan tangannya. Aku tersenyum puas dan melompat ke ar-
Merasa pengap dengan masker, aku membukanya. Tak selang beberapa lama ahnya. Dia memelukku seolah takut aku kenapa-kenapa. Aku hanya bisa heran
sepeda motor itu pun berhenti di sebuah jembatan. dan terdiam, tak berapa lama kemudian dia mendorongku.

“Loh, Mas, kok berhenti? Kan, rumah sakitnya masih jauh,” tanyaku heran. “Astagfirullah,” ucapnya kaget. Sekarang aku semakin heran, jelas-jelas tadi
dia yang memelukku, sekarang aku malah didorongnya. Dasar aneh, pikirku.
“Kamu berbohong kepada saya,” jawabnya singkat.
“Ayo, aku akan mengantarmu ke kota,” ajaknya, aku mengikutinya dari be-
Aku terkaget mendengar jawabannya. Bagaimana ia tahu aku berbohong? lakang.
Siapa dia? Semua pertanyaan yang berkemungkinan tiba-tiba muncul di otak
ku. “Kamu akan pergi ke mana?” tanyanya padaku.

“Saya serius, Mas, ibu saya sedang sakit,” ucapku meyakinkannya. “Aku ingin ke mal, ingin mengganti baju yang sangat panas ini,” ucapku
dengan kegerahan.
“Di mana kamu tinggal?” Ia bertanya balik.
“Tidak, kamu tidak boleh menggantinya. Itu syarat pertama dariku,” jawab-
“Saya tinggal di desa percutan, bukannya Mas tadi melihat saya dari sana?” nya santai.
Pria ini sangat aneh, pikirku.
“Apa? Syarat? Bahkan kamu tidak mengatakan ada syarat sebelumnya,”
“Bukannya kamu dari pondok pesantren?” Jantungku berdetak dengan Pria ini sangat aneh.
kencang, aku hanya bisa diam.
“Sekarang ada, aku punya tiga syarat. Jika tidak mau mengikutinya, aku
“Apakah kamu lupa tadi menabrak seseorang pria tanpa hijabmu itu, Adik?” akan mengantarmu ke kantor polisi,” tantangnya.
tanyanya lagi dengan senyuman kemenangan.
Pria ini sungguh membuat aku kesal. Dengan terpaksa aku harus menuruti
Sial! Ternyata dia orang yang aku tabrak tadi pagi, seharusnya aku tidak kemauannya. Walaupun aku berhasil kabur, bukan seperti ini yang aku ingink-
membuka masker ini. Aku tidak punya pilihan lain selain menceritakan semua an. Aku merasa ini seperti kencan, harus melakukan apa pun berdua dengann-
kejadiannya juga tujuanku untuk keluar dari pondok pesantrennya tersebut. ya. Ya, tentu saja itu termasuk syaratnya yang kedua. Pergi menonton bioskop,
pantai, wahana bermain, sampai makan pun berdua. Anehnya, aku tidak mera-
“Aku tidak mendukungmu untuk keluar dari pondok,” ucapnya tegas, sa aneh sama sekali, padahal dia adalah orang asing.
“jalan yang kamu ambil ini salah, kenapa tidak mencoba untuk berdamai den-
gan kenyataan?” lanjutnya lagi. “Jadi, siapa namamu?” Dia bertanya padaku.
Aku mencoba mencari akal untuk menyiasati hal ini. Aha! Aku punya ide “Fatimah,” jawabku.
setelah melihat jembatan. Bergegas aku menuju ke jembatan dan menaiki
batasnya. “Jika kau tak mau membantuku ke kota, aku akan lompat dari atas “Nama yang cantik,” jawabnya lagi.
sini!” ucapku mengancam, tentu saja pria itu panik.
“Apakah secantik orangnya, Tuan?” tanyaku dengan senyum percaya diri,
“Hei, apa yang kau lakukan?! Kau bisa celaka, turunlah!” teriaknya dengan dia diam.
nada cemas.
“Sudahlah, kita harus pergi ke tempat selanjutnya,” ucapnya dengan bu-
ru-buru.
Perjalanan yang begitu panjang ini membuat aku mengantuk hingga ter- “Syahdan? Benarkah kamu Syahdan?” tanyaku untuk meyakinkan te-
tidur di perjalanan. Namun saat aku bangun, aku melihat pemandangan yg bakanku.
tak asing bagiku. Ini kamar di pondok pesantren, ‘kan? Aku bertanya pada diri-
ku sendiri dengan wajah kaget sekaligus bingung. Kenapa aku ada di sini? Dina “Duduklah, tanyakan apa yang jadi pertanyaanmu selama ini,” jawabnya
datang menghampiriku. santai. Benar, dia Syahdan.

“Bagaimana keadaanmu, Fatimah? Apakah kau sudah merasa lebih baik?” “Mengapa kamu membawaku balik ke pondok? Kamu mau menipuku?
tanyanya padaku. Lalu, kenapa kamu ada di sini sekarang? Kenapa–”

“Kenapa aku bisa ada di sini?” Aku bertanya balik padanya. “Sudah, tenanglah. Aku akan menjawab semuanya. Jangan menyerbuku
seperti itu,” jawabnya memotong pembicaraanku. Aku menaikkan satu alisku,
“Ustaz Syahdan yang mengantarmu, katanya kau pingsan di jalanan,” meminta penjelasan dari pertanyaanku juga kalimatnya tadi.
jawabnya.
“Aku sudah menaruh hati sejak kali pertama aku melihatmu. Aku mengem-
“Ustaz Syahdan? Siapa dia?” Aku bahkan tidak mengenal orang yang di- balikanmu karena...,” Dia menggantungkan pembicaraannya, sengaja mem-
maksud. buatku penasaran. Aku membuka mulut ingin marah untuk memintanya
melanjutkan, tapi sudah disergahnya lebih dulu.
“Kau sangat beruntung, Fatimah! Kau digendong oleh ustaz muda dan ter-
populer di pondok ini. Dia adalah Ustaz Tertampan di sini!” Dina mencerita- “Aku ingin calon istriku mendapatkan ilmu agama yang baik. Aku menghil-
kan semuanya lengkap dengan ciri-ciri ustaz tersebut. ang juga karena mencari pekerjaan, ingin melamarmu segera setelah kau lulus.
Tentu saja aku harus mempersiapkan kebutuhan materinya, ‘kan?” jelasnya
“Sialan! Dia menipuku!” kesalku dalam hati. panjang kali lebar, sedangkan aku terdiam.
Semenjak hari itu, peraturan keamanan semakin kuat. Aku semakin susah “Apakah kamu mengerti sekarang?” Melihatku yang hanya diam, dia
untuk melarikan diri. Aku juga mencari lelaki itu namun tidak pernah mene- menanyakan kembali dan mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
mukannya. Mau tidak mau aku harus menjalani hidupku di sini selama beber-
apa tahun. “Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa aku adalah jodohmu?” tanyaku
setelah diam beberapa lama.
***
“Aku menjagamu di sepertiga malamku, dan akan kupastikan kamu tidak
Hari terus berganti hingga tak terasa waktu kelulusan telah tiba. Aku san- akan menolakku,” Aku mengernyit bingung. Kenapa?
gat lega karena bisa melewati ini semua. Walaupun tidak sepenuhnya seperti
Fatimah Az-Zahra, setidaknya sekarang aku berbusana tertutup, memakai hi- “Apa kamu ingat bahwa aku masih memiliki satu syarat yang tidak boleh
jab, dan tahu tata krama serta sopan dan santun dalam berbicara. Aku kembali kamu tolak?” Dia memandangku berisyarat menyuruhku untuk mengingat.
ke rumah, ayah dan ibu menyambutku dengan sangat bangga. Kini mereka Ah, aku mengingatnya!
memiliki putri yang lebih baik. Aku sekarang merasa damai karena bisa hidup
dengan tenang bersama ayah dan ibu. “Oh, ya! Jadi, apa syaratnya?” tanyaku penasaran yang dibalasnya dengan
tersenyum licik. Dia mulai menatapku dengan serius, dan mengatakan hal
Suatu hari rumahku kedatangan tamu, ibu menyuruhku untuk mengantar yang selama ini dipendamnya.
minuman. Sesampainya di ruang tamu, mataku melihat seseorang yang tidak
asing. Aku seperti pernah mengenalnya... Ah! Dia! Pria yang selama ini aku cari “Menikahlah denganku, Fatimah, izinkan aku menuntunmu ke surga. Jad-
dan membuatku terjebak di pondok. ilah bidadariku di dunia dan akhirat kelak,” Lagi-lagi aku merasa dia mengu-
capkannya dengan sungguh-sungguh. Matanya memancarkan tatapan dengan
“Halo, Fatimah,” sapanya dan tersenyum kepadaku. penuh harapan.
“Bisakah kita menikah tanpa memberi tahu orang tuaku?” ucapku dengan
penuh arti menjawab pinangannya sekaligus jawaban atas syaratnya tadi. Binar Khalil
matanya begitu terasa saat aku mengucapkan itu. Oleh: Adinda P. Kinanti

“Ehm, baiklah. Boleh tolong panggilkan orang tuamu?” jawabnya dengan


gugup dan menahan rasa senang yang tak terluapkan. Bibirnya menahan
“Terowongan begitu panjang dan gelap, Nirina. Tapi lihatlah, kita
senyum bahagia itu, berulang kali ia mengulumnya. Alhamdulillah, semuanya
sudah sampai pada terangnya cahaya diujung jalan”
berjalan dengan lancar sesuai keinginan juga seizin Tuhan.

K
isah ini datang dari anak laki-laki yang masih muda sekali. Di usia sep-
Tentang Penulis: ertinya, anak-anak biasa bersekolah lalu bermain. Ingin makan tinggal
makan, ingin alat tulis tinggal beli, ingin baju tinggal minta pada ayah
Hidup kita telah ditentukan oleh Tuhan, jodohmu telah menjadi suratan
dan ibu, dan segala kebutuhan lainnya yang dengan mudah mereka dapa-
sebelum kau diciptakan. Dia tak akan datang jika kau hanya diam, juga tak
tkan. Namun dalam cerita ini, sang pemeran utama berjuang sendiri untuk
akan hadir jika kau mencarinya tanpa berfikir. Jalani semuanya dengan sei-
mendapatkan itu semua.
ring waktu, sampai Tuhanmu mengatakan, “Inilah saatnya untuk bertemu,”
Namanya Khalil, bocah kecil berambut ikal, kulit sawo matang dan salah
Putri Wahyuni, mahasiswi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara,
satu siswa terpintar di sekolahnya. Ia juga banyak disukai oleh para guru kare-
Medan. Uni, begitu panggilan akrab dari perempuan yang berprestasi dalam
na baik budinya. Namun malangnya nasib berpihak padanya, ia hanya berse-
sastra ini. Uni lahir di Ujung Tanjung, 13 Januari 2002. Saat masih sekolah
kolah sampai kelas lima SD karena faktor ekonomi keluarganya yang sedang
dasar, Uni menyalurkan bakatnya dengan menulis puisi dan cerita. Dia juga
sulit. Hal ini pula yang akhirnya membuat Khalil tinggal bersama neneknya.
sering mengikuti perlombaan, baik tingkat sekolah maupun kabupaten yang
Khalil beserta sepuluh saudaranya tinggal terpencar untuk diurus oleh kerabat
direkomendasikan oleh orang di sekitarnya. Meskipun beberapa kali men-
ayah dan ibunya, karena orang tua mereka tidak mampu mengurus mereka.
galami kegagalan, dia tetap berusaha dan terus mencoba untuk belajar hingga
bisa memberikan yang terbaik. Hidup bersama neneknya bukan hal yang mudah. Awalnya Khalil diterima
dengan sangat baik, ia dimasukkan ke sekolah agama oleh neneknya, diajar-
kan mengaji walaupun didikan neneknya cukup keras untuk anak seumuran
Khalil. Akan tetapi, lambat laun sang nenek menampakkan sifatnya. Khalil ti-
dak diberikan makan dengan layak, lauk yang ia makan dipanaskan hingga
berhari-hari sampai tak berbentuk. Baju sekolahnya banyak robekan dan men-
guning serta bintik-bintik hitam dimana-mana.

Celana sekolahnya pun sudah tak karuan, ada peniti di sana-sini untuk men-
yambungkan belahan demi belahan. Padahal, neneknya termasuk orang yang
mampu. Ya, begitulah, neneknya terkenal pelit bahkan untuk dirinya sendiri,
buktinya ia tidak merenovasi rumah panggungnya yang sudah sangat lapuk
padahal ia memiliki cukup banyak uang untuk itu.

Suatu ketika, Khalil yang sedang bersekolah terlihat kesulitan untuk menu-
lis karena pensilnya tinggal seruas jari, hal ini terlihat oleh temannya.

