Anda di halaman 1dari 5

Pena Takdir — alkisah sebuah luka lama.

“main dirumah ku aja,” ujarku antusias. aku senang bermain dengan siapapun, tanpa
memandang usia dan penampilan, aku mengajak kedua tetangga seniorku yang berumur
lumayan jauh dari umurku kala itu.

kami memutuskan untuk bermain di rumahku, tentunya yang kala itu, rumahku adalah
kost kecil sepetak yang tak cukup ditinggali keluarga. tidak rapih, pengap, kotor, tidak ada
bagusnya sama sekali. tidak, tidak, jangan kasihan padaku, sudah muak dikasihani.

salah satu kakak itu bertanya padaku, “kenapa kamu betah tinggal disini?” entahlah, kalau
dibilang mau tidak mau harus disini, karna kala itu benar-benar miskin, tidak
berkecukupan, dan hidup pas-pasan. aku bahkan sampai tak menyangka sekarang, dulu
semiskin itu.

aku melihat, salah satu kakak itu sedang mengobrak-abrik isi dalam lemari mamaku,
batinku, “kenapa dia begitu?”

namun, hanya ku acuhkan saja, tidak berfikir yang tidak-tidak. karna aku percaya mereka
tidak mungkinlah berbuat aneh-aneh, namun, memang terlihat mencurigakan, seperti
sedang mencari sesuatu?

kami berbincang banyak, memakan beberapa snack, dan bermain mainanku,


menghabiskan hari libur yang membosankan.

setelah itu, mereka kembali pulang. tidak ada permainan lagi, salah satu kakak itu berkata
kepadaku, “aku mau belanja, kamu mau ikut?”

seketika aku merasa heran, kenapa tiba-tiba mengajak berbelanja ke pasar? seharusnya
daritadi bukan sehabis main, dasar.

“aku ikut.”

aku ikut dia berbelanja kebutuhan masak, dan masih banyak lagi, aku sempat mampir
sebentar ke rumahnya, sempat juga mencoba makanan buatan ibunya, namun,
perasaanku kala itu tidak enak, kenapa ya?
fajar mulai menyingsing, aku kembali pulang, menunggu kedatangan ibuku. biasanya
mama pulang cepat, tidak lama, ada kalanya juga ia pulang larut. aku sibuk bermain, tidak
memikirkan apapun lagi, lihat! mama telah pulang! “mama?”

mamaku terlihat lelah, sepulang dari tempatnya bekerja, ia memang selalu terlihat lemas
dan tidak bertenaga, aku kasihan padanya, dia berusaha bekerja untukku, ayahpun juga
sama, mereka sibuk bekerja luntang-lantung diluar sana. aku mulai disuruh ini itu, untuk
membantunya membersihkan rumah. ibuku mulai mencari sesuatu di dalam lemari, apa
yang dicari? kenapa orang-orang mencari sesuatu di dalam lemari sih. aku acuh saja, tapi
semakin dicari mama semakin panik, ia mulai tergesa-gesa mencari sesuatu yang entah
akan ketemu atau tidak, mama mulai terlihat marah, ia tak suka, “dimana uang mama?
kamu ambil?” dengan nada tingginya menanyaiku perihal uang, aku berkata aku tak tau,
bahkan tau ada uang di dalam sana tidak, bukan aku pelakunya, namun, mama terlihat
sudah terlanjur marah dan mulai menamparku, menjambak rambutku, berkata kasar dan
terus memojokkan diriku, aku ingin menjelaskan, tapi karna rasa sakit yang dominan
terjadi padaku kala itu, tidak ku jelaskan dengan benar. mungkin, hari sialku yang
menyebalkan. aku memandang rumah kakak seniorku, pasti dia yang ambil, dan benar
saja, kakak senior satunya lagi berkata padaku, “Iya dia yang ambil uangmu, aku udah
coba bilang ke dia, balikin, tapi dia bilang gamau balikin. dia jahat, jangan main lagi sama
dia. Jauhin.” baiklah, berteman dengan dia memang sebuah kesialan, tak akan ku temani
lagi.

aku tak berani memasuki rumah, aku tak berani menatap ibuku, aku hanya meringkuk
kedinginan diluar rumah sambil meratapi nasibku sendiri. aku sangat takut padanya, aku
juga sangat sayang padanya, perasaan campur aduk yang selalu ku rasakan. nyeri,
kedinginan, lapar. aku hanya bisa diam dan menangis di luar rumah, mama mengunci
pintu, ia berarti marah besar padaku kan? ku lihat buku-buku pelajaran juga ia buang ke
dalam got kotor, terdapat genangan air di dalamnya, aku menatap miris buku-buku itu,
sudah kotor, bau dan tidak sebagus dulu lagi. saat sudah diijinkan masuk ke dalam rumah
oleh mama, aku hanya bisa menahan tangis dalam diam saja, tak berani berkutik lebih, itu
semakin membuat diriku sakit nantinya, aku mengambil semua buku-buku pelajaran,
karna hari sudah gelap, tak mungkin ada panas diluar sana, menggosok menggunakan
setrika adalah pilihan yang tepat. karna besok sudah masuk sekolah juga, aku tak boleh
lama-lama membiarkan buku-buku itu, nanti semakin hancur, tak dapat digunakan lagi.

