Anda di halaman 1dari 596

Pena

Subuh itu aku dilahirkan di ranjang perjudian.


Orangtuaku adalah penjual lotre di sebuah kota kecil.
Tante, om, tetangga, dan semua yang dekat dengan
keluargaku juga senang berjudi. Saat aku lahir di sebuah
rumah sakit, sebuah gelang dilingkarkan di pergelangan
mungilku, sebagai tanda aku adalah anak dari ibuku.
Gelang itu berisikan angka-angka. Dan semua angka-
angka itu dipasang di meja lotre. Tak hanya sampai di
situ saja, tanggal lahir, jam dan menitnya pun
diikutsertakan. Siapa yang menyangka, mereka semua
riang gembira atas kemenangan angka-angka itu. Tujuh
hari berturut-turut angka-angka itu bergantian keluar
menjadi pemenang. Disebutlah aku sebagai anak
perempuan pembawa berkah! Saudara ayahku yang
terlibat dalam salah satu keberuntungan waktu itu
menceritakan padaku dengan senyumnya yang rekah dan
mata yang berbinar mengingat kejadian itu.

Apakah agama mengajarkan mereka seperti itu, aku pun


tidak tahu. Salah dan benar, benar menjadi salah, salah
menjadi benar, kelihaian manusialah mengotak-atiknya
dengan tingkah dan kata-kata, begitu susah untuk
percaya pada manusia, hanya yang Maha Tunggallah
yang kelak akan memberi kebenaran sesungguhnya.

Saat itu mereka memberiku nama Pena. Ayah dan ibuku


berdebat mengenai arti namaku tapi sepakat atas pilihan
nama itu. Menurut Ayah, Pena bisa berarti aku seseorang
yang pintar menulis, termasuk menulis hidupku sendiri.
Menurut Ibu, jalan hidupku sudah dituliskan, bahwa
akulah pembawa keberkahan, dalam hidupku dan
keluargaku. Mereka terus berdebat, padahal kedua-
duanya baik menurutku. Tak ada yang keliru. Jika saat itu
aku sudah mampu berbicara, maka aku akan menyela
dan membuat mereka berdamai. Sejak itu aku berpikir,
bahwa orang dewasa memperdebatkan hal-hal yang
begitu gampang untuk disepakati, tapi mereka begitu
angkuh dengan persepsi mereka masing-masing.
Bagaimana nanti saat aku dewasa? Apa mungkin aku
akan memperjuangkan pikiranku juga?

Musim panas berganti musim hujan, berulang-ulang


demikian, tahun-tahun berganti, umurku sudah empat,
dan aku mulai bersekolah. Aku disekolahkan di sebuah
TK. Untuk tingkatan pertama memulai sekolah, saat itu
aku ditempatkan di TK Nol Kecil, kegiatannya hanya
bernyanyi-nyanyi, menari-nari, bermain-main, dan tepuk
tangan, sedangkan aku tidak pandai bernyanyi, apalagi
menari. Kalau bermain dan tepuk tangan aku rasa aku
bisa melakukannya di rumah. Sejak saat itu aku mulai
mengerti, kenapa orang dewasa senang berdebat, karena
mereka memiliki kemampuan untuk berpikir. Saat otak
mereka berpikir, tentunya sesuatu dari luar tidak begitu
gampang dan cepat dapat diterima oleh si pemilik tubuh,
yaitu pikiran itu sendiri. Maka mereka akan melakukan
penerimaan atau pun penolakan. Saat sesuatu mereka
rasa tidak sesuai keinginan gerak tubuh, maka ada
penolakan yang besar terhadap sesuatu itu, dan itulah
pertama kalinya aku tidak ingin melakukan hal yang
menurutku membosankan. Aku lebih suka membaca dan
menulis. Lalu karena aku pandai berunding dengan ayah
dan ibu, mereka mencari akal agar aku tetap mau
bersekolah.

Akhirnya orang dewasa mampu mengatasi keinginan


anak kecil dengan sedikit rumit memang, mereka
berdiskusi dengan sesama orang dewasa, agar
memaklumi keinginan seorang anak kecil yang belum
mampu berpikir dengan baik, agar menyetujui begitu saja
pilihanku agar tetap mau bersekolah, bukankah mereka
telah keliru menilaiku saat itu? Padahal aku rasa aku
telah memikirkannya dengan baik untuk pendapatku
yang satu itu. Ibu, ayah, dan kepala sekolahku yang
cantik setuju, aku dinaikkan satu tingkat, aku akan masuk
kelas TK Nol Besar. Kegiatannya tepat seperti apa yang
aku inginkan, membaca dan menulis. Saat itu aku hanya
punya tiga teman, dua perempuan dan satu laki-laki. Aku
tidak suka bergaul dengan banyak orang, bahkan kadang
di saat istirahat aku lebih suka sendirian. Temanku Nilam
dan Lita mereka suka membicarakan hal-hal yang
menurutku tak perlu untuk dibicarakan, apalagi
membicarakan tentang keburukan orang lain. Sedangkan
Tomi, selalu mengajak kami bermain-main di taman dan
berlari-lari, aku sedikit lelah dan tak ingin bajuku
menjadi basah dan bau karena keringat.

Biasanya Ayah selalu menjemput dan mengantarku


sekolah. Ibu menungguku di rumah dan menyiapkan
makan siang untukku sambil mengurusi jahitannya.
Ibuku seorang penjahit. Ibu dan Ayah sudah berhenti
menjadi penjual lotre, pekerjaan ini menurutku lebih
baik.

Ada suatu hari, di mana Ayah tidak menjemputku, tapi


kakak sepupuku yang rumahnya dekat dengan rumahku
ditugaskan Ayah untuk menjemputku pulang dari
sekolah. Ia tidak begitu tua, usianya hanya berbeda
sepuluh tahun dariku. Ia menjemputku berjalan kaki,
karena rumahku dan sekolah jaraknya tidak begitu jauh.
Saat itu sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu ternyata
belum pulang, mereka pergi ke acara pemakaman rekan
Ayah. Saat itu, Dodi menemaniku di rumah. Ia
mengajakku bermain dan aku mengiyakan, ia memintaku
berbaring dan ia melepas rok sekolahku. Dan sejak siang
itu, aku telah kehilangan diriku sendiri. Lama baru aku
tahu, apa yang ia lakukan padaku adalah memperkosa!
Sialan! Sejak saat itu aku lebih pemalu dan tertutup. Aku
semakin takut dekat dengan orang-orang selain Ayah dan
Ibuku. Termasuk kakak laki-lakiku. Aku menjaga jarak
dengannya. Tapi hidup tak pernah berhenti sampai di
situ, saat kau berpikir harusnya tak ada hari esok,
ternyata apalah kau manusia, tak mampu mengaturnya.
Matahari tetap bersinar, dan aku pun menyambutnya.

Aku ceritakan kejadian buruk itu pada Ibu, berharap tak


pernah lagi bertemu dengan sepupuku itu, tetapi anehnya
aku tidak mengerti kenapa orang dewasa marah tidak
pada tempatnya. Ibuku, segera memukuliku dan
memandikanku, ia membersihkan seluruh tubuhku
dengan kasar, dan kemudian terus memukul tubuhku,
sambil air mata terus-menerus membasahi pipinya dan ia
terisak-isak. Aku benci melihatnya seperti itu. Ia boleh
memukulku, tetapi tidak boleh menangis. Bukankah yang
bersalah adalah kakak sepupuku, bukan Ibu.

Hari-hari berlalu, aku merasakan kesepian dalam hatiku,


aku mengingat kenangan yang buruk. Bagaimana bisa
aku menjadi perempuan yang menarik untuk seorang
lelaki? Umurku baru 4 tahun. Sebelum tidur malam, aku
mencari botol susu, tanpa mengedot aku tidak akan bisa
tidur. Pernah suatu malam, dotku digerogoti oleh tikus
yang jahat, tapi aku juga tidak berhak mengatakan tikus
itu jahat. Bisa jadi tikus itu sedang haus dan lapar, atau
juga memang tempat tinggalku yang begitu kumuh. Aku
tidak dapat memilih sebab mana yang membuat tikus itu
menghabisi dotku. Yang jelas aku begitu tergantung pada
dotku. Dan apakah wajar, seseorang laki-laki
menginginkan anak kecil yang masih sangat tergantung
dengan botol susunya? Dan dia pun aku rasa belum
cukup dewasa untuk melakukan hal itu padaku. Aku rasa
dia orang gila.

Tidak hanya kali itu aku menemukan lelaki gila dalam


hidupku. Saat aku berumur 8 tahun, aku punya tetangga
baru. Mereka semua orang dewasa. Ada satu yang paling
aku benci, yang kepalanya botak dan aksen bicaranya
begitu mencolok. Ia yang paling sering aku pergoki
mengintipku di kamar mandi saat aku mandi. Kamar
mandiku dindingnya hanya dilapis oleh seng usang yang
banyak lubang-lubangnya. Kamar mandiku tepat
bersebelahan dengan rumah sebelah, hanya seng usang
penuh lubang itu sebagai pembatas. Aku tidak hanya
diintip saat mandi, tapi juga saat buang air. Aku
mendengar mereka tertawa-tawa senang dan mengataiku
dari dinding sebelah. Setiap kali aku ingin mandi dan
buang air tanpa suara agar tidak diintip oleh mereka, tapi
bagaimana caranya?

Aku semakin bingung dan menceritakannya kepada Ayah


dan Ibu. Mereka hanya tertawa dan mengatakan, Siapa
yang mau mengintip anak kecil sepertimu? Ibu saja tidak
pernah diintip. Mereka tak percaya ceritaku. Maka aku
pun mencari cara sendiri. Setiap mandi aku selalu
memakai baju, dan saat buang air berjongkok aku
menggunakan handuk menutupi kemaluanku dari depan,
yang menjengkelkan adalah, mereka memberi lubang di
belakang closetku! Sialan! Aku ketakutan dan bingung.
Sejak saat itu aku mengutuk para lelaki yang matanya tak
bisa mereka jaga dengan baik! Aku mengutuk setiap
lelaki yang menyiksa perempuan dengan matanya! Aku
membenci lelaki seperti itu! Seandainya saja aku bisa
membunuh semua lelaki yang mengintipku, ingin
rasanya aku melakukannya, tetapi aku tidak dapat.
Mereka telah mencuri hak hidupku! Yaitu kebebasanku
mandi dan buang hajat. Mereka patut menderita
selamanya karena mata mereka! Mata yang jahat! Mata
yang telah membuat seorang perempuan menderita dan
terluka!

Tapi aku manusia yang tidak akan menyerah untuk


melindungi diriku. Aku terus mencari cara, hingga
akhirnya satu cara yang terbaik telah kutemukan. Aku
menjebak mereka. Aku pura-pura buang air. Pintu kamar
mandi sengaja kubuka lebar-lebar. Saat itu beruntung
sekali lubang di belakangku tempat mereka mengintip itu
semakin besar dan semakin terlihat dengan jelas tidak
hanya mata tapi sebagian wajah. Ibuku tiba-tiba masuk
ke dalam kamar mandi, dan melihat mereka mengintipku
juga mendengar suara mereka cekikikan! Akhirnya!
Sejak hari itu, ayahku memperbaiki seluruh kamar
mandi. Ibu memarahi mereka dan meminta orang-orang
itu segera pindah dari tempat itu. Kalau tidak, ia akan
lapor polisi. Mereka pun takut dan kemudian pindah dari
tempat itu.
Itu adalah satu hari terbaik dalam hidupku. Tapi hari-hari
buruk yang pernah kulalui, telah terekam selama aku
hidup. Aku terus mengingatnya. Aku menjadi sangat
marah dan sekaligus menabung rasa takut dalam diriku.

Apa sebenarnya arti namaku? Apakah takdirku begini


sialnya?

Saat aku duduk di bangku SMP ketakutanku terhadap


laki-laki semakin menjadi-jadi. Aku merasa lebih aman
dekat dengan perempuan. Bagiku lelaki punya senjata
tajam yang tiap saat bisa saja sangat melukaiku. Aku
memutuskan sejak hari itu ingin jatuh cinta pada
perempuan saja. Dan aku berhasil membuat diriku
menjadi seorang lesbian. Lama aku hidup dalam
kekeliruan besar itu, hingga suatu hari aku merasa agama
dan adat tak mengajarkan demikian. Setajamnya senjata
laki-laki bagiku pada akhirnya aku tetaplah perempuan
yang membutuhkan semua itu. Semakin dewasa dan
berpengetahuan, aku menyadari segala hal itu. Hingga
akhirnya aku berusaha membebaskan diriku dari
belenggu ketersesatan ketakutanku sendiri.

Aku ceritakan pada ibuku. Dia memelukku. Suatu hari,


saat aku dinyatakan lulus dari SMA, Ibu memberi tahu
aku harus menikah untuk menjadi perempuan normal dan
hilang dari rasa takutku. Seorang laki-laki yang baru saja
bercerai dengan istrinya ingin melamarku. Ibuku
menerimanya berdasarkan beberapa pertimbangan, aku
pun tak jua menanyakan apa pun selain menyetujuinya.
Aku ingin mengikuti segala keinginan Ibu dan ada
dendam yang harus diselesaikan. Lelaki itu bernama
Dodi. Malam pertama aku tak lagi menikmatinya, aku
ingat rasanya sama seperti 13 tahun yang lalu, saat aku
masih TK. Hanya saja kurasakan tubuhnya yang lebih
besar dari yang dulu, karena ia orang yang sama, orang
yang telah mencuri keperawananku sebelum waktunya.
Seandainya dia sedikit bersabar, aku mungkin akan jatuh
cinta tanpa rasa takut. Tapi tak apa, ada sebilah belati
yang telah kuselipkan di bawah bantalku, yang sudah
kuasah seminggu terakhir. Aku yakin belati itu sangat
tajam, akan mampu memusnahkan dendamku.

Rika, menetap di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.


Peserta Kelas Cerpen Kompas 2017 dengan mentor
Linda Christanty, Joko Pinurbo, dan Putu Fajar Arcana.
Beberapa buku karya Rika adalah Kertas Bintang
(kumpulan cerpen dan puisi-2011), Istri Muda (novel-
2016), Jane Fara (novel pada tahun 2017), dan Matahari
dalam Hujan (antologi puisi-2017).
Pohon Api

Sejak tubuhnya mulai tumbuh, Kekayi sangat sadar akan


kekuasaan yang dimilikinya. Kekayi, sangat mengagumi
bentuk tubuhnya. Tubuh yang lebih indah daripada
sebatang pohon, pohon yang tumbuh dekat jendela
kamarnya.

Pohon itu tingginya 20 meter. Daunnya halus dan


rimbun. Tanaman ini memiliki bunga yang sangat indah.
Maka banyak orang rebutan memberi nama: flamboyan,
delonix regia, royal poinciana. Kekayi lebih suka
memberinya nama pohon api.

Pohon yang anggun dan seksi. Dan Kekayi merasa


tubuhnya telah tumbuh menjadi sebatang pohon, pohon
api. Pohon itulah temannya, ibunya, juga semangatnya.
Tempat dia mengadu. Juga jika marah, pohon api itu
membiarkan Kekayi menancapkan puluhan pisau runcing
dan tajam di tubuhnya. Pohon api itu tetap diam, tidak
merasa dilukai, justru menjatuhkan kelopak bunganya
yang merah menyala. Kadang pohon api itu dipenuhi
bunga, seolah pohon itu akan membakar langit. Pohon
api itu akan memakan semua daun-daunnya,
meninggalkan lidah api yang menyala. Kekayi akan
meletakkan tubuhnya di bawah pohon berkasur rumput.
Pohon api itu akan menjatuhkan kelopak bunganya yang
merah menyala, mengubur tubuh Kekayi. Terasa hangat
dan merasa dilindungi. Kekayi sangat menikmati, sampai
seorang dayang membongkar kuburan bunga itu dan
mengangkat tubuh kecilnya. Begitulah kejadiannya jika
pohon api itu berbunga. Kekayi merasa pohon api itulah
yang mengajarinya cara hidup. Memberi inspirasi. Juga
mengajarinya cinta!

Pohon api itu terasa menjelma di tubuh Kekayi. Bahkan


ketika dia menggosokkan tangannya ke tangan Kekaya,
lalu menjatuhkan tubuhnya yang mulai terbentuk indah,
lekuk yang sempurna, pinggang kecil, dan dua buah
bukit yang membusung padat ke tubuh Kekaya, sambil
menggosokkan bukit-bukit yang mulai menonjol kaku
dan padat itu ke dada Kekaya, lelaki setengah baya itu
berkeringat dan menggigil. Kekayi girang melihat
kepandiran Kekaya, ayah tirinya, ayah angkatnya itu
blingsatan. Tidak sanggup menatap mata Kekayi. Apalagi
menyentuh kulitnya yang bening.

Semakin hari, tubuh Kekayi tumbuh cepat. Sorot mata iri


para putri dan pemaisuri, juga selir, membuat Kekayi
merasa semakin bergairah. Bahkan ada seorang selir
ingin meracunnya, berharap dia mati! Semakin banyak
yang menaburkan racun di makanannya, semakin
bertambah pesona yang memancar dari dirinya.

Setiap hari adalah tantangan. Semakin banyak


perempuan ingin melukainya. Semakin bertambah
kecantikan Kekayi!

Banyak lelaki datang, ingin melamarnya. Kekayi tak


ingin harta. Yang dia inginkan adalah kekuasaan.
Kekuasaanlah yang kelak dikenang orang-orang yang
menandakan dirinya pernah ada dan tumbuh di dalam
kehidupan ini. Tubuhnya dipersiapkan untuk melahirkan
raja-raja besar dan berkuasa dalam sejarah.

Akhirnya, datanglah Dasarata, lelaki tua, yang terpikat


oleh kecantikan dan kemudaannya. Lelaki sekaligus
seorang raja dari kerajaan besar dan termasyhur.

Kekayi sempat menangis tujuh hari. Karena dewata


memilihkan seorang lelaki tua untuknya. Lelaki yang
kelihatannya akan mati dalam waktu dekat karena
ringkih dimakan usia. Lelaki yang ditolongnya ketika
terluka. Ayahnya, Raja Kekaya menyuruh Kekayi
merawat lelaki itu dengan baik. Kelak, lelaki itulah yang
akan mengangkat kehidupannya.

Lelaki tua yang terkapar di tengah hutan. Dengan luka


yang menjijikkan. Baunya melebihi bau mayat dan
sampah makanan busuk. Lelaki tua yang tubuhnya tidak
lagi menunjukkan tanda-tanda yang bisa membuatnya
bergairah. Lelaki tua, yang berdiri saja, memerlukan
bantuannya. Keriput di seluruh kulitnya juga wajahnya.
Lelaki tua yang memiliki mata begitu nakal. Lelaki itu
juga sering mengelus pundak dan pipinya dengan napas
yang berpacu. Lelaki yang kadang menyuruh Kekayi
melumuri seluruh tubuh keriputnya dengan minyak
cendana. Aslinya, lelaki itu begitu menjijikkan bagi
Kekayi. Setiap selesai menggosok tubuh lelaki tua itu,
Kekayi muntah-muntah. Seluruh makanan dalam
perutnya terkuras. Tubuh lelaki itu begitu buruk dan
menjijikkan. Membuat Kekayi selalu mual jika berada di
dekatnya.

Turuti seluruh perintahnya, Kekayi. Kelak kau akan


tahu siapa sesungguhnya lelaki itu? Itu kata-kata yang
selalu dikatakan Kekaya, ayah angkatnya.

Bahkan emban, yang sudah kuanggap ibu bagiku juga


mengatakan hal yang sama. Siapakah lelaki tua jelek ini?
Lelaki tua dengan mata nakal. Mata yang selalu
membuat Kekayi merasa telanjang di hadapannya. Lelaki
yang mengelus seluruh tubuhnya dengan penuh gairah.
Lelaki yang menawarkan seluruh hidupnya untuk
Kekayi.

Aku akan membuang semua istriku jika kau mau ikut


denganku, Kekayi. Perempuan tercantik melebihi
kecantikan istri para dewa. Hidupku kembali bergairah
lagi melihatmu. Mintalah apa saja! Aku adalah raja dari
kerajaan besar. Keputusanku adalah hukum. Akulah yang
menentukan hidup-mati rakyatku. Ikutlah denganku, kau
akan kujadikan ratuku! Suaranya parau dan tidak jelas.
Mungkin umurnya sudah ratusan tahun, atau ribuan
tahun.

Lelaki yang telah melecehkan dirinya. Tetapi Kekayi


tidak bereaksi karena semua manusia di kerajaan Kekaya
menaruh hormat pada lelaki ringkih ini. Kekayi
menimbang sendiri. Berpikir dan berhitung. Apakah
lelaki ini jawaban bagi doa-doanya? Bagaimana mungkin
lelaki tua ini bisa menanamkan benih di rahimnya?
Berapa umurnya? Dia jauh lebih tua dari Kekaya.
Kenapa Kekaya begitu hormat padanya? Dan
membiarkan dirinya menemani lelaki tua, bau, dan jelek
ini berbulan-bulan, sampai seluruh luka di tubuhnya
mengering. Kekaya juga membiarkan dirinya
memandikan dan merawat lelaki tua ini sendiri!

Kekayi pun dibawa Dasarata dengan upacara megah bak


upacara menyambut raja baru. Sungguh sebuah upacara
yang tidak biasa. Tetapi, siapa yang berani menentang
titah Raja? Membuat para perempuan semakin geram
dan cemburu pada kecantikannya, juga
keberuntungannya.

Ia merupakan wanita ketiga yang dinikahi Dasarata


setelah dua permaisurinya yang lain tidak mampu
memiliki putra. Pada saat Dasarata meminang dirinya,
ayah Kekayi membuat perjanjian dengan Dasarata bahwa
putra yang dilahirkan oleh Kekayi harus menjadi raja.
Dasarata menyetujui perjanjian tersebut karena dua
permaisurinya yang lain tidak mampu melahirkan putra.

Kusalya istri pertama Dasarata hanya bisa meneteskan


air mata. Lelah rasanya memburu cinta Dasarata. Dulu
Dasarata berjanji padanya, akan mengabdikan hidupnya
untuknya. Kemudian mereka menikah. Kusalya, putri
tunggal Prabu Banaputra dengan Dewi Barawati dari
negara Ayodya, cinta mati pada Dasarata. Lelaki itu pun
dinobatkan menjadi raja Ayodya menggantikan
mertuanya, Prabu Banaputra, yang terbunuh mati dalam
pertempuran melawan Prabu Dasamuka, raja negara
Alengka.

Tiga puluh tahun bersama tanpa putra, Dasarata


menyerah. Kelakuannya berubah. Datanglah, Sumitra.
Perempuan peragu dan pandai mengambil hati dengan
kata-katanya yang manis. Bagi Kusalya, Sumitra
perempuan penjilat. Berusaha melakukan apa saja untuk
menyenangkan hati orang banyak. Semuanya tentu untuk
keuntungannya pribadi.

Kebenciannya pada Sumitra, perempuan kedua yang


dibawa Dasarata, belum lagi terkikis, padahal sudah
puluhan tahun bersama. Hari ini, datang Kekayi,
perempuan ketiga, memiliki kecantikan dan keangkuhan
yang tidak tertandingi. Kekayi memiliki ketegasan
seorang raja. Taksunya kuat. Sumitra, yang berusaha
menjilat dengan kata-kata manisnya, tidak berkutik.
Justru ketakutan jika duduk berdampingan dengan
Kekayi.

Namun, setelah menikah dan hidup lama, Kekayi pun


belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Kondisi ini
membuat Kusalya sedikit terhibur.

Dasarata pun putus asa, dia kemudian mengadakan


upacara bagi para dewa. Upacaranya diterima oleh para
dewa dan utusan mereka memberikan sebuah guci
bertabur permata hitam berisi air suci agar diminum oleh
setiap permaisurinya. Kusalya minum seteguk dengan
perasaan ragu karena mengingat usianya yang sudah
tidak lagi muda, mungkinkah bisa hamil?
Sumitra, dengan nekat sengaja minum dua teguk, dan
berharap lahir banyak anak dari rahimnya agar mampu
mengalahkan Kusalya dan Kekayi. Atas anugerah
tersebut, ketiga permaisuri Raja Dasarata melahirkan
putra. Rama, lahir dari Kusalya. Bharata, lahir dari
Kekayi, Laksmana dan Satrugna, lahir dari Sumitra.

***

Kekayi puas, seorang bayi laki-laki kini jadi miliknya.


Dan lelaki tua itu tidak pernah datang lagi ke biliknya.
Setiap hari lelaki tua itu datang untuk memangsa
tubuhnya dengan rakus. Tidak pernah bosan. Tidak
pernah berhenti. Sangat menjijikkan. Sejak bayi
lelakinya lahir, Kekayi berusaha sibuk mengurus semua
kebutuhan anaknya. Memilih guru untuk bertempur. Juga
sibuk dengan urusan-urusan sepele. Dia ingin terlihat
sibuk karena jijik meladeni Dasarata yang selalu lapar
pada tubuhnya. Tubuh Kekayi yang sudah seperti batu.
Dingin dan kehilangan kekuatan, juga tak ada gairah lagi
jika melihat lelaki.

Akulah Kekayi, perempuan yang tidak tahu arti cinta.


Seorang ibu yang mengandung 12 bulan. Telah dikutuk
oleh anaknya sendiri!

Bharata telah memakiku. Kata-katanya kasar, yang


seharusnya tak layak diucapkan oleh seorang anak yang
berutang kehidupan pada ibunya.

Aku tidak ingin mengutuknya. Aku ibunya. Kutukan


seorang ibu akan membuat bencana besar bagi anakku.
Aku ingin Bharata jadi raja. Aku ingin semua anak yang
kumuntahkan dari tubuhku berkuasa. Bukan Rama, anak
dari perempuan tua, Kusalya.

Kekayi namanya, sejak kematian Dasarata, sang raja.


Memilih untuk berbicara dengan matahari. Mulutnya
tidak pernah terbuka. Matanya selalu tajam memandang
ke arah matahari terbit sampai matahari terbenam.
Perempuan itu akan terus menghadap ke arah matahari
dengan posisi yoga.

Tidak ada yang bisa mengajaknya bicara. Tidak juga


anak-anaknya. Jika malam datang, Kekayi akan
merebahkan tubuhnya. Telentang menghadap langit.
Sambil memejamkan mata. Menunggu matahari.

***
Setiap pagi, ketika kemilau mulai menggores langit,
perempuan itu akan duduk bersimpuh sambil
mengatupkan kedua tangannya di dada. Perempuan
cantik itu tidak akan pernah bicara, kecuali Bharatha mau
menjadi raja.

Namaku Kekayi. Lengkapnya, Dewi Kekayi. Putri Prabu


Kekaya, raja negara Padnapura. Kekaya, sesungguhnya,
bukan ayah kandungku. Aku adalah putri Prabu Samresi,
raja Wangsa Hehaya. Ayahku terbunuh mati dalam
pertempuran melawan Ramaparasu.

Waktu aku masih berwujud bayi merah, seorang emban


berhasil menyelamatkanku, Matara. Dialah yang
menyerahkan bayi merah itu kepada Kekaya.

Aku tumbuh makin besar dan cantik. Kupikir Kekaya


tertarik padaku, para selir dan ratu cemburu padaku.

Sumber kekuatan terbesar dalam hidupku hanyalah


kecantikan dan kemudaan. Kata-kata itulah yang selalu
diselipkan Matara kepadaku. Sesungguhnya aku adalah
perempuan miskin. Tidak memiliki harta. Tidak juga
orangtua. Yang kumiliki kecantikan dan kemudaan. Kata
Matara, kecantikankulah yang kelak membuatku
memiliki kekuasaan. Jika aku bisa memanfaatkannya
sebaik mungkin. Secepat dan setepat mungkin. Jika
meleset membidikkan anak panah. Hidupkulah yang jadi
taruhan!

Aku suka sekali menggunakan kecantikanku untuk


berkuasa. Para panglima di kerajaan mengajariku
berkuda, kadang menggunakan tombak untuk berburu.
Apa pun yang kuinginkan, para lelaki selalu datang
membantuku.

Suatu hari, ayah angkatku, Raja Kekaya kugoda. Aku


suka membangun impian-impian aneh.

Kata para dayang, kadang tubuhku mengeluarkan


cahaya. Jika datang bulan terang, purnama, cahaya
tubuhku akan memancar membuat silau.

Kadang mereka berpikir aku keturunan para dewa sakti.


Aku tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Aku senang mereka berpikir aku keturunan dewa.
Mereka semua tidak pernah mengingat nama ayahku dan
kerajaannya yang hancur. Karena kebodohan ayahku
kerajaanku hancur. Seorang perempuan cantik telah
dihidangkan kepadanya. Untuk umpan menguasai
kerajaannya.

Matara, emban itulah yang menyelamatkan nasibku.


Kadang aku berpikir Matara adalah ibuku, dan aku lahir
karena hubungan Matara dan ayahku. Aku senang
membayangkan Matara sebagai ibuku, karena dialah
yang selalu ada sejak aku masih bayi merah sampai aku
tumbuh jadi perempuan paling cantik. Aku malah
berpikir Matara itu bukan manusia. Mungkin dia
dedemit, raksasi atau sejenis itu. Tubuhnya tidak berubah
menua. Dia juga kuat menggotong tubuhku ketika aku
rubuh. Waktu itu seorang selir raja mengajakku santap
malam. Kata Matara, selir itu telah membubuhkan racun
ganas di tubuhku. Dan sesungguhnya aku telah mati tiga
hari. Entah apa yang dilakukan Matara, sampai hari ini
aku baik-baik saja.

Sebuah rahasia tetap kusimpan rapi. Jika istri raja


mengundangku datang ke kamarnya, Mataralah yang
menjelma jadi Kekayi.

Banyak selir raja yang mati jika Matara yang menjelma


jadi Kekayi. Karena Matara mampu melihat mana menu
beracun, dan dengan mudah memindahkan makanan
beracun itu ke tempat pemberi racun.

Karena Matara selalu berwujud Kekayi, istri-istri raja


dan selir pun makin takut pada Kekayi. Bahkan banyak
rumor, aku adalah anak kesayangan dewa yang lahir
untuk menguasai seluruh kehidupan ini. Kekayi tidak
mempan diracun. Juga tidak mempan disabet benda
tajam. Aku tahu semua itu ulah Matara. Makanya, aku
berpikir Mataralah ibuku. Hanya seorang ibu yang rela
melakukan apa saja untuk darah dagingku. Aku lebih
mengenal Matara, dibanding sosok ibu yang
melahirkanku.

Kau adalah keturunan raja besar yang gagah. Lahir dari


rahim perempuan cantik yang tidak ada tandingannya.
Bahkan banyak dewa jatuh cinta pada ibumu, Kekayi?
Suatu hari Raja Kekaya berkata sungguh-sungguh.
Tatapan lelaki itu tajam, mengupas seluruh serat kapas
yang melekat di tubuh Kekayi. Terdengar detak
jantungnya, desah napasnya yang berdengung seperti
tawon di kupingku. Aku tahu, Kekaya berusaha
menghentikan seluruh detak tubuhnya yang dia rasa tidak
normal. Kekayi tahu seluruh dayang, selir, dan puluhan
istri Kekaya tahu. Bahwa Kekaya jatuh cinta pada
Kekayi.

Aku suka para lelaki menatapku dengan birahi.

Kekayi!

Jaga mulutmu! Jika kau semakin angkuh dan sombong.


Musuhmu akan semakin banyak. Matara selalu berkata
dengan ketus. Hanya Mataralah yang bisa meredamnya.
Kekayi tidak percaya pada siapa pun, juga pada apa pun.
Penunjuk jalan hidupnya adalah Matara. Perempuan
bertubuh kayu, dengan bongkok seperti gumpalan batu di
punggungnya.

***

Aku adalah Kekayi, perempuan yang menghabiskan


hidupnya untuk berdoa dan tirakat pada hidup. Kini
menjelma perempuan tua, yang dicaci-maki anakku
sendiri. Sebagai Ibu, aku tak akan mengutuk mereka.
Karena mereka tidak pernah tahu siapa Kekayi
sesungguhnya! Namaku Kekayi, perempuan, istri
seorang lelaki tua, dan ibu Bharata. Bharata
memusuhiku, memakiku, dan berkata kasar, menyesal
memiliki ibu seperti aku. Yang tamak, loba, haus
kekuasaan, menghalalkan apa saja untuk dirinya sendiri
dan tanpa hati. Perempuan hina yang membunuh
suaminya sendiri, Dasarata. Kekayi tidak habis pikir,
kenapa dia yang disalahkan oleh Bharata? Bukankah
Dasarata sendiri yang berjanji akan memberikan apa saja
yang dia inginkan? Juga mengangkat Bharata sebagai
raja? Lalu, kenapa Dasarata berubah arah, mengangkat
Rama? Kenapa Bharata begitu marah padanya?
Bukankah hak dan kewajiban seorang ibu adalah
memberi hal-hal terbaik bagi anaknya. Tugas ibu juga
membuat masa depan anaknya gemilang.

Bharata memang lelaki yang masih muda. Belum paham


hidup. Belum paham bahwa kesempatan itu tidak datang
dua kali! Kekayi tidak habis pikir, kenapa Bharata
berpihak pada Kusalya? Dan memohon maaf atas nama
Kekayi.

Hyang Jagat! Betapa bodohnya Bharata. Betapa


menyedihkan Kekayi sebagai ibu telah melahirkan
seorang anak lelaki yang rapuh!

Mungkin ketika aku mengandung mereka, mereka adalah


burung gagak yang mematuk rahimku.

Oka Rusmini, menulis puisi, cerpen, novel. Ia peraih


SEA Write Award di Thailand (2012) untuk novel
Tempurung dan Kusala Sastra Khatulistiwa 2013-2014
untuk buku puisi Saiban. Kini ia tinggal di Denpasar,
Bali.
Siapa Suruh Sekolah di
Hari Minggu?
Cerpen Faisal Oddang (Kompas, 30 Jui 2017)

Nama saya Rahing, usia delapan tahun lebih. Saya baru


saja membunuh kakak saya. Lehernya saya potong pakai
parang milik gerombolan. Saya ditangkap tentara.
Tentara banyak sekali pertanyaannya, saya jadi pusing.
Saya bilang mau pulang. Tentara bilang tidak boleh. Saya
jadi sedih dan takut. Besok hari Minggu, Guru Semmang
akan cubit saya kalau tidak masuk sekolah. Sekolah kami
sekarang, pindah ke dalam hutan. Saya bilang, saya mau
cerita tetapi sesudah itu, saya pulang. Tentara setuju.
Saya bilang lagi, saya mau cerita tetapi jangan bilang
sama Guru Semmang. Dan jangan kasih tahu ayah kalau
saya di sini, tentara janji. Saya takut Guru Semmang
cubit saya. Saya takut Ayah lihat saya, dia mau bunuh
saya.

Dia sering dipukul ayahnya menggunakan warangka


parang. Bermacam-macam persoalan menjadi
penyebabnya. Yang paling sering, karena Rahing dekat
dengan Semmanglelaki yang ayahnya benci secara
ideologi bahkan secara personal. Yang Rahing alami
sungguh tidak serumit yang di kepala ayahnya. Dia
dipukul, memang itu menyakitkandia sudah terbiasa
tetapi ada kenyataan lain yang membuat tangisannya
seolah tangisan penghabisan pada suatu malam: ayahnya
melarang dia pergi ke sekolah saat hari Minggu.

Itu sekolah gerombolan.

Guru Semmang ajar kami mengaji, kami belajar


menyanyi bahasa Arab, saya suka. Guru Semmang bilang
dia pejuang, tidak boleh bilang gerombolan.

Kau nanti ditangkap tentara!


Guru Semmang bilang jangan takut.

Kau nanti ditembak!

Guru Semmang bilang jangan takut.

Kau keras kepala sekali, sama kayak Semmang, kalian


sama saja.

***

Ayah pernah bilang saya akan ditembak kalau tentara


tangkap saya. Ayah pasti sudah berdosa karena bohong,
karena tentara tidak tembak saya. Tentara bilang akan
kasih permen, kalau mau cerita kenapa saya memotong
leher kakak saya. Saya juga nanti dilepas dan dibiarkan
pulang ke hutan. Saya jadi senang karena besok hari
Minggu dan saya akan diberi hadiah oleh Guru Semmang
karena saya sudah hafal doa sebelum tidur.

Saya suka permen, kata Ayah, tentara punya banyak


permen. Jadi harus berteman sama tentara. Saya sama
warga dan Guru Semmang dan temannya, pernah rusak
jembatan. Waktu itu sudah malam. Kata Guru Semmang,
kalau jembatan rusak, tentara tidak bisa ganggu kami
sekolah dan mengaji. Saya jadi senang. Besoknya tentara
datang ke kampung kami cari laki-laki yang sudah besar.
Ayah juga dipanggil, jadi saya ikut. Kami disuruh
perbaiki jembatan yang rusak. Tentara itu kasih saya
permen karena saya bantu angkat tanah. Kata Ayah, lihat
mobil besar milik tentara itu, semua isinya adalah
permen. Saya tambah rajin angkat tanah.

***

Di posko tentara, Rahing duduk sambil menjilati permen


gula aren di kedua tangannya. Ia mengenakan kemeja
putih kecoklatan, peci hitam bulukan, sarung yang
kedodoran dan kaki penuh lumpur. Dia bersama seorang
tentara yang terus bertanya banyak hal.

Posko sementara telah dibangun Tentara Jawaistilah


warga saat menyebut tentara nasional yang dikirim untuk
Operasi Tumpas di Sulawesi. Hal itu disebabkan semakin
banyaknya sekolah yang dipaksa libur di hari Jumat dan
buka pada hari Minggu oleh gerombolan. Salah satunya,
di sebuah kampung kecil di pelosok Kabupaten Wajo,
kampung Rahing. Awalnya tentara datang menawarkan
rasa aman, kemudian satu per satu warga ditangkap
karena dituduh mata-mata gerombolan. Pada mulanya
semacam itu, kemudian ternak warga mereka beli dengan
harga murah, padi dipanen sebelum waktunya, hasil
kebun mereka petik paksa. Semua tentara lakukan ketika
gerombolan semakin sering keluar hutan untuk
mengambil persediaan makanan dari orang-orang
kampung. Warga menjadi telur yang semula berada di
ujung tanduk sapi lalu menyelamatkan diri ke ujung
tanduk kerbau.

Rahing masih menjilati permennya, sementara


pertanyaan demi pertanyaan masih terus ditujukan
untuknya. Tentu tidak semua ia jawab.

Kenapa kau gorok leher kakakmu?

Dia jahat.

Disuruh siapa?

Guru Semmang.

Apa katanya?

Nanti saya dicubit, kata Guru Semmang tidak boleh


cerita.

Kalau tidak cerita, nanti kau tidak kami pulangkan,


ayahmu kami panggil di sini. Benar, kan, Komandan?
tentara itu memandang, menuntut pengiyaan dari seorang
tentara lain yang berdiri sambil melipat lengan di depan
dada.

***

Tentara itu bilang saya tidak boleh pulang. Sudah malam,


nanti Ayah tahu saya di sini. Saya sebenarnya mau cerita
lagi, tetapi saya ingat waktu Guru Semmang larang saya
cerita kalau ada yang tanya. Tetapi, saya mau pulang, jadi
saya cerita saja karena mungkin tentara tidak akan kasih
tahu Guru Semmang.

Jadi, kata Guru Semmang, kakak saya teman tentara.


Karena kakak saya, Ibu dibunuh. Saya jadi sangat benci
sama kakak saya. Saat Guru Semmang kasih saya
parangnya, saya langsung potong lehernya seperti cara
Ayah potong leher ayam kalau mau lebaran. Saya jadi
rindu Ibu. Kalau lebaran, Ibu bikin ayam goreng. Saya
senang karena kakak saya mati. Karena kata Guru
Semmang, Ibu pasti senang juga di surga. Karena orang
yang bikin dia mati sudah saya bunuh. Saya dapat pahala
kalau bikin orangtua senang. Tetapi, Ayah tidak senang,
dia mau bunuh saya juga, jadi saya lari ke hutan ikut
sama Guru Semmang. Saya benci Ayah, dia tidak senang
kalau Ibu senang. Dia juga tidak tahu bikin ayam goreng.

***

Rahing membenci ayahnya seperti benci yang dia miliki


ketika melihat leher kakak laki-lakinya memasrahkan diri
pada parang yang diberikan Semmang. Saat itu,
menjelang perayaan kemerdekaan, hari Minggu pada
bulan Agustus 1961Rahing baru sampai di sekolah
ketika tiba-tiba Semmang menyuruh anak-anak lainnya
menyalin bacaan yang ada di papan tulis.

Saya ada tugas dulu sama Rahing, kata Semmang


sambil menggamit Rahing untuk mengikuti langkahnya
yang buru-buru.

Rahing belum selesai dengan rasa penasaran di


kepalanya ketika ia tiba di hutan kecil di belakang
sekolahnya. Sekolah yang hanya punya satu ruangan
dengan dinding anyaman batang nipah serta atap rumbia.
Beberapa anggota gerombolan memberi hormat
menyambut kedatangan Semmang. Seorang pemuda
awal dua puluh tahunan terduduk dengan kaki terikat
memanjang ke depan serta tangan yang diikatkan pada
batang cokelat di belakangnya. Mata pemuda itu ditutup
dengan kain berwarna hitam dan mulutnya tampak
dijejali dedaunan kering. Rahing mengenal pemuda itu,
dia Walinono, kakaknya.

Yang terjadi selanjutnya kurang lebih seperti yang


Rahing sampaikan kepada tentara: Semmang mulai
bercerita mengenai Walinono yang pengkhianat dan
harus terima balasan.

Kau siap bikin ibumu senang, Rahing?

Semmang bertanya dengan pertanyaan yang membuat


Rahing bergemingia terus memandangi kakaknya
seperti memandang sebuah titik kecil di ufuk. Ia masih
diam dan tidak menolak ketika gagang parang dijejalkan
oleh Semmang ke tangannya.

Kau bisa bikin ibumu senang, dapat pahala bikin


orangtua senang.

Rahing maju beberapa langkah dan beberapa saat


setelahnya terdengar suara orokan yang begitu keras
disusul darah yang mengalir.

Kau bantu, cepat!

Seorang anggota gerombolan mengambil parang dari


Rahingdan memutuskan leher Walinono yang tidak
bergerak lagi.

Bagaimana perasaanmu, Nak Rahing, senang?


Semmang menepuk-nepuk pundak Rahing yang masih
diam dengan tatapan kosong.

Rahing baru tersenyum ketika Semmang mengatakan:


Ah, pasti ibumu senang sekali, Rahing!

Malam baru saja tiba ketika Rahing berjalan pulang


menyusuri jalan kecil yang sudah sepi. Jalan penghubung
hutan dan perkampungan; menghubungkan rumah dan
sekolahnya. Ia tampak girang dan sesekali berlari kecil
sambil menggigit sepotong tebu di tangan kirinya, yang
diberikan Semmang sebagai hadiah. Di tangan kanannya
ia menenteng sebuah karung goni yang berisi kepala
Walinono.

Kau bawa kepala kakakmu, kasih lihat ke ayahmu.


Kalau dia senang, berarti dia sayang ibumu. Kalau
marah, berarti dia tidak suka ibumu senang, jadi kau ikut
saja ke hutan, saya lebih cocok jadi ayahmu.

Di kepala Rahing, masih melekat jelas apa yang


Semmang ucapkan ketika menyerahkan karung goni itu.
Jalan semakin sepi juga sunyiia masih butuh berjalan
sekitar setengah jam untuk tiba di rumah. Tebu yang sisa
sepah ia lemparkan ke semak-semak di sisi jalan. Rahing
lantas meletakkan karung goninya di tanah. Sambil
berlari kecil ia mulai menyepak karung itu seperti sedang
menggiring boladan baru berhenti ketika cahaya pelita
di perkampungan mulai tampak.

***

Saya suka main bola. Kepala kakak seperti bola, jadi


saya tendang saja.

Saya sudah ngantuk. Tentara masih suruh saya cerita. Dia


bilang saya tidak boleh tendang kepala kakak, tetapi
Guru Semmang bilang boleh. Saya percaya Guru
Semmang.

Saya memang sudah benci Ayah, tetapi dia tidak bohong,


tentara memang banyak permennya. Saya dikasih lagi,
saya disuruh cerita lagi. Saya ditanya lagi, katanya di
mana kepala kakak saya. Saya bilang tidak tahu. Ditanya
lagi, bilang di hutan bagian mana Guru Semmang
sembunyi, saya juga bilang tidak tahu. Sebenarnya saya
tahu.

Tahu kau, kapan mereka akan keluar hutan atau


merusak jalan sama jembatan?

Saya menggeleng ditanya begitu. Saya jadi sedih karena


lupa, saya sudah janji sama Ibu tidak akan menggeleng
atau mengangguk, kata Ibu tidak sopan.

Kau tahu siapa yang kasih gerombolan senjata?

Saya bilang, saya tidak tahu. Seandainya tahu, saya juga


mau minta. Saya mau sekali punya senapan, saya dulu
suka main senapan tetapi dari pelepah pisang.

Kenal sama gerombolan yang kena tembak bulan lalu?

Saya menggeleng, saya lupa lagi, ingat Ibu lagi.

***

Memang Rahing tidak tahu siapa yang tertembak oleh


tentara waktu itu. Semmang yang tahudan karena itu,
dia memburu Walinono yang baginya telah memasok
informasi untuk tentara. Informasi mengenai rencana-
rencana merusak jalan dan jembatan oleh gerombolan
memang semuanya tiba di tentara dengan campur tangan
Walinono. Ketika tiga orang gerombolan tertembak
setelah keluar hutan, itu juga berkat Walinono. Untuk
informasi yang diberikan dia mendapat imbalan
berbungkus-bungkus rokok dan seragam bekas tentara.
Dari tiga gerombolan yang tertembak, salah satunya
adalah adik kandung Semmang.

Kau kenapa melakukan ini?

Jawaban Walinono ketika tentara meragukan


kesetiaannya sungguh tidak meragukan. Dia akan
bercerita mengenai ibunya yang meninggal diperkosa.

Tidak ada cara lain membalaskan dendam Ayah selain


begini, Komandan.

Ia mengingat, malam itu ibunya pamit untuk menjual


tenunannya ke Sengkangibu kota kabupaten. Ibunya
berangkat, berjalan kaki tengah malam dengan harapan
tiba pagi hari ketika pasar mulai dibuka, seperti biasa.
Ibunya berangkat setelah melumuri tubuh dan wajahnya
dengan arang; sudah menjadi kebiasaan bagi perempuan
yang ingin keluar dari kampung itu. Diri mereka dibuat
sejelek mungkin agar terhindar dari tangan tentara atau
gerombolan yang ingin melecehkan.

Ibunya tidak pernah tiba di Sengkang. Mayatnya


ditemukan membusuk, telanjang dan mengambang di
sungai, beberapa hari kemudian. Tidak ada yang tahu
siapa pelakunya, tetapi Walinono tidak mencurigai nama
lain selain Semmangdia adalah mantan kekasih
ibunyayang sangat sakit hati ketika ibu Walinono
memilih lelaki pilihan orangtuanya. Semmang waktu itu
berjanji tidak akan pernah menikahdan dia
membuktikannya. Dia berjanji akan pembalas
pengkhianatan itu, dia telah membuktikannya.

Wajo, 2017

Faisal Oddang, mahasiswa sastra Indonesia di


Universitas Hasanuddin.
Lelucon Para Koruptor

Cerpen Agus Noor (Kompas, 23 Juli 2017)

Ada yang tak disampaikan ketika ia masuk penjara: mesti


menyiapkan banyak lelucon. Mungkin Join Sembiling
SH lupa soal itu. Pengacara yang menangani kasusnya
itu hanya mengatakan kalau ia tak usah terlalu khawatir
selama menjalani 8 tahun masa tahanannya karena segala
sesuatunya sudah ada yang atur dan urus. Percayalah,
penjara bukanlah tempat yang menyeramkan bagi
koruptor, katanya setengah tertawa.

Kehilangan kebebasan, bagaimanapun membuatnya


merasa tertekan. Ia membayangkan kehidupan yang
begitu membosankan dan akan mati kesepian. Tapi
pengacara berpenampilan perlente itu, yang sudah
menangani puluhan kasus korupsi, menenteramkannya,
Anggap saja kau hanya pindah tempat tidur. Kau tetap
bisa menjalankan bisnismu dan menikmati hal-hal yang
kau sukai seperti biasanya.

Ia kini benar-benar percaya dengan semua yang


dikatakan pengacaranya. Ia tak perlu pusing memikirkan
kebutuhan hidup bulanan istrinya karena sudah ada yang
menanggung, juga biaya sekolah anak-anaknya. Kawan-
kawan dan atasan yang merasa diselamatkannyakarena
ia tak menyebutkan nama mereka selama persidangan
telah diatur oleh Join Sembiling SH agar membantu
semua kebutuhan rumah tangganya sebagai ucapan
terima kasih. Bahkan, ia masih bisa berkomunikasi
dengan mereka, dan istrinya bisa sewaktu-waktu
menemuinya bila memang ia membutuhkan untuk
menyelesaikan hasratnya. Bila merasa bosan dan
pengin sedikit refreshing berjalan-jalan di luar, semua
prosedur formal akan dibereskan dengan biaya
secukupnya. Bila kangen makanan kesukaan, tinggal
telepon dan akan segera ada yang mengantarnya.

Yang menggelisahkan justru karena ia mesti menyiapkan


lelucon. Ini ia ketahui setelah dua minggu dalam penjara.
Ia diundang mengikuti pertemuan dengan para penghuni
lama. Ini pertemuan yang rutin diadakan tiap malam
Rabu, ujar Sarusi, kawan satu selnya, anggota dewan
yang tertangkap tangan karena kasus suap reklamasi.
Kau bisa berkenalan dengan orang-orang terhormat di
sini. Kesempatan langka, yang mungkin tak akan bisa
kau dapatkan bila kau masih di luar sana. Sarusi
tersenyum. Siapkan saja satu lelucon paling lucu yang
kau punya, yang bisa menentukan martabatmu. Ia
bingung saat itu.

***

Akhirnya ia tahu. Setiap yang hadir bergiliran


menyampaikan satu lelucon. Yang paling lucu akan naik
martabatnya karena akan dilayani oleh yang kalah, yakni
yang dianggap paling tak lucu. Menjadi raja dalam
seminggu, yang boleh memerintah atau mengerjai siapa
pun yang kalah, misalkan menyuruh berdiri dengan satu
kaki, menangkap seekor kecoa, dicoreng wajahnya
dengan spidol dan tak boleh dibersihkan selama
seminggu, memijiti tiap malam, dan bahkan
menyuruhnya membersihkan sel.
Lelucon-lelucon itu menghiburnya, sekaligus
membuatnya mati kutu. Saat pertama kali hadir dalam
pertemuan itu, ia dianggap paling tak lucu dan disuruh
menyanyikan lagu nasional yang didangdutkan sambil
goyang ngebor. Sialan! Rupanya semua telah sepakat
untuk memplonconya sebagai warga baru karena ia tahu,
sebenarnya lelucon Pak Hakil lebih tak lucu dari
leluconnya.

Pak Hakil, mantan hakim konstitusi, sebenarnya tak


pernah bisa membuat lelucon lucu. Leluconnya nyaris
sudah basi dan garing. Tapi semua yang mendengar
selalu tertawa. Misal, suatu kali Pak Hakil melontarkan
tebak-tebakan, Kenapa di rel kereta api selalu ditaruh
batu? Karena kalau ditaruh duit, pasti habis diambil kita
semua. Ia tahu, itu hanya lelucon lama yang
dimodifikasi, tapi semua tertawa. Bahkan, ketika Pak
Hakil menceritakan lelucon usang soal kereta api yang
berhenti di stasiun karena rodanya kempes, semua
tertawa ngakak. Apa lucunya? Kemudian Sarusi
membisikinya, Kau harus tertawa meski tak lucu. Pak
Hakil sudah cukup menderita karena divonis seumur
hidup, jadi anggap saja kita sedekah tawa karena ingin
membuatnya terhibur. Ingat, menyenangkan orang lain
itu dapat pahala. Ha-ha.

Kemudian, ia memahami, soal masa hukuman itu


termasuk hal penting yang harus dihormati. Semakin
lama masa hukuman, maka akan semakin tinggi
kehormatannya. Yang lebih rendah vonis hukumannya
harus menghormati yang dihukum lebih lama di atasnya.
Bila lebih dari 15 tahun penjara, ibaratnya berpangkat
setingkat jenderal. Yang dihukum seumur hidup langsung
dapat gelar jenderal bintang lima anumerta. Kalau cuma
dua tiga tahun, itu kelas kopral.

Jumlah yang dikorupsi juga menentukan martabat. Bung


Jayus, pegawai pajak yang masih muda tapi menilep
miliaran, dipandang lebih terhormat dari Pak Muad
Arim, bupati yang sudah berumur 70 tahun, tetapi hanya
kesandung uang recehan ratusan juta. Makin banyak
uang makin terpandang dan disayang. Setidaknya makin
disayang para sipir penjara, kata Mas Unas, mantan ketua
sebuah partai. Mas Unas tetap merasa dirinya hanya
dikorbankan. Saya tak bersalah. Terbukti saya tidak
menerima satu rupiah pun, sebab yang saya terima
dalam bentuk dollar. Lelucon-leluconnya sering
mengejutkan.

Di pertemuan malam Rabu itulahyang sering dibilang


Mas Unas sebagai tadarus lelucon setiap yang hadir
seperti ingin saling menghibur, tetapi kadang juga terasa
ingin meneguhkan kehormatan dan martabatnya dengan
saling sindir saling ledek. Dan Mas Unas kerap menjadi
bintang dengan lelucon-leluconnya. Bung Jayus sering
kena sasaran. Kamu tahu, pajak itu mudah, yang sulit
membayarnya, kata Mas Unas. Semua tertawa. Bung
Jayus mesam-mesem. Orang pajak itu paling pelit. Saya
punya kawan, perempuan yang pacaran dengan pegawai
pajak. Tiap makan, selalu perempuan itu yang bayar.
Ketika perempuan itu kesal, pegawai pajak itu bilang,
tenang, kamu yang bayar makannya, saya yang urus
pajaknya. Kembali semua tertawa.

Tapi harus diakui, di antara kita semua, pegawai pajak


yang akan gampang masuk surga. Ketika mau masuk
gerbang surga, tiap orang akan ditanyai malaikat. Nah,
ketika sampai di gerbang surga, justru pegawai pajak
yang malah menanyai malaikat, Tolong perlihatkan SPT
pintu gerbang surga ini?! Apakah sudah melunasi pajak
pintu gerbang surga? Mendengar itu, malaikat cepat-
cepat menyuruh pegawai pajak itu masuk surga biar
urusan pajak nggak diungkit-ungkit.

Mas Unas, timpal Bung Jayus, semua orang itu jujur,


kecuali soal pajak.

Kelebihan lain Mas Unas ialah piawai memberi konteks


leluconnya dengan apa yang aktual. Saya baru baca
berita, kalau saat ini jumlah orang miskin hampir 100
juta. Sementara ekonomi hanya dikuasai oleh 10 orang
terkaya. Menurut saya, ini berita bagus.

Lho kenapa?

Artinya, di negeri ini lebih gampang jadi orang kaya


ketimbang jadi orang miskin. Kalau mau jadi orang
miskin, harus bersaing dengan 100 juta orang. Tapi kalau
mau jadi orang terkaya, saingannya hanya 10 orang.
Artinya, kalau nanti kita keluar, kita masih tetap punya
harapan untuk makin kaya karena hanya bersaing dengan
10 orang itu.
Semua nyengir.

***

Menyiapkan lelucon seminggu sekali menjadi hal yang


paling menggelisahkannya dalam penjara ini.
Memikirkan lelucon yang harus disiapkan untuk
pertemuan Rabu malam itu saja sudah membuat perutnya
mual. Ia selalu tak pernah bisa yakin dengan lelucon
yang ia anggap lucu. Barangkali lelucon itu memang
lucu, tapi ia tak pernah bisa menyampaikannya sebagai
kelakar yang menarik. Ia pasti langsung keringat dingin
ketika sampai gilirannya.

Hal yang semakin membuat gelisah, ia selalu merasa, apa


pun leluconnya, tak pernah ada yang menganggap lucu.
Ia pernah menceritakan lelucon politik paling lucu
tentang Stalin yang setiap pagi selalu mengulangi lelucon
yang sama pada para pengawalnya, dan para pengawal
itu tetap tertawa; sebab bila ada yang tak tertawa,
langsung ditembak. Itu satir, tapi tak seorang pun tertawa
ketika ia menceritakannya. Lalu, di pertemuan berikut ia
memilih humor asosiatif dan menyerempet porno.
Jangankan ada yang tertawa, tersenyum tidak. Malah ia
jadi bahan ledekan. Ia juga sudah mencoba teka-teki
konyol, tetap saja dianggap kalah lucu dengan lelucon
Pak Hakil yang sama sekali tak lucu.

Bahkan, yang membuatnya tak paham sekaligus geram,


ia pernah dengan sengaja memilih lelucon yang sama
dengan lelucon Pak Hakil: tentang kenapa anak babi
selalu jalan tertunduk sebab malu punya ibu babi. Ketika
Pak Hakil yang cerita, semua tertawa terbahak. Tapi saat
ia menceritakan lelucon yang sama itu, semua diam. Ia
tak bisa marah kepada Pak Hakil sebab sebagaimana
kode etik sesama tahanan, Pak Hakil lebih terhormat
(hukumannya lebih lama) dan lebih bermartabat (jumlah
korupsinya lebih banyak).

Selama setahun mengikuti malam lelucon itu, ia tak


pernah terpilih sebagai yang paling lucu. Ia
menyampaikan rasa penasarannya kepada Sarusi, tapi
rekan satu selnya menghindar menjawab. Ia yakin Sarusi
menyembunyikan rahasia. Ia selalu memancing agar
Sarusi menjelaskannya.

Kau tak tahu? kata Sarusi suatu malam, saat ia terus


mendesaknya. Kamu menutupi banyak fakta, hingga
hanya kamu sendiri yang masuk penjara. Kamu
melindungi semua atasanmu yang terlibat. Oleh mereka
yang diselamatkanmu, kamu dianggap hebat, pahlawan
penyelamat. Tapi bagi kawan-kawan di sini, kamu
hanyalah seorang pengecut. Karena tak pernah berani
menyebutkan nama-nama yang ikut korupsi
bersamamu. Sarusi menatapnya. Ia merasakan
kesunyian yang membuatnya kehilangan semua
kebanggaannya.

Membayangkan sisa hukuman dengan harus memikirkan


dan menyiapkan lelucon setiap minggu sungguh-sungguh
menjadi siksaan yang lebih mengerikan dibanding
hukuman dalam penjara yang mesti dijalani.
Membuatnya merasa seperti pecundang yang sedang
dihukum dengan lelucon-leluconnya sendiri.

Akhir Perjalanan

Cerpen Sori Siregar (Kompas, 16 Juli 2017)


Puluhan pemuda melangkah cepat sambil berteriak riuh
menuju markas tentara Jepang di pojok jalan. Dengan
bentangan tangannya, seseorang yang bertubuh besar
menghentikan langkah para pemuda yang dibakar
amarah itu. Lelaki bertubuh besar itu maju ke depan.

Mana komandan kamu. Panggil dia. Kami datang untuk


mengambil semua senjata yang kalian miliki, katanya
kepada para pengawal.

Gozo Yoshimasu, yang telah mendengar gemuruh


teriakan ketika para pemuda itu semakin mendekati
markas mereka, melangkah keluar sebelum pengawal
memanggilnya. Ia berdiri tenang. Semua pemuda yang
berada di depannya juga diam. Rasa takut belum
meninggalkan wajah mereka. Susah rasanya melepaskan
diri dari rasa takut, benci, dan amarah setelah lebih dari
tiga tahun ditindas oleh tentara-tentara bermata sipit itu.
Tentara Jepang dikenal kejam dan gemar menyiksa.

Gozo Yoshimasu yang bertugas sebagai komandan di


markas tentara di kota Tebing Tinggi itu menatap mata
lelaki bertubuh besar yang berada tidak jauh di
depannya. Yoshimasu bukanlah tentara yang mudah lepas
kendali. Di kalangan sesama perwira tentara Jepang,
Yoshimasu yang berpangkat kapten itu dikenal lembut
menghadapi siapa saja. Ia bukanlah prototipe tentara
pendudukan yang terkenal garang dan tanpa belas
kasihan.

Boleh saya tahu mengapa kalian datang ke markas ini?


Ia bertanya tetap dengan tenang.

Tanpa harus menunggu lama, ia mendengar teriakan


lelaki bertubuh besar yang berdiri di depannya.

Kami datang untuk mengambil senjata yang kalian


miliki. Sebagai bangsa yang kalah perang, tentara kalian
tidak berhak memiliki senjata lagi. Serahkan senjata itu
kepada kami dan kami tidak akan mengganggu tuan dan
anak buah tuan.

Peristiwa yang sedang dihadapi Yoshimasu bukan hanya


sekali terjadi di negeri ini setelah Jepang menyatakan
takluk kepada Tentara Sekutu dalam Perang Dunia II.
Karena itu, Yoshimasu tidak terkejut. Ia diam dan
berpikir. Para pemuda di depannya mulai tidak sabar dan
kembali berteriak-teriak dengan amarah walaupun tetap
dibarengi rasa takut.

Senjata kami hanya akan dilucuti oleh Tentara Sekutu,


bukan oleh pihak lain. Jika kami memberikan senjata-
senjata yang kami miliki kepada kalian, kami dilarang
keras untuk melakukan itu dan akan ditindak tegas oleh
Tentara Sekutu.

Serahkan sekarang juga, ujar lelaki bertubuh besar itu.


Jika tidak, kami akan menyerbu masuk dan korban akan
berjatuhan di pihak tuan. Tuan lihat betapa banyaknya
pemuda di belakang saya.

Gozo Yoshimasu menatap mata lelaki bertubuh besar


kemudian menatap semua pemuda di depannya. Kapten
yang oleh rekan-rekannya dikenal lembut ini tampak
berpikir untuk mengambil keputusan. Ia sadar betul
bahwa para pemuda di depannya benar-benar
membutuhkan senjata karena mereka ingin
mempertahankan kemerdekaan yang baru mereka
kumandangkan. Namun, jika ia memberikan senjata yang
mereka miliki, Tentara Sekutu akan memberikan
hukuman berat kepadanya. Ia akan dianggap membantu
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentara Sekutu tidak
menghendaki itu. Mereka memiliki rencana sendiri untuk
bangsa ini.

Dalam keadaan kritis tersebut, Kapten Yoshimasu harus


mengambil keputusan segera untuk menghindari
pertumpahan darah. Keputusan yang ditunggu itu pun
diambilnya dan ia siap untuk menanggung segala risiko
untuk itu.

Masuklah dan ambillah semua yang kalian inginkan,


ujar Yoshimasu dengan suara keras dan tegas.

Mendengar keputusan itu, semua pemuda menyerbu


masuk dan merampas semua yang terdapat di dalam
markas. Yoshimasu menyaksikan semua itu dengan
perasaan tercabik. Namun, ia merasa keputusannya
tersebut paling tidak akan dapat menyelamatkannya dan
anak buahnya. Namun, kenyataan berkata lain. Salah
seorang pemuda yang menyerbu ke markas
menodongkan ujung bambu runcingnya ke leher
Yoshimasu. Lelaki bertubuh besar merampas bambu
runcing itu dari pemiliknya dan melemparkannya ke
halaman markas. Ia tidak ingin Yoshimasu cedera.
Pemilik bambu runcing yang sedang diamuk amarah
merampas senapan dari tangan temannya yang baru
mengambil senjata itu dari markas. Ia mengarahkan
senjatanya ke tubuh Yoshimasu yang tidak berdaya.
Lelaki bertubuh besar berteriak mencegahnya. Dengan
sekuat tenaga, pemuda pemilik bambu runcing itu
menusukkan sangkur yang melekat di senapan itu ke
dada Yoshimasu. Perwira Jepang itu bersimbah darah.
Lelaki bertubuh besar itu mencoba menolong Yoshimasu.
Tapi, saat itu juga sangkur yang masih merah dengan
darah itu diarahkan sang pemuda ke dada lelaki bertubuh
besar itu.