“Hei, Khalil! Nenekmu itu banyak duitnya, tapi mengapa pelit sekali?!” kata
seorang teman Khalil.
“Pensilmu itu sudah tinggal seruas jari, mengapa masih kau pakai? Beli memukuli tiap bagian tubuhnya. Khalil meringkuk di lantai, pasrah dihujani
baru saja, ambil uang nenekmu yang banyak itu!” sambung temannya itu. pukulan. Sampai akhirnya ia berusaha berdiri, berlari terpatah-patah keluar
rumah, sampai ia tak lagi melihat neneknya.
“Ah, ada saja kamu ini. Aku mana berani, bisa habis aku dihajar nenekku,”
jawab Khalil yang tak percaya temannya berkata begitu. Khalil berlari di gelapnya malam, suasana kampung sangat sunyi malam
itu. Ia terus berlari ke arah semak-semak sampai melihat sebuah pohon besar
“Alaahh ... tidak apa, asalkan tidak ketahuan,” bisik temannya berusaha dan memanjatnya. Untuk sejenak, ia bisa bernapas di atas pohon itu. Tak lama,
tetap meyakinkannya. ia mendengar suara neneknya memanggil. Ia juga melihat sang nenek memba-
wa seseorang. Bu Desi, tetangganya, ia datang untuk membujuk Khalil pulang
Awalnya Khalil tidak memikirkan perkataan temannya itu. Namun, seperti karena neneknya tahu Khalil tidak akan mendengarkannya.
pisau yang terus diasah, ia terus-terusan diajarkan oleh temannya untuk men-
curi uang neneknya. Khalil pun akhirnya mempertimbangkan hal tersebut, ia Dengan perasaan takut, Khalil terus berdiam diri di atas pohon sampai akh-
ingin merasakan setidaknya bisa menulis dengan pensil baru yang masih pan- irnya ia menyerah. Entah ilmu apa yang digunakan neneknya hingga mem-
jang. buatnya luluh dan mengakui keberadaannya.
Khalil memang sudah tahu letak penyimpanan uang neneknya, ia juga su- “Khalil, di mana kau? Keluarlah, Nak... Nenek tidak akan memukulimu
dah mengamatinya beberapa hari belakangan. Di dalam sebuah ruangan, Khalil lagi,” Panggil sang nenek serta Bu Desi bersahut-sahutan.
mulai menyoroti tiap-tiap sudut. Ia melihat sebuah brankas besi di sudut kanan
ruangan dan berjalan pelan ke arah sana. Dengan tangan gemetar, ia memutar Dengan lugunya Khalil menjawab, “Aku di sini!” Yang kemudian ia turun
angka-angka untuk membuka brankas tersebut, hingga akhirnya terbuka da- dan ikut pulang bersama neneknya dan Bu Desi.
lam beberapa kali putaran. Mata Khalil terbelalak melihat gulungan-gulungan
uang yang diikat dengan karet. Khalil tau neneknya memiliki banyak uang, Sesampainya di rumah, Khalil disidang oleh neneknya. Untungnya ada Bu
tetapi ia tidak menyangka ada sebanyak ini. Desi, sehingga ia tidak akan dihajar lagi oleh neneknya itu. Sepulangnya Bu
Desi, Khalil yang tak ingin dipukuli lagi langsung melompat dan berlari keluar
Akan tetapi Khalil tetaplah Khalil, walaupun terlihat uang segunung di de- rumah. Ia melarikan diri ke Kampung Seberang. Sejak malam itu, Khalil tak
pan matanya, ia hanya mengambil selembar yang ia rasa cukup untuk membeli pernah kembali lagi ke rumah neneknya.
alat tulis. Setelahnya, ia kembali menutup brankas dengan perasaan cemas dan
bergegas keluar. Ia langsung membelikan pensil yang ia butuhkan dengan hati Walau malam itu Khalil sempat kebingungan akan ke mana kakinya me-
yang cemas dan sedikit senang. langkah membawa dirinya yang babak belur ini, anehnya tak sedikitpun ia ter-
pikir untuk pulang ke rumah orang tuanya. Ia akhirnya memilih untuk datang
Singkat cerita, seusai salat maghrib, suasana rumah yang remang-remang ke rumah kerabat jauh ibunya.
terasa tidak enak. Khalil yang selesai salat lebih dulu memiliki firasat buruk,
ia merasa seperti orang yang akan dihabisi karena telah mencuri. Sejak tadi ia Beberapa hari menumpang di rumah tersebut, tiba-tiba guru Khalil datang
memperhatikan tongkat kayu yang berada tepat di sebelah neneknya. Anehnya, menemuinya. Kabarnya, guru tersebut bertanya kesana-kemari untuk mencari
bukannya Khalil segera melarikan diri, ia malah menunggu neneknya selesai keberadaan Khalil.
salat. Benar saja, setelah salam neneknya langsung mengambil tongkat tersebut
dan memukuli Khalil seperti orang kesetanan. “Kenapa tidak sekolah lagi, Nak?” dengan nada yang lembut dan suaranya
yang berat, guru itu bertanya sambil merangkul Khalil. Ia pun menceritakan
“Beraninya kau mencuri uangku?!” teriak sang nenek dengan tatapan ta- semua kejadian yang ia alami kepada gurunya.
jam, tongkat itu sudah melayang ke segala sisi badan Khalil.
“Kalau kamu mau, Ibu bisa bantu berbicara pada nenekmu agar kamu bisa
Tanpa sepatah kata pun, Khalil mencoba berlari. Namun tangannya tertang- lanjut sekolah,” kata guru tersebut yang berniat membantu Khalil melanjutkan
kap oleh neneknya dan dicengkeram dengan sangat kuat. Khalil terus mencoba sekolahnya. Khalil pun meng-iyakan. Siang itu, Bu Guru mendatangi rumah
lari hingga terseok-seok. Ia berlari menuruni tangga ke arah dapur sampai ia nenek Khalil dan mulai membicarakan perihal sekolah cucunya itu.
terpeleset, terguling dan terjatuh. Tanpa peduli, sang nenek terus mengejar dan
“Ah, untuk apa memperdulikan anak nakal seperti itu? Sudah diurus malah mang mau pergi, ya sudah besok saja. Tinggallah dulu kamu malam ini di sini,”
mencuri! Baj*ngan!” Nenek langsung naik darah setelah mendengar penjelasan bujuk sang Ibu Bos sambil menangis melihat Khalil.
Bu Guru, ia bahkan sampai mengeluarkan berbagai sumpah serapah.
“Sudahlah, Bu, mungkin sampai hari inilah saya tinggal di sini,” jawab
“Khalil itu anak yang baik, Bu. Dia pintar dan berbakat, dia harus melan- Khalil sambil melirik suami ibu tersebut yang terlihat sangat marah melihat
jutkan sekolahnya,” sambung guru tersebut. Namun sang nenek terus saja istrinya sebegitunya pada Khalil.
menyumpah serapahi, akhirnya guru itu menyerah dan tidak lagi meyakinkan
sang nenek. Karena tidak ingin mereka bertengkar, Khalil pun langsung berpamitan
serta berterima kasih dan berjalan ke luar rumah. Dengan badan lemas dan
Setelahnya, guru tersebut kembali menemui Khalil. Kali ini ia menawarkan menggigil, ia membawa kakinya melangkah di tengah hujan tanpa tahu tujuan.
pekerjaan agar Khalil bisa sekolah sambil bekerja. Ia ditawarkan bekerja di tem- Akhirnya, setelah berjalan cukup panjang, ia mengingat ada rumah seseorang
pat pengolahan kedelai menjadi tahu, di sana ia dibolehkan untuk tinggal di yang ia kenal di sekitar situ. Khalil pun mendatangi rumah itu. Ibu pemilik ru-
rumah bosnya. mah terkejut melihat kondisi Khalil, ia segera menyuruh Khalil membersihkan
diri dan istirahat. Semenjak itu, Khalil ditawarkan untuk tinggal di rumahnya.
Di tempat kerja itu Khalil sangat disayang oleh ibu bosnya, ia sudah diang-
gap seperti anak sendiri. Akan tetapi lagi-lagi Khalil mendapat masalah, kali ini Singkat cerita, Khalil diberi pekerjaan sebagai kuli bangunan, itulah peker-
yang menjadi masalah adalah Khalil yang terkena penyakit malaria. jaannya sekarang. Khalil sudah beranjak remaja, ia mulai mengenal cinta.
Awalnya Khalil hanyalah anak lugu dan hanya berpikir untuk bekerja, tapi
Selama dua hari ia terbaring, suasana rumah terasa seperti neraka bagin- teman-temannya mulai mengajarkannya untuk berkenalan dengan wanita.
ya. Anak-anak dari bosnya sering kali mengintip Khalil dari pintu kamarnya
dengan tatapan sinis, mereka mengira Khalil hanya pura-pura sakit agar bisa Di sinilah ia berkenalan dengan Nirina, gadis manis berambut panjang
bermalas-malasan. Tidak nyaman dengan perlakuan tersebut, akhirnya Khalil sepinggang. Nirina tidak tinggal dengan orang tuanya, ibunya meninggal saat
dengan badan yang lunglai mengemasi pakaiannya dan berniat untuk berhen- usianya tiga tahun dan ayahnya merantau entah ke mana, tak pernah ada ka-
ti bekerja. Setelah selesai mengemasi barangnya, ia pun berpamitan pada Ibu barnya. Banyak orang yang ingin mengangkatnya sebagai anak karena baik
Bosnya. dan rajinnya. Namun, tak jauh beda dengan Khalil, Nirina juga tidak melulus-
kan sekolahnya bahkan hanya sampai kelas tiga SD.
“Bu, saya mau berhenti dari sini,” ucap Khalil yang langsung disambut oleh
Ibu Bos. Nirina sering duduk di depan rumah sambil menganyam atap dari daun
rumbia. Dari situlah Khalil yang sering melintasi rumahnya mulai sering mem-
“Kamu kenapa, Nak? Apakah ada yang mengganggumu? Bilang sama perhatikannya. Terkadang, mereka tak sengaja bertatapan sambil berbalas
saya!” Ibu tersebut merasa terkejut mendengar pernyataan Khalil. Sebenarnya senyum tanpa sepatah kata.
ia pun sudah melihat gelagat anak dan suaminya yang sepertinya tidak suka
dengan Khalil. Orang-orang sekitar Khalil dan Nirina mulai memperhatikan gerak-gerik
mereka. Dua insan yang sedang berbunga-bunga ini pun akhirnya memulai
“Tidak ada, Bu. Saya hanya ingin pergi ke tempat lain,” Papar anak laki-laki obrolan. Khalil, sang pemuda pekerja keras dan rajin ibadah itu sangat disukai
malang itu dengan tegas. oleh keluarga Nirina. Tak hanya keluarganya, orang-orang kampung juga setu-
ju bila mereka segera dinikahkan. Awalnya Nirina ragu untuk menikah dengan
“Kamu mau pergi ke mana dengan keadaan sakit begini?!” Ibu tersebut ter- Khalil, tetapi dengan keseriusan yang dimiliki Khalil akhirnya Nirina meneri-
lihat marah dan cemas dengan kondisi Khalil. ma lamarannya.
“Sangat lapang dunia ini, Bu. Ke mana saja ingin melangkah pun saya ma- Namun, niat baik Khalil tak berjalan mulus begitu saja, orang tuanya tidak
sih bisa,” Jawab Khalil. setuju Khalil menikah. Mereka meragukan Khalil dan berpikir anaknya tidak
punya apa-apa untuk menikah. Padahal orang tuanya saja yang tidak tahu bah-
“Tidak dalam kondisi seperti ini, Nak. Ke mana kamu akan pergi malam-
wa Khalil selama ini sudah bekerja dan menabung untuk itu.
malam begini? Di luar juga sedang hujan, kondisimu sedang sakit. Kalau me-
Tak disangka, kabar Khalil ingin menikah sampai ke telinga pamannya.
Ia menemui Khalil dan berencana untuk membantu proses pernikahannya. Banda Baskara
Malam itu juga Khalil menyampaikan hal tersebut pada Nirina dan mendatan-
Oleh: Nawirul Haqqi
gi keluarganya untuk melamar.

Tak lama setelah malam itu, akhirnya Khalil dan Nirina menikah, di sini
pula titik balik kehidupan Khalil. Hidupnya mulai terurus, mereka berdua “Hidup-hidupilah jiwa dengan hati dan pikiran yang melahirkan keimanan pada
bekerja mencari nafkah dan menabung. Akhirnya, Khalil menemukan tam- Allah SWT”
batan hatinya, penyejuk hidupnya.

Tahun demi tahun berlalu, Khalil dan Nirina semakin makmur. Kekompa-

T
kan keduanya memperbaiki derajat hidup mereka. Usaha sendiri, membangun ak ada yang lebih sendu dari senja di bulan Oktober, langitnya meng-
rumah, membeli mobil, serta melahirkan anak pertama mereka. Dua pekerja gerutu karena persinggungan doa dan kutukan. Salah satu penikmat
keras ini akhirnya menuai kebahagiaan yang tertanam melalui kerasnya ke- senja ini bernama Banda Baskara, ia sangat “menyukai” bayangan. Lebih
hidupan. (Based on true story) – Khalil dari itu pun ia mengiyakan, maksudnya adalah mencintai bayangan. Ketika
warga sipil bertanya mengapa ia seperti itu, jawabannya masih saja membin-
gungkan, “Tak yang lebih indah dari menari bersama bayangan,” tutur Banda.
Tentang Penulis: Semenjak berlabel sarjana hukum, ia sering bertengger di depan gedung pu-
tih. Tak ada yang berani mengusirnya, entah karena rupanya yang berwibawa
Adinda Putri Kinanti Daulay, akrab disapa Dinda. Lahir di Binjai, 19 Juni
atau memang sosoknya begitu asing. Sambil membawa satu tas di tangan yang
2001. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan kuliah di Universitas Islam Negeri
berisikan ponsel juga powerbank, matanya selalu siap siaga memantau warga
Sumatera Utara dengan Program studi Bimbingan Konseling Pendidikan
sipil di sekitaran gedung putih itu.
Islam. Ketertarikannya pada dunia kepenulisan sudah ada sejak ia duduk
di bangku SMP. Beberapa waktu lalu, Dinda juga ikut serta menulis dalam “Bagi dulu rokokmu sebatang,” ucap seorang pemuda yang sangat ia yakini
sebuah proyek buku dengan judul “Semoga 2022 Bahagia”. Kali ini ia ingin umurnnya jauh di bawahnya.
mencoba membangkitkan kembali semangat menulisnya melalui kegiatan
Nulis Bareng yang diselenggarakan LPM Dinamika UIN SU. “Maaf, Bang, lagi habis,” tutur Banda sambil mendengus, mendongak, lalu
kembali mengarahkan pandangan tajam ke arah gedung putih.

Namun, beberapa saat usai kejadian tersebut, tanpa sengaja Banda melihat
jarum pentol di depan gerbang gedung putih, segera ia bangkit untuk menyin-
gkirkannya. Entah disebut apa, melekatnya warna merah yang mungkin mer-
upakan pangkal dari jarum pentol membuatnya dapat melihat dengan jelas
keberadaannya. Semenjak ia tes STIFIn, hidupnya benar-benar “dimerahkan”.
Menurut data ahli dari tes tersebut, membiasakan diri dengan warna merah
akan meningkatkan mood. “Semoga saja benar,” pikir Banda setiap kali memakai
dan menyandang warna merah, apa pun bentuk dan kontennya. Bagi dirinya,
merah adalah gambaran semangat perjuangan. Meski begitu, warna ini seka-
ligus menjadi warna yang paling ia benci.

***
Lagi-lagi perjalanan pulang dari gedung putih terhambat oleh lampu merah “Baiklah, akan kujawab rasa penasaran kalian, mengapa aku mengatakan bahwa
yang silih berganti hampir empat menit dengan tiga simpang lainnya. Banda Baskara adalah kita. Kali ini aku serius,” Lagi-lagi dengan tingkat percaya
dirinya yang tinggi ia menulis begitu, lalu melanjutkannya postingannya lagi.
“Apes banget aku hari ini. Sudahlah tidak dapat klien, eh, malah ditambah
dengan harusnya menunggu sepuluh menitan untuk menuju lampu hijau,” Ia “Cobalah berdiri di tempat yang tidak terhalang cahaya matahari, kupastikan di
mendumel sepanjang menunggu lampu hijau yang tak kunjung muncul. sana akan hadir sebuah bayangan. Lalu, coba berlarilah dengan posisi menghadap
bayangan, dapatkah kau mendahuluinya? Aku pastikan tidak, kau tetap dibelakang,”
“Sabar, Banda, sabar... kematian pun pasti akan datang,” tuturnya sambil tulisnya dalam status WhatsApp yang baru. Ia masih berusaha merangkai kata
menahan nafas, berharap dapat mengurangi emosinya. agar mudah dicerna.
“Siapalah anak ataupun kerabat dua orang tua ini?” tanyanya dalam hati. “Akan tetapi, cobalah berlari sambil membelakangi bayangan, dapatkah bayangan
itu mendahuluimu? Aku pastikan tidak, bayangan tetap berada di belakangmu, kau
Ia melihat dua sosok orang tua di persimpangan lampu merah, seorang pria tidak sama sekali tertinggal sejak awal berlari,” tulisnya melanjutkan tulisan yang
dan seorang lagi wanita. Si bapak menutup wajah kusutnya dengan masker tadi. Kali ini Banda menyerah untuk berharap ada balasan, ia cukup serius
hitam, dan kepalanya ditutupi lobe berwarna krim. “Mungkin dahulu warnanya karena ingin menyampaikan sesuatu.
putih,” tutur Banda lagi di dalam hati berusaha membenarkan analisisnya. Di
tempat yang sama, walaupun tak sesering si bapak yang bertengger di persim- “Aku benar-benar mencintai bayangan. Semakin aku mencintainya, ia semakin tak
pangan, wajah dan pakaiannya si ibu sama kusutnya. bisa aku raih. Sangat berbeda ketika aku mengabaikannya, ia malah tetap berada di
sisiku. Ya ... meski tetap saja tak bisa aku raih,” Sepertinya Banda mulai asik sendiri
Entah sejak kapan dua orang tua ini berada di sini, dan entah sejak kapan dengan dunianya saat mengetik kata demi kata.
pula Banda menyadari keberadaan mereka. Yang pasti, kenapa mereka ini dib-
iarkan terlantar begitu saja oleh pemerintah? Bukankah ini bagian dari tanggu- “Maka dari sini aku menyimpulkan, bahwa bayangan adalah hasrat keinginan dun-
ng jawabnya? Atau jangan-jangan, dua orang tua ini hanya berpura-pura susah iawi yang tak pernah bisa kita nikmati selama ada di dunia, sebut saja ini fase siang
sehingga pemerintah sudah mengetahui aksi keduanya? Lagi-lagi, jawabannya hari. Lalu jika malam tiba, hasrat ini tak dapat dirasakan keberadaannya. Kenapa? Ca-
hanya, “Entahlah,”. Banda hanya bisa berspekulasi, kalau aksi? Raganya tak haya malam tidak menghasilkan bayangan. Keduanya—malam dan bayangan—menja-
menyanggupi keinginan hati yang ingin mengeksekusi. di satu saat itu, hingga kita terlena dan tak mampu memisahkannya,” Energinya sep-
erti terkuras habis menganalogikan ini, tapi ia tidak boleh setengah-setengah.
Sibuk dengan pikirannya, tanpa sadar akhirnya lampu sudah menghijau. Ia
melanjutkan perjalanan pulangnya. “Malam makin larut dan kita teperdaya oleh ketiadaan cahaya. Kegelapan itu mem-
bungkusnya dengan sangat manis, melekatkan bayangan dengan tersembunyi. Sangat
*** sempurna,” Sejenak Banda merenungi tulisannya, ia merasa tak percaya sudah
menulis kalimat rumit yang membuntukannya ini. Ia menyerah dan memilih
“Banda Baskara adalah kita. Banda adalah harta, dan Baskara adalah matahari,” tu-
untuk batal memuat tulisan itu menjadi status. Disalinnya tulisan tadi ke ap-
lis Banda dalam status WhatsApp-nya. Lima menit tak ada notifikasi, ia melan-
likasi catatan, berharap akan datang masa di mana ia memahami rangkaian
jutkan walau setengah hati karena tak ada yang menggubrisnya.
kalimatnya tadi.
“Harta dari matahari adalah cahaya, bukan matahari namanya kalau tidak men-
Setelah dipusingkan dengan tulisan yang ia buat, matanya terbelalak den-
gasilkan cahaya. Apa? Ya ‘matamalam’, dong!” Dengan percaya diri ia menulis ce-
gan kehadiran cahaya senja. Awan berarak yang sangat indah beriringan den-
lotehannya itu dengan harapan yang sama, ada yang menggubris statusnya.
gan cahaya senja. Hanya saja kali ini sedikit berbeda, ia tak bisa menikmati
Lima menit pun berlalu, dan ya ... tidak ada yang membalas statusnya sama
langit sore itu dengan sepenuh hati. Serpihan kebingungan dari tulisan tadi
sekali.
masih membayangi pikirannya.
“Orang-orang pada kenapa, sih? Padahalkan ini lucu!” tutur Banda menat-
“Ai, kenapalah aku menjadi orang yang sulit melupakan kejadian begini?
ap gawainya yang senyap sekali itu tanpa ada pesan yang masuk.
Apakah masa lalu tidak bisa jauh dari kata lara?” tutur Banda menyimpulkan
harinya.
Tak ada hujan sore ini, wangi hujan yang kemarin melekat pekat sudah
dipenuhi oleh asap kendaraan. Bagaimana tidak? Rumah seorang Banda Bas- Black Devil
kara menghadap ke jalan lintas antarkelurahan. Tak hanya asap kendaraan
Oleh: Ilham Anggianto
saja, debu yang beterbangan pun sama menyebalkannya, berserakan menyeli-
muti teras rumah. Akan tetapi, untuknya ini dapat diterima, senja yang indah
haruslah memiliki satu-dua hal yang membuat ia tak begitu sempurna, karena
kesempurnaan hanya milik Yang Kuasa. “Setiap orang pasti ada yang mencintai juga membenci, engkau tidak dapat menghin-
dar dari hal tersebut. Oleh karenanya, bergabunglah bersama orang-orang yang ta’at
*** kepada Allah” - Imam Syafi’i.
Kini malam benar-benar telah menyelimuti, sehabis cahaya senja yang ta-
dinya merona merah. Entah karena malu dengan kewibawaanku atau, ya, me-

