Anda di halaman 1dari 16

AKU BENCI IBU*

*Property of Sekolah Literasi Soleil du Monde, written by Yoyok Dwi Prastyo


ABSTRAKSI

Aku benci ibu!

Sungguh, aku benar-benar tidak suka dengan ibuku. Bagiku, ibu tak lebih

berharga dari karung bekas yang dijual di pasar-pasar tradisional. Ibu pun tak lebih

berharga dari kain pel yang biasa dipakai membersihkan lantai!

Jika orang-orang mengatakan, bahwa ibu adalah sosok yang paling pantas

dicintai dan dihormati, maka tidaklah demikian denganku. Bagaimana aku hendak

hormat dan cinta kepada ibu jika pemandu karaoke menjadi profesinya?

Memang, aku tak pernah melihat sendiri ketika ibuku melayani para lelaki hidung

belang yang haus akan hiburan. Benar, aku tidak pernah menyaksikan dengan mata

kepalaku ketika ibu berdandan seronok ataupun memakai parfum yang menusuk

hidung. Namun, aku sudah cukup yakin dengan kesaksian beberapa tetangga dan

teman yang mengatakan pernah berjumpa dengan ibu di sebuah klub malam.

“Apakah tidak perlu tabayyun?”

Tidak!

Ada lebih dari dua orang baligh yang memberikan kesaksian, bahwasanya

mereka melihat ibu berada di klub malam. Jika bukan untuk menjadi pemandu atau

pramuria, lalu apa yang diperbuat ibu di sana?

***
ORIENTASI

Aku hidup di pinggiran kota dengan heterogenitas masyarakat yang cukup

padat. Tiap kali ada sebuah kejadian yang tidak bagus, maka dapat dipastikan dalam

jangka yang tak terlalu lama berita itu akan langsung menyebar, bagaikan butiran

debu yang dihamburkan sang angin.

KOMPLIKASI

Aku benar-benar malu ketika para tetangga dan teman-temanku

memberikan kesaksian mereka. Profesi ibu mengakibatkan aku terjatuh ke dalam

jurang malu yang teramat dalam. Bisa dipastikan kabar ini telah menyebar luas ke

seantero tempat tinggalku tanpa bisa dikendalikan. Tentu saja hal ini membuatku

malu, walaupun hanya sekadar ke luar rumah untuk berbincang atau bermain ke

rumah kawan. Aku menjadi insecure.

RISING ACTION

Bagaimana tidak malu, aku berjilbab, tetapi ibuku malah berprofesi sebagai

wanita penghibur. Bagaimana tak malu, jika di sekolah aku diamanahi sebagai

ketua Rohis sedangkan di rumah aku mempunyai seorang ibu yang bekerja sebagai

pramuria??? Bagaimana aku bisa berislam secara kaffah dan mendakwahkan

kebenaran jika orang terdekatku, orang yang melahirkanku, dan orang yang setiap

hari berkumpul bersamaku adalah seorang pelacur???


Jelas, dakwahku tidak akan berjalan, sebab terhadap orang terdekat pun aku

tak mempunyai kemampuan untuk mengubahnya!

TURNING POINT

Semenjak jati diri profesi ibu terkuak, aku menjadi bersikap dingin

kepadanya. Sering kali ibu berupaya mengajakku ngobrol, tetapi selalu saja kutolak.

Bahkan, sering aku membanting pintu kamar di depan muka ibu. Aku juga sering

melihat ibu menangis sesenggukan di kamarnya, tapi hatiku sama sekali tak

tersentuh.

“Huh, tangis seorang wanita penghibur!”

“Tangis seorang buaya wanita!!!” cetusku dalam hati ketika secara tak

sengaja mendengar tangis ibu.

Beberapa kali ibu mencoba untuk mencuri hatiku dengan membelikan baju

atau makanan kesukaanku, tapi, tentu saja, aku tolak pemberian itu. Tidak saja aku

tolak, bahkan aku buang seluruh pemberian ibu itu di tempat sampah. Melihat

perbuatanku, ibu tampak sangat sedih. Dengan lelehan air mata di pipi, ibu mencoba

menyelamatkan barang-barang yang kubuang. Dengan mendengus, aku balikkan

tubuh dan meninggalkan ibu begitu saja. Perbuatan ibu yang membelikanku sesuatu

tak berdampak sama sekali pada hatiku. Hal itu sama sekali tak mampu

menumbuhkan rasa kasih ataupun menyentuh sisi emosionalku.


