Anda di halaman 1dari 7

SESAL

Aku benci ibu.

Ibu menjadi egois. Ibu menjadi orang yang pemarah. Ibu mengabaikan perkataanku. Ibu selalu berkata
bahwa aku harus mendapatkan nilai yang terbaik di sekolah. Ibu berkata, ia ingin aku tidak menjadi
seperti dirinya.

•••

Sejak aku menduduki bangku SMP, ibu menjadi sibuk. Ia tak banyak meluangkan waktunya untukku lagi.
Ia tak bersikap lembut padaku lagi. Tidak seperti dulu.

Aku selalu melihat ia berbicara dengan seseorang, lewat telepon. Sering—setiap hari. Ia terus menerus
berbicara dengan orang itu, dengan baju kantor yang selalu aku lihat tiap kali ia sedang menelpon,
setelah itu ia akan pergi, meninggalkanku sendirian di rumah.

Ibu berubah, semenjak pertengkaran hebat dengan Ayah. Ayah selalu mengatakan kata-kata cerai.
Sampai akhirnya, hari itu adalah puncaknya. Aku dapat mendengarnya dari kamarku. Suara teriakan yang
memekakan telinga, suara gelas yang pecah, suara pukulan. Ya, hari itu, ku lihat dari celah pintu kamar,
ibu menampar ayah. Aku menutup mata, tak tau apa yang harus ku lakukan. Yang ku tahu, hari itu adalah
hari terakhirku bertemu dengan ayah. Ayah pergi, dengan membawa tas kerjanya. Meninggalkan sejuta
tanda tanya, meninggalkanku sendiri disini, di tempat yang tak seindah dulu. Ibu membuat ayah pergi.

Ayah pergi, dan tak pernah kembali.

Tak pernah.

•••

“Hari ini ibu lembur.” ucapan yang sering ku dengar tiap pagi—membuatku bosan. Aku memandangi
ibuku, sudah rapih dengan pakaian kantor dengan kacamata yang bertengger di hidungnya. Aku bingung,
mengapa pakaian ibu berubah? Dulu, ibu sangat cantik dengan pakaian rumahan dan rambut yang di
cepol asal-asalan. Apakah ibu tidak suka dengan pakainnya yang dulu? Ah, aku melupakan satu hal. Ibuku
telah berubah.

Kian hari ibu semakin berubah, aku hampir tak mengenalnya. Kupandangi wajahnya yang menua, yang
tidak sehangat dulu. Ibu tampak sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya. Mengabaikanku yang terus-
terusan memandangi wajahnya itu.

“Lara izin pamit ke sekolah, bu.” ujarku pelan. Ku ulurkan tanganku ke depannya, berniat ingin salim.
Walaupun ibu sudah tidak seperti dulu, tetap aku ingin menjadi anak yang berbakti—setidaknya itu yang
ku pikirkan. Ibuku hanya memberi tangannya, tanpa berniat melihatku. Ku rasakan denyut nyeri di
hatiku. Apakah aku sudah tak berarti untuknya? Apakah ibu sudah benar benar melupakanku? Aku
hampir tidak mengenalinya. Mengenali sosok lembut yang pernah hadir dulu.

Jujur saja, aku merindukan sosok itu.

•••
Suara riuh para siswa siswi dikelas saat terdengar bel pelajaran berakhir, menandakan waktu istirahat
telah tiba. Aku bangun dari tempat dudukku, berniat untuk pergi ke kantin. Namun, saat baru saja aku
keluar dari kelas, aku melihat segerombolan anak-anak. Oh tidak! Anak-anak nakal itu! Mereka berjalan
ke arahku. Kakiku sontak mundur beberapa langkah, sebisa mungkin menghindari mereka.

Anak-anak nakal itu melontarkan kata-kata yang tak ingin kudengar. Sejak berita cerainya kedua orang
tuaku tersebar di sekolah, mereka selalu menghinaku. Membuatku merasa tak nyaman. Seperti tak puas,
mereka bersenang-senang dengan mengucapkan kata-kata itu dihadapanku berulang kali. Selalu saja
mereka menghina ayahku. Menghina ayahku dengan kata kata yang ku harap tidak pernah ku dengar.
Entah dosa apa yang ku lakukan terhadap mereka, sehingga mereka tega berbuat hal sekeji ini.

Air mataku mengalir deras membasahi kedua pipiku. Aku berlari sekuat mungkin, mencari tempat sepi
untuk mencurahkan isi hatiku. Dengan cepat aku memasuki kamar mandi khusus siswi, ku tumpahkan
tangisan yang tak dapat ku bendung lagi. Berulang kali aku mempertanyakan mengapa semua ini terjadi
kepadaku? Mengapa semuanya tiba-tiba seperti ini? Mengapa, mengapa dan mengapa.