B
mang begitu bawaannya. Tak ada waktu yang paling nikmat dari malam yang urung berkicau menyambut mentari yang indah, dedaunan masih ber-
dijalani dengan memuhasabahkan diri. Seorang Banda pun menyukai bayan- main dengan butiran embun yang ditampungnya. Alif masih berada di
gan yang melekat erat dengan gelap malam. Baginya, ini adalah momen tanpa masjid dengan meneteskan air mata yang tak kunjung berhenti. Kejad-
rasa egosentris, hanya ada dirinya. Walau begitu, tetap saja hati dan pikirannya ian satu tahun lalu masih menghantui benaknya. Rahmad menatapnya haru
beradu memberi kesimpulan harian. dari pintu, dia iba pada sahabatnya itu. Sebelum terjadi tragedi pembakaran
rumahnya yang menghanguskan seluruh aset serta anak dan istrinya, dia ada-
“Logika tanpa logistik, maka tak akan ada kehidupan,” Begitulah Banda lah sosok yang ceria. Namun, keceriaan itu hilang bersama kobaran api yang
menyuarakan perutnya yang sudah keroncongan sedari ia menulis status. Akh- membakar rumahnya.
irnya, ia berkesimpulan bersama bunyi giring-giring bahwa kehidupan bukan-
lah tempat tinggal, melainkan tempat singgah untuk kita para pendosa. Lebih Rahmad melangkah mendekat, dia duduk di samping Alif yang sedang me-
tepatnya mereka yang tak sadar akan kesalahan yang dilakukan oleh perbuata- nutup doanya. Dirangkulnya sahabatnya itu.
nnya. Seketika pula hujan dan petir ikut menemaninya.
“Allah tahu yang terbaik untuk hambanya, Lif,” cetus Rahmad.
“Semoga kita berbahagia dengan adanya masa lalu, masa kini, dan masa
depan,” kata si penikmat senja itu. “Iya, aku tahu, tapi musibah itu sudah merusak perjuangan juga keluarga-
ku, Mad,” jawab Alif.

***
Tentang Penulis:
Alif berdiri seorang diri menatap sisa rumahnya yang terbakar, rumah den-
Penulis bernama Nawirul Haqqi, kelahiran tahun 2002, dan telah men- gan beribu kenangan yang harus mengingatkan dirinya pada Misra, istri tercin-
erbitkan karya buku perdananya berjudul “Konspirasi Bahasa Hati”. Tahun tanya. Istri yang selalu membuat Alif nyaman saat di sampingnya. Ia berjalan
2022 menjadikan dirinya berusia genap 20 tahun menjadi anak tunggal. Aktif menyusuri puing-puing rumahnya dan melihat sesuatu yang berkilau dan me-
menulis di IG: @nawirulhaqqiofficial dan WhatsApp: 0813-4764-3702. mantulkan cahaya matahari. Dicakarinya debu serta abu bekas rumahnya itu
dan mendapati sebuah kotak. “Aku tak pernah melihat ini sebelumnya,” imbuh
Alif.

Dipandangnya kotak tadi dengan penuh pertanyaan di kepalanya. Saat di-


bukanya penutup kotak, ia melihat sebuah boneka santet berada di dalammya.
Alif terkaget penuh keheranan, dibantingnyalah kotak tersebut. Tangannya
bergetar, dia memeras rambutnya. Apa yang sebenarnya terjadi?

***
Malam yang sunyi, hanya terdengar suara jangkrik yang bernyanyi menghi- Dia beranjak dari tempat tidurnya, sebuah noda hitam sebesar baskom ter-
asi kegelapan. Alif masih memikirkan kotak yang ditemukannya tadi, dikeluar- lihat di lantai. Ternyata tidak hanya di kakinya. Disentuhnya noda itu dengan
kannya sebuah kotak yang ia simpan di bawah bantal tidurnya. Dipandangnya raut wajah penuh pertanyaan. Rasa penasarannya dihabisi dengan mencium
benda itu pekat, menelusuri tiap detail kotak di tangannya itu. tangannya yang menyentuh noda tadi. Seketika ekspresinya berubah, noda itu
bau sekali. Agaknya seperti mencium bau busuk.
Sesosok bayangan hitam lewat di balik jendela, bergegas Alif meletakkan
kotak itu pada tempat semula. Ia meranjak menghampiri jendela dan kembali Ia bergegas membersihkannya sebelum bau busuk itu menyebar ke seluruh
ke ranjang tidur setelah menurutnya aman. Hari sudah malam, maka ia mulai ruangan. Segala cara dilakukannya tapi noda itu tidak hilang juga, begitu pula
menidurkan matanya. yang ada di kakinya. Alhasil, Alif mendekatkan wajah pada noda hitam di lan-
tai itu, menelisik rasa penasaran dari mana datangnya noda. Alif dikagetkan
Alif sudah terhipnotis di alam mimpinya. Pintu kamar terbuka sendiri, lam- dengan sebuah tangan hitam yang terbakar beserta jarinya yang panjang keluar
pu berkedap kedip, ranjang Alif melayang satu meter dari lantai, dan akhirnya dari noda hitam yang dimaksud dan menarik paksa wajahnya untuk masuk.
terbangun. Ranjang yang tadinya melayang langsung terbanting kelantai. Wa- Alif berusaha kuat menahan tarikan tangan itu. Diletakkannya tangannya di
jahnya berubah drastis saat ditatapnya bawah ranjang, tubuhnya terpelanting lantai sebagai tumpuan mempertahankan kepalanya.
seolah ada yang medorong kakinya.
Wajahnya terbentur keras ke lantai. Tangan itu menghilang, Alif jatuh ter-
Kini wajahnya penuh kecemasan. Tubuhnya tergeret, dia berusaha meng- duduk di lantai dengan keningnya yang terlihat memerah. Wajahnya pucat,
gapai apapun agar bisa menahan tubuhnya dan berteriak sekuat mungkin. Tu- nafasnya terengah. Dia memegang kepalanya yang pusing sejak tadi. Pandan-
buhnya dibanting berkali-kali layaknya sebuah boneka mainan. gannya buyar dan akhirnya tak sadarkan diri.
“Allahu Akbar!” Kalimat takbir keluar dari mulut Alif dan semua kembali ***
normal. Alif menarik nafas lega walau masih terengah, tubuhnya pun masih
tergeletak di lantai. Dia berusaha menenangkan diri. Seseorang muncul dari Alif memasang penutup wajahnya, pisau dan pistol tertata rapi di samping
balik pintu, Rahmad di sana. pinggangnya. Sebuah rumah mewah dipandangnya sinis sedangkan Rahmad
sudah berkerja membuka kunci jendela rumah itu sejak beberapa menit yang
“Apa yang terjadi, Lif?” tanya Rahmad karena melihat kamar yang beran- lalu. Dia melambai pada Alif untuk bergegas masuk. Rumah mewah itu di-
takan. Alif mengangkat tangannya dari balik meja. Rahmad melihatnya dan geledah, sudut demi sudut ruangan mereka bongkar. Terdengar langkah kaki
langsung menghampiri tangan itu. mendekat menjadikan Alif mengambil posisi sembunyi. Seseorang membuka
pintu, spontan Alif yang di balik pintu langsung menyergapnya.
“Alif!”
Alif menyodorkan pisau pada orang yang spontan mengangkat tangannya
Rahmad membantu mendudukan Alif di ranjang. Alif ingin menceritakan itu, tapi bukannya pasrah malah kakinya menunjang perut Alif hingga perut-
semua yang terjadi, namun lidahnya terasa kaku dan bungkam seperti enggan nya terasa sakit. Ternyata orang tersebut ingin menyerang Alif, karena itu di-
menceritakannya. Rahmad merapikan semua barang yang berantakan di lantai balasnya dengan menancapkan pisau di lehernya hingga darah mengalir bagai
sambil terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi, tapi Alif tidak merespons keluar dari pipa air. Dari sisi lain, seorang wanita sekitar umur 40 tahunan
sama sekali. berteriak. Alif terkaget dan langsung mengambil pistol serta menembakkannya
pada wanita itu.
***
Rahmad yang sejak tadi berdiri di dekat Alif melihat sahabatnya mulai
Azan subuh berkumandang syahdu di udara, sahut menyahut dari masjid
membuka matanya. Huft, mimpi. “Apa yang terjadi, Alif?” tanya Rahmad. Alif
ke masjid. Alif meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, sebuah noda hitam
menceritakan semua mimpi yang merupakan kisah hidup mereka sekitar sep-
terlihat melingkar di mata kakinya. “Tak sakit, tapi kok hitam kayak gini?” pikirn-
uluh tahun yang lalu.
ya.
***
Azan berkumandang syahdu kembali, kali ini menandakan waktu Isya. Alif “Aku, berjanji untuk membalas semua dendam atas orang tuaku!” Dengan
dan Rahmad sudah berada di masjid sejak Maghrib tadi. Mereka berencana lantang suara itu menggema dalam ruangan. Ia berjalan mendekat, masih be-
melaksanakan salat Isya berjamaah. Angin berhembus kuat dan udara terasa lum puas dengan ucapannya.
lebih dingin, seperti biasa diiringi jangkrik yang bernyanyi bersahutan. Alif
dan Rahmad berjalan menuju rumah, tapi seketika udara menjadi hangat se- “Kau tahu siapa aku?” tanyanya sedang Alif bahkan sudah tak berdaya.
cara tiba-tiba.
Perempuan itu membuka penutup wajahnya dan menunjukkan sebuah wa-
“Rahmad, kau buang angin?” tanya Alif. jah yang tak asing di mata Alif. Betapa terkejutnya ia melihat senyuman manis
khas istri tercintanya muncul bersamaan di wajah perempuan itu. Alif hanya
“Kagaklah, kebanyaan makan jengkol kau, tuh!” cetus Rahmad asal menim- bisa meneteskan air matanya.
pal perkataan Alif. Lalu ia melanjutkan ucapannya setelah mencium sesuatu
yang tidak enak. “Sayang–” Belum sempat alif menuntaskan satu kalimat, tubuhnya langsung
dibanting ke atap ruangan.
“Ini bau busuk, Lif,” ucap Rahmad sambil menutup hidung.
“Kau tahu siapa yang membakar rumahmu?” tanyanya, “itu aku, Alif!”
Angin terasa menghempas tubuh, menusuk ke pori-pori tubuh hingga bulu jawabnya sendiri, Alif berusaha tak percaya apa yang terjadi.
kuduk pun naik. Rahmad terhenti, tubuhnya penuh keringat. Dia menunjuk ke
arah langit, bicaranya mendadak gagap. Alif mendongakkan kepalanya, ditat- “Bagaimana dengan anak kita?” Kali ini Alif diizinkan bicara.
apnya makhluk yang melayang di udara.
“Dia sudah terbakar hangus bersama rumah itu,” ucap Misra sambil men-
Makhluk itu memutar kepala tanpa memutar badan, wajahnya hangus luka gusap matanya.
bakar. Rahmad dan Alif berputar balik dan langsung berlari sejauh mungkin.
Makhluk itu mengikuti mereka dari belakang. Langkah mereka terhenti, na- Misra menunjuk tubuh Alif yang kemudian menghantam setiap sudut ru-
fasnya masih terengah-engah dan makhluk itu sudah menghilang, perasaan- angan. Mulutnya bungkam saat menyebutkan asma Allah, disebutkannya da-
nya sedikit lega. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh mereka melayang di udara, raut lam hati sampai mulutnya bisa mengeluarkan suara. Alif membaca ayat kursi
wajah mereka mulai panik dan kakinya bergerak ketakutan. dengan kuat dan lantang, dan akhirnya terjatuh ke lantai.

Tubuh Rahmad terlempar bagai sebuah bola yang dilempar jauh. Ia mena- Alif terus membaca ayat kursi dengan kuat. Misra seperti kesakitan dan ber-
brak sebuah kayu tajam hingga tubuhnya tertusuk kayu tepat di dadanya. Dia teriak kencang. Alif mengambil kesempatan, dilemparnya lima obor ke arah
menarik nafas panjang, matanya seperti ingin keluar. Darah keluar dari mulut, Misra hingga timbul api membara di tubuh istrinya itu.
hidung, serta dadanya yang tertancap kayu.
Alif berniat melarikan diri dan berlari menuju pintu, tapi Misra mengejarn-
Kepala Alif dibanting ke tanah dan diseret menuju sebuah rumah tua den- ya. Pintu ruangan pun terkunci, Alif juga tak akan bisa pergi. Misra yang su-
gan keadaannya yang sudah tak sadarkan diri lagi. Ruangan segi empat den- dah mendekat memeluk tubuh Alif untuk ikut terbakar bersama. Kejadian ini
gan udara hangat yang dikelilingi obor menampung tubuh tak berdaya itu. berakhir dengan pasangan tersebut yang saling mengaung kesakitan dan dua
Matanya mulai terbuka dan tubuhnya langsung melayang lagi, nafasnya sep- tubuh yang hangus terbakar.
erti sudah di ujung maut. Seorang perempuan dengan penutup wajah tertawa
terbahak di depan Alif.

“Aku tak yakin setelah mati ada neraka, terutama setelah kau bertobat. Kau
ingat rumah ini? Di sinilah kau membunuh kedua orangtuaku. Kau membakar
mereka dengan aku yang tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa mengintip
semua perilaku kejimu itu!” ketus wanita itu menggebu-gebu di hadapan Alif,
belum selesai dengan ucapannya. Wanita itu melanjutkan lagi perkataannya.
Perjalanan Alina dalam Mewujudkan Cita-Citanya
Tentang Penulis: Oleh: Ella Arnydhinata
Bernama lengkap Ilham Anggianto, lahir di Pirtrans Sosa 3B, Padang
Lawas, Sumatra Utara. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universi-
tas Islam Negeri Sumatera Utara semester III. Suka menulis sejak kelas satu “Jangan pernah menganggap bahwa diri kita tidak mampu untuk mewu-
Tsanawiyah di Pondok Pesantren (Ponpes.) Al-Khoir, namun karyanya belum judkan cita-cita yang kita impikan selama ini. Jika kita niat dan yakin bahwa
pernah dibukukan. Sampai aku duduk dikelas satu Aliyah, berdirilah FLS kita mampu pada kemampuan kita, apa yang kita inginkan pasti akan terwu-
(Forum Literasi Santri) Ponpes. Al-Khoir. jud walaupun harus melewati banyak rintangan yang berat. Satu lagi, apabila
keinginan kita tidak diiringi dengan doa dan restu dari orang tua, usaha kita
“Segala yang tak mungkin di dunia nyata akan terjadi dalam tulisan. Menulis akan sia-sia”
adalah seni, dan aku mencintai seni” itulah moto kepenulisannya. Beberapa
karya antologinya ialah “Ada Cinta di Pesantren” dari Penerbit Kaifa Publishing

B
dan “Hari ini kita cerita tentang masa lalu” dari Penerbit Jws Publishing.
ercita-cita untuk bisa menempuh jenjang pendidikan di luar negeri,
Mau sharing atau berkenalan? Boleh banget! Kamu bisa ikuti akun Insta- membuat ia selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Lahir dari
gram @elhm_28 dan @brothermusl1m untuk kita bertegur sapa, ya! keluarga yang tidak bergelimang harta selalu menjadi salah satu alasan
untuk dia menerima begitu banyak pandangan merendahkan. Dia adalah Ali-
na Diandra Jovanka, orang-orang selalu menganggap bahwa dia tak mampu
untuk berkuliah di luar negeri. Mereka menganggap keinginannya hanyalah
sebuah khayalan saja, “Mana mungkin dia yang kehidupan sehari-harinya un-
tuk makan saja susah bisa berkuliah di luar negeri?” Kira-kira begitulah pe-
mikiran orang-orang terhadapnya. Namun dia tak pernah memikirkan orang-
orang yang selalu merendahkannya, dia hanya fokus dengan cita-citanya saja.

