Anda di halaman 1dari 134

temporary

Persembahan
Saya ucapkan syukur kepada Allah SWT. Karena atas
seizinnya saya dapat menyelesaikan novel ini. Tak lupa
juga aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada
kedua orang tuaku yang telah memberikan segala daya
dan upaya mereka sebagai bentuk dukungan kepadaku
dalam menyelesaikan novel ini. Juga kepada teman-
temanku yang telah memberikan banyak kritikan
membangun dan juga pendapat-pendapat yang sangat
membantuku untuk menyelesaikan novel ini.
Setelah melewati proses yang begitu panjang, dan banyak
menguras tenaga, pikiran, serta waktu saya. Akhirnya
saya dapat menyelesaikan novel pertama saya ini yang
berjudul temporary. Dan saya berharap ke depannya,
saya dapat membuat sebuah novel kembali.

2
Daftar Isi
Halaman

Persembahan...................................................................2

Daftar Isi...........................................................................3

Prolog...............................................................................6

Bab 1...................................................................10

Bab 2...................................................................22

Bab 3...................................................................39

Bab 4...................................................................54

Bab 5...................................................................72

Bab 6...................................................................85

Bab 7.................................................................100

Bab 8.................................................................115

Epilog.............................................................................130

Tentang Penulis.............................................................134

3
“Not all the things that you worry could
happen in your life. Stop worrying about
something, because worries make you more
afraid to do everything.”
― Anonymous

4
Prolog
Shafa Abirah, itulah namaku. Terdengar indah bukan.
Namun siapa sangka bahwa arti dari nama itu sama sekali
tidak indah. Entah mengapa kedua orang tuaku
memberikanku nama itu. Yang aku tahu nama adalah
sebuah doa dari orang tua untuk kehidupan anaknya
kedepan. Dan begitulah hidupku, dipenuhi dengan banyak
kesedihan dan air mata. Sesuai dengan arti nama yang
kumiliki.
Aku terlahir dalam keluarga yang berkecukupan, tetapi
sayangnya hubungan kami kurang harmonis. Aku
merupakan anak satu-satunya. Kalau biasanya anak satu-
satunya itu selalu dimanja dan diperhatikan oleh kedua
orang tuanya. Lain halnya dengan diriku, aku malah tidak
pernah dipedulikan. Karena inilah aku merasa kesepian
dan selalu merasa sendirian. Jangan tanya bagaimana
dengan kedua orang tuaku. Mereka jarang ada di rumah.
Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka, dan tidak pernah
peduli dengan keadaanku. Bahkan ayahku sendiri tidak
pernah sekali pun menanyakan kabarku.
Terkadang terpikir dalam benakku apakah sebuah nama
begitu berpengaruh dalam kehidupan pemiliknya. Sampai
ia benar-benar membuat hidupku hancur lebur. Atau ini
memang suratan takdirku yang begitu kejam, yang tega
merenggut sumber kebahagiaanku. Dan melenyapkan

5
kebahagiaan atas diriku dan juga kebahagiaan dari orang-
orang di sekitarku.
Apa aku terlalu egois, hanya karena aku ingin merasakan
kebahagiaan itu lebih lama lagi dalam hidupku. Aku tidak
ingin lagi memendam perasaan kesal dan kecewa di
dalam hatiku.
Aku hanya ingin merasakan kembali bahagia bersama
orang-orang tersayang. Aku ingin sejenak melupakan
permasalahan dalam hidupku, aku tidak ingin selalu
memikirkan keadaanku yang menyedihkan, aku tidak ingin
orang lain selalu memandangku sebagai seseorang yang
patut untuk dikasihani.
Aku ingin menjadi seseorang yang dapat menyebarkan
kebahagiaan kepada orang lain. Seseorang yang dapat
memberikan semangat bagi orang lain. Dan seseorang
yang mampu menjadi penghibur di kala orang lain
bersedih.
Kata orang hidup itu adil. Semua orang pasti pernah
merasakan kesedihan, dan nantinya kesedihan itulah
yang akan mendatangkan kebahagiaan. Namun itu tidak
berlaku dalam hidupku. Datangnya kesedihan dalam
hidupku bukannya membawa kebahagiaan, tetapi malah
membawaku ke dalam keterpurukan. Membuatku benci
dengan hidup ini, benci dengan semua yang terjadi dalam
hidupku termasuk dia, seseorang yang tak pernah hilang
dalam ingatanku.
Siapa yang harus kusalahkan atas semua ini. Apakah aku
salah jika aku menyalahkan kedua orang tuaku. Sebab
orang tuaku-lah yang secara tidak langsung membuat

6
hidupku menjadi seperti ini. Mereka yang membuat
hidupku sengsara seperti ini. Mereka tidak pernah
mempedulikan aku, untuk menanyakan kabar pun mereka
enggan. Mereka juga yang memberikanku nama dengan
arti yang buruk itu.
Mungkin orang akan berpikir bahwa aku adalah anak yang
durhaka. Anak yang tidak tahu terima kasih pada kedua
orang tuanya. Anak yang hanya bisa menyusahkan kedua
orang tua saja. Namun mereka semua tidak tahu
bagaimana sengsaranya aku menjalani hidup ini.
Salahkah bila aku kecewa dengan kedua orang tuaku.
Jika aku mempunyai kesempatan terlahir kembali, aku
ingin terlahir dengan nama yang lebih indah. Aku juga
ingin mempunyai kedua orang tua yang lebih mengerti
kondisiku, yang dapat membuatku menjadi seorang anak
yang paling bahagia di dunia.
Akan tetapi kurasa hal itu tidak akan pernah terjadi. Aku
ingin realistis saja, aku hanya ingin esok hari aku tidak
membuka mataku kembali. Aku tidak ingin lagi mendengar
segala hal yang membuatku semakin kecewa pada semua
orang. Aku ingin berhenti sampai di sini. Aku sudah tidak
kuat lagi menjalani semua ini. Tuhan ku mohon biarkan
aku hidup bahagia di alam sana.

7
“It’s the worst part of seeing old friends:
when your rose-colored memories become
undone by reality.”
— Brad Meltzer, The Inner Circle

8
Bab 1
Sinar matahari yang begitu cerah masuk ke dalam celah
kamarku. Mengusik tidurku yang begitu nyenyak. Namun
sayangnya hatiku tidak secerah sinar matahari pagi ini.
Aku bosan dengan hidupku yang monoton ini.
Aku melirik jam yang berada di samping tempat tidurku.
Jam itu menunjukkan pukul 05.00. Aku pun segera
beranjak dari tempat tidurku, dan bergegas untuk mandi.
Sebenarnya aku malas untuk berangkat ke sekolah hari
ini. Karena hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru
di mulai, pasti akan diadakan upacara untuk menyambut
para murid baru. Lebih baik aku diam di kamarku dan
menuliskan kisah hidupku.
Namun berbeda dengan teman-temanku, mereka begitu
excited untuk kembali masuk sekolah. Malam tadi grup
LINE kelasku begitu ramai dengan obrolan yang tidak
penting. Aku tidak tertarik sedikit pun untuk bergabung di
dalamnya.
Dengan berat hati aku beranjak dari tempat tidurku, dan
bergegas menuju kamar mandi. Setelah aku siap dengan
seragam sekolahku, aku pun turun ke bawah untuk
sarapan.
Aku terheran ketika melihat kedua orang tuaku yang
masih duduk di meja makan. Biasanya setiap pagi mereka
sudah sibuk menerima telepon dari para kliennya, dan tak

9
lama setelah itu mereka langsung pergi. Namun pagi ini
berbeda, mereka terlihat santai duduk di meja makan.
Sampai di meja makan, aku langsung duduk dan mulai
memakan sarapanku. Aku tidak berbicara sedikit pun. Tak
lama kemudian, kulihat kedua orang tuaku pun juga mulai
memakan sarapannya. Akhirnya kami pun menghabiskan
sarapan tanpa perbincangan sedikit pun. Hening. Tidak
ada yang berani memulai perbincangan terlebih dahulu.
Yang kudengar hanyalah suara dentingan sendok dan
piring yang saling beradu. Aku tidak suka suasana seperti
ini.
Beberapa menit berlalu tanpa perbincangan sama sekali.
Tiba-tiba, Mama membuka suara dan mengajakku
berbincang dengannya.
“Shaf, hari ini Mama dan Papa akan pergi ke Singapore,
karena ada proyek yang harus Mama dan Papa kerjakan.”
Ucap Mama.
“Pantes Mama sama Papa pagi ini nggak sibuk.” Balasku
dengan nada tidak suka.
“Iya Nak, makanya Mama dan Papa sempetin waktu untuk
sarapan bareng kamu.” Ucap Mama. Papa hanya
tersenyum ke arahku. Kuakui itu adalah senyuman
terindahnya yang pernah ditunjukkan padaku, namun
kutahu itu bukanlah sebuah senyum yang tulus.
“Oh iya, Mama dan Papa rencananya akan menetap di
Singapore selama proyek itu dikerjakan. Jadi kamu baik-
baik ya Nak di sini. Mama janji akan sering pulang ke
Jakarta.” Ucap Mama dengan nada sedih.

10
Aku tidak mampu menjawab apa pun. Mataku sudah
terasa panas, mungkin sebentar lagi air mataku akan
turun. Aku sungguh kecewa dengan pernyataan Mama
barusan. Mereka dengan teganya meninggalkanku
sendirian di kota ini. Dan aku tidak yakin nantinya mereka
akan sering pulang ke Jakarta. Mereka sudah sering
memberiku janji-janji, tetapi tak pernah satu pun mereka
tepati.
Tak ingin melanjutkan perbincangan dengan Mama, aku
pun memutuskan ntk segera berangkat ke sekolah.
"Ma, Pa, aku berangkat." Ucapku malas.
"Loh sarapan kamu kan belum habis. Ayo dihabiskan
dulu." Balas Mama.
Aku mengabaikan perkataan Mama, dan tetap berjalan ke
luar rumah. Aku muak dengan ucapan manis Mama.
Ucapan tidak berarti bagiku untuk mengungkapkan
sebuah kasih sayang. Aku butuh pembuktian dari Mama,
bukan hanya sekedar ucapan.

***

Saat aku sedang menunggu angkot, tiba-tiba sebuah


mobil berwarna hitam berhenti tepat di depanku. Aku
memandang mobil itu cemas, takut-takut kalau pengemudi
mobil itu berniat jahat padaku. Semakin lama
kuperhatikan, aku merasa semakin tidak asing lagi

11
dengan mobil itu. Sang pengemudi pun menurunkan kaca
mobilnya. Revan? Ku lihat lagi lebih dalam dan itu benar
Revan. Seketika ingatanku kembali ke masa dimana aku
pertama kali mengenalnya.
20 April 2011
Di sebuah gedung tua yang sudah tak terawat, di salah
satu ruangannya terdapat seorang gadis perempuan yang
berusia sekitar 10 tahun dengan tangan dan kaki yang
terikat. Matanya sembab dan terlihat sangat lelah.
Sepertinya ia belum berhenti menangis sejak malam hari.
"Hiks.. Hiks.. Mama tolong aku. Aku takut.." Ucap gadis itu
berulang kali.
Ia terus-menerus menangis berharap ada seseorang yang
dapat mendengarnya dan dapat menolongnya. Ia tidak
tahu harus berbuat apa. Sedangkan di luar ruangan, ia
dapat mendengar sang penculik sedang menelfon
seseorang, dan membicarakan sesuatu yang membuat
dirinya terkejut.
"Halo bos, bagaimana langkah selanjutnya?"
"..."
"Anak bos yang tercinta ini tidak berhenti menangis, saya
tidak tahu lagi harus bagaimana."
"..."
"Bos yakin tidak menyesal melakukan ini?"
"..."

12
Apa yang dia bilang barusan? Anak bos? Maksudnya
dalang dari penculikan ini adalah Papaku sendiri?
Benarkah Papaku tega melakukan ini? Tetapi mengapa?
Ucapku dalam hati.
Ku mohon siapa pun tolong keluarkan aku dari sini. Aku
takut berada di sini. Aku takut untuk menerima kenyataan
bahwa benar Papaku-lah yang telah menculikku. Aku tak
tahu apa tujuannya melakukan ini semua. Dia memang
tidak pernah peduli denganku sejak kecil, tetapi benarkah
dia sampai tega menculikku, anak kandungnya sendiri.
Tolong aku... aku takut sekali.
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Aku menoleh ke arah
pintu dan ada seorang anak laki-laki yang datang bersama
sang penculik itu. Aku rasa ia seumuran denganku.
Kuperhatikan dia. Apakah dia korban penculikan juga?
Tetapi untuk apa Papaku menculiknya juga.
"Revan, kamu ajak bermain gadis itu ya. Buat dia berhenti
menangis." Ucap sang penculik.
"Iya, Ayah." Balas anak laki-laki itu.
Dia berjalan mendekat kearah ku. Setelah ia berada tepat
di depanku, ia berlutut dan mulai berkata.
"Hai, Putri Cantik." Sapanya.
Aku ragu untuk membalasnya. Aku takut kalau ia juga
mempunyai niat jahat seperti ayahnya. Aku takut dia
menyakitiku. Ditambah lagi sang penculik itu masih berdiri
di ambang pintu melihat kearah kami berdua.

13
"Tidak usah takut, Putri Cantik. Perkenalkan namaku
Revan." Ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Aku masih bungkam dan tidak bergerak sedikit pun.
Lagipula bagaimana caranya aku dapat membalas uluran
tangannya, tanganku saja masih terikat.
"Oh iya aku lupa, Putri Cantik. Tanganmu kan masih
terikat." Ucapnya lalu ia menoleh kearah ayahnya.
"Ayah, bolehkan aku lepaskan ikatan tangan dia. Kasihan,
pasti rasanya sakit, Ayah." Ucapnya lagi.
Tanpa berbicara, sang penculik itu langsung mendekat ke
arahku lalu membuka ikatan di tangan dan kakiku. Setelah
itu dia beranjak pergi dari ruangan itu.
"Nah sekarang kamu tidak perlu takut lagi putri cantik."
Ucapnya sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya.
"Terima kasih, Revan. Oh iya namaku bukanlah putri
cantik, namaku Shafa." Ucapku.
Aku tersentak kaget ketika ada seseorang yang menepuk
bahuku. Dan kulihat Revan telah berdiri di sampingku. Ia
mulai berceloteh panjang lebar. Tetapi aku tidak
mempedulikannya sedikitpun. Moodku makin hancur pagi
ini, setelah melewati sarapan pagi yang tidak
menyenangkan, kali ini aku harus berhadapan kembali
dengan seseorang yang telah meninggalkan rasa kecewa
di dalam hatiku. Aku ingin ini cepat berakhir.

14
“Shaf, lo kenapa sih dari tadi ngelamun terus? Gua
ngomong pun lo nggak denger kan?” tanya Revan.
Aku tidak menjawab pertanyaan Revan, dan berjalan pergi
menaiki angkot yang saat itu telah menepi ke arahku.
“Shafa, kok lo malah pergi sih, gua kan belum selesai
ngomong.” Teriak Revan.
***
Di dalam angkot, aku bisa melihat bahwa mobil Revan
berada di belakang angkot yang kunaiki. Kupikir wajar
saja karena tujuan kita sama, yaitu sekolah. Namun
dugaanku salah ketika angkot yang kunaiki berhenti di
lampu merah. Kulihat Revan membuka pintu mobilnya dan
berjalan ke arah angkot yang kunaiki. Saat ia sampai di
depan pintu angkot, ia berteriak kepada sang supir
angkot.
"Bang, saya ambil penumpangnya satu nggak apa-apa
kan?" ucap Revan sambil melirikku.
"Boleh aja, asal si enengnya mau." Jawab sang supir
sambil tertawa. Sepertinya sang supir tahu bahwa yang
dimaksud Revan itu aku.
Revan kembali melihat ke arahku dan dari wajahnya ia
seakan bertanya apakah aku mau pergi bersamanya. Aku
hanya melihat ke arahnya sebentar, lalu aku kembali
melihat ke arah luar jendela.
"Yah, saya dikacangin, Bang." Ucap Revan lagi.
"Maaf, Anda kurang beruntung. Silahkan coba beberapa

15
saat lagi." Jawab sang supir.
Para penumpang angkot lain pun tertawa mendengar
jawaban sang supir. Lain halnya denganku, aku hanya
bisa diam menahan malu karena tingkah Revan yang
menurutku terlalu berlebihan. Untungnya lampu hijau
kembali menyala, dan membuat angkot yang kunaiki
kembali melaju, meninggalkan Revan dan mobilnya yang
sedikit membuat kemacetan.

Dalam sisa perjalanan menuju sekolah, aku memikirkan


kembali tentang Revan. Aku baru teringat bahwa selama
hampir 3 tahun kami berada di sekolah yang sama, ia
tidak pernah mengajakku berbicara bahkan tidak pernah
sekali pun menyapaku. Tidak pernah aku memiliki urusan
dengannya di sekolah. Kami seperti tidak saling kenal satu
sama lain. Bahkan teman terdekatku tidak percaya saat
aku bilang bahwa Revan adalah teman kecilku. Wajar saja
karena Revan dan aku bagaikan langit dan bumi. Teman-
temannya di sekolah bukanlah tipe murid sepertiku. Revan
itu dikenal sebagai sosok yang begitu sempurna. Tidak
ada yang tidak mengenalnya di sekolah ini. Banyak siswi-
siswi di sekolah yang mengagguminya. Ia juga murid
pintar yang disukai oleh banyak guru. Seperti tidak ada
cela sedikit pun dalam dirinya. Bagaimana mungkin orang
lain bisa percaya bahwa aku adalah teman kecilnya,
seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya.

Dan pagi ini aku dibuat terkejut olehnya. Tiba-tiba ia

16
memberhentikan mobilnya tepat di depanku, dan
mengajakku berbicara seakan kita adalah teman dekat.
Ditambah lagi, apa yang dia lakukan di angkot tadi
sungguh tidak bisa kumengerti apa maksudnya. Setelah
sekian lama ia mengacuhkanku, kini dengan santainya ia
bersikap seperti itu.

Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara keras


yang sangat memekikkan telinga. Aku pun melihat ke arah
sumber suara tersebut. Itu Kulihat mobil Revan telah
berhenti tepat di depan angkot. Sepertinya itulah yang
membuat supir angkot menekan klakson secara tiba-tiba
dan membuat kebisingan.
"Mas, kalo mau berhenti tuh jangan sembarangan dong.
Saya bawa penumpang banyak nih, kalau kenapa-kenapa
kan saya yang tanggung jawab. Lagipula kan di dalem
ada pacarnya Mas. Emangnya Mas mau pacarnya
kenapa-kenapa?" teriak sang supir dari dalam angkot.

Sang supir itu hanya mengeluarkan kepalanya dari


jendela agar Revan yang saat itu sudah keluar dari
mobilnya dapat mendengar ucapannya.

“Duh, Bang. Saya minta maaf banget nih. Soalnya ini


penting banget dan saya butuh si Putri Vantik." Ucap
Revan

Aku tertegun mendengar kalimat Revan barusan.


Panggilan itu. Panggilan yang ia berikan saat aku pertama

17
kali bertemu dengannya. Hanya serangkaian kata, tetapi
membuatku merasa sangat bahagia. Ternyata dia masih
ingat. Aku pikir dia sudah tidak peduli dengan kenangan-
kenangan masa kecil kita. Atau mungkin memang selama
ini ia tak pernah melupakannya sedikit pun. Entahlah.
Saat sedang asyik berpikir, tiba-tiba Revan menarik
tanganku. Aku pun mengikutinya turun dari angkot dan ia
berjalan mendekati pintu supir.
"Bang, makasih banyak ya. Sukses juga saya bawa Putri
Cantik saya. Berarti kali ini saya beruntung kan?" ucap
Revan sambil tertawa.

Sang supir angkot hanya balas tertawa lantas kembali


melajukan angkotnya. Aku terdiam dan berusaha
mencerna maksud perkataan Revan kepada supir angkot
tadi. Tetapi belum sampai aku mengerti, Revan kembali
menarik tanganku. Ia membawaku mendekat ke mobilnya.
Ia membukakan pintu mobil lalu menyuruhku masuk ke
dalam. Aku pun hanya menurutinya saja, sebab aku masih
bingung dengan semua ini.

Tak lama kemudian, mobil Revan pun melaju dan Revan


hanya fokus melihat ke depan tanpa mengeluarkan suara
sedikit pun. Ekspresinya terlihat seperti Revan yang
‘biasanya’, bukan seperti Revan yang kulihat tadi pagi. Ia
seperti Revan yang bukan kukenal lagi. Aneh.

