Anda di halaman 1dari 5

Oleh: Abdul Wahab

Dalam Sunyi Aku Sendiri


Sudah tujuh belas tahun berlalu dan aku tak cukup tahu dimana dia berada. Kabar burung
bilang dia berada di Jakarta, tapi aku tak pernah menemukannya walau aku sudah ke Jakarta,
tak lama aku menyusul, hanya setengah tahun, setelah itu aku melanjutkan pengembaraanku
mencari nafkah untuk bisa survive bertahan hidup di rimba kehidupan.

Nenek dari desa bilang bahwa ayahku tak pernah pulang, walaupun hari raya tiba tapi tak
pernah datang, selayaknya tetangga pada umumnya, harusnya sebagai anak, ayahku pulang
walaupun tak bisa memberi uang. Nenek di desa sana tinggal sebatang kara. Di rumah
sendirian. Setiap pagi ke sawah untuk memungut uang dari sawah orang. Terkadang aku
kasihan melihatnya. Aku ingin membantu tapi sayang aku tak bisa berlama-lama disitu. Tentu
kalau ibu tahu aku berada disitu pasti marah sejadi-jadinya.

Aku hanya ingin tahu. Walaupun aku sudah ditinggal lama, aku tak pernah merasakan
kehadiraanya secara nyata. Aku hanya ingat ia sebagai sosok yang tak begitu tinggi dan
berkumis tebal seperti orang India, dan berpakaian yang rapi, sosok itu buram di gambaran
kepalaku. Sudah terhapus sang waktu yang berlalu. Kalau memang masih hidup aku ingin
menyapanya, seorang ayah yang aku adalah benih darinya. Separuh yang lain dari ibuku.

Baik ayah ataupun ibu aku sama-sama tak pernah bertemu. Mereka berdua seperti tokoh fiksi
dalam hidupku. Hanya saja ibu lebih sering berhubungan denganku lewat telepon seluler.
Setelah perceraian yang terjadi lima belas tahun yang silam, aku direbut oleh ibuku, kakakku
bersamaku, bersama ibu. Ayah sendirian. Tak pernah aku merasakan bagaimana digendong
oleh ayah dulunya.

Aku sudah terbiasa dengan perasaan yang cemburu dan mengiri pada anak kecil yang
bersama dengan orang tua; ayah yang menggendong bayinya, ibu yang mengelus-elus
anaknya. Aku sudah terbiasa. Pada awalnya aku merasa beban berat di hati.

Terkadang-malah setiap waktu- aku merasa sepi. Sepi sekali seperti terdampar dalam sampan
di samudra pasifik, sendirian tanpa ada yang diajak bicara.

Aku pernah bermimpi bertemu ayah. Saat itu aku menanyakannya, ada dimana sekarang
ayah? Ia menunduk dan menyimpan sesuatu di wajahnya. Ketika aku bangun aku merasa
seperti biasanya, entah aku berada dimana. Aku merasa sepi. Aku berada dimana? Butuh
waktu sebentar untuk memulihkan risauku.

“Kemana ayahmu sekarang?” Mas Yono menanyaiku suatu ketika.

Tenggorokanku tercekat, aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

Seluruh desa hampir tahu apa yang terjadi pada keluargaku. Kadang aku malu apa yang harus
aku lakukan, hampir ketika aku bertemu tetangga, mereka menanyaiku dimana ayahku,
dimana ibuku. Ini yang membuatku segan dan malu bertemu tetangga.
“Udahlah tak perlu dirisaukan, apa yang terjadi pada keluargamu jangan terlalu difikir. Nanti
stress kamu.” Mas Wawan menimpali. Menenangkan aku dengan kata-katanya.

Jujur aku tak mengerti maksud semua ini. Apa yang terjadi kata temanku yang pandai
mengaji pasti tersimpan hikmah. Tapi aku tak bisa menemukan apa hikmah dibalik semua ini.
Terasa hanya pedih. Perih harus menerima kenyataan bahwa aku memiliki keluarga yang
cerai dan tak jelas masa depannya.

