Sungguh, aku benar-benar tidak suka dengan ibuku. Bagiku, ibu tak lebih
berharga dari karung bekas yang dijual di pasar-pasar tradisional. Ibu pun tak lebih
Jika orang-orang mengatakan, bahwa ibu adalah sosok yang paling pantas
dicintai dan dihormati, maka tidaklah demikian denganku. Bagaimana aku hendak
hormat dan cinta kepada ibu jika pemandu karaoke menjadi profesinya?
Memang, aku tak pernah melihat sendiri ketika ibuku melayani para lelaki hidung
belang yang haus akan hiburan. Benar, aku tidak pernah menyaksikan dengan mata
kepalaku ketika ibu berdandan seronok ataupun memakai parfum yang menusuk
hidung. Namun, aku sudah cukup yakin dengan kesaksian beberapa tetangga dan
teman yang mengatakan pernah berjumpa dengan ibu di sebuah klub malam.
Tidak!
Ada lebih dari dua orang baligh yang memberikan kesaksian, bahwasanya
mereka melihat ibu berada di klub malam. Jika bukan untuk menjadi pemandu atau
***
ORIENTASI
padat. Tiap kali ada sebuah kejadian yang tidak bagus, maka dapat dipastikan dalam
jangka yang tak terlalu lama berita itu akan langsung menyebar, bagaikan butiran
KOMPLIKASI
jurang malu yang teramat dalam. Bisa dipastikan kabar ini telah menyebar luas ke
seantero tempat tinggalku tanpa bisa dikendalikan. Tentu saja hal ini membuatku
malu, walaupun hanya sekadar ke luar rumah untuk berbincang atau bermain ke
RISING ACTION
Bagaimana tidak malu, aku berjilbab, tetapi ibuku malah berprofesi sebagai
wanita penghibur. Bagaimana tak malu, jika di sekolah aku diamanahi sebagai
ketua Rohis sedangkan di rumah aku mempunyai seorang ibu yang bekerja sebagai
kebenaran jika orang terdekatku, orang yang melahirkanku, dan orang yang setiap
TURNING POINT
Semenjak jati diri profesi ibu terkuak, aku menjadi bersikap dingin
kepadanya. Sering kali ibu berupaya mengajakku ngobrol, tetapi selalu saja kutolak.
Bahkan, sering aku membanting pintu kamar di depan muka ibu. Aku juga sering
melihat ibu menangis sesenggukan di kamarnya, tapi hatiku sama sekali tak
tersentuh.
“Tangis seorang buaya wanita!!!” cetusku dalam hati ketika secara tak
Beberapa kali ibu mencoba untuk mencuri hatiku dengan membelikan baju
atau makanan kesukaanku, tapi, tentu saja, aku tolak pemberian itu. Tidak saja aku
tolak, bahkan aku buang seluruh pemberian ibu itu di tempat sampah. Melihat
perbuatanku, ibu tampak sangat sedih. Dengan lelehan air mata di pipi, ibu mencoba
tubuh dan meninggalkan ibu begitu saja. Perbuatan ibu yang membelikanku sesuatu
tak berdampak sama sekali pada hatiku. Hal itu sama sekali tak mampu
robot yang tak berperasaan terhadap ibuku. Rasa kasihan dan cinta kasih yang dulu
tertanam kuat sekarang tercerabut. Jujur, aku tak merasa sayang dengan perubahan
tersebut. Biarlah. Biar ibu merasakan, betapa aku sangat membenci ibu dengan
menghampiriku. Andai saja ayah masih ada, tak mungkin ibu akan bekerja sebagai
pemandu karaoke. Slide demi slide kenangan terhadap ayah membawaku terbang
profesi ibu yang begitu kotor dan menjijikkan sering kali merusak bayangan indah
tersebut, dan hal itu makin membuat aku menjadi tambah kecewa dan benci
terhadap ibu.