Detik demi detik berlalu tanpa perbincangan. Kami hanya

18
diam dan memperhatikan padatnya lalu lintas di pagi hari
dari jendela mobil. Aku tak berani melihat ke arah Revan.
Rasanya leherku kaku dan hanya bisa menghadap ke
depan. Aku pun mulai berpikir, apa sebenarnya tujuan
Revan melakukan semua ini? Lalu mengapa saat ini
sikapnya berubah, seperti Revan yang tidak kukenal lagi.
Baru beberapa menit yang lalu ia kembali memanggilku
dengan sebutan putri cantik. Tetapi saat ini ia seakan
bukan orang yang sama.

Saat tiba di perempatan jalan, Revan menepikan


mobilnya. Itu tinggal beberapa meter lagi menuju
sekolahku, bahkan di situ sudah banyak terlihat murid-
murid yang sedang menuju sekolah. Aku pun
memberanikan diri untuk melihat ke arahnya. Dia
tersenyum kepadaku lalu berkata.
"Shaf, maaf banget nih lu turun di sini ya. Gua takutnya
orang-orang mikir kita ada apa-apa lagi. Nggak apa-apa
kan, Shaf?" ucap Revan.

Aku agak sedikit kecewa mendengar kalimat Revan.


Kupikir dia sudah mau mengenaliku sebagai teman
kecilnya. Tetapi nyatanya tidak. Namun aku tak bisa
menjawab apa-apa. Aku pun membuka pintu mobil, dan
sebelum aku menutupnya kuberanikan untuk
mengucapkan terima kasih padanya.
"Makasih, Revan." Ucapku.

19
Dia hanya membalas dengan senyuman. Lalu tak berapa
lama, ia kembali melajukan mobilnya.

Aku pun juga mulai berjalan, sambil menikmati sejuknya


udara pagi ini dan meliihat pemandangan lalu lintas yang
tak begitu ramai pagi ini. Entahlah ada yang aneh dengan
perasaanku setelah kejadian dengan Revan barusan.
Apalagi saat dia memanggilku dengan sebutan putri cantik
lagi. Dan kuharap Revan memang benar-benar masih
mengingat kenangan masa kecil kita.

***

20
“Love does not begin or end in a way that
we seem to think it does. Love is like a
battle, love is a war, love is like growing
up.”
— James Baldwin

21
Bab 2

Suasana di sekolah pagi ini begitu ramai, padahal


biasanya banyak di antara mereka yang datang ke
sekolah saat bel masuk berbunyi. Sepertinya hari ini
mereka begitu semangat, karena setelah sekian lama
mereka tidak bertemu teman-temannya. Begitu pula
dengan para murid baru, dari wajah mereka terlihat bahwa
mereka sudah sangat siap untuk mengikuti MPLS.

Aku pun mulai berjalan menyusuri koridor sekolah. Dan


berhenti tepat di depan mading. Kucari namaku dari
sekian banyak nama yang tertera di sana. Ya, aku sedang
mencari di mana kelasku saat ini. Sambil terus mencari
aku terus berharap bahwa teman terdekatku juga akan
berada di kelas yang sama denganku. XII IPA 1. Kelas
yang dikenal dengan para murid-murid pintarnya. Aku
setengah tidak percaya namaku tertera di kelas itu, sebab
aku hanyalah seorang murid yang biasa-biasa saja. Aku
kembali melihat lagi daftar nama di kelas itu. Dan
syukurlah tertera juga nama Thania di kelas itu.

Aku pun kembali berjalan untuk menuju kelas XII IPA 1


berada. Tepatnya ada di lantai 3 dan berada di ujung
koridor. Namun baru beberapa langkah dari mading, aku
teringat sesuatu. Dengan cepat aku kembali ke mading
dan melihat daftar nama kelas XII IPA 1 kembali. Dan
22
benar saja, Revan juga berada di kelas itu. Memang tidak
bisa dipungkiri kalau Revan memang selalu masuk di
kelas IPA 1. Dia sudah dikenal sebagai penghuni abadi
IPA 1. Entah mengapa aku merasa sedikit gelisah. Aku
seperti memiliki firasat bahwa Revan akan melakukan hal-
hal aneh seperti tadi padaku.

Aku pun melanjutkan langkahku untuk menuju kelas XII


IPA 1. Kunaiki setiap anak tangga dengan perasaan yang
bercampur aduk. Aku mulai berpikir bagaimana caranya
aku menghadapi Revan jika ia berulah lagi nanti. Aku tidak
ingin ada kabar-kabar yang tidak benar tentangku dan
Revan.

Sampai di lantai 3, aku mulai menyusuri koridor. Kelas


demi kelas kulewati, dan sampai akhirnya aku memasuki
kelas XII IPA 1. Sepi. Hanya beberapa orang saja yang
sudah datang, mungkin bisa dihitung dengan jari. Aku
tidak terlalu mempedulikan mereka. Aku segera menuju
kursi di dekat jendela dan duduk di sana. Itu adalah
tempat duduk favoritku. Lalu aku mengambil novel dari
tasku dan mulai membacanya. Aku benar-benar terlarut
suasana di dalam novel, sampai tidak menyadari keadaan
sekitarku. Sampai kudengar keributan yang begitu
mengusikku. Aku pun menoleh ke sumber suara. Ternyata
penyebab keributan itu adalah Revan. Dan disekelilingnya
terdapat banyak siswi-siswi yang terlihat ingin
mendapatkan perhatian Revan. Aku sudah biasa dengan

23
pemandangan seperti ini, ke mana pun Revan pergi pasti
selalu ada siswi-siswi yang mengelilinginya. Saat aku
sedang memperhatikannya, tiba-tiba Revan melihat ke
arahku. Mata kami bertemu selama beberapa detik.
Sampai akhirnya aku kembali mengalihkan perhatianku
pada novel.

Bel masuk berbunyi nyaring, membuat para siswi yang


mengerumuni Revan bubar satu per satu dan kembali ke
kelas mereka masing-masing. Selang beberapa saat,
kulihat Revan berjalan mendekatiku.
"Hai, Shafa." Ucap Revan.
Aku hanya meliriknya sebentar dan kembali membaca
novel yang kupegang.
"Kenapa sih lo setiap gua ajak ngobrol nggak jawab?"
Ucap Revan lagi.
Aku tetap tidak menjawabnya. Sebab aku terlalu malas
membuang-buang waktuku hanya untuk berdebat
dengannya, lebih baik kugunakan waktuku itu untuk
melanjutkan membaca novel. Namun secara
mengejutkan, tiba-tiba Revan merebut novel yang sedang
kupegang. Sontak aku pun menoleh ke arahnya. Ia
tersenyum puas karena berhasil menarik perhatianku.
Baru saja aku akan mengomelinya, tiba-tiba Thania
datang dengan memasang raut wajah yang terkejut.
Melihat hal itu, Revan bangkit dari duduknya dan berjalan
pergi ke tempat duduk aslinya sambil membawa novelku.
Setelah kepergian Revan, Thania langsung menghujaniku

24
dengan begitu banyak pertanyaan. Aku sudah ingin
menjelaskannya, tetapi suara langkah sepatu hak
terdengar jelas dari luar kelas dan sepertinya sedang
mengarah ke kelas ini. Semua murid di kelas XII IPA 1
pun diam. Ya, semua murid sudah hapal suara langkah
siapa itu. Dan benar saja, tak lama kemudian sosok guru
Matematika yang dikenal begitu kejam, memasuki kelas
XII IPA 1. Akhirnya aku pun menunda penjelasanku
kepada Thania.

Selama pelajaran Matematika ini berlangsung, kulihat


tidak ada seorang pun yang berani berbicara. Semuanya
tampak serius memperhatikan penjelasan Bu Laras.

***

Bel istirahat berbunyi. Dan itu juga sebagai tanda


berakhirnya pelajaran Matematika di kelasku hari ini.
Teman-teman sekelasku bersorak penuh kegembiraan,
sebab pelajaran menyeramkan itu telah berlalu.

Lagipula siapa juga yang ingin di hari pertamanya masuk


sekolah, langsung bertemu dengan pelajaran yang
membuat otak bekerja dua kali lipat. Ditambah lagi guru
yang mengajarnya merupakan guru yang terkenal sangat
killer. Huh... membayangkannya saja sudah malas.

25
Tak berapa lama, setelah Bu Laras pergi ke luar kelas.
Thania langsung menuntutku untuk memberikan
penjelasanku padanya saat itu juga.

“Shaf, lo harus jelasin semuanya ke gua sekarang juga.


Kok tadi pagi lo bisa duduk berduaan sama Revan? Trus
kenapa si Revannya senyum-senyum gitu? Lu ada
hubungan apa sama Revan? Sejak kapan lo bisa deket
sama Revan? Shafa jawab gua dong, jangan diem aja.”
Tanya Thania panjang lebar.

“Gimana gua mau jelasin, kalo lo nanya terus daritadi,


Thania. Tenang aja gua bakalan jelasin ke lo semuanya
kok.” Jawabku.

“ Yaudah jelasin, gua penasaran banget tau.” Ucap


Thania.

“Gimana kalo kita ke kantin dulu. Gua laper banget nih.”


Ajakku.

“Oke, tapi nanti lo harus jelasin ke gua ya.” Ucapnya.

Aku dan Thania pun pergi ke kantin untuk membeli


makanan di sana. Di saat perjalanan menuju kantin, aku
melihat Revan dan teman-temannya sedang duduk di
taman dekat kantin. Revan terlihat begitu mencolok di
sana. Teman-temannya yang lain terlihat seperti murid-
murid yang urakan dan suka melanggar aturan.
Sedangkan Revan, dari tampangnya saja terlihat seperti

26
murid yang baik-baik. Dan memang seperti itulah Revan.
Tetapi rasanya selama 2 tahun lalu, aku tidak pernah
melihat Revan dekat-dekat dengan mereka. Sejujurnya
aku tahu siapa mereka, bahkan mungkin satu sekolah
tahu tentang mereka juga. Sebab mereka dikenal suka
membuat kerusuhan di sekolah. Mereka menamai diri
mereka dengan sebutan ‘gangster sekolah’. Pemimpin
kelompok mereka adalah Kevin. Aku kenal dengannya,
karena saat di kelas XI aku sekelas dengannya.
Sebenarnya dia adalah orang yang cukup baik. Dia
pernah menolongku waktu itu. Mungkin kalo dia tidak
salah memilih teman, dia akan seperti Revan.

Sesampainya di kantin, aku dan Thania pun memesan


makanan yang kami inginkan. Lalu mencari tempat duduk
yang kosong. Lalu kami menikmati makanan dalam diam.
Aku tidak tahu harus membahas apa dengan Thania. Aku
tidak mungkin menjelaskan kejadian dengan Revan tadi
kepada Thania di sini. Sebab aku merasa beberapa orang
terus memperhatikanku semenjak aku datang ke sini. Aku
merasa terlalu canggung berada di sini. Sepertinya
memang aku dan Thania salah memilih tempat duduk.
Sebab di meja sebelah itu adalah meja yang diduduki
Ranti dan gengnya. Aku bahkan tidak berani menoleh ke
arahnya sedikit pun. Aku pun melanjutkan menyantap
makananku dengan perasaannya yang berdebar. Aku
takut kalau aku telah melakukan kesalahan yang
membuat Ranti tidak senang. Seperti saat kejadian tahun

27
lalu. Saat Ranti mempermalukanku di depan semua
murid, hanya karena Kevin menolongku waktu itu. Aku
tidak ingin kejadian itu terulang. Sudah cukup aku
menanggung malu, karena harus bolak-balik masuk ruang
BK hanya karena orang tuaku tidak pernah mengambil
rapotku. Atau karena nilaiku yang selalu turun, dan
dianggap oleh guru-guru sebagai seorang murid yang tak
pernah berkembang. Aku memang sudah dikenal seperti
itu.

Kalian perlu tahu bahwa aku bukanlah sosok sempurna


seperti tokoh dalam novel-novel, sosok yang dikagumi
banyak orang, atau sosok yang begitu jenius dan memiliki
segudang bakat. Aku hanyalah murid biasa yang sangat
introvert. Satu-satunya bakat yang kumiliki adalah
menulis. Tetapi tidak banyak oang yang tahu tentang itu.

Tanpa sadar makananku hampir habis. Aku terlalu sibuk


memikirkan betapa menyedihkannya diriku, sampai tidak
menyadari bahwa di sampingku ada seseorang yang telah
duduk sambil memperhatikanku makan sedari tadi.
Sampai Thania memberiku kode untuk melihat ke
sampingku. Dan betapa kagetnya aku ketika kulihat sosok
yang duduk di sampingku adalah Revan. Entah apa yang
dipikirkannya sampai ia berani duduk di sampingku. Yang
membuat semua mata tertuju padaku dan Revan.

“Hai, Putri Cantik.” Sapanya.

28
Mataku terbelalak kaget. Aku sungguh tidak percaya
dengan ucapan yang keluar dari mulut Revan. Benarkah
ia barusan memanggilku dengan sebutan putri cantik. Aku
tidak salah dengar kan. Aku menatapnya tidak percaya.
Tetapi ia malah tersenyum padaku.

“Kok lo ke kantin nggak ngajak gua sih. Gua kan juga


laper tau.” Ucap Revan.

Aku semakin bingung. Apa maksud Revan berkata seperti


itu? Ini sungguh sulit untuk dipercaya. Aku yakin semua
orang yang ada di kantin pasti mendengar ucapan Revan.
Apa yang akan mereka pikirkan dengan ucapan Revan
yang seperti itu? Tak ingin berlama-lama menjadi pusat
perhatian, aku pun beranjak dari tempat dudukku, menarik
tangan Thania, dan dengan cepat berjalan pergi dari
kantin. Dari belakang aku dengar suara Revan
memanggil-manggil namaku.

“Shaf... Shafa. Kok lo malah pergi?” teriak Revan.

Aku tak mempedulikannya. Aku hanya ingin cepat-cepat


pergi dari kantin.

***

29
Setelah cukup jauh dari kantin, aku berhenti. Duduk di
salah satu bangku yang ada di koridor. Aku mengatur
detak jantungku yang berdebar-debar. Thania pun ikut
duduk di sampingku dan memegang tanganku untuk
memberiku kekuatan.

“Gua nggak tau hubungan lo sama Revan apa, tapi pasti


berat banget kan deket-deket sama dia?” ucap Thania.

Aku tak menjawab. Aku masih memikirkan Revan. Kucoba


untuk membuat alasan-alasan yang masuk akal tentang
apa tujuan Revan sebenarnya. Tetapi semuanya saja
sudah tidak masuk akal. Selama 2 tahun berada di
sekolah ini, Revan tidak pernah mendekatiku sekali pun.
Namun hari ini ia mendekatiku seakan itu adalah hal yang
biasa ia lakukan. Aku menghela napas panjang. Aku
hanya bisa berharap Revan tidak akan melakukan hal-hal
aneh lainnya.

Aku dan Thania pun kembali berjalan menuju kelas,


karena bel masuk telah berbunyi. Saat sampai di anak
tangga pertama, kulihat Kevin sedang berjalan menuruni
tangga dengan arah yang berlawanan denganku. Dan
ketika kami berpapasan, tiba-tiba Kevin menahan
tanganku. Aku pun menoleh ke arahnya.

“Gua mau ngomong sebentar sama lo bisa?” tanyanya.

“Hmm... bisa kok.” Jawabku ragu-ragu.

30
Sebenarnya aku bingung, mengapa tiba-tiba Kevin ingin
mengajakku berbicara. Aku saja tidak pernah berurusan
dengannya setelah kejadian itu. Sepertinya hari ini semua
orang bersikap aneh, mulai dari Revan sampai Kevin pun
juga.

Aku dan Thania pun mengikuti Kevin menuju ke koridor


yang sepi. Mungkin sesuatu yang akan dia bicarakan
adalah sesuatu yang rahasia. Entahlah. Sampai di ujung
koridor yang sepi, tepatnya di depan perpustakaan yang
jarang dikunjungi murid-murid sekolah ini, Kevin terlihat
bingung untuk mengungkapkan kata-katanya.

“Hmm... gimana ya caranya gua ngomong ke lo.” Ucap


Kevin.

Aku mengkerutkan keningku, sesulit itukah untuk


mengatakan sesuatu yang ingin dia sampaikan. Aku jadi
agak cemas mendengarnya.

“Pokoknya terserah lo mau percaya sama gua atau nggak.


Tapi gua harus bilang ini sama lo. Revan punya maksud
lain deketin lo. Dia nggak tulus deketin lo, Shaf. Gua cuma
minta sama lo untuk nggak percaya gitu aja sama dia.”
Jelas Kevin.

Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Kevin barusan.


Bagaimana bisa dia berbicara seperti itu. Apa buktinya
kalau Revan memang tidak tulus mendekatiku. Ya
walaupun perubahan sikap Revan memang terlalu tiba-

31
tiba. Tetapi aku kenal Revan lebih lama dari Kevin, dan
aku tahu Revan bukanlah orang yang seperti itu. Ada
perasaan tidak terima dalam hatiku, karena Kevin
berbicara hal-hal yang buruk tentang Revan. Namun aku
tak dapat menanggapi perkataannya. Aku hanya diam dan
mencoba mencerna perkataan Kevin tadi.

“Gua tau pasti susah bagi lo untuk nerima kata-kata gua.


Cuma ini doang yang bisa gua lakuin buat bantu lo. Gua
harap lo bisa terus inget perkataan gua ini.” ucap Kevin
lagi.

Lalu setelah itu, Kevin pergi meninggalkanku dan Thania


tanpa menunggu jawaban dariku. Selang beberapa saat,
aku pun juga pergi dari situ dan menuju ke kelas. Di
sepanjang perjalanan menuju kelas itu, banyak pasang
mata yang melihat ke arahku dengan pandangan tidak
suka. Pasti karena kejadian di kantin tadi. Aku pun
menundukkan kepalaku karena aku merasa risih dilihat
seperti itu. Sadar kalau aku merasa risih dengan tatapan-
tatapan itu, Thania pun menarik tanganku agar aku
berjalan di sampingnya. Sambil berbisik, ia memberiku
semangat.

“Shaf, lo gausah takut, ada gua kok.” Bisik Thania.

Aku membalasnya dengan senyuman. Thania memang


selalu begitu, dia selalu memberiku semangat dan
dukungannya. Disaat semua orang menjauhiku, dialah
satu-satunya orang yang tidak malu mengakuiku sebagai
32
teman terdekatnya. Dialah yang selalu mengerti
keadaanku. Dan dialah yang selalu bisa kuandalkan. Dia
seperti seorang kakak yang selalu melindungi adiknya.
Aku sangat bersyukur bisa mengenal Thania.

***

Kulihat suasana di kelasku begitu ramai, mereka tampak


bersorak-sorak riang entah karena apa. Aku tidak terlalu
mempedulikannya, dan langsung berjalan menuju tempat
dudukku. Lain halnya dengan Thania, dia pergi ke sumber
keramaian itu untuk mengetahui penyebabnya.

Aku duduk di kursi dan kubenamkan wajahku di antara


kedua tanganku, aku ingin melupakan sejenak masalah
yang terus terjadi hari ini. Banyak sekali hal-hal yang tak
terduga yang terjadi hari ini, yang membuat kepalaku
pening memikirkannya. Saat aku akan terlelap, kurasakan
ada sebuah tangan yang membelai lembut rambutku.
Kuangkat kepalaku untuk mengetahui siapa pemilik
tangan itu. Betapa terkejutnya aku mengetahui bahwa itu
adalah Revan. Ia tersenyum kepadaku.

“Kalo lo ngantuk tidur aja. Jam pelajaran ini kosong kok.”


Ucapnya sambil tersenyum.

33
Aku pun kembali membenamkan wajahku. Sebenarnya
aku ingin menanyakan semua hal kepada Revan tentang
kejadian hari ini. Tetapi entah mengapa aku merasa takut
untuk menanyakan itu semua. Ditambah lagi mood-ku
sudah hancur dan yang kuinginkan hanyalah melupakan
semuanya. Kurasakan kembali tangan Revan mengelus
lembut rambutku. Dan tak lama kemudian aku pun
terlelap.

05 Juni 2011

Di sebuah taman yang dikelilingi pohon-pohon yang


rindang. Terlihat seorang gadis yang sedang duduk di
ayunan. Tampaknya dia hanya seorang diri di sana, tanpa
ada seseorang yang mengawasinya. Dan dari raut
wajahnya, terpancar aura kesedihan dan kesepian.

“Huh... kenapa sih mama nggak pernah mau main sama


aku. Kenapa mama cuma peduli sama pekerjaannya aja.”
Ucap sang gadis dengan nada sedih.

Seketika air matanya pun turun. Namun dengan cepat dia


menghapusnya. Sepertinya dia tidak ingin menangis
karena hal itu.