Alin, begitulah panggilannya sehari-hari. Kedua orang tuanya merupakan


sosok yang sangat pekerja keras, mereka rela banting tulang untuk hidup kel-
uarganya bisa lebih baik. Kedua orang tuanya tidak pernah mengeluh dengan
apa yang mereka kerjakan, mereka hanya ingin anak-anaknya hidup dengan
layak. Ayah Alin merupakan sosok pekerja keras, beliau bekerja sebagai seo-
rang kuli bangunan yang biasanya pendapatannya tidak seberapa, sedangkan
ibunya hanyalah seorang pedagang gorengan keliling. Akan tetapi Alin tidak
pernah malu dengan pekerjaan kedua orang tuanya itu, karena ia tahu bahwa
apa yang kedua orang tuanya lakukan hanya untuk anak-anaknya tidak mera-
sakan apa yang kedua orang tuanya rasakan sekarang.

Pagi itu sebelum berangkat sekolah, Alin membantu ibunya pergi ke pasar
untuk membeli beberapa bahan pembuatan gorengan dan menyiapkan goren-
gan-gorengan itu untuk dijual. Selain itu, Alin juga membantu kedua orang tu-
anya menyiapkan keperluan adik-adiknya yang akan berangkat sekolah juga.
Alin merupakan anak pertama dari lima bersaudara, tiga laki-laki dan dua
perempuan. Setelah selesai semua urusannya, Alin bersiap-siap membersihkan
diri dan berangkat ke sekolah.
Walaupun Alin lahir dari keluarga yang kurang mampu, dia termasuk anak eka tahu Alin akan selalu bersikap seperti itu, menolak diajak ke kantin dan
yang memiliki banyak teman. Banyak teman-teman Alin yang mendukung ci- berakhir di perpustakaan sendirian.
ta-citanya untuk berkuliah di luar negeri, banyak juga yang tidak mendukun-
gnya sampai mengatai dirinya tidak akan pernah bisa berkuliah di luar negeri. Bel masuk berbunyi, Alin segera menuju ke kelasnya karena tidak ingin
Alin hanya diam dan menganggap hal itu sebagai angin lewat biasa. waktunya terbuang sia-sia dengan hal-hal sepele. Setelah sampai di kelas ia
langsung duduk di bangkunya dan memperhatikan guru yang sedang menga-
*** jar di depan dengan fokus. Bahkan saat bel pulang pun Alin langsung pulang
ke rumahnya, ia benar-benar tidak menghabiskan waktunya untuk hal sepele.
Alin merupakan siswi kelas 10, dia bersekolah di SMA terfavorit di daer-
ahnya. Ia bisa lulus di SMA favorit itu berkat otak cerdasnya. Alin merupakan Sesampainya dirumah, Alin langsung membersihkan diri dan rumahnya,
anak yang sangat aktif di sekolahnya, bahkan dia juga terpilih untuk mewaki- agar saat ayah dan ibu pulang kerja bisa beristirahat dengan nyaman, pikirnya. Alin
li sekolahnya dalam ajang perlombaan pelajaran yang paling ia sukai. Benar! juga membantu adik-adiknya yang masih kecil untuk membersihkan diri dan
Alin sangat menyukai mata pelajaran yang berbau Sains hingga ia menjadi mengerjakan tugas sekolah mereka. Tak hanya itu, ia juga membantu kedua
perwakilan sekolahnya untuk mengikuti Olimpiade. Apalagi mata pelajaran orang tuanya dengan bekerja sebagai guru les untuk anak-anak di sekitar daer-
fisika, Alin sangat menyukai mata pelajaran yang dianggap orang-orang sangat ah rumahnya. Berkat otak cerdasnya Alin bisa membantu kedua orang tuanya
menyulitkan dan membosankan itu. Menurutnya, fisika adalah mata pelajaran dalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Alin tidak ingin melihat kedua
yang sangat menyenangkan dan menantang. orang tuanya bekerja begitu keras untuk anak-anaknya sendirian, ia juga ingin
berguna untuk orang tuanya.
Setelah sampai di sekolah, Alin langsung masuk ke dalam kelas dan
menunggu bel masuk berbunyi. Sambil menunggu, ia menyempatkan diri un- Setelah selesai bekerja sebagai guru les, Alin segera membantu ibunya yang
tuk membaca ulang beberapa materi yang akan dipelajarinya nanti, sehingga tadinya baru saja pulang dari berjualan keliling untuk menyiapkan makan
ia tidak kesulitan untuk memahami materi-materi yang diberikan. Bel masuk malam yang terbilang sangat sederhana. Walaupun begitu, Alin dan keluar-
berbunyi pertanda kelas akan dimulai, Alin duduk di urutan bangku kedua ganya bersyukur bisa menikmati hidangan tersebut dan makan malam bersa-
bersama Bella. ma. Setelah selesai, Alin bergegas menuju kamarnya dan melanjutkan untuk
mempelajari materi yang akan dilaksanakan esok.
Bella dan Alin adalah sahabat baik, tetapi nasib mereka berbeda. Bella lahir
dari keluarga berkecukupan sedangkan Alin terlahir dari keluarga yang ku- ***
rang mampu. Hal ini sering menjadi alasan orang-orang tidak menyukai Alin
dan menganggapnya hanyalah seorang penjilat. Tidak hanya Bella saja, Alin Kamis pagi itu, Alin mengerjakan rutinitasnya seperti biasa. Mulai dari
punya beberapa sahabat lagi, yaitu Anggun, Risa, dan Tia. membantu ibunya, menyiapkan keperluan adik-adik, dan pergi sekolah. Na-
mun ada yang beda hari ini, sebelum sampai di sekolah Alin mengalami sedikit
Saat kelas dimulai, Alin sangat fokus dengan pelajaran dan materi yang dis- kendala karena ban sepeda yang dia gunakan bocor. Ya, karena rumah dan
ampaikan gurunya. Ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya yang sekolahnya lumayan dekat Alin menggunakan sepeda miliknya untuk ke seko-
sudah bersusah payah agar ia bisa sekolah, alasan lainnya karena dia ingin lah. Lagi pula, ia bisa menghemat uang saku yang diberikan orang tuanya dan
cia-citanya dapat terwujudkan dengan belajar bersungguh-sungguh. Saat di menabung untuk masa depan nanti.
dalam kelas pun Alin sangat aktif, ia kerap menjadi anak kesayangan guru-gu-
runya dan menjadikan teman-teman kelasnya iri padanya, terlebih karena ia Sekarang Alin bingung, bagaimana caranya dia bisa berangkat ke sekolah
bisa memiliki otak yang cerdas. sedangkan ban sepedanya bocor? Tukang tambal ban pun jaraknya jauh dari
lokasi kejadian ini. Dengan terpaksa Alin menitipkan sepedanya ke warung
Bel istirahat berbunyi menandakan waktu pelajaran berakhir. Di saat-saat yang ada di sekitar tempat tersebut. Alin berlari ke sekolah karena sebentar
ini biasanya siswa lain berbondong-bondong menuju kantin untuk mengisi pe- lagi kelas akan dimulai, dan ia tidak ingin tertinggal pelajaran yang sudah ia
rut mereka, tapi lain halnya dengan Alin. Ia malah pergi ke perpustakaan dan pelajari malam tadi.
berdiam diri di sana selama waktu istirahat berlangsung, sahabat-sahabatnya
juga tidak ada yang menemaninya di sana. Mereka pergi ke kantin karena mer-
Saat ia sampai di depan gedung sekolahnya, pagar sekolah hampir saja Meskipun ia memiliki otak yang cerdas, dia juga pasti akan mengulang dan
tertutup kalau ia tidak berlari sekencang mungkin, akhirnya ia bisa masuk ke membaca kembali pelajaran-pelajaran yang sudah lewat. Alin juga menjadi leb-
dalam gedung sekolah. Alin buru-buru masuk ke dalam kelasnya agar tak ter- ih lama di perpustakaan sendirian, ia juga tidak bekerja sebagai guru les ter-
tinggal pelajaran. Sesampainya di kelas, ternyata sudah ada guru yang masuk. lebih dahulu karena ingin fokus pada ujian akhir nanti. Orang tuanya pun setu-
Ia izin kepada gurunya untuk bisa masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran ju dengan apa yang dilakukan Alin, mereka hanya ingin melihat anak-anaknya
sampai selesai. Guru Alin sedikit heran saat anak itu bisa terlambat padahal bahagia dengan apa yang mereka lakukan.
biasanya datang paling awal. Oleh karena itulah Alin menceritakan kronologi
yang menimpanya saat perjalanan ke sekolah tadi, sehingga gurunya mengiz- Setiap hari jika ada waktu luang maka Alin menyempatkan diri untuk mem-
inkan ia masuk dan mengikuti pelajaran. baca dan mengulang-ulang kembali pelajaran yang pernah ia terima. Lagi-la-
gi ia belajar begitu giat untuk mewujudkan cita-citanya. Alin percaya, bahwa
Saat pelajaran berlangsung, Bu Guru yang sedang menyampaikan materi dia bisa kuliah di luar negeri suatu saat nanti. Saat-saat sekarang tidak akan ia
pelajaran menginformasikan bahwa sebentar lagi akan diadakan Olimpiade siakan waktunya untuk hal yang tidak bermanfaat, Alin harus membuktikan
Sains Nasioanl. Saat mendengar hal itu, Alin selaku salah satu siswi yang kepada orang-orang bahwa dia tidak sama dengan apa yang mereka pikirkan.
mempunyai otak cerdas di sekolahnya dipilih untuk bisa mengikuti olimpiade
tersebut. Alin yang mendengar hal itupun sangat senang karena bisa mengiku- Hari Ujian Akhir Sekolah pun tiba, Alin sungguh sangat bersemangat
ti Olimpiade Sains, ini akan menjadi salah satu alasan Alin bisa mewujudkan menunggu momen ini. Ya ... walaupun ada sedikit rasa tegang tapi ia bisa men-
cita-citanya. gendalikan perasaan itu, yang sekarang terpancar dari wajahnya adalah wajah
yang ceria seperti biasanya. Setelah menempuh perjalanan dari rumah ke seko-
Hari Olimpiade pun tiba, pagi itu Alin berpamitan pada orang tuanya dan lah, akhirnya ia tiba dan segera masuk ke dalam kelas yang sudah disiapkan
meminta doa juga restu agar ia dilancarkan dalam olimpide tersebut. Baginya, untuk para siswa-siswi yang akan melaksanakan Ujian Akhir Sekolah. Dengan
doa dan restu orang tua tidak akan pernah menghianati hasil. Sesampainya di rasa sedikit tegang dan gugup, Alin pergi menuju bangku yang sudah dise-
sekolah, Alin sedikit diinformasikan tentang apa-apa yang harus ia lakukan diakan oleh pihak sekolah untuknya dan teman-teman. Sembari menunggu
saat olimpiade berjalan. Tak butuh waktu lama, Alin pun mengikuti olimpiade waktu ujian dimulai ia berdoa semoga diberi kelancaran untuk ujiannya.
tersebut. Ya, lagi-lagi Alin memenangkan Olimpiade Sains Nasional tersebut
dan menempati posisi pertama. Datanglah waktu yang ditunggu-tunggu, bel masuk berbunyi menandakan
bahwa ujian akan segera dimulai. Alin menyiapkan peralatan-peralatan apa
Mengetahui hal itu maka pihak sekolah, teman-teman Alin bahkan saha- saja yang akan ia gunakan untuk ujian nanti berlangsung. Saat ujian dimulai,
bat-sahabatnya Alin mengucapkan banyak terima kasih kepadanya. Berkat dia Alin mengerjakan soal demi soal dengan santai karena ia merasa soal-soal yang
sekolah mereka selalu menempati posisi pertama di setiap perlombaan atau- ada pernah ia baca jawaban-jawabannya. Waktu demi waktu pun berlalu dan
pun olimpiade. Tapi, ya, begitulah ... ada saja teman sekolahnya yang iri dan tak terasa waktu ujian telah selesai, para siswa dan siswi kelas 12 menunggu
tidak menyukai hal itu, menurut mereka Alin tidak pantas untuk menerima pengumuman kelulusan.
penghargaan itu. Alasannya sudah jelas, “Kenapa harus dari kalangan orang
yang tidak mampu yang bisa membanggakan sekolah mereka?” sekiranya be- Syukurnya, seluruh siswa dan siswi yang mengikuti Ujian Akhir Sekolah
gitulah pemikiran teman-teman sekolah Alin yang tidak menyukainya. dinyatakan lulus, apalagi Alin. Dengar-dengar ia mendapati nilai hampir sem-
purna, dengan itu Alin mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan-
Waktu pun berlalu begitu cepat, tak terasa Alin sudah memasuki kelas 12. nya ke universitas ternama. Alin sangat senang tak terkira! Akhirnya perjuan-
Saat-saat yang menegangkan karena seluruh siswa dan siswi akan berhadapan gannya selama ini tidak sia-sia dan sedikit lagi cita-citanya bisa terwujud.
dengan ujian, tak terkecuali Alin. Walaupun ia sering mengikuti berbagai per-
lombaan, tak dipungkiri ia juga merasakan hal yang menegangkan seperti ini. Saat itu juga Alin mencoba berbagai beasiswa yang bisa membantunya
Alin menjadi lebih sering mengulang kembali dan membuka buku-buku yang berkuliah di luar negeri, berbagai macam kesempatan beasiswa diikutinya.
telah dipelajarinya dari kelas 10 sampai sekarang. Salah satu beasiswa berhasil didapati dan ia merasa sangat bersyukur bisa
mewujudkan cita-citanya yang dirasa oleh orang-orang tidak akan pernah ia
gapai. Orang tua Alin pun turut bahagia karena keinginan anaknya bisa terca-
pai.
Diari Usang
Dengan usaha yang Alin lakukan selama ini, pun berkat doa dan restu Oleh: Sri Kusuma Wardani
kedua orang tuanya, Alin bisa mewujudkan cita-citanya dan akan membuk-
tikan kepada orang-orang yang memandangnya sebelah mata bahwa ia tidak
akan pernah bisa mewujudkan cita-citanya itu. Bukan maksud Alin untuk
menyombongkan diri, tetapi hanya membuktikan kepada orang-orang yang “Selagi masih ada peluang dan waktu, tunjukkan kasih sayangmu
memandangnya sebelah mata bahwa terkadang apa yang mereka lihat hanya kepada mereka yang kamu sayangi. Ingatlah, pada dasarnya penyesalan
sebagian kecil dari diri kita saja. selalu datang di akhir”