Begitulah, aku lalui hari-hariku dengan kekecewaan. Aku berubah bagai

robot yang tak berperasaan terhadap ibuku. Rasa kasihan dan cinta kasih yang dulu

tertanam kuat sekarang tercerabut. Jujur, aku tak merasa sayang dengan perubahan

tersebut. Biarlah. Biar ibu merasakan, betapa aku sangat membenci ibu dengan

profesinya yang sangat memalukan itu!

Terkadang, ketika rasa kecewa begitu memuncak, bayangan almarhum ayah

menghampiriku. Andai saja ayah masih ada, tak mungkin ibu akan bekerja sebagai

pemandu karaoke. Slide demi slide kenangan terhadap ayah membawaku terbang

sejenak meninggalkan rasa kecewa yang begitu membuncah. Namun, bayangan

profesi ibu yang begitu kotor dan menjijikkan sering kali merusak bayangan indah

tersebut, dan hal itu makin membuat aku menjadi tambah kecewa dan benci

terhadap ibu.

***

“Sudah, Ndhuk, kamu istirahat saja. Tidak usah masuk sekolah. Nanti Ibu

mintakan izin ke sekolah,” kata ibu ketika mendapati badanku demam. Dengan

halus ia coba usap dahiku. Dengan gerak lemah yang kupaksakan, aku egoskan

kepalaku, sehingga tangan ibu tak mampu menjamah dahiku. Sekilas terlihat sorot

kecewa dan sedih pada mata ibu. Terlihat ia terpukul dengan tindakanku. Namun,

tampaknya ia cepat menguasai diri, sehingga, walau agak dipaksakan, ia mampu

juga tersenyum dan melanjutkan kata-katanya, “Ya sudah, kamu istirahat di rumah

dulu. Ibu akan memintakan izin sekalian nanti berangkat kerja. Kamu ingin

dibelikan makanan apa, Ndhuk?” Aku menggeleng sambil mengatupkan bibir rapat-
rapat. Melihat tingkahku yang seperti itu, dengan mendesah, ibu berkata, “Ya wis,

nanti ibu belikan obat dan juga makanan kesukaanmu. Ibu berangkat dulu .…”

Aku tidak menyambuti pamit ibu. Aku tarik selimut dari kakiku dan

kuselubungkan ke seluruh tubuh. Sebelum selimut itu benar-benar menutupi

seluruh tubuh, masih kudengar ibu mendesah berat sambil menyeret kakinya

dengan lemah menuju pintu.

“Huh, sok suci! Bekerja… bekerja…! Bekerja apaan!!!? Wong pemandu

karaoke, kok, bekerja! Dasar pelacur hina!!!” kuhantarkan kepergian ibu dengan

rutukan dalam hati.

***

Sebenarnya hari ini aku masih merasa lemah. Aku masih ingin terus

beristirahat, tapi aku tak ingin terus di rumah bersama ibuku. Di samping alasan itu,

aku juga tidak enak pada wali kelas dan teman-temanku karena sudah tiga hari ini

tidak masuk sekolah. Hari ini Wati, teman sebangkuku berinisiatif untuk

menawarkan diri menjemput dan mengantarkanku pulang. Tentu saja tidak aku

tolak tawaran itu. Maka, berangkatlah aku hari ini membonceng Wati. Aku

berangkat tanpa berpamitan pada ibu. Masih kulihat sekilas ibu berupaya mengejar

kepergianku, tapi sosoknya perlahan namun pasti mulai hilang seiring dengan laju

motor Wati yang semakin kencang.

Pulang sekolah, Wati mengantarku. Kami tidak langsung menuju rumah,

sebab Wati berniat membeli sesuatu di supermarket sebelah alun-alun kota.


Sepanjang perjalanan, kami mengobrol santai membincang acara perpisahan kakak

kelas yang akan dilaksanakan dua minggu lagi.

Di perempatan alun-alun sebelah barat motor yang kami tumpangi berhenti

karena traffic light menyala merah. Aku menata duduk sambil mengitarkan

pandangan ke sekeliling.

