Persembahan
Saya ucapkan syukur kepada Allah SWT. Karena atas
seizinnya saya dapat menyelesaikan novel ini. Tak lupa
juga aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada
kedua orang tuaku yang telah memberikan segala daya
dan upaya mereka sebagai bentuk dukungan kepadaku
dalam menyelesaikan novel ini. Juga kepada teman-
temanku yang telah memberikan banyak kritikan
membangun dan juga pendapat-pendapat yang sangat
membantuku untuk menyelesaikan novel ini.
Setelah melewati proses yang begitu panjang, dan banyak
menguras tenaga, pikiran, serta waktu saya. Akhirnya
saya dapat menyelesaikan novel pertama saya ini yang
berjudul temporary. Dan saya berharap ke depannya,
saya dapat membuat sebuah novel kembali.
2
Daftar Isi
Halaman
Persembahan...................................................................2
Daftar Isi...........................................................................3
Prolog...............................................................................6
Bab 1...................................................................10
Bab 2...................................................................22
Bab 3...................................................................39
Bab 4...................................................................54
Bab 5...................................................................72
Bab 6...................................................................85
Bab 7.................................................................100
Bab 8.................................................................115
Epilog.............................................................................130
Tentang Penulis.............................................................134
3
“Not all the things that you worry could
happen in your life. Stop worrying about
something, because worries make you more
afraid to do everything.”
― Anonymous
4
Prolog
Shafa Abirah, itulah namaku. Terdengar indah bukan.
Namun siapa sangka bahwa arti dari nama itu sama sekali
tidak indah. Entah mengapa kedua orang tuaku
memberikanku nama itu. Yang aku tahu nama adalah
sebuah doa dari orang tua untuk kehidupan anaknya
kedepan. Dan begitulah hidupku, dipenuhi dengan banyak
kesedihan dan air mata. Sesuai dengan arti nama yang
kumiliki.
Aku terlahir dalam keluarga yang berkecukupan, tetapi
sayangnya hubungan kami kurang harmonis. Aku
merupakan anak satu-satunya. Kalau biasanya anak satu-
satunya itu selalu dimanja dan diperhatikan oleh kedua
orang tuanya. Lain halnya dengan diriku, aku malah tidak
pernah dipedulikan. Karena inilah aku merasa kesepian
dan selalu merasa sendirian. Jangan tanya bagaimana
dengan kedua orang tuaku. Mereka jarang ada di rumah.
Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka, dan tidak pernah
peduli dengan keadaanku. Bahkan ayahku sendiri tidak
pernah sekali pun menanyakan kabarku.
Terkadang terpikir dalam benakku apakah sebuah nama
begitu berpengaruh dalam kehidupan pemiliknya. Sampai
ia benar-benar membuat hidupku hancur lebur. Atau ini
memang suratan takdirku yang begitu kejam, yang tega
merenggut sumber kebahagiaanku. Dan melenyapkan
5
kebahagiaan atas diriku dan juga kebahagiaan dari orang-
orang di sekitarku.
Apa aku terlalu egois, hanya karena aku ingin merasakan
kebahagiaan itu lebih lama lagi dalam hidupku. Aku tidak
ingin lagi memendam perasaan kesal dan kecewa di
dalam hatiku.
Aku hanya ingin merasakan kembali bahagia bersama
orang-orang tersayang. Aku ingin sejenak melupakan
permasalahan dalam hidupku, aku tidak ingin selalu
memikirkan keadaanku yang menyedihkan, aku tidak ingin
orang lain selalu memandangku sebagai seseorang yang
patut untuk dikasihani.
Aku ingin menjadi seseorang yang dapat menyebarkan
kebahagiaan kepada orang lain. Seseorang yang dapat
memberikan semangat bagi orang lain. Dan seseorang
yang mampu menjadi penghibur di kala orang lain
bersedih.
Kata orang hidup itu adil. Semua orang pasti pernah
merasakan kesedihan, dan nantinya kesedihan itulah
yang akan mendatangkan kebahagiaan. Namun itu tidak
berlaku dalam hidupku. Datangnya kesedihan dalam
hidupku bukannya membawa kebahagiaan, tetapi malah
membawaku ke dalam keterpurukan. Membuatku benci
dengan hidup ini, benci dengan semua yang terjadi dalam
hidupku termasuk dia, seseorang yang tak pernah hilang
dalam ingatanku.
Siapa yang harus kusalahkan atas semua ini. Apakah aku
salah jika aku menyalahkan kedua orang tuaku. Sebab
orang tuaku-lah yang secara tidak langsung membuat
6
hidupku menjadi seperti ini. Mereka yang membuat
hidupku sengsara seperti ini. Mereka tidak pernah
mempedulikan aku, untuk menanyakan kabar pun mereka
enggan. Mereka juga yang memberikanku nama dengan
arti yang buruk itu.
Mungkin orang akan berpikir bahwa aku adalah anak yang
durhaka. Anak yang tidak tahu terima kasih pada kedua
orang tuanya. Anak yang hanya bisa menyusahkan kedua
orang tua saja. Namun mereka semua tidak tahu
bagaimana sengsaranya aku menjalani hidup ini.
Salahkah bila aku kecewa dengan kedua orang tuaku.
Jika aku mempunyai kesempatan terlahir kembali, aku
ingin terlahir dengan nama yang lebih indah. Aku juga
ingin mempunyai kedua orang tua yang lebih mengerti
kondisiku, yang dapat membuatku menjadi seorang anak
yang paling bahagia di dunia.
Akan tetapi kurasa hal itu tidak akan pernah terjadi. Aku
ingin realistis saja, aku hanya ingin esok hari aku tidak
membuka mataku kembali. Aku tidak ingin lagi mendengar
segala hal yang membuatku semakin kecewa pada semua
orang. Aku ingin berhenti sampai di sini. Aku sudah tidak
kuat lagi menjalani semua ini. Tuhan ku mohon biarkan
aku hidup bahagia di alam sana.
7
“It’s the worst part of seeing old friends:
when your rose-colored memories become
undone by reality.”
— Brad Meltzer, The Inner Circle
8
Bab 1
Sinar matahari yang begitu cerah masuk ke dalam celah
kamarku. Mengusik tidurku yang begitu nyenyak. Namun
sayangnya hatiku tidak secerah sinar matahari pagi ini.
Aku bosan dengan hidupku yang monoton ini.
Aku melirik jam yang berada di samping tempat tidurku.
Jam itu menunjukkan pukul 05.00. Aku pun segera
beranjak dari tempat tidurku, dan bergegas untuk mandi.
Sebenarnya aku malas untuk berangkat ke sekolah hari
ini. Karena hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru
di mulai, pasti akan diadakan upacara untuk menyambut
para murid baru. Lebih baik aku diam di kamarku dan
menuliskan kisah hidupku.
Namun berbeda dengan teman-temanku, mereka begitu
excited untuk kembali masuk sekolah. Malam tadi grup
LINE kelasku begitu ramai dengan obrolan yang tidak
penting. Aku tidak tertarik sedikit pun untuk bergabung di
dalamnya.
Dengan berat hati aku beranjak dari tempat tidurku, dan
bergegas menuju kamar mandi. Setelah aku siap dengan
seragam sekolahku, aku pun turun ke bawah untuk
sarapan.