Jika salah bersikap, ia akan mengalami nasib seperti


Yoshimasu. Setelah mengerang beberapa saat, tubuh
Yoshimasu tidak lagi bergerak dan darah terus mengucur
dari tubuhnya. Setelah itu lelaki bertubuh besar hanya
dapat menyaksikan dengan rasa tidak percaya semua
yang dilakukan para pemuda yang tadi dipimpinnya.
Setelah semua anak buah Yoshimasu dilumpuhkan,
mereka diseret ke tengah-tengah kota. Di sana mereka
diberondong seorang demi seorang di depan penduduk
yang datang menonton.

***

Kekejaman yang dilakukan para pemuda yang berada di


belakang lelaki bertubuh besar itu tak pernah dapat
diusirnya dari ingatannya. Dua puluh tahun kemudian,
kekejaman yang serupa terjadi di negeri ini. Anak lelaki
bertubuh besar juga gagal mencegah kekejaman teman-
temannya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika para
anggota ormas yang dipimpinnya membantai puluhan
orang yang belum tentu bersalah akibat gejolak politik
yang tidak diinginkan.

Ketika anak semata wayang itu mengutarakan perasaan


bersalahnya karena tidak dapat mencegah kejadian yang
memilukan itu, sang ayah, lelaki bertubuh besar itu,
berupaya menenangkannya.

Dua puluh tahun ayah juga merasa dikejar-kejar dosa


karena tidak dapat menyelamatkan perwira Jepang itu
dari kekejaman yang dilakukan para pemuda di Tebing
Tinggi itu. Seandainya Yoshimasu bersikap keras dan
melepaskan tembakan ke arah kami, ayahlah orang
pertama akan tersungkur ke bumi. Tapi, Kapten
Yoshimasu mengizinkan kami masuk ke markasnya dan
mengambil semua senjata yang terdapat di sana. Ia hanya
menyaksikan kami tanpa reaksi apa pun.

Lalu, mengapa teman-teman ayah itu harus membunuh


Yoshimasu dan semua anak buahnya?

Lelaki bertubuh besar itu menarik napas. Ia dapat


membaca semua yang tersimpan dalam benak anaknya.
Peristiwa yang membuat anaknya merasa berdosa itu
baru berlalu satu tahun. Itu pun pastilah tidak seberat
yang dirasakan ayahnya selama dua puluh tahun.

Ketika itu kita memang terbelenggu oleh rasa cemas,


takut, dan amarah sehingga kita tidak dapat berpikir
jernih. Mereka telah takluk dalam perang dan apa yang
dapat mereka perbuat sebagai pecundang terhadap kita?
Mereka telah menyerah kepada nasib dan menunggu
tindakan tentara sekutu. Hal yang sama juga kau alami.
Apa yang dapat diperbuat kekuatan kiri itu setelah
mereka dinyatakan terkubur di negeri ini. Mengapa
teman-temanmu harus membunuh para petani, buruh dan
para ibu yang belum tentu bersalah itu, sedangkan kaua
tidak dapat menghentikannya. Mereka orang-orang
sederhana yang diperalat oleh kekuatan politik durjana.
Paling tidak kau telah berusaha menghentikan kebuasan
itu, tetapi apalah artinya tenaga satu orang menghadapi
kekuatan massa.

Anak lelaki bertubuh besar menatap ayahnya. Baginya,


banyak orang merasa peristiwa sejarah di masa lampau
tak perlu dikenang atau disesalkan. Semua itu harus
diterima apa adanya. Mungkin itu benar buat orang yang
tidak bersinggungan sedikit pun dengan peristiwa sejarah
itu. Tapi tidak buat orang yang kehilangan sesuatu atau
terbelenggu kejaran dosa karena peristiwa sejarah itu.
Anak lelaki bertubuh besar itu mengalihkan tatapannya
ke arah lain.

Kemarin aku membaca feature menarik di koran Strait


Times yang kubeli di sebuah toko buku di bandara.
Seorang laki-laki yang mengaku dirinya cucu dari
seorang perwira Jepang di Indonesia bernama Gozo
Yoshimasu sedang mencari informasi tentang makam
kakeknya dan bagaimana kakeknya terbunuh. Benarkah
ia tertembak karena membangkang perintah Pasukan
Sekutu? Aku rasa ayah dapat memberikan informasi
yang benar kepadanya. Alamatnya jelas tertulis di akhir
tulisan itu. Jelaskanlah, Tentara Sekutu sama sekali tidak
ada urusannya dengan kematian Yoshimasu. Jelaskan
juga bahwa ayah tidak tahu di mana jenazahnya
dikuburkan atau dibuang bersama dengan mayat-mayat
anak buahnya.

Lelaki bertubuh besar itu membisu. Lama ia berpikir.


Adakah manfaatnya jika ia menceritakan peristiwa
sebenarnya kepada orang yang mengaku sebagai cucu
Yoshimasu itu? Apakah tidak lebih baik aku
membiarkannya berpikir bahwa Tentara Sekutulah yang
membunuh kakeknya. Dengan begitu aku dapat
menyelamatkan nama baik para pemuda yang menyerbu
ke markas Yoshimasu, termasuk diriku.

Anak lelaki bertubuh besar seakan menyadari apa yang


tersimpan dalam kepala ayahnya. Agar ayahnya tidak
dikejar-kejar dosa sepanjang hidupnya, ia pun
menyuarakan pendapatnya.

Ayah sebaiknya menghubunginya dan menuturkan


semua yang ayah ketahui. Ia ingin tahu apa yang
sebenarnya terjadi dan mengapa kakeknya yang menjadi
korban. Cobalah ayah baca artikel yang bagus dan
mengharukan itu. Kalau sekadar ingin tahu nasib
ayahnya sebenarnya cukup jika ia menulis surat
pembaca. Tetapi, ia menulis artikel karena peristiwa di
Tebing Tinggi itu selalu menjadi pembicaraan tentang
Jepang yang kembali dari Sumatera. Nama kota itu
ditulisnya berkali-kali dalam artikel itu. Dengan
menceritakan semua yang terjadi pada Yoshimasu,
percayalah, ayah, akan terbebas dari kejaran dosa yang
tak berujung itu.

Kau sendiri bagaimana?

Orang-orang yang menjadi korban temanku seorganisasi


bukanlah orang-orang penting seperti Kapten Yoshimasu.
Hingga saat ini pun aku tidak pernah mendengar ada
orang yang mempersoalkan hal itu. Siapa mereka dan
mengapa mereka dikorbankan. Hanya para pelaku
kejahatan itu yang dapat menjawabnya. Atau mereka pun
tidak tahu karena perbuatan tidak terpuji itu mereka
lakukan secara membabi buta karena amarah yang
mencapai puncak. Biarlah ayah aku terus menanggung
dosa ini hingga suatu saat nanti aku dapat terbebas dari
kejarannya. Siapa tahu dengan pengakuan ayah terhadap
cucu Yoshimasu secara bertahap kejaran itu akan
berhenti. Siapa tahu.

Lelaki bertubuh besar masih membisu. Kemudian ia


menghampiri anaknya dan memeluknya.

Berikan alamatnya kepada ayah.


Sekuntum Melati Ibu

Cerpen Miranda Seftiana (Kompas, 09 Juli 2017)

Aku mengenal ibu sebagai perempuan yang ceria. Dia


sering tertawa, meski aku tidak benar-benar mampu
mengeja apakah karena gemar saja atau dia memang
sedang bahagia. Satu hal yang pasti, banyak lelucon yang
sedatar papan sekali pun mampu memantik gelaknya.
Persis seperti bocah usia di bawah lima tahun yang
menganggap anjing tercebur ke kubangan lumpur bukan
sebagai masalah, melainkan ajang bermain air dan sabun.
Pekerjaan menyebalkan bagi sebagian orang dewasa
karena mesti mengulang aktivitas yang sama padahal
bisa dilakukan sekali saja dalam seminggu.

Tapi aku suka ibu. Suka melihat sudut bibirnya yang


tertarik nyaris mencapai tulang pipi. Suka melihat
retinanya yang coklat mengembun seperti daun ketika
pagi hari. Segalanya lebih menarik. Tentu. Daripada kau
melihat sepasang bahu yang berguncang atau lima jari
yang membekap mulut dengan rapat. Aku tidak suka itu
dan mungkin ibu juga begitu.

Kana, ambilkan arang dan sekam! suara Ibu merambati


udara. Beradu deru mesin alkon yang melewati sungai
Pangambangan di belakang rumah kami.

Aku yang sedang memandangi buah-buah rambutan


bergegas menuju teras. Di sudut tempat yang menjadi
transisi antara pekarangan dan pintu rumah tergeletak
sekarung kulit padi yang telah menghitam, juga beberapa
bungkus arang yang biasa digunakan untuk membakar
ayam atau ikan. Ibu meletakkan di sana, di tempat teduh
oleh bayangan dahan belimbing wuluh. Sengaja katanya,
agar tidak mengganggu estetika. Karena menurut
kepercayaan ibu, sesuatu yang kotor mesti dirahasiakan
sebagaimana yang dilakukan Tuhan terhadap kesalahan
manusia.

Aku tidak berani membantah. Sepanjang hidup pun tak


pernah menganggap ibu salah, terlebih jika sudah
melibatkan Tuhan. Bapak juga begitu. Dia tidak suka
mendebat ibu. Paling tidak, demikianlah yang kutahu
sepanjang kebersamaan mereka sebagai orangtua. Meski
dalam kesehariannya, lelaki dengan kumis melintang di
antara hidung dan katup teratas bibir itu berbeda minat
dengan ibu.

Bapak lebih suka tanaman yang bisa dimakan, terlepas


dalam kondisi mentah atau setelah diolah. Oleh karena
itu, di halaman ini kalian bisa melihat perbedaan
keduanya yang kentara. Jika ibu memilih menanam
sepasang bunga kertas, putih dan merah sebagai gerbang,
maka bapak memilih menanam mangga di halaman
depan. Bila ibu lebih suka menumbuhkan bunga sri
gading untuk mengawetkan pupur basahbedak
berbahan tepung beras dan airyang biasa dipakainya
tatkala menjajakan kembang barenteng dengan jukung
hawaian, maka bapak condong menanam sepohon
belimbing wuluh di seberangnya.

Bapak suka menyantap ikan goreng, pepes, dan bakar


dengan belimbing wuluh yang dicampur irisan cabai
serta bawang merah. Lantaran demikian, hampir tak
sekalipun buah bercitarasa asam sepat itu sempat
menghujam tanah. Bapak akan lebih dulu memetiknya
tak lama setelah bakal bunga menjelma buah. Ia akan
menyusunnya ke dalam toples kaca, menyiram dengan
larutan garam, lalu menyimpan di rak gantung sekitar
dapur. Sepanjang tahun kalian bisa melihat deretan toples
kaca berisi belimbing wuluh lunak dan berwarna
kecoklatan. Bapak suka itu, ia tidak pernah bosan, tak
mau digantikan. Kami menyebutnya jaruk balimbing
tunjuk.

Selain belimbing wuluh, bapak juga menaruh perhatian


istimewa pada pohon rambutannya. Sekali dalam
seminggu ia akan memupuk akar rambutan yang
menyembul ke permukaan dengan gula. Setiap pagi,
sesuai menyesap teh panas buatan ibu, ia akan
menyiramkan sisanya ke pokok rambutan itu. Kupikir
tidak bisa benar-benar disebut sisa, sebab bapak seperti
sengaja menyisihkan tehnya lebih banyak untuk akar
rambutan. Pada masa berbunga, bapak akan lebih sering
melakukannya.

Ibu tidak pernah keberatan gula sakarnya berkurang


setengah kilo setiap minggu. Seperti bapak yang juga
tidak pernah marah simpanan arang untuk membakar dan
memepes ikan berkurang demi anggrek milik ibu. Sudah
kukatakan, mereka nyaris alpa dari berbantahan.

***

Bapak tidak suka bunga. Aku tahu. Ibu tentu lebih tahu.
Tapi bapak adalah lelaki manis seumpama rambutan jenis
batukan yang tumbuh di pekarangan kami. Konon
menurut cerita bapak, rambutan ini tidak bisa dipisahkan
daging buah dan bijinya. Kalian hanya bisa menikmati
dengan cara mengemut hingga rasa manisnya
menyisakan hambar. Meski seperti tebu, rambutan ini
tidak boleh terlalu banyak disantap karena bisa
menyebabkan batuk. Bisa jadi inilah muasal nama
batukan yang disematkan pada jenisnya.

Manisnya bapak bukan dengan kata cinta. Seumur


kebersamaan dengan mereka, aku tidak pernah
mendapati keduanya bertukar panggilan sayang, jelingan
menggoda pun tidak. Ya, paling tidak, itulah yang
kudapati dari teras hingga dapur. Selebihnya barangkali
menjadi rahasia yang disimpan berdua oleh bapak dan
ibu.
Kenapa Ibu memanggil Bapak dengan sebutan
Bapaknya Kana, bukan kanda atau sejenisnya? usutku
suatu waktu.

Ibu sedang merangkai kuntum melati dan kelopak mawar


dengan sebuah jarum dan benang dari serat pelepah
pisang ketika aku bertanya begitu. Maka dilepaskan
segala kegiatan ke atas sebuah talamnampan berbahan
kuningan. Ibu menatapku lama, tersenyum sesamar
benang serat pelepah pisang.

Itu cara menyapa pasangan yang dicontohkan Penghulu


Zaman, ucap Ibu lalu kembali menusuk kuntum melati
dengan jarum yang tajam. Aku meringis ngilu
menyaksikannya, terlebih saat giliran kelopak mawar
yang lubangnya kentara.

Bu, ini kembang barenteng ya?

Dia menggeleng kecil. Ini kembang nagasari.

Bukankah kembang nagasari semestinya menggunakan


melati yang masih kuncup?

Tunjukku pada kuntum-kuntum semerbak yang telah


mekar sempurna. Kalau begini lebih mirip kembang
barenteng untuk ziarah.

Ibu tidak menyahut, ia hanya memandangiku dengan


nanar. Aku balik menatap mata ibu, menelusuri
kebohongan dari retina secoklat air rawa. Tidak ada dusta
di sana. Hanya rahasia yang terlampau dalam untuk
diselam.

***

Senampan ketan berhias nanas merah yang dibentuk


bagai kepala merak telah tersaji di depan pelaminan yang
berhias arguci. Di sekeliling ketan itu terselip daun
pisang yang dilipat kerucut. Lalu di atas ketan putih yang
dimasak dengan santan berderet-deret irisan telur dadar
tipis membentuk gelombang. Kami menyebutnya lakatan
hadap-hadap. Sajian wajib di hari pernikahan perempuan
Banjar.

Pada kiri dan kanan pelaminan berdiri kambang sarai


hiasan kertas berwarna-warni yang dililit ke lidiyang
ditancap pada vas kuningan. Kuning, merah, dan hijau
menjadi warna dominan. Kuning bermakna sakral, merah
terselip makna kejujuran, sedangkan hijau berarti sejuk.
Itu kata pahiasanperias pengantin tradisional Banjar
yang kini sedang berusaha menyematkan kembang
nagasari pada galung. Bunga ini istimewa, dikumpulkan
oleh bapak dan dirangkai oleh ibu.

Beruntungnya suamimu, jujuran sapambari tapi


mendapat melati yang masih kuncup, komentar
pahiasan sembari mengangkat surai nagasari.

Memang ada apa dengan melati yang masih kuncup?

Perempuan jelmaan yang menuju senja itu menepuk


kedua pundakku. Dia menunduk, kami bertatapan sesaat
di pantulan cermin meja rias yang dihadiahkan calon
suamiku sebagai tanda kesanggupannya memenuhi
syarat antaran tikar kalambu; mengisi kamar mempelai
wanita dari teras hingga langit-langitnya.

Melati yang kuncup pertanda kau masih dara, bisiknya


membuat rambut halus di sekujur tengkukku meremang.

Mataku memicing tajam ke sudut dinding kamar. Di


sana, foto pernikahan bapak dan ibu terpajang, belum
dipindahkan ketika pahiasan meminta kamar mereka
menjadi kamar pengantin. Sebab ukuran kamarku yang
sempit untuk tukang rias dan perlengkapannya masuk.
Mendadak anganku berterbangan.

Melati pada surai nagasari ibu yang telah mekar, akta


kelahiranku yang hanya memuat satu nama orangtua, ibu
yang lebih suka menyatukan kelopak bunga yang telah
tercerabut dari kuntum, bapak yang sering
mengumpulkan bunga ranggas tapi sejujurnya lebih suka
menumbuhkan taman yang bisa ia makan. Aku sadar
sekarang, mereka bukan selalu sepaham, melainkan
hampir tak pernah bercakap kecuali perihal anak. Adakah
seluruhnya kembang barenteng ibu; rangkaian bunga
yang dibawa orang berduka pada pemakaman orang
tercinta?

Miranda Seftiana, lahir di Hulu Sungai Selatan.


Menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat. Buku tunggalnya
berjudul Senandung Cinta untuk Bunda (Leutika Prio,
2011). Karyanya berjudul Sebatang Lengkeng yang
Bercerita terhimpun dalam buku Kumpulan Cerpen
Pilihan Kompas 2015
Perihal Tanda-tanda

Cerpen Wisnu Sumarwan (Kompas, 02 Juli 2017)

Aku selalu penasaran bagaimana nenekku bisa selalu


benar tatkala menduga bahwa kematian akan datang pada
suatu malam, pagi, siang, petang atau dini hari.

Pertama kali aku mengetahui bakat semacam itu adalah


saat nenek berkata bahwa seorang yang dekat tapi jauh
akan pergi bersama orang-orang asing yang tak diketahui
selain nama mereka. Pamanku yang termuda mengatakan
bahwa seluruh orang dekat kami berkumpul dekat-dekat
saja, tiada yang jauh, jadi tidak akan ada orang mati.
Empat bulan kemudian paman termuda itu mati saat
kapal laut yang ditumpanginya menuju perairan Filipina
lenyap ditelan badai. Ia baru bekerja sebagai seorang
mualim kapal ikan. Kami semua sudah lupa bahwa nenek
pernah mengatakan tentang itu sebelumnya.

Berikutnya, enam bulan sebelum kakek meninggal,


nenek berkata bahwa akan ada pergantian kapten kapal
karena kapten yang lama harus segera berpindah kapal,
burung-burung akan mengiringinya. Lagi-lagi, tiada satu
pun anggota keluarga kami yang bekerja di kapal selain
paman termuda yang telah meninggal lebih dulu dan dia
bukan kapten. Ternyata, benar terjadi pergantian kapten
dalam bentuk seumpama. Saat lebaran, kapal besar
keluarga kami tak lagi berkumpul di rumah kakekku
sebagai tetua yang tertua dan ganti berkumpul di rumah
adiknya yang sejak itu jadi orang tertua di keluarga
sepeninggal kakek. Lagi-lagi, kakek meninggal saat kami
sudah lupa bahwa nenek pernah berkata sesuatu tentang
itu. Kakek meninggal ketika membeli makanan burung di
seberang pasar. Kami bilang ia meninggal dalam damai,
yang lain bilang kalau kakek meninggal begitu saja tanpa
tanda-tanda.

Kehidupan adalah menanak nasi, ucap nenek saat


upacara kematian ibuku sedang berlangsung, tak
tercium wanginya sampai sesaat menjelang harus
diangkat, bau kematian adalah nasi yang hampir tanak.

Kematian di sini memang selalu wangi, penuh bunga-


bunga dan cacahan daun pandan yang ditebarkan dalam
peti atau keranda. Mungkin, untuk menutupi bau mayat
yang bisa mengungkit kesedihan. Atau, supaya kematian
tidak cuma berwarna hitam.

Aku berusaha mengingat kata-kata nenek seperti kamus


mengingat lema, namun tetap saja di saat-saat terakhir
selalu saja terlupa sampai ada seorang kerabat yang
meninggal. Mungkin, karena otak tak sudi mengingat-
ingat kematian. Lalu aku ingat bahwa nasi yang sedang
dimasak sudah mulai tanak, baunya bisa tercium, terasa
segar dan baru. Seperti inikah bau kematian? Nenek
hanya mengernyitkan bibirnya sambil mengangkat
dandang dari atas tungku kayu kemudian memindahkan
nasi setengah matang ke dalam kukusan bambu untuk
sekali lagi dimasak dengan cara diuapkan di atas air
panas yang menggelegak. Wanginya menyebar.

Sudah, nenek tak usahlah repot di dapur, ujar seorang


kerabat, biar kami saja yang mengurus makanan.

Namun nenek berkeras untuk tetap berada di pawon


dengan alasan: inilah kali terakhir ia bisa memasak untuk
putrinya tercintaibuku. Tak ada sedikit juga raut
kesedihan di matanya, mungkin karena ia sudah lebih
dulu tahu perihal kematian itu. Ia juga pasti sadar kalau
nasi yang ia masak pada kenyataannya takkan pernah
dimakan oleh putrinya, melainkan masuk ke perut orang-
orang yang cuma melayat mayatnya, banyaknya bukan
orang yang akrab. Tapi, bukan itu masalahnya. Nenek
tetap menganggap bahwa kerepotannya ini (yang ia
anggap tidak merepotkan) adalah untuk putrinya
sebagaimana sebelumnya ia telah memasak nasi untuk
suami dan putra bungsunya saat mereka meninggal.

Memasak nasi adalah mengolah kehidupan. Mungkin,


pikir nenek hingga tak berhenti memasak nasi meski
sedang berdiri di hadapan kematian suami atau anaknya.

Sebaliknya, aku takut pada saat-saat begini. Nenek akan


mulai meracau tentang tanda-tanda kematian seseorang
yang tak diketahui, lalu berikutnya aku lupa.

Aku takut kalau aku lupa bahwa ia pernah berwasiat


tentang tanda-tanda. Aku tak takut jadi tua, tapi aku takut
jadi tua dan pikun hingga melupakan perihal tanda-tanda.
Apakah saudara-saudaraku takut jadi pikun juga?
Sepertinya tidak. Mereka lebih takut pada kematian
dibanding kepikunan. Menurutku, kepikunan bisa lebih
berbahaya dari kematian. Manusia disebut sebagai
manusia karena kelahiran dan ingatan-ingatannya. Tanpa
ingatan, manusia takkan mengetahui apa-apa tentang
siapa dirinya. Manusia yang tak punya kenangan atas
dirinya, masihkah bisa disebut manusia? Atau mayat
hidup saja layaknya.

Kerabat-kerabatwalau iba pada nenek yang bekerja


keras memasak saat ada saudara meninggal, juga enggan
untuk berada dekat-dekat, sebisanya menjaga jarak.
Rupanya mereka begitu khawatir pada racauan nenek
perihal tanda-tanda yang hampir tak pernah meleset (aku
tak ingat kapan racauannya pernah meleset). Mereka
bersyakwasangka tentang siapa yang dimaksudkan dalam
ucapan itu. Bisa ayah mereka, ibu, paman, adik, kakak,
atau diri mereka sendiri. Sehingga, ketika hanya aku
yang cukup berani dekat-dekat nenek dalam jangka
waktu lebih lama, akulah yang jadi sasaran pertanyaan-
pertanyaan mereka. Rahasia kematian selalu jadi sumber
rasa penasaran, bagaimanapun ditolak kehadirannya.

Nenek bilang apa? Siapa yang akan mati berikutnya?


Nenek takbilang apa-apa, jawabku, lagi pula, mana
pernah dia menyebut nama.

Iya, tapi tak mungkin ia tak bilang apa-apa. Pasti kau


yang tak peka terhadap ucapannya, balas sepupuku.

Sungguh. Nenek memang tak mengucapkan apa-apa.


Paling tidak, belum.

Kau menutup-nutupi saja karena kau sebenarnya tahu


dan tak mau kami khawatir.

Tidak.

Ayolah, ceritakan.

Tidak ada yang bisa diceritakan. Kalau kalian mau


dengar ucapannya, kenapa tak dekat-dekat nenek saja?

Baru mereka semua diam dan aku kembali ke pawon


menemani nenek bekerja.

Rapal doa-doa adalah suara lebah dalam sarang yang


berdengung-dengung. Lalu nenek meracau lagi.

Sebenarnya, beras sudah jadi nasi, tinggal dihidangkan.


Perjalanan sudah selesai. Kita mulai makan, kemudian
yang kita ingat berikutnya rasa nasi saja. Beras yang
sudah jadi nasi kemudian keluar dari perut, jadi tai yang
dimakan lele. Kehidupan tak berhenti pada kematian,
melainkan jadi kehidupan yang lain. Saat waktunya tiba,
kita lupa pada nasi yang baru saja kita makan, atau
beras.

Benarkah nenek bisa lupa pada kematian orang-orang


yang dicintainya? Aku tak bisa membayangkan apa
rasanya jadi nenek yang terus menua sambil
menyaksikan suami dan anak turunannya mati satu per
satu. Usianya sudah lebih dari sembilan puluh tahun
nyaris seratus, kurasadan nasinya tak tanak juga,
sementara nasi yang lain sudah selesai dihidangkan. Apa
rasanya jadi dia? Aku tak mengerti.

Menyedihkan rasanya, ucap nenek, seperti


melahirkan kematian. Dan lebih menyedihkan lagi ketika
semua itu tak bisa ditolak. Pasrah saja kita bisanya.

Untuk banyak hal, ingatan nenek masih tajam, namun


saat ia berbicara kematian ia seperti lupa bahwa orang
yang dia bicarakan adalah kerabatnya sendiri yang kerap
terhubung darah sangat dekat. Seperti saat kami
mendengar ia berkata tentang meninggalnya seorang
keponakan.

Bunga bisa gugur sebelum mekar, tapi tetap saja


bunga, ucapnya waktu itu, kalau sudah gugur, biarkan
saja. Nanti akan ada kuncup baru.

Baru delapan bulan kemudian keponakan itu meninggal


bahkan sebelum lahir. Sepupuku keguguran di bulan
keenam kehamilannya. Nenek sudah meramalkan
kematian sebelum ada kelahiran, bahkan sebelum
sepupuku itu menikah. Ketika ia mengatakan itu, kami
semua tahu bahwa akan ada kematian lagi, namun lagi-
lagi kami lupa sampai kematian itu benar-benar terjadi.
Buatku ini mengerikan, namun aku juga tidak bisa
mengingat untuk bersiap-siap atau paling tidak
mengingatkan seseorang agar bersiap-siap menunda
kematian. Ini yang paling masuk akal buatku. Bahwa,
segala ucapan nenek adalah peringatan agar sesuatu bisa
dibendung kedatangannya. Tapi, bisakah kematian
dibendung?

Nek, bagaimana nenek bisa tahu akan ada kematian?


tanyaku untuk menutup rasa penasaran.
Nenek tidak tahu, jawabnya.

Tapi, nenek selalu mengucapkan sesuatu sebelum ada


orang meninggal.

Mengucapkan apa?

Macam-macam.

Tidak. Nenek tidak pernah berucap apa-apa,


sanggahnya lagi.

Lalu aku menceritakan kejadian-kejadian yang lalu.


Nenekku lagi-lagi cuma mengernyitkan bibirnya sambil
menggeleng-geleng dan berkata, Tidak. Nenek tak
pernah mengucapkan itu semua.

Aku diam. Apakah nenek sudah pikun?

Nenek tidak sadar bahwa dia sudah mengucapkan itu


semua, bisikku pada sepupu-sepupu.

Maksudmu, nenek kesurupan?

Hus! Jangan sembarangan!

Apakah kau ingat, apakah nenek pernah berkata sesuatu


tentang kematian ibumu?
Aku diam lagi, mencoba mengingat-ingat. Aku lupa. Aku
tak ingat apa-apa. Lalu, sepupu terkecil berkata, Nenek
pernah bilang: Maling bekerja dini hari, saat semua
orang tertidur. Yang diambil adalah perhiasan keluarga
paling berharga. Diucapkan padamu.

Kau ingat? tanyaku.

Tiba-tiba saja ingat, Kak.

Ibuku meninggal dini hari, dan dia perhiasan keluargaku.


Aku mengingatnya dengan jelas. Membayangkan bahwa
aku melupakan betapa berharganya sesuatu, sungguh
bukan bayangan yang menyenangkan. Lagi-lagi aku
teringat pada nenek yang gemar menanak nasi,
menikmati harumnya sambil melupakan tanda-tanda
yang diucapkannya sendiri.

Udara dari pawon menembus ke ruang makan. Aku


mencium bau nasi hampir tanak. Aku sangat ingin
mengaduk nasi setengah matang lalu menuangkannya ke
dalam kukusan. Tapi, ternyata semua nasi sudah
diangkat. Mungkin, sisa-sisa bau saja, karena dari jauh
kulihat nenek sudah duduk tenang di teras belakang.
Apa kau bilang? sepupuku bertanya.

Aku tidak bilang apa-apa.

Kau baru saja bilang: Akhirnya, nasi yang ditanak


nyaris seratus tahun matang juga. Nasi apa yang ditanak
seratus tahun?

Aku diam sambil berjalan ke teras di belakang dapur dan


duduk di samping nenekku.

Kau mau menanak nasi? tanya nenek dengan suara


pelan, kalau sudah matang, jangan lupa diangkat.
Waktunya selalu tepat.

Aku menggeleng. Aku tak mau menggantikan nenek


menanak nasi. Aku tak mau tua, pikun lalu lupa perihal
tanda-tanda.

Keterangan:

Pawon: dapur.

Wisnu Sumarwan, bernama lengkap Wisnu Suryaning


Adji Sumarwan. Lulusan Universitas Al Azhar Indonesia
Jakarta. Pernah jadi direktur program sebuah radio dan
usahawan kuliner. Pemenang 1 Lomba Cerpen Nasional
#MyCupOfStory 2016 Nulisbuku.com dan Giordano
Indonesia. Peserta Workshop Cerpen Kompas 2016
dengan mentor Agus Noor, Linda Christanty, dan Putu
Fajar Arcana. Cerpennya termuat dalam antologi cerpen
Kelas Cerpen Kompas 2016 Cerita Para Perambah.
Hikayat Rumah Lanting

Cerpen Sandi Firly (Kompas, 18 Juni 2017)

Kelak, apa yang aku kisahkan ini tinggal menjadi


hikayat. Hikayat rumah lanting. Maka catatlah baik-baik
setiap perkataan dan kisahku sebelum akhirnya nanti aku
menutup mata, dan tak pernah lagi kulihat cahaya
matahari pagi atau senja mengapung di sungai dari
jendela ini.

Kai Badar, yang usianya telah melampaui abad, mulai


bercerita sembari berbaring di kasur lepek usang di
samping jendela. Di luar, senja kuning mulai luruh. Aku
menyiapkan buku catatan, dan meletakkan sebuah tape
recorder di samping bahunya yang telanjang, kering, dan
kurus. Meski sesekali diselingi batuk-batuk yang seolah
keluar dari rongga dadanya yang tipissesungguhnya
lebih mirip derit pintu yang engselnya tak pernah diberi
minyak pelumas, ia bercerita cukup lancar, terkadang
seolah memojokkanku walau kutahu ia tak bermaksud
begitu. Entah karena batuk yang terasa menyayat, atau
karena ia terharu, bulir bening mengembun di ujung
matanya yang telah rabun.

Tak ada yang bisa aku lakukan untuk lelaki tua ini, selain
hanya mendengarkan tutur dari mulutnya yang kosong
tanpa gigi hingga menyerupai sebuah liang hitamaku
membayangkan suara-suara itu bukan berasal dari
mulutnya, tapi lubuk jiwanya. Ia berkisah dengan seluruh
semangat hidupnya yang masih tersisa, walau mungkin
hanya tersisa sekecil nyala lilin yang bergeletar diembus
angin. Ada nada marah, juga kecewa.

***

Sehari sebelumnya, Walikota Kota Air meninjau


pembangunan siring beton yang telah berlangsung
hampir tiga bulan. Ia mengenakan kemeja putih lengan
panjang, bertopi koboi, berkacamata hitam, dan
didampingi beberapa anak buahnya.

Dari sini, tempat kami berdiri yang juga sebagian tepi


sungainya telah disiring, ia memandang ke seberang,
persisnya ke sebuah rumah lanting yang tampak
menyolok karena satu-satunya bangunan kayu yang
masih tersisa. Sementara deretan kiri kanannya yang dulu
berdiri beberapa rumah lanting dan bangunan tua
peninggalan zaman Belanda berbahan kayu, semuanya
telah digantikan beton berpagar etnik Kalimantan; ukiran
buah nanas lambang kesuburan.

Jelas sekali mata Walikota terganggu dengan rumah


lanting satu-satunya itu. Sambil berkacak pinggang dan
mengembuskan asap rokok ia berucap, Mengapa rumah
lanting itu masih berdiri di sana?

Kepala Satpol PP, anak buahnya yang ditanya, lelaki


berbadan besar dan berkumis tebal itu seketika terlihat
menciutsejak itu aku tahu lelaki yang tampak perkasa
ketika ciut ia seperti balon yang mendadak kempis
kehabisan angin. Maaf, Pak Wali, pemiliknya tetap
ngotot mempertahankan rumah lantingnya, walau sudah
kita bujuk berkali-kali, jawabnya gugup sembari
membungkuk dan merapatkan kedua tangan di antara
kedua pahanya yang juga dirapatkan.
Ah, desah Walikota. Begitu saja kalian tidak bisa
mengatasi. Kan sudah aku bilang tawarkan ganti rugi
tinggi, kalau perlu dua kali lipat dari nilai rumah reyot
itu. Walikota mengembuskan asap rokoknya keras-
keras, yang kemudian dibawa terbang angin tepi sungai
yang berembus semilir. Jelas sekali Walikota tidak
senang mendengar laporan anak buahnya tadi.

Masih terbata-bata Kepala Satpol PP yang kumis


tebalnya mendadak seperti layu itu menjawab, Sudah
Pak Wali. Malah kai tua pemilik rumah lanting itu tidak
mau dibayar berapa pun.

Halahhh. Mana ada orang yang menolak kalau


dikasih uang banyak-banyak. Berapa sih dia mau?
Setengah miliar, satu miliar? Kasihkan saja!

Benar Pak Wali. Kai itu bilang, berapa miliar pun ia


tidak mau terima.

Walikota tercenung sejenak. Asap rokok berebutan keluar


dari mulutnya. Yang begini inilah seringkali
menghambat pembangunan, ucapnya pelan. Tapi saya
tidak mau tahu, rumah lanting itu tetap harus dibongkar.
Bagaimana pun caranya, tandasnya agak keras.

Walikota berbalik melengos, dan saat itulah ia seperti


baru sadar kalau sejumlah wartawan sejak tadi
mendengarkan pembicaraannya dari belakang.

Oya, kalian wartawan, pembicaraan tadi tidak untuk


diekspos, off the record ya, katanya tersenyum ramah.
Juga kepadaku.

Terus bagaimana Pak kalau kai itu tetap tidak mau


pindah? tanya seorang wartawan televisi, kamera yang
dibawa temannya menyorot wajah Walikota.

Dengan memasang wajah manis dan seakan-akan bijak,


Walikota berkata penuh wibawa. Kita akan tetap
melakukan pendekatan persuasif. Akan kita jelaskan
bahwa pembangunan siring ini demi kemajuan dan
keindahan kota kita juga, seperti kota-kota luar negeri
yang pernah saya kunjungi, Venesia, Belanda, atau
Shanghai, jelasnya dengan nada bangga. Namun yang
jelas, rumah itu tetap harus dibongkar, tandas Walikota,
lantas memasuki mobil dinas hitamnya.

Sore hari itu juga, sebuah alat berat penghancur


bangunan perlahan mendekati rumah lanting di tepi
sungai. Orang-orang berdiri menyaksikan dari atas
jembatan. Tak ada yang bersuara. Tegang. Sementara alat
berat seperti kepiting raksasa berlengan satu itu perlahan
berjalan siap meluluh-lantakkan.

Orang-orang mendadak menjerit tertahan ketika


sekonyong-konyong keluar dari balik pintu rumah
lanting itu seorang kai bertelanjang dadahingga jelas
terlihat tulang-tulang rusuknya berbalut kulit tipis, kering
dan keriput. Ia berdiri persis di depan kepiting besi itu,
hanya berjarak satu meter. Kalau kalian tetap
menghancurkan rumah ini tanpa berperikemanusiaan,
maka kalian juga harus menguburkanku bersamanya!
teriak kai itu lantang, namun samar ditelan deru mesin
alat berat dengan tangan panjang yang terulur siap
mencengkeram atap rumah lanting yang terbuat dari
daun rumbia.

Teruskan! Teruskan! Kepala Satpol PP berteriak


kepada petugas di atas alat berat. Tampak sekali
keraguan di wajah lelaki gemuk di belakang stir alat
berat. Tangan kepiting raksasa itu tertahan di udara,
hanya berjarak sejengkal dari atap rumah lanting itu.
Suasana kian tegang.

Waduh, Pak. Ini tidak bisa diteruskan. Bisa-bisa saya


malah membunuh kai itu! sahutnya setengah berteriak.
Keringat bercucuran membanjiri kepala dan wajahnya.

Haaahhh! Kepala Satpol PP menggaruk-garuk


kepalanya yang botak setelah melepaskan topi.

Akhirnya mesin alat berat dimatikan, dan lelaki gemuk


itu turun, pergi menjauh sembari geleng-geleng kepala
dan menghapus peluh di kepalanya yang plontos. Orang-
orang bertepuk tangan serta bersorak seolah memberikan
selamat kepada kai yang perlahan kemudian memasuki
kembali rumah lantingnya. Sementara tangan alat berat
masih menggantung di atasnya, begitu dekat.

Kerumunan di atas jembatan perlahan membubarkan diri,


dengan senyum dan napas lega. Arus lalu lintas yang
sempat macet di atas jembatan kembali lancar. Esok
harinya, gambar seorang kai berdiri merentangkan kedua
tangannya yang kurus di depan rumah lanting, berhadap-
hadapan dengan alat berat yang terkesan seperti raksasa
kelaparan, menghiasi halaman-halaman depan koran di
Kota Air. Tak terkecuali juga koran tempatku bekerja.

Sebab itulah aku diminta mewawancarai kai itu untuk


menanyakan lebih jauh mengapa ia begitu gigih
mempertahankan rumah lantingnya di tengah pengerjaan
proyek siring di tepi sungai yang membelah kota.

***

Orang-orang muda sekarang tidak pandai menghargai


sejarah. Seolah sejarah adalah masa lalu yang harus
dilupakan karena kuno, usang, dan tidak menarik. Seperti
rumah lanting ini, yang tersisa satu-satunya di sungai ini
pun ingin dihancurkan, ditenggelamkan, dimusnahkan.

Kalian tidak pernah membaca. Tidak pernah


mempelajari orang-orang tua dahulu.

Kalian menganggap sebuah kota yang indah adalah


bangunan-bangunan beton yang tinggi, baliho-baliho
yang menutupi langit, tiang-tiang antena yang menembus
awan, dan rumah-rumah seperti istana raja. Lalu
makanan-makanan mewah yang disajikan di piring-
piring kaca berukir, minuman-minuman sari buah di
cangkir-cangkir bening, serta barang-barang luar negeri.
Semuanya kalian nikmati sembari menyaksikan
tayangan-tayangan televisi yang menyajikan wajah-
wajah cantik yang melenakan. Kalian juga menghibur
diri di ruang-ruang yang bergemuruh dan penuh lampu
warna-warni, bernyanyi keras-keras di kamar sempit
dengan diapit wanita-wanita yang juga berpakaian
sempit. Kalian dengarkan ceramah motivator-motivator
untuk memperkaya diri.

Sementara itu, kalian mulai menyingkirkan


peninggalan-peninggalan orang tua dahulu. Kalian hanya
memahami arti kekayaan dan keindahan materi saja. Tapi
tidak pernah memahami keindahan jiwa, kehalusan budi
pekerti. Semuanya hanya kalian nilai dengan uang, uang,
dan uang.

Tahukah kalian, mengapa orang-orang zaman dulu


membangun rumah-rumah lanting ini? Membangun
rumah di sungai, di tepian? Karena sungai inilah nadi
hidup, ia bisa mengarus lambat, namun juga suatu waktu
menderas, deras, bergejolak, melimpah menggenangi
jalan-jalan hingga banjir di mana-mana. Tapi kami orang-
orang dulu tidak pernah mengalami banjir itu meski air
meluap setinggi apa pun. Rumah lanting kami bersahabat
dengan sungai, sungai meninggi rumah kami tetap di atas
tak pernah tertelan air, kami berjalan di atas air dengan
jukung-jukung dan kelotok, kami bertukar bahan
makanan di atas sungai. Kami hidup bersama sungai.

Kini kalian mencoba membendung sungai dengan


beton-beton. Lalu rumah lanting kalian lenyapkan atas
nama pembangunan, berdalih demi keindahan kota.
Sementara itu kalian korbankan sejarah, kalian
lenyapkan kearifan orang-orang tua dulu.

Tidak bisakah kalian membangun tanpa harus mengusir


kami dari tepian sungai tempat hidup kami? Sebegitu
sulitkah yang kalian sebut modernisasi berdampingan
dengan tradisi-tradisi lama, seperti rumah lanting ini?

Dengan perasaan malu aku meninggalkan rumah lanting


Kai Badar senja itu. Dan entah mengapa aku merasa
telah gagal mewawancarainya, kecuali hanya
mendengarkan keluh kesah bahkan mungkin serapah dari
seorang tua yang kecewa dan putus asa.
***

Senja ini seperti senja terakhir yang dilihat Kai Badar


ketika aku ke rumah lantingnya kemarin. Dari atas
jembatan samping Pasar Lama Kota Air, aku menatap
rumah lanting Kai Badar yang hening, sesekali terayun-
ayun dihela ombak kelotok yang membelah sungai.

Kai Badar telah dikuburkan sebelum ashar tadi. Dari para


pelayat dan pengantar jenazah yang mendengar cerita
dari Galuh, cucunya, semalam batuk Kai Badar nyaris
tak henti, tubuhnya yang terguncang tak saja
menggetarkan ranjang kayunya, tapi juga seolah
melenggangkan rumah lantingnya. Usai salat subuh, ia
kembali berbaring. Setelah itu tak terdengar lagi suara
batuk. Dan pagi ketika Galuh telah menyiapkan nasi
kuning untuk sarapan, Kai Badar telah wafatmulutnya
yang kosong setengah terbuka, dan mata terpejam rapat.

Setelah kepergian Kai Badar, aku tahu tak ada lagi yang
bisa menghalangi penghancuran rumah lanting itu.
Sebuah alat berat, entah sejak kapan, terlihat telah parkir
tak jauh dari sanamungkin malam nanti akan
digerakkan, dan serupa hantu akan melumat satu-satunya
rumah lanting yang tersisa itu. Seketika terlintas ucapan
Kai Badar, Kelak, apa yang aku kisahkan ini tinggal
menjadi hikayat. Hikayat rumah lanting.

Aku berjalan gontai sambil menggulung koran yang


memuat kisah Kai Badar dan rumah lantingnya. Aku
merasa telah gagal membantunya mempertahankan
rumah lanting itu, kecuali hanya sebuah hikayat.

***

Itukah rumah lanting yang dulu pernah kamu ceritakan


kepadaku?

Aku tersenyum nanar. Bukan. Itu Restoran Terapung


milik pemerintah, jawabku kepada Jeanny, teman dari
Jakarta yang kukenal lewat jejaring sosial internet sejak
setahun lalu. Rumah lanting kini hanya menjadi
hikayat, ucapku lagi, pelan.

Jeanny sekilas menatap ke arahku, agak bingung, lalu


kembali mengarahkan perhatiannya ke bangunan yang
mirip rumah, agak panjang, berdiri di atas sebuah kapal
besi tongkang karatanbukan batang-batang kayu bulat
tempat dulu rumah lanting Kai Badar mengapung persis
di situ.

Catatan:

Kai = Kakek

Jukung = Sampan

Kelotok = Kapal kecil bermesin

Sandi Firly, lahir 16 Oktober 1975 di Kuala Pembuang,


Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Seusai studi di
FISIP-Komunikasi Universitas Islam Kalimantan
(Uniska) Banjarmasin, Kalimatan Selatan, pada 1999,
bekerja sebagai wartawan.
Tamasya Kota Pernia

Cerpen Toni Lesmana (Kompas, 11 Juni 2017)

Aku sebenarnya tidak ingin membawamu setiap hari


tamasya ke dunia ini. Tapi ke mana lagi. Tak ada tempat
lain bagiku. Dongeng-dongeng indah yang menawan
sudah habis dan kau menolak variasi apa pun, apalagi
pengulangan. Ingatanmu kuat, hingga tak bisa kusiasati.
Sejak tamat riwayat cerita-cerita, kau selalu saja
mengajak bermain ke tempat-tempat baru. Kamar dan
rumah tak pernah bisa membuatmu betah.

Setiap pagi, usai kau mandi, berpakaian, dan makan.


Usai ibumu berdandan dan berangkat ke kantornya. Kau
tahu, ibumu seorang pekerja keras dan pantang
menyerah. Mirip denganmu, yang setiap pagi selalu
punya cara untuk membujukku bermain ke tempat yang
kau inginkan.
Mula-mula kau akan menarik-narik ujung celanaku, lalu
mendaki kakiku, bernyanyi-nyanyi di pangkuanku,
lancang menjambak rambut sambil memanjat ke pundak.

Main lagi, main lagi. Orang-orang berkepala ayah!


Orang-orang berkepala ayah! bisikmu dengan irama
yang jenaka.

Tapi jangan bilang-bilang ibu. Selalu begitu pintaku


sebelum meluluskan permohonanmu. Kau akan
mengangguk lucu, kau tahu anggukanmu itu adalah
kunci untuk membuka pintu rahasia yang terletak di
samping kepalaku.

Kau tetap di pundakku saat aku menunduk memasuki


pintu, dan berjalan bebek sepanjang lorong. Dulu,
pertama kuajak kau tamasya ke sini, tanganmu erat
menjambak rambut. Tegang. Bisa kurasakan dari jepitan
pahamu di leher serta gerak tumitmu yang menghantam-
hantam dada.

Lorong ini tidak benar-benar panjang, hanya saja remang


berliku dan menurun. Lantas meluncur. Nah, saat
meluncur inilah keteganganmu mencair. Kau memekik
riang. Tubuhmu mengentak-entak gembira. Pendar
cahaya jamur yang bertebaran seperti sarang kunang-
kunang mungkin membuatmu senang.

Ayah, kita mau ke mana? teriakmu saat itu.

Tamasya. Balasku ikut gembira.

Ke mana?

Dunia bawah tanah.

Bukan tanah dongeng, kan?

Bukan!

Terus tanah mana, dong?

Tanah di dalam kepala ayah.

Kau tertawa tergelak. Manis. Bernyanyi-nyanyi.


Sementara aku meluncur semakin cepat, kemudian
mendarat tepat di tengah sebuah kota. Aku
memanggilnya Kota Pernia. Rumah-rumahnya
bergoyang seperti ada per yang ditanam di fondasi-
fondasinya. Begitu pula pohon-pohonnya, seakan-akan
akarnya melingkar serupa pegas. Segalanya bergoyang
seperti hendak berhamburan begitu saja. Jalanan, rumah-
rumah, pohon, dan langit.

Kenapa ada langit, Ayah? Lucu, langitnya seperti


menari! Kau bergulingan di atas jalanan yang bergerak
seperti gelombang. Bulat matamu seperti meloncat saat
terbaring memandang ke langit ungu.

Apa saja ada di sini. Dan tak pernah sama dengan dunia
di atas. Jawabku sambil ikut terbaring. Bergulingan.
Aku dan kamu terus bergerak dan bergoyang seperti juga
Kota Pernia yang terus bergoyang dan bergerak. Hidup.

Kau begitu riang. Matamu takjub menatap setiap lekuk


kota yang bergoyang. Berlari dan melompat-lompat.
Menari berputar-putar.

Kenapa kota ini terus menari, Ayah? tawamu


bertebaran. Kau berlari lagi mengejar tawa dan kata-kata
yang beterbangan seperti capung, kupu-kupu, burung.
Warna-warni. Di kota ini memang segala suara yang
keluar dari mulut akan mewujud dan hidup.

Karena ada lagu yang tak terdengar dan tak terlihat di


sini. Seperti denyut jantung di tubuhmu. Jawabku
sambil menggenggam tanganmu. Dan mengajakmu
berjalan sepanjang jalan yang bergoyang. Rumah-rumah
yang hidup.

Tak pernah kulihat kegembiraan yang begitu indah dan


memesona di rautmu. Wajahmu yang mirip wajah ibumu
itu, memancarkan cahaya. Tatapmu bersinar di hadapan
keajaiban.

Ayah sejak kapan suka ke sini?

Sejak seusiamu.

Diajak kakek?

Tidak, sayang. Ayah berjalan sendiri.

Kok bisa?

Kan, ada dalam kepala ayah.

Ibu pernah diajak ke sini?

Tidak.

Kapan-kapan mesti diajak. Asyik. Ini ajaib.

Ssst, jangan pernah bilang ke ibu?

Kenapa?

Pokoknya jangan.
Kau terkikik digelitik kata-kata yang berseliweran,
menyambar nakal dan centil. Kata dan tawa beterbangan,
sebagian melesat memasuki pintu dan jendela yang
terbuka, sebagian hinggap di pohon-pohon.

Mereka bikin sarang! Kau melonjak di hadapan liuk


sebuah pohon sambil menunjuk kata-kata yang
memungut daun dan menyusunnya di atas dahan.

Aku menarik lembut tubuhmu, bersembunyi ke belakang


pohon. Berbisik agar kau melihat ke arah jalan dan
rumah-rumah yang terus bergoyang.

Kata-kata, tawa, dan nyanyian masih beterbangan.


Meliuk-liuk di udara.

Lihat! ucapku memberi aba-aba.

Kau tiba-tiba melotot dan membekap mulut sendiri.


Terkejut dan takjub. Kakimu mengentak-entak riang.
Seperti menemukan sesuatu yang tak pernah
terbayangkan.

Kau terus melotot ke arah pintu-pintu dan jendela, di


mana muncul orang-orang yang berjalan melompat-
lompat. Orang-orang berhamburan dari setiap rumah,
mengejar kata-kata yang terus mengepak nakal seperti
ingin ditangkap. Orang-orang aneh. Sebagian lehernya
begitu kecil dan panjang, hingga mirip benang, dan
kepalanya mirip balon, melayang ringan di udara.
Sebagian lagi menenteng kepalanya masing-masing,
seperti menenteng kantong untuk tempat menyimpan
hasil tangkapan.

Hewan-hewan berdatangan dari berbagai arah. Hewan-


hewan dengan posisi kepala yang juga aneh. Kepala
mereka bentuknya sama. Hewan apa pun kepalanya
sama.

Mereka menari, mereka menari! kau memekik, lantas


menangkap kembali kata-kata yang hendak terbang,
digenggam dan dielus. Disembunyikan ke dalam kantong
celananya. Seakan sayang jika mereka tertangkap orang-
orang yang memenuhi dan menari di jalanan.

Kau menunduk dan mengajakku mengendap. Mendekati


mereka.

Kau takut? tanyaku.

Kau menggeleng, Mereka lucu! Apakah mereka jahat?


Tidak. Mereka hanya sunyi!

Apa itu?

Ya itu, tuh. Menari tanpa musik.

Kau lagi-lagi tersenyum. Diam-diam meniru gerak


mereka yang bergoyang dengan irama yang berbeda-
beda. Ada yang lambat, ada pula yang cepat. Seakan-
akan mereka mengikuti sebuah alunan musik, padahal di
Kota Pernia yang ada hanya sunyi. Tak ada suara-suara
terdengar.

Semakin dekat. Berlindung di sebuah tembok sebuah


rumah. Kau menjulurkan kepala agar lebih jelas
memandang. Kau tiba-tiba berbalik dan menoleh ke
arahku. Aku khawatir aku akan menjerit, panik, dan
histeris. Tapi kau, kau malah tergelak. Terpingkal-
pingkal. Sampai terbungkuk-bungkuk.

Tawa berhamburan.

Ada banyak Ayah di sana. Mereka semua adalah Ayah.


Ini kota Ayah. Semuanya Ayah. Hewan-hewan juga
berkepala Ayah. Kau bersorak. Melompat ke arah
pelukanku. Memeluk dan menciumi. Kemudian dengan
penuh semangat menyeretku untuk berjalan ke arah
mereka yang terus berburu kata.

Kupikir kau akan lekas mengajak pulang. Namun


ternyata kau malah asyik menari-nari dengan mereka
keliling kota. Sesekali kau sengaja bernyanyi, hingga
nyanyian marak beterbangan di udara. Warna-warni.
Sengaja agar mereka yang kepalanya persis dengan
kepalaku itu berlarian mengejar dan memburu.

Kenapa mereka tak bicara, Ayah?

Mereka tak punya kata-kata.

Oh, akan kuberi mereka kata-kataaa!

Jangan banyak-banyak nanti mereka rebutan terus


berkelahi.

Tidak, dong, mereka baik, kok. Lucu dan kocak.

Kocak?

Ya. Kocak mirip Ayah. Kenapa mereka semuanya mirip


Ayah.

Mereka memang Ayah, kok!

Dasar tukang ngarang. Kata ibu, pengarang itu suka


ngibul.

Tapi senang, kan, di sini?

Senaaaang. Ayah punya rumah tidak di sini?

Kenapa memang?

Nanti kita berlibur di sini. Aku akan mendongeng buat


mereka. Kasihan sekali, mereka kurang piknik.

Untuk menghindari antusiasmu aku mengajakmu


berkunjung ke setiap rumah. Rumah yang hidup, seperti
mempunyai mata, hidung, mulut, dan telinga. Rumah
yang bentuknya juga mirip kepalaku. Kau bermain
dengan mereka tak puas-puas. Kau mendongeng
berkeliling. Kata-kata tak habis-habis dari mulut
mungilmu. Hingga selalu mesti kupaksa untuk pulang.
Tentu saja, aku tak ingin kau masuk terperosok ke dalam
lorong-lorong yang tersembunyi di banyak tempat di
Kota Pernia. Lorong yang akan membawamu ke gua-gua
paling kelam. Tempat-tempat yang kurahasiakan darimu.
Selamanya.

Kau selalu terus berceloteh sepanjang perjalanan pulang


yang cukup berat. Kau di atas pundakku. Merengek-
rengek agar setiap pagi datang lagi dan lagi ke Kota
Pernia. Kota yang segalanya bergoyang. Segalanya
hidup.

Di mulut lorong tempat kita datang, sudah menunggu


sulur-sulur yang meliuk. Aku memanjat seperti
melayang, kau mengepak-kepak tangan seperti burung.
Riang kau bernyanyi melebihi keriangan setelah kau
bermain di alun-alun atau kolam renang atau taman
bermain atau dongeng-dongeng.

Sampai kembali di kamarku. Kau tetap di pundak.


Mengacak-acak rambut seperti mencari pintu rahasia.
Sesekali mengetuk-ngetuk kepalaku.

Kepala yang aneh tapi ajaib! bisikmu sebelum turun ke


pangkuan dan merosot ke kaki. Lantas kau akan
mengambil buku-buku dan belajar membaca, seperti
pesan dari ibumu, untuk belajar di rumah semenjak kau
tak betah sekolah di taman kanak-kanak.

Siang hari kau ganti asyik dengan teman-temanmu yang


datang mengajak bermain hingga ibumu pulang bekerja.
Main apa saja tadi pagi sama Ayah? selalu begitu
terdengar suara merdu ibumu.

Kania belajar terus, Bu. Bentar lagi, kan, masuk SD.


Ayah kerjanya cuma mengarang, tak mau mengajak
bermain. Marah-marah kalau didekati. Jawabmu dengan
suara manja, sesekali sambil mengintip ke dalam
kamarku.

Aku mengedipkan mata sambil berdebar dan bergetar


menatap matamu yang menggoda. Jangan-jangan, suatu
saat, kau akan bercerita tentang Kota Pernia pada ibumu.
Kau menghilang dari pintu kamar. Barangkali masuk
dalam peluk ibumu. Perempuan yang kita cintai.
Selamanya.

Toni Lesmana, lahir di Sumedang. Menulis dalam bahasa


Sunda dan bahasa Indonesia. Salah satu cerpennya
pernah masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas tahun 2011.
Buku yang telah terbit Himpunan Cerpen Jam Malam
Kota Merah (Amper Media, 2012), Kepala-kepala di
Pekarangan (Gambang, 2015), Kumpulan Puisi Tamasya
Cikaracak (Basabasi, 2016). Kini menetap di Ciamis,
Jawa Barat.
Nyonya Durina Mawarni

Nyonya Mawar baru saja pergi. Kursi tempat duduknya


masih panas ketika Pak Wa, suami Nyonya Durina
Mawarni, memasuki ruangan dengan wajah sumringah.

Hai, Zul. Bagaimana rencana kita? Jadi?

Eh, ya. Bapak. Ee, barusan ibu ke sini. Ketemu di luar?

Ndak, tuh. Ada apa ibu ke sini cari saya? Saya baru saja
dari rumah.

Lho? Katanya Bapak sejak sore kemarin belum pulang.

Ah, lupakanlah. Saya juga heran. Sejak ibu dipensiun


dari pegawai bank, ibu tampak terpukul sekali. Tidak
siap. Kesepian. Saya memang pulang agak malam. Tapi,
yang bukakan pintu tadi malam kan dia.

Pak Wa mengambil kursi bekas duduk istrinya tadi


sambil merogoh kantong. Sepertinya mau merokok. Tapi,
kelihatan mengundurkan niatnya merokok ketika sadar
sedang berada di ruang ketua jurusan yang sejuk oleh
pendingin udara. Pak Wa memang dosen yang suka
merokok sekali pun tidak bisa digolongkan sebagai
perokok berat. Sepertinya Pak Wa penasaran oleh
kedatangan istrinya ke kantor jurusan.

Zul tampak bingung mau berkata apa, meski tetap


memperlihatkan wajah cerah selaku ketua jurusan yang
baru saja terpilih, termasuk oleh Pak Wa, senior Zul yang
memilihnya. Zul masih menunggu-nunggu Pak Wa
bertanya lebih lanjut tentang kedatangan istrinya. Tetapi,
setelah beberapa jenak Pak Wa cuma termangu. Zul
mulai mengerti bahwa Pak Wa tidak ingin membuka
percakapan lebih lebar mengenai istrinya. Cukuplah
menjadi rahasia pribadinya sendiri, bagai jelaga di sudut-
sudut plafon rumahnya yang tak terjangkau, sesekali
berayun ditiup angin yang lewat kisi-kisi jendela.

Zul menjawab pertanyaan pertama Pak Wa ketika masuk


ruangan itu.

Saya sudah wajibkan mahasiswa yang mengambil mata


kuliah Kritik Sastra membeli buku novel baru. Masing-
masing satu judul untuk dikritik sendiri, seperti yang
Bapak usulkan. Tapi, itu baru satu kelas. Kelas yang
satunya, belum.

Bagus! Suara Pak Wa bersemangat, biar mahasiswa


diajak membaca novel yang banyak. Nanti mereka
disuruh baca novel milik temannya secara bergantian.
Minimal semester ini masing-masing sudah membaca
lima novel. Sip! Ide bagus. Kelas yang satunya biar saya
yang perintahkan. Nanti siang giliran saya masuk
bukan?

Kita juga harus baca novel-novel terbaru itu kan Pak?

Ya, sudah barang tentu. Nanti, sewaktu ujian akhir


semester, semua novel dikumpul. Kita pilih yang terbaru
untuk dipinjam atas nama jurusan agak satu semester
untuk dibaca. Ha? Bagaimana?

Setuju. Cuma kita berdua dosen Kritik Sastra di


Universitas ini. Masa bisa ketinggalan baca karya-karya
sastra terbaru?

***

Hampir satu jam lamanya Nyonya Mawar curhat pada


Zul, berdua saja di ruang itu. Mulanya Zul kaget, Nyonya
Mawar datang ke kantor jurusan kurang satu menit
setelah Zul tiba. Begitu menjabat tangan Zul, langsung
sesegukan. Menangis.

Apa yang bisa saya bantu, Bu?

Nyonya Mawar belum menjawab. Menyeka air matanya


dengan tisu. Mencoba menenangkan dirinya, lalu
memulai berusaha tersenyum ke arah Zul.

Maafkan saya, mengganggu Pak Zul pagi-pagi. Saya


memang tidak punya orang lain untuk mengadu, selain
Pak Zul.

Silakan Ibu. Saya dengarkan baik-baik.

Bapak semalam tidak pulang.

Kira-kira Ibu, Bapak nginap di mana? Apa selama ini


pernah?

Biasanya di hotel, kalau rapat sampai malam. Itu


setahun sekali saja pun jarang, Nyonya Mawar seperti
mengingat-ingat.

Ibu bertengkar?

Ah, tidak. Cuma lebih suka diam-diaman.


Atau bertengkar diam-diam? Bertengkar dalam hati,
maksudnya.

Lagi malas ngomong sama dia saja.

Tentu ada sebabnya, Bu?

Nyonya Mawar terdiam sambil mempermainkan jejari


tangan kanannya seperti sedang menghitung lembaran
uang. Zul juga terdiam, tampak sedang berpikir tentang
sebuah kalimat yang pas untuk melayani curhat istri
kolega seniornya itu. Nyonya Mawar menarik napas
panjang seperti mau memulai suatu gerakan senam
aerobik yang sulit.

Dulu, kami punya pembantu di rumah. Masih gadis,


cekatan, dan santun. Namanya Ipit. Hanya hari Sabtu dan
Minggu Ipit datang membantu, mencuci, setrika,
memasak, dan membersihkan rumah. Selebihnya rumah
kosong karena kami sama-sama bekerja. Untuk makan
malam kami langganan catering. Ipit bisa datang
sewaktu-waktu apabila ditelepon sebelumnya, kalau
diperlukan selain Sabtu dan Minggu. Sudah seperti
saudara, sudah lima tahunan Ipit bekerja di rumah kami.
Ipit juga punya kunci sendiri. Tiga tahun lalu, tiba-tiba
Ipit pamit mau ke Malaysia menjadi TKW. Katanya,
diajak sepupunya yang sudah sukses di sana. Sejak itu
kami tidak punya pembantu lagi. Semua pekerjaan rumah
terpaksa kami bagi berdua.

Pak Zul belum dapat menduga-duga arah cerita Nyonya


Mawar. Dia tidak berani memotong. Membiarkan
Nyonya Mawar melanjutkan ceritanya.

Kira-kira sebulan lalu, Ipit datang ke rumah di pagi hari


Minggu. Menggendong seorang anak perempuan berusia
sekitar dua tahunan. Ia mengaku di-PHK di Malaysia dan
menikah dengan orang Malaysia, namun setelah punya
anak satu, ia disia-siakan suaminya itu. Ipit minta
dibelaskasihani demi anaknya, minta bekerja sebagai
pembantu rumah tangga lagi.

Sekarang Ipit masih bekerja Sabtu Minggu di rumah


Ibu?

Tiap hari.

Lalu?

Anak perempuannya itu


Kenapa anaknya? Sakit?

Bukan.

Ibu keberatan kalau dia bekerja membawa anaknya?

Bukan itu.

Lalu? Ipit sekarang sudah tidak cekatan lagi?

Bukan itu soalnya, Nyonya Mawar seperti mencari


kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.
anaknya itu, entah mengapa ya, anaknya itu, kok mirip
sekali dengan Pak Wa

Wah? Masa Bu?

Iya, Pak Zul. Mata saya belum begitu tua untuk melihat
sesuatu dengan jelas dan benar.

Bukankah suaminya orang Malaysia? Bisa jadi


suaminya itu mirip Pak Wa.

Membuat cerita itu kan gampang, Pak Zul. Saya jadi


ingat, mengapa tiba-tiba Ipit minta pamit ke Malaysia.
Sebelumnya, dia belum pernah cerita. Padahal, dia itu
suka cerita apa saja dengan saya. Entah dia memang ke
Malaysia atau sembunyi melahirkan anak hasil hubungan
gelapnya dengan

Wow, Ibu terlalu bawa perasaan. Itu cuma perasaan Ibu


saja.

Itu satu-satunya yang masih saya miliki Pak Zul.


Sebagai wanita. Perasaan!

Keduanya terdiam. Seperti saling menyalahkan diri


masing-masing. Nyonya Mawar mencari-cari sesuatu di
dalam tasnya. Ia mengeluarkan sebuah handphone dan
memain-mainkan jarinya di permukaan layarnya, lalu
menyodorkannya ke Pak Zul. Pak Zul memperhatikan
dengan saksama, foto seorang bocah perempuan yang
sedang digendong seorang ibu muda.

