Anda di halaman 1dari 5

Dendam

Miftahul Jannah
12320085
Lima panggilan tak terjawab! Mampus, aku harus bersiap untuk dibombardir
seribu pertanyaan dan ceramah dari Ibu. Walaupun biasanya sengaja tidak menjawab
telepon Ibu, kali ini aku benar-benar kelelahan dan tertidur dalam mode beruang
hibernasi. Apa yang harus kukatakan pada Ibu? Aku tidak menjawab telepon karena
tidur 12? Yang ada aku akan diceramahi tentang pengaturan waktu, larangan
begadang, hukum meninggalkan salat (padahal di sela-sela hibernasi, aku masih
sempat bangun untuk salat).
Aha, saatnya mengeluarkan jurus, "Aku sedang memasang mode 'Jangan
Ganggu', Bu. Aku sedang mengerjakan tugas dan belajar untuk ujian. Aku tidak ingin
mengulang mata kuliah yang akan membuatku lulus terlambat." Biasanya, dengan
jurus ini, Ibu akan langsung mengerti dan tidak lagi membombardirku dengan jurus
1000 panggilan. Paling beliau akan mengirim pesan yang berisi pertanyaan tentang
kabarku. Aku bukannya tidak ingin bercerita tentang kehidupan perkuliahanku kepada
Ibu, tapi rasanya cerita-cerita itu akan terlalu pahit. Biarlah kupendam sendiri dan
kuselesaikan dengan caraku. Lagi pula, Ibu tidak akan suka bila tahu bahwa
sebenarnya aku sering kelelahan akibat terlalu banyak mengikuti kegiatan organisasi.
Jujur saja, aku lebih suka bercengkerama dengan orang-orang organisasi
dibandingkan dengan keluargaku. Mereka kolot, payah, tidak bisa mengerti apa
mauku dan jalan pikiranku. Aku menyayangi mereka dan caraku menunjukkannya
adalah dengan memberikan mereka hadiah. Aku tidak sedurhaka itu kawan, aku
masih selalu memikirkan cara untuk membahagiakan mereka di masa depan.
Memberangkatkan orang tua ke Tanah Suci, memberikan fasilitas perawatan diri,
mempekerjakan asisten rumah tangga di rumah mereka, membelikan mereka mobil
supaya mereka bisa berkeliling kota. Kupikir hal-hal itu akan membuat mereka
bahagia.
Pernah suatu kali, Ibu benar-benar sudah tak bisa menahan kesabarannya.
Kuakui saat itu aku memang sangat jarang menghubungi orang rumah. Sebenarnya
alasanku sedang berada di mode ‘Jangan Ganggu’ tidak sepenuhnya alibi, kadang
memang aku harus mengerjakan banyak tugas dan belajar. Saat Ibu berhasil
menghubungiku Ibu memberitahuku, “Orang tuamu sudah berumur. Coba kamu
pikirkan, kapan lagi kamu bisa menghubungi kami? Tidak ada yang tahu orang tuamu
ini akan hidup berapa lama lagi. Sulitkah untukmu menghubungi kami?”
Mendengar perkataan Ibu, aku hanya bisa menahan napas dan menahan
emosiku untuk menangis. Di saat seperti ini, aku selalu tidak ingin merasa bersalah,
tetapi selalu gagal karena memang aku salah. Setelah emosi Ibu mereda aku akan
selalu mengakhiri percakapan dengan kalimat, “Iya, Bu. Aku belajar dulu.” Tidak peduli
apakah setelah panggilan itu berakhir aku akan belajar atau tidak. Yang kutahu, Ibu
akan baik-baik saja jika aku memberikan alasan itu. Dulu saat kecil, Ibu selalu senang
jika aku belajar. Ibu selalu senang jika aku mendapatkan peringkat kelas, meraih juara
di segala jenis lomba, menjadi anak emas di sekolah. Yang aku tahu, tanpa semua
gelar yang kumiliki saat ini, aku bukanlah aku. Aku harus selalu sempurna untuk
dicintai.
Sudah sejak dini, Ayah dan Ibu mendidikku untuk belajar dengan keras. Rumah
kami dipenuhi dengan buku-buku tebal. Aku sangat sulit bermain sebagaimana anak-
anak lain. Ya, aku memang tumbuh menjadi anak yang berprestasi dan sangat
produktif. Saking produktifnya, sejak kelas lima, aku jarang sekali berada di rumah.