Aku terheran ketika melihat kedua orang tuaku yang
masih duduk di meja makan. Biasanya setiap pagi mereka
sudah sibuk menerima telepon dari para kliennya, dan tak
9
lama setelah itu mereka langsung pergi. Namun pagi ini
berbeda, mereka terlihat santai duduk di meja makan.
Sampai di meja makan, aku langsung duduk dan mulai
memakan sarapanku. Aku tidak berbicara sedikit pun. Tak
lama kemudian, kulihat kedua orang tuaku pun juga mulai
memakan sarapannya. Akhirnya kami pun menghabiskan
sarapan tanpa perbincangan sedikit pun. Hening. Tidak
ada yang berani memulai perbincangan terlebih dahulu.
Yang kudengar hanyalah suara dentingan sendok dan
piring yang saling beradu. Aku tidak suka suasana seperti
ini.
Beberapa menit berlalu tanpa perbincangan sama sekali.
Tiba-tiba, Mama membuka suara dan mengajakku
berbincang dengannya.
“Shaf, hari ini Mama dan Papa akan pergi ke Singapore,
karena ada proyek yang harus Mama dan Papa kerjakan.”
Ucap Mama.
“Pantes Mama sama Papa pagi ini nggak sibuk.” Balasku
dengan nada tidak suka.
“Iya Nak, makanya Mama dan Papa sempetin waktu untuk
sarapan bareng kamu.” Ucap Mama. Papa hanya
tersenyum ke arahku. Kuakui itu adalah senyuman
terindahnya yang pernah ditunjukkan padaku, namun
kutahu itu bukanlah sebuah senyum yang tulus.
“Oh iya, Mama dan Papa rencananya akan menetap di
Singapore selama proyek itu dikerjakan. Jadi kamu baik-
baik ya Nak di sini. Mama janji akan sering pulang ke
Jakarta.” Ucap Mama dengan nada sedih.
10
Aku tidak mampu menjawab apa pun. Mataku sudah
terasa panas, mungkin sebentar lagi air mataku akan
turun. Aku sungguh kecewa dengan pernyataan Mama
barusan. Mereka dengan teganya meninggalkanku
sendirian di kota ini. Dan aku tidak yakin nantinya mereka
akan sering pulang ke Jakarta. Mereka sudah sering
memberiku janji-janji, tetapi tak pernah satu pun mereka
tepati.
Tak ingin melanjutkan perbincangan dengan Mama, aku
pun memutuskan ntk segera berangkat ke sekolah.
"Ma, Pa, aku berangkat." Ucapku malas.
"Loh sarapan kamu kan belum habis. Ayo dihabiskan
dulu." Balas Mama.
Aku mengabaikan perkataan Mama, dan tetap berjalan ke
luar rumah. Aku muak dengan ucapan manis Mama.
Ucapan tidak berarti bagiku untuk mengungkapkan
sebuah kasih sayang. Aku butuh pembuktian dari Mama,
bukan hanya sekedar ucapan.
***
11
dengan mobil itu. Sang pengemudi pun menurunkan kaca
mobilnya. Revan? Ku lihat lagi lebih dalam dan itu benar
Revan. Seketika ingatanku kembali ke masa dimana aku
pertama kali mengenalnya.
20 April 2011
Di sebuah gedung tua yang sudah tak terawat, di salah
satu ruangannya terdapat seorang gadis perempuan yang
berusia sekitar 10 tahun dengan tangan dan kaki yang
terikat. Matanya sembab dan terlihat sangat lelah.
Sepertinya ia belum berhenti menangis sejak malam hari.
"Hiks.. Hiks.. Mama tolong aku. Aku takut.." Ucap gadis itu
berulang kali.
Ia terus-menerus menangis berharap ada seseorang yang
dapat mendengarnya dan dapat menolongnya. Ia tidak
tahu harus berbuat apa. Sedangkan di luar ruangan, ia
dapat mendengar sang penculik sedang menelfon
seseorang, dan membicarakan sesuatu yang membuat
dirinya terkejut.
"Halo bos, bagaimana langkah selanjutnya?"
"..."
"Anak bos yang tercinta ini tidak berhenti menangis, saya
tidak tahu lagi harus bagaimana."
"..."
"Bos yakin tidak menyesal melakukan ini?"
"..."
12
Apa yang dia bilang barusan? Anak bos? Maksudnya
dalang dari penculikan ini adalah Papaku sendiri?
Benarkah Papaku tega melakukan ini? Tetapi mengapa?
Ucapku dalam hati.
Ku mohon siapa pun tolong keluarkan aku dari sini. Aku
takut berada di sini. Aku takut untuk menerima kenyataan
bahwa benar Papaku-lah yang telah menculikku. Aku tak
tahu apa tujuannya melakukan ini semua. Dia memang
tidak pernah peduli denganku sejak kecil, tetapi benarkah
dia sampai tega menculikku, anak kandungnya sendiri.
Tolong aku... aku takut sekali.
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Aku menoleh ke arah
pintu dan ada seorang anak laki-laki yang datang bersama
sang penculik itu. Aku rasa ia seumuran denganku.
Kuperhatikan dia. Apakah dia korban penculikan juga?
Tetapi untuk apa Papaku menculiknya juga.
"Revan, kamu ajak bermain gadis itu ya. Buat dia berhenti
menangis." Ucap sang penculik.
"Iya, Ayah." Balas anak laki-laki itu.
Dia berjalan mendekat kearah ku. Setelah ia berada tepat
di depanku, ia berlutut dan mulai berkata.
"Hai, Putri Cantik." Sapanya.
Aku ragu untuk membalasnya. Aku takut kalau ia juga
mempunyai niat jahat seperti ayahnya. Aku takut dia
menyakitiku. Ditambah lagi sang penculik itu masih berdiri
di ambang pintu melihat kearah kami berdua.
13
"Tidak usah takut, Putri Cantik. Perkenalkan namaku
Revan." Ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Aku masih bungkam dan tidak bergerak sedikit pun.
Lagipula bagaimana caranya aku dapat membalas uluran
tangannya, tanganku saja masih terikat.
"Oh iya aku lupa, Putri Cantik. Tanganmu kan masih
terikat." Ucapnya lalu ia menoleh kearah ayahnya.
"Ayah, bolehkan aku lepaskan ikatan tangan dia. Kasihan,
pasti rasanya sakit, Ayah." Ucapnya lagi.
Tanpa berbicara, sang penculik itu langsung mendekat ke
arahku lalu membuka ikatan di tangan dan kakiku. Setelah
itu dia beranjak pergi dari ruangan itu.
"Nah sekarang kamu tidak perlu takut lagi putri cantik."
Ucapnya sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya.
"Terima kasih, Revan. Oh iya namaku bukanlah putri
cantik, namaku Shafa." Ucapku.
Aku tersentak kaget ketika ada seseorang yang menepuk
bahuku. Dan kulihat Revan telah berdiri di sampingku. Ia
mulai berceloteh panjang lebar. Tetapi aku tidak
mempedulikannya sedikitpun. Moodku makin hancur pagi
ini, setelah melewati sarapan pagi yang tidak
menyenangkan, kali ini aku harus berhadapan kembali
dengan seseorang yang telah meninggalkan rasa kecewa
di dalam hatiku. Aku ingin ini cepat berakhir.
