***
***
Setiap pagi, ketika kemilau mulai menggores langit,
perempuan itu akan duduk bersimpuh sambil
mengatupkan kedua tangannya di dada. Perempuan
cantik itu tidak akan pernah bicara, kecuali Bharatha mau
menjadi raja.
Kekayi!
***
***
***
Dia jahat.
Disuruh siapa?
Guru Semmang.
Apa katanya?
***
***
***
***
Wajo, 2017
***
Lho kenapa?
***
Akhir Perjalanan
***
***
Bapak tidak suka bunga. Aku tahu. Ibu tentu lebih tahu.
Tapi bapak adalah lelaki manis seumpama rambutan jenis
batukan yang tumbuh di pekarangan kami. Konon
menurut cerita bapak, rambutan ini tidak bisa dipisahkan
daging buah dan bijinya. Kalian hanya bisa menikmati
dengan cara mengemut hingga rasa manisnya
menyisakan hambar. Meski seperti tebu, rambutan ini
tidak boleh terlalu banyak disantap karena bisa
menyebabkan batuk. Bisa jadi inilah muasal nama
batukan yang disematkan pada jenisnya.
***
Tidak.
Ayolah, ceritakan.
Mengucapkan apa?
Macam-macam.
Keterangan:
Pawon: dapur.
Tak ada yang bisa aku lakukan untuk lelaki tua ini, selain
hanya mendengarkan tutur dari mulutnya yang kosong
tanpa gigi hingga menyerupai sebuah liang hitamaku
membayangkan suara-suara itu bukan berasal dari
mulutnya, tapi lubuk jiwanya. Ia berkisah dengan seluruh
semangat hidupnya yang masih tersisa, walau mungkin
hanya tersisa sekecil nyala lilin yang bergeletar diembus
angin. Ada nada marah, juga kecewa.
***
***
Setelah kepergian Kai Badar, aku tahu tak ada lagi yang
bisa menghalangi penghancuran rumah lanting itu.
Sebuah alat berat, entah sejak kapan, terlihat telah parkir
tak jauh dari sanamungkin malam nanti akan
digerakkan, dan serupa hantu akan melumat satu-satunya
rumah lanting yang tersisa itu. Seketika terlintas ucapan
Kai Badar, Kelak, apa yang aku kisahkan ini tinggal
menjadi hikayat. Hikayat rumah lanting.
***
Catatan:
Kai = Kakek
Jukung = Sampan
Ke mana?
Bukan!
Apa saja ada di sini. Dan tak pernah sama dengan dunia
di atas. Jawabku sambil ikut terbaring. Bergulingan.
Aku dan kamu terus bergerak dan bergoyang seperti juga
Kota Pernia yang terus bergoyang dan bergerak. Hidup.
Sejak seusiamu.
Diajak kakek?
Kok bisa?
Tidak.
Kenapa?
Pokoknya jangan.
Kau terkikik digelitik kata-kata yang berseliweran,
menyambar nakal dan centil. Kata dan tawa beterbangan,
sebagian melesat memasuki pintu dan jendela yang
terbuka, sebagian hinggap di pohon-pohon.
Apa itu?
Tawa berhamburan.
Kocak?
Kenapa memang?
Ndak, tuh. Ada apa ibu ke sini cari saya? Saya baru saja
dari rumah.
***
Ibu bertengkar?
Tiap hari.
Lalu?
Bukan.
Bukan itu.
Iya, Pak Zul. Mata saya belum begitu tua untuk melihat
sesuatu dengan jelas dan benar.
***
Siapa kau?
Apa maumu?
Kerak neraka?
Ya.
Salahku?
Banyak.
Tidak!
Kau bohong.
Bukti?
Sudah cukup?
Waktumu habis.
***
***
Tapi?
***
***
***
Laki-laki itu membuka mata. Selang infus menancap di
nadi tangannya. Beberapa wajah yang semula tampak
kabur, kini semakin jelas. Ada wajah hakim, jaksa, polisi,
kepala departemen, pengusaha, orang-orang parlemen
dan orang-orang politik. Laki-laki itu berusaha keras
mengingat, siapa saja yang kini membesuknya. Beberapa
nama dia ingat. Beberapa nama dia lupa.
Sebegitunya Mbak.
Satu hari naik bus dari Kairo dan tiba menjelang senja di
kaki Gunung Sinai membuat badan rasanya letih.
Bagaimana orang Ibrani yang berjalan berbulan-bulan,
dengan gerutuan yang ditujukan kepada Musa baik soal
perjalanan yang tidak kunjung sampai, soal makanan dan
minuman yang membuat mereka berontak. Ke mana
akhir perjalanan ini? Tanya mereka. Di kaki gunung ini
mereka berbulan-bulan istirahat memasang tenda,
memberi makan kambing dan domba serta ternak
lainnya. Kebosanan dan keluhan yang tidak habis-
habisnya ditujukan kepada Musa yang membawa mereka
keluar dari negeri yang penuh bawang dan daging.