Waktuku lebih banyak kuhabiskan untuk berkegiatan di sekolah. Kondisi ini semakin
parah saat aku berada di masa SMP dan SMA. Saat akhir pekan pun aku masih
berkegiatan di sekolah. Aku hanya pulang ke rumah untuk beristirahat. Mulai dari
olimpiade sains, lomba kesenian, cerdas cermat, Pramuka, PMR, semua kegiatan
kuikuti. Aku tidak ingin terlalu lama di rumah. Aku sangat menikmati hari-hariku di
sekolah. Kondisiku yang jarang di rumah tidak menjadi masalah besar bagi kedua
orang tuaku. Mereka mendukungku habis-habisan. Kuakui, mereka tidak seburuk itu
sebagai orang tua. Mereka memenuhi semua kebutuhan materielku. Mereka rela
mengeluarkan banyak uang untuk membiayai lesku. Mereka hanya tidak pandai
dalam mendengarkanku.
Di sekolah, tidak ada yang ada satu pun orang yang tak mengenalku, Juliana
Ardiyani. Jagoan di semua mata pelajaran. Siswi berbakat dengan segudang prestasi
di segala bidang. Di saat anak-anak dengan ekonomi menengah dan menengah ke
bawah berjuang melawan perundungan dari anak-anak ekonomi menengah ke atas,
aku melenggang dengan bebas, tak ada yang berani merundungku. Anak-anak
sengak itu segan padaku padahal sehari-hari aku hanya diam dan sibuk dengan
duniaku sendiri. Semua orang di sekolah ingin berteman denganku walaupun aku tahu
mereka hanya ingin mendapat bantuanku untuk belajar. Aku tidak peduli motif mereka
ingin menjadi temanku. Selagi aku disenangi dan mendapatkan banyak pujian aku
akan dengan senang hati memberikan bantuan pada mereka. Mencari perhatian
lawan jenis? Tentu itu merupakan hal tabu bagiku. Anehnya, tak sedikit yang
penasaran dan tak gentar untuk mendekatiku walaupun selalu kutolak, baik secara
halus maupun secara brutal. Aku selalu berusaha untuk bersikap baik ketika menolak
pendekatan mereka. Namun, ada saja yang tidak bisa diberi tahu baik-baik dan
mengharuskanku untuk memberikan penanganan khusus. Kadang aku bingung,
mengapa para lelaki itu membuang waktunya untuk melakukan hal yang sia-sia. Yang
paling tidak masuk akal, banyak dari mereka yang berpikir bahwa menjalin hubungan
dengan perempuan adalah suatu kebanggaan. Apa mereka tidak pernah dimarahi
orang tuanya?
Walaupun selalu menolak ajakan para lelaki untuk berpacaran, aku tidak benar-
benar membenci hal itu. Sejujurnya, aku penasaran terhadap sensasi yang akan
kudapatkan oleh tubuhku ketika berkencan bersama lawan jenisku. Pernah suatu
waktu aku melihat salah satu anak perempuan di sekolahku yang keranjingan sebab
baru saja ditembak oleh salah satu lelaki agak populer di sekolah. Ekspresi yang
ditunjukkan perempuan itu membuatku bertanya, impuls seperti apa yang diberikan
oleh kata-kata cinta yang dilontarkan oleh lawan jenis itu? Namun, tiap kali rasa
penasaran itu muncul, aku teringat bahwa Ayah pernah memperingatiku untuk tidak
menjalin hubungan dengan lelaki terlebih dahulu. Aku tahu Ayah ingin menjagaku, tapi
aku merasa Ayah tak adil. Beliau melarangku untuk berpacaran tetapi sikap beliau
sangat dingin padaku. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali beliau memelukku.
Aku tidak menyangkal bahwa semua privilege yang aku punya membuatku
senang dan merasa diakui. Tapi kadang aku juga berpikir bahwa sebenarnya semua
kesenangan itu semu. Aku bahkan tidak pernah tahu bagaimana caranya berteman.
Dibanding teman, aku merasa kata ‘tutor’ lebih cocok untuk menggambarkan peranku
di mata anak-anak lain di sekolahku. Aku sama sekali tidak pernah bercerita panjang
dengan mereka. Tidak ada satu pun orang yang boleh mengetahui kelemahanku,
karena itulah aku enggan bercerita. Aku tidak pernah menjadi diriku sendiri di depan
siapa pun karena aku tahu, tidak ada yang mau menerima kesalahan dan
kekuranganku. Setiap kali aku hampir kehilangan kontrol diri, aku mengingat betul
kejadian saat berumur tujuh tahun. Aku merajuk di depan keluarga besarku karena
Ayah tak kunjung datang menyusul aku dan Ibu di rumah orang tua Ibu. Saat itu, kami
akan merayakan ulang tahun pernikahan orang tua Ibu, ya, nenek dan kakekku. Aku
merajuk karena iri dengan sepupu-sepupuku yang lain. Mereka tampak senang
bermain dengan ayah mereka. Karena tindakanku, sepupu-sepupuku bahkan paman
dan bibiku mengejekku. Tak ayal hal ini membuat Ibu marah padaku. Ibu bilang aku
menyusahkan. Tanpa kusadari, aku telah memendam rasa kesepian yang begitu
besar.