***
“Sudah, Ndhuk, kamu istirahat saja. Tidak usah masuk sekolah. Nanti Ibu
mintakan izin ke sekolah,” kata ibu ketika mendapati badanku demam. Dengan
halus ia coba usap dahiku. Dengan gerak lemah yang kupaksakan, aku egoskan
kepalaku, sehingga tangan ibu tak mampu menjamah dahiku. Sekilas terlihat sorot
kecewa dan sedih pada mata ibu. Terlihat ia terpukul dengan tindakanku. Namun,
juga tersenyum dan melanjutkan kata-katanya, “Ya sudah, kamu istirahat di rumah
dulu. Ibu akan memintakan izin sekalian nanti berangkat kerja. Kamu ingin
dibelikan makanan apa, Ndhuk?” Aku menggeleng sambil mengatupkan bibir rapat-
rapat. Melihat tingkahku yang seperti itu, dengan mendesah, ibu berkata, “Ya wis,
nanti ibu belikan obat dan juga makanan kesukaanmu. Ibu berangkat dulu .…”
Aku tidak menyambuti pamit ibu. Aku tarik selimut dari kakiku dan
seluruh tubuh, masih kudengar ibu mendesah berat sambil menyeret kakinya
karaoke, kok, bekerja! Dasar pelacur hina!!!” kuhantarkan kepergian ibu dengan
***
Sebenarnya hari ini aku masih merasa lemah. Aku masih ingin terus
beristirahat, tapi aku tak ingin terus di rumah bersama ibuku. Di samping alasan itu,
aku juga tidak enak pada wali kelas dan teman-temanku karena sudah tiga hari ini
tidak masuk sekolah. Hari ini Wati, teman sebangkuku berinisiatif untuk
menawarkan diri menjemput dan mengantarkanku pulang. Tentu saja tidak aku
tolak tawaran itu. Maka, berangkatlah aku hari ini membonceng Wati. Aku
berangkat tanpa berpamitan pada ibu. Masih kulihat sekilas ibu berupaya mengejar
kepergianku, tapi sosoknya perlahan namun pasti mulai hilang seiring dengan laju
karena traffic light menyala merah. Aku menata duduk sambil mengitarkan
pandangan ke sekeliling.
DEG!!!
Aku mencoba menajamkan mataku dan melihat lebih fokus pada sosok
perempuan yang tengah membonceng seorang lelaki tegap tepat di sebelah kiriku.
Wanita itu tampak memeluk erat lelaki tersebut. Mungkin merasa kutatap atau
Gusti Allah!!!!!
Sekaget aku, ibu juga berjingat begitu pandangan kami bersirobok. Aku
pelototkan mataku pada ibu, seolah seluruh kemarahan dan rasa kecewa yang
selama ini terpendam kutumpahkan saat itu juga. Melihat kemarahanku yang seperti
itu, ibu kemudian melompat turun dari boncengannya dan berupaya berlari
segera memacu motornya secepat mungkin. Aku tak ingin ibu menyusulku. Aku
benar-benar benci wanita itu! Terbukti sudah, ibuku memang seorang wanita yang
motornya sangat kencang dan sepuluh menit kemudian sampailah kami di rumah.
Aku buka pintu dengan keras. Aku lempar begitu saja tasku. Tanpa melepas sepatu,
keanehan yang kulakukan. Dengan berapi-api dan penuh dengan emosi, aku coba
bahwa saat ini juga aku harus segera datang ke rumah sakit karena ada hal genting
yang terjadi. Dengan penuh rasa kaget, aku segera meminta Wati mengantar ke
rumah sakit.
mengapa diriku diundang ke sana. Seorang perawat, dengan wajah sabar, kemudian
perjalanan menguntit perawat itu, tak sepatah katapun terucap dari bibir kami. Aku
Selepas berbelok ke kiri, kanan, naik lift, dan menuruni sedikit tangga,
akhirnya sampailah kami di tempat tujuan. Aku terhenyak, sebab perawat tersebut
menghentikan kami di sebuah kamar dengan sebuah tulisan tertempel di atas pintu:
KAMAR MAYAT.
Dengan rasa penasaran yang lebih besar dari keterkejutan, aku hempaskan
pintu ruang tersebut. Aku terhenyak ketika kulihat di pojok ruang sesosok jasad
terbujur kaku tertutup kain kafan. Aku bergegas menghampiri. Tanpa keraguan, aku
Ya Allah!!!!
Aku limbung.
Hujan deras air mataku tak terbendung lagi. Sebagiannya adalah karena rasa
kehilangan yang begitu mendadak, namun sebagian yang lain -yang lebih besar-
Bukan!
Tapi aku menyesal karena ibu meninggal ketika masih berprofesi sebagai
seorang pemandu karaoke, sebagai seorang wanita penghibur, sebagai pelacur yang
hina.
Sedang aku larut dalam kubangan tangis dan penyesalan, sebuah tangan
dengan lembut menyentuh pundakku. Aku menoleh dan langsung saja kukibaskan
menyentuh pundakku.
kebencian.