14
“Shaf, lo kenapa sih dari tadi ngelamun terus? Gua
ngomong pun lo nggak denger kan?” tanya Revan.
Aku tidak menjawab pertanyaan Revan, dan berjalan pergi
menaiki angkot yang saat itu telah menepi ke arahku.
“Shafa, kok lo malah pergi sih, gua kan belum selesai
ngomong.” Teriak Revan.
***
Di dalam angkot, aku bisa melihat bahwa mobil Revan
berada di belakang angkot yang kunaiki. Kupikir wajar
saja karena tujuan kita sama, yaitu sekolah. Namun
dugaanku salah ketika angkot yang kunaiki berhenti di
lampu merah. Kulihat Revan membuka pintu mobilnya dan
berjalan ke arah angkot yang kunaiki. Saat ia sampai di
depan pintu angkot, ia berteriak kepada sang supir
angkot.
"Bang, saya ambil penumpangnya satu nggak apa-apa
kan?" ucap Revan sambil melirikku.
"Boleh aja, asal si enengnya mau." Jawab sang supir
sambil tertawa. Sepertinya sang supir tahu bahwa yang
dimaksud Revan itu aku.
Revan kembali melihat ke arahku dan dari wajahnya ia
seakan bertanya apakah aku mau pergi bersamanya. Aku
hanya melihat ke arahnya sebentar, lalu aku kembali
melihat ke arah luar jendela.
"Yah, saya dikacangin, Bang." Ucap Revan lagi.
"Maaf, Anda kurang beruntung. Silahkan coba beberapa
15
saat lagi." Jawab sang supir.
Para penumpang angkot lain pun tertawa mendengar
jawaban sang supir. Lain halnya denganku, aku hanya
bisa diam menahan malu karena tingkah Revan yang
menurutku terlalu berlebihan. Untungnya lampu hijau
kembali menyala, dan membuat angkot yang kunaiki
kembali melaju, meninggalkan Revan dan mobilnya yang
sedikit membuat kemacetan.
16
memberhentikan mobilnya tepat di depanku, dan
mengajakku berbicara seakan kita adalah teman dekat.
Ditambah lagi, apa yang dia lakukan di angkot tadi
sungguh tidak bisa kumengerti apa maksudnya. Setelah
sekian lama ia mengacuhkanku, kini dengan santainya ia
bersikap seperti itu.
17
kali bertemu dengannya. Hanya serangkaian kata, tetapi
membuatku merasa sangat bahagia. Ternyata dia masih
ingat. Aku pikir dia sudah tidak peduli dengan kenangan-
kenangan masa kecil kita. Atau mungkin memang selama
ini ia tak pernah melupakannya sedikit pun. Entahlah.
Saat sedang asyik berpikir, tiba-tiba Revan menarik
tanganku. Aku pun mengikutinya turun dari angkot dan ia
berjalan mendekati pintu supir.
"Bang, makasih banyak ya. Sukses juga saya bawa Putri
Cantik saya. Berarti kali ini saya beruntung kan?" ucap
Revan sambil tertawa.
18
diam dan memperhatikan padatnya lalu lintas di pagi hari
dari jendela mobil. Aku tak berani melihat ke arah Revan.
Rasanya leherku kaku dan hanya bisa menghadap ke
depan. Aku pun mulai berpikir, apa sebenarnya tujuan
Revan melakukan semua ini? Lalu mengapa saat ini
sikapnya berubah, seperti Revan yang tidak kukenal lagi.
Baru beberapa menit yang lalu ia kembali memanggilku
dengan sebutan putri cantik. Tetapi saat ini ia seakan
bukan orang yang sama.
19
Dia hanya membalas dengan senyuman. Lalu tak berapa
lama, ia kembali melajukan mobilnya.
***
20
“Love does not begin or end in a way that
we seem to think it does. Love is like a
battle, love is a war, love is like growing
up.”
— James Baldwin
21
Bab 2
23
pemandangan seperti ini, ke mana pun Revan pergi pasti
selalu ada siswi-siswi yang mengelilinginya. Saat aku
sedang memperhatikannya, tiba-tiba Revan melihat ke
arahku. Mata kami bertemu selama beberapa detik.
Sampai akhirnya aku kembali mengalihkan perhatianku
pada novel.
24
dengan begitu banyak pertanyaan. Aku sudah ingin
menjelaskannya, tetapi suara langkah sepatu hak
terdengar jelas dari luar kelas dan sepertinya sedang
mengarah ke kelas ini. Semua murid di kelas XII IPA 1
pun diam. Ya, semua murid sudah hapal suara langkah
siapa itu. Dan benar saja, tak lama kemudian sosok guru
Matematika yang dikenal begitu kejam, memasuki kelas
XII IPA 1. Akhirnya aku pun menunda penjelasanku
kepada Thania.
***
25
Tak berapa lama, setelah Bu Laras pergi ke luar kelas.
Thania langsung menuntutku untuk memberikan
penjelasanku padanya saat itu juga.
26
murid yang baik-baik. Dan memang seperti itulah Revan.
Tetapi rasanya selama 2 tahun lalu, aku tidak pernah
melihat Revan dekat-dekat dengan mereka. Sejujurnya
aku tahu siapa mereka, bahkan mungkin satu sekolah
tahu tentang mereka juga. Sebab mereka dikenal suka
membuat kerusuhan di sekolah. Mereka menamai diri
mereka dengan sebutan ‘gangster sekolah’. Pemimpin
kelompok mereka adalah Kevin. Aku kenal dengannya,
karena saat di kelas XI aku sekelas dengannya.
Sebenarnya dia adalah orang yang cukup baik. Dia
pernah menolongku waktu itu. Mungkin kalo dia tidak
salah memilih teman, dia akan seperti Revan.
27
lalu. Saat Ranti mempermalukanku di depan semua
murid, hanya karena Kevin menolongku waktu itu. Aku
tidak ingin kejadian itu terulang. Sudah cukup aku
menanggung malu, karena harus bolak-balik masuk ruang
BK hanya karena orang tuaku tidak pernah mengambil
rapotku. Atau karena nilaiku yang selalu turun, dan
dianggap oleh guru-guru sebagai seorang murid yang tak
pernah berkembang. Aku memang sudah dikenal seperti
itu.
28
Mataku terbelalak kaget. Aku sungguh tidak percaya
dengan ucapan yang keluar dari mulut Revan. Benarkah
ia barusan memanggilku dengan sebutan putri cantik. Aku
tidak salah dengar kan. Aku menatapnya tidak percaya.
Tetapi ia malah tersenyum padaku.
***
29
Setelah cukup jauh dari kantin, aku berhenti. Duduk di
salah satu bangku yang ada di koridor. Aku mengatur
detak jantungku yang berdebar-debar. Thania pun ikut
duduk di sampingku dan memegang tanganku untuk
memberiku kekuatan.
30
Sebenarnya aku bingung, mengapa tiba-tiba Kevin ingin
mengajakku berbicara. Aku saja tidak pernah berurusan
dengannya setelah kejadian itu. Sepertinya hari ini semua
orang bersikap aneh, mulai dari Revan sampai Kevin pun
juga.