C
Tentang Penulis: ahaya mentari pagi membias masuk melalui celah pada jendela kamar,
dinginnya udara pagi membuatku enggan beranjak dari tempat tidur.
Perkenalkan namaku Ella Arnydhinata, lahir pada 19 Maret 2003. Aku Namun, bunyi alarm yang sedari tadi bersahutan akhirnya memaksa
salah satu satu Mahasiswa UIN SU, Fakultas Sains dan Teknologi. Aku memi- untuk bergegas bangun. Aku meraih ponselku dan melihat jadwal apa yang
liki hobi membaca, lebih tepatnya membaca cerita-cerita yang ada di dalam harus kulakukan hari ini. Ah, ternyata pagi ini aku akan bertemu dengan seo-
novel. Ya, aku sering membaca novel terlebih yang terdapat dalam aplikasi rang teman lama.
cerita daring.
Aku beranjak dari tempat ternyaman ini dan langsung bersiap-siap untuk
Sebenarnya aku suka hal yang berkaitan dengan seni, lebih ke seni kreati- menemuinya. Setelah semua selesai, motor matik andalan kutuntun menuju
vitas, sih. Ya.. seperti seni tari dan lain-lain, aku juga suka yang namanya kediaman teman lama. Rumahnya tampak sunyi, bahkan tetangganya pun ti-
kata-kata yang bisa memotivasi diri dan lainnya. Aku pernah mengikuti dak ada yang tahu ke mana dia pergi. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, aku
perlombaan seperti baca puisi, berpidato dan lain-lain, tapi itu dulu saat aku lantas mengambil ponsel untuk memberikan kabar padanya.
masih memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sekarang aku sedikit kesulitan
menumbuhkan rasa percaya diriku. Aku juga suka hal yang berkaitan dengan “Halo, assalamualaikum. Kamu di mana? Aku sudah di depan rumah, nih,”
alam, seperti apa yang ada di alam semesta ini, bagaimana bencana-bencana bicaraku dalam telepon.
alam bisa terjadi, penyebabnya apa sehingga bisa terjadinya bencana-bencana
tersebut, dan lainnya. Tidak ada jawaban dari sana, tetapi tampak seorang gadis melambaikan
tangan dari atas kendaraan miliknya di depan teras. Dialah Yura, tokoh utama
Menulis cerita ini merupakan sebagian dari keinginanku yang lain, kare- yang akan ditulis kisahnya melalui goresan penaku nanti. Gadis cantik yang
na aku merasa aku salah satu orang yang suka berkhayal, berimajinasi, dan umurnya lebih tua satu bulan itu menyengir ketika melihat tanganku sudah
memiliki ide-ide di kepala tapi sulit menuangkan itu semua ke dalam bentuk terlipat di dada.
sebuah karya tulisan. Jadi, dengan adanya cerita ini bisa sedikit membantu
diriku untuk lebih mudah menuangkan apa yang ada di kepalaku ke dalam “Aku pikir kamu tidak jadi datang, Niel,” ungkapnya sembari membuka
sebuah karya tulisan. Aku juga ingin mengapresiasi diriku sendiri karena pintu. Melihatnya yang berada di atas kendaraan, aku bertanya balik.
sudah berani menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah tulisan ini, walaupun
masih banyak kekurangan dalam cerita ini aku tetap mengapresiasi diriku “Kamu dari mana?”
sendiri. Mungkin itu saja beberapa hal yang berkaitan denganku yang bisa
“Aku habis dari Alfamart, beli camilan sama persediaan lainnya,” jawab
aku sampaikan.
Yura dan aku mengangguk-angguk paham.
Aku mengikuti Yura masuk ke dalam rumahnya, sudah lama aku tidak “Zikri sudah meninggal, Niel,”
berkunjung ke sini. Tidak banyak perubahan di rumah ini, hanya sedikit reno-
vasi di beberapa bagian sehingga rumahnya masih tetap terlihat sama seperti Air mata yang sedari tadi dibendungnya kini mengalir deras membasahi
dulu. pipi Yura. Aku pun ikut menangis mendengar pengakuan Yura, tidak terpikir
bahwa Zikri akan cepat berpulang ke sisi sang Ilahi. Tidak ada lagi remaja tang-
“Eh, duduk dulu, Niel,” perintahnya. gung yang akan menggodaku ketika berkunjung ke sini.

Yura pergi ke dapur, mungkin dia akan mengambil beberapa camilan dan “Innalilahi wa inna ilaihi rojiun. Kapan, Ra? Kenapa gak kabarin aku?”
minuman untuk hidangan kami saat berbincang. Benar saja, karena tidak lama
kemudian dia kembali dengan membawa nampan. Aku merasa bersalah karena tidak hadir saat Zikri akan diantar ke tempat
peristirahatan terakhirnya. Namun, Yura pun juga tidak sempat melihat wajah
“Kamu yakin mau nulis kisah cintaku buat event yang lagi kamu ikuti itu?” terakhir adik yang selalu bertengkar dengannya dulu. Itu aku ketahui ketika
tanya Yura, aku mengangguk dengan mantap sebagai jawaban. Yura mengatakan dia baru sampai di sini saat orang-orang sudah menutup
kuburan adiknya.
“Ini serius? Kisah cintaku rumit banget, lo. Aku yakin kamu bakalan pus-
ing buat nulisnya. Secara mantan aku, kan, banyak, takutnya kamu mau nulis “A–aku merasa bersalah banget, Niel. Aku gak sempat minta maaf sama
nama Reno jadi Rani hahaha,” kata Yura sembari tertawa, “Kenapa enggak ki- Zikri untuk yang terakhir kalinya. Aku memang kakak yang enggak berguna
sah cinta kamu aja, sih, yang ditulis?” buat adik-adikku,”

Mendengar itu aku lantas ikut tertawa kemudian menjawab pertanyaannya. “Ra, tenang, Ra, tenang! Kamu harus kuat, kamu enggak boleh nyalahin diri
“Hidup aku itu bahagia mulu, enggak ada suka-dukanya. Apalagi semenjak sendiri gitu. Ini memang sudah takdir Yang Maha Kuasa. Mungkin Allah say-
menikah sama Lee Jeno, kamu tau sendiri, ‘kan, aku masih resmi jadi istri halu- ang sama Zikri, makanya Zikri pergi duluan,” kataku mencoba menenangkan
nya Lee Jeno? Jadi, ya, bahagia terus, deh,” Yura yang sudah menangis sesenggukan.

“Hah, aku kok gak tahu kamu udah nikah?” “Niel, kayaknya aku belum bisa cerita sekarang, deh. Kamu balik dulu aja,
ya! Entar kalau aku sudah baikan aku kabarin lagi,”
“Yeee, kalau aku umbar takutnya para netizen bakalan ngadain bentrok da-
dakan,” Yura tertawa renyah mendengar pengakuan dariku. Atas permintaan tuan rumah, maka aku segera pamit untuk pulang. Rasa
tidak menyangka yang masih terlintas di benak ketika di perjalanan, membuat-
“Dasar halu!” Dia melempar bantal dengan geram. ku hampir menabrak mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. “Astagfirul-
lah, Ya Allah,” ucapku saat tersadar.
“Btw, Yesi sama Zikri ke mana? Biasanya kalau aku datang, Zikri selalu
antusias buat godain temanmu yang cantik imut dan cetar membahana tiada Saat tiba di rumah, ponselku berdering dan menampilkan nama Yura di log
duanya ini,” Bukan tawa, tetapi raut sedih yang terlihat dari wajahnya Yura. panggilan, ada beberapa panggilan tidak terjawab saat aku berada di jalan tadi.
Dengan cepat aku menghubunginya kembali, dia meminta agar aku balik ke
“Yesi lagi sekolah, sedangkan Zikri ...,” Terlihat Yura menghembuskan na- rumahnya. Ada sebuah catatan yang ingin diberikannya padaku. Lantas, aku
pas dengan berat. Sedetik kemudian, bulir bening mengalir dari kelopak matan- kembali memacu kendaraan menuju rumahnya. Rasa penasaran ternyata bisa
ya yang indah. Yura terlihat enggan untuk bercerita. Namun, bukan Da Niel menghilangkan penat yang tadinya menghinggapi tubuhku. Aku terlalu berse-
namanya jika masih dibuntuti rasa penasaran karena cerita yang tidak selesai. mangat hingga tidak sabar ingin segera sampai dan mengetahui isi catatan
tersebut. Akan tetapi, fokus berkendara tetap kulakukan agar tidak terulang
“Ra, kalau kamu ada masalah, cerita ke aku aja. Jangan sungkan, percuma,
kejadian yang sama seperti tadi.
dong, kalau kamu punya teman tapi nanggung kesedihan sendiri doang,” Aku
berusaha dengan lembut agar tidak menyinggung perasaannya. Saat aku tiba, Yura menyambutku dengan senyuman getir. Ditangann-
ya terdapat sebuah buku tebal berwarna hitam yang terlihat sudah usang. Ia
menyuruhku duduk dan membaca buku yang lebih mirip seperti sebuah diari
itu. Halaman pertama terbuka, tertulis sebuah kalimat ‘You are my place to com- mbak selalu sibuk? Padahal, Zikri cuma butuh kasih sayang mbak sama Mbak Yesi.
plain after to Allah’ dan beberapa biodata pemilik diari. Zikri kesepian, Mbak! Ayah sama bunda udah pergi duluan, Kalian berdua juga enggak
pernah ada di rumah.
Zikri Azkariansyah, nama pemiliknya. Halaman per halaman kubuka den-
gan hati-hati, takut tersobek sebab rapuhnya kertas yang termakan waktu. Pengin, gitu, kayak teman-teman yang diantar kakaknya walaupun gak ada ayah
Isinya tentang kehidupan sehari-hari yang dia alami. Mulai dari kehidupan se- sama bunda. Pengin juga setiap pagi disediain sarapan terus didoain, disemangati se-
kolah, hal-hal yang menarik perhatian, bahkan pertengkarannya dengan sang belum berangkat sekolah. Habis itu pulangnya mbak bantuin Zikri bikin tugas dari
kakak pun ia tulis karena merasa jengkel dan marah. Aku tersenyum, tidak guru, atau mbak hadir saat ada acara di sekolah. Apalagi kalau mbak datang ambil piag-
menyangka seorang laki-laki humoris sepertinya juga mau bercerita lewat di- am Zikri sebagai juara umum terus bilang, “Mbak bangga punya adik kayak kamu,”.
ari. Sayangnya, itu enggak pernah terjadi. Mbak selalu mentingin pekerjaan mbak dengan
alasan supaya kami enggak kekurangan, padahal yang aku dan Mbak Yesi butuh itu
Saat tiba di lembaran terakhir, mataku memanas membaca catatan panjang cuman kehadiran mbak di setiap kami butuh. Nah, ‘kan, Zikri jadi nangis. Cengeng
yang ditulisnya. Catatan yang mungkin membuat beberapa orang juga akan banget adik cowok mbak ini, padahal cuma nulis keluh kesah sebelum pergi doang.
menangis jika mereka memosisikan dirinya sebagai Zikri, atau Yura. Udah, deh, Mbak. Segitu aja, sih, yang pengin Zikri sampaikan.
Untuk Kakakku yang Tercinta, Zikri berharap, nantinya mbak punya waktu lebih banyak lagi buat kami. Walau
kemungkinan, Zikri udah nyusul ayah sama bunda. Lebih perhatian sama kami lagi, ya,
Kalau mbak melihat buku ini, berati Mbak Yura sayang banget sama Zikri. Itu Mbak, jangan sibuk kerja melulu. Kesehatan mbak juga penting, jangan terlalu capek.
terbukti ketika mbak masih bisa menemukan buku yang keberadaannya hampir gak Intinya kalian berdua harus sehat-sehat selalu. Zikri sayang mbak, sayang Mbak Yesi
bisa ditemukan oleh siapapun, kecuali Zikri. Pasti mbak selalu bersihkan kamar Zikri juga.
supaya nggak berdebu, ‘kan? Halaman terakhir ini memang Zikri khususkan untuk
Mbak Yura. Maaf, ya, Mbak, kalau selama ini Zikri jadi adik yang enggak baik buat No one can replace you. The point is, Zikri really loves both of you. From your most
mbak. Sering melawan, enggak pernah dengerin apa yang mbak bilang, bahkan mem- handsome brother.
balas perlakuan mbak.
Aku menangis saat membaca paragraf terakhir dari Zikri, begitu pun Yura
Mbak, tahu, gak? Oh, iya, ‘kan belum Zikri kasih tahu, hihihi ... Zikri kangen ban- yang tampak menyesali perbuatannya. Mungkin, dia tidak pernah menyangka
get kalau mbak pergi jauh, terus lama pulang. Kalau sama Mbak Yesi gak enak, soalnya bahwa adiknya memiliki penyakit yang menjadikannya kehilangan satu lagi
dia pendiam banget. Beda sama mbak yang suka marah-marah. Pengen banget cerita penyemangat hidup. Melihat Yura, aku jadi teringat Adik-adikku. Apakah aku
sama mbak kalau kepala Zikri lagi sakit, terus dipijatin walau sambil kena omel ter- sudah menjadi kakak yang baik untuk mereka? Rasanya belum. Ingin pulang
us. Sebenarnya waktu kita bertengkar sambil narik rambut, kepala Zikri sakit banget. dan memeluk mereka seraya minta maaf atas perbuatanku yang belum bisa
Rasanya mau pecah, pengen mengakhiri rasa sakit ini ‘gimana pun caranya. menjadi contoh terbaik untuk mereka.
Ternyata Allah ngabulin keinginan Zikri. Saat jam olahraga di sekolah, sakit kepala
Zikri kambuh. Setelah dibawa ke dokter oleh pihak sekolah, Zikri dinyatakan mengidap
kanker otak. Ini bukan salah Mbak Yura yang sering narik rambut Zikri, kok. Penyebab
Zikri sakit karena paparan bahan kimia tertentu dalam jangka waktu yang panjang. Ba-
han kimianya kayak pestisida, herbisida (pembasmi gulma), vinil klorida pada produk
plastik, timah, dan zat kimia yang terdapat pada karet, bahan bakar, serta tekstil. Nah,
Zikri sakit kepala karena kita tinggal dekat pabrik tekstil. Untung Mbak Yesi mondok,
Mbak Yura juga kerja. Alhamdulillah, jadi cuma Zikri aja yang kena.

Jadi, mbak jangan nyalahin diri mbak lagi, ya. Ini semuanya enggak ada kaitannya
sama mbak. Cuman, Zikri kecewa banget. Sewaktu Zikri sakit dan mungkin terakhir
kalinya bisa menatap wajah mbak, Mbak Yura enggak balik buat jenguk. Padahal, Zikri
mau bilang kalau Zikri udah enggak akan sakit kepala lagi, Zikri udah sehat. Kenapa
Miskin Itu Luka
Tentang Penulis: Oleh: Anisah Syakirah
Sri Kusuma Wardani, mahasiswi kelahiran 2003 yang saat ini sedang
menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara sebagai
seorang Maba. Dengan jurusannya di Fakultas Syariah dan Hukum bukan “Jadilah orang baik sampai orang lain tidak tahu bahwa kamulah
menjadi halangan untuknya menulis. Ia bercita-cita menjadi seorang penulis orang baiknya”
terkenal seperti Asma Nadia dan Tere Liye, berharap karya tulisnya juga bisa
difilmkan da membuat orang tuanya bangga. Beberapa karya tulisnya bisa

D
ditemukan di grup kepenulisan Lintang Semesta Publisher. Dengan nama
pena Da Niel, ia biasa menulis cerpen dengan genre komedi. Ia juga pernah i pagi yang cerah ini aku bergegas pergi ke tempatku bekerja. Rasanya,
berpartisipasi dalam menulis puisi dan menjadi peserta terbaik tingkat Nasi- bekerja di tempat keluarga sendiri lebih menyakitkan dibanding den-
onal. gan orang yang tidak kita kenali sama sekali. Kuayunkan dengan per-
lahan sepeda tua milik almarhumah nenekku hingga aku sampai di tempat
Saat SMA, ia aktif mengikuti seminar tentang kepenulisan. Semenjak tamat tujuan beberapa menit kemudian.
hingga saat ini, ia tidak berminat untuk mengikuti agenda apapun. Ini adalah
karya pertama yang ia ikut sertakan kembali semenjak menjadi mahasiswi. “Sudah sampai? Tuh, cucian piring semalam numpuk di belakang,” cetus
bibi ku, Ina.

“Iya, Bi,” jawabku dengan patuh, tak berselang kemudian ia meneriakiku.

“Asya, kemarin kamu enggak bersihkan kamar mandi, ya? Licin banget itu,
untung anak bibi enggak terpeleset,” pekiknya.

“Iya, Bi, nanti Asya bersihkan lagi, ya,” jawabku pasrah.

Ya, seperti yang dipanggil Bi Ina. Namaku Asya, gadis berusia 18 tahun
yang bekerja membantu pekerjaan di rumah bibi. Meski keluargaku memiliki
keterbatasan dalam hal ekonomi, aku tetap bertekad melanjutkan pendidikan
sarjanaku, terlebih aku putri sulung dari ibu dan ayah. Aku ingin menjadi con-
toh yang baik untuk kedua adikku. Setelah selesai mengerjakan apa yang harus
kukerjakan tadi, Bi Ina memanggilku.