DEG!!!

Bukankah itu ibu??!!

Aku mencoba menajamkan mataku dan melihat lebih fokus pada sosok

perempuan yang tengah membonceng seorang lelaki tegap tepat di sebelah kiriku.

Wanita itu tampak memeluk erat lelaki tersebut. Mungkin merasa kutatap atau

bagaimana, wanita yang kusangka ibuku itu menolehkan wajahnya ke kanan.

Gusti Allah!!!!!

Benar, ternyata wanita itu adalah ibuku!

Sekaget aku, ibu juga berjingat begitu pandangan kami bersirobok. Aku

pelototkan mataku pada ibu, seolah seluruh kemarahan dan rasa kecewa yang

selama ini terpendam kutumpahkan saat itu juga. Melihat kemarahanku yang seperti

itu, ibu kemudian melompat turun dari boncengannya dan berupaya berlari

mendekatiku. Beruntung, lampu menyala hijau. Aku kemudian meminta Wati

segera memacu motornya secepat mungkin. Aku tak ingin ibu menyusulku. Aku

benar-benar benci wanita itu! Terbukti sudah, ibuku memang seorang wanita yang

tidak bener. DIA ADALAH PELACUR HINA!


Wati, walaupun kebingungan, terpaksa memenuhi permintaanku. Ia pacu

motornya sangat kencang dan sepuluh menit kemudian sampailah kami di rumah.

Aku buka pintu dengan keras. Aku lempar begitu saja tasku. Tanpa melepas sepatu,

aku hempaskan begitu saja tubuhku di kursi tamu.

Wati yang kebingungan kemudian bertanya padaku tentang penyebab

keanehan yang kulakukan. Dengan berapi-api dan penuh dengan emosi, aku coba

jelaskan semuanya pada Wati. Belum juga selesai penjelasanku, tiba-tiba

handphone-ku berdering. Dari seberang sana, sebuah suara memberitahukan,

bahwa saat ini juga aku harus segera datang ke rumah sakit karena ada hal genting

yang terjadi. Dengan penuh rasa kaget, aku segera meminta Wati mengantar ke

rumah sakit.

Di bagian informasi, masih dengan ketergesaan, aku tanyakan alasan

mengapa diriku diundang ke sana. Seorang perawat, dengan wajah sabar, kemudian

memintaku mengikutinya. Aku dan Wati kemudian mengikutinya. Sepanjang

perjalanan menguntit perawat itu, tak sepatah katapun terucap dari bibir kami. Aku

menjadi penasaran dan semakin tegang.

Selepas berbelok ke kiri, kanan, naik lift, dan menuruni sedikit tangga,

akhirnya sampailah kami di tempat tujuan. Aku terhenyak, sebab perawat tersebut

menghentikan kami di sebuah kamar dengan sebuah tulisan tertempel di atas pintu:

KAMAR MAYAT.

Dengan rasa penasaran yang lebih besar dari keterkejutan, aku hempaskan

pintu ruang tersebut. Aku terhenyak ketika kulihat di pojok ruang sesosok jasad
terbujur kaku tertutup kain kafan. Aku bergegas menghampiri. Tanpa keraguan, aku

buka kain kafan penutup itu.

Ya Allah!!!!

Jasad itu adalah ibu!

Aku limbung.

Aku menangis mengguguk.

Hujan deras air mataku tak terbendung lagi. Sebagiannya adalah karena rasa

kehilangan yang begitu mendadak, namun sebagian yang lain -yang lebih besar-

adalah rasa menyesal yang teramat sangat.

Bukan!

Aku tak menyesali kekasaran atau tindakanku!

Tapi aku menyesal karena ibu meninggal ketika masih berprofesi sebagai

seorang pemandu karaoke, sebagai seorang wanita penghibur, sebagai pelacur yang

hina.

Sedang aku larut dalam kubangan tangis dan penyesalan, sebuah tangan

dengan lembut menyentuh pundakku. Aku menoleh dan langsung saja kukibaskan

tangan itu. Lelaki berbadan tegap, yang memboncengkan ibukulah, yang

menyentuh pundakku.

Tangan itu najis!