Dan dari kejauhan tampak seorang lelaki dengan pakaian


yang rapi sedang mengendarai sepeda berwarna birunya.
Ia sedang menuju ke arah sang gadis itu. Semakin dekat
lelaki itu dengannya, sang gadis pun dapat mengenalinya.
Senyum indah merekah pun terukir di wajah sang gadis,

34
yang semula memancarkankan aura kesedihan dan
kesepian. Air matanya pun tidak lagi tumpah. Sang gadis
beranjak bangun dari ayunan dan berlari mendekati lelaki
itu. Melihat sang gadis berlari ke arahnya, lelaki itu
memberhentikan sepeda yang dikendarainya.

“Hai, Putri Cantik.” Sapa lelaki itu.

“Hai, Revan. Kamu mau ke mana? Kok pakaian kamu rapi


banget.” Tanya sang gadis.

“Aku hanya ingin bertemu denganmu. Memangnya tidak


boleh ya kalau aku berpakaian rapi seperti ini?” ucap
Revan sambil tersenyum.

Sang gadis pun balas tersenyum pada lelaki yang


bernama Revan itu. Setelah mengenal Revan beberapa
bulan yang lalu, sang gadis merasa bahwa Revan adalah
sosok yang dia cari-cari selama ini. Sosok yang selalu
ada untuknya bagaimana pun keadaan dirinya. Sosok
yang bisa memberi dukungan kepadanya saat dia merasa
jatuh. Dan juga sosok yang begitu menyayanginya dan
sangat perhatian padanya. Sepertinya sang gadis itu telah
jatuh cinta pada Revan.

Mereka berdua pun bermain bersama di taman itu.


Dipenuhi dengan senyuman tulus yang terukir di wajah
keduanya dan juga canda tawa. Mereka berdua terlihat
sangat bahagia.

35
Sore menjelang, Revan mengajak sang gadis itu untuk
pulang. Ia pun mengantarkan sang gadis dengan sepeda
biru miliknya. Mereka berboncengan sambil menikmati
indahnya senja sore itu. Mengukir kenangan bersama
yang takkan pernah dilupakan oleh keduanya.

Aku terbangun saat bel sekolah berbunyi dengan nyaring.


Hah... Mimpi itu lagi. Sudah berapa kali aku terus
memimpikan itu. Mengingat semua itu semakin
membuatku menyesal telah menaruh separuh hatiku
padanya. Kuangkat kepalaku dan kulihat sudah ada
Thania di sebelahku. Dia sedang bersiap-siap untuk
pulang.

“Shaf, lo nggak mau pulang apa? Cepet bangun.” Ucap


Thania sedikit kesal.

Aku tahu alasan mengapa Thania kesal denganku. Pasti


dia sangat penasaran tentang hubunganku dan Revan.
Namun daritadi aku tak menjelaskan padanya sedikit pun.
Alhasil, Thania pun kesal padaku. Tak ingin membuat
Thania tambah kesal, aku pun menuruti kata-katanya, dan
bersiap-siap untuk pulang juga.

Aku dan Thania pun berjalan menuju gerbang sekolah.


Thania hanya diam saja. Sepertinya dia benar-benar kesal
padaku. Saat aku ingin mulai berbicara pada Thania, dari
arah yang berlawanan denganku kulihat Revan
memanggilku.

36
“Shafa.” Teriak Revan.

Lalu Revan pun berlari ke arahku. Dan sesampainya ia di


depanku, ia langsung menggandeng tanganku. Lantas
aku pun berusaha untuk melepaskan genggaman
tangannya. Namun ia malah semakin mempererat
genggamannya itu.

“Shafa pulang sama gua.” Ucapnya pada Thania.

“Nggak, gua nggak mau. Gua mau pulang sama Thania.


Lepasin tangan gua.” Balasku.

Revan tidak mendengarkanku sedikit pun. Lalu kualihkan


pandanganku pada Thania. Dan Thania melihat ke arahku
sambil tersenyum.

“Udahlah, Shaf. Nggak apa-apa kok, lo pulang aja sama


Revan.” Ucapnya dengan nada yang sedikit ketus.

Mendengar ucapan Thania, Revan langsung menarik


tanganku menuju parkiran. Selama perjalanan menuju
parkiran itulah, banyak pasang mata yang melihat ke arah
kami. Bagaimana tidak, seorang Revan jalan bersama
seorang murid yang dikenal memalukan sambil
menggengam tangannya. Aku hanya bisa menundukkan
kepalaku dan mengikuti langkah Revan.

***

37
“Remember: the time you feel lonely is the
time you most need to be by yourself. Life’s
cruelest irony.”
― Douglas Coupland, Shampoo Planet

38
Bab 3

Dalam perjalanan pulang, Revan hanya diam tanpa


mengatakan sepatah kata pun. Aku ingin bertanya
padanya, tetapi aku tak tahu bagaimana harus
memulainya. Suasananya sangat canggung. Sampai tiba-
tiba, Revan menyalakan radio yang memutar sebuah lagu.

Di sini kau dan aku


Terbiasa bersama
Menjalani kasih sayang
Bahagia 'ku denganmu
Pernahkah kau menguntai
Hari paling indah?
Kuukir nama kita berdua
Di sini surga kita
Aku terdiam selama lagu itu berputar. Lagu itu menggema
di telinga, seakan mengajakku untuk mengingat kembali
masa-masa itu. Saat lagu ini diputar 8 tahun yang lalu.

11 Agustus 2011

Di sebuah ruangan yang nyaman, terdapat seorang


perempuan dan laki-laki yang sedang bermain bersama.
Mereka terlihat sangat dekat.

39
“Shafa... sini deh. Aku punya sesuatu, pasti kamu bakalan
suka deh.” Ucap anak laki-laki itu.

Anak perempuan yang bernama Shafa itu pun berlari


mendekat kepada anak laki-laki itu. Dia duduk di
sebelahnya sambil memperhatikan benda yang dipegang
anak laki-laki itu.

“Apa itu?” tanya Shafa.

“Ini namanya radio, Shafa. Kemarin mamaku


membelikanku ini, karena aku sangat suka mendengarkan
musik.” Jawabnya.

“Wah, sepertinya menarik.” Ucap Shafa.

“Tentu saja, kamu mau mendengarkannya?” tanya anak


laki-laki itu.

Shafa mengangguk tanda bahwa dia ingin mendengarkan


sebuah lagu dari radio itu. Anak laki-laki itu pun
menyalakan radio itu, dan memutar sebuah lagu.

If you love somebody could we be this strong


I will fight to win our love will conquer all
Wouldn't reach my love
Even just one night
Our love will stay in my heart
My heart

40
Mereka berdua pun terbawa suasana dalam lagu tersebut.
Lirik lagunya seperti menceritakan kisah mereka berdua.
Dan mulai hari itu, lagu yang berjudul My Heart itu menjadi
lagu kesukaan Shafa. Dia sering mendengarkan lagu itu
jika dia sedang rindu dengan Revan, anak laki-laki itu.

Aku tersadar dari lamunanku. Ternyata mobil Revan


sudah berhenti tepat di depan rumahku.

“Eh, udah nyampe?” ucapku tersadar.

“Daritadi kali. Lo tuh kayaknya suka banget ngelamun ya.


Gua udah panggil berkali-kali pun lo nggak denger.” Ucap
Revan kesal.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman menahan


tawa, sebab wajah Revan sangat lucu saat sedang kesal.
Lalu aku pun membuka pintu mobil, dan bergegas turun.
Sebelum menutup kembali pintu mobil, tak lupa aku
mengucapkan terima kasih pada Revan karena telah
mengantarkan aku pulang. Ia hanya tersenyum kepadaku.
Senyuman yang sangat indah, yang dulu hampir setiap
hari selalu ia tunjukkan padaku.

***

41
Akhirnya aku pun bisa kembali pada kasurku yang sangat
nyaman ini. Aku memejamkan mata sambil mengingat
kembali kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Begitu
rumit dan sulit untuk dipercaya. Tanpa sadar aku pun
terlelap ke dalam dunia mimpi.

Aku terbangun ketika terdengar suara ketukan pintu


kamarku. Dan suara Bibi mulai terdengar memanggil
namaku.

“Non, ayo Non bangun. Sebentar lagi adzan maghrib.”


Teriak Bibi.

“Iya, Bi.” Ucapku dengan malas.

Akhirnya dengan berat hati, aku bangkit dari tempat


tidurku. Dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama aku
pun keluar dari kamar mandi, dan kulihat jam
menunjukkan pukul 17.30. Waktu yang sangat pas untuk
menikmati senja. Aku bergegas menuju balkon, agar tidak
melewatkan momen-momen saat matahari mulai
terbenam. Dan saat aku sampai balkon, matahari sudah
setengah tenggelam. Warna jingga yang dihasilkannya
begitu indah. Itulah yang kusuka dari senja. Warna dirinya
begitu menenangkan hati. Ia memang datang untuk
sementara waktu. Namun ia tak pernah ragu untuk
menunjukkan dirinya yang begitu indah. Membuat
siapapun yang melihatnya akan jatuh hati padanya. Ia
juga mampu menghiasi seluruh langit dengan warnanya

42
yang indah, sebelum nantinya berubah menjadi biru gelap
yang menakutkan.

Tak pernah bosan aku melihat senja. Setiap harinya pasti


selalu kuluangkan waktu untuk melihatnya. Karena senja
lah yang bisa memberikanku ketenangan hati, ialah yang
bisa membuatku lupa dengan semua beban hidupku. Dan
senja jugalah yang mengingatkanku padanya.

31 Agustus 2011

Di suatu sore yang sejuk, terlihat dua orang anak yang


sedang berjalan sambil bergandengan tangan. Dan
sesekali mereka tampak tertawa bersama,
memperlihatkan bahwa mereka berdua sangatlah akrab.

“Kita mau ke mana, Revan?" tanya Shafa.

"Kamu ikutin aku aja, pokoknya kita akan ke suatu tempat


yang sangat indah. Pasti kamu suka." Ucap Revan.

"Kamu suka tempat itu?" tanya Shafa.

"Iya dong." Balas Revan.

"Kalo kamu suka pasti aku juga suka." Jelas Shafa.

Revan tersenyum mendengarnya. Shafa sangat suka


melihat senyum Revan yang seperti itu. Baginya senyum
Revan sangat menenangkan hatinya. Dia pun ikut
tersenyum. Selama perjalanan itu, Shafa sesekali melihat

43
ke arah Revan yang terlihat begitu semangat, sepertinya
ia sudah tidak sabar memperlihatkan tempat itu. Shafa
pun tertawa melihatnya. Menurutnya ekspresi Revan
sangatlah lucu.

Akhirnya sampailah mereka di suatu lahan kosong. Di


sana terdapat sebuah bangunan yang baru setengah jadi.
Tetapi sepertinya pemilik bangunan itu tidak ingin
melanjutkan pembangunannya. Itu lebih terlihat seperti
bangunan yang memang sengaja ditelantarkan.

Revan menarik tangan Shafa untuk mendekati bangunan


itu. Namun Shafa terlihat ragu, dia menahan tarikan
tangan Revan. Revan pun menoleh ke arahnya.

"Kenapa,Shaf?" tanya Revan.

"Kamu mau mengajakku ke bangunan tua itu?" tanya balik


Shafa.

"Kamu takut ya?" ucap Revan dengan sedikit menggoda


Shafa.

"Hmm… sedikit." Balas Shafa.

"Tenanglah, ada aku di sini. Ayo kita harus cepat, nanti


kita terlambat melihatnya." Ucap Revan sambil tersenyum.

Mendengar kata-kata Revan, akhirnya Shafa pun


mengikuti Revan menuju bangunan itu tanpa perasaan

44
khawatir lagi. Revan memang selalu bisa membuat
hatinya tenang.

Ternyata di sebelah bangunan itu ada sebuah tangga.


Revan pun menuntun Shafa untuk menaiki tangga itu
menuju ke bagian atas bangunan. Sampai di atas, Shafa
begitu takjub. Dia melihat sebuah pemandangan terindah
yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.

Dari atas bangunan itu dapat terlihat dengan jelas


matahari yang sebentar lagi akan segera tenggelam.
Warna jingga yang dihasilkannya menghiasi seluruh
langit. Membuat siapapun yang melihatnya jatuh hati
padanya. Warnanya itulah yang membuat hati seseorang
menjadi lebih tenang. Seakan menghiptonis seseorang
untuk jatuh lebih dalam lagi pada dirinya.

Revan tersenyum melihat Shafa yang tak henti menatap


langit jingga itu.

"Shaf, kita duduk di sana yuk." Ajak Revan.

Shafa tak menjawab apa pun. Sambil mengikuti langkah


Revan, dia terus melihat ke arah matahari yang akan
tenggelam itu.

Semakin lama Shafa memandang langit senja sore itu, di


saat itulah Shafa menyadari sebuah kesamaan antara
Revan dengan senja. Yaitu mereka berdua sama-sama

45
telah merebut hati Shafa dan membuat Shafa tak bisa
melupakannya.

***

Suara adzan maghrib mulai berkumandang. Matahari


telah sepenuhnya tenggelam hilang dari bumi. Aku
tersenyum puas. Menikmati senja memanglah suatu hal
yang menyenangkan. Aku pun masuk kembali ke
kamarku.

Aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil


wudhu dan segera memakai mukena. Kulaksanakan
sholat dengan begitu khusyuk. Selesai sholat aku pun
duduk bersimpuh mengangkat kedua tangan. Berdoa
kepada-Nya agar selalu memberikan yang terbaik untuk
hidupku. Tak lupa kucurahkan keluh kesahku tentang
segala hal yang terjadi hari ini. Tak terasa air mataku
mengalir. Tetapi aku tahu bahwa ini adalah air mata
kebahagiaan. Karena aku masih memiliki tempat untuk
menceritakan segala beban hidupku.

Kurapikan mukena dan sajadah yang kupakai tadi. Aku


pun berjalan menuju meja belajarku. Kunyalakan laptop
yang ada di atas meja itu, dan mulai menuliskan kejadian-
kejadian yang terjadi hari ini. Ya, aku memang selalu

46
menuliskan hal-hal yang terjadi selama hidupku dalam
sebuah file. Bisa dibilang aku menulis sebuah buku
tentang kisah hidupku sendiri. Tetapi aku tak memiliki niat
untuk memberitahukannya pada orang lain. Kubuat tulisan
ini hanya sebagai pengingat bagi diriku bahwa aku
memiliki kisah hidup yang sulit.

Aku mulai terlarut dalam tulisanku ini. Tidak ada suara lain
yang terdengar di kamarku selain suara ketikan keyboard
laptopku. Dan tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu
kamarku disertai suara Bibi yang menyuruhku untuk
makan.

"Non Shafa. Makan malam dulu yuk, Non. Bibi udah


masakan udang saos tiram kesukaan Non Shafa." Ucap
Bibi.

"Iya, Bi. Sebentar lagi Shafa turun." Jawabku.

Kudengar langkah Bibi yang mulai menjauhi pintu


kamarku. Tak lama kemudian, aku pun bergegas turun ke
bawah. Aku tidak ingin membuat Bibi kecewa karena
masakannya tidak dimakan.

Sesampainya di meja makan, kulihat Bibi tertidur di meja


makan. Dia tertidur dengan membenamkan wajahnya
diantara kedua tangannya. Sepertinya Bibi sangat lelah.
Aku pun makan dalam diam. Aku berusaha untuk tidak
mengeluarkan suara sedikit pun. Aku tidak ingin
mengganggu Bibi.

47
Selesai makan, aku pun berjalan menuju ruang keluarga.
Aku duduk di salah satu sofa yang ada di sana. Rasanya
sunyi sekali. Kalau biasanya ruang keluarga dipenuhi
dengan kehangatan dan canda tawa. Lain halnya dengan
di rumahku ini. Ruang keluarga ini hanya seperti ruangan
kosong yang tak pernah terpakai. Tak pernah ada suatu
kehangatan yang tercipta disini. Ruangan ini hanya
dipenuhi dengan suasana-suasana canggung.

Namun aku suka menghabisi waktu di sini. Menikmati


dinginnya angin malam yang masuk melalui ventilasi.
Menikmati setiap detik yang sepi dan sunyi. Menikmati
bunyi suara jam yang berdetak yang selalu menemaniku
dalam kesepian.

Di saat seperti inilah aku selalu teringat akan penyebab


hubunganku dan kedua orang tuaku mulai menjauh.

23 April 2011

Terdengar bunyi sirine yang begitu keras. Bunyi itu


berasal dari mobil polisi yang sedang melintas di sebuah
kompleks perumahan megah di daerah itu. Mobil polisi itu
akhirnya berhenti di depan sebuah rumah. Rumah yang
begitu mewah berwarna putih dengan pagar hitam yang
menjulang tinggi.

Tak lama kemudian, pintu gerbang itu pun terbuka. Mobil


polisi itu masuk ke halaman rumah itu. Disambut oleh

48
sepasang suami istri dengan raut wajah yang terlihat
khawatir.

Tak lama kemudian, pintu mobil polisi itu terbuka, dan


turunlah seorang polisi berseragam lengkap yang
kemudian disusul oleh seorang anak kecil bergaun putih
yang terlihat lusuh. Melihat itu sang istri pun langsung
berlari memeluk anak kecil itu.

"Shafa… Mama kangen banget sama kamu, Nak. Kamu


nggak apa-apa kan? Nggak ada yang sakit kan, Nak?"
tanya Mama khawatir.

Anak kecil yang bernama Shafa itu hanya bisa menangis


dipelukan mamanya. Dia bersyukur karena bisa kembali
bertemu dengan mamanya. Kemudian papanya pun juga
ikut memeluk dirinya. Ada perasaan benci yang muncul
dalam hati Shafa karena sikap papanya itu. Dia tidak
menyangka kalau papanya bisa bersikap seperti tidak
melakukan kesalahan apa pun.

Lalu kedua orang tuanya pun berbincang dengan petugas


kepolisian yang telah mengantarkan Shafa. Petugas
kepolisian itu tampak sedang menjelaskan sesuatu pada
kedua orang tuanya. Shafa hanya bisa memperhatikan
mereka dari depan pintu rumahnya. Setelah perbincangan
singkat kedua orang tuanya dengan petugas kepolisian
itu, mereka saling berjabat tangan. Dan mobil polisi itu
mulai berjalan menjauhi halaman rumah Shafa sambil
menyalakan sirinenya.
49
Shafa pun dituntun masuk ke dalam rumah oleh kedua
orang tuanya. Mereka duduk bersama di sebuah sofa
yang ada di ruang keluarga, mencoba untuk membuat
Shafa nyaman dan tidak takut lagi. Sebab selama 3 hari
yang lalu Shafa diculik dan entah dibawa ke mana oleh
sang penculik. Mamanya berjalan menuju dapur untuk
mengambil air minum untuk Shafa.

Kini di ruang keluarga hanya ada dia dan Papanya. Tidak


ada yang membuka suara. Jangan heran dari dulu mereka
memang tidak memiliki hubungan layaknya ayah dan
anak. Papa Shafa sangat cuek dan seakan tidak peduli
dengannya. Shafa tak tahu mengapa Papanya bersikap
seperti itu. Dan kini dia baru mengetahui satu fakta yang
mengejutkan tentang Papanya itu.

Shafa sangat tidak suka suasana yang canggung. Dia


sebenernya anak yang cerewet, tetapi kalau di depan
Papanya dia akan menjadi seorang anak yang begitu
pendiam. Dia tak tahan lagi dengan suasana ini. Bahkan 1
detik saja terasa sangat lama. Akhirnya, mamanya pun
datang kembali dengan membawa segelas air putih untuk
Shafa dan secangkir kopi untuk Papanya. Mamanya mulai
berbicara panjang lebar, menanyakan kondisi Shafa,
bersyukur karena Shafa telah kembali lagi, dan masih
banyak lagi hal-hal yang dibicarakan Mamanya. Namun
Shafa tak mendengarkannya. Saat ini pikirannya tertuju
pada seorang anak laki-laki yang dia temui hari itu. Laki-
laki yang dia ketahui bernama Revan.

50
***

"Non, Non Shafa… kok Non masih di sini? Non nggak


tidur? Ini sudah malam loh Non." Sebuah suara yang
menyadarkanku dari lamunan.

Aku menoleh ke arah sumber suara, ternyata Bibi yang


sedang berdiri di sampingku sambil mengelus lembut
rambutku. Aku tersenyum ke arah Bibi.

"Iya, Bi. Makasih ya Bi, udah ingetin aku." Ucapku.

"Iya Non sama-sama." Balas Bibi.

Lalu aku pun segera berjalan menuju kamarku. Namun


sesampainya aku di dalam kamar, aku tidak langsung
menuju tempat tidurku. Mataku masih belum mengantuk.
Dan rasanya akan sulit kalau kupaksakan untuk terlelap.
Akhirnya kuputuskan untuk kembali menuju meja
belajarku. Dan melanjutkan kembali tulisanku.