Karena aku sangat berani tampil di depan umum, orang-orang mengira bahwa
aku sangat percaya diri. Aku memang tidak pernah gugup untuk berpidato, membaca
puisi, berdebat di forum, atau menampilkan kelincahanku dalam menari di depan
banyak orang. Tapi, tidak ada yang tahu bahwa setiap malam aku dihantui kecemasan
yang berlebihan. Aku sering meragukan diriku sendiri. Aku tidak tahu dari mana
datangnya perasaan-perasaan seperti ini. Yang aku ingat, saat aku salah dalam
melakukan pekerjaan rumah, Ibu tidak segan membentakku dan menyuruhku untuk
berhenti melakukan pekerjaan itu. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan setiap kali
hal itu terjadi adalah mengunci diri di kamar dan menolak berbicara, tidak hanya
kepada Ibu, tetapi kepada seluruh penghuni rumah.
Begitulah aku. Aku memilih kuliah di luar daerah, kembali untuk menghindari
rumah dan interaksi dengan para penghuninya. Tak sampai di situ, aku semakin
mengabaikan keluargaku. Ada rasa bersalah yang coba kutampik dengan berbagai
pembenaran. Aku merasa apa yang kulalukan saat ini tak lepas dari kesalahan-
kesalahan yang mereka lakukan padaku sejak aku kecil sampai aku beranjak remaja.
Aku tak pernah mendapatkan pemintaan maaf dari mereka ketika mereka melukai
perasaanku dengan bentakan, bahkan tak jarang caci maki. Hatiku, ada dendam yang
tumbuh di sana. Perasaan yang tak seharusnya kualamatkan pada dua sosok keramat
dalam hidup setiap manusia. Dan bodohnya aku, aku tak pernah bisa mengungkapkan
rasa kecewa, rasa sedih, rasa terlukaku kepada mereka. Lagi-lagi, karena aku
mengingat bahwa dulu aku pernah berusaha untuk melakukannya. Namun, yang
kudapatkan bukanlah permintaan maaf. Mereka hanya memberiku alasan yang
sangat terdengar seperti pembenaran. Mereka tak pernah ingin disalahkan. Pusat
kesalahan itu ada pada diriku dan tingkahku.
Hari demi hari di masa perkuliahan ini kulewati dengan segala amukan badainya
hingga sampailah aku di penghujung masa itu, tingkat empat. Aku sangat berharap
bisa melalui masa ini dengan tenang dan damai agar bisa lulus tepat waktu. Masa ini
ternyata sangat melelahkan, lebih dari yang kubayangkan sebelumnya. Selain harus
mencicil skripsi, aku juga dihantui oleh rasa takut. Takut untuk menghadapi dunia
setelah perkuliahan. Aku sekarang benar-benar sadar bahwa setelah ini, hidupku
sepenuhnya ada di tanganku, termasuk pemenuhan kebutuhanku. Apakah dengan
pengetahuan dan kemampuanku saat ini aku bisa bertahan hidup ke depannya. Apa
aku bisa menjadi sosok yang sesuai dengan ekspektasi orang tuaku? Tidak sampai di
sana, Ibu benar-benar memberikan tekanan padaku untuk lulus tepat waktu. Ayah
memberikan isyarat bahwa aku harus langsung melanjutkan S2 setelah lulus.
Membahas rencanaku ke depan bersama orang tuaku sangat aku hindari. Malangnya,
akhir-akhir ini Ibu sangat gencar meneleponku, menanyakan bahasan yang paling
kuhindari.
Saat ini aku sedang berada di sebuah warung bakso di bahu jalan sekitar
kampus. Aku baru saja melakukan bimbingan bersama dosen pembimbing tugas
akhirku. Tepat setelah pesananku datang, Ibu meneleponku untuk kesekian kalinya.
Aku menyerah, aku tidak tahu lagi harus memberikan alasan apa pada Ibu dalam
pesanku nanti jika kali ini aku tidak menjawab panggilannya.
“Assalamualaikum, kenapa, Bu?”
“Kamu dari mana saja? Kok baru angkat telepon Ibu? Sesibuk itukah sampai
tidak ada waktu untuk menjawab telepon dari orang tuamu?”
“Maaf, Bu. Aku banyak tugas dan butuh istirahat.”