•••

Malam pun datang. Terlihat jelas dewi malam yang bersinar dengan terangnya. Namun, tetap tidak bisa
menyinari hatiku yang gundah ini. Setelah berbagai pertimbangan, aku mengumpulkan tekadku.
Perlahan tapi pasti, ku ketuk pintu kamar ibukku.

Tok tok!

“Masuk!” kudengar suara ibu dari dalam kamar, memperbolehkanku masuk. Entah mengapa degupan di
dadaku bertambah cepat, sebisa mungkin ku netralkan perasaanku.

Kakiku melangkah memasuki kamar. Ku lihat, ibu sedang berkutat dengan laptopnya di atas meja kecil
khusus ia mengerjakan segala pekerjannya. Aku pun mengambil nafas dalam sebelum berkata.

“Ibu, ada yang Lara ingin bicarakan kepada ibu.” ucapku dengam hati-hati.

Jari-jari ibu yang sedang mengetik laptop terhenti, ia membalikkan badannya menghadapku. Ia
memandangiku dalam, menungguku untuk melanjuti perkataanku.

“L-lara ingin pindah sekolah, bu.” ucapku terbata-bata.

“Pindah sekolah? Kamu sedang bicara apa Lara?” sontak ibu memberikan tatapan tajam ke arah ku.
Sepertinya, ia tak suka dengan perkataan ku tadi

“Lara serius bu. Lara diganggu oleh anak-anak nakal di sekolah Lara.” ujarku cepat. Menahan kegugupan
yang kian membesar dari dalam diriku.

“Temanmu itu pasti sedang bercanda denganmu! Jangan di ambil ke hati! Kamu hanya perlu fokus
belajar!” ibuku mendesah kesal, ia balik menatapi layar laptop untuk melanjutkan pekerjaannya.
Menanggap apa yang ku ucap tadi hanyalah angin lalu.

Hatiku terasa sakit. Aku benar-benar tidak mau kembali bertemu dengan anak-anak itu. Tidak bisakah ibu
mendengarkan ku sekali saja?
Tetesan air yang tak bisa ku tahan lagi lolos begitu saja dari pelupuk mataku. “Bu, pokoknya Lara besok
tidak mau sekolah!” tanpa sadar aku meninggikan intonasiku.

“Lara! Ibu sedang banyak pekerjaan. Lebih baik kamu hentikan omong kosongmu itu dan balik ke
kamar!” Ibu sedikit berteriak kesal. Ia masih enggan melihatku, tatapannya hanya fokus ke depan layar
laptopnya. Seakan-akan aku tidak pernah berdiri disini.

“Bu, anak-anak itu menghina ayah!” ucapku sedikit berteriak.

“Kalau saja ibu dan ayah tidak bercerai, mereka tidak akan pernah menggangu ku!” teriakku frustasi. Aku
sudah tak peduli lagi.

PLAK.

Ibu mentap tangannya yang baru saja menamparku, tangannya bergetar. Bayangan ibu menampar ayah
saat itu tiba-tiba saja muncul di benakku.

“Lara, ibu minta maaf—”

Aku menepis tangan ibu yang ingin memelukku.

Menjauh beberapa langkah darinya.

“Aku benci ibu.”

Kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku. Semuanya sudah terlambat, ibu tidak akan bisa memperbaiki
semuanya. Ibu tidak akan bisa memperbaiki hatiku yang retak. Aku pergi malam itu, tepat di penghujung
bulan Desember. Di malam sebelum hari ibu.

•••

Kakiku terus melangkah tanpa arah. Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin, menangkan kepalaku yang
terasa ingin pecah.

Aku berhenti saat melihat sebuah minimarket di pinggir jalan, berniat ingin membeli beberapa makanan
untuk menenangkan pikiranku. Aku melangkah masuk. Dapat ku dengar lagu Bunda karangan Melly
Guslow diputar mengiringi minimarket ini, mengingat besok adalah hari ibu nasional yang dirayakan tiap
tahunnya. Aku pun keluar dari minimarket itu dengan bungkus makanan digenggamanku. Tiba-tiba, aku
mendengar suara anak kecil menangis. Dapat ku lihat, seorang anak kecil sedang menangis didepan area
minimarket, menginginkan roti.

“Mamaaa! loti! loti!” anak kecil itu merengek berulang kali. Ibunya dengan sabar mengangkat tubuh
anak itu dan memeluknya. Ia tampak kebingungan dan panik. Sepertinya, mereka dari kalangan yang
kurang mampu. Pakaian mereka tampak lusuh dengan sendal yang hampir rusak. Pikir ku.

Kasihan sekali anak dan ibu ini. Aku ingat, sepertinya tadi aku membeli roti. Tanpa pikir panjang, aku
mendekati ibu dan anak itu.

"Permisi bu, ini ada sedikit rezeki dariku, mohon diterima ya” ucapku saat sudah berada di depannya. Ku
raih tangannya untuk menerima bungkusan itu. Ia menangis terharu. Aku tersenyum melihatnya.
“Terimakasih banyak ya, anak ibu belum makan dari pagi tadi. Sekali lagi terimakasih ya nak.” ucapnya
seraya menangis. Aku tersentak mendengarnya, kasihan sekali.