Perjalanan apa ini? Ketika air tidak ada, mereka marah
dan memaki-maki Musa.
Kau pencurinya?
Pencuri apa?
Orang-orang tercekat.
Jadi, daripada ribut, ambil saja uang yang ada di tas
kresek Gondo. Lalu segera kita perbaiki jalan-jalan yang
rusak itu.
Benar juga.
Bendahara.
Jadi?
Akurrr!
Turunkan Dia!
Turunkan cepat!
JADI kita tidak boleh keluar malam hari ya, Kek? Kalau
aku mau lihat bola di langit, Kek? Bolanya terang sekali.
Bola itu cuma ada malam hari, Kek. Boleh, Kek?
***
Bakar! Bakar!
Ganyang!
Mata? Maksudmu?
Tentu saja.
Tentu.
Untuk apa?
Kewajiban.
Apa tujuannya?
Yamemahami, isinya.
Pahamkah kamu?
Maksudmu
Bagaimana?
Bagaimanabisa?
Hah? Jadi
Tersenyum lagi.
***
SEJAK tadi, ya sejak tadi, aku berdialog. Begitu saja.
Tanpa kesadaran, seperti dengan diri sendiri, seperti
mimpi yang menguap. Begitu saja. Tapiyang ini,
bukan mimpi. Di depan mataku kini muncul satu wajah.
Bukan ilusi atau fana. Nyata sebenarnya nyata. Wanita
pula. Wanita yang tersenyum. Ya, senyum yang tadi.
Senyum yang seperti ironik, mengejek, juga senang dan
bahagia karena jawaban-jawaban terakhirku tadi?
Monalisa?
Ia tersenyum.
Ia memeluk.
Ia mencium.
Hmmia memagutku.
Ehhhehhhh.
Eva
Pluk
Kamu menangis?
Mengapamengapa menangis?
Mengapamengapa, Tuhan?
Tuhan.
***
Gelap.
?!! Eva?
Plak!
Plak, plak!
Plak!!
Dik!
***
***
***
Penyihir?
Menipuku?
***
Kupu-kupu menurut.
Di kota ini tak ada semut, ulat, dan siput ya? kau
teringat pada satwa-satwa yang sangat kau kagumi pada
usia lima tahun.
***
Kau terdiam. Kau tidak tahu apa yang bakal terjadi. Kau
tak mau memikirkan apa yang bakal terjadi pada saat
berusia 79 tahun. Sekarang terbanglah lagi bersama
kupu-kupumu. Kau pun terbang lagi.
***
***
TEPAT pada usia tujuh tahun lebih dua hari kau benar-
benar bertemu dengan seorang petapa. Tak mudah
bertemu dengan sang petapa. Mula-mula badai gajah
besar kecil kurus gemukbertebaran menghalangi kupu-
kupu yang kian payah terbang. Setelah itu koloni
kelelawar, beberapa planet kecil, dan puting beliung yang
mengusung bangkai burung menabrak tubuhmu yang
kian ringkih.
Cahaya, katamu.
Kupu-kupu, katamu.
Tak ada?
Tak ada.
Bagaimana caranya?
Dua minggu.
Bari
Ya, Datuk.
Di mana itu?
Kau tidak mau beli obat untuk ibumu? Kalau kau jual di
Pasar Padang Panjang, paling laku 700 ribu. Aku bisa
kasih kamu lima juta supaya kamu bisa bawa ibumu ke
rumah sakit di Bukit Tinggi.
Kokokokok!
Catatan:
***
***
***
Semudah itu?
***
Catatan:
***
Ya, tidak apa. Ah, sejak pagi kamu kerja keras tiup-tiup
peluit di simpang tiga. Jadi perutmu tentu lapar. Sekarang
makanlah sampai kenyang.
Iye, kita bikin baru rumah kita, jadi rumah batu, jawab
Kakek dengan senyum mengembang sembari
membenahi letak songkok. Karena songkok itulah ia
dipanggil Kakek Songkok oleh warga kampung. Peci tak
pernah lepas dari kepala Kakek. Bahkan, seluruh
anaknya kerap memanggil ayah mereka dengan Kakek
Songkok.
***
***
Tak masalah!
Eh, jangan!
Malang, 2016
Apa sih?
Dan ibu muda, mungkin adik dari ibu ketiga itu, akan
jadi ibu anak itu selanjutnya. Dia ibu ke-4. Suaminya jadi
ayah ke-4.
***
Tapi apa yang bisa kita lakukan? Anak itu tidak takut
hantu. Aku sudah menampakkan diri di depannya. Dia
hanya membuang muka.
Kalau ternyata dia anak lelaki yang baik, apa kita akan
biarkan dia mendekati anak kita?
Kalau dia bunuh diri setelah ini, kau tak bisa bilang
begitu.
***
***
***
***
Bunuh!
Lalu?