Rasanya cerita hari ini tak kunjung selesai untuk


dituliskan. Telah habis lebih dari 5 halaman kertas hanya
untuk menceritakan kejadian hari ini. Dan itu pun masih
belum selesai. Waktu terus berjalan, dan tak terasa sudah
hampir 1 jam aku duduk di meja belajarku ini. Fokus
menatap layar laptop yang ada di hadapanku. Terlarut
dalam suasana cerita yang kubuat sendiri. Kulirik jam
dinding yang tergantung tepat di atas tempat tidurku.

51
Jarum panjangnya sudah mengarah pada angka 11. Ini
sudah terlalu larut malam. Aku harus segera tidur agar
besok aku tidak terlambat berangkat ke sekolah. Dan
kuharap esok hari akan menjadi lebih indah dari hari ini.

***

52
“We’re born alone, we live alone, we die
alone. Only through our love and friendship
can we create the illusion for the moment
that we’re not alone.”
― Orson Welles

53
Bab 4

Satu minggu telah berlalu sejak aku menjadi murid kelas


XII. Tak ada yang spesial selama itu. Hanya masalah
yang terus datang silih berganti kepadaku. Ini semua
karena Revan. Karena secara tiba-tiba ia mulai
mendekatiku. Membuat semua murid di sini, terutama
para siswi makin tidak suka padaku. Wajar saja, Revan
kan idola sekolah, siapa pun yang dekat dengannya pasti
menjadi bahan perbincangan satu sekolah.
Tetapi saat ini tidak ada lagi Thania yang selalu
melindungiku dari tatapan-tatapan murid lain yang tidak
suka denganku. Tidak ada lagi sosok Thania yang selalu
memberiku semangat ketika aku merasa sangat lelah
dengan hidupku. Tidak ada lagi yang mau mendengarkan
keluh kesahku tentang kehidupanku. Dan tidak ada lagi
yang mau menjadi tempatku bersandar ketika aku
membutuhkan bahu untuk menangis. Kini aku benar-
benar sendirian. Sudah tidak ada lagi Thania yang begitu
pengertian padaku. Dan juga tidak ada kedua orang tuaku
sebagai tempatku untuk pulang. Aku takut sendirian.
Kini Thania telah berada di kota lain. Dia ikut ayahnya
pindah ke sana, karena ayahnya mendapatkan tugas
dinas di kota itu. Harusnya sejak hari pertama masuk
Thania bukanlah lagi murid di SMA ini. Namun karena
berkas-berkas kepindahannya masih dalam proses
pengurusan. Thania pun untuk sementara tetap menjadi
murid kelas XII di sini. Aku sudah tahu hal ini dari awal.

54
Thania sudah menceritakan semuanya padaku, karena
dia tidak ingin aku terlalu mengandalkannya. Sehingga
saat dia pergi aku akan kehilangan pegangan.
Sebenarnya cukup berat untuk melepas kepergian Thania.
Namun aku pun tak bisa mencegahnya. Aku hanya
mencoba untuk menerimanya, dan membiasakan diri
tanpa Thania. Lagipula Thania tidak pergi untuk
selamanya. Aku masih bisa bertemu dengannya ketika
liburan sekolah tiba. Entah aku yang mengunjunginya
atau Thania yang mengunjungiku di Jakarta. Sekalian
bernostalgia dengan mengunjungi tempat-tempat yang
sering kita datangi bersama.
Aku mengenal Thania sejak pertama kali aku masuk SMA.
Waktu itu sedang masa MPLS ketika tiba-tiba Thania
mendekatiku dan mengajakku berbincang. Thania bilang,
dia selalu melihatku sendirian, jadi dia memberanikan
dirinya untuk mendekatiku agar kita bisa saling kenal satu
sama lain. Ya, memang dulu aku tak mengenal siapa pun
di sana. Sebab saat itu aku baru pindah ke Jakarta tepat
setelah aku lulus dari SMP, sekitar 2 bulan yang lalu.
Alhasil tak ada satu pun yang kukenal di SMA itu. Lain
halnya dengan murid lain, mereka terlihat berkumpul
bersama teman-teman satu sekolahnya dulu. Aku pun
menjadi canggung untuk ikut gabung dengan mereka.
Dan akhirnya aku pun memilih untuk sendiri saja.
15 Juli 2017
Suatu pagi yang cerah, di sebuah SMA ternama di Jakarta
yang terlihat begitu ramai pagi itu. Tak hanya murid
berseragam putih abu-abu yang terlihat di sana, tetapi

55
juga banyak terlihat murid dengan seragam putih biru
lengkap dengan sebuah nametag. Mereka adalah para
murid baru di SMA itu yang akan menjalani masa MPLS
untuk mengetahui lebih dalam tentang sekolah mereka. Di
antara sekian banyak peserta MPLS itu, ada salah satu
peserta yang terlihat sendirian dan duduk menjauh dari
yang lainnya.
Namun tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang
mendekatinya.
“Hai, nama gua Thania.” Ucap anak perempuan itu sambil
mengulurkan tangnnya.
Mendengar ada yang brbicara dengannya, Shafa pun
menoleh ke arah sumber suara itu dan dia melihat di
sampingnya telah ada seorang siswi yang berseragam
putih biru seperti dirinya sedang mengulurkan tangannya.
Lantas Shafa pun membalas uluran tangan itu.
“Nama gua Shafa.” Jawabku sambil tersenyum
kepadanya.
Thania pun balas tersenyum kepada Shafa. Lalu mereka
berdua mulai berbincang-bincang entah membahas apa,
yang jelas mereka berdua terlihat nyaman mengobrol
satu sama lain. Sesekali mereka terlihat tertawa bersama,
seakan menunjukkan kepada dunia bahwa mereka
bahagia karena dapat mengenal satu sama lain. Hari demi
hari terus berganti, mereka pun semakin mengenal sifat
dan perilaku masing-masing. Dan dari situlah mereka
berdua menjadi teman dekat yang saling menguatkan.

56
***

Rasanya sepi sekali tidak ada Thania, kini aku hanya


duduk seorang diri bertemankan meja dan kursi yang
kosong. Dulu Thania duduk di situ, dan selalu
menemaniku setiap hari. Kami sering membicarakan hal-
hal yang tidak penting di sini, yang terkadang membuat
kita berdua sampai berdebat. Di sini juga, Thania dengan
sabar selalu mengajariku yang sulit untuk memahami
pelajaran.
Aku pun teringat kembali pesan yang disampaikan Thania
padaku sebelum dia masuk ke dalam pesawat kemarin.
"Shaf, pokoknya selama gua nggak ada lo harus bisa ya
jaga diri lo sendiri. Lo harus yakin kalo setiap detik dalam
hidup lo itu berharga. Gua yakin suatu saat lo pasti
bakalan nemuin kebahagiaan lo. Intinya lo jangan terlalu
dengerin perkataan orang lain." Ucap Thania.
Perkataan-perkataan itu terus berputar di kepalaku. Setiap
kali aku mengingatnya, hatiku merasa sangat tenang. Aku
akan selalu ingat pesan itu. Mungkin itulah yang akan bisa
membuatku kembali semangat saat aku merasa jatuh.
Memang tak ada lagi sosok Thania di sisiku, tetapi
pesannya itu akan selalu kusimpan dalam benakku.

***

57
Bel istirahat berbunyi, teman-teman sekelasku banyak
yang pergi menuju kantin untuk membeli makanan
ataupun hanya sekedar duduk-duduk bersama teman-
temannya di kantin. Namun aku tak seperti mereka, aku
lebih memilih diam di kelas sambil membaca novel. Sebab
aku masih belum berani datang ke kantin tanpa Thania.
Aku terlalu takut untuk melihat tatapan-tatapan tidak suka
orang lain yang ditujukan padaku. Mungkin pelan-pelan
akan kucoba, tetapi tidak untuk hari ini.
Aku pun mulai mencoba untuk masuk ke dalam suasana
cerita di novel yang sedang kubaca. Namun sulit sekali,
karena suara obrolan maupun suara tawa yang sangat
pecah dari luar kelas begitu jelas terdengar. Aku tak bisa
fokus membaca novel ini. Akhirnya kuambil earphone dari
tasku dan kusambungkan pada handphoneku. Kuputarkan
lagu-lagu melankolis kesukaanku dengan volume yang
cukup keras. Berkat ini aku bisa benar-benar masuk
dalam suasana cerita. Tak lagi kupedulikan keadaan
sekitarku.
Sampai tiba-tiba ada seseorang yang menarik paksa
earphoneku. Aku menoleh, dan telah berdiri di depanku
dua orang perempuan dengan raut wajah yang terlihat
kesal. Aku tahu siapa mereka. Mereka itu adalah anak
buahnya Ranti. Apa yang akan mereka lakukan? Aku
berharap bukanlah seperti kejadian tahun lalu.
"Ranti nyuruh lo datengin dia sekarang juga." Ucap salah
satu dari mereka.
"Emangnya ada urusan apa?" tanyaku dengan hati-hati.

58
Mereka tak menjawab pertanyaanku dan langsung
menarik paksa tanganku untuk mengikuti mereka. Dengan
pasrah akupun mengikuti langkah mereka berdua. Sebab
aku tahu bahwa jika aku melawan mereka, mereka akan
melakukan sesuatu yang lebih dari ini. Aku hanya bisa
berharap bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk
padaku.
Saat kami sampai di ujung anak tangga, aku mendengar
sebuah suara yang tidak asing lagi di telingaku.
"Lo berdua mau bawa Shafa ke mana?" tanya Revan.
"Plis deh, Van. Kalo lo nggak mau Ranti berulah lagi, lo
nggak usah sok-sokan nolongin nih cewek." Ucap salah
satu dari mereka dengan tegas.
"Segala hal yang berhubungan dengan Shafa itu juga
urusan gua." Ucap Revan.
Beberapa detik kemudian, Revan langsung melepaskan
genggaman perempuan itu di tanganku dan menarik
tanganku untuk menjauh dari mereka. Selama melewati
koridor menuju kelas kami, Revan terus memegang
tanganku. Hatiku tersentuh. Ada perasaan hangat di
hatiku melihat Revan bersikap seperti ini.
Sampai di depan pintu kelas, dengan tiba-tiba Revan
membalikkan tubuhnya. Hampir saja aku menabrak
tubuhnya. Kemudian Revan pun melepaskan genggaman
tangannya.
"Shaf, mulai hari ini lo bisa andelin gua kok." Ucap Revan.

59
"Maksudnya?" tanyaku dengan hati-hati.
Aku tidak mengerti maksud perkataan Revan barusan.
Apa maksudnya mengandalkan dia.
"Lo percaya kan kalo gua bisa buat lo bahagia? Gua
emang pernah ngecewain lo dulu, dan sekarang gua mau
nebus semua kesalahan gua itu sama lo. Dan gua janji
nggak akan buat lo kecewa lagi, Shaf." Ucap Revan.
Hatiku bedegup dengan kencang. Mungkin Revan juga
bisa mendengar suaranya. Aku sangat tidak menyangka
Revan akan berbicara seperti itu. Ini sungguh sulit untuk
kupahami. Aku pun tak tahu harus menjawab apa. Aku
hanya diam dan menatap ke dalam bola matanya, untuk
menemukan maksud dari semua ini. Tetapi senyuman
yang terukir di wajahnya mengalih perhatianku.
“Gua tau kok kalo gua ganteng, tapi gak gitu juga kali Shaf
ngeliatinnya.” Ucap Revan sambil menahan tawa.
Lantas aku pun cepat-cepat mengalihkan pandanganku
darinya. Dan berjalan memasuki kelas menuju tempat
dudukku sambil menutupi wajahku dengan kedua tangan.
Aku benar-benar malu.
Sampai di tempat duduk, aku pun menenggelamkan
wajahku di antara kedua tanganku. Menyembunyikan
wajahku agar tidak terlihat oleh Revan. Sungguh aku tidak
tahu lagi bagaimana aku bisa bertemu dengan Revan
setelah kejadian barusan.
Dan dalam posisiku ini, aku mengingat kembali perkataan
demi perkataan yang keluar dari mulut Revan. Aku tak

60
menyangka semua ini akan terjadi. Dan entah apa yang
sedang merasuki perasaanku saat ini. Ada sebuah
perasaan menyenangkan dan begitu menenangkan dalam
hatiku. Rasa ini persis seperti apa yang kurasakan saat
dulu aku sedang menghabiskan waktu dengan Revan.
Seperti inikah rasanya bahagia. Sudah terlalu lama aku
tak merasakan perasaan ini sampai aku lupa bagaimana
nikmatnya perasaan ini. Namun apakah Revan akan
kembali mengecawakanku seperti dulu. Aku takut kecewa
lagi padanya untuk yang kedua kali. Aku takut tak bisa
memaafkannya jika ia benar-benar mengecewakanku lagi.
Ditambah lagi perkataan Kevin waktu itu padaku membuat
aku sedikit takut. Namun aku hanya bisa berharap bahwa
Revan benar-benar akan menepati janjinya padaku.
Tak berapa lama kemudian, aku bisa merasakan ada
seseorang yang duduk di sebelahku. Dan aku tahu itu
pasti Revan. Namun ia tak mengeluarkan suara sedikit
pun, mungkin ia mengira aku sedang terlelap. Syukurlah,
karena aku masih malu untuk berhadapan lagi dengannya
setelah kejadian di pintu kelas tadi. Aku pun mulai
memejamkan mataku dan mulai memasuki alam mimpi.

***

Aku merasa ada seseorang yang mengguncang-


guncangkan tubuhku. Dengan berat hati aku pun
mengangkat kepalaku untuk melihat siapa orang yang

61
berani-beraninya mengganggu tidurku. Dan seperti
tebakanku, orang itu adalah Revan. Ia pun tersenyum ke
arahku.

“Akhirnya lo bangun juga, Shaf. Gua tuh udah daritadi


bangunin lo tau nggak.” Ucap Revan.

Malas mendengar celotehan Revan, aku pun kembali


menenggelamkan wajahku. Namun beberapa saat
kemudian, Revan kembali mengguncang-guncangkan
tubuhku.

“Shafa, bangun. Emangnya lo nggak mau pulang apa?”


Ucap Revan sambil menggoyangkan tubuhku.

Aku pun mengalah. Aku mengangkat kembali kepalaku,


lalu bersiap-siap untuk pulang. Lagipula siapa juga yang
masih ingin di sekolah ketika bel pulang sudah berbunyi.

Setelah selesai kubereskan semua bukuku, aku pun


beranjak dari tempat dudukku dan berjalan ke luar kelas.
Melihat hal itu, Revan pun ikut berjalan di belakangku. Ia
terus mengikutiku sampai tiba di depan gerbang sekolah.
Lalu tiba-tiba ia menarik tanganku, dan berkata.

“Shaf, lo pulang sama gua ya. Lo tunggu di sini, gua ambil


mobil gua dulu.” Ucap Revan.

Tanpa menunggu jawaban dariku, Revan sudah setengah


berlari menuju parkiran sekolah. Aku pun menuruti
perkataannya, menunggu di depan gerbang sekolah

62
sampai Revan datang bersama mobilnya. Dan tak lama
aku menunggu, mobil hitam Revan pun sudah tiba tepat di
depanku. Aku langsung membuka pintu depan mobil, dan
dengan cepat menaiki mobil Revan. Aku tak ingin ada
yang melihatku menaiki mobil Revan. Karena aku tak ingin
lagi menjadi bahan perbincangan satu sekolah.

Mobil Revan melaju dengan cepat di jalanan yang cukup


sepi. Sama halnya dengan situasi di dalam mobil saat ini.
Tak ada yang memulai perbincangan. Kami berdua hanya
saling diam. Entah mengapa selalu seperti ini situasinya.

Aku pun memilih untuk melihat ke arah luar melalui


jendela samping mobil. Mengamati pohon-pohon bergerak
seiring melajunya mobil Revan dengan cepat. Mataku
mulai terasa berat, sepertinya aku terlalu terbawa suasana
yang begitu tenang ini. Perlahan aku mulai memejamkan
mataku, namun tiba-tiba Revan mengatakan sesuatu yang
membuatku kembali membuka mata.

“Shaf, Shaf kayaknya hobi lo dari dulu gak pernah


berubah ya. Setiap ada kesempatan untuk tidur pasti lo
bakalan tidur entah di manapun itu.” Ucap Revan sambil
tertawa meledekku.

Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Harusnya aku


kesal pada Revan, namun ada perasaan senang yang
kurasakan dalam hatiku. Aku tidak menyangka kalau
Revan masih mengingat hal itu.

63
“Loh kok lo malah senyum-senyum sendiri, Shaf? Lo
sehat-sehat aja kan?” tanya Revan.

“Ng... nggak kok. Gua... gua nggak apa-apa.” Jawabku


dengan terbata-bata.

Aku yakin saat ini wajahku telah berubah menjadi merah


padam seperti kepiting rebus. Bagaimana kalau Revan
berpikir kalau aku adalah orang yang aneh. Entahlah aku
sudah tak bisa berpikir jernih lagi.

“Shaf...” Panggil Revan.

Aku pun menoleh ke arahnya. Kutunggu selama beberapa


detik, namun Revan tak kunjung membuka suara lagi.
Karena sudah terlanjur penasaran, aku pun
memberanikan diri untuk menanyakannya pada Revan.

“Lo mau ngomong sesuatu?” tanyaku dengan hati-hati.

Ia menoleh kepadaku. Mata kami pun bertemu selama


beberapa detik. Lalu Revan pun tersenyum kepadaku.
Sepertinya ia memang suka sekali menebarkan senyum
manisnya dan membuat orang lain yang melihatnya
terpesona.

“Gua seneng deh lo udah nyaman deket-deket sama gua


lagi.” Ucapnya.

64
Sekarang aku mengerti mengapa Revan menatapku
seperti itu. Dan aku pun juga mengerti arti dari
senyumannya.

Dalam sisa perjalanan menuju rumahku, tak ada lagi


perbincangan di antara aku dan Revan. Kami kembali
diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

***

Saat mobil Revan berhenti tepat di depan rumahku, aku


pun langsung membuka pintu mobil Revan dan bergegas
turun. Namun gerakanku terhenti karena Revan
memanggilku, aku pun menoleh ke arahnya. Tetapi Revan
malah diam dan tak berkata apa pun. Dari gelagatnya aku
bisa mengetahui bahwa Revan terlihat ragu-ragu untuk
mengatakan sesuatu. Akhirnya akulah yang bertanya
padanya.

“Kenapa, Van?” tanyaku.

Revan masih terlihat ragu, sepertinya sangat sulit baginya


untuk mengatakan sesuatu padaku. Raut wajahnya pun
berubah menjadi serius dan terlihat seperti sedang
berpikir. Sebegitu sulitkah untuk mengungkapkan sesuatu
itu.

65
Hatiku mulai berdebar menunggu Revan berbicara. Ada
perasaan sedikit khawatir dalam hatiku. Aku takut kalau
seandainya sesuatu yang akan ia bicarakan itu adalah
suatu hal yang akan mengejutkanku, entah apa itu.

Akhirnya, setelah aku menunggu beberapa menit, Revan


mulai membuka suaranya.

“Hmm... nanti malem lo ada acara nggak, Shaf?” tanya


Revan.

Aku bernapas lega ketika mendengar pertanyaan Revan


barusan. Sebenarnya ini juga agak mengejutkanku, sebab
untuk apa Revan menanyakan hal itu padaku, tetapi
setidaknya ini bukanlah sesuatu yang kupikirkan tadi.

“Emangnya kenapa, Van?” tanyaku balik.

“Ya nggak apa-apa sih, gua cuma mau ngajak lo makan


malem di luar. Lo pasti bosen kan makan malam sendirian
terus. Gimana lo mau nggak?” ucap Revan dengan santai.

Ia sudah tidak terlihat ragu lagi dalam mengatakan itu.


Raut wajahnya pun sudah kembali normal dan terlihat
sangat santai.

“Hmm... yaudah gua mau.” Jawabku.

Setelah mendengar jawabanku, Revan tersenyum puas.


Lalu ia berjanji bahwa ia akan menjemputku pada pukul
19.00 nanti malam. Aku pun menyetujuinya. Tak lama

66
kemudian, mobil Revan kembali melaju dan mulai
menjauh dari rumahku sampai mobilnya menghilang di
persimpangan jalan.

Aku pun masuk ke dalam rumah dan duduk di salah satu


sofa yang ada di ruang tamu. Di situ aku memikirkan kata-
kata Revan tadi. Menurutku ada yang janggal, ketika
Revan berkata kalau aku pasti bosan makan malam
sendirian. Bagaimana ia tahu akan hal itu, apa Revan tahu
kalau kedua orang tuaku tidak ada di rumah selama ini.
tetapi dari mana ia tahu, aku tak pernah menceritakan hal
ini kepada siapa pun.