“Sama-sama Bu.”

Ku pandangi anak ini, terlihat tenang sekali saat memakan roti.

“Anak ibu lucu sekali ya, ibu pasti sangat menyanginya.” ujarku yang entah mengapa mengatakan hal itu.

“Tentu nak. Mana ada seorang ibu yang tidak menyangi anaknya? Semua ibu pasti menyayangi anaknya.”
jawabnya.

Deg.

Sejenak, aku teringat ibu dirumah. Apakah dia mencari-cari ku sekarang? Apa yang ia rasakan saat aku
bilang aku membencinya?

Tunggu, aku bilang apa?

Aku, membencinya?

Sontak saja aku berlari, meninggalkan ibu itu yang tampak kebingungan. Rasa bersalah tiba-tiba hinggap
di hatiku. Aku hanya tersulut emosi tadi. Emosi yang selalu tertahan di hatiku.

“Semua ibu pasti menyayangi anaknya”

Kata-kata itu terus berputar bak kaset rusak.

Kata-kata itu menghantui diriku.

•••

Segera aku memasuki rumah, menuju kamar ibu.

Hening.

Kurasakan tubuhku mendadak menjadi kaku melihat pemandangan di hadapanku.

Ibu terbaring tak sadarkan diri di atas lantai dengan sebuah surat di sebelah tangannya.

Tepat jam dua belas, tanggal 22 Desember. Aku menyadari suatu hal.

Aku sudah terlambat.

•••

“Lara mau sarapan apa?”

“Lara, ibu beli baju baru untukmu, dipake ya!”

“Lara hebat sekali bisa dapat 100!”

♪♪Pikirku pun melayang


Dahulu penuh kasih

Teringat semua cerita orang

Tentang riwayatku♪♪

“Lara, mulai sekarang kamu hanya tinggal bersama ibu”

♪♪Kata mereka diriku selalu dimanja

Kata mereka diriku selalu ditimang♪♪

“Lara harus bisa jadi anak yang mandiri”

“Lara harus belajar yang rajin agar bisa sukses, tidak seperti ibu”

♪♪Nada-nada yang indah

Selalu terurai darinya

Tangisan nakal dari bibirku

Takkan jadi deritanya♪♪

“Lara tahukan? Ibu sayaaang sekali sama Lara!”

♪♪Tangan halus dan suci

Telah mengangkat diri ini

Jiwa raga dan seluruh hidup

Rela dia berikan♪♪

•••

Ku tatap sebuah surat ditanganku. Surat yang tergeletak di lantai tepat disamping tangan ibu pada hari
itu.

Untuk Malara Valen, anak ibu yang paling ibu sayang.


Kalau Lara baca surat ini, berarti ibu sudah tidak bisa berada di sisimu lagi.
Maafkan ibu, tidak pernah memberitahu tentang penyakit yang diderita ibu. Ibu takut
menambah beban pikiranmu. Penyakit jantung ini, sudah ibu usahakan untuk diobati.
Namun sepertinya, takdir berkata lain.

Ibu juga minta maaf, kalau ibu sudah sering mengabaikanmu dan membentakmu.
Semenjak ayah pergi, ibu harus bekerja keras agar kamu masih bisa sekolah dengan
baik, agar anak satu-satunya ibu ini masih bisa hidup nyaman dan enak. Pekerjaan ibu
yang sangat melelahkan terkadang membuat ibu melampiaskan semua emosi ibu
kepadamu. Sungguh, Ibu sangat menyesal.

Ayah sudah tidak bisa bersama kita lagi. Ibu minta tolong, ikhlaskan beliau ya nak. Sekali
lagi ibu minta maaf, Lara mau ‘kan maafin ibu?

Satu hal yang perlu Lara tahu. Ibu sangat menyangi Lara. Ibu sering menengok ke kamar
mu diam-diam, memperhatikanmu yang sudah sudah tertidur. Ibu menyadari sesuatu,
ternyata putri ibu sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Lara, kesayangannya ibu.

Ibu harap, Lara selalu menyayangi ibu kapanpun dan dimanapun.


Seperti ibu yang selalu menyayangimu. Selalu.

Lara harus bahagia, ya.


Tertanda, ibu.
••••

Ku tatap wajah pucat ibu yang tak sadarkan diri terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

Selama ini, ibu mempunyai penyakit jantung.

Aku tidak pernah mengetahuinya, anak macam apa aku?

Kenapa malam itu aku mengatakan “Aku benci ibu”?

Kenapa harus itu kalimat terakhir yang didengar ibuku?

Aku menintikkan air mata. Air mata yang tak dapat merubah apapun.

•••

Tepat di hari ibu, aku tahu. Aku sudah benar-benar terlambat.

•••

Kamu yang baca tulisan ini, belum terlambat kayak aku kan?

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Anda mungkin juga menyukai