***
Ibu Rapilus guru Ilmu Hayat kita? Ya, saya tetap ingat
meski beliau sudah lama meninggal. O, Ibu Guru kita
yang pintar, saleh pula. Itulah, maka sungguh menyesal
dulu saya pernah mengolok-olok dia. Kamu ingat itu?
Palmae, Bu.
Solanaceae.
Tentang apa?
Wah, yak opo, Bapak yang satu ini. Bapak belum juga
makan gulai kam-bhing? Cerewet perempuan warung
dari arah belakang. Mau ditambah bawang goreng biar
lebih ueeenak?
Tidak usah, terima kasih, Bu. Gulai ini mau saya bawa
pulang. Jadi, tolong dikemas pakai kantung plastik.
***
***
***
JLEB.
***
Mbak Tum
***
Lima puluh.
Itu uangku.
Hhhh.
Berapa umurmu?
Sebelas.
Tetap mati.
Dua
Tiga
Sudah lihat?
Belum.
Enam .
Tujuh .
Delapan .
Sembilan .
***
Kok mau?
Kenapa diam?
Memang.
Bapakmu siapaaaa?
Ha-hi-hu-he-hooo.
Ibumu siapaaa?
Ha-hi-hu-he-hooo.
Makananmu apaaaa?
Ha-hi-hu-he-hooo.
Tidak.
Kok, tidak?
Memang.
Aneh.
Apanya?
Kata siapa?
***
***
Ayah tak punya uang. Jika tamat, tak bisa juga masuk
SMP!
Jika sapi itu juga hilang, tak tahu seperti apa nasibnya.
Maka sapi dirawat sebaik-baiknya. Pakan tak boleh
kurang. Minum harus cukup. Sapi tak boleh flu, apalagi
diare. Agar tak sakit, sapi yang makin sintal itu
dimandikan setiap sore, lalu dipijat, dan dielus agar
bulunya tetap rapat dan menyala.
Di mana keluargamu?
***
Yang jelas, Bung harus tahu, saya tidak akan salah kali
ini.
***
***
***
***
Aku ragu.
***
Makassar, 2016.
Kisah Ganjil Seorang
Penggali Kubur
Cerpen Sandi Firly (Kompas, 09 Oktober 2016)
***
Juga di saat badan tidak terlalu sehat, seperti dua hari ini
dirasakan Syam. Ia masih ingat, dulu bapaknya tetap
bekerja walau sedang batuk-batuk. Selama aku masih
bisa berdiri, dan mampu mengayunkan cangkul, aku
sehat-sehat saja. Jangan pernah menolak permintaan
menggali kubur. Di kampung ini, orang hanya tahu kalau
Bapaklah tukang gali liang kubur.
***
1.
2.
Adikku, waktu kau lahir, aku juga masih kecil. Aku bisa
melihat tapi terbatas. Mendengar juga cuma sepotong.
Aku tak bisa menyimpulkan.
Jadi catatan sejarahku, tergantung pada omongan orang.
Kalau takut, mata aku pejam, ibulah yang lebih tahu.
Sejarahku pun pincang sebatas yang ingin kulihat, yang
terpaksa aku dengar.
3.
4.
5.
***
***
Televisi itu telah lama rusak. Dan kios itu pun kini sudah
diangkut.
***
Ayah, Ayah
Ayah? (*)
Milana antusias dan dia gadis yang jujur. Aku tahu dia
tidak seperti orang lain, yang nyaris selalu tertawa keras-
keras seperti Oma, kalau bukan berdiri dan menyuruh
orang lain membawaku ke rumah sakit jiwa. Ia juga tidak
seperti teman-temanku di rumah, yang kebanyakan suka
pura-pura mendengarkan, padahal di kepala mereka ada
bayang-bayang es krim atau donat yang dijanjikan
ayahnya atau bahkan arwah hantu tua di dalam tubuh
kecilku. Entahlah.
***
Ya, hanya dia. Lantas gue labrak dia. Nyahok dia. Gue
bilang ame dia, Papi gue di penjara bukan karena maling,
bukan rampok. Papi gue tahanan politik. Tapi ketika
teman lain nanya, di mana papi gue, dengan enteng dan
pede gue bilang, papi keluar negeri. Ada urusan apa dia
dengan papi gue.
Kami tertawa.
Gue dah gak nyaman. Gue bilang sama mami. Dia yang
ngatur. Mukanya diangkat mengarah ke maminya.
Senyum nyengir.
Janji ya.
Iya.
***
***
Emang kenapa?
***
***
Di mana dia?
***
***
Keterangan
gunung-gunung menyingkirlah
***
Tunggu ya.
***
***
Iya.
Ia tentu sangat kaget, bagaimana mungkin orang yang
baru bertemu itu bisa tahu semuanya. Padahal dia hanya
diberi tahu Joni ketika dia melihat ia masuk di halaman
rumahnya.
Begini, begini.
***
***