“Menelepon orang tua itu tidak memerlukan waktu banyak, kami hanya butuh
tahu kabarmu. Oh, ya, omong-omong bagaimana tugas akhirmu? Jangan ditunda-
tunda, kerjakan secepatnya. Orang tuamu bukan orang berada. Kasihan Ayahmu, dia
selalu menunda kesenangannya untuk menguliahkanmu.”
Aku yang sudah lelah merasa sangat tertekan dengan perkataan Ibu barusan.
Apakah aku menjadi beban yang sangat berat bagi Ayah? Ayah tidak pernah
mengucapkan keluhan apa pun padaku. Aku merasa bahwa aku bukanlah anak yang
tak tahu diri, yang meminta ini itu kepada orang tuaku. Semua hal yang kuinginkan
aku dapatkan dengan usahaku sendiri. Aku sadar biayaku berkuliah di kota ini tidak
kecil, tetapi aku terkejut mendengar pernyataan Ibu barusan. Ada sedikit
ketidakpercayaan dalam hatiku, karena Ibu bukan hanya sekali memberiku
pernyataan demikian. Namun, pada akhirnya aku melihat mereka hidup berkecukupan
bahkan mampu membantu biaya pendidikan sepupuku. Mengapa? Mengapa aku
harus mendapatkan kata-kata itu? Aku iri kepada sepupu-sepupuku yang dibiayai oleh
orang tuaku. Apa mereka pernah mendapatkan tekanan sepertiku? Aku tak kuasa
menahan emosiku.
“Sudah, ya, Bu. Aku ingin makan dulu,” ujarku sembari mengakhiri panggilan
suara itu. Aku mengucapkan kata-kata itu dengan menahan emosi. Setelah panggilan
suara berakhir, tangisku pecah. Aku benci karena tidak bisa mengontrol diriku di
tempat ramai ini, tetapi aku juga tidak peduli karena tidak ada orang yang kukenal.
Ingin rasanya aku berlari sekencang-kencangnya, tidak peduli ke mana, yang penting
aku bisa meluapkan semua emosi ini.
Sejak kejadian itu, aku secara total menghindari semua interaksi dengan Ibu.
Aku tidak ingin bicara. Ibu tidak menyerah pada panggilan, beliau juga mengirimiku
pesan. Awalnya pesan menanyakan kabar. Namun, karena pesan itu tak kunjung
kubalas, Ibu mengirimi pesan-pesan baru yang seakan dikirim untuk membuatku
merasa bersalah. Emosiku yang memang belum stabil kali ini benar-benar meledak.
Karena tidak ingin berbicara dengan nada tinggi dengan Ibu, aku memilih untuk
meluapkannya dalam pesan. Dalam pesan itu, kuketik semua kekecewaanku pada
Ibu. Ya, aku mengetik pesan itu sambil menangis. Aku sangat sadar bahwa ketika
pesan-pesan itu sampai kepada Ibu, hatinya akan sangat terluka. Membayangkan hal
itu saja membuatku sakit, tapi aku sudah tidak tahan.
Tak kusangka, Ibu hanya membaca pesanku. Tidak ada jawaban apa pun. Aku
mengira Ibu benar-benar memikirkan isi dari pesanku dan menyadari kesalahannya.
Berhari-hari pesan itu tak dibalas. Aku mulai gelisah, apa yang terjadi pada Ibu?
Hari ini aku baru tidur pukul tiga pagi. Hatiku masih gelisah karena Ibu tak lagi
menelepon atau mengirimiku pesan. Aku tertidur sampai subuh. Ketika terbangun
untuk salat, aku memeriksa ponsel yang kuletakkan di meja. Saat kunci layar pinsel
terbuka, terlihat pemberitahuan panggilan tak terjawab sebanyak sepuluh kali dan
pesan dari Bi Wati. Aku terkesiap, tidak biasanya Bi Wati menghubungiku. Apa yang
sedang terjadi di rumah? Aku bergegas menelepon balik Bi Wati.
“Assalamualaikum, Bi Wati. Ada apa, Bi?”
Di ujung sana terdengar suara panik milik Bi Wati.
“Neng, Ibu dan Ayah, Neng...”
“Ibu dan Ayah kenapa, Bi? Bibi tenang dulu, ambil nafas, setelah itu baru bicara,”
pintaku pada Bi Wati.
“Ibu dan Ayah kecelakaan, Neng,” jerit Bi Wati diiringi tangis yang pecah.
Mendengar informasi yang disampaikan oleh Bi Wati, aku mematung seketika.
Pikiranku kosong. Tanpa kusadari, aku terduduk lemas. Aku ingin berteriak
sekencangnya, tetapi sadar suaraku akan mengganggu tetangga yang lain. Saat itu
aku benar-benar membenci diriku, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku
sendiri bila hal itu terjadi.

Anda mungkin juga menyukai