Kotor oleh darah ibu!


Kotor oleh nafsu syahwati!

Aku tatap mata lelaki tersebut. Langsung. Menusuk. Penuh dengan

kebencian.

Rona bersalah tampak sangat kentara di wajah lelaki itu. Namun, tampaknya

ada hal yang hendak disampaikan sehingga ia berani menatap mataku. Ia kemudian

meminta waktu padaku untuk berbicara empat mata.

Sebenarnya aku segan, tapi kupaksa hati ini untuk memberikan sedikit

kesempatan pada lelaki tersebut. Siapa tahu ada hal penting yang hendak

disampaikan. Aku anggukkan kepalaku dengan kasar tanda menyetujui

permintaannya. Kami berdua kemudian duduk menyelonjor begitu saja di samping

jasad ibu. Wati dan perawat itu tidak kelihatan, mungkin sudah diberitahu jika lelaki

tersebut meminta waktu untuk berbicara secara privat denganku.

Setelah berbasa-basi singkat, lelaki berbadan tegap itu kemudian mulai

masuk pada inti pembicaraan. Ia berkata, bahwa ibu, sebelum meninggal, meminta

kepadanya untuk bercerita kepadaku tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Aku

tanggapi dengan dingin kata-kata itu.

Ia kemudian berkata, jika sebab meninggalnya ibuku adalah karena ditabrak

oleh sebuah mobil karena terlalu fokus mengejarku di traffic light. Mendengar

keterangan ini, aku hanya sedikit berdehem. Rasa salah sedikit menghinggapiku,

namun aku melihat, bahwa sesungguhnya yang bersalah bukanlah aku, tetapi ibu

dan lelaki yang saat ini berbicara padaku. Salah siapa ibu berduaan mesra dengan

lelaki tersebut dan terlihat olehku. Salah siapa ibu mengejarku?


Lelaki itulah yang sebenarnya menjadi penyebab kematian ibu!

Rasa marah tiba-tiba timbul begitu kesadaran akan hal ini menghinggapiku.

Namun, aku mencoba menahannya. Aku pikir, aku masih punya kesempatan untuk

melampiaskan rasa marahku selepas perbincangan ini. Aku tidak boleh

menunjukkan kelemahanku dengan memperlihatkan emosi atau gejolak hati.

Melihat reaksiku yang dingin-dingin saja membuat lelaki itu terheran.

Meski demikian lelaki tersebut tetap melanjutkan ceritanya. Katanya, menurut

cerita ibu pada lelaki itu, selepas kematian ayahku, ibu terpaksa bekerja pada boss

klub malam, dengan maksud untuk menutupi semua hutang ayah, membiayai

sekolahku, dan membiayai kehidupan kami berdua sehari-hari.

Benar!

Tepat seperti dugaan tetangga dan teman-teman, ibu adalah seorang

pemandu karaoke, seorang wanita penghibur, seorang pelacur!

Benar-benar aku merasa marah mendengar kenyataan ini. Tapi, lagi-lagi,

aku mencoba menahan rasa itu dan berupaya untuk tetap fokus dengan perkataan

lelaki berbadan tegap tadi.

Mungkin karena berkali-kali dikecewakan dengan responku yang biasa-

biasa dan dingin-dingin saja, lelaki itu kemudian dengan tanpa menengok ke arahku

melanjutkan lagi ceritanya.

Kata lelaki tersebut, ibu ternyata mampu bekerja dengan baik, maka boss

klub malam itu memintanya secara spesial untuk bekerja lebih keras lagi dengan
jadwal yang lebih padat. Boss klub malam sangat berharap agar ibu dapat selalu

datang ke rumahnya, bukan hanya seminggu tiga kali akan tetapi menjadi setiap

hari.

“Datang ke rumah boss klub malam setiap hari???”

“Bajingan! Ibu rupanya tak cuma menjadi pemandu karaoke tetapi juga

wanita simpanan!!!”

“Bangsat!”

“Dasar pelacur!”

Secara tak sengaja, kalimat tersebut meluncur dari mulutku. Lelaki tersebut

berjingat. Ia kaget mendengar kata-kata kasar meluncur dari mulutku. Ia geleng-

gelengkan kepalanya dan menyangkal kata-kataku.