31
tiba. Tetapi aku kenal Revan lebih lama dari Kevin, dan
aku tahu Revan bukanlah orang yang seperti itu. Ada
perasaan tidak terima dalam hatiku, karena Kevin
berbicara hal-hal yang buruk tentang Revan. Namun aku
tak dapat menanggapi perkataannya. Aku hanya diam dan
mencoba mencerna perkataan Kevin tadi.
***
33
Aku pun kembali membenamkan wajahku. Sebenarnya
aku ingin menanyakan semua hal kepada Revan tentang
kejadian hari ini. Tetapi entah mengapa aku merasa takut
untuk menanyakan itu semua. Ditambah lagi mood-ku
sudah hancur dan yang kuinginkan hanyalah melupakan
semuanya. Kurasakan kembali tangan Revan mengelus
lembut rambutku. Dan tak lama kemudian aku pun
terlelap.
05 Juni 2011
34
yang semula memancarkankan aura kesedihan dan
kesepian. Air matanya pun tidak lagi tumpah. Sang gadis
beranjak bangun dari ayunan dan berlari mendekati lelaki
itu. Melihat sang gadis berlari ke arahnya, lelaki itu
memberhentikan sepeda yang dikendarainya.
35
Sore menjelang, Revan mengajak sang gadis itu untuk
pulang. Ia pun mengantarkan sang gadis dengan sepeda
biru miliknya. Mereka berboncengan sambil menikmati
indahnya senja sore itu. Mengukir kenangan bersama
yang takkan pernah dilupakan oleh keduanya.
36
“Shafa.” Teriak Revan.
***
37
“Remember: the time you feel lonely is the
time you most need to be by yourself. Life’s
cruelest irony.”
― Douglas Coupland, Shampoo Planet
38
Bab 3
11 Agustus 2011
39
“Shafa... sini deh. Aku punya sesuatu, pasti kamu bakalan
suka deh.” Ucap anak laki-laki itu.
40
Mereka berdua pun terbawa suasana dalam lagu tersebut.
Lirik lagunya seperti menceritakan kisah mereka berdua.
Dan mulai hari itu, lagu yang berjudul My Heart itu menjadi
lagu kesukaan Shafa. Dia sering mendengarkan lagu itu
jika dia sedang rindu dengan Revan, anak laki-laki itu.
***
41
Akhirnya aku pun bisa kembali pada kasurku yang sangat
nyaman ini. Aku memejamkan mata sambil mengingat
kembali kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Begitu
rumit dan sulit untuk dipercaya. Tanpa sadar aku pun
terlelap ke dalam dunia mimpi.
42
yang indah, sebelum nantinya berubah menjadi biru gelap
yang menakutkan.
31 Agustus 2011
43
ke arah Revan yang terlihat begitu semangat, sepertinya
ia sudah tidak sabar memperlihatkan tempat itu. Shafa
pun tertawa melihatnya. Menurutnya ekspresi Revan
sangatlah lucu.
44
khawatir lagi. Revan memang selalu bisa membuat
hatinya tenang.
45
telah merebut hati Shafa dan membuat Shafa tak bisa
melupakannya.
***
46
menuliskan hal-hal yang terjadi selama hidupku dalam
sebuah file. Bisa dibilang aku menulis sebuah buku
tentang kisah hidupku sendiri. Tetapi aku tak memiliki niat
untuk memberitahukannya pada orang lain. Kubuat tulisan
ini hanya sebagai pengingat bagi diriku bahwa aku
memiliki kisah hidup yang sulit.
Aku mulai terlarut dalam tulisanku ini. Tidak ada suara lain
yang terdengar di kamarku selain suara ketikan keyboard
laptopku. Dan tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu
kamarku disertai suara Bibi yang menyuruhku untuk
makan.
47
Selesai makan, aku pun berjalan menuju ruang keluarga.
Aku duduk di salah satu sofa yang ada di sana. Rasanya
sunyi sekali. Kalau biasanya ruang keluarga dipenuhi
dengan kehangatan dan canda tawa. Lain halnya dengan
di rumahku ini. Ruang keluarga ini hanya seperti ruangan
kosong yang tak pernah terpakai. Tak pernah ada suatu
kehangatan yang tercipta disini. Ruangan ini hanya
dipenuhi dengan suasana-suasana canggung.
23 April 2011
48
sepasang suami istri dengan raut wajah yang terlihat
khawatir.
50
***
51
Jarum panjangnya sudah mengarah pada angka 11. Ini
sudah terlalu larut malam. Aku harus segera tidur agar
besok aku tidak terlambat berangkat ke sekolah. Dan
kuharap esok hari akan menjadi lebih indah dari hari ini.
***
52
“We’re born alone, we live alone, we die
alone. Only through our love and friendship
can we create the illusion for the moment
that we’re not alone.”
― Orson Welles
53
Bab 4
54
Thania sudah menceritakan semuanya padaku, karena
dia tidak ingin aku terlalu mengandalkannya. Sehingga
saat dia pergi aku akan kehilangan pegangan.
Sebenarnya cukup berat untuk melepas kepergian Thania.
Namun aku pun tak bisa mencegahnya. Aku hanya
mencoba untuk menerimanya, dan membiasakan diri
tanpa Thania. Lagipula Thania tidak pergi untuk
selamanya. Aku masih bisa bertemu dengannya ketika
liburan sekolah tiba. Entah aku yang mengunjunginya
atau Thania yang mengunjungiku di Jakarta. Sekalian
bernostalgia dengan mengunjungi tempat-tempat yang
sering kita datangi bersama.
Aku mengenal Thania sejak pertama kali aku masuk SMA.
Waktu itu sedang masa MPLS ketika tiba-tiba Thania
mendekatiku dan mengajakku berbincang. Thania bilang,
dia selalu melihatku sendirian, jadi dia memberanikan
dirinya untuk mendekatiku agar kita bisa saling kenal satu
sama lain. Ya, memang dulu aku tak mengenal siapa pun
di sana. Sebab saat itu aku baru pindah ke Jakarta tepat
setelah aku lulus dari SMP, sekitar 2 bulan yang lalu.
Alhasil tak ada satu pun yang kukenal di SMA itu. Lain
halnya dengan murid lain, mereka terlihat berkumpul
bersama teman-teman satu sekolahnya dulu. Aku pun
menjadi canggung untuk ikut gabung dengan mereka.
Dan akhirnya aku pun memilih untuk sendiri saja.
15 Juli 2017
Suatu pagi yang cerah, di sebuah SMA ternama di Jakarta
yang terlihat begitu ramai pagi itu. Tak hanya murid
berseragam putih abu-abu yang terlihat di sana, tetapi
55
juga banyak terlihat murid dengan seragam putih biru
lengkap dengan sebuah nametag. Mereka adalah para
murid baru di SMA itu yang akan menjalani masa MPLS
untuk mengetahui lebih dalam tentang sekolah mereka. Di
antara sekian banyak peserta MPLS itu, ada salah satu
peserta yang terlihat sendirian dan duduk menjauh dari
yang lainnya.
Namun tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang
mendekatinya.
“Hai, nama gua Thania.” Ucap anak perempuan itu sambil
mengulurkan tangnnya.