Kusandarkan tubuhku pada sofa yang kududuki. Lalu aku


pun memejamkan mataku, berusaha untuk menetralkan
lagi pikiranku. Dan di saat itu, tiba-tiba aku teringat
sesuatu. Sontak aku pun kembali membuka mataku dan
kembali duduk tegak.

Aku baru ingat, kalau aku pernah menceritakan ini pada


Thania saat dia bermain ke rumahku, tepat sehari
sebelum dia berangkat ke luar kota. Mungkinkah Thania
yang menceritakan hal itu pada Revan. Tetapi untuk apa,
setahuku juga Thania tak mengenal Revan. Thania hanya
tahu siapa itu Revan, tetapi tak pernah berurusan
dengannya.

67
23 Juli 2019

Aku sedang memperhatikan layar handphoneku yang


berisi pesan dari Thania. Dia berjanji akan datang ke
rumahku nanti siang. Aku senang sekali, sebab Thania
mau menghabiskan waktunya bersamaku di hari
terakhirnya di Jakarta.

Setelah itu, aku pun langsung bergegas untuk mandi.


Biasanya di hari libur seperti ini, aku tidak pernah yang
namanya mandi pagi. Tetapi karena Thania ingin datang
ke rumahku, maka mau tidak mau aku pun harus mandi.
Tak lama kemudian aku pun keluar dari kamar mandi, lalu
aku membereskan kamarku yang terlihat cukup
berantakan. Setelah itu aku turun ke lantai bawah, dan
memberitahu Bibi bahwa temanku akan datang. Tak lupa
aku juga meminta Bibi untuk menyiapkan makanan untuk
Thania.

Tepat pukul 10.00, saat aku sedang duduk di sofa sambil


menonton acara televisi. Aku mendengar suara ketukan
pintu rumahku. Tanpa menunggu lama, aku pun segera
membukakan pintu itu. Aku sudah tahu bahwa itu pasti
Thania. Dan benar saja, saat aku membuka pintu, kulihat
Thania berdiri sambil tersenyum kepadaku.

Aku langsung mengajaknya masuk ke dalam rumahku.


Dan kami pun melewati hari ini dengan begitu banyak hal-

68
hal seru yang kita lakukan dan juga banyak canda tawa
yang mengiringinya.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, kini jam dinding di


rumahku telah menunjukkan pukul 21.00. Thania pun
berpamitan untuk pulang padaku, dan dia memintaku
untuk datang ke bandara esok hari. Aku pun
menyetujuinya. Lalu kuantarkan Thania sampai ke depan
pintu gerbang rumahku. Dan saat kami sedang menunggu
ojek online yang Thania pesan tadi, tiba-tiba Thania
bertanya padaku.

“Shaf, orang tua lo kayak emang sibuk banget ya. Udah


jam segini belum sampe rumah juga. Lo pasti kesepian
kan di rumah cuma berdua sama Bibi terus.” Ucap Thania
dengan lembut.

“Orang tua gua kan tinggal di Singapore.” Ucapku dengan


nada yang datar.

Thania tak menanggapi perkataanku, tetapi dia malah


merangkul pundakku. Lalu dia berkata.

“Tapi masih ada Bibi kan? Jadi lo nggak boleh punya


pikiran kalo lo tuh selalu sendirian, Shaf. Walaupun besok
gua juga pergi, tapi kali ini ada Revan kan yang bisa
jagain lo.” Ucap Thania lagi.

69
Aku tersenyum mendengar ucapan Thania. Dan belum
sempat aku menanggapi perkataannya itu, Thani kembali
mengatakan sesuatu padaku.

“Semua hal yang ada di dunia itu sifatnya sementara,


Shaf. Nggak ada yang abadi. Semuanya datang dan pergi
seiring berjalannya waktu. Jadi lo harus yakinin diri lo, kalo
suatu saat orang-orang yang lo sayang bakalan ada di
samping lo terus. Dan gua harap lo bisa kuat ngejalanin
semua rintangan yang ada dalam hidup lo.” Ucap Thania
panjang lebar.

Entah mengapa Thania berbicara seperti itu, dia seperti


mencoba memberi tahuku sesuatu lewat kata-katany itu.
Tetapi aku tidak bisa mengerti apa maksud semua
perkataan Thania.

***

70
“Life has taught us that love does not
consist in gazing at each other but in looking
outward together in the same direction.”
― Antoine de Sainte

71
Bab 5

Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul 19.00 tepat.


Aku sedang berdiri di depan jendela kamarku, sambil
sesekali melihat ke arah luar. Aku sedang menanti-nanti
kedatangan seseorang, dengan perasaan yang berdebar-
debar. Tak lama kemudian, aku mendengar suara mobil
yang sedang memasuki halaman rumahku. Setelah aku
melihat dari jendela, aku tahu mobil siapa itu. Aku pun
bergegas turun ke bawah, dan menuju ruang tamu untuk
membukakan pintu. Namun saat aku sampai di ruang
tamu, kulihat Bibi sudah membukakan pintu dan terlihat
sosok lelaki yang daritadi kutunggu-tunggu. Ya, ia adalah
Revan. Saat mengantarku pulang sekolah tadi siang,
Revan mengajakku untuk makan malam bersama hari ini.
Aku pun menerimanya, walaupun ada pertanyaan yang
sedikit mengganggu dalam benakku.

Setelah berpamitan dengan Bibi, aku dan Revan pun


langsung menaiki mobil dan pergi menjauh dari rumahku.
Aku tak tahu Revan akan mengajakku ke mana, sebab ia
belum mebuka suara sedikit pun sejak tadi. Akhirnya aku
memutuskan untuk bertanya kepadanya. Namun sebelum
aku sempat bertanya, Revan lebih dulu bertanya
kepadaku.

72
“Mau makan apa, Shaf?” tanya Revan tanpa mengalihkan
pandangannya dari jalanan di depan.

“Hmm... terserah lo aja deh.” Balasku.

“Oke deh, tapi berarti lo nggak boleh protes ya.” Ucapnya.

Aku terkekeh. Sikap Revan padaku saat ini persis sekali


dengan Revan kecil. Syukurlah aku bisa kembali
menghabiskan waktu dan mengukir kenangan baru
bersama Revan. Entah ini akan bertahan lama atau tidak,
yang jelas aku hanya ingin menikmati waktu-waktu yang
berharga ini. Bagaimana ke depannya, aku hanya
berharap bahwa Revan tidak akan pernah pergi lagi dari
hidupku.

Kupandang Revan yang sedang fokus melihat ke arah


jalanan di depannya. Kuingat lagi bagaimana ia dengan
tiba-tiba dekat-dekat denganku seakan kita adalah teman
dekat. Kuingat lagi saat ia membuatku malu dengan
dialognya bersama supir angkot waku itu. Kuingat lagi
bagaimana ia membuat heboh satu sekolah karena
mendekatiku di kantin. Kuingat lagi ketika ia menolongku
dari dua orang anak buah Ranti. Dan kuingat lagi
bagaimana ia bilang padaku bahwa ia takkan membuatku
kecewa lagi. Tanpa sadar akupun tersenyum. Dan pada
saat itu, Revan menoleh ke arahku.

“Lo kenapa, Shaf? Kok senyum-senyum sendiri gitu? Kan


gua udah pernah bilang sama lo. Gua itu emang ganteng,

73
Shaf. Tapi lo nggak usah berlebihan lagi ngeliatin muka
gua, sambil senyum-senyum lagi.” Ucap Revan sambil
menahan tawa.

“Ng... nggak kok. Gua nggak senyum-senyum sendiri.”


Balasku.

Revan tak menjawab apa-apa lagi, karena ia sedang


berusaha menahan tawanya. Sudah berapa kali revan
membuatku malu di hadapannya. Mau ditaruh di mana
lagi wajahku ini. Aku pun hanya bisa menutupi wajahku
dengan kedua tanganku.

“Hahaha... nggak usah malu-malu gitu lagi, Shaf. Gua


nggak bermaksud ngetawain lo kok. Gua cuma keinget
sikap lo waktu kita kecil dulu aja. Persis banget kayak tadi.
Ternyata lo nggak berubah ya, Shaf.” Ucap Revan.

Aku membuka kedua tanganku yang tadi menutupi


wajahku. Aku tidak salah dengar kan, barusan Revan
benar-benar mengatakan hal itu. Revan bilang bahwa ia
teringat akan masa kecil kita. Sebuah perasaan aneh pun
merasuki hatiku saat itu. Ada rasa hangat di dalam hatiku
dan entah mengapa hatiku berdetak tak karuan. Perasaan
macam apa ini.

“Shaf... Shaf, lo marah ya sama gua? Kok lo diem aja sih


daritadi.” Ucap Revan.

74
Aku pun tersadar dari lamunanku. Dan menoleh ke arah
Revan yang sedang menatapku juga.

“Eh... nggak kok, gua nggak marah.” Ucapku sambil


tersenyum kepadanya.

***

Mobil Revan tiba di sebuah taman yang cukup ramai


malam itu. Ia melihat-lihat sekitar, mencari lahan kosong
untuk memarkirkan mobilnya. Akhirnya dapatlah tempat di
dekat air mancur yang dihiasi lampu berwarna-warni. Di
sekelilingnya kulihat banyak pasangan yang sedang
duduk bersama sambil mengobrol santai.

Aku pun turun dari mobil Revan, dan berjalan mendekati


air mancur itu sambil menunggu Revan selesai
memarkirkan mobilnya. Aku seperti tersihir dengan kerlap-
kerlip cahaya yang dihasilkan air mancur itu. Ia seperti
primadona yang menjadi pusat perhatian malam itu.
Kupikir pasti semua orang sangat senang melihatnya. Ia
begitu mengaggumkan dan memikat.

Aku menoleh ketika ada seseorang yang memegang


bahuku, dan itu adalah Revan. Ia tersenyum padaku.

“Lo suka ya ngeliat air mancur ini?” tanya Revan.

75
Aku hanya menganggukkan kepalaku dan kembali
mengalihkan perhatianku kepada air mancur itu. Aku ingin
melukiskan keindahan air mancur itu dalam memoriku.
Karena tidak selamanya aku dapat melihatnya bersinar
seperti itu. Saat aku menengok ke arah Revan, kulihat ia
pun ikut terlarut dalam keindahan air mancur itu. Sampai
akhirnya, Revan mengajakku untuk menuju tempat makan
yang ia pilih.

Sampailah kami di sebuah tenda yang tak begitu besar. Di


sekeliling tenda itu ditutupi spanduk-spanduk yang tertulis
menu makanan yang mereka sajikan. Dan di dalam tenda
itu terdapat 4 buah meja yang lumayan besar, disertai
kursi dengan jumlah yang cukup banyak.

Revan menarik tanganku untuk menuju tempat duduk


yang kosong. Lalu ia memanggil seorang pramusaji yang
sedang melayani pembeli di meja sebelah. Revan
langsung memesan makanan untukku dan dirinya tanpa
melihat daftar menu. Sepertinya Revan sudah sering
datang ke sini, sampai-sampai ia hafal menu di sini.

Saat Revan sedang sibuk memesan makanan, aku


mengalihkan pandanganku ke sekitar. Tempat ini begitu
ramai dikunjungi pembeli, mereka sampai rela mengantri
untuk mendapatkan tempat duduk yang selalu terisi
penuh. Padahal tempat ini sangat sederhana, tetapi
semua orang silih berganti terus bedatangan ke tempat
ini. Pasti makanan di sini sangat enak, sampai membuat

76
banyak orang mengantri untuk mendapatkannya.
Pandanganku teralihkan ketika Revan berbicara sesuatu.

“Shaf, nggak apa-apa kan makannya di tempat kayak


gini?” tanya Revan.

“Nggak apa-apa kok. Gua bukan tipe orang yang milih-


milih tempat makan.” Balasku.

“Bagus deh, lagian makanan di sini tuh enak banget. Lo


liat sendiri kan, orang-orang banyak yang rela ngantri buat
makan di sini. Dan gua udah pesenin lo menu yang paling
enak di sini.” Ucap Revan lagi.

Revan tersenyum kepadaku. Aku pun membalas


senyumannya. Saat itu pandangan kami bertemu selama
beberapa detik. Lalu ia mengalihkan pandangannya
sebentar, dan kemudian ia berkata lagi.

“Dulu lo pernah bilang ke gua, Shaf. Apa pun yang gua


suka pasti lo juga akan suka. Jadi malam ini gua mau
berbagi kesukaan gua sama lo.” Ucap Revan dengan
lembut.

Aku tertegun mendengar kata-kata Revan barusan. Aku


semakin yakin bahwa Revan benar-benar masih
mengingat kenangan masa kecil kita. Aku pun tak bisa
membohongi diriku sendiri bahwa kini perasaan bahagia
telah menyelimuti seluruh hatiku, dan tanpa sadar aku pun
tersenyum.

77
Tak lama kemudian, pesanan kami pun datang. Di
depanku telah ada sepiring ayam bakar berserta lalapan
yang kelihatannya sangat segar. Tak lupa juga ada
semangkok kecil sambal yang begitu menggugah selera.
Ditambah sepiring nasi putih hangat yang masih
mengeluarkan asap. Aku sudah tak sabar untuk
menyantap ini semua.

Tak lupa aku membaca doa terlebih dahulu, lalu tanpa


berlama-lama lagi aku pun langsung menyantap hidangan
di depanku. Aku begitu menikmati makanan ini. Benar
kata Revan kalau makanan di sini sangat enak. Dan
kulihat Revan pun begitu lahap menyantap makanannya.
Kami sama-sama menikmati makanan ini, sampai tidak
ada perbincangan di antara kami.

Makananku pun akhirnya habis, lalu aku mencuci


tanganku dalam sebuah wadah kecil berisi air. Dan
menyeruput es jeruk yang berada di depanku. Perutku
terasa sangat penuh saat ini. Rasanya aku tak bisa
bangkit dari tempat dudukku.

Selesai makan, aku dan Revan pun langsung


meninggalkan tempat itu. Membiarkan orang lain yang
sudah menunggu lama menduduki tempat duduk kami

***

78
Kami berjalan beriringan sambil menikmati dinginnya
udara malam ini. Kini aku dan Revan sedang berada di
sebuah taman yang cukup ramai didatangi oleh para
pengunjung yang sebagian besar adalah pasangan. Aku
baru mengetahui kalau ada taman seindah ini di daerah
rumahku. Tanaman-tanaman yang ada di sini sepertinya
di rawat dengan baik dan di tata sedemikian rupa,
sehingga membuat seseorang nyaman berada di taman
ini. Warna-warni bunga seruni yang ditanam di sini pun
menambah kesan indah bagi taman ini. Ditambah lagi tak
terlihat ada sampah yang berserakan, semuanya terlihat
bersih dan rapi.

“Bagus kan tamannya? Gua suka banget ke sini kalo gua


lagi butuh waktu untuk sendiri. Gimana lo suka nggak,
Shaf?” tanya Revan.

“Iya, gua suka kok.” Jawabku singkat.

“Lo beneran suka kan? Bukan gara-gara gua suka jadi lo


ikutan suka deh?” ucap Revan sambil tersenyum
meledekku.

Aku mengabaikan perkataan Revan barusan. Aku tak tahu


harus menjawab apa. Sejak tadi ia selalu saja membuatku
malu seperti ini di hadapannya.

“Kita duduk di situ yuk, Shaf.” Ajak Revan sambil


menunjuk sebuah bangku yang tak jauh dari kami.

79
Aku pun mengikuti langkah Revan yang berjalan menuju
bangku yang ia tunjuk tadi. Dari sini aku dapat melihat
indahnya langit malam yang dihias dengan kerlap-kerlip
cahaya bintang. Jarang sekali aku melihat langit malam
yang dipenuhi dengan bintang seperti ini. Sepertinya
malam ini akan menjadi malam yang paling indah yang
belum pernah kurasakan sebelumnya.

Malam semakin larut, Revan pun mengajakku untuk


pulang. Kami berjalan menuju tempat di mana mobil
Revan berada. Namun saat di perjalanan menuju ke sana,
aku melihat ada penjual gulali yang ramai dikelilingi para
pengunjung taman ini. Aku pun tertarik untuk melihatnya
juga, jadi kuajak Revan untuk pergi ke sana.

Aku berhasil masuk ke dalam kerumunan itu dan melihat


sang penjual gulali yanng sedang memperlihatkan
keahliannya dalam membuat gulali menjadi berbagai
macam bentuk. Membuat para penonton bersorai dan
bertepuk tangan melihat kepiawaian sang penjual itu. Jika
dipikir ini adalah hal yang sangat sederhana, tetapi
kesederhanaan itulah yang dapat membuat banyak orang
bahagia karenanya.

“Lo mau beli, Shaf?” tanya Revan.

“Hmm... nggak usah deh, lagian gua udah kenyang.”


Jawabku.

80
Sebenarnya aku sangat suka sekali dengan gulali. Sebab
tekstur gulali begitu lembut dan saat dimakan langsung
terasa lumer di mulut. Ditambah rasanya yang manis
begitu menyegarkan mulut.

Kulihat Revan berjalan mendekati sang penjual gulali itu.


Ia mengambil gulali dengan bentuk hati berwarna merah
muda. Kemudian mengambil beberapa lembar uang dari
dalam dompetnya dan diberikannya uang itu pada sang
penjual gulali.

Revan berjalan kembali ke arahku. Lalu ia memberikan


gulali yang baru saja dibelinya itu kepadaku.

“Nih buat lo makan di rumah.” Ucap Revan sambil


menyodorkan gulali yang ia pegang.

Aku pun menerima gulali itu. Dan tak lupa juga aku
mengucapkan terima kasih pada Revan.

Lalu kami kembali melanjutkan perjalanan kami. Selama


di perjalanan itu, mataku selalu tertuju pada gulali yang
Revan berikan tadi . Aku tak tahan ingin memakan gulali
itu. Akhirnya aku bukalah gulali itu dan mulai
memakannya.

“Katanya udah kenyang, tapi tetep dimakan juga.” Ucap


Revan sambil menahan tawanya.

Aku hanya menanggapi perkataan Revan dengan sebuah


senyuman. Awalnya Revan hanya memperhatikanku

81
memakan gulali, namun akhirnya ia juga ikut-ikutan
memakan gulali ini.

Sesampainya di tempat mobil Revan berada, aku


langsung masuk ke dalam mobil begitupun Revan. Ia
langsung menyalakan mesin mobilnya dan melajukan
mobilnya dengan cepat di tengah sunyinya malam itu.
Hingga tak butuh waktu lama, mobil Revan sudah berhenti
di depan rumahku.

Aku melepaskan seat belt yang kupakai dan mengambil


tasku yang berada di bangku belakang. Setelah itu aku
pun mengucapkan terima kasih pada Revan karena telah
mengajakku makan malam bersama dan memberikan
kenangan yang manis malam ini. Ia pun membalasnya
dengan senyuman.

Dan saat aku membuka pintu mobil, Revan menarik


tanganku lalu ia mengecup punggung tanganku. Aku
terdiam. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa. Ini
terlalu tiba-tiba.

“Tidur yang nyenyak, Putri Cantik. Makasih ya udah mau


diajak jalan-jalan. Jangan lupa juga sikat giginya.” Ucap
Revan sambil memegang tanganku.

Aku hanya diam dan menatapnya sampai ia melepaskan


tanganku. Tak menunggu lama lagi, aku pun bergegas
turun dari mobilnya dan berlari menuju pintu masuk
rumahku. Setelah berhasil membuka pintu yang terkunci

82
itu, aku langsung menutup kembali pintu itu. Namun aku
tetap berdiri di depan pintu dan bersandar pada pintu itu.
Aku sedang berusaha menetralkan detak jantungku yang
tak beraturan ini. Perasaan apa ini sebenarnya, dan apa
yang dilakukan Revan tadi. Aku benar-benar tidak percaya
dengan kejadian barusan. Mungkinkah perasaanku
terhadap Revan 8 tahun yang lalu kembali lagi.

***

83
“Meeting you was fate, becoming your
friend was choice, but falling in love with
you was completely out of my control.”
― Anonymous

84
Bab 6

Setelah kejadian malam itu, Revan semakin terang-


terangan mendekatiku. Saat di sekolah pun ia tak ragu-
ragu lagi untuk mengajakku ke kantin bersamanya.
Membuat semua orang yang berada di kantin menjadikan
kami sebagai pusat perhatian.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, Revan juga berani


menggandeng tanganku ketika kami sedang berjalan di
koridor menuju kelas. Aku tak habis pikir bagaimana bisa
ia berbuat seperti itu dan denganya santainya berjalan
melewati puluhan pasang mata yang melihat sinis ke arah
kami. Bukan hanya murid-murid yang ada di koridor, tetapi
juga murid-murid yang berada di dalam kelas. Mereka
semua memasang tatapan menyeramkan. Bahkan aku
pun tak berani mengangkat kepalaku, sebab tatapan
mereka semua begitu mematikan.