EVALUASI

“Bukan!”

“Ibumu tak sekotor itu. Ia adalah wanita suci, sesuci-sucinya. Wallahi! Ia

bekerja keras di karaoke bukan sebagai pemandu. Bukan sebagai wanita penghibur!

Ia bekerja di karaoke sebagai guru ngaji anak boss karaoke. Sekotor-kotornya

orang, pastilah ingin anaknya tak mengikuti jejaknya, maka boss klub malam itu

meminta ibumu sebagai guru ngaji privat anaknya, agar kelak sang anak tak

mengikuti jejaknya. Memang rumah boss tempat klub malam itu bersebelahan

persis dengan tempat karaokean, jadi wajar jika ibumu terlihat berlalu lalang di
sekitaran klub tersebut. Jika memang ibumu bekerja sebagai pemandu karaoke atau

wanita penghibur, pastilah ia tak memakai baju syar’i tertutup, pastilah ia memakai

parfum harum menggoda. Apa pernah dirimu melihat ibumu seperti itu?”

Lelaki itu berhenti sejenak untuk sekadar mengambil nafas. Lanjutnya

kemudian, “Sedangkan aku, aku adalah saudara sepersusuan ibumu yang tinggal di

kota sebelah. Bertahun-tahun sudah ibumu tak pernah menghubungiku, namun

kemarin ia menelpon dan memohon bantuanku untuk mengantar dan

mendampinginya ke rumah sakit, sebab oleh dokter ia divonis kena kanker stadium

empat!”

“Sepanjang jalan menuju rumah sakit -sambil memeluk punggungku dan

menyandarkan tubuhnya karena merasa lemah dan sakit- ibumu banyak bercerita

tentangmu, tentang harapan-harapannya padamu. Ia merasa bangga mempunyai

anak shalihah yang diamanahi sebagai ketua Rohis sepertimu. Ia merasa senang

melihat prestasi akademismu. Ia merasa sangat berbahagia melihat dirimu dapat

menjaga diri. Terakhir, ia menitip pesan padaku untuk mendampingimu jika kelak

penyakit itu merenggut nyawanya, merebut dirinya dari sisimu. Sungguh, ibumu

adalah semulia-mulia wanita ….”

RESOLUSI

Kata-kata itu menyentakku, menjatuhkan beribu kesadaran. Rasa benci dan

kecewa yang dulu begitu menjelaga tiba-tiba terangkat. Air mataku tumpah dengan

seketika. Dan, sebelum dapat mendengar lebih lengkap keterangan saudara


sepersusuan ibu, tiba-tiba aku merasa semua yang kulihat berubah jadi putih.

Tubuhku terangkat oleh hembus angin yang begitu lembut. Melayang. Menuju

pojok petala. Di sana, kulihat ibu tersenyum dengan penuh kesabaran. Tubuhnya

bercahaya. Kedua lengannya dikembangkan, seolah ia bersiap untuk memelukku.

Kosong ….
CONTOH OUTLINE

ABSTRAKSI

Husnul sangat membeci ibunya disebabkan profesi beliau.

ORIENTASI

Husnul tinggal di perkampungan padat dengan ciri masyarakat heterogen di

pinggiran kota. Selayaknya perkampungan padat, berita menjadi cepat tersebar.

KOMPLIKASI

Husnul mengetahui profesi sang ibu dari kawan dan tetangga.

RISING ACTION

Husnul merasa amat malu sebab selama ini ia adalah patron muslimah kaffah di

sekolahnya. Di sisi lain, ibunya bekerja sebagai wanita penghibur.


TURNING POINT

Husnul mendapati ibunya tengah memeluk seorang lelaki di atas motor. Husnul

marah. Ibunya berupaya menjelaskan, namun naas, pada saat mengejar anaknya ia

tertabrak mobil dan meninggal dunia.

EVALUASI

Lelaki yang memboncengkan almarhumah ibu Husnul menjelaskan, bahwa profesi

ibunya bukanlah sebagai wanita penghibur melainkan guru mengaji anak boss klub

malam.

RESOLUSI

Husnul menyesal dan terasadar dari kesalahannya.

KODA

Pada cerpen di atas tidak ada koda.

Anda mungkin juga menyukai