aku benar-benar tak habis pikir, tempramen mama dan ayah sangat mengkhawatirkan,
mudah marah, tersinggung, dan main tangan. aku tak pernah tau apa itu rasanya sebuah
kasih sayang dan kelembutan dalam keluarga, aku tak pernah tau bagaimana rasanya
bermanja-manja pada orang tua, aku tak pernah juga tau apa itu anak kesayangan. bagiku,
selain mendapatkan makan dan bersekolah, tidak ada lagi yang lainnya. orang tuaku egois,
mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri, tidak menanyakan keadaan ku bagaimana,
apakah aku senang, bahagia, ataupun sedih, tak pernah. yang selalu mereka pikirkan
adalah aku ada di depan mata mereka rasanya sudah cukup. aku membenci segalanya
yang terjadi padaku, baik dulu maupun sekarang, namun, yang bisa ku pastikan adalah aku
akan tetap menjadi orang baik dan penuh pertimbangan. tidak seperti orang tuaku. selain
memukul anak, apalagi?

sakit rasanya, ada memar baru lagi. aku tak tau lagi, ini sudah ke berapa diriku
mendapatkan warna keunguan itu. aku hanya bisa menyembunyikannya sebaik mungkin,
aku bermain, namun ada kalanya juga mama melarang ku bermain. semua temanku orang
kaya, mereka berkecukupan dan tak pernah merasa susah, aku sendiri anak orang miskin,
tidak pernah ada dipikiran ku itu hal memalukan bermain bersama mereka, berbaur
dengan mereka menyakitkan juga, terkadang ada begitu banyak kata dari mereka yang
membuat diriku sakit hati. tak apa, asal aku masih bisa bermain dengan senang. anehnya,
setiap aku luka, tanteku selalu menyadari terlebih dahulu, akupun merasa heran, padahal
sudah ku tutup dengan baju yang berlengan panjang, ternyata masih kurang. aku bingung
setiap menjawab pertanyaannya mengenai lebam baru, yang kubisa hanya diam dan lari
darinya, sementara. tanpa kujelaskan ia pasti mengerti, ku dapat luka ini dari siapa.

aku tak tau harus bereaksi apa, orang tuaku bercekcok panjang lagi mengenai keuangan
mereka yang tidak mencukupi, aku berkali-kali meyakinkan diriku bahwa terlihat tidak
peduli adalah sikap yang menyelamatkan diri, itu sudah cukup. namun, sepertinya kali ini,
mereka sudah tak tahan satu sama lain, mereka memutuskan untuk bercerai. muak, kesal,
dan sakit. lagi-lagi aku hanya bisa terdiam membisu, mereka pikir bocah itu tak mengerti?
mereka salah, orang dewasa salah, mereka mengerti, namun hanya berpura-pura tidak
mengerti.

kalau dibilang benci pada keluarga sendiri itu iya, tapi yang membuat diriku berkali-kali
sadar harus berbakti dan menghormati orang tua adalah karna mereka, aku hadir di dunia
ini. aku harus membalas mereka dengan kebaikan, aku tak akan membalas dendam, aku
juga tak akan berperilaku jahat yang berlebihan. aku akan membuat kalian senang,
memang seperti itu kan yang seharusnya dilakukan seorang anak. aku tak pernah meminta
macam-macam, meminta keluarga yang hangat menurutku itu sangat tak mungkin.
mereka tak pernah berubah, mereka hanya merubah sikap mereka karna sekarang ini kami
berkecukupan. masih berperilaku kasar, berkata kotor, main tangan, namun, sekarang
peran itu dimainkan oleh ayah, ia tak akan segan-segan main tangan jika aku membuatnya
kesal. yah, mungkin jodoh ada benarnya juga cerminan diri, baik mama maupun ayah,
mereka sama-sama brengsek. hal ini semakin menyadarkan fikiranku lagi tentang keluarga
hangat, aku tak berhak mendapatkan itu.

aku pernah melindungi adikku dari amukan ayah, dahulu itu, adikku tak sengaja merusak
gadget, ayah tidak berfikir panjang, ia mulai ingin memukul adikku, tapi itu tidak terjadi,
karna aku menjadi tameng, yang terluka hanya aku, adikku tidak, ia hanya menangis. tak
apa, ini hal biasa, tak perlu menangis lagi. ayahku keluar rumah, menenangkan dirinya, ia
sudah pusing memikirkan keuangan yang kian menipis ditambah ibuku yang suka
memojokkan posisi ayah, melampiaskan amarah pada anak bukan solusi.

mungkin, hanya itu saja yang dapat kujelaskan dengan kata-kata. aku lupa ingat perihal
masa kelam itu, karna mungkin juga otakku tak mau mengingat-ingat lagi tentang itu. aku
tak pernah menyesali setiap kata yang ku keluarkan untuk menjelaskan bagaimana
perasaan diriku yang bertahun-tahun terpendam sendirian tanpa bercerita pada siapapun.
namun kini, aku telah menemukan seseorang yang mempu dan mau untuk melihat
ketulusanku. setiap tulisan yang ku kirim, ia selalu membalasnya, ia tak pernah
menyalahkan diriku, ia selalu membalasnya dengan perkataan yang membuat diriku selalu
senang dan tenang. Terimakasih, tanpa bertemu dirimu, aku akan sehancur apa? tetaplah
hidup dengan baik dan sehat-sehat lah, aku harap kita dapat bertemu secara langsung.

— pengagum mu, Lena–

Anda mungkin juga menyukai