Anda di halaman 1dari 2

Namaku Afara Dalu Aryana, lahir di jakarta, 7 juli 2004.

Aku terlahir di keluarga


sederhana, ibu dan bapakku seorang pedagang warung nasi. Aku mempunyai satu kakak laki-
laki yang kini membantu orang tuaku merantau di jakarta. Aku disini bersama nenekku, di
tegal kampung halamanku. Aku mulai tinggal bersama nenekku saat aku kelas 5 sekolah
dasar. Saat itu orang tuaku akan pindah warung, jadi dari pada aku harus ikut pindah di
jakarta lagi yang noteben nya kota keras, aku dipindahkan ke kampung.
Awalnya sangt beratharus berpisah dengan keluargaku. Apalagi di usiaku yang masih
butuh bimbingan orang tua. Saat itu aku masih sangt lugu, walaupun aku dari kota tapi aku
lebih lugu daripada anak desa. Sewaktu orang tuaku berpamitan padaku untuk berangkat ke
kota, disitu aku mulai merasa tidak enak. Sangat berat saat itu harus mengucapkan kata “hati-
hati” karena saat itu aku sendiri tengah merasa tidak aman. Tangisku pecah, tidak mau
melihat kepergian orang tuaku. Aku hanya menangis di kamar, sampai beberapa saudaraku
ikut menenangkan. Biasanya, aku yang berpamitan namun kini aku harus bisa menabung
semua kerinduan. Hari pertama aku merasa sangat kehilangan, sangat lucu bukan. Rasanya au
ingin minta satu hari lagi, dan seterusnya.
Malamnya, aku melaksanakan shalat maghrib dirumah.rakaat pertama tidak apa-apa
sampai selesai shalat dan tepat sehabis mengucap salam refleks air mataku langsung turun.
Aku menutupinya dengan telapak tanganku. Dadaku bergemuruh, tenggorokanku tercekat
sulit untuk memaklumi semua yang sedang terjadi. Aku menangis, aku mengadu. Rinduku
sudah mulai datang, sudah mulai kutabung sejak 6 jam yang lalu. Sampai saat tidur pun, aku
masih ingin bersama ibu bapak. Aku memikirkan, bagaimana mereka disana tanpa aku
padahal ada aku pun aku hanya menonton tv jarang sekali membantu. Tapi, waktu yang
paling indah adalah bersama keluarga tercinta. Ibu bapa, doaku selalu bersamamu. Semoga
allah tambahkan rezeki kepadamu, semoga allah lapangkan hatimu, semoga allah kuatkan
pundakmu. Aminnn...
Beberapa bulannya aku mulai terbiasa. Terbiasa dengan sepinya mlam di desa,
terbiasa dengan semua ocehan nenekku, terbiasa dengan teriknya matahari saat aku pulang
sekolah. Kulitku mulai menghitam, bicaraku mulai medok,pikiranku mulai terbuka. Seklah
menjadi pengalihan utama bagi semua kesedihanku. Aku mulai terbiasa dengan suara ibuku
di telepon. Ah iya, saat itu ponselku masih jadul, mereknya nokia, bentuknya persepi panjang
namun sangat kecil. Itu pun aku sangat bahagia, dibandingkan ponsel teman-temanku yang
sudah canggih. Pikirku dulu, “gak apa apa lah, yang penting bisa denger suara mama sama
bisa sms an.” Sesederhana itu. Aku bahagia.
Hari-hari mulai kulalui dengan ikhlas dan biasa saja, jarang ada tangis. Namun,
suasana rumah yang aku kira baik, dan nenekku yang aku kira sedang baik-baik saja juga.
Tapii... aku malah terkejut dengan sifat asli nenekku. Aku memang anak dan cucu perempuan
satu perempuan satu-satunya di keluarga. Saudaraku yang lain semuanya laki-laki. Dulu
sebelum aku hidup bersama nenekku, dia sangat baik, bahkan dulu aku lebih memilih nenek
ku diandingkan ibuku sendiri.
Saat itu umurku sekitar 12 tahun. Tentunya aku bukan anak kecil lagi bukan? Aku
sudah mulai tau mana yang benar dan mana yang salah. Dan aku juga bisa menyimpulkan
dan sudah mulai menjadi manusia yang perasa. Aku memang manja, aku memang belum bisa
mandiri dibandingkan dengan sepupuku yang lain, sebut saja dia Sarah. Dia 3 tahun lebih
muda dariku. Dia juga sudah mulai ditinggal orang tuanya merantau saat masih kecil sekali,
sekitar umur 5 tahun. Coba kalian pikirkan, lebih mahir mana dalam urusan tinggal di rumah
bersama nenek. Lebih mahir mana dalam kemandirian? Saat itu

Anda mungkin juga menyukai