Brrrrrr…brrrrrr….brrrrr telepon seluler berbunyi ketika aku selesai dari mandi. Kulihat ibuku
menelpon dari Negara Malaysia. Ya setelah perceraian itu tentu ibuku yang menjadi tulang
punggung keluarga. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah orang kaya.
Komunikasi kami hanya melalui telepon seluler.

Biasanya menanyakan tentang kabar. Aku jawab sejujurnya. Jujur saja aku bosan dengan
semua ini. Seperti sandiwara. Aku ingin mengakhiri dengan caraku. Tapi selalu aku tak bisa.
Aku selalu terbatas oleh nilai-nilai yang ditanamkan di MDA Bahwa aku harus mematuhi
ibuku, sebagai orang tuaku.

Terkadang ibu memberi nasehat yang bagus untukku. Tapi terkadang dia menjelek-jelekkan
ayah dan keluarga nenek dari ayah. Aku bertanya-tanya, kenapa bisa sedemikian jelek itu.
Tapi ibu malah marah-marah, seperti tidak ingin aku membela ayah.

Sama seperti ayah. Sudah lebih dari 17 tahun aku tak pernah bertemu ibu. Melainkan hanya
lewat telepon seluler. Terkadang aku berfikir buruk sekali. Lebih baik aku menjadi yatim
saja. Sama-sama tidak bertemu orang tua, tapi aku bisa melakukan semauku. Aku ingin
menjadi bajingan, aku ingin menjadi berandalan aku ingin menjadi pencopet. Tak perlu aku
menunggu ibu. Tak perlu aku selalu menenteng telepon seluler kemana-mana untuk
menjawab setiap panggilan ibuku. Jika tak segera dijawab aku akan dimarahi.

Tuhan lebih tahu apa yang terbaik dan pasti ada hikmah disetiap pedih ini. Itu yang sering
kuingat. Aku pun tak betah bersama kakakku. Dia pemarah. Dia egois, dia ingin menang
sendiri. Dia sensitive, cepat tersinggung. Aku dibatasi dalam banyak hal: pergaulan dan uang
jajan. Uang kiriman dari ibu dia yang pegang, dia bisa makan sesukanya, dia merokok setiap
hari menghabiskan banyak puntung. Aku hanya menikmati masakanku seadanya walau
sering aku menggoreng nasi demi mengirit uang kiriman dari ibu.

Kakakku seperti ibu, cepat marah. Ketika marah aku tak bisa melawan, aku hanya menunduk.
Aku selalu menjadi pelampiasan marah kakakku. Pernah aku dipukul sampai lebam di pipi.
Atau punggungku pernah menjadi saksi tendangan kakakku. Tapi semua berlalu, aku
berusaha melupakan sakit itu, sakit fisik dan sakit hatiku. Tak semua bisa dilupakan, ada
sedikit goresan yang jika kuingat akan mengorek luka bathin yang mulai mengering. Luka ini
sepertinya abadi.

Kakak dulu pernah suatu malam marah-marah, aku tak tahu, seperti kerasukan jin atau
mahluk gaib. Matanya merah, di mulutnya tercium seperti tuak. Kakak mabuk berat
nampaknya. Aku memandangi dengan gamang, sambil aku memasang jarak, takut kena pukul
sudah cukup aku dimarah-marahi. Cukup menderita bathinku bersamanya.
Terkadang kakak berbohong jika ibu menghubungi kita. Ibu selalu bertanya sudah salat?
Kakak menjawab sudah padahal kakak tak pernah sembayang. Dan kakak sering bilang kalau
aku pemalas, kurang rajin belajar dan banyak pekerjaan rumah yang tak dikerjakan rutin
seperti menyapu lantai, mencuci piring dan lain-lain. Padahal dia sendiri tak pernah, akulah
yang selalu-dan paling-bertindak. Kakak hanya bisa menyuruh-nyuruh saja. Aku sebagai
adek hanya menuruti.

Sejujurnya aku tak bisa hidup bersama kakakku. Aku ingin hidup sendiri. Tapi aku tak tahu
caranya, ketika aku melakukan sesuatu aku selalu disalahkan oleh kakakku. Aku hanya
menuruti saja kemauannya. Terkadang menjadi adek itu tidak enak jika memiliki kakak yang
semaunya sendiri.