Rona bersalah tampak sangat kentara di wajah lelaki itu. Namun, tampaknya
ada hal yang hendak disampaikan sehingga ia berani menatap mataku. Ia kemudian
Sebenarnya aku segan, tapi kupaksa hati ini untuk memberikan sedikit
kesempatan pada lelaki tersebut. Siapa tahu ada hal penting yang hendak
jasad ibu. Wati dan perawat itu tidak kelihatan, mungkin sudah diberitahu jika lelaki
masuk pada inti pembicaraan. Ia berkata, bahwa ibu, sebelum meninggal, meminta
kepadanya untuk bercerita kepadaku tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Aku
oleh sebuah mobil karena terlalu fokus mengejarku di traffic light. Mendengar
keterangan ini, aku hanya sedikit berdehem. Rasa salah sedikit menghinggapiku,
namun aku melihat, bahwa sesungguhnya yang bersalah bukanlah aku, tetapi ibu
dan lelaki yang saat ini berbicara padaku. Salah siapa ibu berduaan mesra dengan
Rasa marah tiba-tiba timbul begitu kesadaran akan hal ini menghinggapiku.
Namun, aku mencoba menahannya. Aku pikir, aku masih punya kesempatan untuk
cerita ibu pada lelaki itu, selepas kematian ayahku, ibu terpaksa bekerja pada boss
klub malam, dengan maksud untuk menutupi semua hutang ayah, membiayai
Benar!
aku mencoba menahan rasa itu dan berupaya untuk tetap fokus dengan perkataan
biasa dan dingin-dingin saja, lelaki itu kemudian dengan tanpa menengok ke arahku
Kata lelaki tersebut, ibu ternyata mampu bekerja dengan baik, maka boss
klub malam itu memintanya secara spesial untuk bekerja lebih keras lagi dengan
jadwal yang lebih padat. Boss klub malam sangat berharap agar ibu dapat selalu
datang ke rumahnya, bukan hanya seminggu tiga kali akan tetapi menjadi setiap
hari.
“Bajingan! Ibu rupanya tak cuma menjadi pemandu karaoke tetapi juga
wanita simpanan!!!”
“Bangsat!”
“Dasar pelacur!”
Secara tak sengaja, kalimat tersebut meluncur dari mulutku. Lelaki tersebut
EVALUASI
“Bukan!”
bekerja keras di karaoke bukan sebagai pemandu. Bukan sebagai wanita penghibur!
orang, pastilah ingin anaknya tak mengikuti jejaknya, maka boss klub malam itu
meminta ibumu sebagai guru ngaji privat anaknya, agar kelak sang anak tak
mengikuti jejaknya. Memang rumah boss tempat klub malam itu bersebelahan
persis dengan tempat karaokean, jadi wajar jika ibumu terlihat berlalu lalang di
sekitaran klub tersebut. Jika memang ibumu bekerja sebagai pemandu karaoke atau
wanita penghibur, pastilah ia tak memakai baju syar’i tertutup, pastilah ia memakai
parfum harum menggoda. Apa pernah dirimu melihat ibumu seperti itu?”
kemudian, “Sedangkan aku, aku adalah saudara sepersusuan ibumu yang tinggal di
mendampinginya ke rumah sakit, sebab oleh dokter ia divonis kena kanker stadium
empat!”
menyandarkan tubuhnya karena merasa lemah dan sakit- ibumu banyak bercerita
anak shalihah yang diamanahi sebagai ketua Rohis sepertimu. Ia merasa senang
menjaga diri. Terakhir, ia menitip pesan padaku untuk mendampingimu jika kelak
penyakit itu merenggut nyawanya, merebut dirinya dari sisimu. Sungguh, ibumu
RESOLUSI
kecewa yang dulu begitu menjelaga tiba-tiba terangkat. Air mataku tumpah dengan
Tubuhku terangkat oleh hembus angin yang begitu lembut. Melayang. Menuju
pojok petala. Di sana, kulihat ibu tersenyum dengan penuh kesabaran. Tubuhnya
Kosong ….
CONTOH OUTLINE
ABSTRAKSI
ORIENTASI
KOMPLIKASI
RISING ACTION
Husnul merasa amat malu sebab selama ini ia adalah patron muslimah kaffah di
Husnul mendapati ibunya tengah memeluk seorang lelaki di atas motor. Husnul
marah. Ibunya berupaya menjelaskan, namun naas, pada saat mengejar anaknya ia
EVALUASI
ibunya bukanlah sebagai wanita penghibur melainkan guru mengaji anak boss klub
malam.
RESOLUSI
KODA