Mendengar ada yang brbicara dengannya, Shafa pun
menoleh ke arah sumber suara itu dan dia melihat di
sampingnya telah ada seorang siswi yang berseragam
putih biru seperti dirinya sedang mengulurkan tangannya.
Lantas Shafa pun membalas uluran tangan itu.
“Nama gua Shafa.” Jawabku sambil tersenyum
kepadanya.
Thania pun balas tersenyum kepada Shafa. Lalu mereka
berdua mulai berbincang-bincang entah membahas apa,
yang jelas mereka berdua terlihat nyaman mengobrol
satu sama lain. Sesekali mereka terlihat tertawa bersama,
seakan menunjukkan kepada dunia bahwa mereka
bahagia karena dapat mengenal satu sama lain. Hari demi
hari terus berganti, mereka pun semakin mengenal sifat
dan perilaku masing-masing. Dan dari situlah mereka
berdua menjadi teman dekat yang saling menguatkan.
56
***
***
57
Bel istirahat berbunyi, teman-teman sekelasku banyak
yang pergi menuju kantin untuk membeli makanan
ataupun hanya sekedar duduk-duduk bersama teman-
temannya di kantin. Namun aku tak seperti mereka, aku
lebih memilih diam di kelas sambil membaca novel. Sebab
aku masih belum berani datang ke kantin tanpa Thania.
Aku terlalu takut untuk melihat tatapan-tatapan tidak suka
orang lain yang ditujukan padaku. Mungkin pelan-pelan
akan kucoba, tetapi tidak untuk hari ini.
Aku pun mulai mencoba untuk masuk ke dalam suasana
cerita di novel yang sedang kubaca. Namun sulit sekali,
karena suara obrolan maupun suara tawa yang sangat
pecah dari luar kelas begitu jelas terdengar. Aku tak bisa
fokus membaca novel ini. Akhirnya kuambil earphone dari
tasku dan kusambungkan pada handphoneku. Kuputarkan
lagu-lagu melankolis kesukaanku dengan volume yang
cukup keras. Berkat ini aku bisa benar-benar masuk
dalam suasana cerita. Tak lagi kupedulikan keadaan
sekitarku.
Sampai tiba-tiba ada seseorang yang menarik paksa
earphoneku. Aku menoleh, dan telah berdiri di depanku
dua orang perempuan dengan raut wajah yang terlihat
kesal. Aku tahu siapa mereka. Mereka itu adalah anak
buahnya Ranti. Apa yang akan mereka lakukan? Aku
berharap bukanlah seperti kejadian tahun lalu.
"Ranti nyuruh lo datengin dia sekarang juga." Ucap salah
satu dari mereka.
"Emangnya ada urusan apa?" tanyaku dengan hati-hati.
58
Mereka tak menjawab pertanyaanku dan langsung
menarik paksa tanganku untuk mengikuti mereka. Dengan
pasrah akupun mengikuti langkah mereka berdua. Sebab
aku tahu bahwa jika aku melawan mereka, mereka akan
melakukan sesuatu yang lebih dari ini. Aku hanya bisa
berharap bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk
padaku.
Saat kami sampai di ujung anak tangga, aku mendengar
sebuah suara yang tidak asing lagi di telingaku.
"Lo berdua mau bawa Shafa ke mana?" tanya Revan.
"Plis deh, Van. Kalo lo nggak mau Ranti berulah lagi, lo
nggak usah sok-sokan nolongin nih cewek." Ucap salah
satu dari mereka dengan tegas.
"Segala hal yang berhubungan dengan Shafa itu juga
urusan gua." Ucap Revan.
Beberapa detik kemudian, Revan langsung melepaskan
genggaman perempuan itu di tanganku dan menarik
tanganku untuk menjauh dari mereka. Selama melewati
koridor menuju kelas kami, Revan terus memegang
tanganku. Hatiku tersentuh. Ada perasaan hangat di
hatiku melihat Revan bersikap seperti ini.
Sampai di depan pintu kelas, dengan tiba-tiba Revan
membalikkan tubuhnya. Hampir saja aku menabrak
tubuhnya. Kemudian Revan pun melepaskan genggaman
tangannya.
"Shaf, mulai hari ini lo bisa andelin gua kok." Ucap Revan.
59
"Maksudnya?" tanyaku dengan hati-hati.
Aku tidak mengerti maksud perkataan Revan barusan.
Apa maksudnya mengandalkan dia.
"Lo percaya kan kalo gua bisa buat lo bahagia? Gua
emang pernah ngecewain lo dulu, dan sekarang gua mau
nebus semua kesalahan gua itu sama lo. Dan gua janji
nggak akan buat lo kecewa lagi, Shaf." Ucap Revan.
Hatiku bedegup dengan kencang. Mungkin Revan juga
bisa mendengar suaranya. Aku sangat tidak menyangka
Revan akan berbicara seperti itu. Ini sungguh sulit untuk
kupahami. Aku pun tak tahu harus menjawab apa. Aku
hanya diam dan menatap ke dalam bola matanya, untuk
menemukan maksud dari semua ini. Tetapi senyuman
yang terukir di wajahnya mengalih perhatianku.
“Gua tau kok kalo gua ganteng, tapi gak gitu juga kali Shaf
ngeliatinnya.” Ucap Revan sambil menahan tawa.
Lantas aku pun cepat-cepat mengalihkan pandanganku
darinya. Dan berjalan memasuki kelas menuju tempat
dudukku sambil menutupi wajahku dengan kedua tangan.
Aku benar-benar malu.
Sampai di tempat duduk, aku pun menenggelamkan
wajahku di antara kedua tanganku. Menyembunyikan
wajahku agar tidak terlihat oleh Revan. Sungguh aku tidak
tahu lagi bagaimana aku bisa bertemu dengan Revan
setelah kejadian barusan.
Dan dalam posisiku ini, aku mengingat kembali perkataan
demi perkataan yang keluar dari mulut Revan. Aku tak
60
menyangka semua ini akan terjadi. Dan entah apa yang
sedang merasuki perasaanku saat ini. Ada sebuah
perasaan menyenangkan dan begitu menenangkan dalam
hatiku. Rasa ini persis seperti apa yang kurasakan saat
dulu aku sedang menghabiskan waktu dengan Revan.
Seperti inikah rasanya bahagia. Sudah terlalu lama aku
tak merasakan perasaan ini sampai aku lupa bagaimana
nikmatnya perasaan ini. Namun apakah Revan akan
kembali mengecawakanku seperti dulu. Aku takut kecewa
lagi padanya untuk yang kedua kali. Aku takut tak bisa
memaafkannya jika ia benar-benar mengecewakanku lagi.
Ditambah lagi perkataan Kevin waktu itu padaku membuat
aku sedikit takut. Namun aku hanya bisa berharap bahwa
Revan benar-benar akan menepati janjinya padaku.
Tak berapa lama kemudian, aku bisa merasakan ada
seseorang yang duduk di sebelahku. Dan aku tahu itu
pasti Revan. Namun ia tak mengeluarkan suara sedikit
pun, mungkin ia mengira aku sedang terlelap. Syukurlah,
karena aku masih malu untuk berhadapan lagi dengannya
setelah kejadian di pintu kelas tadi. Aku pun mulai
memejamkan mataku dan mulai memasuki alam mimpi.