Tetapi tak sedikit juga yang terang-terangan


mengungkapkan bahwa mereka benci padaku. Ya, wajar
saja, secara orang yang mendekatiku itu adalah seorang
Revan, idola seluruh siswi di sekolah ini. Namun aku
hanya berusaha untuk tak begitu mempedulikannya,
sebab kata-kata Thania waktu itu terus terngiang-ngiang
di kepalaku dan menjadikan sebuah motivasi bagi diriku.

85
Selain itu juga, kini ada Revan yang selalu ada di
sampingku, yang selalu ada di saat aku
membutuhkannya, dan ia dapat membuatku merasa
dilindungi.

Setiap harinya pun kini Revan selalu mengantar-jemputku,


karena Revan bilang kalau ia khawatir aku naik angkutan
umum sendirian. Ya, Revan sudah tidak canggung lagi
menunjukkan perhatiannya padaku. Aku pun merasa
nyaman diperlakukan seperti itu.

Dan seperti biasa, pagi ini aku sedang berada di dalam


mobil Revan yang sedang menuju sekolah. Suasana di
dalam mobil pun kini sudah tidak canggung seperti dulu,
kini Revan banyak mengajukan pertanyaan padaku
walaupun itu adalah pertanyaan yang sepele. Seperti
pertanyaan yang ia ajukan saat ini.

“Shaf, lo nggak lupa mandi kan pagi ini?” tanya Revan


dengan memasang muka serius.

Aku mengernyitkan keningku. Mengapa Revan


menanyakan hal itu, apa Revan merasa kalau aku ini bau.
Tetapi sebelum berangkat tadi, aku tidak lupa
menyemprotkan minyak wangi terlebih dahulu.

“Emangnya kenapa, Van? Gua bau? Perasaan tadi gua


nggak lupa pake minyak wangi.” Ucapku.

86
Mendengar jawabanku lantas Revan pun tertawa
terbahak-bahak.

“Kok lo malah ketawa sih. Gua nanya serius tau, siapa tau
gua kurang banyak pake minyak wanginya.” Ucapku lagi.

Namun Revan tak berhenti tertawa. Membuatku kesal


padanya. Akhirnya aku pun memilih untuk melihat
padatnya jalanan pagi ini saja. Sampai akhirnya Revan
berhenti tertawa dengan sendirinya, karena perutnya
sakit.

“Yah Shafa jangan ngambek dong. Gua kan cuma


bercanda. Lo udah wangi banget kok, dari jarak 100 meter
aja udah kecium wanginya.” Ucap Revan.

Kuabaikan perkataan Revan barusan, moodku sudah


terlanjur hancur dibuatnya. Apa maksudnya bilang kalau
dari jarak 100 meter wangiku sudah tercium. Bilang saja
kalau aku terlalu berlebihan menyemprotkan minyak
wangi. Dan kalau tidak suka dengan wanginya, tinggal
bilang saja apa susahnya. Pagi-pagi sudah merusak mood
orang saja.

Akhirnya selama sisa perjalanan aku hanya diam dan


menikmati pemandangan indah di luar jendela. Tak sekali
pun aku melihat ke arah Revan. Entah mengapa aku
merasa sangat kesal padanya karena pernyataan
konyolnya itu.

87
***

Sesampainya di sekolah, kulihat sudah banyak murid


yang datang ke sekolah. Suasana halaman sekolah pun
terlihat cukup ramai pagi ini. Revan segera melajukan
mobilnya menuju parkiran sekolah dan mencari tempat
kosong untuk memarkirkan mobilnya. Dan saat mobil
Revan telah benar-benar berhenti, aku langsung
membuka pintu mobil dan turun dari mobil Revan.

Dengan cepat, aku berjalan menuju kelasku tanpa


menunggu Revan. Padahal dari belakang, aku dapat
mendengar dengan jelas Revan terus-menerus meneriaki
namaku.

“Shafa... Shafa, tungguin gua dong.” Teriak Revan.

Namun aku mengabaikannya, sebab aku masih kesal


padanya. Sebenarnya percuma saja aku meninggalkan
Revan di parkiran, aku dan Revan kan satu kelas,
otomatis aku akan bertemu lagi dengannya saat di kelas.

Tetapi tak kusangka, saat aku akan menaiki tangga tiba-


tiba ada yang menarik tanganku. Aku sedikit terkejut
dibuatnya, namun hatiku tenang setelah aku mengetahui
siapa orang yang menarik tanganku itu. Kevin. Ada urusan
apa lagi dia denganku.

88
“Shaf, gua perhatiin kayaknya lo makin deket ya sama
Revan. Lo pasti nggak percaya sama kata-kata gua waktu
itu kan, makanya lo malah makin deket sama Revan.
Shaf, gua tuh cuma mau bantuin lo biar nggak ketipu
sama tingkah manisnya Revan yang palsu itu.” Ucap
Kevin panjang lebar.

Aku tak terima mendengar perkataan Kevin yang seperti


itu. Kenapa dia selalu berkata yang tidak-tidak tentang
Revan.

“Gua tau maksud lo baik, tapi gua nggak bisa percaya gitu
aja sama lo. Lo bilang kalo Revan itu punya maksud lain
deketin gua kan, tapi lo bisa nggak buktiin itu ke gua?”
jawabku.

Tanpa menunggu jawaban dari Kevin, aku langsung pergi


meninggalkannya dan kembali berjalan menuju kelas.
Walau aku berkata seperti itu pada Kevin, tetapi
sejujurnya aku masih memikirkan perkataan Kevin yang
membuatku sedikit ragu dengan Revan. Pikiranku dengan
jelas mengatakan bahwa apa yang dikatakan Kevin
sangatlah tidak dapat dipercaya, namun hatiku merasa
bahwa memang ada sesuatu yang disembunyikan oleh
Revan. Sebab sudah banyak kejanggalan-kejanggalan
yang Revan tunjukkan padaku. Entah siapa yang harus
aku percaya.

Sesampainya di kelas, aku langsung menuju tempat


dudukku, dan mencoba menjernihkan pikiranku. Aku tak
89
ingin memikirkan perkataan Kevin lagi. Sudah cukup, aku
tak suka dengan teka-teki seperti ini. Tak lama kemudian,
kulihat Revan masuk ke dalam kelas dan dengan
santainya ia berjalan ke arahku, lalu duduk di sebelahku.

“Shaf, lo marah ya sama gua? Gua minta maaf deh kalo


bercandaan gua keterlaluan. Tapi lo jangan diemin gua
kayak gini dong.” Ucap Revan sambil memegang
tanganku.

Belum sempat aku menjawab ucapan Revan barusan.


Tiba-tiba sebuah suara yang tidak mengenakkan
terdengar di telingaku..

“Pagi-pagi udah bucin aja. Lagian jadi cewek kok caper


banget, sok-sokan marah biar Revan ngerasa bersalah
dan nggak mau jauh-jauh dari lo kan.” Ucap salah seorang
siswi di antara sekumpulan orang yang sedang duduk tak
jauh dariku.

Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya, namun aku


tak bisa membohongi diriku kalau kata-kata itu begitu
menyakitkan. Aku pun membenamkan wajahku, sebab
mataku sudah mulai terasa panas. Mengapa aku masih
seperti ini, mengapa aku selalu ingin menangis
mendengar perkataan semacam itu.Dan dapat kurasakan
tangan Revan membelai lembut rambutku. Lalu ia berbisik
di telingaku.

90
“Nggak usah didengerin, Shaf. Ada gua di sini, jadi lo
tenang aja ya.” Bisik Revan.

Diam-diam aku pun tersenyum. Rasanya begitu hangat


mendengar Revan berkata seperti itu. Hatiku pun menjadi
tenang setelah Revan berkata seperti itu.

Dan karena itu juga aku menjadi benar-benar yakin bahwa


aku bisa mempercayai Revan. Tak kupedulikan lagi
perkataan Kevin saat di tangga tadi. Sebab aku sendirilah
yang selama ini merasakan kebaikan Revan kepadaku.

Revan yang kadang menyebalkan, namun ia bisa


membuatku merasakan bahagia dalam hidupku. Aku yakin
bahwa kembalinya Revan ke dalam hidupku adalah
sebuah takdir yang akan membawaku ke dalam
kebahagiaan. Dan akan menghapuskan semua kenangan
buruk dalam hidupku.

Mungkin memang benar kata orang, bahwa kebahagiaan


itu didapat dengan susah payah dan melalui berbagai
cobaan yang datang silih berganti.

***

Saat ini aku sedang duduk di salah satu bangku yang ada
di perpustakaan sekolahku. Di depanku sudah tertumpuk

91
berbagai macam novel yang akan kubaca hari ini. Aku
memang senang menghabiskan waktu di perpustakaan,
jika ada jam pelajaran yang kosong. Namun kali ini
berbeda, karena Revan juga ikut denganku ke sini.

Berbeda denganku yang sudah mulai terlarut dalam


suasana novel, kulihat Revan masih sibuk mencari buku
apa yang akan ia baca. Aku tertawa melihat ekspresi
Revan yang sedang kebingungan. Namun aku tak tega
melihatnya seperti itu, lantas aku pun menghampirinya
dan merekomendasikan sebuah novel yang sangat
kusukai.

“Masih belum ketemu juga buku mana yang mau lo


baca?” tanyaku pada Revan saat aku sudah berada di
sampingnya.

Revan tampak sedikit terkejut akan kedatanganku yang


tiba-tiba.

“Iya nih, Shaf. Lo kan tau gua bukan tipe orang yang suka
baca novel. Gimana gua bisa tahu novel mana yang
menarik kalo pilihannya sebanyak ini.” Jawab Revan.

Aku terkekeh mendengar jawaban Revan. Tadi saat aku


ingin pergi ke perpustakaan seorang diri, dengan tegas ia
berkata kalau ia akan ikut denganku. Revan juga bilang
bahwa ia juga ingin membaca buku di perpustakaan.
Tetapi saat sampai di sini, Revan hanya sibuk memilih
buku dan menghabiskan waktu sekitar 30 menit. Lalu

92
Revan berkata kalau ia tidak suka membaca buku. Lantas
untuk apa ia datang ke sini.

“Makanya jangan baca buku pelajaran terus, Revan.


Sekali-kali tuh lo juga harus baca buku-buku fiksi juga.
Lagian apa sih serunya baca buku pelajaran, isinya nggak
ada yang menarik, ngeliat covernya aja udah males.”
Ucapku.

Lalu aku menyusuri rak-rak yang penuh dengan buku-


buku fiksi. Kucari dengan teliti sebuah novel yang sudah
terlintas di kepalaku. Cukup sulit untuk menemukannya,
karena begitu banyak cover novel lain yang mirip dengan
novel itu. Layaknya mencari jarum dalam tumpukan
jerami. Membutuhkan cukup banyak waktu sampai
akhirnya aku menemukan novel itu. Lalu kuberikan novel
itu kepada Revan.

“Lo baca yang ini aja dulu. Ceritanya nggak begitu rumit
tapi menarik banget kok. Dan kayaknya sih ini cocok
dibaca sama pemula kayak lo.” Ucapku yang diselingi
dengan tawa.

“Oke, gua bakalan baca novel ini sampai habis. Tapi kalo
menurut gua ceritanya nggak seru. Lo harus traktir gua ya,
Shaf.” Ucap Revan dengan percaya diri.

“Udah gua bantuin cari novel yang bagus juga, malah gua
yang dimintain traktiran. Harusnya tuh lo yang traktir gua,
Van.” Balasku.

93
Namun Revan hanya membalasnya dengan tertawa
pelan, lantas ia pergi menuju tempat duduk. Lalu Revan
mulai membaca novel itu, halaman demi halaman ia baca
dengan sangat serius. Terkadang kulihat ia tertawa
sendiri, entah apa yang lucu dari cerita itu. Dan Revan
juga seringkali bergumam tidak jelas, seperti sedang
marah-marah dengan seseorang. Kubiarkan Revan
terlarut dalam suasana di dalam novel yang sedang ia
baca. Aku tak ingin mengganggunya sedikit pun.

***

Hampir 3 jam aku dan Revan berada di perpustakaan,


kami terlalu asyik membaca novel sampai tak mendengar
bel pulang yang telah berbunyi sejak tadi. Akhirnya aku
dan begitu juga Revan memutuskan untuk meminjam
beberapa novel yang belum sempat dibaca.

Kami pun bergegas menuju kelas untuk mengambil tas,


sebelum pintu-pintu kelas dikunci oleh petugas
kebersihan. Dan selama itulah, Revan terus mengatakan
betapa menyenangkannya membaca novel. Maklum saja,
ini adalah pengalaman pertamanya membaca novel.

“Ternyata seru juga ya baca novel. Alur ceritanya susah


ditebak, terus bisa bikin emosional kita naik turun. Nggak

94
nyangka ada orang yang bisa buat cerita sebegitu
bagusnya.” Ucap Revan terkagum-kagum.

“Biasanya penulis-penulis novel itu juga dapet ide cerita


dari permasalahan-permasalahan yang ada di sekitarnya.
Makanya banyak orang yang gampang suka baca novel,
sebab terkadang mereka merasa kalo cerita itu mirip
dengan kisah hidup mereka.” Jelasku pada Revan.

Lalu Revan kembali berceloteh panjang lebar, namun aku


hanya menanggapinya dengan sesekali mengangguk atau
hanya sekedar mengiyakan pertanyaannya.

Untunglah saat kami sampai, pintu kelas masih terbuka


lebar. Dengan segera aku dan Revan pun mengambil tas
masing-masing dan kembali berjalan menuju parkiran
sekolah. Aku tak habis pikir, Revan masih saja setia
dengan celotehan-celotehannya itu. Ia terdengar seperti
anak kecil yang sedang belajar bicara. Tak henti-hentinya
Revan berbicara, aku pun mulai bosan menanggapinya.
Namun aku tak tahu bagaimana cara untuk
menghentikannya.

Dan akhirnya Revan pun menghentikan celotehannya itu


ketika ada sebuah suara yang memanggil namanya. Aku
dan Revan pun langsung mencari sumber suara itu.
Terlihat Ranti dan beberapa orang temannya sedang
berjalan mendekat ke arahku dan Revan.

95
“Kayaknya gua liat-liat lo berdua makin lengket aja ya.
Gua nggak ngerti sama jalan pikiran lo, Van. Apa sih
hebatnya cewek kayak dia ini. Yang bisanya cuma pura-
pura lemah biar banyak cowok yang kasihan sama dia.”
Ucap Ranti panjang lebar.

Aku tak mengerti maksud ucapan Ranti. Aku merasa tidak


mempunyai masalah dengannya. Sebab semenjak
kejadian tahun lalu, aku selalu berusaha untuk tidak
mendekati hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Lalu
mengapa tiba-tiba hari ini dia berbicara seperti itu.

Revan hanya diam dan memperhatikan Ranti dengan


wajahnya yang serius. Ia tak berkata sedikit pun,
membuatku bingung harus melakukan apa. Sampai tiba-
tiba mendorong tubuhku, dan membuat jatuh terduduk di
lantai.

“Lo tuh maunya sama siapa sih. Lo udah berhasilkan


deket sama Revan. Terus kenapa lo masih aja deketin
Kevin, lo belum puas sama apa yang gua lakuin ke lo
tahun lalu? Berani-beraninya lo masih deketin dia,
padahal gua udah ngasih peringatan buat lo.” Ucap Ranti
dengan amarah yang meluap-luap.

Aku masih terduduk di lantai, dengan Revan di sampingku


yang berusaha melindungiku dari amarah Ranti.

96
“Lo bisa nggak sih kalo ngomong baik-baik. Gimana Kevin
mau suka sama lo, kalo sifat lo aja nggak pernah
berubah.” Ucap Revan pada Ranti dengan tegas.

Ranti tampak kesal mendengar ucapan Revan. Dia


memang paling tidak suka jika harus berurusan dengan
Revan. Sebab dia tahu, pasti Revan dapat dengan mudah
membungkam mulutnya.

Lalu Ranti terlihat sibuk dengan handphone yang dia


pegang, dia seperti sedang mencari sesuatu. Tak lama
kemudian dia memberikan handphone itu pada Revan.

“Gua juga nggak akan berulah, Van. Kalo seandainya


cewek ini nggak deketin Kevin.” Ucap Ranti sambil
menunjukku.

Aku tak tahu apa yang Ranti tunjukkan pada Revan


melalui handphone itu. Namun setelah melihat sesuatu itu,
raut wajah Revan berubah menjadi serius dan ia
menatapku dengan sebuah tatapan yang tidak
kumengerti. Dengan cepat Revan mengembalikan
handphone itu pada Ranti. Dan langsung menarik
tanganku untuk pergi menjauh dari Ranti dan teman-
temannya.

Sampai di parkiran ia langsung menyuruhku untuk masuk


ke dalam mobilnya. Ekspresi Revan benar-benar berubah
tak seperti biasanya. Ia terlihat sangat kesal padaku atau
mungkin orang lain, entahlah aku tidak tahu pasti. Namun

97
dari sikapnya kepadaku saat ini, sepertinya Revan benar-
benar kesal padaku. Ia sama sekali tak mengajakku
berbicara di sepanjang jalan menuju rumahku.

Aku ingin bertanya pada Revan tentang apa yang


diperlihatkan oleh Ranti tadi. Namun entah mengapa aku
menjadi takut padanya, bahkan untuk menengok ke
arahnya pun aku tak berani. Alhasil selama perjalanan itu
aku hanya diam begitu pun Revan. Tetapi ketika mobilnya
sudah berhenti di depan rumaku, tepat sebelum aku
benar-benar turun dari mobilnya, Revan berkata sesuatu
padaku

“Gua nggak suka lo deket-deket sama Kevin.” Ucapnya


pelan.

Aku sempat menengok sebentar ke arahnya, namun


dengan cepat aku segera turun dan menutup pintu mobil
Revan. Membiarkan ia pergi menjauh dari pandanganku.
Apakah mungkin jika Revan cemburu melihat aku dekat
dengan Kevin, dan itulah penyebab ia kesal padaku.
Entahlah aku tak mau mengambil kesimpulan terlalu
cepat.

***

98
“Waiting is painful. Forgetting is painfuk.
But not knowing which to do is the worse
kind of suffering.”
― Paulo Coelho

99
Bab 7

Tak terasa sudah hampir 6 bulan aku terbiasa hidup


sendiri, hanya ada Bibi yang menemaniku. Aku sudah
terbiasa dengan sepinya suasana rumah saat aku bangun
tidur begitu pun saat aku akan tidur. Aku sudah terbiasa
duduk sendiri di meja makan, menyantap masakan Bibi
sambil membayangkan bagaimana rasanya jika ada
mama dan papa di sini. Aku sudah terbiasa menghadapi
masalah sendiri, tanpa harus bersembunyi di balik
punggung mama lagi. Bahkan karena aku sudah terbiasa
melakukan semuanya sendirian, aku terkadang lupa
bahwa aku masih memiliki kedua orang tua.

Sebelum kedua orang tuaku menetap di Singapore,


mereka berjanji padaku bahwa mereka akan sering pulang
ke Jakarta untuk melihat keadaanku di sini. Namun
selama hampir 6 bulan ini, belum pernah sekali pun mama
atau papa pulang ke rumah ini. menanyakan kabarku
lewat telepon atau chat pun tidak pernah mereka lakukan.
Sebegitukah sibuknya mereka dengan pekerjaannya itu,
bahkan satu menit pun tak mereka luangkan waktu
untukku.

Kini aku sedang duduk di sebuah bangku yang ada di


balkon kamarku. Di tanganku ada sebuah kalender yang
sudah penuh dengan coretan spidol. Ya, akulah yang
100
mencorat-coret kalender itu. Kutandai setiap tanggal yang
tertera pada kalender itu untuk menghitung sudah berapa
lama kedua orang tuaku tak mengunjungiku.

Sebenarnya hal itu malah membuatku semakin kecewa,


karena aku sadar bahwa sudah banyak sekali tanggal
yang kucoret, namun orang tuaku tak kunjung datang ke
sini. Sampai kapan aku harus menunggu mereka di sini.
Apa aku yang harus mengunjungi mereka di sana.

Walau ada rasa kecewa dalam hatiku, namun selama 6


bulan aku hidup sendirian ini aku banyak merenungkan
segala hal. Dan kalau boleh jujur, sebenarnya aku sangat
merindukan Mama dan Papa. Aku sadar bahwa mereka
adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku.
Merekalah yang telah membesarkanku dari kecil.
Senantiasa dengan sabar mengajariku untuk dapat
membedakan mana hal yang baik dan buruk. Mereka juga
telah bekerja keras mencari uang untuk membiayai
seluruh kebutuhan hidupku.