Itu dia, Ipit dan anaknya itu. Mirip Pak Wa kan?

Ah, bukan. Mirip ibunya.

Coba perhatikan betul. Mirip ibunya ya jelas. Tapi, alis


mata dan matanya itu? Dagunya? Mirip kan?

Kalau memang mirip?

Nah, sekarang Pak Zul sependapat dengan saya bukan?


Dia memang mirip Pak Wa. Tidak pantaskah seorang istri
yang sudah bergaul 30 tahun dengan suaminya curiga?
Pak Zul ini bagaimana? Membela Pak Wa selaku
seniornya ya? Membela korps ya?

Bu, saya sependapat dengan ibu. Anak itu memang


mirip dengan Pak Wa. Tapi saya belum sependapat kalau
itu anaknya sebelum dilakukan tes DNA. Sekarang, apa
yang dapat saya bantu? Maaf, Bu. Sebentar lagi saya
harus masuk kelas. Mengajar.

Tanpa bicara lagi, Nyonya Mawar berdiri, merapikan


kursi dan meninggalkan Pak Zul begitu saja. Begitu
mendekati pintu, ia berbalik, Tolong Pak Zul hubungi
saya kalau-kalau perempuan itu Pak Zul lihat datang
mencari Pak Wa ke kampus ini. Mulai kemarin
perempuan itu sudah saya pecat!

***

Pagi itu, sekitar pukul sepuluhan, putri Ipit yang belum


tiga tahunan itu rewel. Menangis terus minta ibunya yang
sedang sibuk bekerja menyetrika seabrek pakaian di
lantai dua rumah itu. Nyonya Mawar mencoba
membantu menenangkan Vita, putri pembantunya itu.
Tapi Vita tetap menangis dan meronta.

Barangkali dia ngantuk. Minta dikeloni ibunya, Pak


Wa berkomentar. Atau dia lapar.

Tau apa situ? Kaya orang yang pernah punya anak


saja.

Oo, jadi situ pernah punya anak ya? sahut Pak Wa


dalam hati saja. Kalimat itu tetap tinggal dalam hatinya
terdalam. Sebab, jika sempat keluar dari sarung hatinya,
kalimat itu tidak saja akan melukai istrinya, tapi juga
dirinya.

Vita tetap saja menangis, sementara Ipit tetap


melanjutkan pekerjaannya di lantai atas. Mungkin dia
tidak mendengar suara tangis anaknya di bawah yang
sedang dicoba membujuknya oleh Nyonya Mawar.

Coba, aku pengin coba menggendongnya.

Nyonya Mawar menyerahkan Vita pada Pak Wa. Vita


mau digendong Pak Wa dan terdiam sambil mulai
memejamkan matanya. Pak Wa mengayun-ayunkan
kakinya dengan lembut seperti sedang berdansa. Vita
cepat tertidur dalam gendongan Pak Wa. Lambat-lambat,
penuh kasih Pak Wa membawa Vita ke kamarnya, lalu
menidurkannya di ranjangnya.

Sst, nanti dia ngompol! Taruh di lantai saja, ujar


Nyonya Mawar.

Nyonya Mawar buru-buru mencari tikar dan bantal untuk


digelarnya di lantai. Setelah itu, Vita diturunkannya dari
ranjang dan dibaringkan di atas tikar di lantai kamar itu.
Pak Wa memperhatikan wajah Vita dari jauh. Ketika Pak
Wa mulai lagi membalik koran edisi Minggu, terdengar
lagi tangisan Vita dari dalam kamar. Nyonya Mawar
sudah tidak di kamar, mungkin di lantai atas
mendampingi Ipit.

Spontanitas Pak Wa membuatnya masuk ke kamar dan


mencoba mengusap-usap kepala Vita yang sedang
menangis itu. Pak Wa mendekat, mengambil posisi tidur
di samping Vita sambil menepuk-nepuk pantat Vita. Vita
kembali tertidur. Pak Wa tetap tiduran di samping Vita di
atas tikar di lantai kamar hingga ikut tertidur.

Saat melihat suaminya tidur berdua dengan Vita,


perasaan Nyonya Mawar bergejolak. Tiba-tiba, ia
mengambil handphone-nya dan mengabadikan kedua
makhluk yang sedang tidur itu dalam beberapa kali
jepretan foto. Lama Nyonya Mawar mematut-matut foto-
foto itu. Dalam kecemburuan hatinya, ada sebutir rasa
iba menyelip terhadap suaminya, Pak Wa. Sepertinya Pak
Wa sedang menikmati bagaimana rasaya punya anak.
Atau, barangkali cucu untuk orang seusianya. Tapi,
bagaimana mungkin punya cucu kalau sebelumnya tidak
punya anak?

Rasa iba itu hanya sekelabat, lalu sirna oleh setumpuk


rasa curiga Nyonya Mawar terhadap Pak Wa yang
menurutnya begitu bernafsu untuk menguasai
keinginannya merasakan memiliki seorang anak.
Jangan-jangan, Vita ini memang anak dia, getar
hatinya. Memang mirip, kok.

Sejak hari itu, Nyonya Mawar begitu membenci Vita.


Tiap sebentar Vita dibelalakinya. Bila Vita ketakutan,
Pak Wa langsung menggendongnya. Bahkan
mengajaknya keluar naik mobil sambil membeli es krim.
Tapi, akibatnya Nyonya Mawar makin uring-uringan.

Barangkali dia memang anak hasil hubungan gelapmu


ya? suatu kali Nyonya Mawar memulai menabur duri di
rumah itu.

Kalau memang iya, memangnya kenapa? jawab Pak


Wa dalam hati saja. Itu tidak pernah diucapkannya.

Harris Effendi Thahar, lahir di Tembilahan, Riau, 4


Januari 1950. Bekerja sebagai Guru Besar Pendidikan
Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang. Sejumlah
cerpennya termuat dalam sepuluh antologi tahunan
cerpen pilihan Kompas. Dua buku kumpulan cerpennya,
Si Padang, 2003 dan Anjing Bagus, 2005 diterbitkan
Penerbit Buku Kompas.
Lolong Kematian

Tangis, mungkin lebih tepat sebagai lolongan putriku


tidak berhenti kendati pun kami sudah berusaha
membujuknya untuk mencarikan seekor anak ayam,
pengganti ayam peliharaannya yang mati dengan leher
patah. Itu bukan patah, tapi digigit binatang dan patah,
katanya bersikeras menuduh jika tidak kucing, anjing,
tikus bahkan juga musang yang sering berkeliaran di
sekitar tempat tinggal kami, penyebab kematian ayam
peliharaannya. Tikus dan musang, tentu saja pilihan
paling aman. Menuduh kucing atau anjing persoalannya
jadi lain. Karena hanya tetanga dan sekaligus kerabat
kami yang memelihara kucing. Sementara anjing, itu
punya pak RT. Berperkara dengan Pak RT atau Tante
Han, pasti jauh lebih rumit daripada sekadar mencarikan
ayam pengganti.

Anak kami menepis tikus atau musang sebagai penyebab


kematian ayam kesayangannya. Mana mungkin musang
atau tikus mengejar ayam di siang hari, ujarnya sambil
terisak-isak. Sudah jelas ayam Deniza digigit anjing
atau kalau enggak kucing, ujarnya. Papa takut sama
Pak RT dan Tante Han, teriaknya. Coba periksa anjing
Pak RT atau kucing Tante Han, pasti akan ketahuan
penyebab kematian putri, tambahnya merujuk nama
ayam kesayangannya.

Istriku yang pura-pura tidak mendengar dan langsung


masuk kamar. Deniza semakin terisak. Tangisnya
semakin menjadi-jadi. Persoalan kematian ayam
peliharaan, harusnya bukan masalah pelik, tapi karena
Deniza gampang menangis dan tangisannya lebih sebagai
lolongan, masalahnya jadi rumit. Setiap persoalan
apalagi disertai lolongan anak kami, bisa menjadi
masalah keluarga besar, karena rumah kami hanya
berbatas dinding dengan Tante Han. Dengan WA grup
keluarga, jarum jatuh suaranya bisa kedengaran sampai
ribuan mil. Tidak heran, lima menit setelah Deniza
menangis istriku langsung berkata: Sudah diam, nanti
kita belikan ayam pengganti, ujarnya setengah berteriak.
Masalah ayam mati saja bisa ribut seluruh dunia,
tambahnya, tanpa menghiraukan wajah kami yang
kebingungan dan anakku yang langsung terdiam.

Dan persoalan kematian ayam Deniza menjadi topik WA


hampir seminggu lamanya. Tante Han menegaskan
kucingnya tidak ada sangkut-pautnya dengan kematian
ayam Deniza. Emangnya hanya kami saja yang
memelihara kucing di sekitar sini, tulisnya. Sebagai istri
almarhum Om kami, tentu saja tidak ada yang berani
menanggapi WA Tante Han. Masalah kematian ayam
kesayangan Deniza pun tertiup berbagai isu hangat
seperti pilkada, rencana perkawinan anak Tante Mia dan
juga kondisi Om Ridwan, adik almarhum ibu kami yang
semakin parah sesudah terkena stroke.

Tidak lama anak kami sudah bermain-main dengan ayam


kesayangannya yang baru, seekor bekisar jantan muda
pemberian pamannya. Ayam yang belum kelihatan
jengger dan tajinya itu segera memenuhi kehidupan
Deniza. Kamarnya yang penuh dengan buku dan majalah
berserakan, semakin berantakan dengan bekisar 5 bulan
mondar-mandir di ruangan selalu tertutup, dengan AC
yang terus menyala. Istriku hanya menggerutu karena
tidak bisa masuk ke kamar Deniza yang sesekali keluar
mengambil butiran beras.

Tentu saja tidak lama untuk menunggu istriku berteriak


ketika ia masuk ke kamar Deniza yang seperti kapal
pecah dan seprainya dipenuhi kotoran bekisar. Terdengar
suara Deniza memprotes mamanya yang berteriak-teriak
meluapkan kemarahannya: Mama kok harus teriak-
teriak, kalau marah, ujarnya setengah menggerutu dan
berbisik: Terang saja Tante Han selalu tahu apa yang
terjadi, habisnya Mama selalu berteriak.

Diskusi mengenai ayam bekisar segera memenuhi WA


keluarga kami dengan postingan Tante Han tentang
perlunya sangkar untuk memelihara dan merawat ayam
bekisar. Besoknya Om Randy, sepupu Tante Han, datang
membawa sangkar yang langsung dipasang dekat pohon
sawo yang berbatasan dengan pagar Tante Han. Deniza
setiap pagi mengganti air dan makanan bekisar yang
sesekali mencampurnya dengan belalang dan capung.

Tiga bulan setelah itu ayam peliharaan Deniza


melantunkan kokok pertamanya yang membangunkan
seisi rumah. Seharian anak kami bermain dengan
bekisarnya yang selalu berkokok setelah menelan habis
capung dan belalang yang disuapkan Deniza. Kokok
bekisar tidak pelak lagi menarik perhatian lingkungan
kecil, dan mengundang Pak RT serta anak-anak yang
biasanya main bola di jalan depan rumah kami. Mereka
mengerubuti sangkar bekisar dan sesekali anjing Pak RT
melolong mengikuti kokok bekisar.

WA keluarga kami langsung dipenuhi diskusi soal


bekisar. Kicauan atau lebih tepatnya komplain Tante Han
karena bekisar Deniza tidak berhenti berkokok, entah
kenapa disambut gembira hampir seluruh keluarga.
Dayat, paman Deniza, memosting betapa spesial dan
mahalnya harga ayam bekisar pemberiannya. Om Randy
mengingatkan perlunya menjaga kebersihan sangkar dan
pentingnya bekisar dimandikan serta ditangani oleh
pakar bekisar. Ia menjanjikan untuk memberikan sangkar
tambahan dan menyarankan bekisar dimasukkan ke
rumah karena jenis yang sudah berkokok dan nyaring
bunyinya menjadi incaran pencuri.

Namun, sejak diberikan sangkar tambahan, bekisar


Deniza lama-lama lebih sering menghuni kandang
tambahan yang berada di belakang rumah kami. Yayah,
pembantu kami yang biasanya telaten mengurus bolak-
balik pindahnya bekisar, kelihatannya lebih suka
membiarkan ayam jantan itu bertengger di sangkar yang
berada persis di pintu kamarnya. Setiap pagi, setelah
membereskan semua pekerjaan rutinnya, ia bermain
dengan bekisar dan terkadang menyemburkan air ke
sekujur tubuh bekisar. Bekisar yang mengepakkan sayap
sehabis kena semburan langsung berkokok dengan
nyaringnya.

Mungkin karena lebih banyak diurus Yayah, bekisar


kelihatan lebih dekat dengan pembantu kami
dibandingkan Deniza. Setiap Yayah lewat, bekisar tidak
hanya mengepak-ngepakkan sayap, juga berlompatan di
sangkar yang luasnya hanya 1,5 m2 itu. Terkadang kami
melihat Yayah menjulurkan lidah dan bekisar seakan
meneguk air ludah dari mulut Yayah. Deniza yang
melihatnya hanya diam, dan mungkin itu menyebabkan
ia semakin jarang mengurus bekisar. Ujian dan berbagai
kegiatan sekolah juga semakin menyita waktu anak kami,
sehingga bekisar seakan-akan sudah menjadi milik
Yayah.

Perubahan yang juga mulai menarik perhatian kami


adalah batuk Yayah. Hampir setiap pagi batuknya
bersaing dengan kokok bekisar, membangunkan seisi
rumah. Selain itu badannya yang tadinya tinggi besar,
lambat laun kelihatan mengurus. Yayah juga semakin
membatasi gerak dan kegiatannya. Sesudah memasak, ia
sering membiarkan peralatan dapur berantakan. Iyah,
pembantu kami yang lebih muda dan hanya bertanggung
jawab membersihkan rumah sering mengomel,
membereskan peralatan dapur yang dibiarkan Yayah.
Tapi entah kenapa Yayah tidak pernah lepas dari bekisar,
kendatipun batuknya menyebabkan bekisar tampak
sering menghindar. Ia seolah takut kehilangan bekisar,
dan bahkan tidak mempedulikan peringatan Deniza
bahwa terlalu dekat dengan unggas seperti bekisar juga
tidak baik bagi kesehatan. Dek, Dek kamu tahu apa
tentang bekisar. Mbak Yayah dari kecil sudah
memelihara bekisar. Asal dirawat dan dijaga kebersihan
kandangnya, bekisar tidak gampang terkena penyakit,
tambahnya.
Seperti biasa, jika kalah berargumentasi, Deniza
mengadu menyatakan bahwa perkembangan kesehatan
pembantu kami sebetulnya cukup mengkhawatirkan. Ia
bahkan memintaku untuk membawa Yayah ke dokter.
Bisa jadi Mbak Yayah terkena flu burung, tegasnya.

Tante Han di grup WA keluarga kami juga memosting


maraknya penyebaran flu burung dan bahayanya
memelihara unggas. Sepupu-sepupu kami yang dokter
juga menyarankan untuk memindahkan bekisar kami
keluar rumah, kembali ke sangkarnya semula, serta juga
memeriksakan Yayah ke dokter. Mereka bahkan
menyatakan bahwa petugas kesehatan sudah meminta
agar unggas peliharaan dimusnahkan karena penyebaran
flu burung sudah dalam tingkat yang mengkhawatirkan.

Tanpa menunggu diskusi di WA grup memanas, kami


menyatakan akan segera memindahkan bekisar kembali
ke sangkarnya di luar dan juga memeriksakan Yayah ke
rumah sakit. Dokter yang memeriksa pembantu kami
segera meminta Yayah dicek ke lab dan tidak lama
kemudian menyarankan agar ia menjalani operasi
pengangkatan payudara. Menurut dia, pembantu kami
terkena kanker payudara, dan jika tidak dioperasi
diperkirakan akan segera menjalar ke anggota tubuh
yang lain.

Anehnya Yayah seakan bangga bahwa ia tidak terjangkit


flu burung. Setengah berteriak ia menegaskan kepada
Deniza bahwa batuknya tidak ada kaitan dengan flu
burung. Benerkan Dek, Mbak Yayah tidak terkena flu
burung.

Kendatipun Yayah tidak memperlihatkan seperti seorang


yang terjangkit penyakit serius, kami terus memantau
perkembangan kondisinya serta langkah-langkah yang
disarankan rumah sakit untuk pengangkatan
payudaranya. Namun, setiap kami menyatakan bahwa ia
harus siap-siap operasi pengangkatan payudara, Yayah
seolah tidak memperhatikannya. Bahkan ia pernah
menyatakan jika pun harus operasi ia memilih untuk
melakukannya di Yogyakarta, kampung halamannya,
didampingi anak serta saudara-saudaranya. Biar anak
saya yang ngurus, mosok Ibu dan Bapak yang ngurusin
saya, tegasnya.

Anehnya semakin hari kondisi Yayah kelihatan semakin


membaik. Batuknya perlahan menghilang dan selera
makannya meningkat seiring berat badannya.
Hubungannya dengan bekisar Deniza semakin kental.
Hampir tidak ada waktu berlalu Yayah tanpa bekisar.
Mungkin karena sudah tidak batuk lagi, bekisar diam
saja setiap dipeluk dan dikepit Yayah. Bekisar peliharaan
anak kami bahkan lebih banyak berada di kamar Yayah
daripada di sangkarnya. Kami semua seolah sudah lupa
dengan penyakit Yayah, sampai ketika ia pamitan minta
pulang ke Yogya. Ia hanya menjawab singkat ketika
ditanya Deniza kenapa ia tiba-tiba pulang ke Yogya:
Mbak Yayah mau lihat cucu yang baru lahir Dek.

Tidak ada yang luar biasa dengan kepulangan Yayah.


Sampai sepupu kami menelepon bahwa Yayah minggu
lalu meninggal setelah operasi pengangkatan payudara
dan dimakamkan di Yogya. Deniza separuh histeris dan
setengah melolong menangisi kematian Yayah. Ia
berkali-kali menyalahkan kami tidak serius mengobati
penyakit Yayah. Papa hanya memikirkan uang tanpa
memperdulikan kesehatan Mbak Yayah, ujarnya
separuh menangis. Penjelasan bahwa kami sudah
menyiapkan semuanya, termasuk biaya operasi Yayah
hanya disambut Deniza dengan separuh mencibir.

Sejak kematian Yayah, bekisar peliharaan Deniza


kehilangan kegembiraan. Ia tidak pernah berkokok lagi
dan suaranya semakin aneh seolah-olah tercekik dan lalu
terhenti. Kokokan pendek dengan suara hampir tercekik
semakin sering terdengar. Bekisar anak kami itu juga
kehilangan selera makan. Belalang dan capung yang
disuapkan Deniza tidak disentuhnya. Upaya Deniza
untuk membangkitkan semangat bekisar peliharaan
dengan menyemburkan air berkali-kali ke badannya
hanya membuat bekisar semakin menekuk kepala dan
mengasingkan diri ke sudut sangkar.

Perdebatan di WA keluarga soal bekisar dan kaitannya


dengan kemungkinan meninggalnya Yayah semakin
memanas. Tante Han mengancam akan memanggil
petugas kesehatan agar bekisar kami dimusnahkan
karena dicurigai terjangkit flu burung dan menjadi salah
satu penyebab meninggalnya pembantu kami. Semua
orang yang tadinya sangat senang dengan kehadiran
bekisar bungkam dengan ancaman Tante Han yang akan
memanggil petugas kesehatan agar anak ayam peliharaan
anak kami dimusnahkan. Perdebatan terhenti ketika
petugas kesehatan menyita bekisar bersama dengan
burung-burung peliharaan Tante Han. Burung tidak
kalah bahayanya dengan ayam bekisar sebagai hewan
pembawa virus flu burung, sergah petugas kesehatan
ketika Tante Han bersikeras agar burung peliharaannya
tidak disita.

Sejak burung-burung peliharaannya disita, kami sering


melihat Tante Han bermain-main di depan sangkar
burung peliharaannya yang telah kosong. Sesekali ia
terdengar menggumamkan nama Yayah, seolah-olah
sedang berbicara dengan mendiang pembantu kami.
Ketika ada yang menanyakan bagaimana kabar Tante
Han dan benarkah beliau sekarang suka berkomunikasi
dengan Yayah, Tante Han mengamuk dan meng-unfriend
semua anggota grup serta keluar dari WA grup. Sejak itu
komunikasi kami dengan Tante Han terputus, sampai
beliau dibawa ke rumah sakit terkena stroke dan tidak
lama kemudian meninggal. Ketika muncul postingan di
WA bahwa kemungkinan kematian Yayah dan Tante Han
terkait dengan ayam bekisar Deniza, diikuti kemudian
postingan lainnya, kami mengikuti jejak Tante Han,
meng-unfriend semua anggota keluarga dan keluar dari
WA grup.

Des Alwi adalah lulusan FISIP UI (1985) dan School of


Humanities, Asia Research Centre, Murdoch University,
yang kini bekerja di KBRI Roma. Cerpen pertamanya
dimuat di majalah SMA II Padang (1978) dan cerpen
keduanya, Ms. Watson, dimuat di Kompas pada 2014 dan
masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas 2015.
Gugatan

Sudarma meninggal siang tadi karena serangan jantung,


dan sore ini mayatnya dikubur di sebuah kuburan tua
yang ditumbuhi rumput ilalang yang tingginya selutut,
dan rohnya dilempar ke neraka oleh malaikat. Andaikan
saja ia tidak mendengar jeritan dan raungan orang-orang
yang tersiksa, dan melihat jilatan api di kejauhan, pasti ia
akan menganggap dirinya tersesat di sebuah kegelapan
malam dengan gelap yang tiada ampun.

Ketika kesadarannya belum pulih benar, dua penjaga


neraka dengan tubuh gempal hitam, wajah bengis, dan
bertaring tiba-tiba menyeretnya. Bajingan, kau mau
bawa aku ke mana?

Sudarma membentak dan mencoba melawan, tetapi tak


digubris.

Kau mau bawa aku ke mana?

Lagi-lagi tak ada jawaban. Kedua penjaga itu berjalan


lurus menembus kegelapan malam sambil menyeret
tubuh Sudarma. Setelah melewati jalan dengan kobaran
api di kiri dan kanannya, ia diseret melewati anak tangga
yang tinggi, entah berapa jumlahnya. Mungkin 2.222
anak tangga, atau mungkin 22.222 anak tangga, atau
bahkan 222.222 anak tangga.

Sampai di puncak anak tangga, tubuhnya dilempar,


seperti melempar bangkai anjing ke sungai dan
ditinggalkan begitu saja. Ia berdiri dengan bersusah-
payah, lalu menengok ke belakang dan tidak menemukan
anak tangga yang tadi dilewatinya. Ia hanya melihat api.
Api yang begitu besar dan ia tidak pernah melihat api
sebesar itu sebelumnya. Hawa panas yang luar biasa,
keringat yang meleleh, dan ia mencoba untuk berlari
menjauhi api itu. Ia berlari, api itu tetap mengikuti
dirinya. Di belakangnya, seperti seekor anjing mengekori
majikannya. Setiap menoleh ke belakang, api itu semakin
mendekat. Hingga ia merasa lelah, lelah, sangat lelah,
lalu terjatuh karena kelelahan.

Kau harus dilempar ke kerak neraka.

Ia mendongakkan mukanya dan mendapati di depannya


berdiri sesosok makhluk aneh. Besar, bertanduk,
berpakaian serba putih, dan membawa sebuah buku.

Siapa kau?

Pencatat perbuatan manusia di dunia.

Apa maumu?

Menyeretmu ke kerak neraka.

Kerak neraka?

Ya.

Salahku?

Banyak.

Ia bangun lalu mendekati makhluk aneh itu.

Tidak! Aku tidak percaya.

Apa kau tidak percaya denganku?

Tidak!

Apa kau tidak percaya dengan udara dan embus


napasmu?

Aku percaya, tapi tidak dengan kau.


Itu aku.

Kau bohong.

Aku ada dalam napasmu, aku ada dalam darahmu, aku


ada dalam pikiranmu, aku ada dalam keringatmu, aku
ada dalam pembuluh nadimu, aku ada dalam jantungmu,
aku ada dalam suaramu, aku ada .

Diam kau bajingan! Aku tidak pernah merasa bersalah,


semua yang aku lakukan adalah benar. Kau tak berhak
menyeretku ke neraka. Semestinya di surga tempatku.

Kau banyak dosa. Tidak pantas di surga.

Aku selalu taat berdoa.

Hanya untuk pencitraan, agar orang-orang


memandangmu sebagai manusia saleh, manusia tanpa
cela. Doamu tidak tulus, mulutmu busuk. Dan dalam
buku catatanku telah tercatat dengan rapi, dan tidak bisa
kau bantah.

Bagaimana bisa kau bilang pencitraan? Aku telah


berdoa ke semua benua. Aku berlayar dari ujung timur ke
ujung barat, dari ujung selatan ke ujung utara. Setiap kuil
aku singgahi, setiap tempat ibadah aku singgahi, dan di
sana aku berdoa, aku berdoa, dan terus berdoa. Bangun
tengah malam aku berdoa, fajar aku berdoa, sebelum
mandi aku berdoa, sebelum makan aku berdoa, siang,
sore, senja, sebelum bekerja, di jalan, aku selalu berdoa.
Apakah doaku masih kurang?

Tidak ada artinya. Doamu tidak tulus. Kau berdoa, tapi


kau selalu nyinyir mengurus orang yang tidak berdoa.
Mulutmu busuk, membuat banyak orang sakit hati. Apa
kau ingat berapa pelacur yang kau sebut anjing karena
tidak pernah berdoa dan tidak kenal Tuhan, sementara
kau rajin datang ke tempat pelacuran?

Apa salahnya? Aku memperingatkan mereka agar


mereka taat berdoa.

Dengan mulut berbisa?

Ia terdiam. Saat masih hidup, memang benar ia telah


melewati semua benua untuk berdoa. Ia mengejar Tuhan
ke mana pun yang ia bisa. Dan saat perjalanannya
mengarungi semua benua untuk berdoa, ia juga tidak
lupa singgah ke tempat-tempat pelacuran terkenal dan
mewah di setiap benua yang disinggahinya. Masih
terdengar jelas di telinganya dengus napas pelacur yang
ditindihnya. Masih ingat dengan jelas pula bagaimana ia
mengumpat dengan kata anjing kepada pelacur yang
habis ditidurinya setelah ia menanyakan apakah pelacur
itu punya Tuhan, dan pelacur itu mengatakan tidak
mengenal Tuhan, dan ia tidak pernah tahu bagaimana
pelacur itu akhirnya gantung diri beberapa bulan setelah
itu karena sakit hati.

Tapi, aku masih punya perbuatan baik. Sewaktu


menjabat wali kota, aku membangun banyak tempat
ibadah, dan banyak dari tempat ibadah yang aku bangun,
biayanya keluar dari kantongku sendiri. Aku
mengalokasikan dana sebesar-besarnya untuk
pembangunan tempat ibadah, hingga kota yang aku
pimpin menjadi kota suci, tempat para dewa, dan para
malaikat baik.

Kau membangun banyak tempat ibadah, tapi rakyatmu


banyak yang mengemis di pinggir jalan. Uang yang kau
sumbangkan atas nama pribadi, kau ambil dari khas
kota.

Itu tidak benar. Jangan sembarangan menuduh. Apa kau


menguping pembicaraan yang sakit hati karena kalah
saing dalam pemilihan wali kota?

Apakah aku lebih percaya pada lawan politikmu


daripada kemampuanku? Aku adalah keadilan, aku
bertindak seadil-adilnya kepada semua makhluk. Aku
tidak mengadakan yang tidak ada, aku juga tidak
meniadakan yang ada. Aku mencatat apa yang ada, dan
sebenar-benarnya.

Apakah aku harus mengaku melakukan dosa itu?

Maling tidak selamanya harus mengaku maling.

Rakyatku banyak yang menjadi pengemis, itu karena


mereka malas. Mereka malas mencari kerja, mereka
hanya ingin hidup mewah, mereka tak mau berusaha.
Mereka pemalas! Sudah sepantasnya mereka menjadi
kere dan mengemis di pinggir jalan.

Apakah tugasmu jadi wali kota untuk menghukum


mereka?

Aku sudah membantu mereka, setiap minggu aku turun


ke pelosok-pelosok kota. Aku berkeliling melihat
mereka, dan kadang aku memberikan mereka bantuan
dari kantongku sendiri. Lewat anak buahku, aku juga
telah mengirimkan bantuan kepada mereka. Aku
memberikan mereka bahan makanan, pakaian, dan semua
yang mereka butuhkan. Membuat banyak program agar
mereka tidak miskin lagi. Tapi toh mereka tetap miskin,
mereka pemalas. Apakah aku salah?

Apakah menurutmu semuanya itu benar?

Sudarma terdiam. Ia tidak menjawab benar atau salah. Ia


hanya ingat bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk
kotanya. Menjadikan kotanya kota suci, hingga banyak
para pelancong datang ke kotanya untuk berdoa, atau
sekadar untuk menebus dosa-dosa yang telah menumpuk
agar dikurangi setengahnya atau bahkan dihapuskan
semuanya. Tapi dalam hal lain, ia juga pernah
menggelapkan dana pembangunan tempat suci untuk
membelikan anaknya mobil, dan sebuah apartemen untuk
istrinya, dan sebagaimana yang dikatakan makhluk aneh
itu. Ia juga sering menyumbang atas nama pribadi,
padahal uang yang disumbangkan itu milik pemerintah.

Bagaimanapun juga, hati kecilnya sebenarnya


membenarkan semua ucapan makhluk aneh yang berdiri
di depannya. Ia memang melakukan apa yang
dikatakannya, tetapi ia tak mau mengalah begitu saja.

Hei makhluk pembual. Aku tidak percaya dengan semua


bualanmu. Aku perlu bukti!

Bukti?

Makhluk aneh itu melemparkan buku yang ada di


tangannya. Buku itu mengenai kepala Sudarma yang
membuatnya sedikit puyeng karena buku itu sangat tebal.

Sudarma membuka halaman pertama, dan tertulis dengan


jelas kapan ia dilahirkan, di mana ia dilahirkan, dukun
yang membantu kelahirannya, siapa orangtuanya, dan
tetek-bengek lainnya yang berhubungan dengan
kelahirannya. Di halaman berikutnya tercatat kapan
pertama kali ia melakukan dosa, dan dosa apa yang
dilakukannya, dan kebaikan apa pula yang ia lakukan.

Sudah cukup?

Belum, aku harus mengecek semua kebenarannya.

Makhluk aneh itu tersenyum mendengar jawaban


Sudarma.
Sudarma membuka halaman lain secara sembarang. Di
halaman itu tertulis, dirinya sewaktu SD pernah
meminjamkan uang untuk temannya yang tidak
membawa bekal.

Biar kau tahu makhluk bodoh, aku pernah membantu


temanku yang tidak membawa bekal saat sekolah dulu.
Seharusnya aku dapat sedikit surga.

Aku tahu itu, dan seharusnya kau membaca kelanjutan


catatan itu.

Sudarma membaca paragraf selanjutnya. Tercatat ia


menagih uang itu dua kali lipat keesokan harinya.

Brengsek! Seharusnya aku tidak melakukannya,


Sudarma mengumpat dalam hati.

Ia menutup buku itu dan membukanya kembali dari


halaman belakang. Dan tercatat dengan jelas pula, sehari
sebelum meninggal, ia meludahi seorang pemulung yang
kedapatan mencuri sepeda rusak yang tergantung di
belakang rumahnya. Tapi, dalam dua paragraf berikutnya
tercatat sehari sebelum meninggal ia menyumbang untuk
pembangunan tempat suci di kotanya.
Sehari sebelum meninggal, aku melakukan perbuatan
yang mulia. Aku menyumbang untuk pembangunan
tempat suci, seharusnya itu bisa menebus dosaku. Ini
jelas-jelas tidak adil.

Dan di halaman selanjutnya tercatat, kau meminta


panitia yang menerima sumbanganmu untuk mencatat
namamu di halaman pertama sebuah koran yang terkenal
di kotamu.

Begitulah, Sudarma mencermati halaman demi halaman


buku itu, dan selalu mengungkapkan kebaikan yang telah
ia lakukan dalam hidupnya yang ia temui dalam buku
catatan itu, dan semuanya mendapat sanggahan yang
membuat dirinya tidak bisa melawan.

Apakah bisa diakhiri?

Aku belum membaca semuanya.

Masih ada waktu setengah hari untukmu.

Sudarma tenggelam dalam catatan-catatan perjalanan


hidupnya, dan makhluk aneh yang berdiri di depannya
tersenyum melihat manusia yang keras kepala itu. Dalam
sejarah penghakiman manusia atas dosa yang
dilakukannya di dunia, baru kali ini ia menemukan
manusia keras kepala dan merasa dirinya pantas
mendapatkan surga atas dosa-dosa yang telah
dilakukannya.

Waktumu habis.

Aku belum membaca semuanya.

Tidak ada waktu lagi.

Lagi setengah hari saja dan aku akan membaca


semuanya.

Api di belakangmu akan segera menggulungmu.

Ia menoleh ke belakang. Ia bergidik melihat api yang


begitu besar.

Tunggu dulu, di sini tercatat aku pernah berpuasa, dan


melakukan malam penebusan dosa sebagaimana yang
dilakukan Lubdaka saat .

Ia belum selesai mengucapkan kalimat itu, dan tubuhnya


sudah digulung api yang begitu besar, dan makhluk aneh
yang ada di depannya tak mendengar apa pun yang
dikatakan Sudarma.
Keterangan:

Lubdaka adalah seorang pemburu yang memperoleh


surga karena berpuasa dan melakukan malam penebusan
dosa saat Siwa Ratri dengan tanpa sengaja saat ia
berburu di tengah hutan. Kisah ini diceritakan dalam
kitab Siwaratri Kalpa.

Supartika memiliki nama lengkap I Putu Supartika, lahir


di Karangasem, Bali, pada tanggal 16 Juni 1994.
Alumnus Universitas Pendidikan Ganesha, jurusan
Pendidikan Matematika. Kini mengelola jurnal sastra
Bali modern Suara Saking Bali.
Perempaun Yang
Memegang Tali Anjing

Perempuan itu selalu datang bersama seekor anjing pudel


ke toko buku yang hanya buka pada hari Minggu. Ia
menambatkan tali anjing di sebuah tiang besi di halaman
toko, berbicara sebentar kepada pudel berbulu krem
kesayangannyalebih banyak tentang larangan yang
harus dipatuhi si pudelsebelum ia masuk dan mencari
buku yang akan dibacanya selama dua jam. Toko buku
itu memang menyediakan buku-buku yang boleh dibaca
oleh pengunjung. Pemiliknya sudah tentu orang yang
murah hati ataujika itu tidak berkaitan dengan
kemurahan hati, mungkin saja ia sengaja membuka toko
itu agar ada orang-orang yang mengunjunginya di akhir
pekan dan membuatnya tidak kesepian. Pemilik toko
buku, lelaki berusia 60-an tahun dan telah lama hidup
sendirian. Perempuan yang selalu datang bersama anjing
pudelia pelanggan tetap toko itutidak pernah
berbicara dengan lelaki pemilik toko, sebab ia ke sana
memang hanya untuk membaca buku dan itu
membuatnya belum sekali pun pergi ke meja kasir
tempat si pemilik toko menghabiskan waktunya sambil
mencermati berita di beberapa surat kabar.

Pengunjung toko buku itu tidak terlalu banyak. Itu cukup


menguntungkan untuk perempuan yang selalu datang
bersama anjing pudelnya. Ia memang sudah lama
meninggalkan kehidupan yang ramai dan tak pernah ke
mana-mana selain membawa anjingnya keluar untuk
jalan-jalan, sampai ia menemukan toko buku itu. Ia
sangat senang bila mengunjungi toko buku di Minggu
pagi dan belum ada satu pengunjung pun yang datang
selain dirinya. Setelah memilih buku-buku yang akan
dibacanya, ia mencari tempat duduk di pojokan dan dari
sana ia bisa mengawasi anjingnya lewat kaca bening
tembus pandang. Bila dilihatnya anjing itu sedikit
gelisah, ia berkata dengan gerakan bibirnya, Tenang ya,
tidak akan ada yang mengganggumu di sana.

Umur perempuan itu sekitar 40 tahun, memiliki pipi


lebar dan bintik-bintik coklat menumpuk di sekitar
hidung akibat pengaruh buruk matahari selama bertahun-
tahun dan ketidaksukaannya mengenakan krim pelindung
kulit. Masel, demikian ia menyebut dirinya ketika ia
sesekali bergumam saat menemukan hal-hal menarik dari
buku yang dibacanya. Hi-hi-hi, ini lucu sekali, Masel!
Oh, tidak, Masel, kau tidak boleh berpikir ingin
memelihara kelinci yang memiliki telinga kelewat
panjang (ia pun mengetuk-ngetuk batok kepala dengan
salah satu jarinya). Perempuan itu hanya membaca buku
anak-anakkebanyakan majalah atau buku cerita
bergambar. Buku-buku yang membuat wajahnya seketika
mengeluarkan warna kanak-kanak yang kental;
kepolosan seorang bocah dan ketidakpedulian akan apa
pun selain kepada dunianya sendiri.

Masel, kau tidak ingin turun sarapan?

Kau harus keluar dari kamarmu, Masel.

Masel, bunga krokot pagi ini begitu merah.

Kau tidak boleh melewatkan warna langit yang biru ini,


Masel.

Masel, aku pasti akan membuat dadaku terbelah dan aku


berdarah, jika kau terus keras kepala.

Masel, sini, jangan takut kepadaku.

Masel, tolong cintai aku!

Ma-sel, perempuan itu menggumamkan namanya. Ia


melepaskan buku di tangannya dan terdiam sebentar. Di
luar, anjingnya bermain-main dengan sebuah kotak.
Anjing itu tidak pernah terlalu menyusahkannya. Anjing
baik, desahnya dan tersenyum. Pemilik toko buku diam-
diam memperhatikan dari tempat ia duduk, tapi
perempuan itu sama sekali tidak tahu. Sama seperti
perempuan itu tak tahu kalau pudel yang selalu
dibawanya itu sebenarnya sudah lama tiada. Perempuan
itu betul-betul lupa jika suatu hari ia menemukan pudel
itu sudah menjelma boneka dengan kepala terkulai di
gudang rumah dan lelaki itu berbisik di belakang
telinganya, Masel, ini kejutan untukmu.

***

Minggu pagi ini, perempuan itu kembali datang ke toko


buku yang baru saja dibuka dan kacanya masih lembap
sehabis dibersihkan oleh petugas. Ia memegang tali
anjing seperti biasa dan segera berjongkok untuk
menambatkannya ke sebuah tiang besi di halaman toko.
Dari dalam, pemilik toko mengamati apa yang dilakukan
perempuan itu. Pemilik toko mengenal wajah orang yang
biasa datang ke tempatnyaterlebih yang menjadi
pelanggan tetap. Ia sudah menganggap mereka teman
dekat meski mereka tak pernah berbicara panjang atau
sama sekali tak bertegur sapa sebagaimana ia dan
perempuan itu. Untuk itu, pemilik toko merasa risau saat
melihat tamunya itu berjongkok dan mengikatkan tali
anjing ke sebuah tiang besi, sementara ia tak melihat
seekor anjing bersama perempuan itu. Begitu berdiri
kembali, perempuan berambut pendek itu menepuk-
nepukkan kedua tangannya pelan seolah sedang
membuang debu yang menempel, lalu meninggalkan tali
anjingnya dan cepat-cepat masuk ke dalam toko buku.

Di dalam toko, perempuan itu langsung menuju rak yang


biasa ia kunjungi. Deretan komik, ensiklopedia berbagai
bidang ilmu pengetahuan, cerita bergambar, fabel, novel
anak terjemahan, berbagai jenis majalah anak, tertata
dengan baik (setiap toko akan ditutup, pemiliknya
menugaskan seorang pekerja untuk merapikan
semuanya). Ia memilih satu cerita anak terjemahan The
BFG: Raksasa Besar yang Baik Hati karangan Roald
Dahl, buku dongeng Nusantara bergambar, sejumlah
majalah National Geographic Kids, dan menuju pojok
tempat biasa ia membaca. Pudel kesayangannya bermain
di halaman. Pudel itu sedikit ribut dan banyak
menggeram. Ia berkata dengan gerakan bibirnya, Ingat
ya, jangan nakal, aku mengawasimu. Anjing itu berhenti
menggeram, tapi tetap berputar-putar mengelilingi tiang
dan membuat perempuan itu merasa perlu menambah
latihan soal kedisiplinan agar anjingnya dapat tetap
tenang ketika dibawa ke tempat umum.

Masel, kau tidak boleh keluar rumah lagi, ingat itu.

Kau tidak disiplin, Masel!

Aku akan mati kalau kau sampai terlambat pulang,


Masel.

Masel, kau satu-satunya yang kumiliki di dunia ini.

Kau mencintaiku, Masel?

Masel, bulannya indah sekali, lihat sini.


Masel, aku tidak suka kau diam saja.

Masel, kau tidak makan lagi seperti kemarin?

Kau ingin melihat dadaku benar-benar terbelah, Masel


dan aku berdarah?

Lihatlah nanti, Masel!

Ma-sel, perempuan itu menggumamkan namanya sambil


memandangi pudel yang sekarang tak lagi berputar-putar.
Ia berpikir ulang untuk memberi latihan yang lebih keras
untuk pudel. Mestinya tidak apa-apa jika pudel sedikit
nakal dan bebas. Ia senang bebas. Pudel pun harusnya
begitu. Lepaskan aku. Apa, Masel? Aku tidak bisa
bersamamu lagi. Jangan mengada-ada, Masel! Kau gila!
Aku mencintaimu, Masel. Sudah cukup. Tidak, Masel,
kau tetap akan di sini sampai aku mati. Tapi kau sudah
lama mati. Tidak, Masel, aku tetap hidup dalam dirimu.

Perempuan itu buru-buru membuka majalah yang


mengulas soal binatang dan kekhasannya. Ia ingin segera
membuat wajahnya kembali berwarna kanak-kanak dan
ia tak perlu mengingat apa-apa. Ia tahu hanya kembali ke
dunia kanak-kanak ia bisa selamat dari keruntuhan moral
yang menggerogotinya, membuatnya melupakan apa saja
yang telah terjadi, menjauhkannya dari ingatan tentang
hari-hari ketika ia menyaksikan lelaki itu mengiris-iris
kulit lengan, membenturkan kepala ke dinding, memukul
tembok dan punggung tangan bonyok, hingga membelah
dadanya sendiri di puncak ketidakwarasannya.

Ini caraku mencintaimu, Masel.

Ini caraku agar kau selalu mengingatku.

Ma-sel, perempuan itu bergumam resah. Ia ingin sekali


bebas dari namanya sendiri. Nama yang bergetar begitu
saja dari bibirnya. Nama yang membuatnya tak pernah
benar-benar bebas dari lelaki itu setelah sepuluh tahun
kematiannya. Ah, Ma-sel! Perempuan itu menggetap
gerahamnya. Pagi itu, ia baru saja terbangun dan di
depannya lelaki itu berdiri dengan dada yang terbelah
dan berdarah dan menggumamkan namanya terus-
menerus: Masel, Ma-sel, Ma-sel. Ma-sel.

Ma-sel, perempuan itu kembali bergumam dan berusaha


menancapkan matanya ke majalah yang ia bentangkan
lebar-lebar dan berucap, ini gambar panda, Masel. Hi-hi-
hi, lucu sekali ya, panda ini bisa berdiri dengan
tangannya di bawah dan kaki di atas. Ia tak henti-henti
bicara kepada dirinya sendiri. Ia tak henti-henti tertawa.

***

Toko buku belum dibuka saat perempuan yang


memegang tali anjing berdiri di depannya. Perempuan itu
tetap berdiri selama setengah jam. Ia meremas-remas tali
di genggamannya atau menekan jari-jari kakinya ke
tanah. Satu jam berlalu, tak satu orang petugas pun yang
keluar untuk mulai membereskan segala sesuatu. Dua
jam berlalu, perempuan itu tahu kalau toko buku tak akan
dibuka pada hari Minggu ini, tapi ia tetap saja berdiri di
sana dan menunggu, sebab ia tak memiliki tempat lain
yang ia tuju selain toko buku itu.

Dari jendela lantai dua rumahnya, lelaki pemilik toko


memperhatikan perempuan yang berdiri menghadap toko
bukunya dan, seperti biasa, pelanggan yang dikenalnya
itu memegang sebuah tali seakan-akan ia datang bersama
seekor anjing. Pemilik toko ingin sekali memberi tahu
kalau toko bukunya tidak akan pernah dibuka lagi pada
hari Minggu karena ia telah merencanakan perjalanan
panjang ke sejumlah negara selama satu tahun penuh dan
meminta perempuan itu pulang saja. Namun, sebelum
pemilik toko itu beranjak untuk menemui perempuan itu,
di tepi jalan, ia melihat seorang anak kecil menarik-narik
lengan ibunya sambil sebelah tangannya menunjuk ke
arah perempuan yang sedang berdiri memegang tali
anjing.

Mama, lihat, ada anjing pudel.

Wah, ya, anjing itu pasti terlepas dari pemiliknya.

Mereka mendekati anjing yang di lehernya dipasangi tali


dan mengelus-elus bulunya.

Kita bawa pulang, Ma?

Tidak, Masel, kita tunggu pemiliknya datang.

Yetti A.KA, lahir dan besar di Bengkulu. Tulisannya,


berupa cerita pendek, puisi, dan artikel pernah dimuat di
beberapa media massa nasional. Buku kumpulan cerita
pendek tunggal yang telah terbit; NUMI (2004), Musim
yang Menggugurkan Daun (2010), Satu Hari Bukan di
Hari Minggu (2011), Kinoli (2012), Satu Hari yang Ingin
Kuingat (2014), Penjual Bunga Bersyal Merah (2016),
Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam Itu (2016). Novel
Cinta Tak Bersyarat (2015) dan Peri Kopi (2017).
Penerima Anugerah Kebudayaan Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata Tahun 2004 atas cerpen Musim yang
Menggugurkan Daun. Kumpulan Cerpen Kinoli (2012)
masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award, 2013,
kategori prosa.
Tikus

Cerpen, Kompas, Yusrizal KW

Kalau malam tiba, ia beringsut ke ruang baca, tepatnya


sebuah perpustakaan pribadinya yang penuh dengan
susunan buku yang sejak dibelinya banyak yang tak
terbaca. Setelah berada di dalam ruangan itu, ia
memadamkan lampu, menyalakan rokok, lalu duduk di
kursi goyangnya. Tentu, tidak lupa mengunci pintu rapat-
rapat.

Ia tak ingin ketika gelap menyelimutinya, istri dan anak-


anak atau seisi rumah mengetahui bahwa ia tengah
ditelan gelap yang diinginkannya sendiri. Dalam ruangan
itu hanya tampak setitik api dari ujung rokok di sela
jarinya yang keriput. Sesekali, di tengah malam, dari
ruangan lain cuma terdengar batuknya yang ringkih dan
susah sekali untuk ditahan.
Istri dan anak-anaknya pernah mencemaskan hal itu.
Akhirnya, setelah melihat itu sebagai sebuah kebiasaan,
ia dianggap laki-laki tua yang menyukai gelap. Mula-
mula, istrinya menganggap dirinya stres karena beberapa
tahun lalu terbuang dari jabatan ketua partai yang
dituduh korupsi, yang dalam persidangan terbebaskan
dengan alasan tak terbukti walau para saksi, media
massa, dan rakyat diwakilinya meyakini ia melakukan
tindakan korupsi. Termasuk istrinya, yang selalu
mendampinginya, merasakan bahwa suaminya itu
koruptor, dan di masa-masa jaya dulu diam-diam
mendukungnya. Tapi, bagi mereka tak menjadi beban
karena memang mereka hidup dalam lingkungan yang
korup di negara yang prestasi malingnya terbilang tinggi.

Laki-laki itu sudah berusia tujuh puluhan kini. Tapi,


sudah bertahun-tahun ia menikmati malam di ruang baca
yang gelap tersebut. Jika pagi tiba, ia menyalakan lampu,
puntung rokok berserakan di lantai. Pembantunya yang
setia selalu menyapu ruang itu sehingga bersih kembali.
Begitu setiap pagi.

Tak ada yang tahu, penyakit apa yang diderita si tua


tersebut. Istrinya pernah memaksa ke dokter spesialis,
tapi ia menolak.

Ini bukan penyakit, tapi kesukaanku pada gelap,


katanya, lalu mendelik ketika istrinya akan berkata
lanjut.

Begitulah ia. Malam tiba, ke ruang baca, memadamkan


lampu, ke kursi goyang, menyulut rokok hingga pagi
berbatang-batang. Dalam gelap, ia seakan melihat
suasana yang tak pernah ia saksikan selama ini selama
masih aktifnya dulu. Kadang ia tertawa, terbahak-bahak.
Perilaku itu mula-mulanya membuat seisi rumah selain
heran dan cemas, jangan-jangan ia telah gila. Kemudian,
terdengar ia berbicara sendiri, dan banyak hal lainnya
yang tak normal dilakukannya seorang diri. Karena itu
selalu terjadi, besok paginya biasa-biasa saja,
mendengkur sampai tengah hari, semua menjadi hal yang
wajar akhirnya dalam rumah tersebut.

Sebaiknya kau hentikan bergelap-gelap itu, kata


istrinya suatu kali di meja makan. Ia cuma menyantap
lahap roti tawar yang diolesi selai nanas. Ditatapnya sang
istri, lalu mendelik.
Sebaiknya kau akhiri bicara soal aku dan gelap di ruang
baca. Itu lebih membahagiakan, jawabnya.

Tapi?

Sudahlah. Kau tak pernah merasakan kenikmatan


bergelap-gelap yang hakiki, ia berdiri, masuk kamar,
dan sesaat kemudian tertidur. Karena memang, malam ia
tak pernah tidur.

***

Kalau siang ruang baca itu terang benderang. Jendelanya


dingangakan serta gorden disibakkan sehingga cahaya
matahari dapat menembus ke dalam. Di ruang itu,
terpajang foto-foto di ruang kerja, saat jadi pejabat,
ketika kampanye, saat disalami rekan sejawat ketika ia
dinyatakan tidak terbukti melakukan tindakan korupsi.
Bahkan, ada foto sedang sujud syukur. Kemudian,
terlihat pula ia tengah berada di sebuah ruang sedang
berbincang dengan presiden, dengan beberapa tokoh
masyarakat, dan utusan anggota parlemen negara asing.
Banyak dan banyak lainnya foto-foto masa jayanya
dalam dunia politik pada sebuah album yang
disimpannya pada sebuah lemari kayu jati.

Kalau ada tamu yang datang ke rumah mewah itu, di


siang hari dan sempat melongok ke ruang bacanya, maka
akan ketahuan siapa laki-laki ini sesungguhnya. Bahwa,
ia ternyata dulunya pejabat penting. Oleh rakyat yang
sering diatasnamakannya diyakini sebagai koruptor
kakap yang selamat dari tuduhan.

Kini ia bukan siapa-siapa lagi. Kata orang, lalat pun tak


mau hinggap pada dirinya. Tapi, ia tak peduli itu
sebagaimana ia tak peduli ketika ia mampu mengelabui
hukum yang menyeretnya ke pengadilan yang akhirnya
membuat ia busung dada merasa tanpa dosa.

Satu yang dibenci si tua ini, malam bulan purnama.


Sebab, pada malam itu ternyata cahaya bulan mampu
mengintip dan menitipkan sebersit cahaya remang ke
ruangnya. Ia kesal dan ingin menembak bulan
sebagaimana ia mengancam akan menembak kepala
wartawan yang membuka kasusnya dulu. Akhirnya, ia
tersenyum karena bisa menipu bulan dengan menutup
segala lubang yang bisa menghantarkan cahaya yang
lebih terang dari api di ujung rokoknya. Dalam soal
mengelabui, ia termasuk tiada tandingan. Bulan pun
katanya bisa ia redam cahayanya. Ketika itu, ia terbahak-
bahak, Bulan. Bulan. Alangkah dungunya kau!
Jangan coba-coba mengantarkan cahaya ya?!

Hari selalu melangkah, tentu dengan menghidangkan


malam. Malam ia sempurnakan di ruang baca menjadi
sebuah gelap yang utuh. Ketika itulah, titik api di ujung
rokok bergerak mengikuti irama kursi goyang dan
gerakan jarinya yang turun naik ke dan dari mulut.

Dalam gelap, ia ternyata menemukan dunia yang


benderang. Baik ia pejamkan atau melekkan mata, semua
bisa terlihat. Melintas begitu saja di kepalanya. Bahkan,
ia bisa melihat hatinya yang berkarat. Barangkali itulah
cerminan dosanya. Tapi, ia justru mendustai dirinya
bahwa itu adalah candu rokok yang merembes dari paru-
paru ke hatinya. Kemudian, ia tertawa, dan gerakan kursi
goyangnya seperti mengangguk-angguk kencang
terasakan.

Suatu malam, ia mengejutkan seisi rumah. Istri dan anak-


anaknya serta menantu ataupun cucu yang kebetulan saat
itu berkumpul di rumah mendekat ke arah pintu ruang
baca. Tapi, anak-anak dan menantu hendak mendobrak
pintu, sang ibu tergopoh mencegah dengan menegakkan
telunjuk di depan bibir. Semua terdiam, dan
menempelkan telinga ke pintu yang terkunci rapat.

Ya Tuhan, kenapa aku jadi tikus, hewan pengerat yang


rakus.. Apa-apaan ini, kata suara dari ruang baca.
Semua di balik pintu tersentak, saling tatap.

Ayah stres, Ibu. kata anak sulung yang perempuan.

Sebaiknya kita hentikan kebiasaan buruknya itu! jawab


yang nomor tiga.

Itulah akibat buruk dari gelap, karena membawa


halusinasi! si bungsu menekan suara.

Jangan-jangan ayah tertidur, mimpi jadi tikus! timpal


suami si sulung.

Coba kamu intip, ibu memerintah suami si sulung.


Kemudian si bungsu mengambil kursi, dan meletakkan di
dekat pintu. Suami si sulung mencoba menginjak kursi,
melubangi dengan jari kertas yang menutup ventilasi
untuk menghindari cahaya masuk.

Ayah tidak tertidur sebab rokoknya masih menyala dan


bergerak, katanya sambil menatap ke dalam.

Kemudian hening sejenak. Di ruang baca, laki-laki yang


meresahkan ini merasakan tubuhnya berkeringat. Panas
dingin. Ia melihat sebuah dunia yang penduduknya
adalah para tikus. Ia ada di antara warga tikus itu sebagai
tikus bongsor. Kali ini, ia merinding. Bangsa tikus tengah
melakukan upacara bendera dengan menyanyikan lagu
kebangsaan yang belepotan.

Kita adalah bangsa tikus yang mulia, berdasi dan


mengerat apa yang bisa dikerat. Semua yang tak
terawasi, segala yang dipercayakan kepada kita, sesuatu
yang bukan milik kita, adalah keniscayaan untuk dikerat,
dimakan tanpa rasa dosa, kata raja tikus yang tambun
dan berbulu kasar. Ia melihat ke dadanya, berbulu dan
berdasi pula.

Jadi saya seekor tikus, Tuhan?

Ia menggigil. Lalu memegang mulutnya serta-merta


mempertebal keyakinan bahwa telah ada perubahan pada
dirinya yang luar biasa. Kemudian, ia mencurigai gelap
sebagai sumber malapetaka. Jangan-jangan bermain
gelap ini merupakan masa pematangan untuk berubah
menjadi seekor tikus, binatang pengerat, dan jorok yang
paling dibenci manusia. Terutama petani, paling
membenci tikus karena suka merusak tanaman padi
mereka, bahkan sampai menjadi beras pun habis
digerogoti dari karung.

Tidak! Ini mimpi buruk, Tuhan!

Ia berdiri, lalu mencari tombol penyala listrik untuk


menyalakan lampu. Tapi, gelap telah membuatnya
melupakan sesuatu pada tempatnya. Ia panik. Dan teriak,
Nyalakan lampu. Nyalakan lampu.. Gelap telah
menjadikan aku tikus!

Tak ada yang berani menyalakan lampu.

***

Pagi-pagi, ketika cahaya matahari telah sempurna


menyinari bumi, pintu ruang baca didobrak. Di luar,
angin berembus dan bunga-bunga di taman tumbuh
dengan mekar. Laki-laki tua tujuh puluhan tergeletak di
lantai tak sadarkan diri.

Istrinya menangis tersedu. Para anak dan menantu serta


cucu, melingkar di tubuh tergeletak. Sementara lantai
penuh dengan puntung rokok. Berabu.

Telepon ambulan! perintah ibu.

Ambulan pun membawa ke rumah sakit. Setelah diobati,


ia sadar dari pingsannya yang panjang. Laki-laki tua
menatap langit-langit berwarna putih, kemudian seluruh
anggota keluarga yang melingkarinya.

Ia meraba kulit tangannya, wajah serta seluruh tubuhnya.


Kemudian menatap kosong ke sekitar. Terlihat air mata
merembes dari puncak hidungnya, meleleh ke pipi yang
keriput.

Tiba-tiba ia menutup seluruh tubuh dan wajah dengan


selimut. Semua heran dan mencemaskan kejadian itu.

Aku telah menjadi tikus sejak lama. Aku telah menjadi


tikus sejak lama. Gelap itu jahat. Ia datang dengan baik-
baik, lalu diajaknya aku menikmati diri sendiri tentang
yang indah, tentang sesuatu yang tak baik dan tak bisa
dilihat dengan mata terbuka atau alam sebenderang apa
pun. Dalam gelap, aku melihat cahaya benderang yang di
dalamnya ternyata lambat laun aku telah berada di
sebuah negeri bangsa tikus sebagai tikus, rintih suara
dalam selimut putih.

Itu cuma mimpi, Pak! Sudahlah, lupakan! Makanya


jangan suka main gelap! kata istrinya.

Tapi kau tak pernah memaksaku dengan keras untuk


keluar dari tempat gelap nan hitam itu, ia
mempersalahkan istrinya.

Kemudian dokter memberinya obat. Tak lama matanya


terkantuk. Sesaat setelah itu tertidur tanpa mimpi.

Bapak cuma kelelahan, kata dokter. Semua


mengangguk-angguk. Setelah dianggap pulih, ia pun
dibawa pulang.

Sejak itu, suasana rumah terang benderang. Segala yang


membuat cahaya tertutup dibuka. Lampu-lampu
diperbanyak. Bahkan, dalam sebuah doanya, ia meminta
kepada Tuhan kalau bisa tak perlu ada malam.

Ia mulai bisa menenangkan diri, melupakan gelap.


Suasana rumah mulai terasa berjalan wajar. Tak ada
kehidupan yang aneh.

Suatu siang, ia melepaskan foto-foto tentang


ketokohannya yang terpajang di ruang baca yang hampir
tak pernah dimanfaatkan untuk membaca itu. Juga di
ruang lain. Ia menggantikan dengan foto semasa ia jadi
mahasiswa, foto di kampung waktu kecil, serta foto
ketika jadi pengantin. Setelah semua foto pajangan
rumah diganti, ia lega. Ia mulai menyalakan tape,
mendengarkan lagu-lagu klasik. Kadang ia berkaraoke.
Sesekali, ia mengajak istrinya berdansa, seisi rumah
tersenyum dan sesekali bertepuk tangan.

Hari indah yang membahagiakan.

Inilah keindahan hidup itu, kata sang istri. Sang suami


yang berpacu tua dengan istrinya tersenyum.

Ketika seorang cucu mereka berulang tahun, rumah itu


semakin semarak. Sekeluarga mereka rayakan. Hidup
terasa penuh warna. Namun, dalam suasana meriah,
ketika lagu happy birthday dilantunkan sambil tepuk
tangan, tiba-tiba seekor tikus melintas dari ruang baca ke
tengah mereka. Si tua melihat itu terperanjat. Pembantu
rumah tangga, Ina, yang dibawa mereka serta merayakan
ulang tahun tersebut, langsung mengambil sapu dan
memburu tikus.
Tikus bersembunyi di bawah kursi. Si tua menggigil. Ia
bagai melihat ribuan tikus, termasuk dirinya di situ.
Semua mata tertuju pada tikus. Ketika kursi diangkat,
tikus coba melesat, tangan Ina bertangkai sapu langsung
memukul keras dan cepat. Trap. Kepala tikus pecah oleh
pukulan Ina.

Ina hebat! Ina hebat! Mereka bertepuk tangan. Darah


tikus meleleh di lantai berkarpet mahal.

Ketika mereka menoleh ke si tua, semua tercekat hebat.


Di lantai ia tergeletak. Lalu terdengar tangis dan teriakan,
Telepon ambulan, telepon ambulan, ayo cepatan.

Sementara itu Ina membuang bangkai tikus ke got depan


rumah!

Padang 2017 Yusrizal KW, cerpenis kelahiran Padang


pada 2 November 1969. Kumpulan cerpennya, Kembali
ke Pangkal Jalan, diterbitkan oleh Penerbit Buku
Kompas. Saat ini aktif mengelola Ruang Baca Tanah
Ombak Padang
Sumur Gumuling

Di Sumur Gumuling itu, jarum arloji tak lagi menyimpan


kecemasan didera waktu. Di sini, waktu telah istirah,
rebah dalam pelukan sunyi yang perkasa.

Namun, gemuruh perasaan tetap saja memenuhi rongga


dada laki-laki itu. Perasaan gamang yang menerbitkan
rasa bimbang mengiringinya memasuki lapisan-lapisan
labirin hingga ia sampai di Sumur Gumuling. Penampang
sumur yang menyerupai lubang kue donat itu
menyergapnya. Juga retak-retak bangunan tembok yang
mengabarkan bangunan itu telah berusia ratusan tahun.

Mata laki-laki itu menyapu ruang sekitar. Bulu kuduknya


kontan meremang tapi dia tetap bertahan. Di Sumur
Gumuling, kamu bisa bertemu dengan Pangeran
Jonggring. Bertanyalah soal nasibmu dan
keselamatanmu. Begitu guru spiritual laki-laki itu
berpesan.
Meskipun disebut Sumur Gumuling, situs ini sangat jauh
dari bayangan orang tentang sumur pada umumnya. Tak
ada air di sana. Apalagi kerek dan tali timba serta ember.
Yang bisa ditemui hanyalah lubang dengan ukuran
sekitar 10 meter, dengan kedalaman sekitar 50 meter. Di
sekitarnya terdapat lima tangga terbuat dari susunan batu
bata. Tangga itu menyatu dengan tembok tinggi yang
mengepung. Tak ada atap. Orang pun bisa menatap bulan
dan bintang-bintang, saat langit terang. Banyak orang
percaya, dulu di Sumur Gumuling raja-raja Mataram
sering semedi untuk mendapatkan pencerahan berupa
wisik, bisikan gaib atau ilham.

Malam telah matang ketika laki-laki itu telah sampai di


dasar Sumur Gumuling. Dia pun termangu. Beberapa
kali dia menghela napas agar jantungnya kembali normal
berdegup. Sekaligus juga untuk memompa nyalinya.
Lama dia menunggu munculnya Pangeran Jonggring.
Dia telah menyiapkan segepok pertanyaan. Namun, yang
ditemui hanyalah kesunyian. Gelisah pun mulai
berkecambah. Pulang adalah pilihan terbaik, begitu dia
membatin.
Ketika dia hendak balik arah, mendadak muncul seorang
berwajah dan berpostur tubuh sama persis dengan
dirinya. Laki-laki itu terpana mengamati sosok laki-laki
asing yang kini berdiri hanya berjarak satu meter dari
dirinya. Rambutnya ikal, persis dengan rambutnya.
Wajahnya oval, sama dengan wajahnya. Tubuh dan
gerakannya pun tak bisa dibedakan dengan dirinya.
Bedanya, laki-laki yang dijumpainya itu mengenakan
baju dan sarung serba putih, sedangkan ia mengenakan
baju coklat muda dan celana hitam.

Maaf, apakah kisanak ini Pangeran Jonggring? Laki-


laki itu masih bisa menangkap wajah orang asing dalam
temaram sinar lampu minyak yang menempel di dinding.
Abdi dalem keraton selalu menyalakan lampu itu, setiap
hari.