***
61
berani-beraninya mengganggu tidurku. Dan seperti
tebakanku, orang itu adalah Revan. Ia pun tersenyum ke
arahku.
62
sampai Revan datang bersama mobilnya. Dan tak lama
aku menunggu, mobil hitam Revan pun sudah tiba tepat di
depanku. Aku langsung membuka pintu depan mobil, dan
dengan cepat menaiki mobil Revan. Aku tak ingin ada
yang melihatku menaiki mobil Revan. Karena aku tak ingin
lagi menjadi bahan perbincangan satu sekolah.
63
“Loh kok lo malah senyum-senyum sendiri, Shaf? Lo
sehat-sehat aja kan?” tanya Revan.
64
Sekarang aku mengerti mengapa Revan menatapku
seperti itu. Dan aku pun juga mengerti arti dari
senyumannya.
***
65
Hatiku mulai berdebar menunggu Revan berbicara. Ada
perasaan sedikit khawatir dalam hatiku. Aku takut kalau
seandainya sesuatu yang akan ia bicarakan itu adalah
suatu hal yang akan mengejutkanku, entah apa itu.
66
kemudian, mobil Revan kembali melaju dan mulai
menjauh dari rumahku sampai mobilnya menghilang di
persimpangan jalan.
67
23 Juli 2019
68
hal seru yang kita lakukan dan juga banyak canda tawa
yang mengiringinya.
69
Aku tersenyum mendengar ucapan Thania. Dan belum
sempat aku menanggapi perkataannya itu, Thani kembali
mengatakan sesuatu padaku.
***
70
“Life has taught us that love does not
consist in gazing at each other but in looking
outward together in the same direction.”
― Antoine de Sainte
71
Bab 5
72
“Mau makan apa, Shaf?” tanya Revan tanpa mengalihkan
pandangannya dari jalanan di depan.
73
Shaf. Tapi lo nggak usah berlebihan lagi ngeliatin muka
gua, sambil senyum-senyum lagi.” Ucap Revan sambil
menahan tawa.
74
Aku pun tersadar dari lamunanku. Dan menoleh ke arah
Revan yang sedang menatapku juga.
***
75
Aku hanya menganggukkan kepalaku dan kembali
mengalihkan perhatianku kepada air mancur itu. Aku ingin
melukiskan keindahan air mancur itu dalam memoriku.
Karena tidak selamanya aku dapat melihatnya bersinar
seperti itu. Saat aku menengok ke arah Revan, kulihat ia
pun ikut terlarut dalam keindahan air mancur itu. Sampai
akhirnya, Revan mengajakku untuk menuju tempat makan
yang ia pilih.
76
banyak orang mengantri untuk mendapatkannya.
Pandanganku teralihkan ketika Revan berbicara sesuatu.
77
Tak lama kemudian, pesanan kami pun datang. Di
depanku telah ada sepiring ayam bakar berserta lalapan
yang kelihatannya sangat segar. Tak lupa juga ada
semangkok kecil sambal yang begitu menggugah selera.
Ditambah sepiring nasi putih hangat yang masih
mengeluarkan asap. Aku sudah tak sabar untuk
menyantap ini semua.
***
78
Kami berjalan beriringan sambil menikmati dinginnya
udara malam ini. Kini aku dan Revan sedang berada di
sebuah taman yang cukup ramai didatangi oleh para
pengunjung yang sebagian besar adalah pasangan. Aku
baru mengetahui kalau ada taman seindah ini di daerah
rumahku. Tanaman-tanaman yang ada di sini sepertinya
di rawat dengan baik dan di tata sedemikian rupa,
sehingga membuat seseorang nyaman berada di taman
ini. Warna-warni bunga seruni yang ditanam di sini pun
menambah kesan indah bagi taman ini. Ditambah lagi tak
terlihat ada sampah yang berserakan, semuanya terlihat
bersih dan rapi.
79
Aku pun mengikuti langkah Revan yang berjalan menuju
bangku yang ia tunjuk tadi. Dari sini aku dapat melihat
indahnya langit malam yang dihias dengan kerlap-kerlip
cahaya bintang. Jarang sekali aku melihat langit malam
yang dipenuhi dengan bintang seperti ini. Sepertinya
malam ini akan menjadi malam yang paling indah yang
belum pernah kurasakan sebelumnya.
80
Sebenarnya aku sangat suka sekali dengan gulali. Sebab
tekstur gulali begitu lembut dan saat dimakan langsung
terasa lumer di mulut. Ditambah rasanya yang manis
begitu menyegarkan mulut.
Aku pun menerima gulali itu. Dan tak lupa juga aku
mengucapkan terima kasih pada Revan.
81
memakan gulali, namun akhirnya ia juga ikut-ikutan
memakan gulali ini.
82
itu, aku langsung menutup kembali pintu itu. Namun aku
tetap berdiri di depan pintu dan bersandar pada pintu itu.
Aku sedang berusaha menetralkan detak jantungku yang
tak beraturan ini. Perasaan apa ini sebenarnya, dan apa
yang dilakukan Revan tadi. Aku benar-benar tidak percaya
dengan kejadian barusan. Mungkinkah perasaanku
terhadap Revan 8 tahun yang lalu kembali lagi.
***
83
“Meeting you was fate, becoming your
friend was choice, but falling in love with
you was completely out of my control.”
― Anonymous
84
Bab 6
85
Selain itu juga, kini ada Revan yang selalu ada di
sampingku, yang selalu ada di saat aku
membutuhkannya, dan ia dapat membuatku merasa
dilindungi.
86
Mendengar jawabanku lantas Revan pun tertawa
terbahak-bahak.
“Kok lo malah ketawa sih. Gua nanya serius tau, siapa tau
gua kurang banyak pake minyak wanginya.” Ucapku lagi.
87
***
88
“Shaf, gua perhatiin kayaknya lo makin deket ya sama
Revan. Lo pasti nggak percaya sama kata-kata gua waktu
itu kan, makanya lo malah makin deket sama Revan.
Shaf, gua tuh cuma mau bantuin lo biar nggak ketipu
sama tingkah manisnya Revan yang palsu itu.” Ucap
Kevin panjang lebar.
“Gua tau maksud lo baik, tapi gua nggak bisa percaya gitu
aja sama lo. Lo bilang kalo Revan itu punya maksud lain
deketin gua kan, tapi lo bisa nggak buktiin itu ke gua?”
jawabku.
90
“Nggak usah didengerin, Shaf. Ada gua di sini, jadi lo
tenang aja ya.” Bisik Revan.
***
Saat ini aku sedang duduk di salah satu bangku yang ada
di perpustakaan sekolahku. Di depanku sudah tertumpuk
91
berbagai macam novel yang akan kubaca hari ini. Aku
memang senang menghabiskan waktu di perpustakaan,
jika ada jam pelajaran yang kosong. Namun kali ini
berbeda, karena Revan juga ikut denganku ke sini.
“Iya nih, Shaf. Lo kan tau gua bukan tipe orang yang suka
baca novel. Gimana gua bisa tahu novel mana yang
menarik kalo pilihannya sebanyak ini.” Jawab Revan.