Tetapi aku malah tidak suka dengan mereka dan


terkadang mengabaikan mereka, setelah apa yang
mereka korbankan untukku. Mereka sudah lelah
mengurusi pekerjaan, tetapi aku malah menuntut mereka
untuk bisa mengertiku, padahal aku sendiri pun tak bisa
mengerti kondisi mereka.

Tuba-tiba kudengar suara mobil memasuki halaman


rumahku. Aku pun melihat ke arah halaman untuk
101
mengetahui suara mobil siapa itu. Dan terlihat sebuah
mobil Pajero putih dengan plat nomor yang dapat kukenali
sedang memasuki halaman rumahku. Mataku terbelalak
melihatnya. Lantas aku pun segera berlari dengan cepat
menuju lantai bawah untuk memastikan perkiraanku itu.

Sesampainya aku di lantai bawah, kulihat sosok pria dan


wanita sedang membawa masuk koper-koper yang
berukuran cukup besar ke dalam rumah. Mereka adalah
orang yang sudah begitu lama kunanti-nanti
kedatangannya. Tak menunggu lama lagi, aku pun
langsung memeluk wanita yang terlihat semakin tua itu.
Sudah banyak kerutan yang terlihat di wajah cantiknya.
Sepertinya banyak sekali yang dia pikirkan, hingga
membuat kerutan-kerutan itu muncul.

Tak mampu kutahan lagi, aku pun menangis


dipelukannya. Aku sangat merindukan pelukan ini. Aku
sangat merindukan belaian lembutnya di kepalaku saat
aku memeluknya seperti ini. Aku rindu wangi khas
tubuhnya. Dan aku rindu segala hal tentangnya.

“Shafa, kok nangis sayang. Kamu kenapa? Mama pulang


buat kamu, Nak.” Ucap Mama.

Aku tak mampu menjawab pertanyaan Mama, aku masih


menangis bahkan sampai sesenggukkan dan tak bisa
berkata apa-apa. Aku tak tahu mengapa aku jadi begitu
emosional seperti ini. Saat ini aku hanya ingin terus
berada dipelukannya.
102
“Sudah, Shafa. Berhenti ya sayang nangisnya, nanti
matamu bengkak loh.” Ucap Mama lagi.

Aku pun menuruti perkataan Mama, dan berusaha untuk


meredakan tangisku. Mama tersenyum kepadaku lalu
menghapus air mataku dengan jemarinya.

“Nah kan, kalo kayak gini kan cantik.” Ucap Mama untuk
membuatku tersenyum.

Aku pun balas tersenyum sambil memandangi wajah


Mama yang masih saja terlihat cantik, walaupun sudah
mulai timbul banyak kerutan.

Aku masih tidak habis pikir dengan diriku sendiri,


bagaimana bisa dulu aku mengabaikan seseorang yang
begitu lembut padaku, seseorang yang begitu perhatian
padaku, dan seseorang yang telah melahirkanku ke dunia
ini. Jika kuingat kembali sikapku dulu, mungkin aku pantas
dicap sebagai anak durhaka atau sebagai anak yang tidak
tahu diri.

“Ma... maafin Shafa ya, Ma. Selama ini Shafa nggak


pernah dengerin kata-kata Mama. Shafa cuma bisa
nyusahin Mama doang kan?” ucapku dengan suara yang
parau.

“Nggak, Shafa. Shafa itu anak yang mandiri, jadi Mama


nggak pernah ngerasa disusahin sama Shafa. Justru
Mama yang harusnya minta maaf sama kamu, karena

103
Mama belum bisa ngeluangin waktu untuk kamu, Nak.
Tapi ini semua Mama lakuin supaya kamu bisa hidup
enak, Sayang. Supaya kamu nggak dipandang rendah
sama orang lain, Nak.” Ucap Mama sambil menahan
tangisannya.

Tangisanku pun kembali pecah saat kulihat mata Mama


mulai berkaca-kaca. Ternyata memang benar bahwa tidak
ada seorang ibu di dunia yang tidak peduli dengan
anaknya sendiri. Kini aku dapat lebih mengerti mengapa
Mama lebih mementingkan pekerjaannya. Itu semua
karena Mama ingin aku tidak dipandang rendah oleh
orang lain. Walaupun perhatian Mama jauh lebih penting
dari itu semua, namun aku mengerti bahwa Mama pasti
menginginkan yang terbaik untukku.

***

Aku sedang duduk di depan layar laptop saat pintu


kamarku diketuk, dan terdengar suara Mama yang
menyuruhku untuk turun dan makan malam bersama.

“Shafa, ayo makan malam dulu, Nak.” Panggil Mama.

“Iya, Ma. Sebentar lagi aku turun.” Balasku.

104
Seperti biasa, aku sedang menuliskan kisah hidupku lagi.
Aku sangat senang karena akhirnya aku dapat
menceritakan sisi baik orang tuaku dalam ceritaku ini.
Setelah sekian lama, aku hanya selalu mengatakan
bahwa aku membenci mereka, aku kecewa dengan
mereka, dan prasangka-prasangka buruk lainnya tentang
orang tuaku.

Selesai menceritakan semuanya, aku pun menutup


laptopku dan bergegas turun ke bawah menuju meja
makan. Saat sedang menuruni tangga, aku dapat melihat
di meja makan sudah ada papa, mama, dan... Revan?
Apa aku tidak salah lihat? Benarkah itu Revan?

Saat aku benar-benar sampai di meja makan, aku pun


dapat melihat dengan jelas bahwa itu benar Revan. Aku
mengambil tempat duduk di sebelahnya. Lalu aku
menatapnya dan melalui raut wajahku, aku seakan
memberinya pertanyaan mengapa ia ada di sini.

“Shafa, kamu masih inget kan sama Revan? Dia itu temen
kecil kamu dulu.” Ucap Mama.

“Iya, Ma. Aku... inget kok.” Ucapku ragu-ragu.

Sebenarnya aku agak bingung dengan pertanyaan Mama.


Apa Mama belum tahu bahwa selama ini Revan yang
selalu menemaniku. Tetapi kalau memang belum tahu,
apa Revan tidak menceritakannya Ucapku dalam hati.

105
Makan malam pun berjalan cukup hening, hanya sesekali
terdengar percakapan antara Mama dan Revan
memenuhi ruangan itu. Entah mengapa aku merasa tidak
berani untuk mengobrol dengan Revan. Padahal baru
kemarin aku dan Revan pergi bersamanya, dan Revan
pun terlihat sama seperti biasanya. Namun malam ini,
Revan tidak seperti Revan biasanya, aku merasa sedikit
asing dengannya. Daritadi pun ia tidak mengajakku
berbicara sedikit pun. Apa yang sebenarnya terjadi.

Acara makan malam akhirnya selesai, Revan pun


langsung berpamitan pulang pada kedua orang tuaku.
Lalu aku memutuskan untuk mengantarkan sampai ke
mobilnya. Aku ingin bertanya padanya mengapa ia tiba-
tiba datang ke rumahku. Dan mengapa ia tidak cerita ke
Mama kalau kita memang sudah dekat sejak 6 bulan yang
lalu. Sebenarnya ada sedikit perasaan takut untuk
menanyakan hal itu, tetapi kuberanikan diriku untuk tetap
bertanya.

“Van, kok lo nggak bilang-bilang sih kalo mau dateng ke


rumah gua.” Ucapku padanya.

Namun Revan tak menjawab apa pun. Ia hanya diam


sambil terus berjalan agar segera sampai pada mobilnya.
Lalu ia langsung masuk ke dalam mobilnya dan melajukan
mobil itu pergi menjauh dari rumahku. Tanpa sedikit pun
ucapan, Revan pergi begitu saja. Ini aneh, tak seperti
biasanya ia bersikap seperti ini.

106
Kini aku telah berada di dalam kamarku, merebahkan
tubuhku di kasur sambil memandangi layar handphoneku.
Aku sedang menunggu pesan dari Revan. Biasanya
sebelum tidur ia suka mengirimkan pesan untukku,
terkadang ia juga meneleponku. Detik demi detik mulai
berlalu, aku masih setia menunggu pesan dari Revan.
Sampai tak terasa mataku mulai terpejam dan aku pun
mulai memasuki alam bawah sadarku.

***

Aku merasakan hangatnya sinar matahari mengenai


wajahku. Sinar itu masuk melalui celah jendela kamarku.
Aku pun terbangun dan melirik jam yang ada di samping
tempat tidurku. Ternyata sudah pukul 08.00. Sepertinya
semalam aku ketiduran saat menunggu pesan dari Revan.
Setelah itu aku langsung mengambil handphoneku, dan
kulihat ada sebuah notifikasi LINE yang muncul. Ternyata
itu pesan dari Revan, tanpa sadar aku pun tersenyum.

Namun aku bingung kenapa Revan malah memberikanku


sebuah puisi dengan bahasa inggris. Sebelumnya ia tak
pernah mengirimkanku puisi begini, hampir setiap malam
ia hanya mengucapkan selamat tidur untukku. Tetapi kali
ini sangatlah berbeda, jujur aku benar-benar tak
menyangkanya.

107
A little box
Without a key
You hold an air
Of mystery
To sit and glare
Right up there
Flashing red in front of me

I am the one who fills it


And I fill it with myself
No one would guess what’s in you
Sitting up atop my shelf

I have thought of your discovery


The pros
And all the cons
But looking at my history
All candidates are wrong

So I suppose you’ll stay a secret


I’ll keep you to myself
Painted red,
Flashing dread
Little box on my shelf

Apa maksud Revan mengirimkanku puisi ini. Sebenarnya


apa makna dari puisis ini. Sebab ini bukanlah puisi cinta
pada umumnya, tak ada kata-kata manis merayu di dalam
puisi ini. Dan aku malah merasa kalau setiap kata dalam
puisi ini memiliki sebuah rahasia. Revan seakan sedang
memberitahukan aku sesuatu, namun aku tidak tahu pasti
sesuatu apa itu.

108
Karena aku sudah penasaran sekali dengan makna puisi
itu, akhirnya kuputuskan untuk menanyakan hal itu pada
Revan. Sambil menunggu Revan membalasnya, aku pun
pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hampir 1
jam telah berlalu, kini aku telah selesai mandi dan sedang
duduk di balkon kamarku sambil memegang handphoneku
menunggu balasan dari Revan. Biasanya Revan tak
pernah lama memebalas pesanku, dan ia memang tipe
orang yang selalu cepat membalas pesan dari siapa pun.
Tetapi sudah hampir 1 jam ia tak kunjung membalas
pesanku. Muncul perasaan khawatir dalam hatiku, aku
takut terjadi sesuatu pada Revan.

1 jam berikutnya, Revan masih belum juga membalas


pesanku. Akhirnya aku memutuskan untuk meneleponnya.
Kunyalakan layar handphone, lalu kuketikkan nama
Revan dan langsung kutekan tombol telepon yang ada di
sana.

Maaf nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.

Cobalah beberapa saat lagi

Tut... Tut... Tut...

Handphone Revan pun tak bisa di telepon, sebenarnya ke


mana Revan. Mengapa ia menghilang begitu saja, tanpa
memberikan kabar sedikit pun kepadaku. Kalau seperti ini
kan aku jadi khawatir padanya.

109
***

Kini aku sedang berada di Taman Seruni, tempat kencan


pertamaku dengan Revan waktu itu. Entah mengapa aku
memutuskan untuk pergi ke sini. Aku hanya mengikuti
kata hatiku saja, sebab Revan pernah bilang padaku
bahwa taman ini adalah tempat favoritnya jika ia sedang
butuh waktu untuk sendiri. Dan entah mengapa aku yakin
sekali kalau Revan ada di sini.

Aku berjalan menyusuri taman itu ditengah ramainya


pasangan yang sedang jalan bersama sambil
berpegangan tangan. Dan ada satu pasangan di antara
sekian banyaknya pasangan di situ yang menarik
perhatianku. Mereka berdua terlihat begitu mesra, dan
rasanya mereka serasi sekali. Namun sayangnya aku tak
bisa melihat wajah mereka berdua.

Akhirnya sampailah aku di tempat ini, di sebuah bangku


yang waktu itu aku duduki bersama Revan. Lalu aku pun
duduk di bangku itu sambil memutar lagi memori saat
malam itu aku bersama Revan.

Pemandangan yang dapat kulihat dari bangku ini saat


siang hari seperti ini, sangatlah berbeda dengan
pemandangan yang kulihat malam itu. Begitu banyak
orang yang berlalu lalang di depanku. Sampai mataku
menangkap sosok yang tidak asing lagi bagiku.

110
Ya, kulihat Revan dengan seorang perempuan sedang
duduk bersama dengan jarak yang tak jauh dariku. Aku
dapat mengingat dengan jelas motif baju yang mereka
kenakan itu, persis seperti pasangan yang berhasil
menarik perhatianku tadi. Tetapi ada hubungan apa
Revan dengan perempuan itu. Mereka berdua terlihat
sangat nyaman berada di dekat satu sama lain, dan
terlihat mereka sudah sangat akrab.

Hatiku berdebar-debar melihatnya, aku tidak siap untuk


menerima kenyataan ini. Selama ini Revan selalu baik dan
perhatian kepadaku, tetapi kenapa sekarang ia tega
melupakanku dan malah pergi bersama perempuan itu.
Bahkan Revan pun tak pernah bercerita apa-apa padaku
kalau ia sedang dekat dengan seorang perempuan lain.

Aku pun bergegas pergi dari taman itu, dan aku ingin
cepat-cepat sampai ke rumah. Hatiku sangat hancur
melihat Revan bersama perempuan lain. Aku sungguh tak
menyangka Revan seperti itu. Selama ini aku
mempercayainya, aku mencintanya dengan tulus, bahkan
aku pendam perasaanku untuknya selama bertahun-
tahun. Namun untuk yang kedua kalinya Revan benar-
benar mengecewakan aku.

21 September 2011

Di sebuah teras rumah yang cukup megah. Seorang anak


laki-laki dan perempuan duduk bersama sambil
berbincang-bincang. Sepertinya topik yang mereka bahas
111
bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Tak ada senyum
di wajah mereka. Hanya tampak sepasang bola mata
yang memancarkan kesedihan.

"Revan, kamu benar akan pergi ke Jogja?" tanya Shafa.

"Iya, Shaf." jawab Revan. "Tapi kamu tenang saja, aku


tidak akan pergiama kok. Kamu tunggu aku ya disini."
ucap Revan lagi.

Shafa hanya mengangguk, dia tidak mampu berkata-kata


lagi. Dia sedang berusaha sekuat tenaga menahan air
matanya agar tidak jatuh di depan Revan. Dia tidak ingin
membuat Revan khawatir. Dia ingin Revan pergi dengan
tenang, tanpa memikirkannya. Dia tidak ingin menjadi
penghalang bagi Revan untuk mencapai impian. Ya tujuan
Revan pergi ke Jogja adalah untuk mengikuti sebuah
kejuaraan robotik yang selama ini ia mimpikan.

"Aku pergi ya, Shaf." ucap Revan sambil beranjak pergi


dari sana.

Tangis Shafa pun pecah saat punggung Revan sudah


tidak bisa lagi dia lihat. Berat baginya untuk berjauhan
dengan Revan setelah hampir satu tahun dia selalu
bersamanya.

Hari-hari berganti minggu, tanpa terasa sudah sekitar tiga


bulan setelah kepergian Revan ke jogja. Dan di suatu pagi

112
yang damai, Shafa tidak sengaja mendengar percakapan
Papanya dengan seseorang.

"Bagaiman kabar Pak Johan di Jakarta sekarang? Aku


dengar-dengar karirnya makin bagus di sana." Ucap
seseorang yang tidak kukenal itu.

"Ya begitulah. Dia baru saja diangkat menjadi Manager di


salah satu perusahaan milikku. Padahal sudah dari dulu
aku suruh dia untuk mengejar karir ke kota Jakarta, tapi
dia malah menuruti perkataan anaknya yang tidak ingin
pergi dari sini." Ucap Papaku.

Jadi sebenarnya Revan pergi buka karena ia ingin ikut


kejuaraan robotik, tetapi karena ayahnya harus mengejar
kesuksesannya di sana. Kenapa kamu tidak jujur padaku,
Revan. Kenapa kamu harus berbohong, dan membuatku
berharap kamu cepat pulang. Setiap hari aku
menunggumu pulang, Revan. Sebab kamu pernah berjanji
padaku bahwa kamu tidak akan pergi lama. Tetapi
nyatanya kamu akan tinggal selamanya di sana kan.
Kamu tidak akan lagi pulang ke sini. Kamu jahat, Revan.
Kamu telah membuat hatiku hancur. Ucap Shafa dalam
hatinya.

***

113
“Some secrets are better left at that as
secrets.”
― Candance Bushnell

114
Bab 8

Semenjak kejadian di Taman Seruni waktu itu, aku mulai


menjaga jarakku dengan Revan. Aku pun mulai berusaha
untuk menerima semua kenyataan ini. Lagipula sikap
Revan kepadaku pun benar-benar telah berubah seperti
dulu lagi.

Revan tak pernah lagi menjemputku di rumah. Dan saat di


sekolah pun ia seakan tidak mengenaliku lagi. Ia tak
pernah lagi duduk di sebelahku, kini hanyalah sebuah
bangku kosong yang menemaniku. Revan juga tak pernah
lagi mengajakku untuk pergi ke kantin bersama. Saat bel
istirahat berbunyi, ia bersama teman-temannya keluar
kelas entah menuju ke mana tanpa melihat ke arahku.
Dan bahkan saat aku berpapasan dengannya, Revan
melewatiku begitu saja tanpa menyapaku. Ia benar-benar
seperti orang asing sekarang.

Aku ingin sekali bertanya padanya mengenai perempuan


yang bersamanya waktu itu. Dan aku juga ingin bertanya
mengapa ia berubah seperti orang asing kembali. Kalau
memang aku elah melakukan kesalahan padanya, aku
bersedia meminta maaf kepadanya.

Aku tidak ingin Revan menutup-nutupi sesuatu dariku, dan


perlahan menjauh dariku. Aku ingin semuanya jelas, apa

115
alasan ia menjauhiku bahkan ia sampai tega menduakan
aku di belakang.

Namun bagaimana aku ingin bertanya padanya, jika saat


melihatku dari jauh pun ia langsung menghindar.
Bagaimana aku mempunyai kesempatan untuk bertanya
padanya. Di saat seperti inilah aku merasa sendirian lagi.
Orang tuaku memang sudah ada di sampingku saat ini.
Namun Revan, orang yang sangat bermakna dalam
hidupku kini menjauhiku dan tidak mau bertemu lagi
denganku tanpa kuketahui apa alasannya. Ia juga
sepertinya sedang dekat dengan seorang perempuan
yang tak kuketahui namanya. Bukankah ini lebih
menyakitkan, saat aku merasa baik-baik saja dengannya
namun tiba-tiba ia melakukakan ini padaku dan
menjauhiku perlahan-lahan.

Tidak ada lagi yang bisa melindungiku dari tatapan serta


perkataan orang-orang yang tidak suka denganku. Saat ini
mereka semua dengan bebasnya mengejekku,
merendahkanku, mengata-ngataiku dengan kata-kata
yang kasar. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah
menangis saat kata-kata itu kudengar keluar dari mulut-
mulut mereka. Tidak ada lagi yang menenangkan hatiku
saat itu terjadi. Bahkan kata-kata Thania terasa tidak
berarti lagi untuk membangkitkan kepercayaan diriku.

Aku butuh sosok Thania yang sebenarnya. Aku rindu


dengan Thania. Sosok teman yang sudah kuanggap

116
seperti kakakku sendiri yang tidak dapat kutemukan lagi
peggantinya. Ya, kurasa aku harus telepon Thania. Aku
yakin dia dapat memberikanku sebuah solusi.

Maaf nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.

Tut...Tut...Tut...

Hancur sudah harapanku. Sudah tak ada lagi yang bisa


membantuku saat ini. Apa ini artinya aku harus pasrah
dengan keadaan. Dan menerima ini semua dengan ikhlas.
Mengapa takdir begitu kejam, dengan seenaknya ia
mempermainkan hidupku. Baru sebentar ia menyelipkan
kebahagiaan dalam hidupku, namun kini ia telah
menariknya kembali. Tak pantaskah aku untuk merasakan
kebahagiaan itu.

***

Bel tanda berakhirnya seluruh pelajaran hari ini telah


berbunyi, kulihat Revan sudah meletakkan tasnya di
pundak, sepertinya ia ingin cepat-cepat keluar dari kelas.
Aku tahu pasti itu karena ia ingin menghindar dariku.
Padahal aku ingin berbicara sebentar dengannya.