Bukan. Aku adalah dirimu. Namaku Abinaya. Sosok


asing itu mengulurkan tangannya, menjabat tangan laki-
laki itu.

Kontan laki-laki itu kaget. Nama itu sama dengan nama


dirinya.
Namamu juga Abinaya? Benar, nama kita memang
sama. Sosok misterius itu seperti bisa membaca pikiran
dan perasaan laki-laki itu.

Laki-laki itu disergap rasa heran tapi juga kagum. Tapi


namaku Abinaya Agrapana Laki-laki itu mencoba
mengelak.

Sama. Namaku juga Abinaya Agrapana, ujar sosok


asing itu.

Bagaimana mungkin bisa sama?

Segala kemungkinan bisa saja terjadi.

Tapi kenapa wajahmu tampak sedikit lebih tua dariku?

Akulah masa depanmu. Sosok asing itu tersenyum.

Laki-laki itu terdiam. Tampak berpikir. Rasa heran


semakin berkecambah di benaknya. Masa depan?

Benar. Akulah dirimu saat kamu nanti berusia 75 tahun.


Tentu, jika kamu masih diberi hidup.

Laki-laki itu kembali terdiam. Pikirannya sibuk


menghitung usianya sekarang, yang menginjak 51 tahun.
Kembali ditatapnya sosok asing itu. Ternyata aku tidak
tampak renta dalam usia 75 tahun nanti, dia membatin.

Kebahagiaannya pun berbuncah saat mengetahui bahwa


pada usia 75 tahun nanti dirinya masih tampak gagah,
dengan aura wajah yang bercahaya, tidak seperti
kondisinya sekarang yang keruh dan gelap. Gumpalan
perasaan yang semula menekan rongga dadanya pun
mencair.

Kenapa kisanak menjumpaiku? Apakah kisanak ini


utusan Pangeran Jonggring? Jika benar, bolehkan aku
menyampaikan beberapa pertanyaan?

Sosok lelaki itu tersenyum. Siapa Pangeran Jonggring?


Di sini tak ada siapa-siapa, kecuali kesunyian. Dan
kenapa kamu heran dengan pertemuan kita? Sejak ada
dalam kandungan ibu kita, aku sudah hidup dalam
darahmu, dalam detak jantungmu.

Kenapa selama ini kita tidak saling mengenal?

Karena kamu telah jadi orang asing bagi dirimu sendiri.


Bahkan, kamu tak pernah mendengar semua ucapanku
yang kukirim melalui gelembung-gelembung darahmu.
Juga saat kamu terjerat perkara gawat ini.
Laki-laki itu tersengat. Darahnya berdesir. Wajahnya
tampak tegang. Kisanak tahu perkaraku?

Aku tahu sejak pikiranmu bekerja, menyusun taktik


untuk mengambil uang proyek bantuan pendidikan anak-
anak yatim dan orang-orang miskin dari kas negara.

Laki-laki itu kembali tersengat. Jantungnya berdetak


keras. Dadanya terasa sesak.

Waktu itu, aku sudah bilang, jangan ambil hak orang


lain. Apalagi hak anak yatim dan orang miskin. Tuhan
pasti marah.

Dada laki-laki bertambah sesak. Keringat dingin


mengalir deras dari jutaan pori-porinya.

Tapi kamu nekat. Kamu bersengkongkol dengan wadya


balamu di departemenmu dan orang-orang parlemen.
Kalian ramai-ramai mengarang proyek. Menyutradarai
banyak orang untuk meyakinkan bahwa proyek itu nyata.
Dana pun mengucur yang kalian tampung dalam baskom
kerakusan. Kalian minum darah anak-anak yatim dan
orang miskin. Tanpa malu.

Maaf, saat itu aku khilaf.


Khilaf kok rutin!

Maaf, waktu itu ada setan lewat, masuk dalam


otakku.

He. Jangan mencatut nama setan! Bisa marah dia. Setan


itu sama sekali tidak terlibat dalam perkara ini.

Maksudku bukan setan, tapi iblis.

Iblis apalagi. Dia sudah lama pensiun. Dia sudah putus


asa jadi penggoda manusia, karena ternyata manusia jauh
lebih cerdik, culas, licik daripada iblis. Cepat minta
maaflah pada iblis, sebelum dia meremas jantungmu.

Kepala laki-laki itu merasa dihantam palu besar. Pusing


yang membadai membuat ia hampir jatuh. Beruntung,
tangannya bisa meraih tembok.

Berapa triliun uang yang telah kamu curi?

Saya tidak sempat menghitung.

Kenapa kamu datang ke Sumur Gumuling? Mau tobat?


Minta ampun pada Tuhan?

Laki-laki itu terdiam. Sunyi menguasai ruang. Hawa


mendadak berubah sangat dingin. Mendadak terdengar
suara gemuruh, seperti tembok runtuh. Laki-laki itu
pontang-panting menyelamatkan diri. Beberapa saat
kemudian suara gemuruh berubah auman suara binatang.

Dari balik kegelapan, muncul binatang menyerupai


macan. Hitam. Matanya bercahaya. Binatang itu
menerjang laki-laki itu hingga terjerembap di lantai.
Kuku-kukunya yang tajam mencakar-cakar hingga tubuh
laki-laki itu bermandi darah. Binatang itu hendak
merobek leher laki-laki itu, tapi dicegah sosok asing.
Binatang itu pun menyelinap dalam gelap.

Kenapa takut? Binatang itu tadi adalah dirimu sendiri!

Kenapa dia malah menyerangku?

Binatang itu adalah kerakusanmu. Dia kelaparan. Dia


ingin memakan tubuhmu. Jiwamu.

Jiwa laki-laki itu tergedor. Menggigil.

Apakah semua ini pengadilan bagiku?

Ooo ini baru sebagian. Bahkan sebagian sangat keciiil.

Laki-laki itu gemetar. Kenapa kamu lari dari


pengadilan? Berapa duit yang kamu berikan kepada
mereka yang memasukkan perkaramu ke dalam peti es?
Berapa? mata sosok asing itu menyala, Perkaramu
tidak bisa dibekukan karena di dalamnya ada api
kemarahan anak-anak yatim dan orangorang miskin. Api
itu berkobar. Membakar hingga melelehkan peti es
perkara yang kalian sangka kuat.

Laki-laki itu menunduk. Jiwanya terasa pedih disayat-


sayat kalimat sosok asing itu. Dia mencoba
menggerakkan tubuhnya. Terasa sangat ngilu. Perih.
Panas. Dirasakan ada ribuan kalajengking yang merayap
dalam tubuhnya. Mereka berdesak-desakan, saling
menindih bagai cendol. Kalajengking-kalajengking terus
bergerak. Menyebar. Menyegat dan menebarkan bisa.
Racun itu diserap darah, menyebar ke seluruh tubuh.
Tubuh laki-laki itu membengkak. Melepuh.
Menggelembung, seperti balon raksasa.

Tiba-tiba tubuh laki-laki itu meledak, tanpa suara.


Serpihan-serpihan tubuh terserak di lantai. Lalu terurai,
menjadi kristal-kristal yang lenyap dalam udara.

***
Laki-laki itu membuka mata. Selang infus menancap di
nadi tangannya. Beberapa wajah yang semula tampak
kabur, kini semakin jelas. Ada wajah hakim, jaksa, polisi,
kepala departemen, pengusaha, orang-orang parlemen
dan orang-orang politik. Laki-laki itu berusaha keras
mengingat, siapa saja yang kini membesuknya. Beberapa
nama dia ingat. Beberapa nama dia lupa.

Kami bersyukur, bapak Abinaya Agrapana tetap


selamat. Tim SAR menemukan bapak dalam keadaan
pingsan di Sumur Gumuling. Tempat itu memang
terkenal gawat. Salah seorang pembesuk
menunjukkan selembar surat berisi pemberhentian
penyidikan perkara. Tapi, sekarang bapak bisa tenang.
Karena ada surat ini. Silakan baca, Pak.

Laki-laki itu hanya bisa melihat huruf-huruf yang tampak


berjatuhan dan kabur. Seorang koleganya mencoba
membacakan surat itu, lirih, tepat di telinga laki-laki itu.
Namun, yang dia dengar adalah raungan binatang hitam
lalu disusul jeritan anak-anak yatim dan orang-orang
miskin. Laki-laki itu meronta, menutupkan selimut di
wajahnya. Dia terus meronta. Mencoba berlindung di
balik selimut yang membungkus seluruh tubuhnya.

Orang-orang panik. Seorang dokter langsung datang.


Memberikan pertolongan. Siap dengan suntikan
penenang, dokter itu membuka selimut yang
membungkus laki-laki itu. Namun, yang mereka lihat
bukan pasien bernama Abinaya Agrapana, tapi belatung
raksasa. Beberapa kejap kemudian, belatung itu tiba-tiba
meledak. Mencipratkan cairan bau anyir. Tubuh dokter
dan para pembesuk basah kuyup. Seluruh ruangan pun
tergenang cairan busuk.

INDRA TRANGGONO, penulis cerpen dan esais untuk


soal-soal kebudayaan dan sosial, tinggal di Yogyakarta.
Dua buku cerpennya yang sudah terbit: Iblis Ngabek dan
Sang Terdakwa serta disusul Menebang Pohon Silsilah.
Cerpennya telah masuk dalam buku Cerpen Pilihan
Kompas sebanyak 11 kali. Pada tahun 2015, ia menerima
penghargaan Kesetiaan Berkarya dari Harian Kompas.
Masa Lalu di Meja Makan

Frankfurt Oktober, diramaikan dedaunan yang bagaikan


pemain sandiwara sibuk berganti pakaian warna-warni
yang berubah-ubah. Angin bergurau dengan helai rambut
yang tak tertutup topi, berjuntai di tepi telinga ketika aku
berjalan cepat menuju rumah.

Semalam, sebelum tidur, aku sempat menyingkapkan


kain tirai jendela untuk melihat apa yang sedang terjadi
di luar. Cahaya lampu jalanan dan angin menderu
menampilkan bayang-bayang menari bergoyang, tarian
pepohonan yang dipadu suara nyanyian alam masih bisa
kudengar sayup-sayup menembus celah daun jendela.
Sore hari aku masih melihat seluruh pohonan bergaun
hijau, tetapi sekarang sebagian sudah berbaju
kekuningan. Sebagai anak petani yang datang dari negeri
dipanggang matahari, aku tertegun dalam kenikmatan.
Apalagi beberapa puluh tahun yang lalu, ketika pertama
kali menengadahkan telapak tangan menampung butir-
butir salju beterbangan dari langit kelabu.

Mbak Ntin sudah keluar dari selimutnya, tempat tidurnya


sudah rapi. Tapi aku tidak melihat orangnya. Kami tidur
di ruang tamu, ada dua sofa yang dibuka lipatannya
menjadi tempat tidur. Ruang tamu ini ruang serbaguna,
kalau diperlukan, meja besar yang ada menjadi meja
makan, terutama kalau banyak orang yang akan ikut
melahap masakan yang tersedia. Masakan beraneka
ragam dibawa oleh orang yang datang, bersama
membuka pesta masa lalu. Di meja makan itulah Suharto
dihidupkan kembali kemudian dibunuh beramai-ramai.
Tapi tidak lama kemudian, Suharto hidup kembali
membumbui hikayat hidup orang-orang yang terhalang
pulang. Suharto hebat, tidak pernah mati dalam
perjalanan kaum kelayapan, terutama sekali kalau ada
anak negeri khatulistiwa mampir untuk memetik harapan
yang menggelayut dari langit-langit kiprahnya.

Pak Gung, sarapan sudah siap. Terdengar suara Mbak


Ntin di ruangan yang lain.

Masih tidur apa?


Sudah buka mata, buka telinga, dan buka mimpi Mbak.
Sarapan apa?

Yang semalam saja belum habis.

Lha, yang semalam? Semalam, kan, kebab turki habis


sampai ke bungkus-bungkusnya.

Terdengar suara tertawa renyah ringan, tidak hanya suara


Mbak Ntin. Ada suara Go Koan dan Mercy.

Riwayat Jauhari, kan, belum tamat? suara Go Koan


menimpalinya.

Rumah ini sudah dihuni oleh pasangan suami istri, Go


Koan dan Mercy, sejak lima puluh tahunan yang lalu.
Selalu menjadi rumah singgah, atau penampungan
sahabatnya yang berkunjung ke Frankfurt dengan
berbagai kesibukan. Tertawa renyah itu menandakan
semua penghuni sudah kumpul di dapur, menyantap roti
dan sisa kueh semalam, sambil nyeruput minuman yang
diadon sendiri-sendiri.

Kebabnya habis, masa lampaunya yang belum. Suara


Mbak Ntin disambut oleh yang lainnya.

Aku langsung bangun, dan sesudah membasuh muka


nimbrung dengan mereka. Masa lalu itu selalu enak,
seperti nasi kemarin yang dijadikan nasi goreng. Sahut
Mercy yang berasal dari Polandia.

Mbak Ntin yang warga sebuah kota di Jerman, kukenal


sejak sepuluh tahunan di Jakarta, tidak pernah aku
ketahui seluk-beluk hidupnya. Biasa aku memanggilnya
Mbak Ntin, tetapi di beberapa kota ia dikenal dengan
panggilan Mbak Nunik. Bahkan, yang mengherankan,
aku pernah mendengar ia dipanggil dengan nama Ling
Ling. Ketika aku tanya siapa nama sebenarnya, dengan
enteng ia menjawab, Ternyata nama tidak mampu
mengubah manusianya. Diteruskan dengan tertawanya
terpingkal-pingkal, menertawakan dirinya sendiri. Intel
punya beragam foto saya, dari samping kiri, kanan, atas,
dan mungkin telapak kaki saya juga.

Sebegitunya Mbak.

Orang sering tidak percaya. Di sini lebih seru Pak


Gung. Di tanah air, intelnya, kan, jelas orangnya. Di sini,
ya Allah, ampun.

Cerita dari teman lain mengatakan kalau seseorang


punya nama Tionghoa berarti ia pernah di Tiongkok,
entah bersekolah di sana, atau datang ke Tiongkok
sesudah peristiwa. Kata peristiwa cuma punya satu tafsir,
yaitu gerakan yang terjadi pada tanggal satu Oktober
subuh yang berpusat di Desa Lubang Buaya, pada tahun
1965. Letupan peristiwa itu ternyata lebih hebat jika
dibandingkan dengan bom atom yang melantakkan
Hiroshima, manusia dan kemanusiaan, serta
menumbuhkan dampak keretakan bangunan kejiwaan di
seantero dunia. Mbak Ntin, atau Ling Ling, masih takut
diketahui siapa ayahnya yang entah di mana keberadaan
jenazahnya. Ia memutus urat nadi keturunannya, dan
masih dihantui mata-mata, walaupun sejak umur belasan
tahun sudah meninggalkan kampung halaman pergi
menuntut ilmu di benua seberang. Kesarjanaannya dia
kempit di ketiak untuk tidak diketahui orang, dan
memulai hidupnya menjadi penjaga toko.

Sakit hati, nelongso, dan takut Pak Gung, suatu pagi di


meja makan ia berucap. Waktu itu kami sedang
menginap di sebuah rumah sahabat di Koln, seorang
wartawan-penyair yang tidak berani menulis selama
masih bekerja. Sesudah pensiun dari pekerjaan sebagai
tata usaha di sebuah pabrik, ia terseok-seok melanjutkan
kemampuan kesastraannya, dan beruntung bisa menjadi
orang yang tidak ketinggalan zaman. Dalam sehari
mungkin hampir lebih dari sepuluh kali menunjukkan
sertifikat tanda jasa dari instansi tempatnya bekerja.
Maaf, seperti orang mulai bego. Dari sorot matanya
memancar api dendam dan nyala gereget yang tak
terpadamkan oleh guyuran salju dan lembar-lembar euro
jaminan hidupnya. Kami selalu mengadon masa lalu
dengan masakan jawa timuran yang dihidangkan oleh
istrinya dalam sarapan, makan siang dan makan malam.
Boleh jadi masakan itu menghidupkan mereka seperti
berada di desanya di Kerian. Di meja makan masa lalu
tidak pernah habis dikunyah dan dicerna. Di meja makan,
masa lalu disantap untuk menerima dan memelihara
kekinian.

Mas, apa sampeyan bangga menjadi wong Jerman?


Terpancar kekosongan yang gemuruh dari bola matanya.
Aku takut memandangnya dan merasa bersalah
mempertanyakan nya.
Aku sekarang sedang menabung untuk membeli liang
kubur kalau kami mati. Suaranya lirih. Terkesan jalan
pulang ke kampung sudah ditutup mati dan dihapus dari
peta kehidupannya.

Aku adalah penjelajah ke sudut-sudut dunia

langkah diayun mimpi yang tidak pernah ketemu siang

aroma tanah sawah menempel di saluran pernapasan

sekalipun deru angin musim gugur mengiris daun telinga

masa lalu terus disantap di meja makan.

Mbak Ntin selalu menjadi pemandu aku berkeliling di


beberapa negara dan kota di Eropa. Ke mana pun pergi,
selalu ketemu dengan masa lalu yang menjadi pelengkap
makanan, senda gurau, mimpi getir dan rasa kangen yang
menyakitkan. Pada kunjungan pertamaku di Frankfurt, di
tahun 1989, aku ketemu dengan bekas guruku di SMA di
kota kelahiran. Kami seolah membentangkan peta lama
yang mulai sobek dan buram, karena sudah lama tidak
hidup lagi di dalam ingatan. Ia menceritakan kehebatan
prestasinya di universitas tempat ia dikirim bersekolah
oleh Sukarno. Tapi itu tidak berarti apa-apa sesudah
pindah ke Jerman Barat, prestasinya kehilangan nilai
bersamaan dengan kejatuhan Sukarno. Ia menjadi sopir
taksi, kemudian penjaga restoran, dan pada waktu kami
berjumpa dia sedang kehilangan mata pencarian. Aku
merasa bersalah besar, menganggap teman-teman yang
kelayapan terhalang pulang itu, beban hidupnya jauh
lebih ringan, tidak bisa dibandingkan dengan orang yang
tertuduh di Tanah Air. Teman-teman itu, pikirku, tidak
perlu bingung dengan segala macam masalah papan,
sandang, pangan, karena mendapat bantuan negara
tempatnya berlindung. Terutama sekali, keamanan
terjamin, tidak perlu menghadapi Babinsa, lurah, intel
yang bagaikan ulat bulu selain membuat gatal juga
menyebarkan virus kebencian.

Pak Ngurah, mau titip apa untuk keluarga? Mungkin


saya bisa bawa. Pertanyaan saya membuat ia tercenung.
Lama saya menunggu jawabannya. Ia terdiam. Tapi pada
akhirnya ia bicara, Tolong, anggap tidak pernah ketemu
saya.

Frankfurt pada bulan Oktober, entah tahun berapa saja


selalu menghadirkan pepohonan yang bagaikan pemain
sandiwara sibuk berganti-ganti pakaian. Hari ini aku
tidak melihat lagi pepohonan bermantel hijau, sudah
berganti dengan warna kuning, bahkan beberapa jenis
pohon sudah berdaun kemerahan. Dedaunan itu akan
segera gugur, menelanjangi pepohonan yang akan
menjelma menjadi tulang-tulang tubuh yang telanjang
bulat. Itulah caranya bertahan hidup, untuk kemudian,
beberapa bulan kemudian akan mengundang umat
bergembira riang menyambut kuntum bunga beragam
jenis dan warna. Sore nanti saya, tentu saja dipandu
Mbak Ntin, akan pindah ke Achen, sebuah kota di ujung
tanduk pertemuan Belgia, Belanda, dan Jerman.

Ketika saya sedang berbenah, Mercy menghampiri saya.


Gung, sudah tahu cerita Pak Ngurah?

Sayang ya, dia tidak datang. Dia masih di Frankfurt?

Mungkin semalam dia ikut di meja kita, walau kita tidak


melihat fisiknya.
Haaa, dia sudah meninggal?

Tragis. Tak ada orang yang tahu dia meninggal. Bau


mayatnya menyebabkan tetangganya memanggil polisi
dan mendobrak pintu masuk. Mungkin sudah tiga hari
sebelumnya ia meninggal. *

(Salam buat Mbak Ning, Hok An, dan Helgard)

Putu Oka Sukanta, 78 tahun. Menerima Award dari


Hellman/Hammett Human Rights Watch New York 2012
dan Award Human Rights Education Herb-Feith
Foundation Australia 2016 atas karya sastra dan
kegiatannya di bidang hak asasi manusia. Beberapa
novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan puisinya sudah
terbit dalam bahasa Indonesia, Jerman, Inggris, dan
Perancis
Di Bawah Bayang- banyang
Gunung Sinai

Di bawah matahari terik pagi aku berdiri di kaki


piramida Gizeh yang mengerucut ke arah langit setinggi
147 meter. Dengan celana jins serta jaket kulit untuk
menahan terpaan angin, aku menatap kubur kosong itu
menjulang tinggi. Kaki piramida bagaikan permadani
yang luas dan rata tanpa pepohonan, mengantarkan
pemandangan ke kota di bagian selatan. Para raja Cheops
(Khufu) mencoba mengabadikan tubuh, raga yang
berharga yang diperlukan di seberang sana. Kekayaan
para raja itu ironisnya menjadi bahan kehidupan bagi
orang yang hidup ribuan tahun kemudian. Para penjarah
kubur menggali kenangan masa lampau itu, menjualnya
menjadi kenang-kenangan bagi pencinta benda konkret
sejarah masa lalu dalam rawatan museum segala bangsa.

Kubur itu telah kosong. Dalam kekosongan itu tertera


sejumlah kisah, pada setiap batu yang bertindih,
bagaikan sebuah keajaiban alam yang direkayasa. Orang-
orang Ibrani yang diperbudak penguasa Firaun beratus-
ratus tahun membangun sejumlah tugu bagi makam raja.
Waktu yang empat abad bukanlah waktu yang singkat
untuk membangun istana dan bangunan yang megah
pada masa hidup penguasa itu, yang terus-menerus
mengimpikan kejayaan dalam kematian yang abadi.
Bersama kehidupan para penguasa itu berbarislah
piramida kematian yang menjulang tinggi, yang terkapar
di padang-padang gurun yang gersang saat mengungkit
batu-batu raksasa tempat raja yang hidup dan mati
bersinggasana.

Aku termenung melihat kota besar di bawah kaki


piramida. Segumpal kenangan masa lalu membungkah
dalam benakku, dibawa aliran Sungai Nil yang
membelah kota yang terus-menerus menghilangkan
dahaga orang Mesir dari zaman ke zaman. Sungai yang
menjadi air kehidupan bagi yang hidup dan yang mati,
yang kuno dan modern berbaur di tepi sungai yang
menorehkan kisah sepanjang zaman. Manusia bisa mati
lalu digantikan generasi demi generasi, tetapi Sungai Nil
tetap jernih di sana, yang dahulu dipuja Firaun sebagai
berkah dari dewa. Kalau dahulu Musa diapungkan dalam
keranda yang teranyam kemudian dipungut putri Firaun,
tanpa disadarinya, bayi Musa itu menjadi petaka bagi
kerajaannya delapan puluh tahun kemudian. Bagi putri
Firaun, Musa adalah karunia dewa Sungai Nil. Seorang
bayi yang tampan. Hadiah dari sungai tempat ia
menyucikan diri setiap pagi. Kini, Sungai Nil juga tidak
berhenti menjadi berkah ketika kapal wisata dari waktu
ke waktu mengapung di sana dengan tari perut yang
mendatangkan uang dolar.

Sungai Nil adalah dewi kesuburan bagi Mesir sepanjang


zaman. Para penguasa boleh silih berganti tetapi mereka
selalu berdamai dengan Sungai Nil. Orang-orang Ibrani
paling bahagia ketika mereka menghuni daerah yang
tidak jauh dari aliran sungai ini sehingga kambing domba
mereka tidak kehabisan padang rumput yang hijau.

Entahkah jalan itu yang ditempuh Musa ketika berusia


delapan puluh tahun, aku tidak tahu pasti. Para leluhur
selalu memiliki kearifan, mungkin saja orang modern
mengikuti jejak yang dirintis mereka melalui padang
gurun atau lewat kilometer 101 yang terkenal dalam
Perang Enam Hari antara orang Ibrani modern melawan
Mesir dan koalisinya yang sepakat mempertemukan
pucuk senjata tanpa peluru tanda gencatan senjata. Tetapi
kini telah menjadi jalan beraspal dan pelbagai jenis
kendaraan melintas di atasnya. Musa membawa berjuta
manusia dan ternak mereka yang banyak meninggalkan
tanah Mesir pada malam petaka dan perkabungan karena
kematian anak sulung di seluruh Mesir, kecuali kawasan
Gosyen yang dihuni oleh orang Ibrani yang eksodus
menuju padang gurun. Pasukan tanpa senjata yang tidak
habis-habisnya. Puluhan ribu orang tua, orang dewasa,
anak-anak, berbaur dengan ternak: unta, kuda, domba,
kambing, dan keledai. Berjuta makhluk hidup dengan
tenda-tenda mereka berbaris menuju Laut Merah. Sebuah
rombongan pengungsi yang baru lepas dari perbudakan,
menuju tanah kemerdekaan yang dijanjikan kepada
mereka.

Bayang masa lampau sekilas berlalu dan aku melihat di


sisi jalan, di tengah padang gurun moncong meriam di
atas tank yang dikendarai serdadu yang berdiri di atasnya
dengan uniform abu-abu dan tank yang disaput debu. Ia
menyandang senapan, yang kemudian membersitkan
kenangan dalam benakku, pasukan Firaun yang
menguber orang Ibrani dengan kereta perang yang
bergemuruh. Hari-hari berkabung sudah berlalu, kini
dendam kesumat merasuk dada Firaun. Pastilah budak-
budak itu dapat diambil kembali dan dipekerjakan demi
pembangunan kota dan istana-istananya. Mereka
memerlukan tenaga. Ratusan pasukan yang terlatih
dengan kereta perang, ribuan dengan pasukan berkuda,
menyusul rombongan yang tidak berdaya itu.

Mendengar deru kereta di belakang mereka, orang Ibrani


terbentur pada laut. Kekacauan di baris belakang disertai
ratap tangis anak-anak yang ketakutan. Kutuk serapah
entah diarahkan kepada siapa berkobar. Keluh kesah,
penyesalan, membuat segelintir orang ingin berontak
kepada Musa seraya berteriak, Apakah tidak ada
kuburan di Mesir sehingga kita dibawa mati ke gurun
pasir ini?

Rombongan dari belakang berdesak-desakan. Deru


kereta berkuda semakin gemuruh. Teriakan-teriakan
karena panik di mana-mana. Tiba-tiba awan gelap
bagaikan guntur bergema di belakang barisan yang
kocar-kacir itu. Awan lembut menyelubungi mereka
sehingga mereka reda dari rasa panik. Berjuta-juta
makhluk hidup menapakkan kaki ke dasar laut yang tiba-
tiba terbelah bagaikan dinding beton. Puluhan jam
mereka berjalan di dasar laut ketika pasukan Firaun
berputar-putar di tempat tidak mampu menerobos kabut
awan yang hitam. Musa memukulkan tongkatnya ke atas
air saat pasukan Firaun menerobos awan yang lenyap
seketika. Pasukan itu menderu ke dasar laut yang masih
kering dengan gagah perkasa. Ribuan prajurit tangguh
menerobos ke tengah dasar yang kering ketika Musa
memukulkan tongkatnya ke atas air dari seberang.

Ringkik kuda yang terkejut diterjang arus laut meninggi.


Barisan belakang hendak berbalik arah, tetapi dari pantai
air menderu ke tengah dan pasukan itu tenggelam ke
dasar laut. Keesokan harinya, orang-orang Ibrani melihat
tubuh yang mengapung di atas air.

Bus sebentar-sebentar berhenti. Pemeriksaan


penumpang. Prajurit berseragam memeriksa setiap bus
dan penumpang pada jarak-jarak tertentu. Pos-pos
pemeriksaan pada jarak tertentu membuat perjalanan
agak lambat. Lewat tengah hari, bus berhenti di kota
Sharm el-Sheikh yang indah. Alun-alun kota yang rata
ditumbuhi bunga yang mekar di sana sini dengan aneka
warna. Luar biasa kota indah ini dengan lautnya yang
tenang. Kapal-kapal pesiar dan kapal dagang tampak di
tengah laut. Vila di atas bukit berdiri tegak dengan
keindahan bangunannya. Restoran dan toko yang sarat
dengan pelbagai jenis pakaian dan barang elektronik
menunjukkan bahwa kota ini makmur. Jalan-jalan yang
lebar, bangunan yang tertata rapi, kebersihan kota ini
sangat memesona, berbeda dengan beberapa bagian dari
kota Kairo yang tampak kumuh.

Pemandangan yang eksotik ini sulit terlupakan. Makanan


di restoran yang nikmat tidak jauh dari selera orang timur
pada umumnya. Pelayan restoran yang ramah dan
profesional amat menyadari bahwa kehadiran orang
asing adalah rahmat bagi mereka.

Bus meninggalkan kota pelabuhan yang indah ini lewat


pukul dua siang. Tidak banyak kendaraan yang lalu
lalang. Hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan lain
ketika bus merangkak keluar kawasan kota menuju arah
ke timur yang semakin mendaki. Deru kendaraan yang
ber-AC merangkak dengan kecepatan enam puluh
kilometer pada jalan yang agak rata. Di kiri kanan adalah
bukit batu yang tidak kalah tingginya daripada piramida
di Gizeh. Mengapa firaun-firaun Mesir tidak
memakamkan jenazah mereka di celah-celah bukit batu
ini, pikirku. Di kiri kanan jalan semuanya bukit batu
yang tinggi. Pikiranku kembali ke masa silam, beribu-
ribu tahun yang lalu orang Ibrani melintasi jalan berdebu,
membawa beban keperluan sehari-hari, tenda yang
diangkut unta dan anak kecil yang harus berjalan
perlahan dan setiap beberapa kilometer rombongan besar
ini harus berhenti. Berminggu-minggu, berbulan-bulan
mereka harus berhenti di dataran sepanjang jalan yang
terbuka. Bagaimana mereka mendapat air? Bagaimana
mereka memberi minum ternak mereka?

Menjelang petang bus berhenti di sebuah permukiman


penduduk barangkali bukan permukiman. Lebih tepat
dikatakan bangunan-bangunan berupa restoran, hotel,
dan tempat istirahat. Katanya, inilah kawasan Gunung
Sinai.

Satu hari naik bus dari Kairo dan tiba menjelang senja di
kaki Gunung Sinai membuat badan rasanya letih.
Bagaimana orang Ibrani yang berjalan berbulan-bulan,
dengan gerutuan yang ditujukan kepada Musa baik soal
perjalanan yang tidak kunjung sampai, soal makanan dan
minuman yang membuat mereka berontak. Ke mana
akhir perjalanan ini? Tanya mereka. Di kaki gunung ini
mereka berbulan-bulan istirahat memasang tenda,
memberi makan kambing dan domba serta ternak
lainnya. Kebosanan dan keluhan yang tidak habis-
habisnya ditujukan kepada Musa yang membawa mereka
keluar dari negeri yang penuh bawang dan daging.
Perjalanan apa ini? Ketika air tidak ada, mereka marah
dan memaki-maki Musa.

Bayangan itu kubawa tidur yang lelap. Tiba-tiba tengah


malam dering telepon di kepala tempat tidur berdering.
Aku segera bangun dan mengenakan jins dan sepatu kets,
jaket, dan topi. Istriku sudah siap. Aku bergabung dengan
rombongan pejalan malam. Lima belas menit naik
kendaraan ke kaki Gunung Sinai. Bus berhenti tidak jauh
dari biara St Catherina. Puluhan ekor unta menanti
rombongan kami. Istriku naik unta di depan, aku
menyusul di belakangnya. Setiap orang punya senter
sendiri. Unta berjalan di kegelapan malam mengandalkan
cahaya bintang di langit yang cerah dan malam yang
sunyi. Hanya sesekali orang Beduin yang memegang
kekang unta berteriak sesekali ketika unta tampaknya
mengantuk dengan berjalan perlahan. Saat sorot senter
menyorot ke kiri aku melihat jurang di bawah, sebelah
kiri, sedangkan di kanan bukit batu yang tinggi. Aku
berpegangan pada kayu yang menonjol di tempat duduk.
Berjam-jam aku berdiam diri melihat bintang gemerlapan
di langit. Kalau lihat ke kiri aku merasa ngeri. Jalan
berbatu-batu yang semakin mendaki semakin tinggi.
Tidak jauh dari puncak Sinai ada goa yang dijadikan
warung yang diterangi lampu dinding. Unta merayap di
tanah, aku mencoba melepaskan diri dari kursi kayu yang
mengikuti lekukan pundak unta. Susah sekali. Dua orang
Beduin melepaskan kedua kakiku yang kaku.
Aku bergabung dengan yang lain. Untuk menghilangkan
rasa haus kupesan segelas susu seharga tiga dolar. Di
sebelahku ada dua orang yang berkata-kata dalam doa
mohon pengampunan dari Tuhan, dengan isakan suami-
istri itu mencium tanah. Lagu setengah suara mengalun
syahdu dalam keheningan malam disaksikan bintang-
bintang di langit. Doa-doa menggetarkan hening malam.
Kembali digugah oleh nada kepasrahan kepada Tuhan.

Satu jam di puncak Sinai, mungkin di goa Yoshua


menanti Musa di puncak sekali Gunung Sinai. Alangkah
sunyinya Yoshua seorang diri 40 hari 40 malam
menunggu Musa di puncak bukit itu. Menyaksikan kabut
hangat dan teduh yang menyelimuti Musa dan Yoshua
pada malam hari, bagaikan hangatnya api yang menyala
entah di mana.

Terbayang di mata batinku, Musa bercakap-cakap dengan


Tuhan bagaikan dua sahabat yang sangat akrab. Musa
tidak melihat wajah Tuhan serta-merta, tetapi kehadiran-
Nya yang terasa amat nyata berselubungkan kabut
kemuliaan. Bagi Musa waktu berjalan dengan cepat
karena keakraban itu melekat dalam batinnya dan segala
pesan itu direkam dalam benaknya. Yoshua menanti dan
menanti, dengan kesabaran yang luar biasa tanpa merasa
lapar dan dahaga.

Dari renunganku aku terbangun ketika pemimpin


rombongan menggamit lenganku bahwa saatnya tiba
untuk turun. Tanpa unta. Ya, turun dengan unta tentu
sangat menakutkan. Siapa yang dapat menahan badan
dan jantung mengikuti irama unta yang amat menurun?
Hanya bintang yang tertegun di angkasa sana.

Aku tebayang Musa yang dikawal. Yoshua yang turun


dari Gunung Sinai. Mereka yang mendengar sorak-sorai,
bunyi musim bersipongang. Genderang perang? Musa
bertanya-tanya. Yoshua pun menyangka. Barangkali
perang, katanya. Tidak! Itu suara tarian dan musik puja-
pujaan kepada dewa Firaun.

Mendekati kaki bukit tempat bani Israel berkemah, wajah


Musa memerah penuh angkara. Musa melihat abangnya,
Harun, memimpin penyembahan kepada patung anak
lembu. Ia mendekat dan melemparkan dua buah loh batu
yang berisi 10 firman kepada patung anak lembu itu,
jatuh berkeping-keping. Harun terkejut dan ketakutan,
berdalih. Orang-orang Ibrani yang terlibat dalam
pemujaan itu disuruh minum dari air yang diramu dengan
abu patung. Tidak kepalang tanggung, Musa menyuruh
orang Lewi menebas dan menikam mereka yang memuja
patung lembu. Tiga ribu orang yang tewas pada hari itu.

Kepala-kepala suku menjadi ketakutan. Mereka


bertanya-tanya kepada diri sendiri, beginikah nasib
kami?

Menjelang subuh aku tiba di tembok biara St Catherina


dan bersandar karena kaki yang terasa amat letih, penat
dan kaku.

Aku baru saja turun dari Gunung Sinai, dengan celana


jins dan jaket kulit, dan sepatu kets.

Wilson Nadeak, lahir di Porsea, Tapanuli Utara, 74 tahun


yang lalu. Telah menulis sejumlah kumpulan cerpen,
esai, kritik, dan kumpulan puisi. Kini tinggal di Bandung.
Orang Yang Tak Bisa
Berbohong

Siapa pun tahu, Dia tak bisa berbohong. Apa yang


diomongkan selalu benar. Dan selalu tepat pada sasaran.
Mangkanya, di kampung, jika ada persoalan penting dan
membutuhkan orang yang tak bisa berbohong, maka
orang-orang selalu menunjuk Dia. Dan menyatakan:
Dalam sejarah kampung, kita beruntung mempunyai
warga seperti Dia. Sehingga, kebenaran selalu dapat
terjaga. Kebenaran, yang bagi orang lain sulit untuk
diomongkan, tapi bagi Dia selalu saja dapat
diomongkan. Tapi, kini, orang-orang di kampung
mencuekkan dia. Dia ada atau tak ada, tak ada yang
peduli. Jadi, semacam pepatah: Datang tanpa muka,
pergi tanpa punggung, itulah Dia. Dia yang mungkin
lebih banyak hidup dan bergerak sendirian. Dia yang
ketika berjumpa dengan orang-orang, lebih banyak
dijauhi. Dan lebih banyak seperti angin. Terasa tapi tak
terjamah.

Kenapa orang-orang memperlakukan Dia seperti itu? Itu


ada kisahnya. Begini: dulu ada peristiwa yang
menggemparkan, yang terjadi di kampung, tentang uang
yang hilang. Uang itu milik pak Zain. Uang hasil
penjualan tiga ekor sapinya. Lalu orang-orang
mencarinya. Dan pencarian itu pun mengerucut pada diri
Gondo. Pemuda kampung yang luntang-lantung. Yang
ketika ditangkap, sedang termenung di bawah pohon
trembesi. Dari kantong tas kresek Gondo, orang-orang
menemukan sejumlah uang. Jumlah uang itu demikian
banyak. Yang tak mungkinlah dipunyai Gondo yang
luntang-lantung itu.

Kau pencurinya?

Pencuri apa?

Pencuri uang pak Zain!

Tidak. Aku bukan pencuri!

Lalu, darimana kau dapatkan uang sebanyak ini?

Aku menemukan di jalan.


Jalan mana?

Sayangnya, Gondo lupa di jalan mana menemukan uang


itu. Sehingga hanya bisa menjawab: Mungkin,
mungkin, dan mungkin. Ya, mungkin di jalan ini,
mungkin di jalan itu, juga mungkin di jalan ini dan itu.
Akibatnya, orang-orang jadi marah. Merangsek. Dan
ingin menghakimi.

Kita hajar saja dia!

Dia berlagak bego!

Ini sudah jelas. Dia pencurinya!

Kita tanyai pelan-pelan!

Tapi dia sudah mempermainkan kita!

Hajar dulu saja!

Tepat ketika suasana menaik. Suasana ketika orang-orang


akan bertindak, tiba-tiba Dia muncul. Dan entah kenapa,
orang-orang jadi menenang. Dan suasana yang semula
panas jadi mendingin. Lalu ada seseorang yang berkata:
Hei, orang yang tak pernah berbohong, katakan, apa
benar Gondo yang mencuri uang pak Zein?
Katakan, ayo, katakan!

Dia pun menghampiri Gondo. Berbisik. Gondo pun


menjawab dengan bisik. Gondo memang menemukan
uang itu di salah-satu jalan yang mengarah ke luar
kampung. Tapi Gondo lupa itu jalan yang mana. Sebab
saat itu malam hari, begitu kata Dia setelah saling
berbisik dengan Gondo.

Itu tak mungkin! sahut seseorang.

Dia kok jadi begini, sahut yang lain.

Dia sudah mulai berubah!

Masak, menemukan uang kok lupa tempat di mana


menemukannya.

Dia tersenyum. Lalu menambah: Cobalah kalian pikir,


kenapa Gondo lupa di jalan mana uang itu
ditemukannnya. Sebab, semua jalan yang mengarah ke
luar kampung, terutama malam hari sama. Gelap, rusak,
dan tak ada tanda-tanda arah jalannya. Hayo siapa yang
salah. Jika Gondo tak mengenali lagi di jalan mana uang
itu ditemukannya?

Orang-orang tercekat.
Jadi, daripada ribut, ambil saja uang yang ada di tas
kresek Gondo. Lalu segera kita perbaiki jalan-jalan yang
rusak itu.

Orang-orang saling berpandangan. Dan meski di hati


mereka masih tak terima, tapi apa mau dikata. Omongan
yang baru saja mereka dengar itu benar adanya. Dan
memang, sudah seringkali, mereka sendiri mengeluh atas
kondisi jalan-jalan yang menghubungkan kampung
mereka dengan kampung-kampung yang lain. Bahkan,
pernah terjadi, ada orang dari luar kampung yang ingin
memasuki kampung mereka di malam hari, tapi tak
sampai-sampai. Jadinya, bagi orang dari luar kampung,
hanya berani mendatangi kampung mereka di siang hari.
Sedangkan, bagi mereka sendiri (orang kampung itu) pun
enggan untuk bepergian ke luar kampung di malam hari.
Di samping mereka sulit mendapat arah ke luar, juga
merasa selalu saja kembali ke tempat semula. Dan atas
hal ini, maka kampung mereka disebut sebagai Kampung
Siang Hari.

Benar juga.

Dia memang tak berbohong.


Jadi, ini semestinya urusan transportasi kampung.

Tapi, urusan transportasi kampung tak punya dana


untuk itu.

Siapa yang mesti memberi dana?

Bendahara.

Aduh, seumur-umur yang ada, bendahara juga tak


punya dana untuk itu.

Loh pak kepala kampung bagaimana?

Pak kepala kampung juga tak punya dana.

Jadi?

Percakapan itu pun berhenti sampai di situ. Memang,


selama ini mereka abai terhadap kondisi jalan-jalan yang
menghubungkan kampung mereka dengan kampung-
kampung yang lain. Padahal, kampung mereka jauh
berada di pelosok. Tak ada angkutan umum yang
beroperasi. Sedangkan, untuk jalan kaki, dibutuhkan
waktu kurang lebih tiga-hari dua-malam. Untuk naik
motor minta ampun susahnya. Dan seminggu ke depan,
semua penduduk kampung pun bergotong-royong
memperbaiki jalan-jalan yang mengarah ke luar
kampung itu. Tanda-tanda arah jalan diperjelas.
Penerangan ditambahi. Dan atas usaha pak kepala
kampung, mesin diesel pun didatangkan lagi. Dan
menurut pak kepala kampung juga, sekian tahun ke
depan, akan diusahakan, bagaimana jaringan listrik dapat
merambah kampung mereka.

Nah, kini kita mesti membikin rapat pembentukan


panitia, kata pak kepala kampung ketika urusan gotong-
royong memperbaiki jalan-jalan selesai.

Rapat pembentukan panitia?

Ya, rapat pembentukan panitia penerimaan jaringan


listrik, tandas pak kepala kampung.

Dan untuk lebih baiknya, kita undang juga orang yang


tak bisa berbohong itu, sahut seseorang.

Maka, empat hari kemudian rapat panitia itu digelar di


balai kampung. Rapat itu begitu meriah. Usulan-usulan
pun dilontarkan. Lalu, setelah rapat hampir selesai,
barulah Dia, orang yang tak bisa berbohong itu,
dipersilakan memberikan masukannya.
Saudara-saudara, selanjutnya, mari kita sambut orang
yang tak bisa berbohong.

Akurrr!

Dan Dia pun maju. Tatapannya biasa-biasa. Lagak-


lagunya juga biasa-biasa. Tepat di podium, Dia ngomong
begini: Selamat atas terbentuknya panitia. Saya cuma
berharap, kampung kita tetap aman-aman. Sebab,
semakin kampung terang, nanti akan semakin banyak
uang yang hilang. Byar! Orang-orang yang mendengar
pun ribut. Kasak-kusuk. Bahkan ada yang mulai
gremang-gremeng. Tak percaya, jika Dia, yang dianggap
tak bisa berbohong itu, akan ngomong seperti itu.
Dengan kata lain, jika nanti kampung sudah terang, maka
akan banyak uang yang hilang. Dan itu tentunya, akan
banyak pencuri yang berseliweran. Mungkin-mungkin,
salah-satunya adalah diri mereka sendiri yang dituduh
pencuri. Gila!

Ya, itu omongan gila.

Tak masuk akal!

Dia sudah meracau!


Kemarin Dia membela Gondo, karena jalan-jalan yang
mengarah ke luar kampung gelap!

Kini, ketika mau diterangkan, malah memutar-balikkan


fakta!

Sudah, jangan lagi dipercaya!

Turunkan Dia!

Turunkan cepat!

Dan Dia pun diturunkan dengan paksa dari podium.


Meski pak kepala kampung mencoba menengahi, tapi
orang-orang sudah tak mau percaya. Seperti angin
gunung yang gesit, Dia pun dihentakkan. Dia
terjerembab. Tersungkur. Dan sejak itu, sejak panitia
penerimaan jaringan listrik bekerja, Dia dilupakan.
Rasanya, setiap orang yang ada di kampung, sudah tak
mau lagi menerima keberadaannya. Dia ada atau tak ada,
dianggap tak ada. Sampai listrik benar-benar merambah
ke kampung. Sampai nama kampung mereka, Kampung
Siang Hari diganti menjadi Kampung Terang Benderang.

Kampung yang mudah untuk didatangi kapan pun dan


oleh siapa pun. Dan kampung, yang entah kenapa, mulai
terlanda kabar, bahwa ada dari penduduknya (yang
kebetulan duduk di jajaran panitia penerimaan listrik),
telah menyalahgunakan sebagian dana yang ada. Akh,
orang-orang pun kaget. Terus teringat pada omongan
Dia, orang yang tak bisa berbohong itu, saat di podium
dulu. Tapi sayangnya, rasa malu orang-orang telah begitu
tebal. Sehingga, tetap saja mencuekkan Dia. Sampai kini.

Mardi Luhung: Lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret


1965. Puisinya tersebar di sejumlah media. Buku puisi
tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita
yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang
Kelabu (2007), Buwun (2010), Belajar Bersepeda
(2012), Musim, Jarum dan Baskom (2015), dan Teras
Mardi (2015). Tahun 2010 mendapatkan anugerah
Khatulistiwa Literary Award. Kumpulan cerpen
pertamanya, Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011).
Gegasi Dalam Cerita Kakek

ANAK kecil harus tidur cepat. Kalau tidak, nanti


dimakan gegasi. Begitu kata kakekku saban malam.

JADI kita tidak boleh keluar malam hari ya, Kek? Kalau
aku mau lihat bola di langit, Kek? Bolanya terang sekali.
Bola itu cuma ada malam hari, Kek. Boleh, Kek?

Kakek tersenyum. Tatapannya lekat. Itu bukan bola,


cucuku. Ia merangkulku lalu memapahku ke kamar.
Tidak baik lama-lama di luar. Nanti dimakan gegasi.

Ini bukan kali pertama kakek menyebut nama gegasi agar


aku segera tidur. Pernah suatu kali, di saat aku sedang
bermain bersama teman-temanku di halaman rumah,
kakek menghardikku. Katanya, kalau aku tidak segera
masuk dan tidur, gegasi akan memakanku. Di kali yang
lain, ketika aku sedang tidak bisa tidur, kakek juga
mengatakan, gegasi akan datang dan menelanku bulat-
bulat.
Kenapa gegasi suka makan orang, Kek?

Gegasi itu senang makan anak kecil. Cuci kaki dulu.


Nanti kakek ceritakan tentang gegasi.

Inilah yang kutunggu, cerita tentang gegasi. Hampir


setiap malam, sejak ayah dan mak meninggal, hanya
kakek yang menemani malamku. Ia mencucikan kakiku
setiap sebelum tidur. Kadang, kakek juga yang ceboki
pantatku. Hampir saban malam pula, kakek kerap
mendongengkan hikayat-hikayat di kampung kami.
Kakek bercerita hingga aku terlelap. Cerita yang paling
kuingat, Banta Ahmat, Malem Diwa, dan Buluh Perindu.
Kata kakek, Banta Ahmat seorang anak yang sakti. Tapi,
Malem Diwa lebih sakti lagi. Namun, berulang kali aku
minta kakek bercerita tentang gegasi, setiap kali pula
kakek tidak mau. Alasan kakek, nanti gegasi benar-benar
datang dan merusak rumah kami, lalu mengisap darah
dari ubun-ubunku dan menelanku bulat-bulat.

Kakek, gegasi itu siapa? Ayo cerita tentang gegasi, Kek.


Apa bola di langit itu bisa dimakan gegasi juga?
tanyaku sambil menarik selimut.
Kakek kembali tersenyum. Itu bukan bola, cucuku, tapi
bulan. B-U-L-A-N. Bulan.

Bulan? Apa itu, Kek?

Hmm . Begini, setiap orang yang sudah meninggal,


rohnya dibawa ke bulan. Trus.

Ayah dan mak di bulan juga Kek?

Kakek diam. Tangannya mulai menggulung tembakau


dengan daun nipah. Entah berapa lama sudah kakek
mengisap rokok daun nipah itu. Kulihat tangannya sangat
terampil membalut tembakau dengan daun nipah. Dalam
sedetik, rokok daun nipah itu sudah berada di bibir
kakek.

Kek, kalau aku mati nanti, apa dibawa ke bulan juga?


Aku bisa jumpa ayah dan mak di sana?

Iya, ayah, mak, nenek, semua sudah berkumpul di


bulan. Nanti, kau dan kakek juga akan sampai ke bulan.
Sekarang mari tidur.

Kakek belum bercerita malam ini. Kakek bilang mau


cerita tentang gegasi.
Malam sudah larut. Besok malam kakek ceritakan ya.

Kakek mengusap lembut ubun-ubunku. Ia pandangi


mataku. Matanya bercahaya. Mulai tiga tahun lalu, sejak
ayah mati ditembak orang tidak dikenal, disusul mak tiga
bulan kemudian karena sakit-sakitan sejak menyaksikan
kematian ayahbegitu cerita kakek padakukakeklah
yang menggantikan posisi ayah dan mak. Kakek bekerja
di rumah-rumah orang kaya kampung kami dan kampung
tetangga. Kata kakek, siang ia bekerja. Malamnya, baru
ia kembali ke rumah-rumah orang kaya itu untuk
mengambil upah.

Orang kaya itu baru pulang ke rumahnya saat malam.


Siang hari mereka ke kantor, ujar kakek.

Kek, malam ini kakek ke rumah orang kaya lagi?


Bagaimana nanti kalau kakek jumpa gegasi di jalan. Aku
tak mau kehilangan kakek.

Kakek tertawa kecil. Lagi-lagi ia menjelaskan, gegasi


hanya suka pada anak kecil, bukan orang tua. Apalagi
orang yang sudah keriput seperti kakek ini, gegasi tidak
suka. Darah orang tua itu tidak sesegar darah anak kecil.
Aku bergidik membayangkan gegasi muncul di
hadapanku, mematahkan tangan dan kakiku, mengisap
darah dari ubun-ubunku, lalu menelanku bulat-bulat
seperti kata kakek. Segera aku sembunyi di balik selimut.

Akhir-akhir ini banyak orang mengatakan gegasi sering


muncul di kampung kami. Tapi, gegasi yang diceritakan
orang kampung tidak memakan anak kecil. Ia hanya
masuk rumah-rumah orang, mengambil emas dan barang
berharga lainnya. Lalu gegasi itu pergi entah ke mana.

Beberapa saat kupejamkan mata, aku ingat bulan.


Kubuka kembali mataku. Kutarik tangan kakek. Bulan
hanya tempat orang baik ya Kek? Berarti gegasi tidak
ada di bulan?

Kamu benar, sahut kakek sambil membetulkan


selimutku.

Kek, apa bulan mau turun ke rumah kita?

Kalau bulan turun ke rumah kita, gegasi bisa datang ke


sini. Semua orang kampung juga akan datang dan
mengobrak-abrik rumah kita untuk mengambil bulan.
Rumah kita bisa roboh. Sudahlah, ada-ada saja kamu.
Baca doa sebelum tidur supaya jangan diganggu gegasi.

O rumah-rumah yang roboh itu karena bulan turun ke


sana ya, Kek? Jangan-jangan Gegasi itu mencuri karena
disangkanya di rumah orang-orang kaya itu ada bulan.

Kakek terkekeh. Rumah di seberang sana dibongkar


bukan karena bulan, tapi karena kebijakan pemerintah.

Pemerintah? Jadi pemerintah yang bongkar rumah


Amin, Dedi, Juli? Sekarang kawan-kawanku tidak punya
rumah lagi, Kek. Pemerintah itu jahat ya, Kek?
Pemerintah itu seperti gegasi.

Sudah sudah, nanti kalau sudah besar, kau pasti


mengerti. Pejamkan mata. Janjinya tadi apa? Mau tidur
cepat kan? Atau kakek panggil gegasi?

***

Malam ini cahaya dari langit bersinar sangat terang.


Sinarnya melebihi malam kemarin. Jalanan kampung
kami yang biasanya gelap, malam ini terlihat sangat
jelas. Rumput-rumput di pinggir parit tepi jalan pun
memancarkan kemilau. Di daun keladi, cahaya itu
memantul seperti cahaya di ekor kunang-kunang.
Kek, aku main dengan teman-teman sebentar ya?
pintaku sembari menyusul teman-teman berlarian, tanpa
menghiraukan suara kakek melarangku.

Aku dan teman-teman berputar-putar di halaman rumah,


mendekati daun keladi dan mencoba menangkap
pantulan cahaya dari langit. Kami mengikuti anak-anak
lain yang berlarian sepanjang jalan kampung. Kami
menelentangkan tangan seolah-olah menangkap cahaya
dari langit. Aku terus berlari. Berlari dan lari. Tanpa
kusadari, aku sudah jauh meninggalkan rumah. Aku
sudah berada di pengujung jalan perbatasan kampung
kami dengan kampung tetangga. Di sana orang-orang
semakin ramai.

Malam ini purnama sangat indah! Entah siapa yang


mengucapkan kata-kata itu dari keramaian.

Di ujung lorong tiba-tiba terdengar suara sangat gaduh.


Ada maki-makian juga. Mereka memekik gemas.

Bakar! Bakar!

Lemparkan saja ke sungai!

Bunuh! Cincang tubuhnya biar binatang buas memakan


tubuh manusia bejat itu!

Dia . Pasti dia gegasi yang selama ini menakut-nakuti


kita!

Bunuh Gegasi ini! Bunuh! Bunuh!

Ganyang!

Aku dan teman-teman mendekati kerumunan. Sayup-


sayup terlihat sesosok tubuh dihujani pukulan dan
tendangan beramai-ramai. Ada yang melemparinya
dengan batu. Semua orang memaki. Semua orang
melempari. Ada yang menyepak tubuh tak berdaya itu.
Ada yang menendang di bagian perut, di bagian kepala,
dan kaki.

Pak Pak? sapaku pada seorang lelaki dewasa.

Kamu anak kecil, jangan dekat-dekat. Itu gegasi. Dia


yang meresahkan kampung kita selama ini, sergahnya.

Penjelasan lelaki itu membuatku semakin penasaran. Aku


ingin sekali melihat wajah gegasi yang asli, apakah
seperti yang diceritakan kakek? Bagaimana dia bisa
tertangkap? Aku mendekati kerumunan itu.
Menyelinapkan tubuhku di antara desakan orang-orang.
Belum sempat aku menembus desakan, kudengar dua
lelaki lainnya bercerita tentang gegasi itu.

Tadinya setelah masuk rumah Pak Mahmud, gegasi itu


mau melarikan diri, tapi terlihat salah seorang penduduk.
Dia lari dan sembunyi di bawah jembatan. Untung bulan
bersinar terang malam ini. Mampus gegasi itu sekarang!
kata seorang lelaki.

O, itu gegasi yang selama ini menakuti anak-anak?


Nekat dia ya?

Kasihan dia, kata lelaki lain lagi.

Gegasi itu tidak pantas dikasihani! Biar dia mampus.


Beruntung sekali kita malam ini ada bulan purnama.

Puas menghujani tendangan dan pukulan pada si gegasi,


satu per satu penduduk meninggalkan tempat itu. Terlihat
olehku sesosok lelaki terkulai tak berdaya. Aku
mendekat. Benar kata orang-orang tadi, gegasi ini sudah
tua.

Kuamati darah berceceran di sekitarnya. Walau gemetar,


aku dan beberapa anak-anak sebayaku mendekati sosok
tersebut. Satu dua mereka ada yang mundur ketakutan.
Namun, ada juga yang memainkan gegasi yang sudah tak
berdaya itu. Mereka mencolek-colek tubuh gegasi itu
dengan kayu kecil. Saat seorang anak membalikkan
wajah tak berdaya itu dengan kayu di tangannya, aku
tersentak. Jantungku serasa copot. Aliran darahku nyaris
berhenti.

Aku menangis menatap gegasi itu. Teman-teman melihat


ke arahku. Mereka melongo. Aku terus menangis sambil
melihat tubuh berlumur darah itu. Darahnya berkilau-
kilau ditimpa cahaya bulan. Kulihat ke langit. Sinar
sebesar talam perlahan ditutup awan. Mendadak aku
benci sinar itu. Aku benci bulan. Aku benci malam.

Kakekku bukan gegasi!

Herman RN, lahir April 1983. Menulis cerpen, puisi,


esai, dan resensi. Meraih penghargaan sastra dari Balai
Bahasa Aceh (2009)
Saat Maut Datang
Menjemput

AKU tahu, di tiap sakit itu, tak siapa pun di situ.


Kesendirian, kadangkala juga sebuah kesunyian,
memang adalah watak sakit yang sebenarnya. Tapi tidak
kali ini. Sakit ini, rasa sakit yang ada sekarang ini,
bahkan aku pun tidak di sini. Entah kenapa. Aku belum
paham, apakah ini hikmah atau jati diri sakit yang
sesungguhnya. Yang melampaui kesadaran biologis
bahkan kepekaan psikologisku. Ah akuaku
sesungguhnya tidak cemas pada sakit ini atau itu, aku
juga tidak peduli ini watak atau jati diri sakit yang
sesungguhnya atau bukan. Apa yang kucemaskan
hanyalah kesadaran dan kepekaan itu. Adakah aku masih
memilikinya?

Aku mencoba paham, jangan-jangan aku sudah


mengatasi sakit itu, atau ini keadaan yang meng-atas-
i sakit ini? Aku mencoba sekuatnya untuk merasakan,
menghayati, sebagaimana biasanya sakit semacam ini
datang padaku. Tapi aneh, bahkan ajaib, untuk pertama
kali aku tidak bisa mempekerjakan kesadaran fisiologis
juga kepekaan psikologisku. Akal? Sejak mula
sebenarnya sudah tidak bekerja. Ia berhenti dengan
sendirinya. Ia bukan lagi sentrum atau pusat di mana
seluruh kapasitas berbicara tubuh dan perasaanku
ditentukan. Akal adalah bagian yang lebih cepat mati.

Mati? Jangan-jangan tak hanya akalku. Menurut ukuran


medis di Amerika Serikat yang kutahu, kematian
(biologis setidaknya) ditentukan oleh daya kerja otak,
sebagai bagian paling sentral dari kehidupan (yang
mereka percaya, tentu saja). Sebagai orang yang bukan-
Amerika, sekurangnya menolak menjadi bagian dari
sejarah peradaban mereka, aku tidak begitu peduli atau
tergantung pada otak alias akal. Aku hidup dengan
mengoperasikan secara lebih kuat daya kerja fisik dan
mental-emosional. Katakanlah secara sempit dan
reduktif, refleks dan rasa.

Begitupun kali ini, di tingkat sakit ini. Seluruh daya


kukerahkan untuk mempekerjakan kekuatan, ilmu hingga
kesadaran biologis dan psikisku. Namun sekian lama,
sekian waktu yang kuanggap lebih dari cukup, aku tak
merasakan apa-apa, tak menyadari apa-apa. Apa tubuh
dan emosiku sudah tidak bekerja lagi? Atau ia mati
akibat kematian otakku? Tidak. Tubuh dan emosi adalah
ilmu dan kesadaran, budaya dan peradaban tersendiri,
kadang lebih kuat dari akal.

Tapi kini keduanya diam, sunyi sendiri. Apakah mereka


pun mati? Apa artinya sesungguhnya sakit ini adalah
mati yang sejati? Namun mengapa aku masih bisa
melihat? Dengan penglihatan apa, dengan mata yang
mana? Memang, pemandangan yang kulihat berbeda dari
biasa. Langit, awan dan bintang misalnya nampak hanya
sebagai kejembaran atau keluasan yang tak
membutuhkan tepi bahkan isi. Kekosongan ini
memenuhi pandang, bahkan mataku. Bahkan seluruh
diriku kini seakan menjadi mata. Mata apa ini? Mataku
yang mana? Mata siapa?

Kosong ini memadati aku seperti tenaga yang terus


mengumpul tiada henti, dengan daya atau kekuatan tak
terperi. Aku seperti noktah dengan gravitasi terbesar
yang segera akan menciptakan bang, semacam ledakan
yang sangat hebat. Seperti ereksi yang tak mungkin
ditahan oleh kejadian atau perasaan apa pun. Beginikah
kematian, puncak semua kesakitan, melenyapkan
keseluruhan diri dengan ledakan besar untuk mengisi
kosong yang penuh ini? Bagaimana aku sanggup
menanggungnya? Tidaktidak aku tak sanggup, Tuhan.

Memangbagaimana kau sanggup? Kau cuma


manusiacuma.

Betul. Apa daya manusia di keluasan, kepenuhan


semesta.

Kamu bukan apa-apa

Betul aku bukan apa-apa.

Lalu, aku apa?

Kamu sekadar mata.

Mata? Maksudmu?

Kamu hanya penglihatan. Hanya bisa melihat. Mungkin


memahami, sedikit. Tapi tak bisa
menyentuhmerasakan, memilikimenciptakan,
apalagi.

Ohbetul. Tapi mata ini saja sudah begitu luar biasa.


Hingga apa yang kulihat tak mampu menangkapnya,
menyimpan atau mencernanya. Tak ada sel otak
manapun, bahkan kata, huruf sekalipun dapat tersusun
untuk memahami semuasemua yang ada pada mataku
saat ini.

Inilah kenyataan kedua. Kenyataan yang harus kau


baca.

Harus kubaca? Melihat pun aku tak bisa seluruhnya.

Apa kamu beragama?

Tentu saja.

Pernahkah kau membaca kitab-kitab dalam agamamu?

Tentu.

Untuk apa?

Kewajiban.

Apa tujuannya?
Yamemahami, isinya.

Pahamkah kamu?

.Saya tak tahu, tak bisa menilai.

Apa sebenarnya paham itu?

Aku tak mengerti maksudmu?

Paham itu bukan melulu mengerti arti, tersirat atau


tersurat.

Bukan sesuatu yang teranalisa, tersimpan dan tercerna


dalam 1.300 cc isi otakmu. Bukan hal yang melulu akal.

Maksudmu

Huruf terlalu terbatas dan miskin, bagi paham yang


sebenarnya. Bagi kenyataan yang terlalu besar untuk
tertangkap dan dicerna indera. Seluas apa pun akal dan
imajinasi, ia hanya sungai di samudera hidup
sesungguhnya.

Sesungguhnya paham harus terjadi di seluruh bagian


dirimu.

Bukan hanya pikiran?

Jantung, jempol, mata, rambut, tungkai, usus, batin,


emosi, semua.

Bagaimana?

Pertanyaannya keliru. Jawaban pasti juga salah.


Berhentilah hidup hanya dengan akal. Tubuhmu terlalu
hebat hanya untuk diperintah, diakali akal.

Sungguhaku tak paham.

Keluarlah dari huruf. Temui kenyataan dan hidupmu


sebenarnya, dengan seluruh yang ada dalam dirimu.
Dapatkanlah ilmu dalam jiwamu, dalam batinmu, dalam
betismu, dalam jakunmu, gigimu, dalam langkahmu

Bagaimanabisa?

Tidak akan bisa. Karena kamu sudah terjebak sejak dini.


Dalam huruf.

Tapi tulisan, itulah kebudayaan, kemajuan manusia,


hidup sebenarnya?

Kebudayaan yang membuat keliru manusia, begitu


lama. Bibir misteri itu tersenyum, membuat langit
terbuka dan seperti sebuah mata mengintip di baliknya.