92
Revan berkata kalau ia tidak suka membaca buku. Lantas
untuk apa ia datang ke sini.
“Lo baca yang ini aja dulu. Ceritanya nggak begitu rumit
tapi menarik banget kok. Dan kayaknya sih ini cocok
dibaca sama pemula kayak lo.” Ucapku yang diselingi
dengan tawa.
“Oke, gua bakalan baca novel ini sampai habis. Tapi kalo
menurut gua ceritanya nggak seru. Lo harus traktir gua ya,
Shaf.” Ucap Revan dengan percaya diri.
“Udah gua bantuin cari novel yang bagus juga, malah gua
yang dimintain traktiran. Harusnya tuh lo yang traktir gua,
Van.” Balasku.
93
Namun Revan hanya membalasnya dengan tertawa
pelan, lantas ia pergi menuju tempat duduk. Lalu Revan
mulai membaca novel itu, halaman demi halaman ia baca
dengan sangat serius. Terkadang kulihat ia tertawa
sendiri, entah apa yang lucu dari cerita itu. Dan Revan
juga seringkali bergumam tidak jelas, seperti sedang
marah-marah dengan seseorang. Kubiarkan Revan
terlarut dalam suasana di dalam novel yang sedang ia
baca. Aku tak ingin mengganggunya sedikit pun.
***
94
nyangka ada orang yang bisa buat cerita sebegitu
bagusnya.” Ucap Revan terkagum-kagum.
95
“Kayaknya gua liat-liat lo berdua makin lengket aja ya.
Gua nggak ngerti sama jalan pikiran lo, Van. Apa sih
hebatnya cewek kayak dia ini. Yang bisanya cuma pura-
pura lemah biar banyak cowok yang kasihan sama dia.”
Ucap Ranti panjang lebar.
96
“Lo bisa nggak sih kalo ngomong baik-baik. Gimana Kevin
mau suka sama lo, kalo sifat lo aja nggak pernah
berubah.” Ucap Revan pada Ranti dengan tegas.
97
dari sikapnya kepadaku saat ini, sepertinya Revan benar-
benar kesal padaku. Ia sama sekali tak mengajakku
berbicara di sepanjang jalan menuju rumahku.
***
98
“Waiting is painful. Forgetting is painfuk.
But not knowing which to do is the worse
kind of suffering.”
― Paulo Coelho
99
Bab 7
“Nah kan, kalo kayak gini kan cantik.” Ucap Mama untuk
membuatku tersenyum.
103
Mama belum bisa ngeluangin waktu untuk kamu, Nak.
Tapi ini semua Mama lakuin supaya kamu bisa hidup
enak, Sayang. Supaya kamu nggak dipandang rendah
sama orang lain, Nak.” Ucap Mama sambil menahan
tangisannya.
***
104
Seperti biasa, aku sedang menuliskan kisah hidupku lagi.
Aku sangat senang karena akhirnya aku dapat
menceritakan sisi baik orang tuaku dalam ceritaku ini.
Setelah sekian lama, aku hanya selalu mengatakan
bahwa aku membenci mereka, aku kecewa dengan
mereka, dan prasangka-prasangka buruk lainnya tentang
orang tuaku.
“Shafa, kamu masih inget kan sama Revan? Dia itu temen
kecil kamu dulu.” Ucap Mama.
105
Makan malam pun berjalan cukup hening, hanya sesekali
terdengar percakapan antara Mama dan Revan
memenuhi ruangan itu. Entah mengapa aku merasa tidak
berani untuk mengobrol dengan Revan. Padahal baru
kemarin aku dan Revan pergi bersamanya, dan Revan
pun terlihat sama seperti biasanya. Namun malam ini,
Revan tidak seperti Revan biasanya, aku merasa sedikit
asing dengannya. Daritadi pun ia tidak mengajakku
berbicara sedikit pun. Apa yang sebenarnya terjadi.
106
Kini aku telah berada di dalam kamarku, merebahkan
tubuhku di kasur sambil memandangi layar handphoneku.
Aku sedang menunggu pesan dari Revan. Biasanya
sebelum tidur ia suka mengirimkan pesan untukku,
terkadang ia juga meneleponku. Detik demi detik mulai
berlalu, aku masih setia menunggu pesan dari Revan.
Sampai tak terasa mataku mulai terpejam dan aku pun
mulai memasuki alam bawah sadarku.
***
107
A little box
Without a key
You hold an air
Of mystery
To sit and glare
Right up there
Flashing red in front of me
108
Karena aku sudah penasaran sekali dengan makna puisi
itu, akhirnya kuputuskan untuk menanyakan hal itu pada
Revan. Sambil menunggu Revan membalasnya, aku pun
pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hampir 1
jam telah berlalu, kini aku telah selesai mandi dan sedang
duduk di balkon kamarku sambil memegang handphoneku
menunggu balasan dari Revan. Biasanya Revan tak
pernah lama memebalas pesanku, dan ia memang tipe
orang yang selalu cepat membalas pesan dari siapa pun.
Tetapi sudah hampir 1 jam ia tak kunjung membalas
pesanku. Muncul perasaan khawatir dalam hatiku, aku
takut terjadi sesuatu pada Revan.
109
***
110
Ya, kulihat Revan dengan seorang perempuan sedang
duduk bersama dengan jarak yang tak jauh dariku. Aku
dapat mengingat dengan jelas motif baju yang mereka
kenakan itu, persis seperti pasangan yang berhasil
menarik perhatianku tadi. Tetapi ada hubungan apa
Revan dengan perempuan itu. Mereka berdua terlihat
sangat nyaman berada di dekat satu sama lain, dan
terlihat mereka sudah sangat akrab.
Aku pun bergegas pergi dari taman itu, dan aku ingin
cepat-cepat sampai ke rumah. Hatiku sangat hancur
melihat Revan bersama perempuan lain. Aku sungguh tak
menyangka Revan seperti itu. Selama ini aku
mempercayainya, aku mencintanya dengan tulus, bahkan
aku pendam perasaanku untuknya selama bertahun-
tahun. Namun untuk yang kedua kalinya Revan benar-
benar mengecewakan aku.
21 September 2011
112
yang damai, Shafa tidak sengaja mendengar percakapan
Papanya dengan seseorang.
***
113
“Some secrets are better left at that as
secrets.”
― Candance Bushnell
114
Bab 8
115
alasan ia menjauhiku bahkan ia sampai tega menduakan
aku di belakang.
116
seperti kakakku sendiri yang tidak dapat kutemukan lagi
peggantinya. Ya, kurasa aku harus telepon Thania. Aku
yakin dia dapat memberikanku sebuah solusi.
Tut...Tut...Tut...
***
117
lagi kesempatanku untuk berbicara dengan Revan. Mau
sampai kapan seperti ini terus. Aku hanya ingin semuanya
jelas tanpa harus mengindari satu sama lain. Hal itu
membuatku semakin bertanya-tanya apa yang
sebenarnya membuat Revan jadi seperti ini. Aku butuh
kejelasan.
“Revan.” Panggilku.