Benar saja, baru saja aku akan melangkah mendekat ke


arahnya, kulihat Revan telah berjalan ke luar kelas. Hilang

117
lagi kesempatanku untuk berbicara dengan Revan. Mau
sampai kapan seperti ini terus. Aku hanya ingin semuanya
jelas tanpa harus mengindari satu sama lain. Hal itu
membuatku semakin bertanya-tanya apa yang
sebenarnya membuat Revan jadi seperti ini. Aku butuh
kejelasan.

Akhirnya aku pun bergegas ke luar kelas juga, aku ingin


mengejar Revan dan berbicara dengannya. Kurasa ia
belum jalan terlalu jauh. Dan saat aku benar-benar sudah
keluar dari kelas, kulihat Revan baru akan menuruni anak
tangga. Lantas aku pun berlari secepat mungkin. Aku
sudah tak memikirkan bagaimana tanggapan Revan
nantinya, yang kuinginkan saat ini hanyalah berbicara
dengannya sebelum aku kehilangan kesempatan ini lagi.

Aku pun memanggil namanya untuk membuat ia menoleh


ke arahku.

“Revan.” Panggilku.

Revan pun menoleh ke arahku. Ia memasang wajah tidak


sukanya seakan aku telah mengganggu waktunya.

“Kalo lo mau ngomong, gua cuma kasih waktu 2 menit.


Dari sekarang.” Ucap Revan dengan tegas.

Tak ingin berbasa-basi, aku pun langsung


mengungkapkan maksudku.

“Taman Seruni jam 7 malam.” Ucapku.

118
Revan menatapku heran, mungkin ia terkejut mendengar
perkataanku barusan. Mungkin ia kira aku akan berbicara
panjang lebar, dan menuntutnya untuk memberika
penjelasannya kepadaku. Aku sengaja memilih
membicarakan ini di Taman Seruni. Selain karena itu
adalah tempat favorit Revan, tetapi juga karena aku tahu
bahwa Revan pasti akan datang ke taman itu nanti
malam. Tanpa menunggu jawaban dari Revan aku pun
langsung membalikkan tubuhku dan berjalan
menjauhinya.

Aku tersenyum puas karena aku telah berhasil mengajak


Revan berbicara, setelah sekian lama ia menghindariku.
Kuharap nanti malam semuanya akan jelas dan tidak ada
salah paham lagi di antara kita.

***

Langit mulai berubah warna menjadi jingga, kulihat jam


tangan yang melingkar di tangan kananku. Sudah pukul
17.00, namun aku belum melihat tanda-tanda
kehadirannya. Saat ini aku sedang duduk menunggu di
sudut ruangan salah satu restaurant. Apa aku terlalu cepat
datang ke sini.

119
Tadi saat aku baru sampai rumah, kulihat sebuah note
yang ditempel di pintu kulkas. Karena penasaran,
kubukalah note itu dan kubaca. Aku tahu itu adalah tulisan
tangan Mama.

“Shafa, nanti kamu datang ya ke restaurant Mollini yang


ada di dekat Taman Seruni jam 17.00. Mama juga akan ke
sana nanti. Papa menyiapkan makan malam spesial buat
keluarga kecil kita, karena hari ini adalah hari peringatan
anniversary pernikahan Mama dan Papa. Jangan lupa ya,
Sayang.”

Setelah kubaca pesan itu, aku pun bergegas menuju


kamarku untuk bersiap-siap. Aku ingin merias diri secantik
mungkin, sebab hari ini adalah hari yang spesial bagi
kedua orang tuaku. Aku memilih untuk menggunakan
gaun putih selutut dengan motif bunga berwarna biru yang
kupadukan dengan flat shoes berwarna senada dengan
motif bunga di gaunku. Tak lupa aku juga memoleskan
sedikit make up di wajahku. Lalu kulihat pantulan diriku di
cermin untuk melihat apakah penampilanku sudah pas.
Aku tersenyum puas melihat hasil penampilanku ini. Tepat
sebelum aku pergi ke tempat tujuan, sekali lagi aku
melihat diriku di cermin untuk benar-benar menyakinkanku
akan penampilanku ini.

Dan kini aku telah berada di tempat ini, di tempat yang


Mama sebutkan dalam pesannya untukku. Namun sampai
saat ini Mama juga belum datang ke sini.

120
Kupandangi sebuah jam dinding yang tergantung pada
dinding di depanku. Kulihat jarum jam itu terus berputar
meninggalkan menit demi menit yang telah berlalu. Langit
pun mulai gelap, dan matahari telah sepenuhnya
menghilang dari bumi.

Sudah pukul 18.00, itu artinya aku sudah menunggu lebih


dari satu jam di sini. Tetapi Mama masih belum datang
juga. Aku sudah coba menelepon Mama daritadi, namun
handphone Mama tak bisa dihubungi. Akhirnya aku hanya
bisa pasrah menunggu Mama sampai datang, entah
sampai berapa jam lagi. Aku mencoba berpikir positif
dengan menyakinkan diriku kalau Mama sedang ada di
salon untuk merias dirinya, dan membutuhkan waktu yang
lama agar penampilan Mama bisa memuaskan. Sebab
hari ini kan anniversary Mama dan Papa, jadi Mama pasti
ingin terlihat lebih cantik.

Namun Mama tak kunjung juga datang, sudah hampir 3


jam aku menunggu di sini. Sudah berkali-kali waitress
datang ke mejaku untuk menanyakan pesananku. Dan
berkali-kali juga aku berkata bahwa aku akan memesan
setelah orang yang kutunggu datang.

Ini sudah hampir pukul 19.00. Kalau memang seandainya


Mama akan datang telat pasti Mama akan
memberitahuku. Tetapi kali ini Mama tak bisa dihubungi.
Sampai kapan aku harus menunggu di sini. Belum lagi
tepat pukul 19.00 nanti, aku harus pergi ke Taman Seruni

121
untuk menemui Revan. Aku takutnya ketika aku telah
pergi dari sini, Mama malah datang dan menganggap
kalau aku sudah pulang. Aku tidak ingin mengacaukan
malam ini, sebab ini adalah malam yang spesial.

Beberapa menit berlalu, aku pun memutuskan untuk pergi


dari restaurant ini untuk menuju Taman Seruni. Sebab
saat ini waktu menunjukkan pukul 18.50. Aku harus
segera ke sana, aku tak ingin membuat Revan menunggu.

Namun betapa terkejutnya diriku, ketika aku ke luar dari


restaurant dan melihat Revan telah berdiri di depan sana.
Apa yang ia lakukan di sini. Aku kan menyuruhnya untuk
datang ke Taman Seruni bukan ke sini. Lantas aku pun
mendekatinya.

“Kok lo ada di sini sih? Kita janjiannya di Taman Seruni


kan?” tanyaku hati-hati.

Revan tak menjawab apa pun, ia langsung menarik


tanganku untuk membawaku ke suatu tempat.

“Loh, Van. Kita mau ke mana?” tanyaku lagi.

Namun lagi-lagi Revan tak menjawab, aku pun hanya bisa


pasrah mengikuti tarikan tangan Revan yang akan
membawaku entah ke mana

***

122
Akhirnya sampailah kami di sebuah kafe yang terlihat
sangat sepi. Revan membawaku masuk ke dalam. Kafe
itu terlihat kosong, tidak ada pengunjung yang datang ke
sini. Mungkin kafe ini sudah tutup. Tetapi mengapa Revan
mengajakku ke sini.

Namun betapa terkejutnya aku ketika melihat kedua orang


tuaku juga berada di kafe ini. Aku tak mengerti situasi apa
ini, mengapa kedua orang tuaku bisa ada di sini. Dan apa
Revan juga tahu akan hal itu.

“Mama... kok Mama ada di sini sih. Tadi Mama nyuruh aku
untuk dateng ke restaurant Mollini kan, tapi kenapa Mama
malah ada di sini. Mama tahu nggak aku tuh udah nunggu
3 jam di sana. Terus Mama aku telepon juga nggak
diangkat.” Ucapku panjang lebar.

Mama tak menjawabku dan hanya menundukkan


kepalanya, seakan menghindari tatapanku. Lain halnya
dengan Mama yang raut wajahnya terlihat begitu cemas,
tepat di sebelah Mama duduk, kulihat Papa dengan
santainya duduk mengangkat kaki sambil merokok.
Sebenarnya ada apa ini. Aku benar-benar tak bisa
memahami situasi ini.

“Untung kamu percaya sama kata-kata Mama kamu, Nak.


Gimana rasanya nunggu selama 3 jam. Pasti kamu
merasa bingung dan nggak tahu harus berbuat apa kan,
ditambah lagi orang yang kamu tunggu itu sulit untuk
dihubungi. Itu yang saya rasakan selama ini, saya telah
123
menunggu saat ini selama beberapa tahun.” Ucap
Papaku.

Aku tak bisa memahami kata-kata Papa. Memangnya


selama ini Papa menunggu apa. Dan dari nada Papa
berbicara terdengar seperti akan meluapkan amarahnya.
Apa aku melakukan suatu kesalahan sampai membuat
Papa marah. Tak pernah aku melihat Papa dengan
ekspresi seperti ini.

“Umurmu sudah cukup untuk mengetahui semua ini, Nak.


Dan saya juga tidak ingin berlama-lama merahasiakan ini.
Saya ingin kamu tahu siapa kamu sebenarnya. Bahwa
kamu itu bukanlah anak kandung saya dan istri saya.
Kamu adalah seorang piatu yang hidup bersama seorang
ayah yang bekerja sebagai penipu. Dan saya adalah
salah satu dari sekian banyak korban penipuan ayahmu.”
Ucap Papaku lagi.

Tanpa kusadari air mataku telah jatuh, ini terlalu tiba-tiba.


Aku belum siap untuk mendengar hal seberat ini. Jadi
selama ini mereka berdua bukanlah orang tua kandungku,
lalu sekarang di mana ayah kandungku berada.

“Dulu ayahmu pernah menawarkan saya untuk


menginvestasikan harta di perusahaannya. Namun
ternyata ayahmu malah membawa kabur semua uang
saya. Mengetahui itu saya pun langsung melaporkan hal
itu pada pihak kepolisian. Dan langsung mendatangi
rumahmu dulu. Namun saya dan para polisi yang datang
124
tak dapat menemukan keberadaan ayahmu. Kami hanya
menemukanmu yang sedang menangis di dalam kamar.
Saat itu umurmu masih sekitar 2 tahun. Melihat hal itu
istriku pun merasa kasihan pada dirimu dan akhirnya
membawamu pulang dan memohon kepada saya agar
membolehkannya merawatmu selayaknya anak kandung
kami. Tetapi setiap kali aku melihat wajahmu, selalu timbul
perasaan dendam akan perbuatan ayahmu itu.” Jelas
Papa.

Semakin Papa melanjutkan perkataannya itu, semakin


driku terpukul dibuatnya. Ini tak pernah aku duga-duga
sebelumnya. Aku tak pernah menyangka bahwa kisah
hidupku ternyata lebih rumit dari yang selama ini aku
ketahui.

“Kemudian saya pun terpikirkan untuk membalaskan


dendam saya kepada ayahmu melalui dirimu. Alhasil saya
buat dirimu hidup dalam kesengsaraan. Tak pernah sekali
pun saya biarkan kamu merasakan kasih sayang seorang
ayah. Saya memang sengaja tidak pernah
mempedulikamu, agar kamu merasa tidak dianggap.
Namun hal itu tidak dapat saya jalankan dengan mudah,
sebab Mamamu itu selalu aja mencegah saya untuk
berbuat yang lebih menyakitkan dirimu daripada itu.” Ucap
Papa.

Air mataku pun turun dengan deras dan aku jatuh


terduduk di lantai. Kakiku terasa sangat lemas mendengar

125
kata demi kata yang keluar dari mulut Papa. Dan
kudengar suara tangisan Mama juga semakin keras.

“Semua yang terjadi dalam hidupmu itu saya yang


mengaturnya. Termasuk datangnya kembali Revan dalam
hidupmu. Mungkin kamu pikir bahwa Revan kembali
dalam hidupmu karena dia juga memendam perasaan
yang sama seperti dirimu. Tapi kamu salah. Saya yang
menyuruhnya untuk mendekatimu, saya biarkan kamu
merasakan sedikit kebahagiaan dalam hidupmu. Saya
jugalah yang menyuruhnya untuk tiba-tiba pergi menjauh
dari kamu tanpa suatu alasan yang jelas. Perlu kamu
ketahui bahwa Revan itu sudah memiliki tunangan, jadi
kamu jangan pernah berharap untuk dapat bersama
dengannya lagi. Lupakankah perasaanmu pada Revan.
Dan jangan pernah lagi kamu anggap saya dan istri saya
adalah orang tuamu. Karena saya tidak sudi lagi untuk
melihatmu.” Ucap Papa lagi.

Tangisanku pun semakin menjadi-jadi. Aku terlalu lemah


untuk menerima kenyataan ini. Semua orang yang
kusayangi ternyata juga terlibat dalam permainan yang
dibuat Papa ini. Kenapa hidupku harus seperti ini. Kenapa
harus aku yang mengalami ini. Sedangkan banyak orang
diluar sana yang selalu bahagia dalam hidupnya. Kenapa
bukan mereka saja yang mengalami ini. Jika semua orang
hanya berpura-pura, lalu aku harus percaya pada siapa.
Dan aku sendiri pun tak tahu di mana keberadaan ayah
kandungku.

126
Merasa tak dibutuhkan lagi di situ, aku pun bangkit dari
dudukku dan bergegas keluar dari kafe. Lalu aku berlari
menjauh dari kafe itu menyusuri jalan mengikuti ke mana
kakiku ini akan membawaku. Dan dari arah belakangku
dapat aku dengar Revan teriak memanggil namaku. Untuk
apa lagi ia memanggil-manggilku, ia sudah membuatku
menjadi sangat benci kepadanya. Aku tak menyangka jika
Revan bisa melakukan hal seperti itu. Selama ini aku
berpikir kalau ia adalah orang baik, tetapi ternyata
dugaanku itu salah besar.

Aku tak tahu harus pergi ke mana sekarang. Aku tak


mungkin pulang ke rumah sebab aku sudah tak pantas
berada di sana lagi. Kini aku benar-benar sudah tidak
memiliki siapa-siapa lagi, aku benar-benar sendirian
sekarang. Sanggupkah aku menghadapi ini semua.
Sanggupkah aku untuk hidup sendiri tanpa siapa pun
yang menemaniku. Sanggupkah aku bertahan dalam
menanggung beban hidupku yang kian bertambah berat.

Aku terus berlari dan berlari, tanpa tujuan yang jelas.


Pikiranku pun sudah kacau, sampai aku tak menyadari
ada sebuah mobil yang berjalan ke kanan dan kiri tak
karuan. Dan tak dapat terelakkan lagi, mobil itu pun
menghantam tubuhku dengan keras membuatku
terlempar beberapa meter ke belakang.

Rasa sakit kemudian menyelimuti seluruh tubuhku, semua


nya terlihat buram. Tetapi dapat kurasakan jika darah

127
mengalir deras keluar dari tubuh. Tak berapa lama
kemudian, mulai banyak orang datang mengerumuniku.
Aku juga dapat mendengar salah satu di antara mereka
sedang menelepon ambulans untuk membawaku ke
rumah sakit. Namun mataku mulai terasa berat, aku sudah
tidak kuat lagi untuk menahan rasa sakit ini. Tuhan inikah
akhir cerita hidupku. Jika benar aku mohon berikanlah aku
kebahagiaan di alam sana.

Selang beberapa saat, aku sudah tak lagi mendengar


suara keributan orang-orang disekitarku. Dan anehnya
aku juga sudah tidak lagi merasakan sakit di tubuhku ini.
Rasa sakit itu tiba-tiba hilang begitu saja. Mungkin Tuhan
telah mengabulkan doa-doaku selama ini untuk bisa hidup
bahagia selamanya.

End

128
“When you loved someone and had to let
them go, there will always be that small
part of yourself that whisper, ‘What was it
that you wanted and why didn’t you fight
for it?’.”
― Shannon L. Alder

129
Epilog
Suara sirine ambulans terdengar keras sedang memasuki
halaman sebuah rumah sakit. Lalu ambulans itu berhenti
tepat di depan pintu UGD. Para perawat pun langsung
mendekati ambulans itu dan membantu membawa
seorang korban tabrakan yang sudah berlumuran darah
untuk masuk ke dalam UGD.
Tak lama kemudian, datanglah sebuah mobil Pajero putih
yang kemudian berhenti di belakang ambulans tadi. Dari
mobil itu turun sepasang suami istri yang terlihat cemas,
dan seorang laki-laki yang mengekori suami istri itu masuk
ke dalam rumah sakit.
Korban tabrakan yang sedang ditangani oleh dokter-
dokter ahli itu adalah Shafa. Dia ditabrak oleh sebuah
mobil Avanza berwarna hitam saat dia sedang berlari
tanpa arah. Dan terlihat di depan pintu UGD terdapat
Mama dan Papanya yang sedang menunggu Shafa
selesai ditangani dengan cemas. Di situ juga ada Revan
yang hanya duduk lesu di kursi rumah sakit sambil
menundukkan kepalanya.
Setelah hampir 3 jam Shafa berada di dalam UGD,
akhirnya pintu UGD pun terbuka dan terlihat salah
seorang dokter keluar dari sana. Melihat itu, Mama Shafa
pun langsung menghampiri dokter itu untuk menanyakan
kondisi Shafa.

130
“Dok, gimana keadaan anak saya. Dia baik-baik aja kan,
Shafa pasti bisa sembuh kan, Dok.” Tanya Mama Shafa
kepada dokter yang menangani Shafa.
“Maaf, Bu. Kami telah berusaha semaksimal mungkin
untuk menyelamatkan nyawa anak ibu. Tetapi begitu
banyak pendarahan yang terjadi pada tubuhnya, sehingga
dia banyak kehilangan darah. Dan saya harap Ibu bisa
ikhlas menerima kenyataan bahwa anak Ibu telah pergi
untuk selamanya. Sekali lagi kami minta maaf.” Ucap sang
dokter.
Mendengar pernyataan dari dokter barusan, membuat
Mama Shafa jatuh terduduk di lantai, pasti sulit baginya
untuk mengikhlaskan kepergian Shafa.
Setelah dokter menyatakan bahwa Shafa tidak dapat
tertolong. Di malam itu juga pengurusan jenazah Shafa
pun dilakukan. Jenazah Shafa dibawa pulang ke
rumahnya untuk dimandikan dan dikafani. Tak lupa juga
Mamanya mengundang para tetangga untuk membantu
mendoakan Shafa agar dia dapat pergi dengan tenang.
Esok paginya, saat matahari mulai terbit. Jenazah Shafa
sudah dibawa ke area pemakaman. Dan tak menunggu
lama-lama lagi, jenazah Shafa pun akhirnya dikuburkan.
Lalu semua orang yang hadir satu per satu mulai
meninggalkan makam Shafa, begitu pun kedua orang
tuanya. Tinggal Revan seorang diri yang masih ada di
sana. Pandangannya tak lepas dari ukiran sebuah nama
yang tertulis di atas nisan. Lalu ia tersenyum sambil
berkata.

131
“Lo harus tahu satu hal, Shaf. Kalo sebenernya gua itu
juga menyimpan rasa yang sama kayak lo dari dulu. Gua
terlalu takut untuk bilang itu ke lo, tapi akhirnya gua nyesel
karena gua belum sempet bilang itu ke lo sampai akhir
hidup lo. Gua akan selalu inget lo, Shaf. Dan semoga lo
bisa nemuin kebahagiaan lo di sana.” Ucap Revan.
Sekali lagi Revan pandangi makam yang tanahnya masih
basah itu, sebelum ia benar-benar pergi dari tempat itu.
Membiarkan kesunyian meliputi seluruh area pemakaman
itu.

132
“Nothing is forever in this world, all this is
temporary.”
― Maisyah Balqis

133
Tentang Penulis

Perkenalkan nama saya Maisyah Balqis Azzahra, biasa


dipanggil Maisyah. Saya lahir pada tanggal 02 Mei 2003 di
sebuah rumah sakit yang ada di Bekasi. Saat saya
menyelesaikan novel ini, umur saya sudah 16 tahun lebih
5 bulan. Dan saat ini saya merupakan seorang murid
kelas XI di SMA Negeri 62 Jakarta yang terletak di Kramat
Jati.

Saya sama seperti remaja lain pada umumnya, yang suka


membaca novel yang mengangkat permasalahan cinta
yang dialami para remaja. Karena itulah saya
memutuskan untuk membuat cerita seperti itu, dan sedikit
menambahkan permasalahan keluarga di dalamnya. Saya
harap para pembaca dapat menikmati hasil tulisan saya
ini.
134

Anda mungkin juga menyukai