“Asya, minggu depan, kan, kamu sudah mulai masuk kuliah, apa kamu ti-
dak berniat mengubah keputusan saja? Buat apa kuliah, toh, ujung-ujungnya
ke dapur juga. Bibi pikir, kasian orang tua kamu yang masih membiayai kamu.
Pikirkan juga adik-adik kamu yang masih sekolah,” ucap bibi panjang. Aku
masih terdiam tanpa mengucap sepatah katapun.

“Bibi punya kenalan orang pabrik mebel yang di Simpang Raya, kamu bisa
gampang masuk untuk kerja di situ. Kamu mau, ya?” masih tanpa lelah bibi
terus membujukku.
Aku sedih. Bukan, bukan karena bibi melarangku untuk kuliah, karena ti- “Kamu enggak ja” Belum sempat aku bicara, telunjuknya sudah menempel
dak seratus persen yang dikatakan bibi itu salah. Aku memang masih memiliki di bibirku untuk isyarat agar aku diam dan mendengarkan ceritanya.
adik yang perlu biaya sekolah, aku hanya bingung memikirkan pembiayaan
untuk kuliahku nanti. Beasiswa? Aku sudah mencobanya beberapa kali, tetapi “Mami enggak kasih pergi ke Singapura. Kalo papi tetap maksa, mami
memang belum rezekiku. bakal minta cerai. Lagian pun, lo kan tahu gue gak suka bisnis!” jelasnya tanpa
jeda lagi.
“Sudah sore, Sya. Nih, ada sayur sedikit juga gaji terakhir buat kamu. Bibi
titip salam, ya, untuk ibumu, pikirkan juga baik-baik apa yang bibi katakan “So, sekarang kamu di sini?” Fahri memanggut-manggut dengan mantap.
tadi,” ujar bibi sembari memberikan sayur dan gaji yang dimaksud.
“Pendidikan Guru Sekolah Dasar?” tebakku yang masih mengingat jelas
“Sebelumnya, makasih bibi sudah khawatir dan peduli, tapi Asya akan impian yang sering terucap berulang-ulang sedari aku mengenalnya.
tetap lanjut kuliah, Bi. Urusan biaya biar Asya nanti yang pikirkan,” pungkasku
sembari tersenyum dan kulanjut berpamitan. Katanya ia suka anak kecil, menurutnya itu wajar untuk anak tunggal yang
gak tahu rasanya rebutan baju sama adik sendiri, merasa iri jika salah satu ada
“Asya pamit pulang, ya, Bi. Terima kasih untuk lauknya, assalamu’alaikum,” yang dibela. Benar saja, Fahri mengiyakan tebakanku dengan angguk-anggu-
lanjutku. kannya, tak lupa dibarengi ‘senyum pepsoden’ miliknya.

Aku bergegas pulang kemudian itu. Sesampainya di rumah, kulihat ibu “Ih, muak, deh, jumpa kamu terus,” jawabku bercanda dan berjalan pergi
menyambut dengan senyuman hangatnya. Satu hal yang kutahu, selagi aku dari hadapannya.
masih bisa melihat senyuman itu maka suatu hari akan kubuat ia menjadi ibu
paling bahagia. Ibu memang tidak bisa membelikan baju dan tas yang baru “Yang bener ... entar nangis kalo gue beneran ke Singapura, uluh-uluh ...,”
untukku, bukan juga orang yang bisa memberikanku gelimangan harta. Ibu ledeknya membalas candaanku tadi. Kata orang tidak ada persahabatan antara
adalah seseorang yang paling aku butuhkan, cuma ibu yang mendukung untuk wanita dengan pria, dan menurutku itu salah besar.
aku melanjutkan pendidikanku.
“Biaya uang kuliah lo ‘gimana?” tanya Fahri secara tiba-tiba yang membuat-
Dua bulan yang lalu di teras rumah... ku sontak berhenti.

“Kuliah saja, lah, Kak, kalau memang kakak mau, sayang kesempatan lulusnya ka- “Aku bisa urus sendiri,” ucapku.
lau enggak diambil. Tapi... mamak minta maaf, ya, kalau cuma bisa bantu-bantu sedik-
“Mau dapet kerjaan dari mana? Lo kuper, Sya, bisa tahu dari mana coba,”
it?” ujar ibu saat kami sedang makan bersama.
kutautkan kedua alisku tanda tak suka.
“Kalau bisa, anak mamak harus lebih dari mamaknya,” Detik itu juga air mataku
“Kamu gak masuk kelas?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, tapi Fahri
menetes mendengar ucapan ibu, untuk makan saja pun tidak lagi tertelan.
masih melanjutkan pembicaraan yang tadi.
Sudah seminggu dari hari kemarin, artinya hari yang kutunggu sudah tiba.
“Gue punya sohib, dia punya kafe. Lo bisa jaga di sana dari sore sampai
Kutatap gerbang menjulang di kampus impianku, di sana bertuliskan rang-
malam,” ungkapnya acuh dengan perkataanku.
kaian kata sambutan kepada kami mahasiswa baru kebanggaannya. Tak jauh
dari tempat aku berdiri, seorang pria berkacamata dengan tubuh lebih tinggi Jujur dari hati yang paling dalam, aku merasa tidak enak hati dan cukup
dan menggunakan kemeja hitam melambaikan tangannya kepadaku. tahu diri. Selama sekolah pun Fahri sudah banyak membantuku dalam hal
apa pun. Dalam hal apa pun. Apa kali ini aku benar-benar tidak bisa berjuang
“Asya! Yuhuuu, surprise!” teriaknya sambil berlari dan mendekat, yang pasti
sendiri?
karena ulahnya itu kami menjadi pusat perhatian selama beberapa detik.
“Jangan pikirin yang lain-lain. Selagi gue bisa nolong lo, gue bakal lakuin
“Fahri? Kamu ngapain disini?” tanyaku sedikit terkejut, dia teman semasa
dan itu tidak gratis, Nona,” lanjutnya.
SMP dan SMA-ku. Jangan bilang kalau sekarang dia batal kuliah di Singapura.
“Gak gratis? Terus, aku bayar pake apa? Daun? Gak ada kendaraan juga “Satenya masih sama, ya, selalu nyatu hahaha,” Kutatap fahri yang fokus
buat aku ke sana,” jawabku jengkel mendengar ujung kalimatnya tadi. memisahkan hati dengan usus, karena aku suka sate usus dan Fahri suka hat-
inya.
“Gue antar-jemput kalau lo mau. Entar, kalau udah gajian kasih-kasih, lah,
uang bensin. Mau, ya?” “Iya, emang kata masnya harus nyatu, sama kaya kita,” Aku hanya memu-
tar bola mataku malas.
“Alah, uang bensin buat apaan sama kamu?” Fahri hanya menyengir.
“Kuliah lo ‘gimana?” Lagi-lagi pria satu ini kembali menanyakan perihal
“Ya sudah, deh, aku mau. Aku tanya ayah dulu tapi, ya?” ini, hadeh.
“Siap, Bu Bos!” “Ya, enggak gimana-mana,” sahutku singkat.
Setelah seminggu percakapanku dengan Fahri, aku dibolehkan ayah bekerja “Gue liat lo gak pernah ngumpul sama temen-temen lo. Sekali-kali gak apa-
di kafe yang disarankan Fahri. Begitupun dengan Fahri, sesuai kesepakatan apa kali, Sya, biar makin deket sama mereka. Jadi, kalo mikirin tugas gak sendi-
kami maka ia mengantar dan menjemputku pulang. Sesekali jika aku tidak rian,”
pulang terlalu malam atau hari yang esoknya hari libur, ia mampir ke rumahku
untuk berbincang sambil menonton pertandingan bola favorit ayah. “Iya,”

Cukup banyak kesulitan yang aku dapatkan dari bekerja part-time ini, ban- “Jangan iya-iya mulu,”
yak tugas yang kejar deadline karena waktu pengerjaan tugas yang sedikit, ter-
tinggal kelas pagi karena telat bangun. Capek? Sudah pasti! Akan tetapi, apa “Ri, kalau misalnya gue berhenti kuliah gimana?” Kutanyakan tiba-tiba apa
pun itu prosesnya aku berharap untuk terus bertahan dan banyak bersyukur. yang terlintas di kepala.

Malam ini aku pulang dari kafe lebih lama dari biasanya dikarenakan pem- “Kenapa? Lo ada masalah?”
bongkaran barang yang baru datang, Fahri bahkan sudah menunggu sedari
aku menutup kafe. Di perjalanan, kulihat toko-toko sudah tutup lebih awal “Enggak, deh, gak jadi,” ucapku rancau.
padahal esoknya weekend. Kafe tempatku bekerja pun semakin hari semakin
“Apaan, sih, lo sakit?” Kutepis tangan Fahri yang ingin menempelkan tan-
sedikit kedatangan pengunjung, sepi.
gannya ke dahiku, gelagatnya ingin mengecek suhu.
Belakangan ini, Covid-19 menjadi perbincangan orang-orang dengan isu
Tak lama pecel lele pesanan Fahri pun siap, aku segera mengajaknya. Sam-
penyakit virus yang menular dan bisa menyebabkan kematian. Dari bebera-
pai rumah, pintu sudah tertutup, lampu teras rumah pun sudah padam. Aku
pa informasi yang berada di siaran televisi menyebutkan bahwa Covid-19 ber-
menyuruh Fahri pulang, lalu ia menyodorkan dua bungkus pecel lele yang tadi
dampak pada krisis ekonomi di seluruh dunia.
dibelinya.
“Kita beli pecel lele dulu, ya,” Samar-samar kudengar suara Fahri dari bilik
Perasaanku sudah tidak enak ketika aku mengetuk pintu rumah yang tak
helmnya.
kunjung terbuka. Kulihat baterai ponselku, Lowbat. Kuketuk pintu rumah
“Iya,” jawabku singkat. tetanggaku dan bertanya di mana orang-orang yang ada di rumahku.

Kami pun sama-sama turun dari motor, Fahri memesan pecel lele sedang- Ternyata ayahku dilarikan ke rumah sakit, ibu dan adik-adikku berada di
kan aku menunggu di angkringan. Tak lama kemudian, Fahri kembali memba- rumah sakit sekarang. Tanpa pikir panjang aku meminta tolong kepada tetang-
wa sate-satean dari penjual angkringan. gaku untuk diantarkan ke rumah sakit, air mataku luruh tanpa henti. Sepan-
jang perjalanan aku berdoa agar tidak terjadi hal yang serius, tetapi badanku
lemas saat kulihat ibu dan adik-adikku terduduk di depan ruang UGD. Aku
langsung memeluk erat ibu.
“Ayah kanker paru-paru, Kak, tapi gak pernah bilang biar kita gak khawa-
tir,” ucap adik bungsuku saat aku memeluk ibu.
Tentang penulis:
Kami bermunajat agar ayahku bisa cepat sadar. Ibu bilang, paru-paru ayah
kambuh bertepatan dengan ayah yang dihentikan dari pekerjaannya sebab Tidak banyak yang harus diketahui pembaca tentang seorang penulis,
Covid-19. karena seorang penulis dilihat dari tulisannya. Nama penting cukup, lah, ya?
Nama aku Anisah Syakirah, lahir di Medan, 11 Januari 2004. Aku masih butuh
Sudah beberapa minggu sejak ayah koma, tidak lagi terhitung sebera- dan harus banyak banget belajar tentang sastra, karena pada hakikatnya
pa banyak aku meninggalkan kelas kuliahku. Fahri sesekali menjenguk dan yang belajar saja bisa salah apalagi yang tidak. Aku menulis dan ikut event ini
membujuk untuk memberikan bantuan pembiayaan rumah sakit, kali ini aku karena disuruh teman, yang di mana gak ada ide dan persiapan sama sekali,
benar-benar menolaknya. Bukannya sombong dan lain-lainnya, pikiranku be- bahkan konsep tulisan ini apa aku pun gak tahu. Hanya saja aku berharap
nar-benar kacau. tulisan ini bisa dipahami bagi siapapun yang membacanya dan dapat diambil
manfaatnya.
Aku punya pilihan dan tidak akan pernah kusesali apa yang sudah menjadi
pilihanku. Malam ini menjadi malam yang panjang saat aku berdiskusi dengan
ibu, aku mengambil keputusan untuk keluar dari kampus dan berhenti kuliah.

“Mak...,” Ibu menoleh saat aku memanggilnya, ia hanya melihat dan


menunggu aku berbicara.

“Kakak izin kerja di luar negeri, ya? Kakak bakal lanjutin kuliah, kok, tapi
setelah Kakak kerja,” ungkapku sambil meyakinkan yang mau tak mau harus
terdengar oleh ibu dan kembali membuatnya bersedih.

Tak terasa sudah lima tahun aku bekerja di negeri Jiran ini. Ayah sudah
lama sadar dari komanya, sekarang ia berdagang rujak di sekolah-sekolah dan
masih membutuhkan terapi. Ibu pun begitu, mengurus keempat adikku yang
masing-masing sudah berada di tingkat jenjang sekolah. Fahri? Sudahlah biar-
kan saja, katanya dia masih marah padaku karena tidak kuterima uang bantu-
an pembiayaan rumah sakit ayahku dulu.

Teleponku berdering, tertera di situ nama si Pembuat Onar. Kutunggu nada


deringnya sampai hampir selesai dari panggilan.

“Asya! Lo lulus beasiswa kuliah!” teriaknya excited dan memekik telingaku.

“Serius? Aku belum lihat pengumuman,” tanyaku tak percaya. Selagi Fahri
sibuk mengoceh, kubuka website dari beasiswa yang kuajukan. Benar kata
Fahri, aku lulus. Aku terperangah dan masih tidak percaya.

Beasiswa ini mengacu pada banyak aspek. Bantuan biaya hidup, uang saku,
dan pembiayaan semasa kuliah. Aku benar-benar senang karena akhirnya aku
kembali berkuliah. Terima kasih kuucapkan kepada semua orang yang be-
nar-benar tulus mendukungku sampai saat ini. Memang terkadang beberapa
alasan tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.
bapak di rumah, aku selalu pergi bermain. Kalaupun lelah, aku tetap memaksa
Maaf yang Tak Terucap diri untuk berada di luar.
Oleh: Siti Nur Annisa
Sampai aku masuk usia remaja pun, rumah tetap menjadi tempat yang
kubenci. Kehadiran bapak membuat diri ini tak nyaman. Entah karena dirinya
yang pernah memukul atau meneriaki aku, yang pasti aku tak suka dengan
“Mulai sekarang, ringankanlah bibir untuk mengucapkan kata sikap dan perilakunya. Dia bahkan pernah melempar makanan yang kusajikan
maaf dan terima kasih. Hargai mereka yang pernah hadir di padanya hanya karena tak sesuai dengan keinginannya.
kehidupan mu, selagi mata dan mata masih bisa bertemu. Jangan
tunggu hilang baru kau tersadar” Ibuku yang terlampau sibuk, tidak pernah bisa menyempatkan diri untuk
segala momen penting di sekolahku. Ya, bapak yang menggantikannya. Ia sela-
lu ada waktu senggang seusai bekerja. Saat acara perpisahan pun bapak datang