Hah? Jadi

Jadilah mata sesungguhnya, untuk membaca

Membaca apa? Melihat pun tak bisa.

Karena kau merasa ini matamu yang dulu, mata yang


biasa, di kepala.

Maksudmuini mata yang lain lagi? Mata hati begitu?

Mata seluruh dirimu.

Diri yang menjadi mata?

Mata sebenarnya mata?

Mata yang melihat nyata yang sebenarnya nyata?

Tersenyum lagi.

Kali ini langit lenyap. Semesta kosong, suwung. Aku tak


dimana, tapi di sana. Semua senyum semata.

***
SEJAK tadi, ya sejak tadi, aku berdialog. Begitu saja.
Tanpa kesadaran, seperti dengan diri sendiri, seperti
mimpi yang menguap. Begitu saja. Tapiyang ini,
bukan mimpi. Di depan mataku kini muncul satu wajah.
Bukan ilusi atau fana. Nyata sebenarnya nyata. Wanita
pula. Wanita yang tersenyum. Ya, senyum yang tadi.
Senyum yang seperti ironik, mengejek, juga senang dan
bahagia karena jawaban-jawaban terakhirku tadi?
Monalisa?

Bukan. Ia lebih sempurna, jauh lebih indah, terlebih


kedalaman samudera di balik pandangannya. Ia
memandangku dengan cara yang membuatmu tak
berdaya karena ia memenuhi seluruh kosong yang
sebelumnya memadatiku. Sinar matanya seperti riwayat
jutaan tahun peradaban manusia, menukik ke bagian
terdalam hati, merenggut dan menenggelamkanku, untuk
selamanya. Untuk selamanya.

Mengapa? Karena aku merasa seperti mendapat bantalan


tidur yang tidak memberi sedikit pun rasa ingin untuk
bangun. Aku henyak, seperti duduk di pelaminan Adam.

Apa kamu Eva?


Aku adalah semua hawa yang kau butuhkan untuk
kosongmu.

Ahkalimat itu diakhiri oleh nafas yang


menghembuskan udara dimana molekul-molekul
penyusunnya bukan hanya menghidupkan makhluk, tapi
juga benda mati. Inilah nafas Kun, benih yang
menghidupkan. Begitu pun aku. Barang mati karena sakit
ini.

Dan apa yang dilakukan wanita sepenuh semesta di


hadapanku ini selanjutnya, adalah mimpi semua lelaki
dari masa paling purba. Termasuk, tentu saja, penderitaan
lelaki yang sepanjang sejarah kebudayaannya sambil
berurai airmata harus menindas perempuan karena
inferioritasnya di hadapan perempuan. Wanita ini
membebaskanku. Menjadikanku lelaki sesungguhnya
lelaki, memberi rasa bangga dan penghormatan
sesungguhnya. Menjadi manusia sempurna dalam
inferioritasnya.

Ia meladeniku jauh lebih baik dari cara terbaikku untuk


meladeninya. Ia mengasihiku jauh lebih indah ketimbang
cinta termulia yang kurasa dapat kuberikan padanya. Ia
melengkapi semua yang kosong seperti melesapnya air
ke celah rendah manapun yang ia lewati. Tanpa pamrih,
apalagi prasangka. Aku sungguh merasa menjadi lebih
manusia, manusia-sempurna ketika ia membiarkanku
membaca, mengenali dan memahaminya lebih dalam.

Ternyata kamu ada memang untuk menjadi bacaan


terbaikku.

Ia tersenyum.

Menjadi pintu terbaik atau bahkan satu-satunya untuk


memahami makna dari semesta tak terkatakan ini.

Ia memeluk.

Evakamu bukan hanya potongan yang melengkapi,


tapi memang kesempurnaan Itu sendiri.

Ia mencium.

Evatetaplah di sini. Selamanya. Atau kau akan


membuatku jadi puing hina, sia-sia.

Ia menggeluti seluruh inci dan saat hidupku,


menciptakan kenyamanan yang bahkan nyawa tak
mampu membayarnya. Aku tak kuat menahan airmata
untuk kebahagiaan surgawi ini. Evakaulah surga
sesungguhnya. Aku tak membutuhkan lagi apel, buah apa
pun, pohon apa pun, karena kau pohon dan buah itu yang
sebenarnya. Tolong, jangan renggut dirimu dariku,
renggut aku dalam dirimu.

Ya Tuhan, mengapa Kau memberi nikmat yang begitu


berlebih ini. Janganjangan, Tuhan. Janganlah berlebih
begini, karena pasti aku tak mampu menanggung bayi
yang pasti lahir dari surga yang kumiliki ini, yakni bayi
kecemasan. Cemas karena Kaulah yang menghadirkan
dan meluputkan surgaEva, wanita bagi semua Adam
ini.

Evakamu dengar itu?

Hmmia memagutku.

Eva, dengar. Dengar ketakutanku itu?

Hmmhhia merasuk ke seluruh celah kenikmatan dan


menutup seluruh pandang.

Evaehhjangan kamu pergiok?

Ia tak bersuara, seperti kebisuan perempuan mencipta


peradaban manusia pada intinya.
Evaehhh

Ehhhehhhh.

Ya Tuhan, maafmaaf, tak mampu aku menanggung


kebahagiaan seperti ini. Pluk Ada tetes, ya airmata
yang jatuh. Tapi bukan punyaku.

Eva

Pluk

Kamu menangis?

Langit basah, semesta pun samudera airmata.

Mengapamengapa menangis?

Ia hanya bisu. Tapi matanya seperti dulu. Dengan laut


yang lebih dalam, sehingga tak ada malaikat maupun
iblis mampu menjangkaunya. Eva.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Dengan muka yang


kuyupentah sedih atau gembira seperti terlukis di
bibirnyawanita segala nabi itu seperti gambar yang
merabun menjelang magrib tiba. Menjauh.
Mengapamengapa Eva?

Ia tetap menjauh. Tangan tak menggapai, jiwa pun tak


sampai. Kecemasan itu bertamu selekas dan sekuat
kepergian itu. Apa yang terjadi?

Mengapamengapa, Tuhan?

Aku ingin berteriak. Tapi Eva seperti lenyap juga sebagai


nama. Berganti ketakutan yang datang seperti kepepatan
dimana satu elemen udara pun tak tercipta untuk
menghasilkan nafas. Semua terasa menghimpit dan
sesak. Bahkan airmata tak tersisa. Hanya sakit. Ya rasa
sakit itu. Sakit ini pun bersatu.

Tuhan.

***

Gelap.

Dengan putus asa atau frustrasi yang begitu genap, aku


memejamkan mata. Menghilang pandang. Aku ingin
buta. Aku buta. Aku tak perlu mata. Betapa hikmah besar
itu tak tertanggungkan dalam kekerdilan manusiaku.
Gelapcuma gelap yang kita rasa mampu menghindari
kita dari cemas dan takut yang luar biasa.
Namun kau pun paham. Itu sia-sia, tipudaya percuma.
Gelap justru mendatangkan cemas yang memalu hatiku
kian pilu. Tuhan, betapa sakitnya. Betapa sunyi dan
sendirinya, sakit seperti ini. Kenapa gelap tak mampu
menutupinya, kenapa cahaya juga tak kuasa
mengusirnya. Tuhan, apa mesti kuperbuat? Masihkah aku
membutuhkan mata. Mata mana lagi?

Bukalah matamu, Adam.

Hei bukalah matamu!

?!! Eva?

Eva siapa? Buka matamu, jangan bersandiwara lagi.


Eva siapa?

Plak!

Aku merasakan sakit, kali ini di pipi. Pipi?

Plak, plak!

Ya, pipiku terasa perih, sakit bener, sehingga seperti


refleks aku membuka mata.

Apa yang kamu pikirkan, lamunkan? Perempuan itu


lagi? Eva sekarang, namanya?

Sekarang aku benar membuka mata, memandang. Dan


sebuah pandangan di depan menghadang. Pandangan
kenyataan: seorang perempuan hampir empat puluhan,
dengan tubuh yang coba ia pelihara dengan baik. Tegak
di depanku, dengan mata tajam, berupaya lebih tajam
dari pisau Swiss, tapi tak berhasil karena keluar negeri
manapun ia tak pernah.

Ya, aku kenali sekali siapa yang menghadang pandangku


itu. Dia perempuan yang puluhan tahun ini bersamaku.
Istri, istilah umumnya orang. Perempuan yang sudah
memberi empat anak, dan menurut dia, membantuku
untuk mendapatkan jabatan sebagai general manager di
perusahaan exim tempatku bekerja sekarang.

Ia sungguh memandangku dengan serius, dan sinarnya


seperti cahaya LED TV terbaruku, atau suratkabar, atau
buku sejarah yang mengisahkan sejarah perempuan
dengan riwayat-riwayat dahsyat tapi mengalami
penindasan permanen oleh kebudayaan yang menurut
mereka diciptakan lelaki. Dan aku adalah kumpeni yang
dilawan habis-habisan oleh keadaban padat dendam itu.
Dik

Tidak perlu dakdik dakdikaku mau kamu jawab jujur


sajasiapa Eva?

Aku gak tahu, Dikgak ngerti.

Plak!!

Dik!

Bibir perempuan itu tidak perlu monyong untuk


cemberut atau marah. Tapi monyongnya itu, yang ia
sebut seksi, memang menjadi penggoda banyak pria saat
aku dulu coba memacarinya. Aku sukses. Ya menikahi
dia. Menikahi sejarah masa depan yang hampir
membuatku menyesal menjadi lelaki.

Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti


animasi yang berulang, suara berdebam yang melewati
tiga dinding tetangga akan menjadi musik pembuka saat
ia membanting pintu kamar tidur. Lalu seharian ia tidak
keluar. Dan keluar beberapa lama setelah aku keluar
rumah menjalani general managerku.

Bila aku tidak bisa memberi jawaban memuaskan


mengenai siapa Eva, tragik masa depan itu terjadi lagi,
jadi semacam tradisi. Aku bangun menjelang subuh,
bebenah sendiri, membuat sarapan sendiri, makan
sendiri, melap mobil sendiri, memanaskannya, dan
berangkat sendiri, tanpa satu pun bisa kusalami.

Sampai bila? Siapa bisa menerka. Karena hingga bila aku


bisa menjawab pertanyaan absurd itu: siapa Eva? Aku
memang tak mengenalnya. Tahu atau ingat pun tak.
Hanya seolah ia bayangan yang sangat buram yang
pernah menjadi bagian ingatan dari kulit, daging, kepala,
hingga mataku. Tapi siapa?

Sesungguhnya aku tidak berani mengorek lebih dalam


lagi. Memang masih ada getar aneh yang membuat
kudukku meremang, seperti saat aku melihat Jennifer
Lawrence berakting atau Adele bernyanyi. Hanya ada
satu perasaan gelap sembunyi di situ, ketakutan
mengerikan yang tak mampu aku tanggungkan. Apa?
Siapa? Mautkah jangan-jangan itu?

Aku tak berani spekulasi lebih jauh. Saat makan siang


tiba. Aku membuka tas dan mengeluarkan kotak plastik
dimana udapan yang kumasak sendiri menjadi pengisi
lunch time-ku. Di meja general manager ini. Sendiri.
Radhar Panca Dahana, terpilih sebagai Tokoh Budaya
dari Badan Bahasa, Kemendikbud RI serta dianugerahi
harian Kompas, Cendekiawan Berdedikasi. Buku-
bukunya, Teater dalam Tiga Dunia (2013, Jakarta:
Kemendikbud), dan Manusia Istana (2015, Yogya:
Bentang Pustaka), dan Kebudayaan dalam Politik: Kritik
pada Demokrasi (2015, Jakarta: Penerbit Mizan)
Bukit Cahaya

PADA usia lima tahun, sebagaimana lelaki-lelaki kecil


penggemar perkelahian yang lain, kau membayangkan
malaikat adalah semut yang mampu menghajar seekor
gajah. Tak lama kemudian kau juga membayangkan ia
sebagai ulat yang bisa melahap gunung dalam sekali
telan. Kau tidak pernah menyangka bisa saja bocah lain
menggambarkan malaikat sebagai siput yang memangsa
Adam dan Hawa yang sedang tidur lelap. Saat itu kau
tidak menangis ketika seorang guru berbisik, Malaikat
itu mirip kuda terbang yang melesat ke langit dan tak
pernah kembali.

Pada usia tujuh tahun, setelah mempelajari pendidikan


agama dan mendengarkan aneka dongeng, kau ingin
sekali menjadi pengendara kuda terbang. Kau pun
mencari satwa lucu itu di hutan tak jauh dari perdesaan.
Kau tidak menemukan kuda terbang di hutan itu. Setelah
dua jam berjalan tak tentu arah, kau malah bertemu
dengan perempuan kecil seusiamu.

Namaku Hujan, kata perempuan kecil itu.

Namaku Rinai, katamu, Aku ingin mengendarai kuda


terbang. Aku juga ingin mencari cahaya bersama
malaikat. Di desaku sudah tak ada lagi cahaya. Apakah
kau tahu di mana cahaya disembunyikan?

Tentu saja di Bukit Cahaya, perempuan kecil itu


menjawab.

Aku tak melihat ada bukit di hutan ini.

Kau harus mencari dua hari ke arah barat untuk


mendapatkan bukit itu. Pada hari pertama kau akan
bertemu dengan sungai jernih dan sepasang kijang.
Setengah hari kemudian kau akan bertemu dengan
perempuan buta. Setelah itu kau baru bertemu dengan
petapa penjaga bukit. Petapa itu yang akan menunjukkan
di gua mana cahaya itu disembunyikan.

Apakah kau mau menemaniku mencari bukit itu?

Aku tidak bisa menemanimu. Aku harus segera kembali


ke rumahku.
Di mana rumahmu?

Di dalam salah satu telur yang bertebaran di pantai.

Di dalam telur? Telur raksasa?

Perempuan kecil itu tidak menjawab pertanyaanmu. Ia


merasa kau telah bertanya sebagai pria bongkok yang
teramat tua.

***

AKU akan meminta kupu-kupuku menemanimu, kata


perempuan kecil itu sambil merogoh saku, Naiklah ke
punggungnya. Segeralah melesat ke Bukit Cahaya.

Kau ragu-ragu. Kau merasa tak mungkin bisa berada di


punggung kupu-kupu.

Ayo, jangan sampai terlambat!

Kau kemudian melompat ke punggung kupu-kupu itu.


Kau kaget karena tiba-tiba sudah berada di punggung
satwa indah itu. Kau tidak berani mempersoalkan apakah
kau yang mengecil atau kupu-kupu yang berubah
menjadi raksasa.

Mengapa kau ingin mencari cahaya? kupu-kupu


bertanya kepadamu.

Karena tanpa cahaya aku tidak bisa menggambar semut


yang menghajar seekor gajah di hutan yang jauh dan
terpencil.

Semut menghajar gajah?

Ya. Aku juga tidak bisa menggambar ulat yang menelan


gunung jika tidak ada cahaya.

Kupu-kupu terdiam. Satu pertanyaan lagi terlontar akan


membuat ia seperti satwa tua yang hampir mati.

***

PETUALANGANMU dengan kupu-kupu Bukit Cahaya


bukanlah perjalanan mudah. Kadang-kadang kalian
hampir ditabrak koloni burung yang sedang mencari raja
mereka. Kadang-kadang kalian hendak bertabrakan
dengan pecahan meteor. Kadang kalian dihantam badai
atau pecahan benda-benda angkasa.

Apakah kau takut? kau bertanya kepada kupu-kupu.

Apa yang harus ditakutkan? kupu-kupu balik bertanya.

Apakah jika benda-benda angkasa itu menabrakmu,


sayap-sayapmu tidak akan rusak? Apakah pecahan
meteor tak membakar sayapmu?

Sayapku tak pernah rusak. Sayapku tak pernah


terbakar.

Kalau begitu apakah kau bersaudara dengan malaikat?

Apakah menurutmu malaikat tak pernah terbakar?

Tentu saja tidak pernah.

Ah, kau masih terlalu kecil untuk tahu segala yang


terjadi di seluruh semesta.

Apakah kau tahu segala yang terjadi?

Kupu-kupu itu tidak mau menjawab pertanyaanmu. Ia


menganggap dalam sekejap kau telah menjadi pria
konyol berusia 79 tahun.

***

TENTU saja kau tetap berusia tujuh tahun ketika kupu-


kupu itu makin mengajakmu meninggalkan hutan.
Meninggalkan pohon-pohon. Meninggalkan bunga-
bunga berduri. Meninggalkan ular-ular dan danau kecil.

Apakah kau tahu siapa perempuan kecil yang


memintamu terbang bersamaku? tiba-tiba kupu-kupu itu
melontarkan pertanyaan tak terduga.

Sama sekali tidak tahu.

Sebenarnya dia penyihir sekaligus pendongeng berusia


79 tahun.

Penyihir?

Ya, kata kupu-kupu itu, Ia telah menipumu.

Menipuku?

Sebenarnya cahaya yang kau cari tak berada di barat.


Cahaya itu memang berada di Bukit Cahaya, ditunggu
oleh seorang petapa, tetapi berada di arah timur hutan.
Cahaya itu sebenarnya muncul dari sorot mata seekor
naga yang senantiasa tidur di dalam gua.

Kau tidak percaya pada ucapan kupu-kupu itu. Kau


merasa sedang diuji untuk terus atau tidak mencari Bukit
Cahaya. Kau merasa lebih baik mempercayai teman
sebaya daripada ditipu makhluk lain.

Apakah kau keberatan jika tetap mengantarku ke arah


barat? Jika keberatan, kau boleh menjatuhkan aku di
sembarang tempat.

Kupu-kupu itu kaget. Kupu-kupu itu tidak menyangka


kau akan taklid kepada perempuan kecil yang kini
mungkin telah berada di dalam salah satu telur yang
bertebaran di pantai.

Kau tidak takut jika jatuh ke jurang?

Apa yang harus ditakutkan? kau meniru kata-kata yang


pernah diungkapkan oleh kupu-kupu.

Bagaimana kalau tubuhmu hancur dan kau mati? kupu-


kupu itu menakut-nakutimu.

Apakah hancur? Apakah mati? kau balik bertanya.

Karena menganggap kau tak memiliki kekhawatiran


sama sekali, kupu-kupu yang merasa telah teramat tua
dan sebentar lagi akan mati itu justru kian bersimpati
kepadamu. Bahkan jika boleh memilih, ia tidak akan
menanyakan apa pun lagi kepadamu. Ia hanya ingin
terbang secepat mungkin ke Bukit Cahaya. Ia hanya
ingin menjalankan tugas indah terakhir sebagai kupu-
kupu.

Ah, kau memang masih terlalu kecil untuk tahu makna


hancur dan mati. Masih terlalu kecil. Masih terlalu
kecil.

***

KAU berusia tujuh tahun lebih setengah hari ketika tiba


di atas sebuah monumen. Kau melongok ke bawah dan
mendapatkan 7.000.000 orang berpakaian serba ungu
bersama-sama mengacung-acungkan pedang ke angkasa.

Siapakah mereka? kau bertanya kepada kupu-kupu.

Tak ada jawaban. Kupu-kupu menganggap itu bukan


pertanyaan penting.

Terbanglah sedikit ke bawah! katamu, Aku ingin


melihat mereka!

Kupu-kupu menurut.

Siapakah mereka? kau bertanya lagi.

Para pembunuh. Sejuta orang akan berusaha membunuh


sejuta kuda terbang. Sejuta yang lain akan membunuh
sejuta malaikat yang tersesat. Yang sejuta orang lagi akan
membunuh seorang raja yang dianggap menista agama.

Yang 4.000.000 orang?


Mereka akan membunuh kita, kata kupu-kupu sambil
mengepakkan sayap ke arah yang lebih tinggi.

Mengapa mereka menjadi pembunuh?

Kupu-kupu tak mau menjawab pertanyaanmu. Kupu-


kupu tak ingin mengatakan kepadamu betapa di kota ini
memang tak ada lagi hukum. Sejak lama ditinggalkan
oleh para wali. Sejak lama ditinggalkan nabi dan
malaikat.

Di kota ini tak ada semut, ulat, dan siput ya? kau
teringat pada satwa-satwa yang sangat kau kagumi pada
usia lima tahun.

Tentu saja tidak ada, kata kupu-kupu, Jadi, kita tidak


perlu terlalu lama di sini. Jangan sampai kita terlambat
menemukan Bukit Cahaya.

***

PADA saat berusia tujuh tahun lebih sehari kau meminta


kupu-kupu menurunkan dirimu di tepi sungai. Kau
menghampiri sepasang kijang. Salah seekor kijang
berbisik kepadamu, Kelak ketika kau berusia 79 tahun,
peliharalah jutaan kupu-kupu dan kunang-kunang.
Mereka akan menerangi rumahmu sepanjang waktu.

Apakah kupu-kupu bercahaya? kau bertanya.

Apa pun bercahaya pada saat kau berusia 79 tahun.

Kau terdiam. Kau tidak tahu apa yang bakal terjadi. Kau
tak mau memikirkan apa yang bakal terjadi pada saat
berusia 79 tahun. Sekarang terbanglah lagi bersama
kupu-kupumu. Kau pun terbang lagi.

***

PADA usia tujuh tahun lebih satu setengah hari kau


meminta kupu-kupu menurunkan dirimu di tengah hutan.
Pada saat itu, mungkin siapa pun menganggap sesuai
nubuat, kau bertemu dengan perempuan buta. Kau takjub
memandang perempuan bergaun serbahitam dan
bersayap itu.

Tak perlu takjub pada apa pun. Sebentar lagi dunia


hancur. Tak ada lagi yang perlu dilihat, kata perempuan
itu.

Kau tidak paham pada apa pun yang dikatakan


perempuan itu. Kau merasa bertemu dengan hantu. Kau
ketakutan. Kau pun segera bergegas meminta kupu-kupu
membawamu terbang ke arah barat, ke Bukit Cahaya.

***

TEPAT pada usia tujuh tahun lebih dua hari kau benar-
benar bertemu dengan seorang petapa. Tak mudah
bertemu dengan sang petapa. Mula-mula badai gajah
besar kecil kurus gemukbertebaran menghalangi kupu-
kupu yang kian payah terbang. Setelah itu koloni
kelelawar, beberapa planet kecil, dan puting beliung yang
mengusung bangkai burung menabrak tubuhmu yang
kian ringkih.

Memang segalanya cepat berakhir. Namun tak mudah


juga menemukan cahaya di dalam gua. Sang petapa
yang segala penampilannya mengingatkanmu pada
perempuan 79 tahunmemintamu menjawab beberapa
pertanyaan terlebih dulu.

Apa yang kau cari?

Cahaya, katamu.

Tak ada cahaya. Yang ada kau yang telah bercahaya.

Kau tidak tahu makna ucapan sang petapa. Kau tetap


merengek agar diperbolehkan mencari cahaya di dalam
gua.

Siapa yang akan menemanimu mencari cahaya?

Kupu-kupu, katamu.

Tak ada kupu-kupu. Yang ada kupu-kupu yang telah


menjadi cahaya.

Kau juga tak tahu makna ucapan sang petapa. Namun


kau memang tak lagi bisa melihat kupu-kupu. Kau justru
melihat semacam satwa bersayap merah yang
menyilaukan mata.

Sekarang jawab pertanyaan terakhirku, kata sang


petapa mengajakmu memasuki gua yang sangat gelap
sehingga kau tidak bisa melihat apa pun.

Siapa aku? sang petapa bertanya.

Penjaga bukit, katamu.

Tak ada penjaga bukit.

Tak ada?

Tak ada.

Kau bingung. Kau merasa dipermainkan. Meskipun


begitu kau berjanji tidak akan keluar dari gua sampai
cahaya itu kau temukan. Kau menunggu sang petapa
berubah jadi cahaya. Kau menunggu gua berubah jadi
bagian terindah dari Bukit Cahaya. Kau menunggu
pendongeng cilik segera datang dan menunjukkan
kepadamu betapa kisah tentang Bukit Cahaya bukanlah
cerita bohong untuk para pencari cahaya.

Mengapa tak kau telan saja seluruh bukit agar kegelapan


segera meninggalkanmu?
Cemani Tak Mau Pergi

Riza bingung setengah mati. Setengah hatinya ingin


melepas si Itam pergi, setengah hatinya lagi berkata
tidak. Galaunya melebihi saat ia menimbang akan
meminang Rani atau malah meninggalkannya. Seakan
mengetahui persoalan hatinya yang tak kunjung reda, si
Itam berkokok kencang. Kok! Padahal, hari belumlah
pagi. Seiring dengan kokokannya yang makin lama
makin keras, aliran darah Riza semakin deras. Merah
melumuri hatinya. Marah menyelimuti tubuhnya. Ia
marah pada segala. Pada orangtuanya, pada dirinya
sendiri, pada keadaan. Mengapa ayahnya mati
meninggalkan utang? Mengapa pula ibunya sakit di kala
ekonomi semakin sulit? Mengapa pula ia harus lahir
sebagai anak pertama yang harus menanggung semua?
Dua adiknya masih butuh sekolah. Ibunya perlu obat.
Dan, ia butuh otak untuk memutar semuanya.

Kemarin pagi, Datuk datang kembali. Rupanya belum


puas ia membujuk Riza. Setelah dua kali kedatangannya
yang kembali dengan tangan hampa, ia yakin ketiga kali
ini ia berhasil membujuk Riza. Anak itu sudah kepepet
uang, tapi tetap berkeras tidak mau menjual ayamnya.
Bahkan kepalanya lebih keras dibandingkan ayahnya
yang sudah mati. Ck! Datuk semakin gusar. Ia harus
mendapatkan ayam itu. Teringat padanya perkataan Mak
Etek, dukun tua di kampungnya saat ia meminta petunjuk
perihal ladangnya yang sudah dua kali gagal panen.

Pening sekali kepalaku Mak Etek. Kalau begini terus


bisa bangkrut aku. Dua kali ladangku diserang tikus.
Padahal, punya Pak Haji di seberang sana baik-baik
saja.

Apa yang sudah Datuk upayakan? tanya Mak Etek.

Sudah kupasang jebakan di lubang-lubang keluar masuk


mereka. Malah orangku yang terkena dan bengkak
kakinya hingga tak bisa kerja. Lalu kucoba bikin
pestisida nabati. Kubeli cabai dan jengkol beratus kilo,
tapi padiku keburu digerogoti. Pening aku.

Kalau begitu Datuk harus adakan ruwatan, ujar Mak


Etek.

Bagaimana caranya?

Sembelihlah seekor cemani dewasa. Harus yang jantan,


berlidah, dan berdarah hitam. Darahnya akan menjaga
ladangmu.

Ayam hitam? Itu susah sekali, di mana aku


mendapatkannya Mak Etek?

Datuk upayakan saja dulu. Cari di pasar burung, atau


datangi peternakan-peternakan ayam. Kalau sudah ada,
baru hubungi aku.

Berapa lama waktu yang Mak Etek berikan?

Dua minggu.

Baiklah, akan kucari dulu ayam hitam itu.

Ingat, lidah dan darahnya harus hitam, kata Mak Etek.

Kepala Datuk semakin pusing. Di mana ia dapat


menemukan ayam hitam? Setahu dirinya, ayam cemani
itu sangat langka. Sedikit menyesal ia pergi kepada Mak
Etek. Kalau tahu persyaratannya sangat sulit seperti ini,
lebih baik ia teruskan saja usaha pembuatan pestisida
nabatinya. Mungkin dengan menambah pegawai,
pembuatan pestisida itu akan semakin cepat. Tapi dengan
menambah pegawai, menambah pula biaya yang harus
dia keluarkan. Padahal, penghasilan dari ladangnya pun
sudah tidak ada. Ah, arah sudah tidak bisa diputar lagi,
pikirnya. Sekali pergi ke Mak Etek, maka ia harus
menyelesaikan urusannya sampai tuntas. Sebab dukun
tua itu terkenal sakti dan pemarah. Kalau ia sampai tidak
kembali lagi, bukan tidak mungkin usahanya semakin
sulit karena dikutuk Mak Etek. Bahkan menurut desas-
desus orang di kampungnya, Mak Etek mampu
mengutuk orang menjadi binatang. Dan, di rumahnya,
Mak Etek memang banyak memelihara binatang. Ada
ayam, itik, kucing, biawak, burung hantu, musang, dan
entah apa lagi. Bahkan konon ayam balenggeknya yang
pandai bernyanyi itu adalah sihirnya atas penyanyi
dangdut keliling dari Pekanbaru yang gagal
membayarnya. Datuk bergidik. Sesisip angin membelai
tengkuknya. Selekas angin itu pergi, segera ia memanggil
Sobari, pegawai kepercayaannya.

Bari
Ya, Datuk.

Kau tahu persoalanku semakin sukar.

Tentu saja Sobari tahu masalah yang sedang menimpa


majikannya. Kesusahan Datuk lambat laun akan menjadi
persoalan juga buatnya. Jika majikannya sampai
bangkrut, ia pun bisa jadi dipecat dan bagaimana pula ia
dapat menghidupi keluarga dan memenuhi selera belanja
Ros, istrinya yang cantik dan dipujanya. Karena itu, ia
akan berusaha keras untuk membantu sang Datuk
memulihkan ladangnya. Terdengar olehnya selentingan
kabar bahwa Pak Haji di kampung seberang berhasil
melalui dua musim panen ini. Padahal, ladangnya tidak
lebih luas daripada ladang majikannya. Sepertinya tikus-
tikus sialan itu enggan berkeliaran di ladangnya.

Ia pasti pakai jimat, ujar Ros.

Perihal kesukaran majikan suaminya tentu juga


mempengaruhi jatah uang belanjanya. Ros khawatir ia
tidak bisa lagi membeli baju-baju cantik mentereng dan
makeup warna-warni terbaru di kota. Ia malu jika tidak
bisa pamer pada ibu-ibu tetangga di acara arisan desa.
Statusnya sebagai istri cantik nan muda bisa lengser
digusur perempuan lain.

Coba kau suruh Datuk ke Mak Etek, Ros memberi


saran suaminya.

Ia sering mendengar dari gosip para ibu tetangga kalau


Mak Etek yang sakti itu bisa membantu apa saja. Bahkan
ada beberapa istri yang curiga kalau suaminya main
serong, pergi ke Mak Etek dan dua hari setelahnya
terlihat mesra dengan sang suami seperti pengantin baru.

Saran itu diteruskan oleh Sobari ke majikannya, dan


sampailah Datuk pada persoalan mencari cemani.

Saya sudah mencarinya sampai ke Pasar Padang


Panjang, Datuk. Ayam cemani di sana masih terlalu
muda. Saya sampai datang ke peternakan pemiliknya.
Ada beberapa cemani yang sudah besar, tapi mereka
tidak membiarkan saya untuk melukai ayamnya. Padahal,
saya harus mengetes apakah darah yang keluar berwarna
merah atau hitam.

Datuk termenung. Pikirannya sekusut hatinya. Memang


benar, seharusnya ia tidak usah pergi ke Mak Etek kalau
tahu persoalannya akan bertambah satu lagi. Sudah lewat
seminggu ia belum mendapatkan cemani yang
disyaratkan oleh Mak Etek.

Tapi Datuk, kata Sobari ragu-ragu. Sebenarnya ada


satu cemani di Kampung Manggis ini. Istri saya sering
melihatnya.

Di mana itu?

Datuk langsung bangkit dari kelesuannya. Harapan


mendadak menyegarkan wajahnya.

Di sebelah rumah saya. Si Riza, anak Rais yang ketimpa


longsor di Bukit Tui bulan lalu. Dia piara cemani, Datuk.
Cemaninya gemuk dan sehat. Tempo hari, tak sengaja
sempat beradu dengan ayam jago saya. Ayam cemani itu
terkena patuk, dan dia sedikit luka. Darahnya hitam,
Datuk. Benar!

Kalau begitu, aku harus segera mendapatkannya.

Tapi sepertinya harus Datuk sendiri yang


memintanya. Si Riza ini tampak sayang sekali pada
ayamnya. Karena Datuk orang terpandang, mungkin ia
juga segan kalau menolak permintaan Datuk.
Petang hari itu juga, Datuk dan tangan kanannya
berangkat ke rumah Riza. Dari Sobari, ia mengetahui
kalau ibu Riza sakit keras. Asmanya semakin parah sejak
ditinggal mati suaminya. Riza pastilah membutuhkan
uang untuk ibunya berobat. Belum lagi untuk
menyekolahkan kedua adik perempuannya yang masih
kecil. Datuk berani membayar mahal untuk ayam itu.
Lamak di awak, katuju di urang! [1]

Seperti kata Sobari, ayam itu ayam cemani yang sangat


sehat. Tubuhnya padat seperti ayam jago petarung. Bulu-
bulunya hitam mengilap tertimpa matahari senja.
Paruhnya kecil tajam seperti mata badik dengan hiasan
sepasang pial. Matanya cerdas menatap, di bawah
jengger bergonjong enam seperti pucuk rumah gadang.
Dengan ekor terjurai megah, ia bertengger di atas pagar
kayu. Kok! Mendadak ia membuka paruh, memamerkan
bilah lidahnya yang berwarna hitam juga. Lalu ia
melompat dan berlari ke arah rumah. Kaki-kakinya
kokoh dan sekilas terlihat oleh Datuk tajinya runcing
mematikan. Meskipun bukan ayam petarung, pastilah
ayam ini kuat.
Maafkan saya, Datuk. Saya tidak mau menjual si Itam.

Begitulah penolakan Riza yang sudah dua kali


didengarnya. Keras sekali pendirian anak itu. Persis
seperti Rais, ayahnya sewaktu ia ingin menjadikan Rais
sebagai pegawai untuk menjalankan koperasi miliknya.
Usaha peminjaman uang harian pada penduduk sekitar
dengan bunga yang lumayan menguntungkannya. Usaha
yang melibatkan uang tunai seperti itu membutuhkan
orang yang dapat dipercaya. Datuk tidak dapat
berkeliling kampung sendiri, menawarkan pinjaman atau
pun menagih utang harian dari rumah ke rumah. Ia butuh
orang yang jujur dan berani. Dan, Datuk memilih Rais,
karena Rais terkenal sebagai orang yang sangat jujur di
kampung itu. Selain itu, Rais juga masih mempunyai
utang pada Datuk dan Datuk berjanji untuk memberikan
potongan bunga jika Rais mau membantunya. Tetapi
Rais lebih memilih untuk tetap bekerja sebagai
penambang kapur sampai Bukit Tui menguburnya. Dasar
kepala batu! Diturunkannya pula sikap itu pada anaknya.

Kau tidak mau beli obat untuk ibumu? Kalau kau jual di
Pasar Padang Panjang, paling laku 700 ribu. Aku bisa
kasih kamu lima juta supaya kamu bisa bawa ibumu ke
rumah sakit di Bukit Tinggi.

Sudah dua kali Datuk menaikkan tawaran. Pertama kali


ia datang, ia menawarkan satu juta untuk Riza. Kedua
kali, ia naikan tawaran menjadi dua setengah juta.
Sekarang Datuk benar-benar heran jika Riza masih juga
mau menolaknya.

Maafkan saya, Datuk. Saya tidak mau menjual si Itam.

Kalimat itu lagi. Dan, pagi itu, Datuk kembali pulang


dengan tangan hampa.

Sesungguhnya apa yang menjadi kegalauan Riza, tak lain


adalah karena rasa sayangnya. Si Itam sudah seperti
sahabatnya sendiri dan ayam itu memang seperti
mengerti dirinya. Riza menemukan si Itam di aliran
sungai kecil dekat Bukit Tui, seminggu setelah peristiwa
mengenaskan yang menimpa ayahnya.

Bencana memang tidak dapat diduga. Saat itu hari


Minggu pagi dan ia sedang bermalas-malasan sambil
membaca buku sewaktu ia mendengar gemuruh dari arah
Bukit Tui. Lewat beberapa menit, barulah ia sadar kalau
ayahnya pergi menambang di hari itu.

Kok duduak marawuik ranjau, tagak maninjau jarah.


Nak kayo kuek mancari, nak pandai kuek baraja [2].
Agar lebih dapat banyak kapur untuk kamu pergi kuliah,
kata ayahnya pagi itu.

Ayahnya tahu, ia ingin sekali melanjutkan sekolah tinggi


seni. Karena itu pula, ia memutuskan Rani, kekasihnya
karena gadis itu menuntut untuk segera dikawini begitu
lulus SMA. Bagi Riza, pencapaian diri itu perlu sebelum
ia mulai membentuk keluarga. Ia tidak ingin hidup ala
kadarnya. Paling tidak, ia dapat membawa keluarganya
untuk lebih sejahtera. Untuk itu ia harus kuliah, dan
ayahnya mendukungnya.

Tetapi apa mau dikata, ayahnya pergi tak kembali. Benar-


benar tak kembali meski dalam bentuk jenazah. Tim
penyelamat tidak mampu menemukannya dan menyerah
tiga hari sesudahnya. Riza pergi sendiri seminggu
setelahnya. Menyusuri Bukit Tui dari pagi hingga petang,
tanpa memedulikan tulisan larangan di sekitar tambang.
Namun, bukan ayahnya yang ditemukannya, tetapi
seekor ayam jantan hitam yang ditemuinya sedang
mengorek pasir di dekat aliran sungai sebelah timur
Bukit Tui. Segera dibawanya pulang ayam itu, karena
dipikirnya ayam hitam itu dapat dijadikan obat untuk
asma akut ibunya. Seseorang di pasar pernah berkata
demikian, kalau ayam hitam dapat menyembuhkan
segala macam penyakit.

Di luar dugaan, ibunya menolak usulan itu.

Jangan musyrik, katanya. Ibu hanya perlu obat.

Tapi ia tidak punya uang. Honornya sebagai penulis


cerita di koran-koran hanya cukup untuk mengisi
lambung. Dan kini, saat seorang datuk mampu
membantu mengobati ibunya, ia malah telanjur sayang
untuk melepas si Itam.

Kokokokok!

Kokok si Itam semakin melengking. Memutus


lamunannya, Riza segera bangkit ke luar. Sekelebat
pandangan mata dilihatnya bayangan berlari ke arah
jalan. Lalu matanya terpaku ngeri. Dilihatnya si Itam
tergeletak menyamping di dekat pagar kayu. Bilah
lidahnya terjulur ke luar seakan ingin terus berkokok,
tetapi yang keluar dari paruhnya hanyalah erangan
rendah. Darah pekat menggenang di sekitar lehernya
yang terkulai patah. Dua buah tajinya hilang entah ke
mana. Nyeri mulai naik merambati hati Riza. Dari
pandangan mata si Itam, ia melihat setitik cahaya, entah
embun atau air mata. Dan, mata itu mengingatkannya
pada sepasang mata yang lain, yang datang dari balik
ingatan, semakin redup dan akhirnya menutup seiring
lantunan azan subuh yang sayup.

Catatan:

[1] Enak di saya, enak juga buat orang lain!

[2] Kalau duduk meraut ranjau, berdiri mengintai


mangsa. Ingin kaya, uletlah mencari (uang). Ingin
pandai, rajinlah belajar.

Angelina Enny, lahir di Lampung, 19 Juli 1978.


Menempuh pendidikan terakhir di Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia. Ia telah melahirkan buku fiksi
Siluet dalam Sketsa (2013), antologi cerpennya segera
Laki-laki yang Menyeberang
dan Perempuan di
Tepi Persimpangan

Cerpen Ni Komang Ariani (Kompas, 19 Februari 2017)

Bagian I: Laki-laki yang Menyeberang

Setiap kali sebuah peran dimasukinya, laki-laki itu tahu,


ada jiwa baru yang tumbuh. Jiwa-jiwa baru yang
memesona. Jiwa-jiwa baru yang menyeretnya dalam
pusaran. Semakin ia mengenal jiwa-jiwa itu, semakin ia
merasa kerdil. Kecil. Sebuah arus kecil dalam luasnya
samudra. Semakin banyak yang belum dikuasainya. Ia
seperti perenang pemula di tengah-tengah perenang
olimpiade. Diam-diam, ia merasa iri. Pada jiwa-jiwa
besar yang telah dimasukinya. Ia sengaja membiarkan
dirinya terserap, diombang-ambingkan pusaran, timbul
tenggelam menuju dasar yang amat jauh dan dalam. Ia
tak mau menjadi sepotong wajah yang menawan.

Ia tahu, sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bisa menjadi


sosok yang sederhana. Ia tidak dapat lagi menjadi
seseorang yang memikirkan hal-hal yang dangkal. Ia
tidak dapat lagi menjadi seseorang yang tertawa keras
dan lebar. Ia telah mendatangi tempat-tempat yang
membuatnya mengenal air mata yang meleleh di lubuk
hati. Air mata yang tidak pernah tumpah menjadi titik-
titik air yanng dapat dipegang. Air mata yang mengalir
bersama garis senyum dan tawa. Ia telah bertemu dan
mengenal orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa.
Jiwa yang lebih besar dari bumi yang dapat
mengukurnya. Air mata itu meresap dan menetes dalam
batinnya. Menetes-netes di sudut yang kosong dan
perlahan memanjat ke dalam jiwa-jiwa barunya yang
terus tumbuh besar.

Laki-laki itu mencintai perempuan itu. Perempuan yang


membuat tarikan senyumnya selalu melebar walaupun ia
berusaha sembunyikan. Namun, ia tahu, ia dan
perempuan itu tak lagi berbagi ruang batin. Tawa lebar
perempuan itu berada di dunia yang berbeda dengannya.
Mereka dapat menikmati tawa masing-masing, namun
mereka tak lagi berada pada dimensi yang sama.

Ia percaya cinta dapat abadi di hati pemiliknya. Ia dapat


memeluk dirinya sendiri, seperti ketika tiga puluh tahun
yang lalu, ia memeluk dirinya sendiri meluncur dari
rahim ibunya. Sendirian memeluk tangisnya yang
melengking membelah kesunyian. Kesendirian bukanlah
penderitaan, namun kesadaran akan jiwa yang telah
genap sejak ia dilahirkan.

Ia akan merindukan, namun merindukan bukanlah


kesengsaraan. Merindukan hanyalah mengabadikan
kenangan. Ia melukis perempuan itu di kanvas hatinya,
dan memajangnya pada setiap dinding sehingga hatinya
penuh oleh lukisan perempuan itu.

Selanjutnya, laki-laki itu tahu apa yang akan selalu


dilakukannya. Ia akan bercengkerama dengan air mata
yang mengajarinya banyak pengetahuan. Air mata yang
mengajarinya jiwa-jiwa besar. Ia tahu ia terlahir bukan
hanya menjadi sepotong wajah yang menawan. Ia
ditakdirkan untuk melampaui wajah dan menyeberang ke
dimensi lain. Perjalanan itu telah membuatnya mengenal
begitu banyak hal. Bahkan, hal-hal yang tidak pernah
dipikirkannya.

Orang-orang yang berdansa

Di perjalanan, selalu ia temukan orang-orang yang


berdansa. Orang yang selalu memandang dengan wajah
nyaman, seperti semua masalah di dunia sudah menjadi
masa lalu. Mereka adalah orang-orang memikul beban
yang teramat ringan di pundak. Mereka dapat merasa
sama pada kesedihan dan kegembiraan. Laki-laki itu
menyerap air mata yang talah tersuling menjadi air
murni.

Orang-orang yang menghentikan waktu

Laki-laki itu menemui orang-orang yang berhenti di


suatu titik waktu. Tepat ketika mereka tiba di titik
setimbang, mereka tidak mau lagi melangkah maju. Apa
yang terjadi kemudian adalah pengulangan demi
pengulangan. Air mata mengalir dari pipi-pipi yang
terlipat garis waktu. Waktu tidak berhenti dalam sejenak
pun.
Kerumunan yang berdengung

Yang paling membuatnya lelah adalah jika ia dipaksa


berada di tengah kerumunan yang berdengung. Jumlah
mereka begitu banyak, namun suara mereka amat
seragam. Suara-suara yang terdengar adalah suara-suara
yang membuat laki-laki itu mual. Suara tawa yang ribut.
Cekikikan. Suara pertengkaran yang memekakkan.
Keramaian celoteh di sosial media yang memuakkan.
Mereka kerumunan yang menyerbu ke mana saja, tanpa
tahu apa yang menunggu mereka di tujuan. Kerumunan
yang berlari sekencang-kencangnya, namun tak tahu apa
yang dikejar. Kerumunan yang mengistirahatkan isi
batok kepala mereka di kulkas dan tak pernah
menyentuhnya. Dibiarkan mengeras menjadi daging
beku.

Orang-orang yang ditakdirkan berselisih jalan

Laki-laki itu memikirkan beberapa orang yang selalu


gagal ditemuinya. Ia tidak berupaya mencari atau
menanyakannya. Ia hanya berharap dapat bertemu pada
persilangan yang tidak terduga. Dan itu tidak pernah
terjadi. Karena itulah ia percaya, beberapa orang yang
saling memikirkan telah ditakdirkan untuk tak pernah
saling bertemu. Mereka dapat berada di suatu bandara
yang sama beberapa saat, pulau yang sama beberapa
lama, mal yang sama beberapa waktu, namun tak ada
satu pun persilangan yang mempertemukan mereka;
menautkan mata mereka berhadapan di satu titik.
Barangkali agar mereka dapat terus saling memikirkan.
Ada masa lalu yang akan sepenuhnya terkubur. Ada masa
lalu yang barangkali kelak akan memberikan jawaban.

Bagian II: Perempuan di Tepi Persimpangan

Perempuan itu adalah perempuan yang bimbang di tepi


persimpangan. Persimpangan empat penjuru itu seperti
mengarah ke empat jalur yang serba misterius. Serba
mencekam. Perempuan itu tak bisa melihat ujung dari
setiap persimpangan yang ada di hadapannya.

Sekali lagi soal pilihan ganda yang ganjil. Setiap kali


hidup menyodorkan pilihan ke depan hidungnya,
perempuan itu berusaha memilih dengan segenap jiwa,
namun pilihan-pilihan yang tersedia tidak pernah cukup
baik. Seperti halnya soal-soal pilihan ganda, kau tetap
harus menyilang salah satu jawaban, betapa pun anehnya
jawaban-jawaban yang tersedia.

Dia percaya begitulah hidup yang sesungguhnya. Hidup


adalah meloncat dari satu soal pilihan ganda ke soal
pilihan ganda yang lainnya. Hidup adalah memilih
jawaban-jaaban ganjil dari seorang pembuat soal yang
ogah-ogahan. Hidup bukanlah dongeng Cinderella
dengan pilihan seorang pangeran tampan yang tinggal di
istana yang megah.

Hidup adalah kegiatan memilih benda-benda. Di rumah


seperti apa yang kau bayangkan hidupmu. Berpakaian
seperti apa, laki-laki yang menjadi pasanganmu. Di
restoran mana kalian menghabiskan waktu untuk
merayakan anniversary. Apa dessert yang disajikan di
restoran itu? Ke mana kalian akan pergi berlibur?

Kadang ia mengingat laki-laki itu, namun perempuan itu


tahu apa yang paling diingingkannya dalam hidup. Ia
tahu betul jenis gaun yang harus tergantung di lemari
bajunya. Ia tahu betul jenis sepatu yang berjejer di rak
sepatunya. Dan ia telah lelah. Lelah mendengar suara
kerumunan yang terus berdengung di depan telinganya.
Ribuan tawon yang tak lama lagi mungkin akan
memasuki labirin dan memukul-mukul gendang
telinganya. Dan perempuan itu menyerah. Menyerah
pada jawaban ganjil yang disilangnya. Mengucap kata-
kata penghiburan memilih adalah pekerjaan paling
absurd di dunia? Setiap pilihan akan menjebakmu di
tikungan yang tak terduga.

Rindunya telah menjadi fosil, yang ia simpan di dalam


lemari terkunci di museum-museum yang lengang.
Seperti kata laki-laki itu, ia akan bisa memeluk tubuhnya
sendiri, sama seperti ia pertama kali meluncur dari rahim
ibunya. Ia bisa memeluk tubuhnya sendiri bersama suara
tangis yang melengking, membelah kesunyian.

Dua sisi mata uang

Laki-laki itu berdiri di satu sisi, dan perempuan itu


berada di sisi yang lain. Mereka hidup bersisian, namun
tak pernah bersilang tatap. Laki-laki itu menyentuh
dinding-dinding mata uang yang dingin. Perempuan itu
menyusur gurat-gurat gambar dan huruf timbul yang ada
di sana.

Kadang-kadang cinta diabadikan dengan cara yang amat


ganjil. Dibiarkan terus tumbuh menyusun perasaan-
perasaan baru seperti tumbuhnya kuncup-kuncup daun.
Dibiarkan terpisah dan tak dapat saling menyentuh,
seperti sebuah cetakan untuk terus mengabadikan rindu.

Air mata-air mata di perjalanan telah mengajari laki-laki


itu tentang dua sisi mata uang. Bahwa kesedihan ataupun
kegembiraan tidak pernah abadi. Setiap kali kesedihan
datang akan tiba waktunya kegembiraan tiba. Setiap
kegembiraan tiba, ia menyimpan sebuah kesedihan yang
akan hadir. Dua hal yang berlawanan selalu berada
berdampingan. Tak ada hal baik yang tak berdampingan
dengan hal buruk. Tak ada yang datang, yang tak pernah
pergi.

Catatan: Cerpen ini diilhami kumpulan puisi karya M


Aan Mansyur, Tidak Ada New York Hari Ini.

Ni Komang Ariani lahir di Gianyar Bali, 18 Mei 1978.


Telah menerbitkan empat buku, yaitu Lidah, Senjakala,
Bukan Permaisuri, dan Jas Putih. Dua kali masuk
Kehidupan di
Dasar Telaga

APA aku mesti jadi Sobrah? kelakar Arum,


perempuan setengah baya itu, sebelum ia menaiki anak
tangga untuk mencapai bibir perahu bermesin. Arum
memandangi Suman, lelaki setengah baya, teman
seperjalanannya dari kota. Lelaki itu masih berdiri di tepi
telaga, terdiam. Cekatan lelaki setengah baya itu menaiki
anak tangga, memijak papan dasar perahu. Duduk di
bangku kayu, berdampingan dengan Arum, Suman
merasakan guncangan agak menyentak saat tukang
perahuyang sudah memutih rambutnya, tetapi masih
kekarmenghidupkan mesin. Lambat, perahu bercat
biru tua itu mengarungi telaga. Tak ada perahu lain.
Lelaki setengah baya itu berseloroh dalam hati: apa
salahnya melakukan sobrah?
Perahu meluncur pelan meninggalkan daratan, menyibak
biru air telaga. Menyibak sunyi kabut tipis pagi. Jauh di
ujung telaga, tampak samar puncak bukit, yang
lembahnya digenangi air. Ada makam seorang kekasih,
seorang pangeran dan ibu tirinya yang melarikan diri dari
keraton, dikuburkan di puncak bukit itu. Orang-orang
menyeberangi telaga, mendaki bukit, ziarah ke makam
sepasang kekasih itu, mencari berkah.

Duduk memandang gelombang kecil telaga disibak


perahu, Arum mulai sangsi akan perjalanannya kali ini:
mengapa aku mesti ke bukit itu?

Kita sedang berlibur, Arum. Kita mencari ketenangan.


Tiap hari kita kerja banting tulang, melampaui kerja
orang-orang kebanyakan. Kau bukan sobrah, perempuan
yang melepas kesuciannya pada lelaki, untuk cari
berkah.

Duduk berdua dengan Suman di perahu, Arum kembali


teringat akan anak perempuannya, Dewi Laksmi, seorang
penari, yang ranum tubuhnya, meminta restunya untuk
menikah. Ia memang memberi restunya untuk menikah.
Ia memang memberi restu. Bagaimana mungkin ia
kembali pada keluarga? Ia sudah meninggalkan suami,
meninggalkan anak-anak. Ia menempati rumah sendiri
dan menerima Suman dalam kehidupannya. Sesekali ia
merasa gelisah, tersiksa, dan tebersit rasa malu. Tetapi
kenapa Suman seperti tak pernah merasakan tindakannya
hina?

Apa yang kaulihat di permukaan air telaga ini, Arum?


Keindahan genangan air? Ikan-ikan yang ditangkapi
nelayan, dipanggang, dan dijajakan di warung makan
tepi telaga? Orang-orang yang berlayar menebar canda di
atas perahu? Suman memegangi tangan Arum. Apa
kamu dapat melihat kehidupan di dasar telaga?

Gangang dan ikan-ikan?

Suman tersenyum pedih. Di dasar telaga ini ada


kehidupanku di masa lalu, sebelum wilayah ini
ditenggelamkan dengan lima aliran sungai yang
dibendung. Aku salah satu penduduk yang tinggal di
lembah bukit, ayah-ibuku bertani, menggembala sapi dan
kambing. Ayam-ayam berkeliaran, mematuki bulir padi
dan jagung yang dijemur.
Deru mesin mendorong laju perahu itu kian mengapung
ke tengah tegala, mendekati pulau-pulau kecil tanpa
penghuni. Pulau-pulau itu dulunya bukit-bukit hijau,
yang kemudian ditenggelamkan sebagai telaga. Tak ada
lagi rumah-rumah, sawah, ladang, kuburan leluhur dan
hutan jati, dengan anak-anak yang bermain bola di
padang rumput. Dulu selalu dijumpai Suman wajah-
wajah yang getir dan menahan diri, yang menghilang
satu demi satu, entah pindah ke mana: pulau seberang
sebagai transmigran, merantau ke kota, atau bersembunyi
di hutan-hutan jati.

***

PERAHU belum mencapai bukit tempat pangeran dan


kekasihnya dimakamkan. Masih jauh. Arum melihat
perubahan wajah Suman, yang sepekat endapan lumpur
telaga. Wajah yang kehilangan senyum, kehilangan
pancaran mata, kehilangan gelagat muslihat dalam
lipatan dan gurat-gurat wajahnya. Suman seperti
menyusuri kembali lorong gelap masa silam, masa
remaja, masa yang diteror ketakutan.

Aku tak lagi dapat mengenali di mana rumah kami,


lahan, dan sawah yang subur, kata Suman. Kau tahu,
bagaimana ayahku dikejar-kejar aparat desa, dipaksa
melepas rumah, sawah, ladang dengan harga sangat
murah. Ayah dituduh pembangkang, bahkan kemudian
dituding komunis. Sawah kami digenangi air sungai, dan
tempat tinggal kami terendam. Ayah, ibu, dan kakak
perempuanku dipaksa transmigrasi ke pulau seberang.
Aku bertahan di sini, mengikuti seorang tetangga, tinggal
di desa tak jauh dari telaga, bersekolah, membantu
membuat keramba, memelihara ikan-ikan, dan
menangkapnya untuk dijual ke pasar.

Masih berkabut, masih senyap, perahu bermesin


menyibak air telaga, kadang mendekati pulau-pulau kecil
subur ditumbuhi jajaran pohon jagung, atau berhutan jati,
dengan gubuk-gubuk lapuk. Kadang perahu menjauh dari
pulau-pulau kecil itu. Tak ada perahu mesin lain yang
meluncur di tengah telaga. Perahu-perahu mesin itu
terapung-apung ditambat di dekat warung makan yang
menyajikan ikan panggang di tepi telaga. Asap tipis dari
tungku-tungku pembakaran ikan mulai mengapung dari
tempat itu.
Wajah Suman masih getir. Tak tampak senyum sinis,
sebagaimana biasa. Tak terpancar mata seorang penjilat
yang rakus. Ia menjelma menjadi lelaki yang tertindas,
lelaki yang membebaskan diri dari tekanan-tekanan batin
di masa lalu.

Aku selalu berlayar mengarungi telaga ini dengan rasa


marah, kata Suman. Di pulau seberang itu mula-mula
ibuku meninggal, lalu ayahku meninggal setahun
kemudian. Lahan yang digarapnya tak memberikan apa
pun, kecuali kemiskinan. Tinggal kakak perempuanku
yang bertahan di sana, menikah dengan sesama perantau,
dan memiliki dua orang anak. Pernah aku menengok
mereka, dalam keadaan yang nestapa, dan tak pernah
bisa pulang ke tanah leluhurnya.

***

ARUM lebih banyak berdiam diri, mendengarkan


Suman. Aneh. Kali ini Arum merasa lebih mengenal
perasaan Suman daripada perasaan suami yang
ditinggalkannya. Suman tak sungkan-sungkan
membongkar rahasia hidupnya di mana lalu. Ia mengakui
tak selesai kuliah arsitektur lantaran tak memiliki biaya
dan memulai hidup sebagai mandor bangunansebelum
kemudian pelan-pelan menikmati kerja sebagai
pemborong. Suami Arum senantiasa menjaga diri agar
tampak gagah dan tangguh, hadir dari masa silam yang
bersih.

Laju perahu mencapai bukit tempat pangeran dan


kekasihnya dimakamkan. Dengan tangga kayu kecil,
hati-hati sekali, Arum turun dari perahu, mencapai
daratan. Suman tak memerlukan tangga itu. Ia meloncat
dari bibir perahu, mencapai daratan. Wajah Suman tak
sekeruh ketika meluncur dalam perahu. Ia mulai
menggoda Arum, Mari, kita ziarah ke makam pangeran,
lalu kau akan menjalani sobrah!

Mendaki jalan berundak-undak ke makam pangeran,


wajah Suman kini tak lagi beku. Ia telah kembali ke
perangai sehari-hari: penebar jerat, pemasang perangkap.

Di sekitar sini banyak penginapan. Kita bisa


bermalam.

Menginaplah sendiri. Aku akan turun ke kota.

Bertemu dengan juru kunci yang berwajah keriput,


berpakaian lurik, arum merasa tentram. Lelaki tua itu
menerima siapa pun dengan senyum tulus. Sepasang
matanya tak menyembunyikan kepura-puraan. Dari
bibirnya senantiasa mengepul asap rokok kretek. Mari,
ziarah. Datanglah ke makam ini dengan hati bersih.

Bunga tertabur di pusara pangeran. Dupa leleh


menghitam di atas arang yang padam, di atas anglo kecil.
Juru kunci itu sangat santun pada Suman, seperti sudah
mengenal sangat lama. Tetapi Arum tak berani
menyingkap keakraban ini menjadi sebuah kesimpulan:
Suman sering ziarah ke makam ini. Tentu tidak ziarah
seorang diri. Dia datang ke makam ini bersama
perempuan sobrah? Lama Suman berdoa. Matanya
terpejam, seperti ingin membebaskan segala kesialan
hidup di masa lalu. Orang-orang yang ziarah belakangan
sudah meninggalkan makam, tetapi Suman masih
bersimpuh dengan doanya.

Meninggalkan makam yang dikeramatkan, melangkah


lambat-lambat, Suman seperti enggan menuruni jalan
berundak-undak mencapai bibir telaga. Arum menarik
tangan Suman, segera menuju ke perahu, kembali
menyeberangi telaga. Mereka diseberangkan tukang
perahu yang tadi mengantar mereka ke bukit. Muka
Suman kembali suram sepanjang perjalanan perahu.
Matanya kelam memandang kehidupan di dasar telaga.
Terus-menerus memandangi permukaan air telaga,
seperti ingin melihat kehidupan masa lalu yang penuh
ketakutan.

***

ASAP ikan panggang memenuhi pasar tradisional di tepi


telaga. Arum duduk di tikar warung makan memesan
ikan nila panggang. Suman tak ingin menikmati ikan
panggang apa pun. Aku tak bisa makan dari kehidupan
di telaga ini. Tak tega. Pesankan saja aku kelapa muda.
Arum melumuri ikan panggang itu dengan sambal kecap.
Ikan yang gurih segar itu dimakannya dengan sambal
terasi dan lalapan irisan mentimun. Ia sangat
menikmatinya.

Kadang aku merasa sangat berdosa terhadapmu, kata


Suman.

Arum berhenti mengunyah ikan panggang. Memandangi


lelaki setengah baya yang memendam kepedihan dalam
hatinya. Ia tak pernah menduga bila Suman membongkar
kepedihan hidup masa lalunya. Ia merasa sudah
menyimpang terlalu jauh dengan meninggalkan suami,
dua anak perempuan, untuk menemukan pekerjaan,
menempati rumah sendiri, dan menerima Suman dalam
kehidupannya. Tetapi ia tak merasa kecewa.

Aku telah menyeretmu meninggalkan keluarga. Mula-


mula membujukmu mengikuti pemilihan kepala daerah.
Memaksamu sebagai calon wakil walikota, dan kalah,
hingga menanggung utang. Kau menjual rumah dan
ladang. Aku memintamu meninggalkan keluarga,
memberimu pekerjaan dan rumah. Apa kau tak pernah
berpikir untuk kembali pada suami dan anak-anak?

Arum tengah menikmati ikan panggang dan sambal


terasi yang membangkitkan selera makannya. Ia makan
dengan lahap. Sama sekali ia tak menduga, Suman bakal
memintanya kembali pada suami.

Ingat, putri bungsumu bakal nikah! desak Suman. Ia


memerlukan kehadiranmu.
Lalu, bagaimana dengan kamu?

Aku? Aku tetaplah hidup seperti sedia kala, menjadi


pemborong bangunan dan merawat istriku yang lumpuh.
Mungkin, kalau beruntung, aku akan menemukan
perempuan lain sebagai penggantimu.

Semudah itu?

Menjauhlah dariku, sebelum aku berubah pikiran!


pinta Suman, menatapi air telaga, bening dan tenang.
Perahu-perahu beriringan berlayar di atas telaga, dengan
para penumpang yang berwajah ceria: bercanda di atas
perahu dan Suman merasa bahwa mereka tengah
menertawakannya.

Arum tak memberi jawaban. Ia tetap menikmati ikan


panggang, sambal terasi, dan lalap irisan mentimun,
sampai tinggal duri-duri ikan terserak di piring, dan
kepala nila yang utuh. Ia tak bisa begitu saja kembali
pada suami, yang selama ini tak pernah berusaha
mencarinya. Dewi Laksmilah, anak perempuannya, yang
diam-diam selalu menemuinya dan meminta agar ia
kembali pada suami. Dewi Laksmi ingin pernikahannya
dengan Wisnu didampingi ayah dan ibu.

Meninggalkan warung makan lesehan di pasar tradisional


itu, hari menjelang senja, hutan-hutan jati yang
mengelilingi telaga memantulkan bayang-bayang
kegelapan. Para penjual ikan panggan meninggalkan tepi
telaga dengan mobil bak terbuka. Tak ada cahaya listrik.
Genangan air telaga kian menghitam. Pulau-pulau
mengabur di tengah telaga. Bukit dan langit menghitam.
Kabut mulai turun. Mengendap di sekitar telaga.

Suman memasuki mobil yang masih baru. Arum duduk


di sisinya. Kau boleh membawa mobil ini. Aku sudah
memberikannya padamu. Mobil ini kubeli atas namamu.

Terdiam, di ruang parkir yang senyap, tak lagi terdapat


mobil lain dan pengunjung telaga. Dari dalam hutan jati
mulai terdengar bersahutan suara serangga, berasal dari
kegelapan pekat tanpa cahaya. Suman enggan
meninggalkan tempat parkir. Ia masih memandangi
telaga, seperti melihat kehidupan di dasarnya. Telaga
menghitam, perahu-perahu yang ditambatkan serupa
gambar hangus terbakar. Masih tersisa aroma asap
panggang ikan di pasar tradisional dan warung makan
yang ditinggal pulang penjualnya. Arum bisa membaca
pertentangan hasrat dalam batin Suman.

Aku tak akan kembali pada suamiku, kata Arum pelan.

Tanpa menunjukkan perasaannya, Suman mengendarai


mobil itu tenang, cahaya lampunya terang, menyibak
gelap jalan berkelok-kelok, menuruni celah hutan-hutan
jati, menjauhi telaga.

***

Catatan:

Sobrah: seorang perempuan yang mencari berkah di


Gunung Kemukus, setelah ziarah ke makam Pangeran
Samodra, dengan jalan berhubungan intim dengan lelaki
bukan suaminya.

S Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961.


Semenjak 1983 menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel,
dan artikel di beberapa media massa. Tulisannya antara
lain dibukukan dalam antologi Perdebatan Sastra
Kontekstual (antologi esai, 1985), Antologi Puisi Jawa
Tengah (antologi puisi, 1994), Serayu (antologi puisi,
1995), Ritus (antologi cerpen, 1995), Lawang Sewoe
(antologi puisi, 1996), Sesudah Layar Turun (antologi
puisi, 1996).
Paman Klungsu dan Kuasa
Peluitnya
Cerpen Ahmad Tohari (Kompas, 05 Februari 2017)

Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman


Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang
punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking
peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu
lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang
laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai
pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua
keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan
SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga
berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa
helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan
amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya
sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di
simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman
Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat
semua menjadi lancar.

Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi,


Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap
Poltas Swakarsa dengan tulisan spidol. Entah siapa
penulisnya. Selain rompi lusuh warna pupus pisang yang
berpendar, Paman Klungsu juga melengkapi diri dengan
peluit plastik warna merah. Meskipun kecil, suara peluit
itu amat nyaring dan terbukti wibawanya ditaati oleh
para pengendara. Orang-orang sering bertanya mana
yang paling berwibawa di simpang tiga itu; sosok Paman
Klungsu atau peluitnya.

Empat-lima tahun yang lalu Paman Klungsu hanya orang


lontang-lantung di pasar. Jalannya pincang. Kaki kirinya
kecil dan lebih pendek. Sebatang kara, di malam hari jadi
peronda pasar. Di siang hari jadi kuli angkut yang
membawakan barang milik pedagang dari dalam pasar ke
pinggir jalan atau sebaliknya. Para pedagang
memberinya seratus atau dua ratus rupiah. Itu bekal
Paman Klungsu untuk pergi ke warung nasi rames milik
Yu Binah di belakang pasar.
Sekarang Paman Klungsu tidak lagi mengangkut-angkut
barang milik pedagang. Dia merasa telah naik pangkat
menjadi-dia menyebutnya sendiri-poltas swakarsa, yang
amat dia banggakan. Apalagi Paman Klungsu juga sering
mendapat uang receh. Itu pemberian sopir-sopir yang
merasa bersimpati. Mereka menghargai jasa Paman
Klungsu yang punya prakarsa mengatur lalu lintas di
simpang tiga.

Pada awalnya Paman Klungsu sering dicibir orang. Ah,


kamu cuma polisi non-batu, polisi-polisian. Kamu hanya
berani mengatur pedagang dan anak sekolah, tapi tidak
berkutik bila yang lewat pejabat atau moge. Kamu juga
selalu mengistimewakan Yu Binah. Kalau perempuan itu
lewat selalu kamu bukakan jalan.

Ketika menerima cibiran itu, Paman Klungsu hanya


diam. Namun sebenarnya dia sungguh tersinggung. Jadi
suatu kali dia bergerak cepat ketika ada sebuah mobil
bersipongah mau melanggar aturannya. Dengan langkah
terpincang-pincang, Paman Klungsu menghadang mobil
bagus berpelat merah itu. Paman Klungsu berdiri tepat di
depan mobil, tangan kanannya tegak lurus. Tetapi, kaki
kirinya bersijingkat karena lebih pendek. Peluitnya
melengking-lengking sekerasnya. Pengendara mobil itu
mendengus dan berhenti dengan mata membulat.
Kemarahan muncul penuh di wajahnya. Tetapi, Paman
Klungsu bergeming. Dan di luar dugaan Paman Klungsu
semua orang di simpang tiga bertepuk tangan
mendukungnya. Peluit Paman Klungsu melengking
makin nyaring dan bertubi-tubi. Tangan kanannya tetap
menjulang ke atas. Orang- orang bersorak makin riuh.

Sejak peristiwa itu, Paman Klungsu makin percaya diri


dan merasa lebih gagah. Dia senang karena ternyata
orang-orang berada di pihaknya. Maka, dia mengulangi
sikap itu; tidak mengutamakan siapa saja yang lewat.
Juga barisan puluhan moge yang menderu menggila dari
barat pada Jumat dan menggelegar pongah balik dari
timur pada Ahad. Maka, Paman Klungsu dengan
peluitnya adalah sosok kekuasaan yang nyata di simpang
tiga itu. Sayangnya, orang-orang juga masih jadi saksi
peluit Paman Klungsu tak pernah melengking nyaring
terhadap Yu Binah. Bila dia lewat, Paman Klungsu selalu
mendahulukannya, dengan keramahan yang nyata pula.
Terhadap Yu Binah, peluit Paman Klungsu seakan bisu.

Ketika sedang istirahat pada suatu tengah hari di emper


toko, ada orang bertanya, Ah, kamu ternyata tetap
mengutamakan Yu Binah. Ada apa ya? Awas, Yu Binah
punya suami; kamu jangan macam-macam.

Pertanyaan itu membuat Paman Klungsu ketakutan.


Wajahnya mendadak beku. Bibirnya gemetar. Dia
tergagap, dan kata-kata yang kemudian diucapkan
terdengar patah-patah.

Yu Binah? Iya. Dia memang punya suami. Dan saya


tidak mengapa-apakan dia. Paman Klungsu gugup.
Namun, lama-kelamaan bicaranya lebih tertata. Katanya,
dia banyak berutang budi kepada Yu Binah. Penjual nasi
itu suka memberinya rames lengkap berapa pun Paman
Klungsu membayarnya. Menyadari uangnya sering tidak
cukup, tambahnya, dia biasa hanya minta nasi dan air
putih. Lauknya cukup kecap dan sambal yang memang
disediakan cuma-cuma. Tetapi, Yu Binah tetap
memberinya nasi rames lengkap dengan taburan bawang
goreng, tahu atau tempe, bahkan kadang ikan juga.
Taburan bawang goreng di atas nasi hangat, ditambah
sambal dan kecap, wah!

Jadi hanya karena bawang goreng, kamu merasa harus


mengutamakan Yu Binah?

Paman Klungsu tersipu, kemudian meneruskan


penjelasannya. Katanya, ada sesuatu yang sangat
mengesankan pada Yu Binah, yaitu gerak tubuh, terutama
kedua tangannya ketika Yu Binah menyiduk nasi dari
bakul lalu menampungnya dengan piring.

Itu seperti tangan orang menari, atau apa. Itu pantes


banget, perempuan banget. Tidak semua perempuan bisa
seperti itu, tambah Paman Klungsu.

Orang yang mendengar ucapan Paman Klungsu tertawa.

Ah, kamu mengada-ada saja. Cuma bawang goreng dan


gerak tangan perempuan menyiduk nasi mengapa kamu
begitu terkesan?

Jawaban Paman Klungsu keluar lagi setelah dia berdiam


diri. Dia mengaku dirinya orang perasa sehingga mudah
tersentuh oleh keanggunan yang tampak olehnya.
Apalagi, tambahnya, keanggunan gerak Yu Binah ketika
menyiduk nasi selalu disertai ketulusan yang nyata
terlihat di wajahnya.

***

Ini jam 9 pagi, lalu lalang di simpang tiga sudah mereda.


Anak-anak sekolah, para guru, dan pegawai sudah lama
sampai ke tempat kerja masing-masing. Yang masih
berkendara lewat simpang tiga hanya orang-orang yang
mau pergi atau pulang dari pasar. Udara mulai panas dan
suara lengking peluit buat sementara tak terdengar.
Karena tidak padat, arus kendaraan bisa mengalir lancar
meskipun tanpa lengking peluit Paman Klungsu. Ke
mana dia?

Dengan bekal uang seribu lima ratus pemberian tiga


sopir yang menyadari perut siapa pun harus diisi nasi,
Paman Klungsu masuk ke warung Yu Binah. Di depan
pintu warung lelaki pincang itu berpapasan dengan dua
pedagang yang baru selasai makan nasi rames. Paman
Klungsu duduk sendiri, meletakkan peluitnya di atas
meja, lalu menyulut rokok. Yu Binah menyambutnya
dengan senyum. Ah, Paman Klungsu tidak akan
melepaskan peluang menikmati keanggunan gerak Yu
Binah ketika perempuan itu sedang menyiapkan nasi
rames. Atau, barangkali Paman Klungsu sulit menjawab
bila ditanya, mana yang lebih dia sukai, keanggunan
gerak Yu Binah atau nasi ramesnya.

Yu, uangku cuma seribu lima ratus.

Ya, tidak apa. Ah, sejak pagi kamu kerja keras tiup-tiup
peluit di simpang tiga. Jadi perutmu tentu lapar. Sekarang
makanlah sampai kenyang.

Dengan uang seribu lima ratus ya, Yu?

Ya, itu kan biasa. Kamu jangan terlalu perasa. Kamu


sudah lama mengenal aku, kan?

Yu Binah memutar badan, mengambil satu piring lalu


bergeser ke dekat wadah nasi, mengangkat ciduk. Paman
Klungsu menatapnya dari samping dengan mata tanpa
kedip. Rokoknya dibiarkan tak tersentuh di atas asbak
dengan asap terus mengepul. Itu betul sebuah lenggang
yang pantes banget, dan aku tidak akan bosan
melihatnya, ujar Paman Klungsu dalam hati. Dan
kemudian hatinya merasa sejuk seperti diguyur air ketika
Yu Binah menyorongkan piring itu. Isinya penuh; nasi
putih dengan taburan bawang goreng dan sayur buncis.
Wadah sambal, botol kecap, dan segelas air putih
disorongkan juga.

Ayo makan. Kamu tentu sudah lapar.

Suara itu terasa seperti dendang alam di telinga Paman


Klungsu. Ketika sekejap menengadah, Paman Klungsu
juga melihat wajah tulus itu. Mata yang jernih, senyuman
yang polos, sederhana. Paman Klungsu menunduk,
memperhatikan rokok di asbak yang hampir habis tanpa
diisap. Menarik napas panjang, lalu menarik piring lebih
dekat. Aroma bawang goreng membangkitkan seleranya.
Dan Paman Klungsu sadar, harga nasi rames yang sedang
dimakan pasti di atas seribu lima ratus.

Selesai makan, Paman Klungsu minta diri dengan cara


orang yang amat mengerti berterima kasih. Meskipun
tahu dari jam sembilan sampai jam satu lalu lintas di
simpang tiga tidak ramai, Paman Klungsu tidak mau
terlalu lama meninggalkan tempat itu. Namun, sampai di
depan pasar Paman Klungsu harus berhenti. Yu Binah
memanggil-manggilnya dari belakang. Yu Binah berjalan
tergesa-gesa, tangan kirinya menjimpit sesuatu dengan
ibu jari dan telunjuk. Menahan rasa jijik. Tangan
kanannya menutup hidung dan mulut.

He, ini, peluitmu tertinggal. Idih, ampun! Baunya busuk


sekali, kata Yu Binah dengan suara teredam oleh
bungkaman tangan sendiri. Peluitmu selalu kena ludah
tapi tidak pernah kamu cuci ya? Idih, minta ampun
busuknya!

Begitu ya, Yu? Tetapi, peluitku amat penting. Bunyinya


berkuasa mengatur simpang tiga, jawab Paman Klungsu
sambil berusaha menangkap peluit yang dilemparkan Yu
Binah ke arahnya.

Iya, lah, aku tahu. Namun, mengapa peluitmu yang


punya kuasa itu harus bau busuk? Ah, cucilah barang
busuk itu. He, dengar. Kamu jangan ke warungku
sebelum peluit itu kamu cuci. Benar ya?

Paman Klungsu mengangguk dan tersenyum. Setelah Yu


Binah berbalik, Paman Klungsu termangu sejenak.
Mendadak dia tergoda untuk mencoba merasakan sendiri
bau peluitnya. Maka lubang pada barang kecil itu
didekatkan ke hidungnya. O, Paman Klungsu mendadak
tersentak dan berkali-kali bergidik, lalu cuh! Kemudian
Paman Klungsu berjalan terpincang-pincang sambil
menunduk, pulang ke simpang tiga. Panas matahari
menyengat kepalanya. Dan peluit sakti yang bau busuk
itu tetap dalam genggaman.

Ahmad Tohari, lahir di Banyumas, 13 Juni 1948.


Sekarang menetap di Desa Tinggarjaya, Jatilawang,
Purwokerto, Jawa Tengah. Karyanya yang paling populer
novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Cerpennya Anak
Itu Mengencingi Jakarta keluar sebagai Cerpen Terbaik
Kompas 2015. Sampai sekarang di kampung halamannya
Tohari tetap produktif menulis dan menjadi pembicara di
sejumlah kota
Rumah Batu Kakek
Songkok
Cerpen Lina PW (Kompas, 29 Januari 2017)

Jadi juga pesan pasir? tanya Sabang pada ayahnya,


dengan napas tersengal.

Sabang tinggal tak jauh dari rumah Kakek Songkok,


panggilan sang ayah oleh warga kampung. Ia
memperhatikan sebuah pikap menurunkan pasir, lalu
tergopoh-gopoh menghampiri ayahnya.

Iye, kita bikin baru rumah kita, jadi rumah batu, jawab
Kakek dengan senyum mengembang sembari
membenahi letak songkok. Karena songkok itulah ia
dipanggil Kakek Songkok oleh warga kampung. Peci tak
pernah lepas dari kepala Kakek. Bahkan, seluruh
anaknya kerap memanggil ayah mereka dengan Kakek
Songkok.

Sabang mengerutkan kening, yang membuat Kakek


teringat pertengkaran dengan putranya dua malam lalu
saat Kakek menyampaikan niat menjadikan rumahnya
rumah batu.

Kenapa harus rumah batu? Tak usahlah dengar kata


orang, cecar Sabang. Ia satu-satunya yang tidak setuju
keinginan ayahnya mengubah rumah papan menjadi
rumah batu. Bagi Sabang, rumah masa kecil harus tetap
seperti sedia kala. Apalagi kalau ayahnya mengubah
rumah hanya karena omongan tetangga.

Bukan karena kata orang, sudah lama mau kuubah


rumah ini. Lihat ko papannya, ibumu sudah berapa kali
jatuh karena papan-papan itu sudah tua, ujar Kakek
Songkok lirih, tubuhnya berkeringat. Tidak sanggup ia
beradu mulut dengan putra kesayangannya.

Aih, tidak, tidak. Rumah kita harusnya biar begini saja.


Di sini kenangan kita semua. Kenapa harus diubah?
Sabang setengah membentak ayahnya sambil menunjuk
sekeliling rumah. Suaranya meninggi, mukanya merah
padam menahan marah.

Sejak hasrat mengubah rumah muncul, dan dikabarkan


ke seluruh keluarga, saat itu Sabang sudah menentang.
Kakek mengalah, mencoba membujuk Sabang agar
paham. Tapi, pertengkaran dua hari lalu itu kini bangkit
kembali. Sabang memandang gundukan pasir itu. Ia
bayangkan, tak lama lagi pasir-pasir itu akan dicampur
semen, merekatkan batu-batu. Bagi Sabang, batu-batu itu
bersatu padu melindas kenangan masa kecilnya di rumah
kayu yang tak lama lagi akan dirobohkan. Ia banyak
melihat keadaan itu terjadi pada kawan-kawan di kota
saat sekolah dulu. Saat itu ia hanya tertawa karena yakin
kampungnya tetap teguh mempertahankan rumah adat
mereka, kenangan mereka akan hidup. Tapi, sekarang
tampaknya akan pupus pula kebanggaan itu.

Sabang sadar, tak ada guna lagi menentang. Tak pantas


lagi berharap. Semua bilah-bilah kayu itu, jendela-
jendela, lantai, usuk, papan-papan, tempat semua
kenangan masa kecil melekat dan menancap, akan segera
lenyap. Rencana sedang dijalankan, keinginan tengah
diwujudkan untuk melumat wujud sejarah sebuah
keluarga. Semua akan tinggal kenangan yang
mengambang. Melayang-layang mendesak-desak dada.

Mulut Sabang terkunci, ia pulang tanpa pamit,


membiarkan Kakek Songkok terdiam hampa. Memang,
Sabang sangat keras soal rumah. Ia juga yang menentang
saat sang ipar, suami kakak perempuannya, membangun
rumah batu sedari awal mereka menikah.

Kakek berjalan terbungkuk ke arah balai bambu di


bawah rumah panggungnya. Langkahnya lunglai,
matanya kuyu. Istrinya menyusul. Mereka duduk dalam
diam dielus angin sepoi yang biasa lewat di bawah
rumah. Balai-balai ini tempat kesukaan pasangan tua itu.
Pagi, siang, sore, bahkan malam, angin akan datang
menghampiri, tak peduli musim apa pun yang sedang
hinggap di kampung. Tapi tak ada yang terlalu suka di
balai saat malam. Selain karena gelap tak
menyenangkan, nyamuk-nyamuk akan berpesta pora,
membuat penghuni sibuk menggaruk seluruh badan.

Ah, kenapa aku marah ke Sabang. Harusnya tak usah


sampai begitu, bisik Kakek pada dirinya sendiri. Lama
Kakek duduk diam, tenggelam dalam pikiran sendiri.
Sesekali Kakek Songkok memandang berkeliling, seolah
ingin menelan rumah dengan tatapan matanya. Balai itu
sendiri tanpa dinding papan. Kakek memasang bambu-
bambu melintang di tengah tiang-tiang rangka rumah. Di
situlah mereka biasa bercengkerama. Rumah mandar
seperti rumah Kakek, besar, luas, dan memiliki tiang-
tiang rangka kokoh sebagai penyangga. Orang-orang
menyebut rumah ini rumah panggung. Tiang rangka yang
digunakan tinggi, hingga tiga meter, sebelum mencapai
papan pijakan rumah. Biasa dibuatkan tangga untuk bisa
memasukinya.

Kakek Songkok menatap tangga rumahnya yang sudah


berlubang, beberapa papannya lapuk dimakan usia.
Seminggu lalu, cucu Kakek terluka karena berlari-lari di
sekitar meja tamu. Ia terperosok di antara papan yang
remuk karena tua. Kaki gadis kecil lima tahun itu
berdarah-darah.

Kejadian itu menyadarkan Kakek, rumahnya sudah renta.


Memperbaikinya menjadi rumah batu bagi Kakek seperti
memastikan keluarganya aman, tak ada lagi yang perlu
terluka.
Masih menekuri kerapuhan rumahnya sendiri, tiba-tiba
menantu Kakek memberi salam, memanggil kembali
Kakek dari buaian angin sepoi.

O, Darman, sini, sini, sapa Kakek Songkok mendengar


suami anak sulungnya mengucap salam.

Masih berdiri Darman berujar, Bagaimana jadinya


pembangunan rumah ini, Kek?

Kakek menghela napas, memandang sekeliling rumah


lagi, lalu menatap Darman, sambil berkata muram, Yah,
Sabang tetap tak setuju. Tapi pemesanan bahan sudah
berjalan, akan datang besok. Malam nanti kita bujuk lagi
Sabang agar setuju ubah rumah.

Darman mengangguk-angguk. Ia bukan orang Mandar.


Tidak seperti Sabang dan Kakek Songkok. Ia tak pernah
menikmati kebersamaan memindahkan rumah panggung
beramai-ramai. Kebersamaan yang menyatukan warga
kampung. Di tanah Mandar, masyarakat biasa saling
bantu saat akan memindahkan rumah. Dari kampung
sebelah pun datang mengangkat rumah panggung itu ke
tempat baru.
Tawa riuh rendah bercampur masam bau keringat serta
teriakan semangat selalu menyemarakkan pemindahan
rumah. Semua lelaki kampung turun tangan, rumah
panggung yang berat dengan tiang dan tangga itu akan
dipindahkan dalam sekali waktu, bersama-sama. Setelah
rumah pindah, masyarakat menikmati makanan ringan,
seperti loka yanno, pisang goreng gurih sedap disantap
selagi hangat, dan bubur kacang hijau yang disuguhkan
oleh si empunya rumah. Kebersamaan itu mengikat
masyarakat kampung. Sabang suka sekali membantu
pemindahan rumah, ia akan bersenda gurau dengan
pemuda kampung yang ikut serta. Apalagi ayahnya,
Kakek Songkok, ditunggu-tunggu pemuda kampung
karena selalu memberi guyon semangat saat akan
memindahkan rumah. Hari-hari Sabang kecil riuh oleh
pekik semangat dan kebersamaan warga. Tapi, itu semua
tak pernah dirasakan Darman. Kenangan indah
kebersamaan itulah yang merasuk dalam diri Sabang
sehingga ia selalu menentang pembangunan rumah batu.

Darman datang dari pulau sebelah. Belum lama di tanah


Mandar, ia merantau sebagai tukang listrik di Malaysia.
Dengan uang hasil kerjanya, ia membangun rumah batu
pertama di kampung itu. Rumah panggung sudah
ketinggalan zaman, katanya sengit.

Tak disangka pembangunan rumah batu diikuti warga


lain. Menimbulkan gengsi sendiri kata mereka. Hanya
Sabang yang berang, mengatakan rumah panggung
adalah tradisi, adat yang harus mereka rawat. Dalam tiga
tahun sejak Darman membangun rumah batu pertama itu,
hampir seluruh warga yang mampu langsung mengubah
rumah mereka menjadi rumah batu. Warga yang tidak
mengubah rumahnya dianggap berkehidupan di bawah
standar. Keberadaan rumah batu menentukan tingkat
sosial mereka. Dan tidak ada yang lebih menyakitkan
daripada dipandang tidak mampu oleh warga sekampung.

Kepala kampung yang seolah peduli dengan kehidupan


warganya melontarkan gagasan membantu warga yang
tempat tinggalnya belum rumah batu, dengan memberi
sumbangan dari dana desa. Ia menyampaikan gagasan itu
dengan lembut, tetapi terasa sangat mendesak-desak,
juga membujuk-bujuk, yang kemudan disambut riang
gembira oleh warga. Pembangunan rumah batu dimulai.
Hanya dua orang yang menolak: Sabang, yang tidak mau
mengubah rumahnya sama sekali, dan Kakek Songkok,
ayah Sabang, yang mengatakan ia punya cukup uang
untuk membangun rumah batu, hanya menunggu waktu.

Baik, kalau begitu saya permisi dulu, kata Darman,


tidak naik ke rumah. Kakek Songkok mengangguk
singkat.

Sepeninggal Darman, Kakek menaiki tangga rumah,


membuat bunyi berderak dan kriut kencang. Ia berjalan
ke kamarnya, berjingkat, menghindari lubang-lubang
rapuh kayu rumah. Kakek lalu berbaring di dipan tanpa
kapuk yang dipenuhi sarung dan baju-baju. Pikirannya
dipenuhi rasa sesal karena pertengkaran dengan Sabang
pagi tadi.

Belum lama berbaring, Kakek Songkok terlonjak oleh


salam Sabang. Lekas-lekas Kakek merapikan sarung,
menyambut Sabang, siap menerima gelegak marah
putranya lagi.

Tapi kali ini Sabang datang dengan penuh kelembutan.


Sudah saya putuskan. Lanjutkan saja pembangunan
rumah ini. Saya mendukung apa pun yang akan
dilakukan, ujar Sabang pelan, terasa seperti igauan yang
teduh.

Kakek setengah melongo, tergagap menjawab, Ah,


benar setuju ko?

Iye, kalau memang sudah diputuskan dan itu yang


paling baik, teruskan, kata Sabang. Kakek mengangguk-
angguk senang, tak menyangka anaknya akan
mendukung.

Tapi bagaimana denganmu? Ubah juga rumahmu jadi


rumah batu, ya? bujuk Kakek.

Sabang hanya tersenyum kecil. Kakek merasa senyum


putranya lebih dari cukup untuk sebuah persetujuan.
Nanti rumah ini juga punyamu, kan. Keluargamu bisa
hidup baik di rumah batu, tak perlu panas-panas karena
atap seng ini, nanti ganti juga jadi genteng, tambah
Kakek kegirangan.

Sabang memandang berkeliling. Matanya melahap


kenangan masa kecil ketika tinggal di rumah kayu ini.
Jatuh pertamanya di papan kayu, cengkeh pertama yang
ia poteki semasa kanak, semua di ruang ini. Air muka
Sabang menyiratkan ia sungguh tak rela menjadikan
rumah ini rumah batu. Namun, ia sudah memutuskan
mengikuti keputusan ayahnya. Kakek Songkok masih
berkata tanpa henti tentang rumah batu saat Sabang
pamit.

Pembangunan pun dimulai. Papan-papan rumah


dibongkar, tiang-tiangnya dibuang. Pasir dan semen
dicampur, batu-batu disusun. Darman dan semua
keluarga berdatangan membantu, atau sekadar melihat
pembongkaran rumah tua mereka. Sabang tak pernah
datang, tak juga muncul saat rumah selesai dibongkar.
Dinding batu pertama sudah rampung, tapi Sabang tak
juga tampak.

Banyak yang memuji, atau setengah menyindir, akhirnya


Kakek Songkok memperbaiki rumah, dan tidak
dipandang sebelah mata lagi oleh tokoh kampung. Ia
hanya tersenyum menyaksikan rumahnya menjadi rumah
batu. Meski heran mengapa putranya tak pernah
menjenguk pembangunan rumah, Kakek tak terlalu
gelisah, ia ingat perbincangan terakhir saat Sabang
menyetujui keputusan tersebut.

Ketika rumah batu itu rampung, Kakek mengadakan


syukuran kecil. Kepala kampung yang diundang
memberikan sambutan betapa bijak keputusan Kakek
Songkok untuk mengubah rumah, dan memuji betapa
indah rumah-rumah batu di kampung yang ia pimpin.
Sebelum syukuran, Sabang dipanggil, tapi yang dicari
tak ada di rumah. Acara tetap berjalan tanpa kehadiran
Sabang.

Masih subuh, saat akan bersiap ke kebun, Sabang


menghampiri ibunya, di depan rumah. Kakek minum
kopi di teras.

Ke mana saja ko? Kenapa tak pernah datang? Mau ke


mana lagi? tanya Kakek melambai pada Sabang.

Saya mau pindah ke Ratte. Tak ada lagi yang sanggup


saya bikin di sini, rumah kita juga sudah berubah, ujar
Sabang menahan isak. Ia menggendong ransel. Di
motornya ada satu tas besar lagi, dipegang oleh Sarti,
istri Sabang. Ia akan tinggal di kampung istrinya di
Ratte, letaknya di balik bukit. Di sana ia bisa tetap
tinggal di rumah panggung, terhindar dari tekanan untuk
mengubah rumahnya menjadi rumah batu.

Rumahmu ini bagaimana? Kami bagaimana? tanya


Kakek, melonjak dari duduknya, kaget saat Sabang
memutuskan pergi.

Tak apa. Rumah saya berikan pada Darman untuk


anaknya, mau dijadikan rumah batu juga. Semua kan
sudah aman dalam rumah batu. Lenyap kenangan kita,
hilang juga saya, jawab Sabang menghidupkan
motornya. Ia berlalu, sedih.

Saya sudah berusaha tahan. Dia tak mau dengar, aih,


tiba-tiba Darman datang, berusaha selekas mungkin
sampai pada Kakek. Sabang sudah tak terlihat lagi.

Kakek Songkok duduk dengan tatapan kosong, matanya


sembab, bayangan Sabang semakin jauh. Deru motornya
kian sayup, begitu jauh. Angin tak kuasa lagi
mengantarnya.

Lina PW, lahir dan besar di Pulau Dewata, Bali. Memulai


menulis sejak sekolah menengah dengan menuangkan
ide dan pengamatannya melalui tulisan jurnalistik. Lina
pernah menjadi wartawan lepas di beberapa media lokal
dan kontributor kisah perjalanan di sejumlah media
nasional. Tulisan-tulisannya antara lain dibukukan dalam
antologi Merajut Mimpi di Sudut Negeri dan Kerlip
Cahaya di Perbatasan. Tahun 2016, ia mengikuti
workshop penulisan cerpen yang diselenggarakan harian
Kompas. Kini Lina menetap di Bali, bersama teman-
temannya, ia tengah merancang komunitas menulis bagi
kaum belia.
Sekoci dan Sepasang Lumba-
Lumba
Cerpen Mashdar Zainal (Kompas, 22 Januari 2017)

ARIMBI tak mengerti mengapa tiba-tiba ia sudah berada


dalam sekoci itu. Semalam demamnya menjadi-jadi,
badannya panas sekali. Saat ituyang Arimbi ingat,
Sugi datang dan membopong tubuhnya, lalu
membaringkannya di suatu tempat yang dingin dan agak
keras. Arimbi tak yakin di mana tempat itu. Apakah di
puskesmas, atau di kamar Sugi, atau barangkali masih di
kamar Arimbi sendiri. Tapi kini Arimbi tahu, di mana
semalam Sugi membaringkan tubuhnya. Di dalam
sebuah sekoci. Ya. Di dalam sebuah sekoci.

Kini, sekoci itu bergoyang-goyang ringan di tengah laut


lepas. Dengan Arimbi yang duduk telimpuh sambil
memandang laut yang bagai tanpa ujung. Laut lepas
dengan warna abu-abu. Seorang diri. Tanpa Sugi. Dan
tanpa siapa pun.
Lalu ke mana Sugi? Arimbi tersenyum nyeri. Matanya
kembali perih.

Orang-orang mengatakan, Sugi hilang tiga bulan lalu saat


melaut di tengah badai. Orang-orang sudah
mengingatkan Sugi untuk lekas memutar haluan dan
balik saat tanda-tanda badai mulai datang. Tapi Sugi tak
menghiraukan. Yang Sugi pikirkan hanyalah ikan-ikan
yang berlimpah itu mendatangi jaringnya. Saat badai
datang, air akan bergolak dan membuat ikan-ikan
berenang tak tentu arah, sehingga mereka tak sempat
berpikir untuk berenang menjauhi jaring-jaring Sugi.

Lautku, badaiku, giringlah ikan-ikan itu menuju


surganya, menuju jaringku, demikianlah orang-orang
mendengar Sugi berteriak, membalas peringatan mereka
yang mengajaknya pulang. Maka, orang-orang pun
menepi meninggalkan Sugi yang matanya terus menyala
di bawah badai.

***

Arimbi dan Sugi akan menikah beberapa bulan lagi.


Sebuah pernikahan, meski tak usah dirayakan seperti
pernikahan putri dan pangeran, tetap saja butuh biaya.
Demi itulah Sugi rajin melaut beberapa bulan terakhir
ini. Arimbi dan Sugi sudah menjalin hubungan semenjak
mereka duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama.
Arimbi anak seorang kepala desa, dan Sugi hanya anak
seorang buruh nelayan yang hari-harinya diliputi bau
amis di pelelangan ikan. Orangtua Arimbi tak pernah
merestui hubungan itu. Bahkan setelah keduanya
beranjak dewasa. Namun, Arimbi dan Sugi bagai laut dan
pantai, tak hendak terpisahkan.

Terkadang aku membayangkan, kita menjadi sepasang


lumba-lumba yang berenang di laut lepas, bebas,
melompat ke udara, dan selalu beriringan, ucap Sugi
suatu sore di lepas pantai yang tak jauh dari rumahnya.

Arimbi mendengarkan dengan saksama, hingga tanpa


sadar bibirnya turut berujar, Tanpa harus peduli pada
perbedaan-perbedaan, yang kadangkala membuat kita
bagai seekor cupang yang terkekang dalam akuarium,
memusuhi diri sendiri.

Apa kau juga ingin menjadi seekor lumba-lumba?


Sepertinya menjadi seekor lumba-lumba memang lebih
baik.

Dan keduanya meloloskan pandangan ke cakrawala,


hingga Ayah Arimbi muncul dengan teriakan yang
mengalahkan bising ombak. Ayah Arimbi menyeret
tangan Arimbi menjauhi Sugi. Arimbi pernah dikurung.
Pernah diancam ini-itu. Tapi rupanya, perasaan Arimbi
pada Sugi bukanlah perasaan reka-reka. Betapa banyak
yang dialami Arimbi demi mempertahankan pemuda
legam pencari ikan itu. Termasuk berniat mati, kalau
ayah-ibunya terus-menerus mencela dan tak merestui
hubungan mereka. Melihat Arimbi sedemikian yakin
mempertahankan Sugi, lambat laun, orangtua Arimbi pun
pasrah. Hubungan mereka pun beroleh restu.

Namun, rupanya alam tak menghendaki keduanya


menyatu dengan cara itu. Alam mengambil Sugi.
Memisahkannya dari Arimbi. Hingga perlahan, Arimbi
menjadi seorang penyendiri. Pemurung. Ia mulai suka
mengarang-ngarang cerita sendiri. Arimbi tak pernah
percaya pada orang-orang yang mengomongkan bahwa
Sugi sudah pergi. Kata orang-orang, Sugi telah menjadi
milik sang laut, dan tak mungkin kembali. Laut tak
pernah mengembalikan apa yang ia minta. Karena laut
sudah terlalu banyak memberi. Jadi, sekali saja ia
meminta sesuatu, sesuatu itu akan menjadi miliknya,
selamanya. Pun Sugi.

Seperti apa pun Arimbi tak memercayai omongan orang-


orang, nyatanya, Sugi memang tak pernah muncul
semenjak kabar badai itu. Arimbi tak bisa melakukan
apa-apa sebagaimana orang-orang. Laut begitu luas.
Mencari Sugi di tengah belantara laut, sama halnya
mencari sebuah keajaiban yang hanya ada di angan-
angan. Sugi telah hilang. Sugi telah pergi. Dan hanya
mukjizat yang bisa membawanya kembali.

Kalau orang-orang tak mampu mencari Sugi sampai


ketemu, aku yang akan mencarinya sendiri, pekik
Arimbi suatu kali, Sugi tak mungkin pergi begitu saja.
Kalau ia pergi pasti ia akan mengajakku serta. Pasti.

Namun, di kesempatan lain, Arimbi juga mengoceh,


Barangkali Sugi sedang menyelam ke kedalaman laut
untuk mengambil beberapa butir manik mutiara. Aku
pernah bilang kalau aku suka sekali manik mutiara. Pasti
bagus untuk mahar nanti. Jadi, Sugi pasti akan kembali
dengan maharnya. Ia sudah janji. Pasti.

Di waktu yang lain, Arimbi pun pernah berkoar, Atau,


Sugi sedang belajar berenang. Sugi pernah bilang, ia
ingin menjadi seekor lumba-lumba. Suatu saat,
barangkali Sugi akan datang setelah ia bisa berenang dan
menyelam dengan baik. Dan kami akan kembali ke laut
bersama-sama. Sugi akan membimbingku untuk menjadi
seekor lumba-lumba yang baik. Jadi, pasti Sugi akan
kembali. Pasti.

Orangtua Arimbi tahu, semenjak kabar badai yang


menelan Sugi, sesuatu dalam diri Arimbi mulai runtuh. Ia
sering berdiri di muka jendela kamarnya, menatap jauh
ke dusun Sugi di pesisir, yang hanya mempertontonkan
atap-atap rumah yang kusam seperti cangkang lokan
yang berserakan ditinggal penghuninya. Arimbi tak
doyan makan. Tubuhnya layu dan kerontang. Bahkan,
saat orang-orang tidur, Arimbi memilih untuk tetap
terjaga. Dari jendela yang sama, dalam keadaan terjaga,
Arimbi kerap bermimpiArimbi menyebutnya begitu,
Sugi muncul dari gelap malam.
Tepat beberapa hari sebelum hari yang seharusnya
menjadi hari bahagia itu, Arimbi diserang demam.
Demam itu menggerogoti tubuh Arimbi seperti binatang-
binatang kecil tak bernama yang menggerogoti sisa
makanan yang dilempar ke bibir laut. Hingga malam itu,
ketika orang-orang terlelap dibuai udara malam pesisir
yang dingin, Sugi mendatangi Arimbi yang tengah
terbaring lemas di ranjangnya. Ibu Arimbi tertidur dalam
keadaan duduk, dengan kepala roboh di tubir ranjang.
Meski demikian, ibu Arimbi tak dapat merasakan
kedatangan Sugi. Ranjang itu hanya berkeriut sebentar
dan tiba-tiba tubuh Arimbi lenyap begitu saja.

Kelewat tengah malam, suara ibu Arimbi menyobek


keheningan. Ibu arimbi menjerit-jerit. Histeris. Arimbi
hilang. Arimbi hilang. Arimbi hilang Dan Arimbi
memang lenyap. Menyisakan jendela kamar yang
mengaga senyap. Seperti sebuah bingkai photo yang
memajang sebuah ketiadaan. Seperti sebuah mulut yang
memuntahkan segenap kehampaan.

Detik itu, Arimbi merasa tubuhnya seperti melayang, di


antara dua tangan Sugi yang kekar dan begitu kuat
mendekap tubuhnya yang ringkih. Arimbi melihat Sugi
berjalan tanpa melihat arah. Hanya berjalan. Hanya
menatapnya. Sugi menatap Arimbi. Dan Arimbi menatap
Sugi. Keduanya seperti melayang dalam tatapan satu
sama lain. Hingga Arimbi bisa terlelap dengan nyaman
setelah sekian lama mengalami insomnia.

Hingga remang itu, Arimbi mendapati dirinya tengah


duduk telimpuh dalam sebuah sekoci yang bergoyang-
goyang ringan di tengah lautan. Lautan dengan warna
abu-abu. Apakah ini masih sebuah mimpi? Arimbi
meraba arah. Entahlah. Hanya ada dirinya, sekoci yang
bergoyang ringan, dan laut lepas berwarna abu-abu.

Di sekoci itu, Arimbi merasa begitu dekat dengan Sugi.


Bahkan Arimbi tak perlu merasa cemas ketika tiba-tiba
gerimis pertama turun menimpa pipinya yang mulai
kusam. Gerimis yang juga abu-abu. Arimbi merasa
dirinya dalam keadaan yang jauh lebih baik, meski
perlahan sekoci yang menyangga tubuhnya bergoyang
semakin liar. Angin berkelebat seperti sosok-sosok
berbentuk pipih yang menampar-nampar sekoci Arimbi.
Sekoci itu kini seperti diayun-ayun. Diombang-ambing.
Titik-titik gerimis pun telah mengembang menjadi hujan.
Sekoci Arimbi tampak seperti menari-nari. Begitu
bungah. Begitu bergairah. Air hujan pun mulai
menggenangi sekocil mungil itu. Arimbi mulai
menggigil. Tapi ia tak merasa cemas sama sekali. Ia
yakin, Sugi berada dekat sekali dengannya. Sangat dekat.
Maka, sekoci mungil itu pun terus menari dan menari. Di
tengah badai. Di tengah laut yang warnanya telah
menjadi abu-abu sempurna.

***

Sekitar satu pekan setelah hilangnya Arimbi, para


nelayan dikejutkan oleh munculnya sepasang lumba-
lumba yang berenang di perairan laut dangkal. Orang-
orang bersumpah, lumba-lumba itu kerap muncul,
khususnya menjelang senjadan hanya sepasang, tak
ada yang lain. Mereka selalu berenang beriringan.
Melompat ke udara dan saling mengejar. Layaknya
sepasang mempelai.

Bagaimana kalau kita buru saja, ungkap salah seorang


nelayan.
Betul, lumayan untuk persediaan pasokan ikan asap di
musim badai begini, jawab yang lain.

Jangan. Jangan pernah memburu lumba-lumba, pamali,


sahut yang lain pula.

Tak masalah!

Eh, jangan!

Malang, 2016

Mashdar Zainal lahir di Madiun, 5 Juni 1984, banyak


menulis prosa. Cerpennya pernah masuk dalam buku
Cerpen Pilihan Kompas tahun 2011 dan 2012. Kini
tengah menyiapkan buku kumpulan cerpen terbarunya,
Dongeng Pendek tentang Kota-Kota dalam Kepala.
Penulis bermukim di Malang.
Veronika Punya 4 Ayah 4 Ibu

Cerpen Gatot Prakosa (Kompas, 15 Januari 2017)

Apa aku masih berbau keju? Burung pipit barangkali


suka keju.

Gaklah, Yah. Kalau bau, semua orang pasti lari


ketakutan.

Aku membayangkannya. Istriku benar, aku sudah lama


tidak membuat kue, jadi tidak mungkin masih bau keju.
Burung di atas rambutku mematuki kepalaku. Aku
membiarkannya saja. Tapi istriku mengusirnya pergi.

Dulu aku pernah bilang padamu. Waktu kita


mengadopsi anak itu. Tapi kau cuma ketawa waktu itu.

Istriku diam. Aku tahu dia sedang mengingat-ingat.

Apa sih?

Dulu waktu kita mengambil anak itu, aku bilang


padamu, kalau aku membawanya pulang agar aku belajar
kehilangan.

Apa kau pernah bilang begitu? Kok aku lupa, ya?

Aku sudah belajar menghadapi dirimu yang jadi


pelupa.

Apa kamu dapat firasat bakal kehilangan anak itu?

Dua perawat masuk ruang perawatan di depanku.


Pakaiannya yang putih-putih, kadang masih menyakitiku.
Seperti sekarang.

Jangan khawatir, Yah. Anak kita sehat. Sedang


digendong perempuan itu. Entah siapa dia.

Kau tadi bertanya apa maksud belajar kehilangan itu


artinya aku tahu anak itu akan mati? Tidak. Aku tidak
membayangkan seperti itu. Aku cuma bilang kita akan
belajar kehilangan.

Kulihat istriku terbengong.

O, aku ingat. Dulu sewaktu kita menikah, kau pernah


mengatakan yang seperti itu juga. Kamu menikah supaya
kamu belajar kehilangan, begitu kan?

Aku menggaruk kepalaku. Dia mengingatnya. Kali ini


aku yang lupa.

Ya. Aku marah padamu. Aku enggak mau ke tempat


tidur, padahal itu malam pertama kita. Kamu berusaha
menjelaskannya. Dan aku tidak peduli. Kamu meracau
tak jelas.

Aku baru ingat. Aku ingat sampai berbusa mulutku


meminta maaf dan menjelaskannya.

Jadi, dulu kamu tidak mendengarkan penjelasannya, ya?


Kau tidak memaafkan aku sampai sekarang? Kupikir
urusan itu sudah selesai.

Kau sudah merencanakan bercerai, bahkan sebelum kita


menikah. Bagaimana bisa seorang perempuan akan sabar
mendengar suaminya menjelaskan hal semacam itu? Aku
kecewa waktu itu. Karena aku sudah sah jadi istrimu dan
jatuh cinta padamu. Aku memikirkannya. Bisa apa aku?

Ya sudah, maafkan aku.

Sekarang anak itu. Kau ingin belajar kehilangan


anakmu? Kau ingin anakmu pergi? Kau ingin anakmu
mati? Dia berdiri dan memukuli aku. Sialan kamu!
Lihat! Lihat! Kau dan aku yang mati! Ini azab buat
pikiran jahatmu! Kita benar-benar berpisah dengan anak
itu.

Apa aku keliru?

Omong apa sih kamu.

Baiklah, baiklah. Aduh. Jangan pukuli aku seperti


maling begini. Aku jelaskan lagi, deh.

Dia duduk lagi. Kukira dia tahu tak ada gunanya


memukuli aku.

Yang datang pasti akan pergi. Kamu percaya itu, kan?


Dia cemberut. Aku menikah denganmu. Sama seperti
yang lahir akan mati. Kita tidak tahu berapa kali nantinya
kamu kehilangan anting. Berapa kali aku nantinya
kehilangan uang. Aku cuma mau bilang: kita benar-benar
belajar kehilangan sesuatu biar kamu tidak terlalu jatuh
kalau aku mati duluan.

Istriku diam. Aku tak menyusulkan dengan kata-kata


lainnya. Biar dia punya cukup waktu memikirkannya.

Apa kamu sudah belajar kehilangan pada akhirnya?


tanyanya setelah jeda yang lumayan lama, sampai lima
putaran napas.
Kau mau memaafkan aku?

Kulihat senyumnya yang malu-malu.

Apakah kita sudah belajar kehilangan dia?

Aku tertegun. Anak itu? Kita tidak belajar. Tidak


sempat.

Anak itulah yang belajar kehilangan. Bukan kita.

Tapi dia masih 3 bulan. Dia belum bisa belajar yang


abstrak seperti itu.

Aku setuju. Istriku benar. Tak ada yang belajar


kehilangan dari anak itu. Anak itu belum sempat masuk
rumah kami. Karena di perjalanan pulang dari panti,
mobil kami ditabrak truk bermuatan pasir. Anak itu
selamat dan dibawa kembali ke rumah panti asuhan.
Orang-orang tidak melanjutkan mengurus surat-surat
keperluan adopsi yang menurut rencana akan disusulkan
ke rumah.

Perawat yang tadi masuk ruangan, keluar lagi, persis


ketika masuk, dengan baki dan kertas-kertas, juga
seragam putihnya.
Bagaimana kondisi orang tua itu? Kemarin suaminya
mati tiba-tiba. Jantung. Apa selalu jantung yang datang
tiba-tiba? Sekarang, baru tiga bulan setelah si suami.
Mungkinkah dia akan menyusulnya?

Kalau ibu tua itu mati. Anak itu berarti sudah


kehilangan dua ayah-ibunya. Kita tidak tahu ayah-ibu
yang melahirkannya. Kalau mereka juga sudah mati, dan
karenanya anak itu terdampar di panti itu, berarti anak itu
punya tiga ayah dan tiga ibu yang mati.

Dan ibu muda, mungkin adik dari ibu ketiga itu, akan
jadi ibu anak itu selanjutnya. Dia ibu ke-4. Suaminya jadi
ayah ke-4.

Kalau begini, kita akan benar-benar menghilang. Tidak


ada yang mengingat kita sebagai orangtua ke-2 anak itu.

Kau kira begitu?

Sangat disayangkan, begitulah kiranya. Kecuali ada


orang di panti yang cerita kalau dulu anak itu sudah
dibawa orangtua asuh, orangtua malang, yang hanya
sempat membawanya keluar panti selama duapuluh
menit saja.
Anting-anting anak itu. Kau lihat, kan? Itu
pemberianku.

Kamu sempat memakaikannya?

Di panti itu, sebelum berangkat. Perawat di panti yang


memakaikannya. Anting yang dipakainya murahan,
karenanya aku membelikannya. Itu berlian. Aku
memilihnya sendiri.

Kamu memberinya tanda. Kamu lebih beruntung


daripada aku. Meski tanda itu tidak menyebutkan
namamu. Orang tahunya anting itu pemberian
orangtuanya yang sekarang sedang sakit itu.

Hari kelima di rumah sakit. Ibu yang ke-3 putri kami


wafat.

Anak itu sepertinya pembawa sial.

Sekarang anak itu punya 4 orang ibu 4 orang bapak.


Serakah ya.

Kita benar-benar menghilang dari dunia anak itu.


Anting-antingmu jadi tak berguna menolongmu eksis.
Berapa juta kau membelinya? Tak ada yang
mengingatkan anak itu kepada kita.
Katamu, kita belajar kehilangan dari anak itu.

Aku tertunduk lesu. Kamu benar.

***

Anak itu sudah remaja sekarang. Dia perempuan yang


baik hati. Suka menyapa tetangga, selalu menurut
perintah dan larangan ayah-ibu ke-4 yang sudah
menginjak usia 50.

Ayah-ibu yang ke-3 sekarang ada di sini, bersama kami.


Mereka selalu berisik. Ada saja yang mereka bisa
bicarakan. Aku dan istriku biasanya memilih menjauh
saja. Mereka tahu kok, kalau kami tidak suka keramaian.
Seringnya mereka yang menyingkir. Karena
bagaimanapun kami punya hak sebagai orangtua yang
lebih duluan dari mereka. Tapi mereka tidak mau jauh-
jauh. Mereka seperti kami juga, menyayangi anak
perempuan itu. Mereka ingin ikut mengawasi dan
menjaganya.

Anak itu duduk di kelas II SMP. Saat ini, seorang teman


lelaki datang dan kami para ayah-ibu mencium gelagat
yang buruk. Orangtua yang ke-4 putri kami terlalu sibuk
dengan pekerjaan, meninggalkan anak itu dengan
pembantunya yang kurang perhatian.

Cinta selalu sulit dimengerti. Tapi kami sepakat, putri


kami jangan jatuh cinta dulu. Masih muda, belum
mengenal dunia.

Anak lelaki itu sering datang meminjam dan


mengembalikan buku atau kertas-kertas entah apa.
Berduaan di teras, sampai orangtua ke-4 pulang.

Suatu kali lengan kausnya tersingkap. Anak lelaki itu


menggaruk kulitnya di situ, mungkin karena digigit
semut atau apa. Si ibu ke-3 yang melihat tato itu. Karena
tato itulah, kami para orangtua jadi cemas.

Orangtua anak itu keterlaluan. Maksudku orangtua ke-


4.

Pembantunya itu yang kebangetan.

Lantas mau apa? Kita sudah janji mau melindungi putri


kita kan?

Kita mesti turun tangan. Demi putri tercinta.

Ya. Anak ini harus dijauhkan dari putri kita, secepatnya.


Jangan sampai terlambat.

Tapi apa yang bisa kita lakukan? Anak itu tidak takut
hantu. Aku sudah menampakkan diri di depannya. Dia
hanya membuang muka.

Bagaimana kalau kita bagi tugas. Kalian mengawasi


lelaki itu, usul si ayah ke-3. Mengikutinya ke mana
pun perginya. Kita perlu mengenal anak lelaki ini sambil
kita cari tahu bagaimana cara menjauhkannya dari putri
kita.

Kalau ternyata dia anak lelaki yang baik, apa kita akan
biarkan dia mendekati anak kita?

Kita akan bicarakan lagi nanti. Kita masih akan sering


bertemu.

Aku dan istriku mengalah. Kami yang pergi mengikuti


anak lelaki itu. Kami jaga putri kami berempat dengan
cara itu.

Masuk ke rumah dan kamar anak lelaki itu membuat


kami jijik. Kamar itu seperti kapal karam. Berantakan.
Ayah-ibunya kerja di pasar. Dia tiduran saja seharian
sejak pulang sekolah, memainkan HP-nya. Ia menelepon
putri kami di jam 8 malam.

Aku kangen kamu, Ve/ / Pingin denger ceritamu./ /


Rumahmu sepi, kan?/ / Bayangin aku ya/ .

Kutarik istriku menjauh. Dia bisa pingsan dengar


perbincangan telepon itu. Aku juga cemas. Meski aku
belum pernah lihat yang seperti kami ini pingsan, aku
cuma khawatir.

Telepon dan SMS, setiap waktu, seolah tak perlu mengisi


pulsa. Lama-lama aku dan istriku terbiasa. Celoteh anak-
anak, jangan terlalu dibuat risau. Semuanya tampak baik-
baik saja. Anak lelaki itu tidak aneh-aneh. Sebulan kami
memata-matainya.

Sampai suatu hari aku menemukan sebuah alat isap


narkoba di tempat tersembunyi, di belakang lemari yang
tidak bisa dibuat mepet dinding. Tapi kami tidak pernah
melihat dia memakainya. Kami sudah mengawasinya
siang-malam selama satu bulan. Barangkali barang itu
sudah ada di situ bertahun-tahun lalu, mungkin anak itu
insaf, atau barang itu kepunyaan temannya yang
disembunyikan tanpa dia tahu.
Kami mengikutinya ke kamar mandi, mengawasinya
ketika dia tidur, melamun. Kami bertahan mengikutinya
sampai orangtua ke-3 putri kami yang cerewet itu puas
kemauannya dipatuhi.

Tiap lelaki ini pergi ke putri kami, kira-kira dua hari


sekali, kami senang bisa melihat putri kami. Kami
senang sekaligus cemas.

Suatu ketika lelaki itu mau mencoba-coba merayu gadis


kecil kami mengajak bermain cinta. Dari gelagat dan
aroma tubuhnya, bisa kami menduga begitu. Para ayah-
ibu geger. Putri kami malu-malu, dia tidak melakukan
penolakan.

Kami harus melakukan sesuatu. Putri kami masih 15


tahun, dia belum tahu perbuatan seperti apa yang
mungkin akan disesalinya.

Kami buat putri kami seolah melihat dada lelaki itu


penuh bulu hitam, membuatnya jijik. Ia ketakutan ketika
lelaki itu mendekat. Kami buat lelaki itu melihat seolah
ada pisau di tangan putri kami, diacung-acungkan ke
arahnya.
Berhasil! Anak lelaki itu lari ketakutan. Istriku sampai
tertawa. Tak disangka, kami berhasil membuatnya pergi.
Orangtua ke-3 putri kami gembira sekali, mengucapkan
terima kasih dan bersoja ke kami.

Keadaan jadi berubah ketika putri kecil kami melangkah


mundur ke kamar dengan air mata mengucur deras. Kami
semua mengikutinya ke dalam kamar. Tidak ada sukacita
lagi.

Kami bisa membayangkan perasaan macam apa yang


bisa membuat dia seperti itu. Putri kami menyesal atas
kejadian tadi. Ia merasa sudah siap menyerahkan diri
sepenuhnya untuk cinta. Ia menyesal kenapa ia masih
ragu-ragu. Ia bisa menerima keadaan lelaki itu. Meski
dadanya berambut lebat seperti kingkong. Ia tahu cinta
seharusnya meniadakan ketakutan seperti itu. Ia bersedih
sekarang. Para ayah-ibu terdiam di sekeliling putri kami.

Ternyata butuh kesabaran besar mengurus seorang anak


perempuan, seloroh istriku.

Tidak apa-apa. Dia perlu belajar kehilangan. Kehilangan


satu cinta tanpa pengorbanan, itu sungguh baik sekali.
Paling tidak sebulan, ya, setelah sebulan dia akan ceria
lagi.

Kalau dia bunuh diri setelah ini, kau tak bisa bilang
begitu.

Kita berharap dia masih sempat belajar kehilangan.

***

Gatot Prakosa, lahir di Jakarta, 28 September 1976. Kini


menetap di Solo. Menulis buku Para Pujangga (novel,
Mediatama, 2007), Putera Batu ( buku anak, Mitra
Media Pustaka, 2008), Putera Naga ( buku anak, ,
2008). Karya lain yang pernah dipublikasikan: Sekoci
dan Daun Terakhir, dan Burung Pipit di Akanunu
(cerpen di Femina), beberapa cerpen pernah dimuat di
Solopos, Joglosemar, Wawasan, beberapa kali ikut
antologi terbitan TBJT. Berkegiatan di komunitas sastra
Alit Solo.
Di Dlam Hutan, Entah di
Mana

Cerpen Dewi Ria Utari (Kompas, 08 Januari 2016)

Aku tumbuh dengan sebuah larangan yang kudengar


sejak aku memahami kata-kata. Sebuah larangan yang
menetapkan bahwa seluruh kerabatku dan siapa pun yang
masih segaris darah dengan nenek buyutku, untuk tidak
memasuki hutan yang berada di pinggir desa tempat aku
dan keluargaku hidup.

Hutan itu mungkin terdiri dari berbagai macam


pepohonan dan tumbuhan. Aku tak pernah yakin karena
aku hanya berani sampai di batas luar hutan itu yang
ditandai dengan sebuah lapangan rumput seluas kira-kira
selapangan sepak bola, untuk memberi jarak dengan
perkebunan bermacam-macam milik beberapa warga
desa. Aku sebut bermacam-macam karena memang
mereka menanami kebunnya dengan bermacam-macam
tanaman secara bergantian. Tergantung musim dan
tergantung mana yang harganya tengah bagus di pasaran.
Sering kali penduduk di sini menanaminya dengan
jagung, kedelai, sayur-sayuran seperti kacang panjang,
hingga tembakau. Keluargaku juga memiliki sebagian
lahan kebun, namun karena sudah tak ada lagi lelaki di
rumah kami, aku dan nenekku menyewakannya kepada
orang lain. Terserah mereka mau menanami apa.

Sering kali begitu subuh mulai memperlihatkan cahaya,


aku berjalan-jalan melintasi kebun-kebun ini hingga tiba
di lapangan rumput itu. Sembari duduk di atas rumput,
aku memandangi tepian hutan itu dan mulai berpikir
macam-macam. Sebagian besar pikiranku berkisar pada
siapa yang pernah masuk ke sana, seperti apa suasana
hutan di dalam sana, dan seperti apa binatang yang hidup
di tengah hutan. Sering pula aku membawa tikar dan
buku, menggelarnya sedikit mendekat tepian hutan, dan
membaca buku yang kubawa sambil tiduran. Hingga
matahari mulai panas pukul delapan pagi, aku baru
mengakhiri kegiatanku ini.
Tak banyak penduduk desa yang berjalan mendatangi
kebun hingga batas lapangan rumput yang menjadi
tempat favoritku setiap pagi. Paling jika ada, itu pun
mereka yang tengah memanen hasil kebunnya, atau
memeriksa hingga sejauh mana tanaman mereka rusak
jika hama tengah terjadi, atau mengejar tikus, musang,
atau hewan perusak tanaman lainnya. Selebihnya, aku
tak pernah terusik. Paling jika mereka menemukanku di
sana, mereka selalu mengingatkanku untuk tak masuk
hutan.

Sebenarnya yang dilarang untuk masuk ke hutan ini


cuma keluargaku saja. Tapi lama kelamaan, kebanyakan
warga desa ini juga enggan untuk masuk hutan. Sehingga
lambat laun, mereka yang pernah melihat isi dalam hutan
ini cuma segelintir orang tua yang masih tersisa. Mereka,
orang-orang tua itu bercerita bahwa dulu mereka dan
sesepuh mereka, sering menjelajah tanah desa hingga
masuk ke dalam hutan. Namun mereka tak lagi berani
masuk ketika suatu pagi, kakek buyutku hilang di dalam
hutan dan tak pernah kembali. Ada yang bilang ia
tersesat dan tak bisa menemukan jalan pulang, ada juga
yang berkata bahwa ia dimangsa binatang buas, dan
sebagian lagi percaya ia sebenarnya terpikat makhluk
jejadian penunggu hutan. Sebelum meninggal, nenek
buyutku bercerita kepadaku, bahwa sebenarnya suaminya
ditangkap pada suatu subuh dan saat itu juga digelandang
ke pinggir hutan bersama puluhan orang dari beberapa
desa lain. Di sana mereka disuruh berdiri berjajar
menghadap ke hutan, dan ditembak mati oleh lelaki-
lelaki berseragam. Tubuh-tubuh mereka kemudian diseret
dan dibawa masuk ke dalam hutan.

Cerita ini tak pernah berani dibisikkan oleh warga desa


selama bertahun-tahun. Hingga sekarang, anak-anak
muda di desa hanya menerima begitu saja sebuah
kepercayaan bahwa hutan ini angker dan akan
membuatmu hilang jika memasukinya.

***

Selain larangan memasuki hutan, aku juga memiliki satu


larangan lagi dari nenekku. Larangan itu adalah berbicara
dengan pemilik rumah paling besar di desaku ini, yang
halaman rumahnya ada tiga pohon liang liu. Jangankan
bicara, mendekati rumah itu pun aku tak diperbolehkan.
Kata nenekku, aku bisa kesurupan atau kesambet jika
mendekati rumah itu. Tapi kata beberapa tetanggaku,
pemilik rumah itu dulu pernah naksir nenek buyutku tapi
entah kenapa kalah bersaing dengan kakek buyutku yang
akhirnya mendapatkan nenek buyutku. Kini rumah itu
dihuni cucu pemilik rumah itu dan aku sama sekali
belum pernah melihatnya karena aku patuh pada
larangan nenekku.

Namun seminggu lalu aku tak lagi bisa mematuhi


larangan nenekku karena pada suatu pagi, saat aku
sedang tidur-tiduran di lapangan rumput favoritku sambil
mendengarkan musik dan membaca buku, lelaki itu, cucu
pemilik rumah yang naksir nenek buyutku itu,
mendatangiku. Tanpa bisa kucegah, ia tiba-tiba nongol
berdiri tepat di hadapanku, menutupi cahaya matahari.

Ia perlahan bergerak mengambil posisi duduk di


depanku. Memudahkan aku untuk melihatnya dari dekat.
Sinar matahari pagi membuat beberapa bagian
rambutnya yang telah memutih tampak keperakan.
Kutaksir umurnya sekira awal 60-an tahun. Sejumlah
kerut di beberapa bagian wajahnya, menyiratkan
perjalanan masa yang membuat kematangan tampak
terlihat gagah di mataku. Matanya yang menyiratkan
senyum, memunculkan geliat di perutku setiap kali aku
naik ke atap rumah jika nenek memintaku membenahi
genteng yang bergeser. Tanpa bisa kukendalikan, aku
merasakan telapak tanganku membasah dan kubetulkan
posisi dudukku yang tadi sekenanya saja karena aku
hampir selalu sendirian di tempat ini.

Kamu tak takut digondol penunggu hutan di


belakangmu? tanya lelaki ini sambil tersenyum.
Matanya melirik ke arah bukuku yang tergeletak di
pangkuanku. Aku menggeleng menjawab pertanyaannya.

Great Expectations. Charles Dickens. Kamu sedang


punya harapan besar ya dengan baca buku itu? tanyanya
lagi dengan nada menggoda. Aku mengangkat bahu
menjawab pertanyaannya.

Entahlah. Aku sepertinya tak pernah berharap akan apa


pun. Lagi pula ceritanya bikin aku tak berani berharap
apa pun.

Gitu ya? sahutnya pendek. Di banyak percakapan


setelahnya, aku tandai bahwa ia sering kali menimpali
sesuatu dengan kata-kata ini.

Kamu tak berharap untuk melihat hutan di


belakangmu? tanya dia lagi sambil bergerak mencari
posisi tidur telentang di sebelahku. Kedua tangannya
melipat menopang kepalanya. Matanya terpejam
sehingga dia tidak melihat aku menggelengkan kepala
menjawab pertanyaannya. Sepertinya jawabanku tak
penting baginya karena kemudian sambil mengembuskan
napas, ia berkata, Enak juga ya tiduran di sini. Ia
kemudian membuka matanya dan mengarahkan
pandangannya kepadaku. Aku boleh ya, ikut
menemanimu di sini? Aku mengangguk. Percuma juga
melarang karena ia sudah terbaring di sebelahku.

Tak lama dalam keheninganaku sempat menyangka ia


tertidurtiba-tiba ia menanyakan lagu apa yang tengah
kudengarkan. Lagu In The Wood Somewhere, ujarku
sambil melepas sepenunya satu earphone yang tadi masih
menempel di lubang telinga kiriku.

Lagunya tentang apa?


Lirik-liriknya mengumpulkan potongan-potongan
fragmen tentang seseorang yang mendengar teriakan
perempuan dari dalam hutan, saat berlari mencari, ia
ternyata melihat seekor rubah yang terluka yang
membuatnya memutuskan untuk mengakhiri luka rubah
itu. Dan entah bagaimana, ia merasa mengenali mata
yang memandangnya di dalam hutan itu. Ia pun
kemudian lari dari hutan dan berharap menyelamatkan
hidup yang bukan miliknya.

Gitu ya? sahutnya sambil kemudian membuka matanya


yang tadi terpejam dan kini memandangku. Kamu
nggak seram dengar lirik semacam itu sementara kamu
duduk di pinggir hutan?

Aku menggeleng yakin. Buatku, lagu yang dilantunkan


Hozier ini tak membuatku seram sama sekali.

Kamu antik juga ya, ujarnya sambil tersenyum. Dalam


hati aku merasa ganjil dengan cara ia menilaiku antik dan
bukannya unik.

***

Tak ada yang tahu bahwa aku bisa menghentikan hujan.


Sekaligus juga mendatangkan hujan. Aku tahu
kemampuanku ini ketika mendapati ibuku tak pernah lagi
pulang saat suatu senja ia berpamitan kepadaku dan
berkata aku akan baik-baik saja dengan Nenek. Saat itu
aku masih berusia tujuh tahun dan karena kesedihanku,
selama sepekan hujan tak pernah berhenti turun di
desaku. Barulah hujan berhenti ketika nenekku
mengatakan jika aku tak berhenti sedih, aku akan
dibuang nenekku ke dalam hutan. Barulah karena
ketakutan akan ancamannya, aku pun berusaha tak sedih
lagi dan hujan pun berhenti. Sebagai hadiah buatku,
Nenek memberiku seekor anjing yang kunamai Sago.

Jadi ketika hujan terus-terusan turun selama tiga bulan


terakhir ini membuat banyak tanaman di kebun-kebun di
desaku jadi gagal panen, aku mulai cemas. Sebenarnya
kecemasanku lebih karena aku tak lagi bisa sering
menghabiskan pagi di pinggir hutan dan bertemu
dengannya. Hujan membuatku terperangkap di dalam
rumah. Aku makin merasa sedih ketika dia sendiri
mengeluhkan hujan yang terus-terusan turun. Ternyata
sebagian besar tanah perkebunan milik warga desa ini
masih menjadi milik keluarganya selama bertahun-tahun.
Meski ia sudah siap merugi, aku tahu ia terlihat kecewa
berat dan membuat berat badannya turun dua kilo, yang
membuatku tak suka karena aku lebih suka tubuhnya
lebih berisi.

Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang lelaki


yang mengaku sebagai kakek buyutku yang katanya mati
di dalam hutan. Ia berkata kepadaku bahwa jika ingin
menghentikan hujan, aku harus menemuinya di dalam
hutan.

Pagi harinya, aku terbangun dan melihat mendung tebal


membuat beranda rumahku tampak suram. Aku pun
kemudian memakai sweter dan syal berwarna biru gelap
yang pernah diberikan oleh dia. Kusempatkan
berpamitan pada Nenek dan mengatakan jangan
khawatir, aku pasti pulang jika hujan mulai turun.

Di pinggir hutan, aku memandang langit yang masih


berwarna kelabu. Udara terasa dingin dan lembap.
Rumput di bawah sepatuku terlihat basah sisa hujan
deras yang turun tadi malam. Sembari satu telapak
tanganku memegang syal di leherku, aku melangkah
memasuki hutan. Tak kusangka, hutan ini tak
menyeramkan seperti bayanganku sebelumnya.
Pepohonan juga tak terlalu rapat, masih ada cahaya
matahari yang jatuh ke tanah. Aku terus berjalan ke
dalam, di antara pepohonan, dan berusaha
menyingkirkan pikiran-pikiranku tentang larangan
nenekku untuk memasuki hutan. Bagaimanapun, aku
sudah berada di dalam. Tak mungkin lagi aku kembali
pula, karena saat menoleh ke belakang, aku tak lagi bisa
mengetahui jalan pulang.

Di sinilah aku pun tiba. Ketika kakiku mulai kelelahan


berjalan, aku duduk di bawah sebatang pohon besar dan
mengatur napasku. Hutan ini sunyi. Tak ada suara seekor
binatang pun. Sambil duduk bersandar di batang pohon,
aku melepaskan syal di leherku dan menaruhnya di
pangkuanku. Kulayangkan pandanganku ke atas dan
melihat langit di atas terlihat biru. Mendung yang tadinya
terlihat tebal saat aku masih berada di pinggir hutan,
telah hilang sama sekali. Aku pun merasa tenang karena
aku telah menghentikan hujan untuknya.

Mungkin aku akan berada di sini, beberapa jam atau bisa


jadi berhari-hari kemudian, atau bahkan bertahun-
tahun lamanya. Hingga jantungku tak lagi berdetak,
hingga tubuhku tak lagi utuh, atau hingga seekor
binatang mengendus sisa jasadku. Hanya satu hal yang
kuketahui sebelum aku terlelap, jauh di dalam hutan,
entah di mana, aku menunggunya.

Dewi Ria Utari, lahir di Jepara, 15 Agustus 1977.


Berkarier sebagai jurnalis di sejumlah media: Detik.com,
Koran Tempo, Beritasatu, dan sekarang sebagai
Pemimpin Redaksi Majalah Sarasvati. Sebagian besar
karya cerpennya muncul di sejumlah buku antologi
cerpen pilihan Kompas. Ia telah menerbitkan buku
kumpulan cerpen Kekasih Marionette, novel remaja The
Swan, dan novel Rumah Hujan
Perempuan Pencemburu

Cerpen Gde Aryantha Soethama (Kompas, 18 Desember


2016)

Perempuan pencemburu itu tak pernah lengah sekejap


pun mengawasi suaminya. Ia seperti memiliki seribu
mata dan sejuta pikiran yang sanggup memberi laporan
ke mana suaminya melangkah, di mana berada, dan apa
yang dikerjakan.

Jadi kamu ke perpustakaan di balai kota sepulang


mengajar tadi? selidiknya.

Iya, jadi, kenapa?

Benar cuma ke perpustakaan?

Laki-laki itu terperanjat, curiga. Ia mengambil tas jinjing


yang biasa ia bawa ke sekolah mengajar. Dia rogoh tas
kulit itu, mengacaknya beberapa kali. Tangannya terhenti
ketika meraba sesuatu di antara selipan kertas tugas
anak-anak. Ia keluarkan benda itu, sebuah GPS tracker.
Seminggu lalu ia mendapatkan GPS di sepeda motor,
kini dalam tas. Perempuan itu punya naluri cemburu
sangat kuat dan begitu rinci, seperti seorang detektif
bayaran memburu sasaran.

Aku sempat ke toko buku boncengan bersama teman


guru.

Guru perempuan kan? Iya kan, perempuan?

Laki-laki itu beringsut, masuk kamar, merebahkan diri di


dipan. Perempuan itu memburunya, berdiri di pintu.
Jujur saja kenapa sih? Perempuan kan?

Laki-laki itu menutup kepala dengan bantal. Ia acap


bingung, bagaimana akhirnya ia terperangkap dalam
kurungan seorang perempuan pencemburu berat, yang
bahkan melarang dia berbincang berdua dengan murid-
murid wanita.

Alangkah sengsara lelaki itu, betapa sedih, perasaannya


remuk dari waktu ke waktu, bertahun-tahun. Pernah ia
berpikir, kehadiran seorang buah hati akan
menenteramkan kecemburuan itu. Tapi penerus itu tak
kunjung datang, dan kecemburuan itu terus berbiak,
melilit, melahap dan melumat lelaki itu, sampai ia kurus
kering, menjadi sosok teronggok tanpa daya, sungguh-
sungguh tak kuasa bergerak.

Setahun pensiun ia meninggal karena radang paru-paru.


Orang-orang menduga ia mati karena disergap kesepian,
dikoyak sunyi karena tak lagi berdiri mengajar di depan
kelas. Hanya laki-laki itu yang tahu, ia mati karena tak
sanggup melawan kuasa cemburu istrinya. Bahkan
perempuan itu tetap cemburu kendati jasad laki-laki itu
diaben, dan abunya dibuang ke laut. Ia yakin, setelah
menjadi atman suaminya akan tinggal di alam Nir,
wilayah yang dihuni oleh banyak sekali roh cantik penuh
kobaran gairah, siap menggoda suaminya. Untuk
melacak tak mungkin ia minta tolong sama GPS tracker.

Aku harus ke sana, kata hati perempuan itu mendesak-


desak. Tapi untuk ke Nir ia harus menjadi roh. Ia harus
mati baik-baik, kalau bunuh diri atmannya akan nyasar
ke mana-mana, tak bakalan sampai ke Nir. Kalau ia
panjang umur, alangkah lama menunggu mati baik-baik.
Bisa jadi suaminya sudah dalam pelukan perempuan lain.
Beruntung perempuan itu punya ilmu Batas Tidur, yang
ia resapi di pedukuhan Astungkara, diturunkan oleh Guru
Tung. Siapa pun yang menguasai aji Batas Tidur bisa
memilih sendiri hari mati dengan tenang dan sentosa. Dia
cukup tidur telentang, kedua tangan di samping badan,
dan berusaha tetap terjaga saat-saat detik tertidur. Ketika
itulah atman lepas dari badan, melayang-layang
meninggalkan Bumi menuju Nir. Dia pun akan mati jika
memutuskan tidak kembali ke Bumi, karena roh tak
kembali ke badan. *)

Perempuan itu menjalankan aji Batas Tidur setelah


suaminya meninggal sebulan. Orang-orang berujar
betapa setia perempuan itu pada pasangannya, sampai-
sampai mati cuma empat pekan setelah ditinggal suami.
Hanya perempuan yang sangat setia bisa menjalankan
welas asih seperti itu, komentar orang-orang disertai
ratap tangis kerabat.

Hujan turun lebat ketika perempuan itu tiba di Nir. Kabut


menyelinap di mana-mana di wilayah yang tak mengenal
perbedaan siang dan malam itu. Perempuan itu
menerobos hujan mencari-cari suaminya. Hatinya dag-
dig-dug terus, disertai harap jangan sampai suaminya
dalam pelukan roh perempuan lain.

Perempuan itu terus melangkah, hilir mudik, kadang ia


tergopoh-gopoh mendekati sosok seperti suaminya.
Hatinya semakin deg-degan, lama sekali dan sudah
sangat jauh ia melangkah, tak jua berjumpa laki-laki
yang meninggalkan Bumi baru sebulan lalu. Kepalanya
disesaki pikiran curiga, dijejali syak wasangka.

Cemburu berputar kencang dalam dadanya bagai hendak


merontokkan jantung, ketika ia melihat seorang separo
baya menjinjing buku catatan. Pipi orang itu gembul,
berkuncir, dengan rahang bawah terdorong ke depan dan
jidat menonjol, sehingga bola matanya tampak masuk
lebih dalam ke ceruknya. Ia mendekati laki-laki itu,
mencakupkan tangan di dada.

Bolehkah hamba menanyakan keberadaan seseorang?


sapanya. Hamba baru sampai, ingin tahu keberadaan
suami hamba yang datang ke Nir sebulan lalu.
Perempuan itu menyebut hari kematian suaminya,
menjelaskan ciri-cirinya, penyebab kematian, untuk
dicocokkan dengan catatan yang dibawa si pipi gembul.
Wah wah belum sejam lalu suamimu menitis ke
Bumi, ujar si pipi gembul setelah memeriksa catatan.

Perempuan itu tercengang. Begitu cepat? Adakah


sesuatu yang mengharuskan ia menitis segera?

Dia roh yang baik, belum sepantasnya berada di Nir.


Bumi membutuhkannya.

Boleh hamba tahu di mana ia menitis, jadi apa?

Dia akan menyempurnakan baktinya sebagai guru, di


kota yang dihuni berbagai suku dan bangsa.

Mohon ampun hamba lancang, bolehkah hamba segera


menyusul dia?

Si pipi gembul tersenyum. Ini demi kesetiaan atau..

Hamba bersumpah akan terus merawatnya, ke mana pun


dia pergi.

Merawat atau menjaga? Karena setia atau karena


cemburu? Si pipi gembul terkekeh. Perempuan itu
melengos malu, tapi ia bahagia karena diperkenankan
kembali ke Bumi segera, padahal belum separo hari dia
di Nir.
Tapi, kedudukan dan martabatmu akan berbeda jauh
dengan dia.

Tidak apa-apa, yang penting kami ditakdirkan selalu


dekat dan bersama.

Terik matahari memanggang ketika perempuan itu lahir


di lereng bukit yang gersang, di tengah gubuk petani
miskin. Dia meneruskan sekolah selepas SMP, bertani
membantu orangtua, kemudian seorang kerabat
mengajaknya ke kota, menyerahkan dia ke keluarga
seorang guru yang beristri karyawan bank, untuk jadi
pembantu rumah tangga, mengurus seorang anak balita.
Si istri terlalu sibuk, berangkat pagi sekali dan pulang
paling cepat selepas petang. Perempuan itu pun menjadi
seperti ibu pengganti, mengurus seluruh keperluan rumah
tangga. Dan ia selalu merasa dekat dan berhasrat
memiliki laki-laki guru itu. Ia cemburu jika melihat si
istri bermesraan dengan suaminya. Ia sering mengintip
jika lelaki guru itu duduk memangku istrinya di ruang
tengah dalam cahaya remang sambil menonton televisi.

Ibu tak baik kalau bermesraan sama Bapak, protesnya


kepada si istri suatu saat ketika mempersiapkan sarapan.
Tentu si istri heran dan merasa itu cuma guyonan belaka.
Memangnya kenapa? Kamu iri ya? Hi-hi-hi.

Perempuan itu cemberut. Karena tidak baik saja kalau


kebetulan saya lihat, ujarnya ketus berlalu menyeret
langkah ke dapur. Dia merasa si istri menjadi penghalang
untuk memiliki lelaki guru itu. Dia bertekad
melenyapkannya agar dia terbebas dari cemburu. Sudah
dia pilih cara paling jitu: meracun.

Kakek perempuan itu seorang dukun yang sering


menolong orang desa penderita muntah darah karena
diracun. Dari si kakek, ia paham bermacam jenis racun
yang kasar, yang begitu diminum membuat seseorang
sakit perut, terkapar muntah darah; sampai racun sangat
halus, yang enam bulan baru tampak akibatnya. Korban
akan digerogoti maut, kurus kering, lumpuh, mata layu
kosong, napasnya kian sesak, tak kuasa bicara, mati
perlahan-lahan. Kakek menyebut racun itu Cetik Lemuh,
terbuat dari serbuk kuningan, dicampur buah lempeni
dan abu tulang manusia, digiling halus.

Perempuan itu dengan mudah memperoleh serbuk


kuningan dari bengkel kerja pembuat gamelan di Desa
Tihingan. Tulang dibakar dengan mudah ia curi ketika
menghadiri ngaben. Buah lempeni banyak tumbuh di
kampungnya. Racun itu ia tuangkan ke dalam kopi-susu
yang ia hidangkan buat perempuan karyawan bank itu
setiap sarapan, dicampur setengah sendok teh madu
untuk menyamarkan rasa.

Enak banget kopi-susumu, puji si istri sering kali.


Tentu ia tak sadar setiap teguk yang ia seruput memakan
ribuan darah merah dan darah putih di sekujur badan,
disertai maut menggerogoti, sehingga lima bulan setelah
tegukan pertama ia cuma terbaring di tempat tidur, diare
tak kunjung berhenti. Tubuhnya tinggal tulang berselimut
kulit. Dua bulan kemudian ia meninggal, dokter
mendiagnosis ia menderita kanker pankreas.

Tentu yang paling girang adalah perempuan pembantu


rumah tangga itu. Kini ia mencengkeram nasib sang
guru, tapi cemburunya tetap meledak-ledak. Selalu ia
bertanya penuh selidik ke mana saja si guru pergi, apa
kesibukannya. Ia juga melarang sang guru berbincang
berdua dengan murid-murid wanita.

Suatu hari perempuan itu bertanya, ke mana lelaki itu


pergi seusai rapat guru di kantor Dinas Pendidikan.

Jadi Bapak cuma rapat, tidak ke mana-mana setelah


itu?

O ya ya ya, saya singgah ke Perpustakaan Kota, baca-


baca.

Dengan siapa ke sana? Dengan guru perempuan kan?

Laki-laki itu mengerenyitkan alis tidak mengerti


mengapa ia dituduh. Ya ya ya ada guru perempuan ikut,
kami bertiga ke sana.

Setelah itu Bapak ke Pasar Kereneng kan, ada apa ke


sana?

Laki-laki itu semakin bingung. Kami beli soto. Lapar.


Tentu ia tak tahu kalau sebuah GPS tracker dipasang di
bagasi motornya, melacak keberadaannya. Memangnya
kenapa?

Tak elok saja Pak, makan bersama perempuan bukan


istri, kendati sama-sama guru.

Di alam Nir, perempuan itu menjadi perbincangan di


antara para pencatat atman.
Ganjaran apa kita berikan buat perempuan pencemburu
berat seperti itu, sampai membunuh pesaing, jika ia
datang lagi ke Nir? tanya si pipi gembul kepada rekan-
rekannya.

Tak ada yang menjawab, mungkin karena memang


belum ada hukumnya, atau mereka sedang menimbang-
nimbang penuh saksama.

*) Tentang aji Batas Tidur, baca cerpen Batas Tidur karya


Gde Aryantha Soethama (Kompas, 23 Oktober 2011)

Gde Aryantha Soethama menulis puisi, cerita pendek,


laporan perjalanan, dan karya jurnalistik dengan napas
kebalian yang kental. Pengalamannya menjadi wartawan,
koresponden, pemimpin redaksi, ia tuangkan ke dalam
buku kewartawanan Menjadi Wartawan Desa (1985),
Wawancara Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus
(1986). Kumpulan esainya, Basa Basi Bali (2002), Bali
is Bali (2003), Bali Tikam Bali (2004), Dari Bule Jadi
Bali (2010) dan novelnya Senja di Candidasa (2002),
Wanita Amerika Dibunuh di Ubud (2002), diterbitkan
oleh Buku Arti. Antologi cerpennya Mandi Api menjadi
pemenang Khatulistiwa Literary Award. Tahun 2016
menerima Penghargaan Kesetiaan Berkarya dari Kompas
Celurit Warisan

Cerpen Muna Masyari (Kompas, 11 Desember 2016)

Keesokan malam setelah kulantangkan sumpah di


halaman balai desa, celurit itu masih di tempat yang
sama. Tergantung sungsang pada paku payung berkarat
di dinding sebuah kamar yang sudah sekian tahun kau
kosongkan. Celurit yang tidak terlalu melengkung dan
matanya tidak mengilap, justru agak coklat seperti
berkarat, itu seolah tidak sabar menanti malam eksekusi.

Celurit ini tidak akan melukai orang yang tidak


bersalah. Jelasmu suatu malam, sepulang dari balai
desa. Suaramu tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa
sebelumnya. Kau membasuh celurit berlumur darah
dengan air rendaman kertas bertuliskan huruf-huruf
hijaiyah yang tidak sempat kubaca isinya.

Kuamati jemari ringkihmu ketika mengusap mata celurit


tanpa takut terluka. Bayangan sebuah tangan lepas dari
batang lengannya masih menyisakan getaran pada sendi
lututku. Hanya sekali tebas tangan itu terdampar ke
tanah. Erangan keras penuh kesakitan mengoyak sunyi
malam di antara kebungkaman warga yang rapat
memagar menyaksikan eksekusi untuk lelaki yang
diketahui jadi maling sapi. Ia berhasil ditangkap semalam
sebelumnya di perbatasan desa saat tengah menggiring
paksa sapi hasil curian milik salah seorang warga desa
kita.

Selesai dibasuh, kau mengelap celurit dengan kain putih,


lalu membawanya ke dalam dan menggantungnya
kembali di tempat biasa.

Dengan celurit itu, keamanan desa kita cukup aman


sejak dulu. Hanya orang luar yang berani macam-
macam! Itu pun tidak berlangsung lama! lanjutmu,
melangkah meninggalkan kamar.

Kenapa tidak diserahkan pada polisi saja? kuikuti


langkahmu dengan pertanyaan bernada protes.

Kau terkekeh sebentar. Di luar sana, uang bisa membeli


apa saja. Itu sebab, mengapa leluhur kita lebih mematuhi
hukum yang diajari kiainya! dengan tenang kau duduk
di kursi rotan, lalu mengeluarkan selembar kulit klobot
dan sejumput tembakau dari plastik keresek hitam di atas
meja. Secangkir kopi tinggal ampasnya dikerubungi
semut.

Benar. Turun-temurun keluarga kita dipercaya jadi


kalebun (kepala desa), hukum pun kita yang
menyetirnya.

***

Dua malam setelah kulantangkan sumpah di halaman


balai desa, celurit itu masih di tempat yang sama.
Tergantung sungsang pada paku payung berkarat di
dinding sebuah kamar yang sudah sekian tahun kau
kosongkan.

Kupejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam.


Aroma tubuhmu serasa membaui penciumanku. Bau
keringat, minyak tanah bercampur bau tembakau yang
tajam dan pekat tidak pernah hilang dari kamar ini.

Kubuka mata seraya melepas napas dengan berat.


Perlahan tanganku merayapi dinding, meraih gagang
celurit dan meloloskan tali gantungnya dari paku.

Celurit ini pemberian seorang kiai sebagai tanda jasa


atas pengabdian leluhur kita pada beliau, suaramu
terngiang di telingaku.

Meraba gagang celurit ini aku seperti meraba batang


lenganmu yang ringkih penuh tonjolan urat namun tetap
tampak kuat. Katamu, celurit ini diyakini memiliki jiwa.
Matanya akan tumpul menghadapi jiwa-raga yang suci.
Begitupun sebaliknya. Belum pernah ada pendosa yang
selamat dari ketajamannya.

Sukma leluhur kita menyusup ke dalamnya setelah dia


meninggal, jelasmu, seolah bisa membaca keraguan
dalam benakku saat pertama kali mendengarnya.

Setiap malam Jumat manis menjelang magrib, kau tak


lupa me-nyonson-nya di atas kepulan asap dupa, tepat di
ambang pintu, dengan mulut komat-kamit. Menjelang
wafat pun kau berwasiat agar aku selalu menjaga dan
merawat celurit warisan ini, sekaligus menjaga
keamanan desa kita.

Sampai kini wasiatmu masih kulaksanakan. Akan tetapi,


apakah kau tahu peristiwa dua malam lalu?

Bunuh!

Iya, bunuh! Dia harus dibunuh!

Nyawa balas nyawa!

Dulu Kalebun Towah (kepala desa lama) juga pernah


menjatuhkan hukuman serupa! Hukuman mati bagi
pembunuh!

Malam itu lampu padam. Langit muram. Bintang dan


sesabit bulan berkelindan di balik awan. Hujan terganjal
sejak senja tadi. Angin berembus rendah. Hanya lampu
gantung di teras yang sedikit menerangi halaman balai
desa.

Aku berdiri di undakan balai desa, menatap warga yang


berjejalan di halaman penuh teriakan, tuntutan. Tepat di
hadapanku, cucumu membisu, tertunduk layu. Sebelah
lengan bajunya robek tak karuan. Ada bercak darah di
sudut bibir dan pipinya lebam-lebam. Celurit penuh
darah menggantung sungsang di tangannya, hampir
menyentuh tanah.

Celurit ini pemberian seorang kiai sebagai tanda jasa


atas pengabdian leluhur kita pada beliau. Celurit ini tidak
akan melukai orang yang tidak bersalah! suaramu
menyusup samar ke liang telingaku.

Di sebelahku, menantumu berdiri bisu. Bahunya


berguncang halus. Entah sudah berapa kali ia mengusap
mata dan lubang hidungnya dengan ujung baju. Sedu
tangisnya tertindih riuh teriakan warga yang saling sahut.

Kami harap Kalebun bertindak adil meskipun kali ini


adalah anggota keluarga sendiri!

Benar! Hukum tidak boleh pandang kerabat!

Setuju! Ini penganiayaan karena lelaki itu tidak


bersenjata!

Betul! Walaupun korbannya bukan warga desa kita,


lelaki itu berhak mendapatkan keadilan!

Suara-suara lantang saling timpal. Laki-perempuan.

Kulangkahkan kaki menuruni dua undakan balai. Di


hadapan cucumu yang masih menunduk dalam, aku
bertanya, Apa benar kau yang membunuhnya?

Iya! cucumu mengangguk sekali. Suaranya lirih.


Kenapa? Apa kesalahan lelaki itu?

Dia menggoda Murtipah.

Murtipah? Kuulang nama itu dalam hati. Aku ingat. Dua


malam sebelumnya, cucumu memang minta izin untuk
meminang anak perawan itu. Cucumu menyukainya.

Menggoda? mataku memicing.

Tidak hanya itu. Tadi Murtipah pulang sendirian karena


teman-temannya menonton tanggapan saronen. Aku
sengaja mengikuti Murtipah diam-diam karena
sebelumnya aku dengar lelaki itu memang selalu
mengganggu Murtipah dan teman-temannya sepulang
dari langgar. Ternyata benar. Lelaki itu mencegat
Murtipah di tikungan jalan. Tidak sekadar menggoda, ia
juga menyeret Murtipah ke balik rimbun pohon singkong
milik Nom Sakrah!

Lalu?

Kami terlibat perkelahian. Kami sama-sama tidak


bersenjata. Tapi dia menantang, menyuruhku mengambil
celurit warisan ini karena ia tidak percaya celurit ini
mampu melukainya karena dirinya sudah memiliki ilmu
kebal.

Celurit itu memang dikenal tidak hanya di desa kami.


Kau membawa celurit itu tanpa seizinku!

Bukankah Eppa sedang menghadiri undangan di rumah


pengantin yang menanggap saronen?

Dadaku serasa dipenuhi gumpalan asap tebal. Kulit


wajahku seperti diusapi ulekan cabai. Sebagai kalebun,
keadilan seperti apa yang harus kutegakkan? Seandainya
cucumu tidak menyukai perawan itu, barangkali aku bisa
memutuskan lain.

Bagaimana ini, Pak Kalebun?

Kalian sudah mendengar duduk persoalannya. Anakku


telah main hakim sendiri. Itu tidak dibenarkan!

Lantas keadilan apa yang akan Pak Kalebun berikan?


Murakkab, lelaki yang tadi menggiring cucumu ke
halaman balai desa seperti kambing hendak
dikembalakan, bertanya lantang dengan muka sinis. Ada
bara dendam di matanya. Barangkali karena kau pernah
mengeksekusi saudaranya yang tinggal di kampung
sebelah setelah kepergok jadi maling sapi di desa ini.
Kalian sudah tahu, jadi tidak perlu dipertanyakan lagi!
Malam Jumat nanti, datanglah kemari kalau ingin
menyaksikan eksekusinya! keputusanku membuat
hadirin terbungkam. Aku tidak bisa melihat dengan jelas
ekspresi wajah mereka masing-masing. Hanya wajah
Murakkab yang tampak tersenyum puas karena ia berdiri
di baris depan dengan kaki mengangkang.

Apakah keputusanku ini benar? Kuurut dada dengan


mata terpejam setelah warga beranjak pulang dan mayat
digotong untuk diantarkan ke sanak keluarganya.

Senjata akan makan tuan. Cucumu akan menghadapi


eksekusi hukum mati besok malam, dengan celurit ini.
Celurit yang leluhur kita wariskan.

Aku terduduk lemas ke kursi. Sedu tangis terdengar tak


henti dari kamar tidurku, beradu dengan denyit gesekan
pohon bambu di belakang rumah. Sejak malam peristiwa
itu, menantumu tidak memiliki pekerjaan lain kecuali
menguras air mata. Ia membisu setelah sempat berdebat
sengit pada malam peristiwa sepulang dari balai. Ia
beranggapan keputusanku salah. Tapi cucumu menyukai
perawan itu. Ia bisa saja membunuh karena terbakar api
cemburu. Apakah menurutmu keputusanku keliru?

Di atas meja di depanku, ada lipatan kain kafan, buntelan


kapas, daun pandan yang sudah dikerat-kerat sepanjang
lima sentimenter dan diuntai dengan benang sepanjang
satu meter, serbuk dupa dan parutan cendana berwadah
mangkok.

Selepas isya, eksekusi akan dilakukan di halaman balai


desa.

***

Tubuhku tersandar lemas ke dinding dengan pandangan


tak berkedip. Ke mana celurit itu? Celurit itu raib.
Padahal, baru tadi menjelang magrib aku me-nyonson-
nya. Begitu selesai, celurit itu kuletakkan kembali ke
tempatnya, dan kamar ini kukunci seperti biasa. Tidak
mungkin ada orang menyusup masuk. Jendela pun masih
tertutup rapat.

Tubuhku melorot kulai ke lantai seperti karung kosong.


Tidak! Tidak mungkin. Apakah warisan itu lenyap
dengan sendirinya?

Tidak ada yang tersisa. Di mata orang-orang aku sudah


seperti pecundang yang lari dari medan perang. Jabatan
kalebun pun tak berhak kupertahankan. Aku kalah.
Mungkin seharusnya aku tidak menyuruh cucumu lari
demi menghindari eksekusi yang telah kujatuhkan
sendiri. Sekarang, raibnya celurit itu serasa melengkapi
kekalahanku.

Maukah kau menemani kesendirianku? Tapi kenapa


aroma tubuhmu di kamar ini juga lenyap?

Muna Masyari, lahir di Pamekasan, Madura, 26


Desember 1985. Menulis cerpen dan puisi. Salah satu
puisinya menjadi nomine dalam Lomba Puisi Forum
Tinta Dakwah FLP Riau, dan terkumpul dalam antologi
Munajat Sesayat Doa. Cerpen-cerpennya termuat di
sejumlah media nasional ataupun lokal. Sedang
menyelesaikan novel perdananya yang berjudul Damar
Kembang. Ia bisa dihubungi melalui e-mail:
masyarimuna@gmail.com
Gulai Kam-bhing dan Ibu
Rapilus
Cerpen Ahmad Tohari (Kompas, 04 Desember 2016)

Orang yang gencar memanggil-manggil saya dari warung


tenda seberang jalan ternyata Jubedi. Ah, Jubedi, sudah
agak lama saya tidak bertemu. Dia teman lama yang
setengah abad lalu duduk bersama di bangku SMP. Saya
menyeberang jalan sambil menyipitkan mata karena
matahari di timur bikin silau. Jabat tangan Jubedi erat
dan hangat. Sama dengan saya ternyata rambut Jubedi
sudah memutih. Tetapi tidak seperti saya yang
kerempeng, badan Jubedi cukup gemuk, perutnya sedikit
maju. Tak ada keriput di wajahnya.

Jubedi kelihatan segar dan bersemangat. Pada jam


sepuluh pagi ini kulit wajahnya tampak berkilat oleh
keringat yang mengandung lemak. Matanya berair dan
bibirnya merah. Agaknya Jubedi sedang menahan rasa
pedas. Dia duduk menghadapi sepiring nasi berkuah
santan dan semangkuk gulai yang isinya tinggal
setengah. Mangkuk yang satu sudah kosong. Katanya, itu
mangkuk gulai kedua yang dia makan. Tentu pedas
karena banyak cabai mengambang di permukaan kuah.

Jubedi tersenyum ketika melihat wajah saya penuh


pertanyaan. Saya memang mengerutkan kening.

Jangan percaya mereka yang sok tahu, kata Jubedi.


Seumur kita, makan gulai kambing dengan kuah santan,
tidak apa-apa; tidak bikin tensi naik, atau kolesterol naik.
Ah apa itu, jangan percaya. Buktinya saya ini, tetap sehat
kan?

Kemudian tanpa minta persetujuan, Jubedi menyuruh


perempuan warung menyajikan hidangan yang sama buat
saya.

Ya, Bapak, ya, ya. Perempuan warung bergerak cepat.


Pagi-pagi makan nasi hangat dengan lauk gulai kam-
bhing masih panas, ya, ueeenak!

Mulut perempuan itu tak henti melontarkan kata kam-


bhing. Maksudnya, tentu kambing. Tapi amat nyata
yang terucap berulang-ulang dari mulutnya adalah kam-
bhing. Dan mengherankan juga, meskipun mulutnya
terus bersuara, sajian yang dipesan Jubedi buat saya
cepat datang. Jubedi mendorong hidangan itu lebih dekat
ke hadapan saya.

Badanmu kerempeng karena kukira kamu tidak suka


makan gulai,

Kam-bhing, terjang perempuan warung dengan


ketangkasan yang mengesankan.

Sebenarnya saya percaya kuah santan tidak baik buat


orang seusia saya. Namun untuk menyenangkan Jubedi,
saya akan terima tawarannya. Saya rengkuh piring nasi
dan mangkuk gulai itu lebih dekat. Ada suara berdenting
ketika sendok di tangan kanan saya menjentik tubir
mangkuk. Kemudian dengan sendok itu saya mulai
menyedu-nyedu gulai. Aroma bumbu rempah
mengambang bersama uap kuah. Ah, tapi terasa ada yang
kurang; aroma khas gulai kambing tidak tercium.

Karena disedu maka muncul daging cincang dan


potongan tulang dari genangan kuah. Dua di antara
potongan itu saya pastikan sebagai tulang iga. Ya, tulang
iga. Saya lama menatapnya dan tiba-tiba tangan saya
menolak begerak. Saya merasa mendadak jadi gamang.
Saya yakin tulang iga dalam kuah gulai itu bukan iga
kambing karena tidak pipih.

Saya teringat Ibu Rapilus, guru kami di SMP. Dari dialah


saya, dan seharusnya juga Jubedi, tahu iga binatang
pemakan rumput semisal kambing berbentuk pipih.

Jadi, itu pasti gulai anjing. Tetapi di sana Jubedi terus


makan gulai itu dengan amat lahap. Sering terdengar
suara giginya mengunyah tulang.

Itu gulai kam-bhing muda, jadi tulangnya kecil-kecil,


perempuan warung kembali bersuara di samping saya.
Dia terus bicara tapi saya tidak mendengar karena situasi
yang sulit tiba-tiba menjebak; apakah Jubedi sebaiknya
saya beri tahu yang sedang dia makan adalah gulai
anjing? Kalau ini saya lakukan, mungkin Jubedi akan
muntah sejadi-jadinya. Itu masih lumayan. Tetapi
bagaimana kalau Jubedi kemudian marah kepada
perempuan warung, dan mengamuk? Kalau Jubedi marah
warung tenda ini bisa diobrak-abrik. Saya tahu itu
wataknya sejak di SMP dulu. Ah, tidak. Saya tidak mau
ada kegaduhan di pinggir jalan yang ramai ini.

Beberapa saat otak saya terasa buntu. Tetapi entahlah,


dari kebuntuan itu perlahan-lahan muncul sebuah sosok.
Itu sosok Ibu Rapilus.

Kamu belum mulai makan juga? Ingin tetap


kerempeng? Jubedi bertanya. Mulutnya masih penuh
nasi kuah gulai.

Eh Jubedi, kamu masih ingat Ibu Rapilus? Saya balik


bertanya. Mendapat pertanyaan yang menyimpang,
Jubedi terpana sejenak. Tampaknya dia butuh waktu
untuk mengalihkan kesadaran. Tetapi kemudian
jawabannya lancar berderai, tak kalah dengan nyinyir si
perempuan warung.

Ibu Rapilus guru Ilmu Hayat kita? Ya, saya tetap ingat
meski beliau sudah lama meninggal. O, Ibu Guru kita
yang pintar, saleh pula. Itulah, maka sungguh menyesal
dulu saya pernah mengolok-olok dia. Kamu ingat itu?

Dengan ketegangan di dalam hati, saya tersenyum. Saya


kira semua teman sekelas masih ingat kekonyolan Jubedi
terhadap Ibu Rapilus, dulu. Itu terjadi dalam tanya jawab
di kelas antara Ibu Rapilus dan Jubedi seputar Ilmu
Hayat.

Kamu, Jubedi, tanaman padi termasuk kelompok apa?

Gramineae, Bu, jawab Jubedi dengan sangat tangkas.

Bagus, kamu pandai. Kalau kelapa?

Palmae, Bu.

Bagus juga. Lalu, tanaman kentang?

Solanaceae.

Ya, kamu memang hebat. Dan pohon jambu?

Hening. Jubedi kelihatan gelisah. Garuk-garuk kepala.


Tengok kiri-kanan seperti ronggeng monyet dirubung
penonton. Dia makin tidak tenang karena menyadari
mata semua murid tertuju kepadanya. Ibu Rapilus
meletakkan jari telunjuk di bibir untuk memberi
pertanda, hanya Jubedi yang sedang ditunggu
jawabannya.

Anu, Bu. Tiba-tiba Jubedi bisa bersuara. Pohon jambu


termasuk kelompok jambuacea.
Hening lagi sejenak. Tapi pada detik berikut terdengar
tawa meledak. Ibu Rapilus ikut terpingkal-pingkal. Oh,
kalau jambu masuk kelompok jambuacea, apakah
mangga termasuk kelompok manggaceae? Kata Ibu
Rapilus masih sambil tertawa. Jubedi, pohon jambu
termasuk kelompok myrtaceae. Jangan lupa lagi, ya?
Ujar Ibu Rapilus. Jubedi mengangguk. Dia hanya bisa
cengar-cengir, kali ini seperti ronggeng monyet
ditabuhkan gendang.

Teringat peristiwa lucu yang sudah lama terjadi itu saya


dan Jubedi tertawa panjang. Itu membuat kenangan
tentang Ibu Rapilus makin hidup. Sayangnya celoteh
perempuan warung terdengar lagi.

Jubedi tampak begitu jinak seperti ular habis menelan


seekor tikus besar. Saya kira dia benar-benar kenyang;
sepiring nasi dan dua porsi gulai anjing tentu membuat
perutnya penuh. Jubedi kemudian menyalakan rokok.
Dia tampak begitu santai dan setelah beberapa kali
isapan rokok Jubedi menyuruh saya mulai makan.

Atau, kamu tinggalkan hidangan itu, dan kamu akan


tetap kerempeng.
Tunggu sebentar, duduk dulu kawan, perintah saya.
Jubedi kelihatan kurang suka namun akhirnya dia
mengalah.

Jubedi, kamu masih ingat pelajaran Ibu Rapilus tentang


ciri-ciri binatang memamah biak, kambing misalnya?
Tanya saya. Jubedi duduk lagi kemudian menjawab
dengan lancar.

Berkuku belah, tidak bergigi seri di rahang atas,


tetrapoda atau berkaki empat, herbivora atau pemakan
tetumbuhan, bentuk tulang iganya pipih.

Saya tersenyum tetapi berdebar karena Jubedi telah


menyebut iga pipih.

Tulang iganya pipih? Jadi, bentuk tulang iga pipih


menjadi ciri binatang memamah biak, kambing
misalnya?

Ya. Jawab Jubedi dengan pasti. Saya tegang. Tangan


saya gamang. Saya kembali menyedu-nyedu gulai
sehingga potongan tulang-tulang iga dalam gulai itu
kelihatan dengan jelas. Oh, mudah-mudahan mata Jubedi
benar-benar melek untuk menyaksikan tulang-tulang iga
itu yang sungguh tidak pipih. Puluhan kata berdesakan di
mulut saya. Saya hampir mengucap, Jubedi, matamu
lihat ini! Bukankah ini bukan iga kambing karena tidak
pipih?

Tetapi, ya Tuhan, Jubedi tidak tanggap. Brengsek. Dia


malah mengisap rokoknya lagi dalam-dalam dan
mengembuskan asapnya ke atas, penuh kenikmatan.

Hai teman, tegur saya. Kamu murid Ibu Rapilus yang


jempolan. Jadi, kamu tentu masih ingat juga pelajaran
Ibu Rapilus yang lain?

Tentang apa?

Tentang ciri-ciri binatang buas?

Ya, pasti. Ciri-ciri binatang buas, gigi bertaring,


pentadactil atau berjari lima, berkuku tajam, carnivora
atau pemakan daging, menyusui juga seperti binatang
pemamah biak.

Jubedi berhenti dan wajahnya kelihatan ragu. Tensi saya


terasa naik. Detak jantung tambah cepat.

Apakah tulang iga binatang buas juga pipih? tanya


saya.
Tidak. Tulang iga binatang buas tidak pipih, jawab
Jubedi tanpa ragu.

Denyut jantung saya lebih meninggi lagi. Tangan


kembali gemetar ketika saya mengulang mengaduk-aduk
potongan tulang iga dalam kuah gulai. Saya sungguh
berharap mata Jubedi terfokus ke sendok di tangan saya;
di sana jelas ada tulang iga yang benar-benar tidak pipih.
Namun, brengsek!

Untuk kali kedua saya ingin menjelaskan dengan kata-


kata bahwa tulang iga yang saya tunjukkan ke depan
mata Jubedi bukan iga kambing. Namun mulut saya
masih terkunci. Maka saya diam. O, memang brengsek!
Jubedi malah bersendawa sampai tiga kali, lalu
mengulurkan tangan kepada saya, mau pulang lebih dulu.
Dia bilang mau membayar semua, dan berterima kasih
karena saya bersedia menemaninya makan. Pikiran saya
kacau sehingga saya tak bisa bicara apa pun ketika
Jubedi mengajak bersalaman.

Wah, yak opo, Bapak yang satu ini. Bapak belum juga
makan gulai kam-bhing? Cerewet perempuan warung
dari arah belakang. Mau ditambah bawang goreng biar
lebih ueeenak?

Tidak usah, terima kasih, Bu. Gulai ini mau saya bawa
pulang. Jadi, tolong dikemas pakai kantung plastik.

Saya keluar warung makan, berjalan dengan ingatan


kepada Ibu Rapilus. O, Ibu, terima kasih. Saya terus
melangkah. Niat saya, bila sudah agak jauh gulai di
tangan akan saya buang. Tetapi pikiran saya berubah
ketika teringat di jalan depan rumah saya sering terlihat
anjing-anjing kurus berkeliaran. Gulai ini sebaiknya saya
berikan kepada mereka saja. Melihat anjing makan gulai
anjing mungkin menarik juga. Dan Jubedi? Itu urusan
nanti. Yang penting pagi ini dia tidak muntah dan tidak
mengobrak-abrik warung tenda itu.
Profesor Bermulut Runcing
Cerpen Rizqi Turama (Kompas, 27 November 2017)

Setiap hari ia memoles bibir, bukan dengan lipstik, tapi


dengan darah yang mengucur dari jantung orang-orang di
sekitarnya. Bibirnya yang runcing itu mampu merobek
jantung dengan sangat lincah. Tak hanya runcing, bibir
itu juga tajam selayaknya gunting yang dipakai dokter
ketika akan menyunat sekelumit kulit hingga terlepas
dari tempatnya. Membuat darah menetes dan ia tadahi
untuk kemudian disapukan ke bibir.

Malam hari, sepulang dari mengajar di universitas, ia


selalu menyempatkan diri untuk becermin. Memeriksa
kondisi bibir. Jika bayangan memantulkan warna bibir
yang lebih merah ketimbang sebelum ia berangkat,
senyum profesor kita akan mekar. Ia melihat senyum di
cermin itu menyerupai mawar yang merekah di pagi hari
cerah dengan sedikit embun tersisa dan berlatarkan
kuning emas matahari yang belum silau, sempurna.
Namun, jika bibirnya malam itu sama merah dengan
sebelum ia berangkat mengajar, ia akan merasa menjadi
orang yang merugi. Lebih parah lagi jika kadar merah di
bibir itu berkurang, sesungguhnya ia adalah orang yang
celaka. Tak jarang mimpi buruk mengetuk tidurnya dan
bertandang ketika bibir itu tak semerah hari kemarin.

Seorang profesor sepertiku harus selalu tampak cantik,


dan wanita cantik adalah wanita yang bibirnya selalu
merah, begitulah prinsip hidup yang dipegang teguh
profesor kita. Maka, jangan heran jika ia selalu
membawa batu asah, itu untuk mengasah bibirnya agar
semakin runcing dan tajam hingga mempermudahnya
mendapatkan darah segar untuk dioleskan ke bibirnya.

***

Jauh hari sebelum profesor kita menjadi profesor dan


baru saja lulus sebagai doktor, tujuh tahun lalu tepatnya,
ia mendapati bahwa suaminya berselingkuh. Suaminya
ingin berkelit, tapi ketika melihat doktor itu memegang
telepon genggam yang isinya adalah percakapan mesrum
(mesra dan mesum) dengan orang lain, sang suami
membatalkan niat tersebut. Dengan geraham yang
bergemelutuk, napas tersengal, dan air yang
mengambang di pelupuk mata, doktor yang belum jadi
profesor itu berkata, Aku ingin bertemu dengan
selingkuhanmu.

Sang suami berusaha mencegah dan mengalihkan


pembicaraan, tapi ia sadar bahwa istrinya adalah seorang
yang cerdas. Apalagi telepon genggam tersebut sudah di
tangan sang istri, hanya menunggu waktu kedua wanita
yang ia nikmati tubuhnya tersebut akan bertatap muka.

Karena tak ada pilihan lain, sang suami pun mencari


tempat yang aman untuk pertemuan keduanya. Ia juga
telah menyingkirkan semua barang pecah belah atau
benda-benda lain yang mungkin akan digunakan untuk
saling melukai jika perkelahian terjadi. Namun, yang
terjadi justru di luar dugaan sang suami.

Sama sekali tak terjadi perkelahian antarwanita. Tak ada


saling jambak ataupun saling cakar. Mereka hanya saling
tatap dalam waktu yang entah berapa lama. Sang suami
tak sempat menghitung menit yang berlalu karena di
tengkuknya ada sebuah beban yang membuatnya hanya
bisa tertunduk.
Sang doktor, selama saling bertatapan dengan
selingkuhan suaminya, sedikit kecewa karena tak ada
yang istimewa dengan fisik saingannya itu. Hanya satu
yang mencolok dari wanita yang ia laknat sepanjang sisa
umurnya tersebut. Bibir. Belum pernah ia melihat bibir
yang begitu merah mengilap dan mencolok.

Ia baru akan membuka mulut untuk bertanya kenapa


bibir sang wanita selingkuhan bisa begitu merah saat si
selingkuhan menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah
sudut yang teramat tajam. Dengan sedikit gerakan, bibir
itu mengarah ke jantung sang doktor. Sedikit beruntung
karena sang doktor sempat mengelak. Jantungnya
selamat, tapi ketajaman bibir itu dirasakan oleh hatinya.
Mengerti bahwa sang wanita selingkuhan bukanlah
musuh yang bisa ia hadapi, sang doktor memutuskan
untuk pergi dengan hati berdarah.

Ketika hendak melangkah pergi itulah ia sempat menoleh


dan mendapatkan sang wanita selingkuhan sedang
mengoles bibir dengan darah yang tercecer dari hatinya.
Hari itu merupakan hari yang tak terlupakan oleh sang
doktor. Ia menyimpulkan selingkuhan itu memiliki
sesuatu yang tak ia miliki, bibir yang begitu merah,
tajam, dan runcing. Mungkin itulah yang memikat
suaminya, kecantikan yang tak ia mengerti. Sejak hari itu
juga, doktor kita memutuskan akan menunjukkan bahwa
dirinya tidak takluk.

Aku akan memiliki bibir yang lebih merah daripada


wanita laknat itu. Saat itu suamiku akan mengemis untuk
kembali, dan aku akan mencampakkannya dengan
senang hati, begitu tekadnya.

***

Dari waktu ke waktu, sang doktor terus mengasah bibir


dan mulutnya agar runcing dan tajam. Namun kemudian
ia sadar bahwa itu saja tak cukup. Ia butuh jadi orang
yang punya pengaruh dan bisa tampil di depan umum
agar ketajaman bibir itu bisa berguna. Jika kariernya
hanya berhenti pada level doktor, ia tak akan bisa
memperluas wilayah kekuasaan. Ia harus menjadi lebih
dari sekadar doktor. Di dunia akademik, hanya level
profesor yang sering diundang memberi kuliah di
berbagai tempat. Tak hanya di pulau tempatnya berada
saja, tapi juga ke seluruh penjuru nusantara. Maka, ia pun
mematok target baru: menjadi profesor.

Setelah berjuang mati-matian, jilat sana-sini, meludah,


terus menjilat lagi, ditambah dengan sedikit penelitian
yang ia lakukan di universitas, sedikit publikasi, jilat
lagi, ludah lagi, jilat lagi, akhirnya profesor kita
mendapatkan gelar profesor.

Ia senang bukan buatan. Dengan jadi profesor, ia bisa


mendatangi berbagai tempat. Memberikan kuliah di
sana-sini. Mendapatkan sambutan hangat di mana-
manasebab ada banyak orang yang mau menjilati ia
sampai ke getah-getah terakhir. Dan yang lebih penting
adalah ia bisa bertemu orang banyak dan
mempergunakan keruncingan mulutnya dengan obyek
yang berganti-ganti.

Banyak jantung dikoyak dan berdarah. Bibirnya semakin


runcing dan merah. Ia bahagia.

***

Satu hal yang tidak disadari oleh sang profesor adalah


seiring dengan semakin tajamnya mulutnya, mulut itu
juga tumbuh semakin panjang, sedikit melengkung ke
bawah. Tepatnya ke arah jantungnya sendiri. Ia tak sadar
karena ia hanya fokus pada warna merah yang bertengger
di sana. Merahnya sudah hampir sempurna. Mungkin
tinggal mendapatkan satu korban dengan kadar merah
pada darah yang tepat, ia sudah akan mencapai tingkat
kesempurnaan pemilik bibir merah.

Dalam sebuah seminar tingkat nasional, ia semringah


karena ada salah satu dosennya dulu menjadi peserta.
Darah seorang dosen senior yang telah punya banyak
mahasiswa, tentu akan lebih dari cukup. Dia akan jadi
pelengkap dan penyempurna bagi ketajaman mulutku.
Setelah mendapatkan darahnya, aku akan mendatangi
suamiku. Begitulah yang dipikirkan sang profesor.

Sambil mendongakkan kepala dan menunjuk orang yang


pernah jadi dosennya itu, sang profesor berkata, Beliau
ini dulu dosen saya, tapi sekarang saya jadi promotornya
di S-3. Dulu dia yang selalu jadi narasumber bagi saya,
sekarang saya yang jadi pemateri dan dia hanya peserta.

Kemudian ia mengerahkan teknik terbaik yang ia tahu


untuk mengoyak jantung orang dengan menggunakan
mulut. Sial bagi sang profesor sebab dosennya itu
dilindungi sebuah kaca tak kasatmata. Kaca yang begitu
keras dan tak bisa ditembus mulutnya. Tak sedikit pun
dosen itu terluka.

Kenyataan itu membuat sang profesor justru penasaran.


Di sisa seminar, ia terus menggerakkan bibirnya.
Menyerang dosennya dari berbagai penjuru. Bunyi ting-
ting-ting terdengar nyaring ketika mulutnya itu
bertabrakan dengan kaca pelindung dosen. Ia mulai lelah,
tapi marah.

Dengan sekuat tenaga, ia melancarkan serangan


penghabisan. Berharap kaca itu akan pecah dan mulutnya
mampu mengoyak jantung sang dosen. Namun, apa daya.
Kaca itu bergeming. Justru mulut sang profesor yang
runcing dan bengkok itu jadi semakin bengkok. Karena
kekeraskepalaannya, mulut itu menikam jantungnya
sendiri.

JLEB.

Sang profesor terkapar dengan darah mengucur dari


jantungnya. Peserta seminar panik. Beberapa pengikut
setianya menuding-nuding dosen yang terlindungi oleh
kaca tak kasatmata, mengatakan bahwa dosen itu pasti
telah merencanakan pembunuhan. Beberapa yang lain
menyatakan bahwa sang profesor telah melakukan bunuh
diri terencana. Sisanya, dan jumlahnya paling banyak,
hanya diam dan tak mengerti apa yang terjadi.

Sementara itu, sang profesor megap-megap kehabisan


pasokan oksigen dari jantung yang telah bolong.
Mulutnya masih menancap di jantung sehingga ia tak
bisa berkata apa-apa. Hanya bola matanya yang selama
ini kering, perlahan dihiasi embun pagi. Di detik-detik
terakhir, bayangan mantan suami dan selingkuhannya
melintas. Profesor itu lalu mengembus napas terakhir,
lewat hidung.

Dosennya yang sejak tadi tak bereaksi menitikkan air


mata saat melihat anak didiknya mati. Kaca tak
kasatmata itu menghilang. Ia mendekati mayat. Orang-
orang seperti tersihir dan memberikan jalan. Perlahan
dicabutnya mulut mantan mahasiswanya yang masih
menancap di jantung. Lalu terpampanglah sebuah bibir
yang begitu merah. Sempurna. Merah yang tak ada
cacatnya.
Tapi bibir itu juga begitu tajam. Tangan sang dosen
terluka. Tangisnya pecah. Orang-orang terperangah.

Rizqi Turama, lahir di Palembang, 4 April 1990. Buku


kumpulan cerpennya berjudul Kampus Elite Berhantu.
Novelnya Sniper: Operasi Bunuh Diri. Ia mengajar di
FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas
Sriwijaya Palembang.
Istana Tembok Bolong
Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 20 November
2016)

Bong Suwung, Yogyakarta, 1970

Malam begitu kelam ketika ia melangkahkan kakinya


melompati sisa tembok pada lobang itu, lobang yang
membuat kawasan Bong Suwung di bagian ini disebut
Istana Tembok Bolong. Dengan begitu ia pun sudah
berada di dalam wilayah Stasiun Tugu.

Di balik tembok segalanya gelap, dari balik kegelapan itu


terdengar suara berat seorang lelaki.

Anak kecil! Mau apa di sini?

Ia tak melihat apapun. Lampu tiang listrik di sekitarnya


habis dicuri. Cahaya dari peron di kejauhan pun tidak
sampai kemari.

Oh, mencari Mbak Tum.


Asal anak kecil kok mencari Mbak Tum.

Dalam kegelapan terdengar suara tawa lelaki dan


perempuan.

Untuk sejenak ia merasa tersinggung. Sebenarnya antara


tersinggung dan takut. Namun hasratnya untuk mencari
Mbak Tum kuat sekali.

Kakinya melangkah dari rel ke rel. Banyak sekali rel di


dalam stasiun, pikirnya, untung langkah kakinya bisa
mencakup lebar rel itu, meski sandal jepitnya yang kecil
kadang-kadang lepas, dan ia mesti berhenti sebentar
untuk mengenakannya kembali.

Angin kencang terasa dingin menerpa kakinya yang


bercelana pendek. Ia menoleh ke kiri, ke arah barat,
tempat terdapatnya cahaya seadanya di persilangan
kereta api. Tampak kendaraan melewati persilangan itu,
satu dua mobil, sepeda motor sesekali, tetapi yang
terbanyak adalah sepeda dengan lampu berko yang tidak
bisa menerangi apapun.

Ia masih bisa melihat sejumlah perempuan yang berdiri


sepanjang persilangan. Jika kereta api melewati
persilangan mereka akan menyingkir, dan jika kereta api
sudah lewat mereka akan berdiri di tempat itu lagi.

Kalau mencari Mbak Tum bukan di situ, begitu


kalimat yang pernah didengarnya, dia berada di salah
satu gerbong rongsokan.

Ia terus melangkah dari rel ke rel.

Lampu lokomotif kereta api penumpang yang memasuki


stasiun sekilas memperlihatkan letak gerbong-gerbong
barang yang sudah tidak digunakan lagi. Berkarat dan
melumut seperti gua manusia purba.

***

Segalanya kembali ditelan kegelapan. Terpandang


olehnya pintu kereta pada persilangan yang baru saja
dibuka, dan dari dua arah berbagai kendaraan maupun
orang berjalan kaki berlomba menyeberangi rel.

Di kejauhan itu dilihatnya seorang pengayuh sepeda


berhenti di depan salah satu perempuan yang berdiri di
persilangan.

Ia melangkah lagi. Perjalanannya terasa sangat panjang


sebelum bisa melihat Mbak Tum.
Mula-mula hanya bara api rokok yang tampak dalam
kegelapan. Bara api bergerak-gerak yang menunjukkan
betapa dalam kegelapan itu terdapat seseorang yang
sedang merokok. Ketika dihisap, bara api itu menyala
lebih terang, tetapi sampai jarak tertentu, bahkan sampai
ia dapat menangkap bentuk gerbong dalam kegelapan,
masih saja tak dapat dilihatnya wajah seseorang yang
sedang merokok itu.

Gerbong barang itu pintunya besar dan terbuka, di


dalamnya hanya terdapat kegelapan sebuah gua. Gerbong
seperti itu biasanya membawa bungkusan-bungkusan
besar, mungkin pula hewan, atau sepeda motor, tetapi
tidak ada yang dapat diandalkannya untuk menduga,
digunakan untuk apakah kiranya gerbong ini sekarang.

Anak kecil, mencari siapa kamu?

Sekarang ia tahu yang merokok itu perempuan, dan


perempuan itu bersuara serak.

Mbak Tum

Perempuan itu tidak langsung menjawab. Hanya bara


rokok itu yang bergerak ke atas dan kembali bertambah
terang. Ia seperti mendengar suara tembakau yang
terbakar, dan suara mulut yang menghembuskan asap
rokok dengan nikmat, seperti hanya kenikmatan merokok
itulah yang membahagiakannya di dunia fana.

Malam bertambah dingin. Namun ia tak tahu apakah


dirinya menggigil karena kedinginan atau karena merasa
telah berhadapan dengan Mbak Tum. Suatu nama yang
baginya termashur, karena inilah sosok yang namanya
sering disebutkan teman-teman sepermainannya.

Namaku Tumirah. Aku yang dipanggil Mbak Tum di


sini.

Ia tertegun dan masih menggigil.

Kamu mau apa?

Mulutnya terkunci. Terdengar perempuan itu tertawa


ringan.

Kamu juga mau ya?

Suara peluit lokomotif melengking di kejauhan, disusul


suara uap yang mengempos dari samping kiri dan kanan.
Lantas terdengar pengumuman tentang kereta api dari
arah tertentu yang akan memasuki stasiun, kereta api
dengan tujuan tertentu yang siap diberangkatkan,
maupun rangkaian kereta api yang hanya akan lewat saja
tanpa berhenti.

Ia tahu bagaimana semua kereta api ini akan melewati


persilangan, palang kereta api yang turun dan terangkat
kembali dengan bunyi teng-teng-teng-teng dan
bagaimana perempuan-perempuan yang menyingkir
karena kereta api lewat, kembali berdiri di tepi jalan.

Sebenarnya mereka tidak benar-benar berdiri di tepi


jalan, melainkan agak masuk ke dalam wilayah stasiun,
artinya berdiri di antara rel-rel yang hanya tampak
sebagian karena segera menjadi bagian dari kegelapan.
Dari jalan hanya wajah mereka saja yang terlihat, seperti
topeng-topeng putih tanpa tubuh, karena pupur yang
lebih tampak seperti labur.

***

Perempuan itu menyulut rokok baru. Waktu korek api


menyala ia melihat wajah perempuan yang mengaku
bernama Tumirah itu. Rambutnya yang lurus tampak
terurai, dan seperti kecoklatan mungkin karena cahaya
api dalam kegelapan. Meskipun segalanya segera
kembali gelap, ia telah mengingat semuanya. Perempuan
itu mengenakan kebaya berbunga-bunga yang tidak
terkancing di luar kutang yang bagian atasnya terbuka,
bawahannya akin batik yang tergulung pada pinggang.
Kakinya berjuntaian di tepi gerbong. Hanya berdua
dengan perempuan ini membuat hatinya tenang.

Kamu membawa uang berapa?

Lima puluh.

Lima puluh? Ambil punya siapa?

Itu uangku.

Uangmu? Kamu berjualan?

Tidak. Aku menabung.

Hhhh.

Angin bertiup kencang, terdengar suara geluduk di


langit. Tubuhnya bagaikan tiba-tiba memanas. Ia sudah
berhadapan dengan sosok Mbak Tum.

Lima puluh itu cukup untuk sepuluh korek.

Ia tertegun. Cerita tentang korek api itu sudah lama ia


dengar. Namun bukan untuk itu ia menembus kegelapan
penuh rahasia Istana Tembok Bolong. Ia baru saja
membaca mahakarya Adinda, Tante Rose dan Si Genit
Elsa, dan dalam buku sewaan lusuh itu tidak ada cerita
tentang korek api, kecuali jika diperlukan untuk
merokok.

Aku tidak mau korek api.

Terdengar tawa perempuan itu.

Berapa umurmu?

Sebelas.

Sekarang tawa itu keras sekali.

Ia ingin berbalik, tapi sosok perempuan itu memiliki


daya magnit. Ia tetap berada di tempatnya.

Kawan-kawanmu semuanya juga mau, kata perempuan


itu, setelah menghisap rokok cap Admiral kuat-kuat
sampai letik baranya beterbangan ditiup angin, tapi aku
tidak akan menambah dosa-dosaku yang sudah
bertumpuk ini dengan merusak jiwa anak-anak.

Malam sungguh kelam. Ia hanya mampu menduga-duga


apa yang dimaksud perempuan itu.

Kalau masih memaksa juga kamu boleh bermain korek


api. Dengan uangmu kamu bisa menyalakan batang
korek api sepuluh kali.

Ia ingin lebih dari itu. Namun juga belum pernah


melakukan apa yang disebut perempuan itu sebagai
bermain korek api.

Ia masih berdiri terpaku.

Ayolah sini, mana uangnya?

Seperti tersihir ia melangkah maju menyerahkan


uangnya. Semuanya digulung dan dirapatkan ikatan
gelang karet sampai padat. Masih ditambahnya dengan
tiga uang logam baru Rp 1,-.

Tangannya terulur ke atas, menyentuh tangan perempuan


yang duduk dengan kaki menjuntai di atas gerbong
barang. Arus hangat merasuki tubuhnya dari tangan yang
seperti meremasnya dengan mesra, ketika menerima
uang itu agar jangan sampai berjatuhan ke bawah.

Kuhitung dulu ya?


Ikatan gelang karet itu dibuka, uang kertasnya masih
tetap tergulung. Uang kertas yang masih baru maupun
yang sudah lusuh: Rp 1, yang bergambar Soedirman
maupun masih bergambar Soekarno, 50 Sen dan 25 Sen
yang bergambar sukarelawan, 10 Sen dan 5 Sen yang
bergambar sukarelawati. Semua itu berusaha
diluruskannya.

Wah susah ini, sepuluh, dua belas, dua puluh .

Rasanya perempuan itu menghitung sepanjang abad. Ia


tidak pernah mengira malam ini akan tetap tinggal abadi
dalam dirinya.

Uang kertas itu digulung dan diikat kembali dengan


gelang karet, langsung disusupkan ke kutangnya. Tiga
uang logam Rp 1, juga disusupkan ke bagian lain
kutangnya itu.

Perempuan itu meloncat turun.

Aku kencing dulu ya?

Tubuh perempuan itu meruapkan hawa hangat yang


melintasi segenap inderanya ketika menuju kegelapan.
Kini ia cukup terbiasa dengan kegelapan, sehingga dapat
dilihatnya perempuan itu hanya menyingsingkan kain
dan berjongkok di tengah rel sebelum akhirnya berdiri
lagi. Tidak ada gerakan lain selain itu.

Geluduk menggeluduk di langit. Ia mendengar suara-


suara manusia dari dalam gerbong di sebelah timur
maupun barat, sementara terhirup olehnya bau besi dan
oli di antara rel.

Ini koreknya, perempuan itu meletakkan kotak korek


api di tangannya, sebelum naik kembali ke atas gerbong,
sepuluh kali ya.

Di gerbong, perempuan itu kembali duduk, lantas


menarik kainnya dengan dua tangan sampai ke lutut,
kemudian menaikkan kedua kaki sampai tumitnya
menempel di tepi lantai gerbong. Di tangannya masih
ada rokok, yang dihisapnya kuat-kuat sampai bara merah
itu menyala terang, dan lagi-lagi tembakaunya gemeretak
dan letik baranya tersapu angin yang bertiup kencang.

Ayo cepat, sudah mau hujan. Mendekatlah, nanti tidak


kelihatan.

Ia maju dan seperti merasa memasuki lingkaran


kehangatan. Ia mencoba melihat ke dalamnya. Namun
hanya ada kegelapan.

Ia menyalakan batang koreknya yang pertama.

Langsung mati tertiup angin.

Satu . kata perempuan itu sambil menghembuskan


asap rokoknya ke atas.

Ia menyalakannya lagi, kali ini berusaha melindunginya


dengan tangan.

Tetap mati.

Dua

Cepat sekali ia nyalakan yang ketiga. Lebih cepat lagi


mati, meski apinya tetap sempat menyala. Ia tetap belum
melihat apapun.

Tiga

Dengan cepat ia menggoreskan kepala batang yang


keempat pada sisi kotak korek api itu. Tidak menyala
sama sekali.

Itu tidak dihitung.


Segera ia menyalakan yang lain lagi. Menyala. Namun
ketika matanya berpindah menuju yang semula hanyalah
kegelapan, apinya pun sudah mati.

Empat . Coba tunggu anginnya berhenti.

Angin tidak kunjung berhenti. Perempuan itu membuang


rokoknya.

Coba lebih masuk, tapi jangan kena kainnya, aku cuma


punya dua.

Kedua tangannya masuk, ia menggoreskan batang korek


api itu. Menyala! Namun ia hanya melihat kedua
tangannya sendiri di dalam ruang sempit tersebut.
Tangan kanannya memegang batang korek yang menyala
terang sehingga corak Parang Rusak kain batiknya
terlihat jelas, maka ia menarik tangan kirinya yang
memegang kotak korek api itu keluar.

Saat itu apinya mati. Ia hanya melihat kegelapan. Langit


memang tanpa bulan dan tanpa bintang di Istana Tembok
Bolong. Bagaikan wilayah itu bagian dari semesta yang
berbeda.

Sudah lihat?
Belum.

Tapi tetap dihitung ya. Lima

Separuh peluangnya untuk sama dewasa dengan teman-


temannya sudah lewat, tetapi ia masih mempunyai lima
kesempatan lagi.

Suara-suara lenguhan dari dalam gerbong terdengar


keras. Perempuan itu tampak terganggu.

Hooooi! Ada anak kecil hoooiii.

Suara-suara menjadi pelan.

Ayo cepatlah. Bukan tempatmu di sini. Kalau mau kamu


ambil saja uangmu lagi dan pergi.

Ia tidak beranjak. Menyalakan lagi batang koreknya.


Harus tetap di luar, pikirnya, jadi tangan kirinya tidak
menjadi penghalang pandangan matanya. Namun tangan
kirinya itu pun rupanya terlalu kecil untuk melindungi
api dari tiupan angin. Angin kencang malam itu tidak
pernah dapat diduga datangnya.

Enam .

Tujuh .
Delapan .