Kini dengan waktu yang tersisa aku tak tahu harus berbuat apa. Disamping berdoa kepada
Tuhan, aku melakukan apa yang menurut kakakku benar. Aku lakukan sebagai anak dari ibu.
Ibu selalu membenarkan kakak. Aku sendiri yang tidak ada pembelaan dari siapapun. Ah
sudahlah smakin buruk pikiranku jika kuteruskan. Biarkan aku pedih dan membusuk dalam
perintah Tuhan untuk mentaati ibuku yang selalu mencaci ayahku.

Andai ada ayah. Aku ingin mengungkapkan segala kesediahanku padanya. Tapi dia tak ada.
Hanya Tuhan yang menjadi teman berkeluh kesahku.

Aku hanya menunggu apa yang akan datang dalam hidupku. Apa itu semakin buruk atau
tetap aku akan terima. Pertama mungkin pahit tapi jika aku sabar menelan beban itu aku akan
terbiasa.

Tuhan aku ingin bunuh diri, pekikku dalam hati ketika kurasa masalah datang bertubi-tubi.
Tapi itu hanya keinginan yang tak akan mungkin aku lakukan.

Suatu malam aku bermimpi bertemu ayah, saat itu aku melihat wajahnya dingin, bahkan
sedingin air pagi hari. Dia tak berbicara, aku mulai berbicara. Ayah dimana sekarang? Ia tak
mengeluarkan sepatah kata pun.

Aku ceritakan kepadanya hal-ihwal yang aku derita, ketidak-adilan kakakku, nenek dari ayah
yang hidup sebatang kara dan semua kesialan yang aku derita. Dia tak mengeluarkan kata-
kata juga.

Terakhir aku bilang bahwa kakak semakin rusak, biasa mabuk-mabukan. Menjadi
berandalan. Tak bisa lagi menerima nasihat walau dari lisan seorang ustad.

Ayah masih diam.

“Apakah ayah akan diam saja jika anak yang sebagai tanggung jawab seorang ayah menjadi
semakin rusak dan berandal? Jawablah ayah!”

Bunyi alarm membangunkanku, disaat yang sama disusul suara-suara ayam berkokok.
Suasana subuh menggelayuti badanku dinginnya. Aku bergegas ke masjid setelah mengambil
air wudlu.
Aku, sambil berjalan, tetap tak mengerti apa yag terjadi pada keluarga ini. Biarkan semua
berlalu dan kewajibanku hanya berbuat baik kepada semua orang orang, bahkan kepada
orang yang telah berbuat jelek kepadaku, aku harus tetap berbuat baik walau dada ini sesak
terhimpit dendam yang membara. Hanya kepada Tuhan aku meminta tolong.

.
Dari : Abdul Wahab
Kepada : budaya_ripos@yahoo.com Riau Pos
Dikirim : Jum’at, 7 Desember 2014
Judul : Cerpen : Dalam Sunyi Aku Sendiri
.

Pekanbaru, Jum’at, 7 Desember 2014

Kepada
Yth. Redaktur Cerpen Riau Pos
di tempat.

Dengan hormat,
Bersama ini saya kirimkan sebuah cerpen saya bertajuk “Dalam Sunyi Aku Sendiri” (dalam
Lampiran). Saya sangat berharap cerpen ini Anda baca dan kelayakan pemuatannya
sepenuhnya hak Anda. Atas pembacaan dan pertimbangan Anda, saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,

Abdul Wahab
Aw95622@gmail.com
Tlp. 082389364139
Rek BRI Simpang Baru Tuanku Tambusai 5412-01-016735-53-2 a.n. Abdul Wahab
.Nama : Abdul Wahab

Tempat tanggal lahir : Jombang 12 februari 1992

Alamat : Jln Suka Karya perum BSD blok 8, Panam, Pekanbaru

Pekerjaan : Mahasiswa UIN Suska Pekanbaru

Anda mungkin juga menyukai