A
untuk menemaniku, tapi aku tak menyukai kehadirannya. Wajahku cemberut
da seseorang yang kehadirannya tidak kusukai. Aku pun takut jika karena marah dan kecewa.
berpapasan dengannya. Hari-hariku terasa menyesakkan jika berada
di sekitarnya. Segores senyum pun enggan kuberikan padanya. Seseo- Aku tak pernah meminta barang atau uang saku pada bapak. Ya ... mudah
rang yang harusnya jadi cinta pertamaku. Ya, seseorang yang kumaksud ialah saja, karena memang aku tak mengharapkan itu darinya. Bahkan aku selalu
bapakku. berkata kalau aku bisa hidup hanya dengan ibu. Bapak juga tak cukup der-
mawan untuk memberikan anaknya uang saku.
Kala itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Tidak banyak yang tahu
kalau anak dengan badan yang kecil ini harus menjadi dewasa sebelum wak- Rasa benci yang kurasakan begitu besar, sampai pada akhirnya mereka
tunya. Dalam hidupku tidak ada figur seorang bapak. Aku punya bapak, tapi, berpisah. Seperti terlahir kembali, aku memiliki kehidupan yang baru. Rumah
ya, hanya raganya saja, yang diberikannya padaku hanya rasa takut. Aku begi- akhirnya menjadi tempat ternyaman untuk beristirahat. Di rumah ini hanya
tu membencinya. ada aku dan ibu, keadaan yang mampu membuat kami bernapas dengan lega.
Bapak selalu memperlakukanku dengan keras, memukulku tanpa segan, Bapak pergi entah ke mana, aku tak tahu dan tidak mau tahu juga. Sebisa
meneriaki aku tanpa ragu. Aku selalu bertanya-tanya, apa salahku? Bahkan ke- mungkin aku tak ingin berjumpa lagi dengannya. Sampai suatu ketika, aku
tika aku menangis mencari ibu pun ia bukan memeluk atau menenangkan, ia mendapat kabar kalau ia masuk rumah sakit. Sedih? Tentu tidak. Ibu men-
memukul punggungku dengan tangannya yang berat. yarankanku untuk menjenguknya, dan kulakukan. Seperti biasa, di wajahku
tak terlukis sedikitpun senyum jika berhadapan dengannya. Hanya menyapa
Keluargaku sudah hancur kala itu, aku pun hanya bisa menerimanya. Mau dan duduk dengan manis.
bagaimana lagi? Aku tak punya kuasa untuk memperbaiki hubungan yang su-
dah rusak ini. Aku selalu bersikap tegar dan seolah tidak terjadi apa-apa, semua Ada satu permintaan darinya yang dari lubuk hati sangat enggan kulaku-
kulakukan agar ibu tidak bersedih. Aku pun tidak mengeluh dengan keadaan kan. Bapak memintaku untuk menyuapinya bubur. Tangan kecilku menyua-
ini, ibuku sudah terlalu lelah bekerja untuk mendengarkan keluhanku. Aku pinya dengan lembut dan hati-hati meski rasanya aku seperti menyuapkannya
cukup jadi anak baik agar tidak membebaninya. rasa benciku. Hanya sampai tiga suapan, dia memintaku untuk berhenti. Tiga
suapan yang terasa seperti tiga puluh suapan. Sedikit waktu yang kuhabiskan
Bapak memang bukan seorang “bapak” yang baik untukku, bukan juga dengannya terasa begitu lama dan menyesakkan.
suami yang baik untuk ibu. Akan tetapi, harus kuakui bahwa ia seorang yang
pekerja keras. Ia melakukan segala pekerjaan meski itu terlihat sulit, ibuku pun Tak lama kemudian, bapak sudah bisa pulang. Ia tinggal di kediaman orang
memilihnya sebagai pendamping hidup karena alasan itu. Hanya saja ia sangat tuanya, di rumah kakek dan nenek. Keadaannya belum bisa dikatakan baik. Ya
buruk melaksanakan tugasnya sebagai kepala rumah tangga. ... apa urusannya denganku? Waktu pun berlalu dengan baik dan aku tak lagi
mendengar kabar dari bapak.
Hari demi hari yang kulewati bagaikan sebuah neraka. Sedikit berlebihan,
tapi memang itu adanya. Rumah menjadi tempat yang paling kuhindari. Ketika
Sampai di satu malam, ibu menerima telepon dari keluarga bapak kalau tumpah tak karuan.
kesehatannya semakin menurun. Kami pergi untuk melihat kondisinya. Ibu
saat itu langsung masuk ke ruangan di mana bapak terbaring. Ia duduk dan Hari-hari pun berlalu, terkadang aku masih suka menangis. Mengingat aku
mengucapkan sepatah-dua kata di telinga bapak yang pandangannya entah ke tak pernah menghargai segala yang dia lakukan untukku. Ah, aku pun teringat
mana, ia bersikap lembut meski mereka sudah berpisah. Ibu juga memerintah- di mana bapak pernah mengantarku ke sekolah dengan becaknya. Aku tidak
kan kepadaku untuk melakukan hal yang serupa. terlalu senang, bukan ... bukan karena kendaraannya, tapi, ya, karena itu bapak.

Aku tak tahu harus berkata apa, aku hanya menggenggam tangan besarnya Hal-hal kecil yang tidak mau kuingat seketika muncul bertubi-tubi. Ketika
yang dingin. Tidak, aku tidak menangis, sama sekali tidak. Aku hanya diam ia menutup wajahku agar tidak terkena debu, memegang badanku yang ter-
dan memandang wajahnya yang seperti orang kebingungan. Dia tidak melihat tidur di motor agar tidak terjatuh, mengambil rapor sekolahku, datang di se-
kami walau matanya terbuka lebar. Aku tak ada pikiran apapun kala itu, aku tiap momen pentingku, menyuapiku kue ketika ulang tahun, pergi ke klinik
hanya mengira ia begitu karena menahan rasa sakitnya. dengan kakinya yang berdarah untuk melihatku yang baru saja kecelakaan,
mengikat rambutku yang lusuh, memegangku dengan erat ketika naik wahana
Entah firasat ibu yang memang kuat atau memang sudah takdirnya, kee- permainan. Terlalu banyak hal-hal kecil yang baru kuingat setelah dia pergi.
sokan paginya aku menerima telepon kalau bapak sudah pergi. Aku yang saat
itu sedang bersiap untuk pergi sekolah langsung terdiam sejenak. Tidak, aku Menyesal, satu kata yang mewakili diriku. Ya, aku tahu, tak ada gunanya
tidak menangis. Aku hanya terkejut. Sekarang aku tahu alasan kenapa ibu menyesal sekarang, tapi manusia memang begitu. Seperti potongan lagu, “Ka-
menyuruhku mengucapkan beberapa kata di telinga bapak malam itu. lau sudah tiada baru terasa,” itulah yang kurasakan. Rasa bersalah itu terus ber-
lanjut sampai sekarang. Aku akan menangis ketika mengingatnya. Aku bahkan
Tanpa mengganti pakaian yang sudah kukenakan, aku langsung berangkat bisa menangis hanya mendengar lagu tentang ayah. Rasanya sakit, dada terasa
ke rumah kakek dan nenek. Sesampainya di sana, pemandangan yang kulihat sesak. Aku benci perasaan bersalah ini.
adalah mereka yang sedang menangis terisak-isak. Entah rasa benciku yang
terlalu besar atau memang tak ada rasa simpatiku padanya, aku tidak bisa Entah sejak kapan rasa benci itu perlahan-lahan menghilang, yang ada han-
menangis. Aku hanya sibuk mengabari teman-temannya dan anggota keluarga ya penyesalan yang menghantui hari-hariku. Di tiap doaku, selalu aku selipkan
yang lain dengan telepon genggamnya yang jadul dan terikat dengan karet. namanya. Kuucapkan kata-kata yang tak sempat terucap, kutumpahkan semua
hal yang belum pernah kukatakan padanya. Aku berharap, Yang Maha Kuasa
Ibu datang menyusul. Kami duduk di samping tubuh bapak yang sudah mau menyampaikannya.
tidak memiliki raga, ia memakai pakaian putih dan harum. Ibu menangis se-
jadi-jadinya. Meskipun telah bercerai, bapak pernah menjadi bagian dari kisah Aku selalu berdoa agar aku bisa berjumpa bapak di hari pembalasan nanti,
perjalanan hidup ibu. Aku masih tidak bisa menangis, aku juga tak tahu men- hanya untuk sekedar mengucapkan terima kasih, juga permintaan maaf; maaf
gapa. Aku hanya duduk diam saja, seperti patung yang tak bernyawa. Selesai untuk kata yang tak sempat terucap di malam sebelum ia pergi, juga terima
disalatkan, bapak pun dibawa ke tempat peristirahatannya yang abadi. kasih untuk kata yang tak pernah kuucapkan atas segala hal yang ia lakukan
untuk hidupku. Jika ia di hadapanku saat ini, aku sangat ingin mengatakannya.
Aku yang lelah memilih untuk pulang lebih awal, meninggalkan ibu yang
sibuk berbincang dengan sanak saudara. Sesampainya di rumah, entah apa “Pak, maaf karena aku tak pernah menghargai kehadiranmu, maaf karena aku terla-
yang merasuki diriku, aku menangis sejadi-jadinya. Aku pun bingung, kenapa lu membencimu. Maafkan aku, Pak, aku selalu bersikap ketus padamu. Maaf aku tidak
aku menangis? Tanpa aba-aba air mataku tumpah, aku tak bisa berhenti. pernah bisa menjadi anak perempuan yang bersikap manis padamu,”

Aku pergi ke kamar dan mengambil album foto. Gambar pertama yang ku- “Bapak, terima kasih juga, ya. Terima kasih atas kehadiranmu di setiap momen ter-
lihat ketika bapak menggendongku di hari ulang tahun pertamaku. Lalu, ada penting dalam hidupku. Terima kasih telah mengantarku ke sekolah, terima kasih untuk
gambar di mana kami berlibur di tempat pemandian, ia memelukku dan kami pelukan hangat yang pernah engkau berikan,”
tertawa di sana. Gambar lainnya di mana ia memelukku dengan tatapan yang
sendu, seperti pelukan rasa sayang. Aku tak tahu kalau aku pernah merasakan Maaf dan terima kasih adalah kata-kata wajib dalam hidupku sekarang.
itu, aku bahkan tak mengiranya. Foto-foto tadi semakin membuat air mataku Aku tidak ingin lagi ada penyesalan untuk diriku.
Awal dari Penantian
Tentang Penulis: Oleh: Wullan Dwi Sany Sanjaya

Siti Nur Annisa atau akrab disapa ‘Nisa’ adalah perempuan yang sudah “Seperti yang aku tahu, sesungguhnya yang paling tenang saat
memasuki usia kepala dua. Terlahir pada tanggal 1 April di Medan, Sumatra mencintai dalam diam ialah mendoakannya. Tidak ada sesuatu
Utara. Anak tunggal yang sangat menyukai kucing, dan menulis menjadi hobi yang lebih indah dari dua raga yang saling menjaga”

N
baru yang cukup menyenangkan.
amaku Sany Sanjaya, biasa dipanggil jee. Aku mahasiswa semester tiga
di salah satu perguruan tinggi negeri di Medan. Ini adalah kisahku
yang bisa dibilang sepele, tapi kejadian ini mampu membuatku susah
untuk tidur dengan tenang.

Kejadiannya kurang lebih lima tahun yang lalu, saat aku duduk di kelas
satu SMK. Aku sedang bercanda dengan teman sebangku-ku, dia orangnya
jail. Kadang pulpenku dipinjam diam-diam, kadang juga bukuku yang menjadi
sasaran empuknya. Itu tidak masalah, aku menganggapnya hanyalah candaan
belaka. Tingkah seperti ini sudah menjadi kebiasaan kami, apalagi dia adalah
teman satu meja denganku.

Saking seringnya bercanda, sampai-sampai aku mengalami sebuah peristi-


wa, mungkin lebih tepatnya kejadian yang tak terduga. Saat itu, dia usil mem-
bawa buku tulisku. Dimainkannya bahkan melempar-lemparkan bukunya,
kemudian ditangkapnya lagi. Dia hanya berharap agar aku marah padanya,
dan aku tidak peduli itu. Terlalu kekanak-kanakan menurutku.

Namun di satu waktu, ia tak sempat untuk menangkap bukunya. Lalu aku
marah, tetapi hanya kudiamkan saja dirinya. Aku berjanji akan membalasnya
pada sore hari nanti ketika ia sedang lengah. Sampai waktu yang kutunggu
pun tiba, di mana bel pulang akan berbunyi. Aku mengambil buku yang ada di
atas meja dan kulemparkan ke luar kelas.

Aku tersenyum puas dengan perlakuanku tadi, impas, kan? Dia sudah mer-
usak buku kesayanganku. Aku sudah tak sabar untuk melihat wajah sedihnya
itu ketika sadar bukunya telah hilang. Saat bel berbunyi dia menatap ke arah-
ku dan mengajakku pulang. Aku masih dengan senyum yang mengembang
penuh kemenangan. Berselang kemudian dia merasa ada yang aneh. Dia panik
dan bolak-balik melihatku dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia kaget
karena bukunya yang di atas meja hilang. Dia bertanya kepadaku dengan ek-
spresi wajah yang khawatir.

“Apa kau melihat buku di atas mejaku, Jee?”

“Mana aku tahu, cari saja sendiri,” jawabku sambil tertawa sinis.
“Astaga, Jee. Buku itu bukan milikku, itu bukunya Abdul,” Pak Guru menyuruh kami untuk duduk sesuai dengan kelompok. Ia pun
menatap ke arahku seolah memberi isyarat agar segera duduk di bangku sebe-
Abdul adalah lelaki paling tampan sekaligus anak paling pintar yang dik- lahnya. Dengan berat hati, kubawa tasku menuju kursi yang ada di samping-
agumi satu kelas, banyak perempuan yang suka padanya. Jangan bertanya pa- nya. Selama Pak Guru menginformasikan apa-apa saja yang harus kami kerja-
daku, aku tak pernah menyukainya. Menurutku, ia sangat cupu. Apalagi ber- kan, aku terus saja gelisah. Rasa bersalah itu pun muncul lagi saat aku melihat
bicara dengannya, bagiku itu mustahil. buku itu ada di depan mataku.
Mendengar itu, seketika aku berlari keluar kelas dan melihat ke tempat “Dengarkan! Aku tak mau kau menjadi beban di kelompok ini,” katanya
sampah, tempat di mana aku membuang buku tadi. Ternyata ide pembala- kepadaku dengan nada yang sangat ketus. Aku hanya memandangnya dengan
sanku ini adalah ide yang sangat buruk. Aku melihat ada seorang pria sedang raut penuh dendam. Dih, sombong banget, kataku dalam hati.
memegang buku yang sangat kotor di samping tong sampah. Buku itu ... sama
persis seperti buku yang kucampakkan tadi. Bisa kupastikan bahwa itu adalah Sudah 30 menit berlalu, Pak Guru pun sudah selesai memberi arahan ke-
pemiliknya. pada kami. Di sinilah kami sekarang, di situasi ruangan yang sangat panas
menurutku. Kalau kau tanya mengapa, kau harus melihat orang di sebelahku
Aku bingung harus berbuat apa sekarang, apakah aku harus meminta ini. Lihatlah, siswa sombong ini hanya menulis dan menulis saja, bahkan aku
maaf? Lalu, mengatakan ini adalah salahku? Ah, sangat tidak mungkin! Aku pun tidak tau apa yang ditulisnya sekarang. Sampai akhirnya aku muak, maka
sangat malas berbicara dengan pria cupu ini. Aku terdiam dan tak bisa berbuat aku mulai berbicara kepadanya.
apa-apa. Kakiku rasanya membeku, bahkan untuk berjalan saja rasanya berat
sekali. Oh, Tuhan! Apa yang harus kuperbuat sekarang? Aku sangat malu un- “Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyaku kepadanya dan dia hanya
tuk meminta maaf, ini adalah situasi paling menjijikkan di hidupku. Setelah diam tanpa melihat ke arahku. Rasanya darahku mendidih, aku kesal sekali
kupandangi beberapa menit, dia pergi begitu saja tanpa mengeluarkan sepatah dengan pria aneh ini. Dengan penuh amarah aku berteriak kepadanya.
katapun kepadaku.
“HEY KAMU BUDEK, YA? AKU NGOMONG SAMA KAMU, TAHU!
Sekarang, aku hanya melihat punggungnya yang sudah mulai menjauh DASAR ANEH!” teriakku dengan suara yang sangat keras, kukatakan itu tepat
dariku. Ya ... tetap saja rasa bersalah ini tak kunjung hilang. Andai saja temanku di telinganya.
tadi tidak mencari gara-gara, pasti ini tidak akan terjadi. Apa aku harus menge-
jarnya sekarang dan bilang kalau yang tadi itu adalah perbuatanku? Argh, itu Kelas yang tadinya berisik langsung senyap, semua orang menatap ke ar-
sangat mustahil! ahku. Ya Tuhan, aku malu sekali. Bahkan Pak Guru pun melihat ke arahku, di
mana aku harus meletakkan wajahku ini?
“Sudahlah, Jee, tenang. Biar aku yang bicara dengannya besok,” kata
temanku tadi berusaha menenangkan. “Ada apa, Jee? Kenapa kamu berisik sekali? Kalau mau teriak-teriak, keluar
saja kamu dari kelas saya,” tegur Pak Guru kepadaku.
Aku masih tidak enak hati dengan kejadian tadi, pikiranku berkata ini ma-
sih belum selesai. Sibuk memikirkannya, aku malah tidak menyadari angkutan “Ma–maaf, Pak,” kataku terbata-bata.
umum yang aku naiki hampir tiba di depan rumahku.
Aku pun kembali melihat ke arah Abdul, Hei, apa-apaan ini?! Dia memasang
Hari demi hari telah berlalu. Waktu itu, Pak Guru meminta kami untuk raut wajah menghina ke arahku. Ia tertawa begitu renyah seakan kejadian ba-
mengerjakan tugas kelompok di mata pelajaran fisika. Aku pikir aku akan se- rusan adalah lelucon baginya.
kelompok dengan teman sebangku-ku, tapi Pak Guru meminta untuk aku se-
kelompok dengan Abdul. Jantungku terasa berhenti berdetak di detik itu juga. “Kenapa kau tertawa? Lucu, ya? Lihat saja nanti, aku akan membalasnya,”
Badanku membeku, Aku tidak mengerti apa yang sedang kurasakan sekarang. Kuperingati dia, enak saja menertawakanku begitu.
Canggung! Ya, canggung, mungkin itu situasi yang ada sekarang. Kami bahkan
“Silakan jika bisa,” sahutnya, “sudah, tulis ini. Kemudian kau pahami, ya,”
tidak berkata apa pun, aku juga tidak berani melihat ke arahnya. Aku rasa ... ini
sambungnya sambil memberiku buku berisi tulisan tangannya. Kuambil den-
adalah sesuatu yang sangat menyeramkan.
gan raut wajah penuh amarah. Lagi-lagi ia hanya tertawa dengan aku yang
begitu kesal.