118
Revan menatapku heran, mungkin ia terkejut mendengar
perkataanku barusan. Mungkin ia kira aku akan berbicara
panjang lebar, dan menuntutnya untuk memberika
penjelasannya kepadaku. Aku sengaja memilih
membicarakan ini di Taman Seruni. Selain karena itu
adalah tempat favorit Revan, tetapi juga karena aku tahu
bahwa Revan pasti akan datang ke taman itu nanti
malam. Tanpa menunggu jawaban dari Revan aku pun
langsung membalikkan tubuhku dan berjalan
menjauhinya.
***
119
Tadi saat aku baru sampai rumah, kulihat sebuah note
yang ditempel di pintu kulkas. Karena penasaran,
kubukalah note itu dan kubaca. Aku tahu itu adalah tulisan
tangan Mama.
120
Kupandangi sebuah jam dinding yang tergantung pada
dinding di depanku. Kulihat jarum jam itu terus berputar
meninggalkan menit demi menit yang telah berlalu. Langit
pun mulai gelap, dan matahari telah sepenuhnya
menghilang dari bumi.
121
untuk menemui Revan. Aku takutnya ketika aku telah
pergi dari sini, Mama malah datang dan menganggap
kalau aku sudah pulang. Aku tidak ingin mengacaukan
malam ini, sebab ini adalah malam yang spesial.
***
122
Akhirnya sampailah kami di sebuah kafe yang terlihat
sangat sepi. Revan membawaku masuk ke dalam. Kafe
itu terlihat kosong, tidak ada pengunjung yang datang ke
sini. Mungkin kafe ini sudah tutup. Tetapi mengapa Revan
mengajakku ke sini.
“Mama... kok Mama ada di sini sih. Tadi Mama nyuruh aku
untuk dateng ke restaurant Mollini kan, tapi kenapa Mama
malah ada di sini. Mama tahu nggak aku tuh udah nunggu
3 jam di sana. Terus Mama aku telepon juga nggak
diangkat.” Ucapku panjang lebar.
125
kata demi kata yang keluar dari mulut Papa. Dan
kudengar suara tangisan Mama juga semakin keras.
126
Merasa tak dibutuhkan lagi di situ, aku pun bangkit dari
dudukku dan bergegas keluar dari kafe. Lalu aku berlari
menjauh dari kafe itu menyusuri jalan mengikuti ke mana
kakiku ini akan membawaku. Dan dari arah belakangku
dapat aku dengar Revan teriak memanggil namaku. Untuk
apa lagi ia memanggil-manggilku, ia sudah membuatku
menjadi sangat benci kepadanya. Aku tak menyangka jika
Revan bisa melakukan hal seperti itu. Selama ini aku
berpikir kalau ia adalah orang baik, tetapi ternyata
dugaanku itu salah besar.
127
mengalir deras keluar dari tubuh. Tak berapa lama
kemudian, mulai banyak orang datang mengerumuniku.
Aku juga dapat mendengar salah satu di antara mereka
sedang menelepon ambulans untuk membawaku ke
rumah sakit. Namun mataku mulai terasa berat, aku sudah
tidak kuat lagi untuk menahan rasa sakit ini. Tuhan inikah
akhir cerita hidupku. Jika benar aku mohon berikanlah aku
kebahagiaan di alam sana.
End
128
“When you loved someone and had to let
them go, there will always be that small
part of yourself that whisper, ‘What was it
that you wanted and why didn’t you fight
for it?’.”
― Shannon L. Alder
129
Epilog
Suara sirine ambulans terdengar keras sedang memasuki
halaman sebuah rumah sakit. Lalu ambulans itu berhenti
tepat di depan pintu UGD. Para perawat pun langsung
mendekati ambulans itu dan membantu membawa
seorang korban tabrakan yang sudah berlumuran darah
untuk masuk ke dalam UGD.
Tak lama kemudian, datanglah sebuah mobil Pajero putih
yang kemudian berhenti di belakang ambulans tadi. Dari
mobil itu turun sepasang suami istri yang terlihat cemas,
dan seorang laki-laki yang mengekori suami istri itu masuk
ke dalam rumah sakit.
Korban tabrakan yang sedang ditangani oleh dokter-
dokter ahli itu adalah Shafa. Dia ditabrak oleh sebuah
mobil Avanza berwarna hitam saat dia sedang berlari
tanpa arah. Dan terlihat di depan pintu UGD terdapat
Mama dan Papanya yang sedang menunggu Shafa
selesai ditangani dengan cemas. Di situ juga ada Revan
yang hanya duduk lesu di kursi rumah sakit sambil
menundukkan kepalanya.
Setelah hampir 3 jam Shafa berada di dalam UGD,
akhirnya pintu UGD pun terbuka dan terlihat salah
seorang dokter keluar dari sana. Melihat itu, Mama Shafa
pun langsung menghampiri dokter itu untuk menanyakan
kondisi Shafa.
130
“Dok, gimana keadaan anak saya. Dia baik-baik aja kan,
Shafa pasti bisa sembuh kan, Dok.” Tanya Mama Shafa
kepada dokter yang menangani Shafa.
“Maaf, Bu. Kami telah berusaha semaksimal mungkin
untuk menyelamatkan nyawa anak ibu. Tetapi begitu
banyak pendarahan yang terjadi pada tubuhnya, sehingga
dia banyak kehilangan darah. Dan saya harap Ibu bisa
ikhlas menerima kenyataan bahwa anak Ibu telah pergi
untuk selamanya. Sekali lagi kami minta maaf.” Ucap sang
dokter.
Mendengar pernyataan dari dokter barusan, membuat
Mama Shafa jatuh terduduk di lantai, pasti sulit baginya
untuk mengikhlaskan kepergian Shafa.
Setelah dokter menyatakan bahwa Shafa tidak dapat
tertolong. Di malam itu juga pengurusan jenazah Shafa
pun dilakukan. Jenazah Shafa dibawa pulang ke
rumahnya untuk dimandikan dan dikafani. Tak lupa juga
Mamanya mengundang para tetangga untuk membantu
mendoakan Shafa agar dia dapat pergi dengan tenang.
Esok paginya, saat matahari mulai terbit. Jenazah Shafa
sudah dibawa ke area pemakaman. Dan tak menunggu
lama-lama lagi, jenazah Shafa pun akhirnya dikuburkan.
Lalu semua orang yang hadir satu per satu mulai
meninggalkan makam Shafa, begitu pun kedua orang
tuanya. Tinggal Revan seorang diri yang masih ada di
sana. Pandangannya tak lepas dari ukiran sebuah nama
yang tertulis di atas nisan. Lalu ia tersenyum sambil
berkata.
131
“Lo harus tahu satu hal, Shaf. Kalo sebenernya gua itu
juga menyimpan rasa yang sama kayak lo dari dulu. Gua
terlalu takut untuk bilang itu ke lo, tapi akhirnya gua nyesel
karena gua belum sempet bilang itu ke lo sampai akhir
hidup lo. Gua akan selalu inget lo, Shaf. Dan semoga lo
bisa nemuin kebahagiaan lo di sana.” Ucap Revan.
Sekali lagi Revan pandangi makam yang tanahnya masih
basah itu, sebelum ia benar-benar pergi dari tempat itu.
Membiarkan kesunyian meliputi seluruh area pemakaman
itu.
132
“Nothing is forever in this world, all this is
temporary.”
― Maisyah Balqis
133
Tentang Penulis