“Lucu,” katanya padaku. Tentang Penulis:

“Apa katanya tadi? Lucu? Hah, dasar pria aneh,” sahutku dalam hati. Wullan Dwi Sany Sanjaya, akrab di panggi Jee. Mahasiswi UIN SU yang
kini sudah memasuki semester III Jurusan Fisika. Wanita kelahiran Teluk
Sudah sepuluh menit berlalu dan aku masih saja menulis, dia terus meman- Mengkudu yang sekarang tinggal di Serdang Bedagai. Pastinya anak kesay-
dang wajahku saat aku menulis. Sebentar, ada apa denganku? Mengapa aku angan orang tua dan keluarga. Untuk kamu, jangan suka menyakiti, ya, aku
merasa jantungku seperti berdebar kencang. Oh, tidak! Apa aku sedang sakit begitu disayangi dan dikasihi di keluargaku.
jantung? Tuhan, aku merasa pipiku memerah sekarang.

“Apa yang kau lakukan? Kenapa memandangku seperti itu?” kataku padan-
ya kesal, ya ... masih dengan pipiku yang memerah.

“Suka hatiku, dong. Kamu salting, ya?” katanya dengan raut wajah menge-
jek.

“Dih,” sahutku mendelik, aku melanjutkan tulisanku.

“Selesai! Sekarang apa lagi?” tanyaku padanya.

“Nah, bagus. Sekarang tolong kamu kumpulkan, ya,” ucapnya dengan lem-
but.

Aku bergegas pergi ke meja guru dan mengumpulkan tugas kelompok


kami. Setelah hari itu, kami jadi sering tegur sapa layaknya teman sekelas pada
umumnya. Menurutku, ia tak terlalu cupu sekarang, wajahnya juga lumayan
tampan. Oh, Tuhan! Kenapa aku jadi memikirkannya?

Setiap hari aku selalu mencoba untuk berbicara kepadanya, bahkan aku
mulai berani untuk meminta nomornya kala itu. Ini adalah hal yang lucu juga
aneh untukku. Sepertinya, aku menyimpan rasa padanya. Hanya saja aku tak
pernah berani memberi tahunya.

Bertahun-tahun dan tak ada yang bisa menggantikan posisinya. Aku ma-
sih saja menyukainya, bahkan setelah lulus dari SMK yang notabenenya kami
tidak pernah bertemu lagi. Aku hanya bisa melihatnya dari akun media sosial-
nya. Ya ..., tetap saja rasa ini masih sama. Aku masih tidak tahu, akankah kami
bertemu kembali atau tidak. Aku hanya bisa berharap pada tuhan untuk men-
jadikannya tempat agar aku bersamanya, di akhir penantianku nanti.
suri tiap sudut. Aku belum melihat bapak dari tadi, aku ingin segera member-
Dalam Duka itahu bapak hal bahagia ini!
Oleh: Lola Amanda
“Bapak di mana, Bu?” tanyaku kepada ibu.

“Bapak belum pulang, tadi Bapak minta untuk dibawakan makan siang saja

C
uaca siang hari yang terik itu membuatku ingin sekali cepat sampai di sekalian. Mau mengantarkan barang ke toko Pak Mansyur katanya,” jawab ibu,
rumah. Apalagi ditambah dengan asap dan klakson kendaraan di ma- sudut mataku sedikit lesu. “Tidak apa, tunggu bapak pulang saja nanti,” pikirku
na-mana sementara aku berada di dalam kemacetan jalan, sungguh dalam hati.
sangat menguji kesabaran. Sesampainya di rumah, aku langsung buru-buru
membuka ponselku. “Ya sudah, Bu, Nisya mau mandi dulu,” dibalas anggukan oleh ibu dan aku
berlalu.
Ya, hari ini adalah hari pengumuman untuk hasil seleksi perkuliahan ta-
hun ini. Lelah yang kurasakan tadi berubah seketika menjadi rasa gelisah “Sehabis mandi langsung makan, ya, pasti kamu lapar belum makan siang,”
dan deg-degan, campur aduk. Mataku tak tertuju kepada hal lain, aku hanya Lanjut ibu dan aku menunjukkan jari jempol mengisyaratkan kata ‘oke’.
fokus pada layar ponsel. Detik demi detik kunantikan malah semakin kacau
Aku pun segera mandi untuk membersihkan badanku yang berkeringat dan
perasaanku, inilah dia waktu yang sudah kutunggu-tunggu juga hasil yang
entah sudah berbau seperti apa. Hari ini aku sangat lelah dan kurang berse-
kunanti-nanti.
mangat, tetapi aku bahagia karena hasil yang kudapat sangat sesuai dengan
Begitu terkejutnya aku, dengan mata yang berbinar dan nafas yang terhen- hasil yang kuharapkan selama ini. Kerja kerasku, belajar giatku, dan doa-doaku
ti sejenak. Benarkah hasilnya seperti ini? Aku ingin teriak sejadi-jadinya. Aku sudah kuperoleh hari ini. Hanya saja untuk ke depannya aku harus pintar me-
langsung mencari ibu dan memberitahukan hasilnya, ibu menangis terharu manfaatkan kesempatan yang mungkin tidak semua orang mendapatkannya.
dan hatiku semakin tersentuh. Ya! Aku lulus di UI! Aku lulus sebagai maha-
Setelah selesai mandi aku langsung kembali ke kamar untuk berpakaian,
siswa baru Fakultas Kedokteran di UI! Ini seperti mimpi, mimpi yang begitu
dan setelah itu aku bergegas ke dapur untuk makan siang karena ibu sudah
indah. Ibu langsung memelukku sambil menangis haru.
menyiapkan makanan enak untuk aku dan adikku yang sebentar lagi pulang
“Alhamdulillah, kerja kerasmu dalam belajar dan terus berdoa dikabulkan sekolah.
oleh Allah. Ini rezekimu, Nak, ini pilihanmu. Jalani dengan sungguh-sungguh,
Aku anak pertama dari dua bersaudara. Sebagai anak perempuan pertama,
doa Ibu dan Bapak selalu menyertaimu,” kata ibu sambil memelukku.
ya... bisa dibilang aku harapan pertama kedua orang tuaku sekaligus contoh
Memang sedari kecil aku bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Namun, untuk adikku. Hal itu merupakan tanggung jawab yang besar dan tidak mu-
semakin aku bertumbuh besar dan mulai mengerti bahwa keadaan ekonomi dah, aku berusaha agar tanggung jawab tersebut dapat kujalani dengan semes-
keluargaku tidak memungkinkan untukku menjadi seorang dokter. Di situlah tinya.
aku mulai giat belajar dan berharap agar bisa mendapatkan beasiswa kuliah
“Ikannya bagi dua sama adik, ya, jangan dihabiskan. Kasihan, nanti dia
gratis untuk meringankan beban orang tuaku.
pulang sekolah pasti lapar juga,” kata ibu sambil berjalan menghampiriku.
Mengapa seperti itu? Ya... mau bagaimana lagi? Bapakku hanyalah seorang
“Iya, Bu, tidak Nisya habiskan, kok. Ini buat Nisya dan ini buat Tiara” kataku
tukang becak dengan penghasilan yang bisa dibilang tak menentu, sedangkan
sambil membagi dua ikan yang telah disajikan oleh ibu untuk adikku, Tiara.
ibu hanya membuka warung kecil-kecilan di rumah. Aku pun sudah tiga bulan
ini menjadi seorang guru les. Meski penghasilannya tak seberapa, insyaallah “Kir-kira Bapakmu sudah makan nasi yang Ibu bawakan atau belum, ya?
berkah dan bisa membantu kedua orang tuaku. Ibu takut Bapakmu lupa memakannya,” kata ibu khawatir.
“Alhamdulillah, Bu, doa Ibu dan bapak dikabulkan Allah. Nisya janji, Nisya “Ibu kok perhatian banget sama bapak? Cieee... Ibu khawatir bapak lupa
bakal rajin belajar dan tidak akan mengecewakan Ibu ataupun Bapak!” ucapku makan, ya?” jawabku menggoda ibu. Alhasil ibu pergi ke depan sambil
sambil mencium tangan ibu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mataku menelu-
tersenyum malu. ya,” Aku pun berjalan masuk ke dalam rumah.

“Assalamu’alaikum!” Terdengar suara nyaring yang mengucapkan salam “Assalamu’alaikum, Bu! Bu... Bu Asri...,” kata seorang lelaki dengan langkah
sambil berlari menghampiriku di meja makan. sedikit berlari ke arah rumahku.

“Wa’alaikumussalam, ada apa kok lari-lari? Macam anak kecil aja kamu ini, Aku langsung berbalik arah mendengar suara tersebut. Ternyata Pak Man-
‘kan gak lucu kalau jatuh, Ara!” gumamku kesal karena adik kecilnya itu ber- syur, pemilik toko yang barang-barang tokonya akan diantarkan menggunakan
lari-lari dengan tergesa. becak bapak.

“Kakak! Gimana hasil pengumumannya? Ayo, dong, cerita gimana hasiln- “Wa’alaikumussalam, Pak Mansyur. Ada apa, Pak? Tumben sekali sore-sore
ya! Kakak luluskan? Kakak luluskan? Iya, dong, masa Kakakku gak lulus, san- begini kemari. Suami saya belum pulang, Pak, tadi pagi katanya mau mengan-
gat tidak mungkin dan tidak akan terjadi,” Tiara sangat antusias tentang hasil- tar barang ke toko bapak,” jawab ibu dengan ramah.
nya, dia terus menggebu-gebu menggoyangkan kakaknya meminta tanggapan.
“Iya, Pak Mansyur, bapak belum pulang, hehehe. Ada apa, ya, Pak?” sam-
“Iya, iya, iya... sudahhh. Iya, alhamdulillah Kakak lulus,” jawabku sambil bungku.
tersenyum kepadanya.
“Begini, Bu Asri, Nak Nisya. Bapak ingin menyampaikan kabar kalau Pak
“Alhamdulillah ya Allah, yes! berarti Kakak bakalan jadi dokter, dong? Be- Hasan mengalami kecelakaan siang tadi, nyawanya tak tertolong. Sekarang
rarti nanti kalau aku sakit bisa berobat gratis sama Kakak, dong? Yes!” kata jenazah Pak Hasan dilarikan ke Rumah Sakit Kasih Bunda,” ucap Pak Mansyur
Tiara sambil kegirangan dan berjoget ria. sambil menangis dan memandang iba.

“Iya, amin. Sudah, makan dulu sini! Sudah disiapin ibu, nih!” Seketika aku lupa caranya bernafas. Nyawaku seperti melayang, duniaku
hancur, kakiku tak mampu menopang tubuh ini lagi. Tidak, ini hanya mimpi!
Tiara dan aku pun makan bersama, sambil dia bercerita tentang kegiatann- Ini mimpi buruk dalam mimpi indahku! Bapak pasti baik-baik saja, pasti. Hari
ya hari ini di sekolahnya. Tiara duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Dia ini aku mendapatkan kabar gembira, bapak akan senang mendengarnya. Jadi
anak yang pintar, di usianya sekarang dia sudah mengerti keadaan ekonomi orang yang dimaksud Pak Mansyur pasti bukan bapak.
orang tuanya. Dia tidak banyak minta seperti kebanyakan anak lain yang seusia
dengannya, aku sangat bangga padanya. “Apa, Pak? Mungkin bapak salah orang, Pak. Itu pasti bukan bapak saya,”
kataku sambil gemetaran.
Sehabis kami makan dan bercerita, aku langsung ke kamar untuk menger-
jakan tugasku sebagai seorang guru les. Tiara pun begitu, ia membereskan pa- “Selesai dari pangkalan, Pak Hasan ingin ke pasar untuk mengambil barang
kaian sekolahnya dan bersiap untuk mengerjakan tugas sekolah. yang akan di antarkan ke toko saya. Namun, di perjalanan menuju pasar, Pak
Hasan ditabrak dari belakang oleh supir angkot, alhasil Pak Hasan terseret dan
Hari semakin sore dan bapak belum juga pulang. Aku khawatir, tak bi- meninggal di tempat” jelas Pak Mansyur lalu menunduk.
asanya bapak belum di rumah pukul segini. Aku berjalan ke warung dan men-
jumpai ibu. Mendengar penjelasan Pak Mansyur, ibu syok tidak karuan. Ibu langsung
pingsan tak sadarkan diri, aku menopang tubuh ibu sambil menangis dan me-
“Bu, kok bapak pulangnya lama sekali? Bapak memang gak ada singgah ke manggilnya berulang kali guna menyadarkan ibu. Saking kuatnya suaraku
rumah sebentar, Bu?” tanyaku gelisah. menyadarkan ibu, Tiara yang sedang mengerjakan tugas di dalam rumah pun
berlari keluar menghampiri kami.
“Ibu juga tidak tahu kok bapakmu belum pulang jam segini, Sya. Tadi pun
tidak ada singgah ke rumah,” jawab ibu yang juga gelisah. Tak ingin membuat “Loh, Kak, Ibu kenapa, Kak? Kakak ... kenapa menangis? Ibu kenapa, Kak?”
ibu semakin cemas dan gelisah, aku berusaha tenang. Tiara bertanya-tanya bingung, ia panik melihat ibu pingsan.
“Ya sudah, Bu, mungkin sebentar lagi bapak pulang. Nisya ke dalam dulu, “Loh, Pak Mansyur juga. Kenapa menangis, Pak? Ada apa ini?” Tiara se-
makin bingung saat melihat tetangganya juga menangis di sana. Adik kecilku
yang malang.

Pak Mansyur pun menjelaskan kembali apa yang terjadi sebenarnya. Tiara
yang mendengar hal itu terlihat kaget tak percaya, kami menangis sejadi-jadin-
ya sambil menyadarkan ibu yang belum juga siuman.

Hari ini seharusnya menjadi hari bahagiaku dan semua orang di rumah ini,
tapi apa yang terjadi? Bapak ... Allah lebih sayang kepadanya. Allah memanggil
bapak begitu cepat, hari ini bapak pergi meninggalkan kami selamanya.

Kepergian bapak meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi kami.


Terutama untukku, ini sangat terasa bagiku. Ditambah dengan melihat usia
ibu yang semakin tua, tidak mungkin baginya untuk bekerja keras lagi. Akulah
yang harus bisa bekerja keras untuk membantu ibu setelah ini. Profesi sebagai
guru les akan tetap kujalani. Dengan penghasilan yang terbilang cukup, aku
akan berusaha mensyukuri rezeki itu.

Masa-masa duka itu akan berlalu, sekarang saatnya aku harus berdamai
dengan keadaan. Aku harus melanjutkan kehidupanku, menjadi mahasiswa
dan tulang punggung keluarga. Alhamdulillah, aku bisa bekerja sambil kuliah,
dari hasil belajar giatku itu aku mendapatkan beasiswa kuliah gratis sampai
wisuda.

Aku sangat amat bersyukur. Aku percaya, bahwa Allah tidak akan mem-
bebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, seperti yang di-
jelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 286. “Dan ingatlah Man Jadda
Wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil)”.

Tentang Penulis:

Lola Amanda

@lolaamanda_

Wanita kelahiran Medan ini sedang berkuliah di UIN SU, Jurusan Fisika
Fakultas Sains dan Teknologi, Semester III. Lola ingin dikenal dengan hasil
karya tulisnya meski ia bukan seorang yang ahli dalam hal itu. Hanya saja, ia
ingin hasil karyanya bisa meluas dan memotivasi banyak orang.

Anda mungkin juga menyukai