Sembilan .

Perempuan itu ingin membantunya untuk batang korek


api yang kesepuluh karena merasa iba, tetapi menahan
diri karena berpikir akan lebih baik bagi anak itu jika
tidak melihat apa yang diinginkannya. Setidaknya malam
ini.

Lokomotif langsir menggunakan rel buntu itu, ketika


batang korek api yang kesepuluh menyala untuk segera
tertiup angin dan mati.

***

Hasratnya ternyata ikut mati. Ia membalikkan tubuh


tanpa rasa kecewa.

Tumirah menurunkan kaki. Perasaannya galau.

Dik, kamu bawa saja kembali uangmu!

Ia yang sudah kembali melangkah dari rel ke rel dan


mengarungi kegelapan memang mendengarnya, tetapi ia
tidak menghentikan langkahnya. Namun kotak korek api
bergambar beruang kutub dengan batang-batang korek
api di dalamnya itu masih berada di dalam
genggamannya. Hanya sampai di situlah jalan hidupnya
dipertemukan dengan jalan hidup Tumirah.

Perempuan itu memandangi kegelapan. Tidak dilihatnya


apapun dan bukan tidak diketahuinya betapa korek api
itu berada di tangan anak tersebut. Tidak dilihatnya anak
kecil bercelana pendek dan bersandal jepit itu muncul di
kejauhan sebagai siluet, melangkahi sisa tembok pada
lubang yang merupakan gerbang kebesaran Istana
Tembok Bolong, kembali ke dunia darimana ia berasal.

Tidak dilihatnya apapun karena matanya basah.

Dari dalam gerbong-gerbong barang, mereka yang masih


mengeluarkan suara tertahan-tahan itu tertegun, ketika di
antara suara derasnya hujan yang mendadak turun
diiringi halilintar menyambar-nyambar, terdengar raung
tangisan seorang perempuan, yang raungannya begitu
keras seperti jerit kepedihan yang tiada duanya di dunia

dengan salam untuk Prenjak, Kampung Utan, Senin 29


Agustus 2016. 05:25. Diperpendek, Sabtu 12
November 2016. 10:45.

Seno Gumira Ajidarma, lahir di Boston, Amerika


Serikat, 19 Juni 1958. Bekerja sebagai wartawan sejak
1977, kini tergabung dengan penajournal.com. Baru saja
terpilih sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta
Ha-hi-hu-he-hooo
Cerpen Yanusa Nugroho (Kompas, 13 November 2016)

dan adalah aku berasal dari perut bumi, yang


kemudian dimuntahkan lewat kawah-kawah gunung,
menjelma debu, pasir, dan batu-batu. Itulah sebabnya,
aku menyimpan seribu satu dongeng yang bisa kau
jadikan permata hidupmu, bisikan itulah yang dengan
jelas selalu menggema di lorong telinganya, melekat erat
pada sanubarinya yang bening.

Dia berjalan, seperti meneliti setiap jengkal tanah yang


akan dilaluinya. Di matanya, seolah setiap butir kerikil,
atau pasir, bahkan debu sekalipun adalah penting.
Terkadang, dia terdiam di sebuah titik, seperti
mengamati, mengajak bicara pada sesuatu yang
dipandanginya, kemudian tersenyum, bahkan tertawa
riang. Lalu, tangannya mulai mengorek-orek tanah,
mengeluarkan sebungkah pecahan batu,
membersihkannya dari sisa tanah dan menempelkannya
ke telinga kanannya.
Dia bercerita dia bercerita, bisiknya riang entah
kepada siapa. Orang-orang yang dijumpainya ada yang
berpura-pura gembira meskipun tak sepatah pun kata
yang bisa dipahaminya, ada yang acuh tak acuh, ada
yang agak-agak takut, ada pula yang menganggapnya
kurang waras.

Dan demikianlah, kisah-kisah purba tentang manusia


mengalir ke dalam jiwa anak laki-laki itu. Kisah-kisah itu
kadang membuatnya tertawa riang, berjingkrak-jingkrak
terbawa gelombang bahagia, tetapi seringkali juga
membuatnya menangis tersedu-sedu di gardu jaga, pojok
jalan desa.

Hei, Dul! Lagi ngapain, kamu? tiba-tiba ada yang


menegurnya.

Anak laki-laki yang beranjak remaja itu diam saja,


seperti tak mendengar apa-apa, kecuali kisah indah
tentang Dewi Indradi, yang dikutuk suaminya menjadi
arca batu.

Dua orang anak sebayanya, yang salah satunya


menegurnya, mendekat; mereka merasa mendapat
mainan baru. Ooo dia punya HP baru tuh, ucap
salah satu di antara mereka yang dijawab dengan gelak
tawa.

Dul pinjam HP-mu, bisa main game, kan? kata salah


seorang sambil mencoba mengambil batu yang masih
ditempelkan di telinga itu. Anak laki-laki yang dipanggil
Dul marah. Mulutnya mengeluarkan ancaman, tetapi
yang didengar sebagai lompatan gumam tak jelas oleh
kedua temannya.

Hinjem, hoheh, hak? ucap salah seorang meledek.

Anak laki-laki yang masih menempelkan batu ke


telinganya itu masih meracau, berusaha menghindar dan
protes keras ulah kawan-kawannya.

Sebagaimana kau tahu, kedua anakku itu berebut cupu


manik, seperti dua ekor kera berebut makanan. Itu
membuatku terkejut, bagaimana mungkin anak manusia
bersikap seperti hewan. Begitulah kata Indradi, bisik
batu itu kepada anak laki-laki itu.

Dari kejauhan, kedua kawannya berteriak dan tertawa-


tawa mengejek, hoooi ha-hi-ho-heh hoeh,
hwehhhh hahahahah.

Tetapi, anak laki-laki dengan batu yang ditempelkan di


telinganya itu tetap tak peduli; mungkin memang tak
mendengar. Barangkali saja alam membentengi
pendengarannya dari suara-suara buruk yang akan masuk
ke dalam sanubarinya.

Bagaimana Indradi, yang seperti katamu, bersuamikan


pertapa sakti, bisa berubah menjadi arca batu? tanya
anak laki-laki itu kepada sebungkah batu yang menempel
di telinganya. Dan sebungkah batu itu pun mulai
berkisah, mengajak anak laki-laki muda itu berjalan
menyusuri sebuah dunia yang belum pernah dialaminya.

Indradi adalah perempuan cantik. Rambutnya legam


dan, jika terurai, harumnya membuat melati malu.
Matanya, jika memandang, membuat bahkan dewa
matahari pun meredup, terpikat kecantikannya. Dia
dinikahi suaminya ketika usianya masih sangat muda.

Kok mau?

Jangan banyak tanya sebelum kutuntaskan ceritaku.

Hehehe kamu memang batu sejati, kalau sudah


maunya, ya, maunya terus yang dijalani lanjut.

Dia punya tiga anak: yang pertama Anjani, perempuan;


yang kedua si kembar Guwarsa-Guwarsi, laki-laki. Suatu
kali, Anjani mengetahui bahwa Indradi punya mainan
ajaib berupa cupu manik, yang bila dibuka tutupnya, kau
bisa melihat berbagai tempat di bumi maupun di surga
ini. Anjani sangat suka. Ketika kedua adiknya tahu
mainan itu, mereka berebut mau pinjam. Mereka bahkan
hingga berkelahi memperebutkan cupu manik tersebut,
sampai-sampai ayah mereka, sang begawan Gotama
marah. Cupu manik diminta, dan dilemparkan ke
angkasa hilang. Lalu menelisik jawaban atas hura-hura
itu. Sampai pada istrinya dan sang istri diam saja.

Kenapa diam?

Karena sesungguhnya dia memiliki sifat batu: diam.

Pasti ada yang disembunyikan.

Memang.

Kenapa tidak diucapkan saja?

Dan, jika ucapan kebenaran itu melukai, bagaimana?


Melukai?

Ya. Karena cupu manik adalah hadiah dari kekasihnya:


Batara Surya, dewa matahari. Indradi tahu, jika
diucapkan dengan jujur rahasia cupu manik itu, maka
suaminya akan luka yang tak tersembuhkan. Sebaliknya,
jika diam, mungkin suaminya akan marah, tetapi waktu
akan meredamnya. Indradi tidak mau suaminya luka.
Mana yang lebih baik: tidak tahu atau luka karena tahu?

Anak laki-laki itu terdiam dan cukup lama tenggelam


dalam kebisuan.

Ketika terbangun, anak laki-laki itu mendapati hari sudah


senja. Angin ladang membawa aroma tanah basah,
guyuran hujan di lembah sana. Batu masih menempel di
telinganya. Segerombolan anak pulang main, berteriak-
teriak dari kejauhan mengejeknya, tapi dia diam saja.

Namamu siapaa? tanya salah seorang di antara mereka.

Ha-hi-hu-he-hooo, jawab yang lain serempak sambil


tertawa-tawa.

Bapakmu siapaaaa?

Ha-hi-hu-he-hooo.
Ibumu siapaaa?

Ha-hi-hu-he-hooo.

Makananmu apaaaa?

Ha-hi-hu-he-hooo.

Akan tetapi, syukurlah, alam sekali lagi, membentengi


gendang telinganya dari menerima ejekan itu semua.
Begitulah alam mengasihinya. Mana yang lebih baik:
tidak tahu atau luka karena tahu? kembali terngiang
suara batu di telinganya, berulang-ulang. Dia menangis
ketika mencoba memahami pertanyaan batu yang
sederhana itu.

Ketika anak-anak itu melihat korbannya menangis,


mereka berlarian mendekat sambil mengejek. Hah,
ditanya baik-baik malah nangis.

Anak laki-laki yang menangis itu terkejut, air matanya


masih berlinang, dia berdiri dengan tangan
menggenggam batu yang dilekatkan di telinga kanannya.
Dengan nada amarah, dia bertanya mengapa anak-anak
itu seperti mau menyerangnya.

Hahahahaha ha-hi-hu-he-hoooo. awas dia marah.


Mau apa? Mau apa, hah dasar goblok! Berani sama
aku? Mau nglawan aku?

Kenapa kalian marah? ucap anak laki-laki dengan batu


di telinganya.

Hahahaha benar-benar goblok, pertanyaannya apa,


jawabannya: mau makan ha-hi-hu-he-hoooo. Berkata
begitu mereka satu per satu meninggalkan anak laki-laki
dengan batu di telinganya. Lalu sunyi. Lalu jangkrik dan
serangga malam pun menyanyi.

Atas cercaan suaminya, Indradi memang takut, tetapi


sesungguhnya Indradi takut suaminya akan terlukai oleh
kebenaran yang disembunyikannya.

Jadi, lebih baik dia diam?

Untuk yang ini: ya.

Lalu suaminya mengeluarkan kutukan: Indradi menjadi


batu?

Kutukan? Apa yang kau tahu tentang kutukan? Sifat


batu, begitu juga sifat debu, sifat air, sifat api dan sifat
udara sudah ada pada setiap orang. Gotama hanya
menyebutkannya saja: kutanya hanya diam; seperti batu.
Maka batulah Indradi.

Selamanyakah dia menjadi batu?

Tidak.

Kok, tidak?

Begitu Gotama mati, Indradi menjadi bidadari, kembali


ke surga.

Begitu? Sederhana sekali?

Memang.

Aneh.

Apanya?

Kau batu. Katanya sifat batu itu pendiam nyatanya


kau bercerita kepadaku.

Siapa yang bercerita?

Lho, bagaimana, sih? Selama ini, sejak semula, kau


ngoceh terus di kupingki?

Kata siapa?

Aku tidak akan pernah tahu cerita Indradi, jika bukan


dari kamu. Aku gak bisa baca.
Masalahnya, kau percaya aku bisa bercerita, maka aku
pun bercerita.

Jadi, benar, kan kau memang batu yang tidak bisa


diam, makanya kau ini aneh.

Siapa yang bilang?

Aku yang bilang kamu aneh!

Yang bener, ah. Coba kau tanyakan kepada orang-


orang sekelilingmu tentang batu yang bisa bercerita, lalu
kau tanyakan pendapat mereka tentang itu semua. Bisa
kau bayangkan, siapa yang aneh.

Aaaarrrhhhhhhh! lalu dia lemparkan batu itu,


membentur batu dan pecah. Lalu nyanyian jangkrik dan
serangga malam mengisi sunyi. Anak itu menangis
mendinginkan hatinya.

Berselimut gelap malam anak laki-laki itu mencoba tidur.


Matanya terpejam, tapi pikirannya mengembara di
kesunyian. Batu itu membawaku ke dunia antah-
berantah, aku menyukainya, tapi jika kuceritakan ini
kepada teman-temanku, mereka pasti menganggapku
gila. Haruskah aku mengatakan apa yang kuketahui ini
atau merahasiakannya saja? Itulah yang berkecamuk di
pikirannya. Mana yang lebih baik: tidak tahu atau luka
karena tahu? Dan bisikan itu pun terngiang kembali.

Berbulan-bulan kemudian, orang-orang kampung selalu


melihat ada seorang anak laki-laki, tubuhnya kurus,
pakaiannya kumal, selalu berjalan menunduk, dengan
langkah sangat hati-hati. Dan yang cukup menarik
perhatian adalah, di tangan kanannya tergenggam batu
yang dilekatkan ke telinga kanannya, layaknya seseorang
yang sedang menelepon.

Siapa, sih, dia?

Panggil saja si haho, celetuk seseorang.

Hus kalau dia dengar, pasti marah.

Enggaklah dia tuli.

Ah, kalian jika saja kalian tahu bahwa aku tengah


mencoba memahami ilmu si serunting sakti, ucap anak
laki-laki itu sambil tetap berjalan merunduk. (*)
Yanusa Nugroho, lahir di Surabaya, 2 Januari 1960.
Pernah duduk sebagai anggota redaksi majalah Berita
Buku Ikapi, lalu menjadi copywriter di Indo-ad,
kemudian memilih menjadi penulis lepas. Kumpulan
cerpennya antara lain Bulan Bugil Bulat (1989), Cerita di
Daun Tal (1992), Menggenggam Petir (1996), Segulung
Cerita Tua (2002), Kuda Kayu Bersayap (2004), Tamu
dari Paris (2005) dan Setubuh Seribu Mawar (2013).
Cerpennya, Orang-orang yang Tertawa, diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris, dalam kumpulan cerpen
berjudul Diverse Liveseditor: Jeanette Lingard (1995).
Novel karyanya, Di Batas Angin (2003), Manyura
(2004), dan Boma (2005).

Cerpen, Damhuri Muhammad, Kompas


Nelayan yang Malas Melepas
Jala
Cerpen Damhuri Muhammad (Kompas, 06 November
2016)

Bagaimana sebaiknya kau mengumpamakan persekutuan


dua manusia yang sama-sama meringkuk di lubuk
asmara, tapi tak mungkin hidup bersama? Seorang
penasihat hubungan percintaan spesialis usia setengah
tua (es-te-we) pernah menyarankan; andaikan kau dan
kekasih gelapmu sedang dilanda kegemaran mencari
kesenyapan di sebuah pulau asing, atau sebut saja pulau
tak bernama. Tapi kalian hanya boleh berada di sana
sepanjang petang! Sebelum malam sempurna kelam,
kalian sudah harus berlayar kembali ke pulau masing-
masing. Kau pulang ke pangkuan suamimu. Kekasih
gelapmu kembali menunaikan tugas mengurus
keluarganya.

Bagaimana bila kelak pulau tak bernama itu sudah


menjadi target intel-intel swasta guna memotret setiap
gerak-gerik penghuninya, lalu kabar akan tersiar di
pulauku dan pulau kekasihku? Tanyamu pada suatu senja
sambil memasang muka was-was ketimbang waspada. Di
pulau tak bernama, cinta juga tak bisa dinamai, kata
kekasih gelapmu, sekadar menenangkan kecemasan
berdua. Intel-intel swasta yang mungkin dikirim khusus
dari pulaumutentu juga dari pulau kekasih gelapmu
membawa kamera tersembunyi, dan mereka tak perlu
perkakas bahasa saat melaporkan rupa-rupa peristiwa.

Akhirnya kau tidak lagi percaya pada konsultan asmara


itu, meski belum sedikit pun terbersit niatmu untuk
menyudahi persekutuan ganjilmu. Kau dan kekasih
gelapmu tetap melepas rindu, paling tidak seminggu
sekali, baik di ruang terbuka maupun di tempat-tempat
rahasia. Kalian tetap bertukar kabar dalam situasi
sepayah apa pun. Kekasih gelapmu maklum, bahwa
sebelum senja tiba kau mesti pulang, dan itu berarti
perjumpaan kalian mesti bubar sampai di situ. Ia tak
pernah ngeyel menahanmu barang sejenak. Justru ia tak
pernah alpa menjadi alarm bagi waktu berpisah, yang
sama-sama kalian benci.

Kenapa ia tak pernah protes bila aku terlambat membalas


pesan-pesan singkatnya? Tanyamu pada seorang peramal
hubungan gelap yang lagi-lagi spesialis perselingkuhan
kaum setengah tua. Kekasih gelapmu adalah pribadi yang
tidak hobi berburuk sangka. Di matanya, apa pun yang
kau lakukan adalah benar. Apa saja yang kau perbuat
adalah wajar. Dadamu berdebar saat mendengar
komentar dukun kekinian itu. Sedikit-banyaknya mekar
juga rasa banggamu karena punya kekasih yang tidak
cerewet, apalagi kepo tak karuan.

Kau masih ingat saat mengunggah foto bersama


suamimu tatkala kalian merayakan ulang tahun
pernikahan? Kau merangkul bahu suamimu sekuat kau
memeluk bantal guling di kala hujan lebat tengah
malamsementara suamimu sedang dinas ke luar kota.
Saking eratnya, seolah-olah bahu suamimu menyatu
dengan sekujur kulit di tubuhmu. Celakanya lagi, itu kau
selenggarakan sambil mendaratkan sebuah kecupan
modern di pipinya, bukan? Hampir semua teman
dekatmu di laman media sosial itu memberi selamat,
serta mendoakan kejayaan sejarah perkawinanmu.
Apakah selepas itu kekasih gelapmu merajuk atau
setidaknya menampakkan muka cemburu? Alih-alih
bersedih, ia malah ikut menumpang bahagia dan bersuka-
cita. Usia pernikahan boleh bertambah, tapi umur
kemesraan hendaknya kekal di masa muda.
Berbahagialah sampai usia renta, begitu bunyi sebuah
kalimat yang termaktub dalam sebuah surat panjang. Ia
mengirimkannya menjelang dini hari, mungkin sebelum
suamimu terjaga untuk memberi selamat.

Kekasih gelapmu adalah seorang fotografer, spesialis


potret keluarga. Soal membaca jiwa dari sebuah potret
keluarga, mungkin kemampuannya melampaui
ketajaman mata batin cenayang-cenayang metropolis
yang sering kau sewa. Ia tak sembarangan mengumbar
ucapan selamat berbahagia bila jiwa yang ia tangkap
dalam potret keluarga itu adalah nestapa yang
disamarkan. Maka, kekasih gelapmu telah memastikan
bahwa kau dan suamimu adalah pasangan yang sejahtera
lahir-batin, tak kurang satu apa pun juga.

Masih ingat perjumpaan di sebuah restoran tepi laut, saat


ia mendiskusikan hasil pengamatannya terhadap foto-
foto reunian yang berseliweran di laman-laman media
sosial? Busana, pose, sudut pandang, dan latar-tempatan
boleh saja berbeda-beda, tapi jiwa dari sebagian besar
foto-foto itu menurutnya punya corak yang serupa.
Riang-gembira, tapi diam-diam seperti menyimpan luka.
Bersahaja, tapi menyembunyikan ambisi tak terkira.
Bersuka-ria, tapi memelihara dengki yang tak kasat mata.
Berbahagia tapi sekadar basa-basi yang dipaksakan. Suci
dan berseri-seri, tapi mengoleksi banyak laku hipokrasi.

Sandiwara dalam pose-pose itu mengingatkan ia pada


pesan seorang kerabat dekat bahwa ia sudah lama tak
berkunjung ke rumahnya, ia sudah bertahun-tahun tak
menjaga silaturahmi, ia hanya datang dan berjabat tangan
bila sudah ada yang mati di sana. Itu pun kalau hatinya
sedang terpanggil. Lalu, ia bilang, kenapa yang harus
datang berkunjung itu selalu yang lemah kepada yang
kuat, yang muda kepada yang tua, dan yang paling sering
terjadi adalah yang miskin kepada yang kaya? Pernahkah
sekali saja pihak-pihak yang kuat itu beritikad untuk
menjenguk saudara lemahnya, yang tua berkenan
singgah sejenak di rumah saudara mudanya?

***

Bandingkan dengan sikapmu setelah kekasih gelapmu


menyiarkan sebuah foto keluarga saat ia dan istrinya
merayakan hari jadi putri mereka. Pose yang sama sekali
tak mengumbar keintiman mencolok. Meski terbilang
dekat, di antara kekasih gelapmu dan istrinya masih
dibatasi oleh tubuh putri kecilnya yang tampak sedang
meniup lilin di atas permukaan kue. Apa yang terjadi
selepas itu? Kau mengirim surat panjang yang bila
disimpulkan dapat berarti kau telah menudingnya sebagai
laki-laki jahat yang tak pandai menjaga perasaan
perempuan. Lebih dari dua pekan kau tak merespons satu
pun pesan pendeknya. Kau diserang penyakit ngambek
stadium parah, meski kekasih gelapmu tidak panik dan
malah segera memaafkanmu.

Ia mungkin bukan laki-laki yang baik, apalagi laki-laki


yang suci dari rupa-rupa kenakalan pada perempuan.
Tapi, saya pastikan ia orang yang jujur! kata konsultan
amatir yang diperkenalkan seorang sejawatmu selepas
menghadiri seminar bertajuk Usaha Mencegah Kerut
Ketuaan di sebuah pusat perniagaan. Kau tidak
menunjukkan sikap percaya. Sebaliknya, kau cuek
sambil menulis komentar atas pesan-pesan sampah di
sebuah chat-group kumpulan ibu-ibu hebring kurang
piknik. Tapi, ramalan cenayang pemula itu membuatmu
tak bisa lupa obrolan ringan dengan kekasih gelapmu,
tepatnya pada pertemuan ketiga sejak kalian berkenalan
di dunia maya.

Boleh aku menyebutmu sebagai pendekar pemetik


bunga? tanyamu dengan nada mengejek. Kata
pemetik dalam kalimatmu menurutnya berkonotasi
kegemaran mencari. Sementara ia bukan tipe pencari
atau sebutlah pemburu. Maka, kata pendekar sebaiknya
diganti dengan nelayan. Itu pun kalau bisa nelayan
yang diumpamakan tidak sedang membentangkan jala.
Bayangkan saja nelayan itu sedang mendayung perahu di
sebuah danau, sementara jala menggumpal dan
teronggok begitu saja di sudut perahunya. Hanya
beberapa bagian ujung jala yang menjuntai ke
permukaan air. Di situlah sesekali ikan kecil datang dan
kerap terjaring tak sengaja. Demikianlah, ia tak pernah
mencari, tapi sekadar menyambut setiap perempuan yang
berkenan singgah.

Lalu sudah berapa ekor ikan yang datang suka-suka ke


dalam jalamu? tanyamu, ketus.

Setiap yang datang biasanya sudah punya rencana pamit


sendiri-sendiri.

Iya. Sudah berapa yang pamit setelah kau karantina


dalam perangkapmu?

Dan, sampai kapan kau membiarkan jala itu menjuntai


di permukaan air hingga ikan-ikan terperangkap silih
berganti?

Kau mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Makin


lama suaramu makin terdengar sebagai kemarahan.

***

Pada perjumpaan selanjutnya, ia tegaskan bahwa


kasusmu sedikit berbeda dengan hikayat nelayan yang
enggan melepas jala itu. Sebelum menemukanmu,
nelayan itu sedang dilanda keinginan hendak melepas
mata kail, katanya. Bukan kau yang merapat sukarela ke
jalanya, tapi ia yang gigih hendak menangkapmu.
Lalu, ia menyerupakan dirinya seperti sepeda motor yang
akan turun mesin. Mur dan baut di tubuhnya sudah
berguguran. Ada yang lepas sendiri lantaran aus, ada
yang direnggut paksa sekuat tenaga. Ia mengaku telah
bertelanjang di hadapanmu. Tak ada lagi yang belum ia
singkap. Tentang ikan-ikan yang sukarela melekat di
jalanya, rencananya melacak kembali kesendirian yang
lenyap sejak ia berkeluarga, dan keberuntungan tak
terduga sejak ia bertemu perempuan yang ternyata juga
pecandu kesunyian, hingga terbangunlah hubungan gelap
yang amat mendebarkan, sekaligus rawan-ketahuan itu.

Kau punya anak-anak yang manis dan lucu. Ia punya


anak-anak yang girang dan menyenangkan. Kau punya
suami yang tekun bekerja dan sayang keluarga. Ia punya
istri yang tabah mempercayai kesetiaan seorang laki-laki.
Hubungan gelap kalian adalah cinta yang mustahil.
Rencana-rencana kalian percuma. Kau bahagia bersama
keluargamu. Ia rukun-tentram bersama istri dan anak-
anaknya.

Tapi kalian tetap hobi meringkus senja di pulau tak


bernama. Tetap gemar melarikan diri dari sumbu-sumbu
kebahagiaan masing-masing. Sehari saja kalian tak
bertukar kabar, bagai akan tiba amuk badai,
mengguncang tugu kerinduan yang kalian lestarikan di
sana. Itu sebabnya kau masih mencari umpama yang
relevan bagi hubungan rahasia, dan konon terus diincar
oleh mata liar intel-intel swasta.

Aku bukan konsultan orang kasmaran. Bukan pula ahli


nujum kontemporer yang bisa meramal masa depan
permainan serong. Tapi baiklah, kusumbangkan sebuah
permisalan yang paten. Andaikan kau dan kekasihmu
sebagai dua narapidana. Kalian meringkuk di sel yang
bersebelahan. Di antara selmu dan selnya ada sebuah
meja kecil dengan papan catur yang terbuka, berikut
dengan bidak-bidak yang siap digerakkan. Julurkan
tanganmu dari balik jeruji besi. Kekasih gelapmu juga
melakukan gerakan serupa. Bermainlah sepanjang hari.
Jangan pernah berhenti. Kalian memang sedang
menanggung vonis berat, tapi menyudahi permainan itu
akan mengakibatkan kalian menjadi terpidana seumur
hidup
Damhuri Muhammad. Cerpenis dan kolumnis. Sejak
2008, cerpennya sudah empat kali masuk dalam buku
Cerpen Pilihan Kompas. Ia bekerja sebagai pengajar
filsafat di sebuah PTS. Buku fiksi terkininya Anak-anak
Masa Lalu (2015). Damhuri juga dikenal dengan tulisan-
tulisan esai budaya dan resensi buku di berbagai media.
Lahir di Padang 1 Juli 1974. Alumnus Pascasarjana
Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Terumbu Tulang Istri
Cerpen Made Adnyana Ole (Kompas, 30 Oktober 2016)

Apakah tubuh menggiring perahu atau perahu menyeret


tubuh, dari tepi ke tengah laut? Kayan tak pernah
bertanya. Satu hal ia tahu, tubuh dan perahu seakan
memiliki rasa pedih dan ngilu yang samapedih dan
ngilu yang meluncurkan mereka dalam satu garis lurus di
atas landai ombak, di laut utara, saban pagi, saat matahari
memanjat langit di terang timur.

Ini ritual sederhana, seperti hukuman pada harapan sia-


sia. Jelang cahaya, Kayan keluar pondok, menyapa
dingin, menghirup asin, menuju pantai. Ia lepas perahu
dari ikatan. Meloncat naik, dan bersatulah tubuh bersama
perahu menuju lapang lautan. Di tengah laut, ketika garis
cahaya menyelip di bawah gelombang, tubuh Kayan
terlontar dari perahu.

Tubuhnya meleset mengikuti garis cahaya hingga ke


dasar. Di atas air, tinggal perahu terapung. Di dasar laut,
ia menemui sesosok tulang rangka yang ditumbuhi
terumbu karang dan selalu diitari ikan warna-warni. Di
depan tulang rangka ia bersimpuh sebelum mengelusnya
dari ujung tengkorak kepala hingga ke ujung tulang
rangka belakang dengan kasih sayang meluap-luap.

Tulang rangka itu adalah istrinya. Hampir setiap pagi,


ketika matahari baru muncul di langit timur ia menemui
tulang rangka itu. Sekuat napas menyelam ia elus, lalu
kembali naik ke permukaan dan mencari perahu yang
kadang terapung jauh dari tempat ia menyelam.
Memang, laut seperti halaman rumah, ia bisa berkeliling
seperti jalan-jalan pagi, tanpa jerih dan payah. Begitu
perahu menyatu kembali dengan tubuhnya, ia meluncur
ke darat, kemudian duduk di atas batu, memandang ke
tengah laut hingga matahari terbenam.

Dari atas batu yang menjulang di ujung air, ia


menyaksikan dengan mata merah turis-turis diantar
pemandu ke tengah laut. Turis berlomba menunjukkan
aksi diving dan snorkeling sambil menyaksikan rimbun
terumbu karang dan gerak indah ikan di dasar laut. Salah
satunya, melihat terumbu karang pujaan Kayan
terumbu yang membalut erat seonggok tulang rangka.
Kayan sejatinya juga pemandu. Namun ia kehilangan
kepercayaan karena kerap membuat turis resah. Begitu
turis tiba pada terumbu tulang rangka itu, dari mulut
Kayan selalu saja menyembur cerita yang terus diulang,
bahwa terumbu karang itu adalah tulang rangka istrinya
sendiri. Ia akan bercerita panjang tentang bagaimana
istrinya ditenggelamkan, beberapa saat setelah ia
menikah. Ditenggelamkan ke dasar laut dengan batu
pemberat menggelantung di badannya.

Bukankah itu kejam dan mengerikan? kata Kayan


selalu setelah usai bercerita.

Satu-dua turis percaya. Tentu kebanyakan menganggap


Kayan pemandu gila, pengkhayal, dan pengarang
ngawur. Jika turis tak percaya, ia akan ngotot dan marah.
Biasanya ia tinggalkan turis itu begitu saja di dasar laut.
Turis penyelam pemula pasti ketakutan, secepatnya naik
ke permukaan lalu berteriak minta tolong. Pengusaha
jasa wisata diving dan snorkeling akhirnya tak sudi
menggunakan jasa Kayan. Turis pun diwanti-wanti tak
memilih Kayan jadi pemandu selam jika ingin selamat.
Kayan dianggap perusak citra pariwisata.
Kayan sesunguhnya pencerita yang bagus, jika ia diberi
waktu. Mungkin banyak turis akan percaya. Tapi setiap
turis yang tampak ingin tahu, selalu saja dengan cepat
ditarik orang untuk menjauh. Kepada si turis, Kayan
dibilang tidak waras dan punya tingkah aneh sejak kecil.
Kayan tak bisa melawan. Semua orang di desa pesisir itu
memang memusuhinya.

Meski dimusuhi, ia tetap dibiarkan duduk seharian,


kadang tanpa makan, di atas batu yang menjulang di tepi
air. Selain memandang lalu-lalang turis, matanya lebih
sering tertuju pada satu titik, tempat di mana terumbu
tulang rangka itu berada. Ia kadang memandang titik itu
agak lama dengan pikiran yang seakan mengapung di
muka lautan.

Jika pikirannya kemudian mengapung, ia akan terkenang


bagaimana warga adat menghukumnya dengan ritual nan
sempurna. Ia bersama istrinya digiring ramai-ramai
menuju perempatan desa, didudukkan di atas debu jalan,
sementara istrinya tak bisa duduk dan tetap berdiri
dengan kaki gemetar.

Ratusan warga mengurungnya. Upacara guru piduka


digelar sebagai bentuk permintaan maaf kepada dewa-
dewa agar desa dan warga tetap selamat tak kena amarah.
Di tengah upacara Kayan duduk sebagai terdakwa. Ia
didakwa membuat desa jadi leteh, kotor dan hina-dina,
sehingga dewa bisa marah. Jika dewa sampai marah,
bencana dan penyakit bisa datang dengan mudah.

Usai upacara guru piduka, Kayan dan istrinya dibuatkan


upacara pernikahan, upacara tidak biasa yang tak banyak
dipahami bahkan oleh sebagian besar warga desa. Lebih
aneh lagi, setelah dinikahkan, Kayan dan istrinya
digiring ke tepi pantai, diiringi gamelan balaganjur dan
untaian kidung suci. Tubuh Kayan dibalut pakaian putih.
Tubuh istrinya dilingkari kain putih.

Di tepi pantai, Kayan dan istrinya digotong ke perahu.


Kayan sempat menolak, tapi warga adat menggotongnya
dengan paksa. Ia lihat ibunya menangis dan ayahnya
menahan geram tapi memberi tanda agar ia menurut saja.
Gamelan bertalu, perahu yang dinaiki Kayan dan istrinya
meluncur ke tengah laut. Di belakangnya ikut dua perahu
mengangkut sesaji dan sejumlah tetua adat. Beriringan
mereka ke tengah laut. Dari tengah laut, gamelan
balaganjjur di pantai masih terdengar bertalu dengan
nada semangat seperti lagu perayaan di hari gembira.

Pada satu titik di tengah laut, perahu berhenti. Istrinya


digantungi pemberat dari batu besar untuk kemudian
ditenggelamkan. Air mata Kayan meleleh. Sebelum
tubuh menyentuh air, istrinya sempat memandnag Kayan
dengan sorot mata meminta iba. Istrinya meronta, namun
batu pemberat menariknya dengan cepat ke dasar laut.
Kayan membeku. Hancur seluruh harap dalam hidupnya.

Kayan pernah punya harapan besar untuk menjadi warga


adat yang berguna bagi desanya, sebuah desa kecil di
tanjung pesisir utara Bali, tempat ia lahir. Ia ingin
menjadi pahlawan terumbu karang dan ikan hias.
Harapan itu seakan sudah dekat ketika desa pesisir itu
dikembangkan menjadi kawasan wisata menyelam.

Turis datang makin banyak, untuk menyelam, melihat


terumbu dan ikan hias. Ada juga yang menetap. Sejumlah
turis membeli tanah di tepi pantai, tentu dengan
meminjam nama pemilik dari seorang warga lokal. Tanah
dibangun vila untuk dihuni sendiri atau disewakan pada
rekan sesama turis.
Ladang garam ibunya sudah lama terkubur. Ayahnya
sudah lama sakit-sakitan. Ia putus sekolah di kelas enam,
menjelang ujian nasional. Umurnya 13 tahun ketika ia
diajak seorang turis tinggal di vila. Turis itu dari Eropa,
biasa dipanggil Mario. Siang ia menata kebun,
memotong rumput, memangkas ranting kering. Kadang
menguras kolam renang. Malam ia memijat Mario.

Apa cita-citamu? kata Mario suatu malam ketika


tubuhnya menggeliat dipijat Kayan.

Saya pernah melihat seorang laki-laki datang ke pantai


ini. Jago menyelam. Setiap hari memeriksa terumbu
karang, mencatat sesuatu di laptop, menggambar, lalu
menelepon berkali-kali dengan HP layar lebar. Gagah
sekali. Kata orang-orang dia pakar lingkungan laut. Saya
tak tahu apa itu pakar lingkungan laut. Tapi saya suka
karena dia ke pantai ini untuk meneliti dan
menyelamatkan terumbu karang! kata Kayan.

Cita-citamu jadi pakar lingkungan laut?

Ya, seperti lelaki itu!

Sekolah pakar lingkungan laut itu di mana?


Tak tahu!

Tentu kamu tak tahu. SD saja tak tamat!

Pijatan Kayan terhenti.

Kamu ingin tamat?

Kayan memulai lagi pijatannya.

Besok kamu bersama ayahmu ke sekolah, bilang kamu


masuk lagi.

Ayah tak punya uang. Jika tamat, tak bisa juga masuk
SMP!

Di Indonesia kan sekolah gratis?!

Uang bemo, seragam, buku, bekal ke kantin, tak ada!

Saya beri uang untuk seragam dan buku, juga bekal


setiap hari, sampai kamu SMP!

Pijatan Kayan makin kuat, Mario menggeliat. Secara


perlahan Kayan mengarahkan pijatan ke bagian tubuh
yang paling disukai Mario.

Kayan pun tamat SD dan masuk SMP. Selain diberi uang


bemo dan bekal sekolah setiap hari, oleh Mario ia
dibelikan seekor bibit sapi betina. Setelah besar, sapi itu
tentu akan dikawinkan. Punya anak, dan anak sapi dijual
untuk biaya sekolah sampai Kayan mewujudkan cita-cita
menjadi pakar lingkungan laut. Sejak kecil, sejak mulai
belajar menyelam, ia punya kecintaan besar pada
terumbu karang dan selalu bahagia jika bisa bermain
bersama ikan hias. Maka tekadnya pun menggumpal
menjadi cita-cita. Ia ingin menyelamatkan terumbu
karang yang sejak lama rusak akibat bom ikan dan pukat
raksasa.

Kayan tentu harus lihai mengatur waktu. Dini hari,


sebelum benar-benar pagi, sebelum ke sekolah, ia
menyiram taman di vila. Sepulang sekolah ia melesat ke
semak perbukitan, menyabit rumput dan mencari daun
gamal makanan sapi. Sore ia tak lupa menata taman di
vila. Malam ia memijit Mario.

Malam ketika angin laut sangat dingin, vila Mario


didatangi dua polisi dan dua pecalang. Mario sedang
terengah dipijat Kayan ketika pintu kamar dipukul dari
luar. Kayan membuka pintu. Polisi langsung meminta
Mario memakai baju, lalu digiring ke markas sektor.
Kayan dibiarkan tinggal di vila.

Besoknya Kayan bersama ayahnya dipanggil polisi. Di


markas sektor ia dengar berkali-kali kata pedofilia.
Kayan tak mengerti sama sekali. Semua pertanyaan
polisi ia jawab jujur, bahkan untuk jawaban yang ia
sendiri merasa malu untuk menjelaskan secara rinci.
Selain ditanya polisi, Kayan diajak ke rumah sakit.
Beberapa bagian tubuhnya diperiksa, termasuk dubur dan
kelamin. Ia sendiri tak banyak tanya.

Ayah Kayan juga ditanya polisi. Tapi polisi agak


kesulitan menghimpun keterangan dari orang tua yang
sakit-sakitan itu. Jawabannya timur-barat tak tentu
maksud, apalagi disertai batuk dengan irama
menyedihkan. Ia lebih banyak bicara dengan kalimat
yang terus diulang.

Mario itu orang baik, Pak Polisi. Orang baik jangan


dihukum. Jika dihukum, kami sedih. Kami menderita
lagi, katanya.

Polisi tersenyum tanpa mencatat satu kalimat pun di


kertas mesin ketiknya.
Enam bulan, rangkaian waktu dilewati Kayan dengan
rasa unik dan aneh. Ia jadi pemurung. Sekolah putus, ia
dijauhi teman, disindir para orang tua. Ia lebih suka ke
hutan, menyabit rumput dan memangkas ranting muda
serta daun gamal pakan sapi. Selebihnya ia memaku diri
di kandang sapi, kadang sampai malam, kadang tidur di
sisi sapi.

Sesekali Kayan menengok vila Mario. Tentu ia tak bisa


masuk secara leluasa seperti dulu. Vila itu sudah punya
tuan yang berbeda, seorang turis lelaki muda yang
pencuriga dan tak suka menyapa warga. Kayan tak tahu
bagaimana nasib Mario. Terakhir ia bertemu di sidang
pengadilan, tapi tak sempat menyapa. Kayan dengar
Mario dipenjara lalu dipulangkan ke negaranya. Kayan
bersdih. Benar-benar bersedih seperti rasa sedih ketika ia
kehilangan patung batu karang yang dibuat ayahnya
waktu kanak.

Satu yang bisa membuat Kayan bergairah hanya sapi.


Sapi betina pemberian Mario. Sapi itu makin gemuk,
beberapa bulan lagi mungkin birahi dan bisa dikawinkan.
Kayan berharap sapi itu punya anak, dipelihara sebentar
lalu dijual, dan ia bisa sekolah lagi. Ia masih menyimpan
cita-cita jadi pakar laut agar bisa menyelamatkan
terumbu karang.

Jika sapi itu juga hilang, tak tahu seperti apa nasibnya.
Maka sapi dirawat sebaik-baiknya. Pakan tak boleh
kurang. Minum harus cukup. Sapi tak boleh flu, apalagi
diare. Agar tak sakit, sapi yang makin sintal itu
dimandikan setiap sore, lalu dipijat, dan dielus agar
bulunya tetap rapat dan menyala.

Kayan selalu saja terkenang Mario ketika jemari kecilnya


memijat lekuk badan sapi. Kadang perasaan aneh dirasa
menekan dada saat sapi itu menggeliat dan melenguh
perlahan. Seringkali Kayan merasa sedang menahan
sesuatu dengan rasa gelisah, sesuatu yang berat, seperti
balon karet berisi lumpur yang perlahan terasa makin
panas. Dan ia menahan panas dengan sekuat tenaga.

Namun di satu senja, ketika gerimis menciptakan


nyanyian aneh di atas daun talas dekat kandang,
seseorang memergoki Kayan tanpa pakaian. Kakinya
menginjak keranjang rumput dan setengah badannya
telungkup di punggung sapi. Ia dilaporkan ke pengurus
adat. Atas nama rapat adat, Kayan dan sapi betina itu
dikawinkan dalam satu upacara dengan saksi seluruh
warga adat di perempatan desa, di pantai, dan di tengah
laut. Upacara penghakiman dan penghukuman yang ia
kenang dengan rasa pedih dan ngilu hingga tua. (*)

Made Adnyana Ole, tinggal di Singaraja, Bali Utara.


Menulis cerpen dan puisi. Karya-karyanya tergabung
dalam berbagai buku antologi. Buku kumpulan
cerpennya Padi Dumadi (2007) dan kumpulan puisinya
Dongeng dari Utara (2014). Satu cerpennya termuat
dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2014.
Telepon dari Istanbul
Cerpen Vika Wisnu (Kompas, 23 Oktober 2016)

Di Hagia Sophia seseorang lelaki asing menepuk bahu


perempuan yang berdiri tak jauh di depannya dan
bertanya, Anda dari Indonesia?. Si perempuan
menoleh hingga rambutnya seolah melayang,
mengiyakan dengan girang, ribuan kilo dari kampung
halamannya di Pasuruan, ada yang mengenalinya,
Benar! senyumnya lebar. Tapi takdir telah memilihkan
akhir dari percakapan itu. Keduanya sama-sama
terperanjat ketika mata mereka kemudian bersitatap.
Beberapa detik tak bertuan sampai suara perempuan itu
mengambil alih, Apa kabar?, nadanya sehalus
arumanis hangat. Si lelaki tergeragap, lalu menukas
lekas-lekas, Oh, zr dilerimsaya minta maaf. Maaf.
Salah orang. Ia bahkan menolak berhenti sebentar atau
sekedar menengok ulang, begitu terburu-buru.
Perjumpaan memang bisa terjadi sesingkat itu.

Sebelumnya, waktu berporos pada bangunan dengan


lengkung-lengkung gaya Byzantium, berpilar tinggi,
mozaik-mozaik memenuhi langit-langit, indah dan rumit.
Perempuan itu menengadah mencegah haru, rasa yang
seringkali membuatnya seperti hendak tersedak. Di
antara pendatang yang lalu lalang didekatinya salah satu,
Bolehkah aku minta tolong kau memotretku?
dilepaskannya tali kamera dari lehernya yang tertutup
kerah pullover cokelat tua. Tentu! orang itu
pelancong jugamemastikan model dadakannya
mendapat hasil terbaik. Si perempuan berpose serileks
mungkin, sampai-sampai terlambat menyadari di
hadapannya sebuah mihrab dengan gambar perawan suci
memangku bayi. Coba lihat dulu, sudahkah seperti yang
kau mau? sang turis ramah berusaha keras tak
mengecewakan. Wah! Bagus. Terima kasih banyak,
mereka pun saling takzim, bertukar lambaian tangan.
Pada saat itu jubah Rumi melintas, berbisik lembut
namun terdengar sangat jelas, Tubuh adalah Maria;
masing-masing kita mempunyai Yesus di dalamnya.

Tubuh adalah matematika, hati adalah aljabarnya.


Perempuan itu bukan hendak menyangkal, tapi ia telah
hafal luar kepala, apa yang akan terjadibahkan untuk
sedetik mendatangtak pernah lebih dari ramalan,
kepastian hanyalah untuk yang sudah. Dalam
perhitungannya, sekalipun kecil, kemungkinan
menemukan kembali lelaki yang tadi menepuk bahunya
tetap ada, maka melangkah ia cepat-cepat. Sayang
kerumunan begitu padat. Bumi menyusut dalam wujud
museum, manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa,
besar-kecil, tua-muda, sendiri-bersama, meruahi semua
arah dengan sinar mata seragam, terpesona. Ke mana
harus mencari? Duhai, ke mana gerangan kau pergi?
Perempuan itu mengambil telepon seluler dari saku, tapi
berapa nomornya? Kecanggihan pun punya sisi percuma.
Ia menghitung lagi, belum ingin putus asa, barangkali
situs tua bekas gereja-bekas masjid termashur ini
menerima cara-cara lama, sekuno memanggil-manggil
nama tanpa pengeras suara, Andrei Andrei!

Sampai petang, sampai gerbang pengunjung ditutup dan


penjaga meminta semua tamu pulang, tetap tak ketemu.
Suara beningnya pecah menjadi kwarsa, terbang
terpungut angin senja.
Halo, Aisha. Ini Ibu, paraunya terdengar sampai nun
jauh ke seberang. Badannya yang mungil telah menyisip
ke dalam jantung kota Istanbul, keringat dingin menitik-
nitik di liang renik batu padas sepanjang lapangan
Taksim. Perempuan itu merasa tak tentu, teraduk,
matanya berembun. Getar cemas seorang gadis remaja
terdengar ketika ikon speaker-on disentuh, Ibu? Ada
apa? Ibu kenapa? Perempuan itu ingin sekali segera
bercerita, ia baru saja berjumpa seseorang yang bertahun-
tahun hanya dapat dipanggilnya dalam doa, lelaki yang
mengenalkannya kepada rasa ingin memiliki, yang
kemudian pergi jauh tak kunjung kembali. Lelaki yang
tujuh belas tahun lalu memberinya seorang bayi. Di
lidahnya sudah siap meloncat kalimat, Ibu ketemu
ayahmu! tapi mulutnya seperti ketempelan lem kayu,
bibirnya kaku.

Ibu? si Aisha mengulang pertanyaannya, Ibu baik-


baik saja?

Ibu baik-baik saja.

Kena flu? Kok, suaranya gi-tu?


Iya, bunyi ingus disedot-sedot disela tawa yang
diusaha-usahakan, Wong ndesa, sekalinya ke luar negeri
langsung lara.

Hahaha. Ibu bawa obat kan? Bawa vitamin? Jangan


kecapekan. Jalan-jalan, ya jalan-jalan, tapi jangan sok-
sokan.

Sendu berganti percakapan seru, topik silih-berganti


seumpama siaran berita TVbaklava, roti Simit,
permadani indah yang murah-murah, mata Fatimah,
sampai titipan jersey bernomor punggung Arda Turan
untuk pacar Aisha. Isu utama sudah hangus, hanya tersisa
sebagai penutup, Ada sesuatu yang mau Ibu
beritahukan. Tapi, nanti saja setelah Ibu pulang.

Total dua puluh missed call dari kawan serombongan


yang panik, perempuan itu membalas panggilan masuk
berikutnya dengan nada bersalah, Maafkan, saya
tersesat. Selanjutnya hanya terdengar ia menjawab
dengan iya, iya, baik, baik, Iya, saya baik-baik saja,
saya akan menyusul ke hotel. Jangan khawatirkan saya.
Seharusnya ia tetap berada di tengah para manajer dan
direktur. Rapat Umum Pemegang Saham memang sudah
selesai, tugasnya menyiapkan dokumen negosiasi dengan
perusahaan Turki sudah tunai, dan ini hari terakhir di
kota seribu cahayasaatnya rileks dan belanja, bebas
berjalan-jalan ke mana saja, tapi kesepakatan yang
berlaku harus tetap dipatuhi: dilarang menghilang!

Perempuan itu tahu rute termudah menuju Istiklal


Cadessi, jalan tempat penginapannya berada, tapi
bayangan seraut wajah menuntunnya menempuh arah
lain. Diabaikannya tram dan kereta metro, dengan 50 lira
tersisa dicegatnya taksi kuning dan dua menit berikutnya
ia telah berada di kaki Galata Bridge.

Andrei, sapanya yakin. Sesosok berjaket kelabu


tebal sedang berdiri menerawang di salah satu sisi
jembatan, lengannya menumpang pada pagar tembok
setinggi pinggang.

Andrei, saya tahu, kamu tak mau saya mengenalimu,


tapi saya tak mungkin lupa padamu.

Terperanjat sesaat, lelaki itu menoleh ke kanan,


menengok ke kiri, mengitarkan pandangan, lalu dengan
gerakan cepat meraih pergelangan si perempuan, Ikut
saya!

Keduanya berjalan tergesa sekali, menerobos keramaian,


hingga di sebuah sudut yang cukup terlindung mereka
berhenti. Janggut dan cambang lelaki itu ikut bergerak
meski ia bicara seperti berbisik, Saya sedang bertugas di
sini! Kalau kita terlihat, kamu dalam bahaya. Matanya
menatap gusar, Hayati, katakan segera, sekarang juga,
maumu apa?

Yang ditanya agaknya lambat mencerna kata-kata yang


penuh penekanan, pipinya justru merona tersipu, Kau
masih ingat namaku?

Tentu saja-tentu saja, lelaki itu mengibaskan tangannya


dan menghela nafas mencoba tidak terlihat kesal. Aku
ingat namamu, aku pernah selama tiga bulan menjadi
suamimu, kita kawin kontrak disaksikan Ayahmu dan
penghulu Desa Kalisat Kecamatan Rembang tujuh belas
tahun lalu. Tapi ikatan kerjaku dengan perusahaan sepatu
di kotamu itu tak diperpanjang, mereka mencari tenaga
ahli lokal yang lebih murah. Aku ingat kau mencegahku
pulang ke negeriku dan memintaku menetap. Aku ingat
kata-kata perpisahanmu, kau bilang kau hamil dan kelak
akan menamai anak kita Aisha. Aku ingat semua, Hayati.
Aku masih ingat semua, Jadi sekarang, katakan maumu
apa?

Bibir si perempuan merekah takjub, ingin sekali


dikisahkannya semua yang ia lakukan selama ini.
Bekerja keras agar terus naik gaji, gajinya untuk
membayar berbagai kursus agar terus naik pangkat dari
sekedar buruh harian menjadi sekretaris direksi, semata-
mata agar bisa pergi ke luar negeri, ke negerimu, Andrei!
Tapi, toh, yang dilontarkannya berbeda, Saya tidak
menginginkan apa-apa, Andrei. Saya hanya mau sekali
lagi melihat matamu. Di hadapan wajahnya, sepasang
elang yang menukik tajam sedikit demi sedikit melandai,
alis tebal yang bertaut saling memisah bersama dengan
irama yang turut melunak, Hayati, saya telah memiliki
keluarga baru. Saya menikah lagi empatbelas tahun
silam, anak saya tiga.

Di mana keluargamu?

Mereka tinggal di suatu tempat yang aman.

Maksudmu? sekarang perempuan itu mulai merasa


ingin tahu.

Hayati, kamu tidak akan mengerti. Saya bukan lagi


Andrei insinyur Rusia berdasi yang bekerja di pabrik
sepatu. Tugas saya sekarang sangat berat, tapi semuanya
sepadan.

Andrei., lalu lalang perahu-perahu kecil menjajakan


roti isi tuna balik ekmek, perahu-perahu besar
mengangkut ratusan orang berpesiar dari berbagai asal,
Apa kerjamu sekarang?

Bayaran saya lebih dari sekedar untuk hidup di dunia.


Istri saya mendukung penuh, bahkan anak sulung saya
akan segera mengikuti jejak saya.

Apakah, apakah pekerjaanmu berbahaya?

Dengar, saya senang bertemu kau lagi. Tapi sekarang


kembalilah ke hotelmu, bersikaplah biasa. Dan bila ada
orang yang menanyaimu tentang saya, katakan kau tak
tahu apa-apa. Lelaki itu menggeser bahunya,
menurunkan kepala seolah ingin sedekat mungkin
dengan kuduk lawan bicaranya ketika mendesiskan,
Saya bukan lelaki baik seperti yang kau kira.
Angin dari Selat Bosphorus menerbangkan uap garam ke
Teluk Hali, kesat di pori-pori kulit dan kerongkongan.
Kepala Hayati sekonyong-konyong diinvasi bayangan,
lelaki yang hampir seharian dicarinya ini, di balik baju
hangatnya sedang membawa senjata entah apa, hendak
memburu dan melukai entah siapa. Rasa jeri merambati,
tapi lehernya tetap ia tegakkan demi menepis prasangka,
lalu selembut mungkin menukas, Saya tahu, tapi kau
juga tak seburuk dugaanmu.

Andrei mengabaikannya dengan berbalik arah, pergi


bergegas dengan langkah panjang-panjang, tapi sebelum
terlalu jauh tahu-tahu ia berhenti, hanya untuk
menanggalkan syal kasmir yang melingkari lehernya,
melemparkannya ke arah Hayati dan memicing untuk
terakhir kali, Jangan mencari saya lagi!

Tujuh puluh dua jam kemudian bandar udara Atatrk


lumpuh, orang-orang panik, ratusan luka parah, puluhan
rebah jadi jenazah, semua warga sipil dievakuasi, seluruh
jadwal penerbangan dibatalkan. Teridentifikasi, Andrei
Vadinov, martir sebuah jaringan global, meledak bersama
tabung-tabung hidrogen peroksida yang membebat
dadanya. Hayati menahan nafas, punggungnya baru saja
menyentuh sandaran jok belakang taksi biru yang siap
membawanya keluar dari Juanda. Apakah itu yang
Andrei maksud dengan tugas? Yang seharusnya ia
kerjakan tiga hari lalu ketika mereka tak sengaja
bertemu? Perempuan itu menengadah, mencegah haru,
tapi kali ini rasa itu benar-benar membuatnya tersedak,
tercekik melankolia. Sejak awal ia telah dipahamkan, tak
perlu terlalu cinta untuk segala sesuatu yang sementara,
belasan pekan saja dari masa remajanya dibanding sekian
tahun kehidupan sesudah itu, harusnya tak berarti apa-
apa. Andrei, apakah kau sengaja menundanya sampai aku
pulang? Suara daun-daun jati bergesekan menerobos sela
kaca jendela yang diturunkannya pelan-pelan, pucuk-
pucuk hijau kecokelatan mengayun canggung,
mengangguk membenarkan.

Tujuh belas tahun lalu yang berjajar di sepanjang jalan di


tepian tahurataman hutan rakyatKedung Pengaron
ini adalah pokok-pokok kerempeng setinggi tongkat
pramuka, kambium telah mencetak garis lingkaran
berdiameter panjang pada setiap batang, menjadikannya
kini pohon-pohon tinggi menjulang siap tebang. Dulu,
almarhum ayahnya ingin mati dengan meninggalkan
banyak warisan. Untuk itu Hayati dikawinkan, karena
tinggal dia satu-satunya yang perawan, maharnya lebih
besar, cukup untuk ditukar dengan lahan sekitar tiga
setengah hektar. Ayah berwasiat, kelak hasilnya harus
dibagi rata untuk istri dan tiga anak gadisnya. Apa yang
ditukar Andrei untuk diwariskan? Apa yang nanti akan
anak dan istrinya dapatkan? Dan di manakah gerangan
itu, yang disebutnya sebagai suatu tempat yang aman?

Hayati menunduk, mencari nama teratas di daftar kontak,


Halo, Aisha.

Ibu? Ibu sudah sampai di mana? jawaban riang penuh


semangat, seolah yang terdengar adalah suara yang telah
ditunggu berabad-abad.

Sudah dekat rumah, Sayang. Ibu membawakanmu


sesuatu, aroma zaitun tercium dari sehelai kain serupa
selendang yang digenggam perempuan itu dengan
perasaan tak tentu, teraduk dan mata berembun, Titipan
dari ayahmu. (*)
Vika Wisnu, sehari-hari mengajar di Program Studi Ilmu
Komunikasi Untag Surabaya. Menulis fiksi dan puisi
sebagai cara belajar dan meneliti yang menyenangkan.
Tahun 2016 ini, tiga karyanya turut diterbitkan dalam
buku antologi puisi Kamus Kecil Tentang Cinta
(PadMedia). Dapat dihubungi melalui Twitter/IG
@vikawisnu.
Sebelum dan Setelah Perang,
Sebelum dan Setelah Kau Pergi

Cerpen Faisal Oddang (Kompas, 16 Oktober 2016)

PERANG yang baru saja selesai telah mengubah banyak


hal kecuali cinta kita, Arung. Saya harus pergi. Makassar
setelah Ventje Sumual menyerah dan Permesta
dibubarkan, bukan lagi Makassar yang membuat leluhur
saya datang sebagai pedagang kulit penyu, ratusan tahun
yang lalu. Nyawa saya terancam, kau tahu itu. Dan cinta?
Cinta tidak pernah cukup dijadikan alasan untuk
bertahan. Karena itu saya memilih pergi. Ketika surat ini
kau baca, barangkali saya sudah tiba di Tiongkok. Tidak
usah khawatir, ada Hanafi yang membantu kepulangan
saya. Surat ini saya tulis ketika dia tiba-tiba
menghubungi untuk menjemput, demi keamanan,
katanya. Aku meremas tanpa menyelesaikan surat itu,
setelah menghela napas panjang, setelah gagal menahan
air mata yang tiba-tiba jatuh. Dan, tentu saja, setelah
menyesali semuanya.

***

Dia memperkenalkan diri sebagai Malia. Kutahu bukan


nama aslinya bahkan sebelum dia mengakui.

Arung, kataku meraih tangannya siang itu di bekas


kantor harian Indonesia Timur, tempatku pernah bekerja
sebelum berhenti terbit awal 1950, lima puluh tahun
sebelumnya. Ia memperkenalkan diri sekaligus
mengatakan maksudnya untuk mencari data mengenai
koran-koran yang didirikan komunitas Tionghoa di
Makassar.

Aku tidak bisa membantu banyak. Dan sini, Nona lihat


sendiri, tidak ada yang tersisa.

Tuan Huang Sung Chie tidak mungkin salah


mengusulkan orang, tepisnya.

Aku hanya wartawan biasa, Nona. Mantan wartawan,


tepatnya.

Matanya jelas tidak memercayai mataku sekaligus apa


yang aku ucapkan waktu itu. Huang Sung Chie adalah
pendiri beberapa koran Tionghoa di Makassardan aku
bertahun-tahun menjadi bawahannya. Bahkan sejak ia
menjabat pimpinan redaksi Pemberita Makassar hingga
pada 1947 menerbitkan koran baru bernama Neraga Baru
serta Majalah Timur Raja yang menjadi cikal-bakal
harian Indonesia Timur.

Saya tidak pernah salah memercayai orang, dan saya


memercayai Bung.

Kata orang bijak, selalu ada yang pertama untuk semua


hal, Nona.

Yang jelas, Bung harus tahu, saya tidak akan salah kali
ini.

Aku menyerah lantas menuju beranda. Malia paham itu


adalah pengiyaan sekaligus isyarat baginya untuk
mengikutiku sebelum akhirnya kami duduk berhadapan
di kursi kayu jati dengan diantarai meja bundar dari jenis
kayu yang sama. Malia tersenyum menang dengan bola
mata yang hilang ditelan kelopaknya. Yang masih
membuatku tidak habis pikir adalah bahasa
Indonesianya, lebih baik dari totok manapun yang pernah
kutemui.

Saya bertahun-tahun belajar soal Indonesia, termasuk


bahasanya, bagi kami, hal itu penting apalagi sejak
Indonesia kami perkirakan menjadi negara komunis yang
kuat di kawasan Asia. Kami mempelajari kalian sejak
revolusi komunis di negara kami enam tahun yang lalu.

Aku terkejut tetapi tetap berlagak tenang. Dan apa guna


koran-koran yang diinginkan Malia? Ah, itu bukan
persoalan bagiku. Ia nampak menguasai percakapan
kamidan itu cukup sebagai modal pertama baginya
untuk memancing perhatianku.

***

Tidak cukup setahun setelah pertemuan pertama yang


telah kujelaskan, kami pacaran. Setahun kami pacaran,
Jumat 2 Maret 1957 Malia mendatangi kontrakanku
ketika azan Subuh baru saja terdengar sekitar setengah
jam sebelumnya. Ia biasanya datang setelah Magrib lalu
tinggal hingga pagi. Tetapi yang dilakukannya kali itu
sungguh membuatku bertanya-tanya. Sebelum benar-
benar kutanyakan, ia sudah menjelaskan dengan tampang
yang sungguh aneh sekaligus tidak tertebak; senang atau
sedih atau kaget atau apa pun itu, yang jelas Malia aneh.

Ada proklamasi SOB, katanya tenang setelah duduk


meleseh di karpet biru tipis ruang tamuku.

Staat van Oorlog on Beleg? Tidak masuk akal!

Aku tidak sengaja mengepulkan asap tebal ke wajahnya


dan juga tidak sengaja menumpukan ujung jari tengah
dengan telunjuk di dahiku. Seakan-akan aku yang
bertanggung jawab memikirkan hal itu.

Memang tidak seharusnya ada proklamasi, darurat


perang hanya bikinan militer, sesukanya mereka demi
kepentingan ini dan kepentingan itu. Tapi itu sudah
terjadi, Arung, sudah masuk akal. Militer ambil kemudi.
Puluhan tokoh dijemput tentara dan dua wartawan
diikutkan. Tadi Hanafi mengantarku ke sini lalu buru-
buru ke gubernuran. Katanya, tokoh-tokoh itu telah
menandatangani piagam di gubernuran sana. Piagam
Permesta tep

Ini makar! potongku, lagi-lagi seperti orang yang harus


turut resah, ini permai
Malia balas memotong dengan ciuman singkat di bibir
bawahku. Permainan apa, Sayang? Kau terlalu
semangat. Tenanglah dulu, saya buatkan kopi.

***

Aku tidak percaya ia sudah tiba di Tiongkok. Tetapi apa


pentingnya? Tiba atau tidak, sama saja, dia telah
meninggalkanku. Dia pergi dan tujuannya tidak lagi
penting. Kembali kupunguti suratnya, kubaca lagi
tetapi tidak berubah; ia pergi. Semalam, ia datang ke
kontrakanku untuk menginap dan menemaniku. Hal itu
tidak aneh, dia sering melakukannya. Kemudian, bisakah
kita bercinta untuk terakhir kalinya? Aku seharusnya
merasa aneh untuk permintaan itu, tapi segera kukulum
bibirnya dengan buru-buru. Terakhir untuk malam ini,
sayang, tetapi tidak untuk malam-malam selanjutnya. Ia
hanya tersenyum lalu memelukku sangat erat sebelum
kami saling cumbu hingga subuh dan benar-benar untuk
yang terakhir kalinya.

Aku melanjutkan membaca surat Malia tanpa berhasil


mencegah diri untuk bersedih. Saya mencintaimu, Arung,
tulisnya, tetapi.., kita harus berakhir di sini. Saya benar-
benar tidak mengerti, tiga tahun lalu, ketika Permesta
menguasai Makassar, kami dimusuhi. Kau tahu, musuh
Amerika adalah musuh bersama. Kini mereka menyerah
dan saya pikir semua akan kembali seperti semula, tetapi
ternyata keliru; perang tidak menyelesaikan apa-apa.
Sekolah dan semua yang pro-Kuomintang ditutup, koran
dilarang terbit, dan izin usaha orang-orang Tionghoa
dicabut bahkan dirampok oleh militer, saya pikir kata
dirampok lebih tepat daripada diambil alih, seperti istilah
mereka. Saya, seperti yang kau tahu, memang bisa
menghindari genangan lumpur itu, tetapi cipratannya
senantiasa mengotori juga. Konon, ada banyak bukti
bahwa pemerintah saya mengirim pesawat tempur untuk
membantu Permesta merebut Morotai dan
mempertahankan Minahasa. Itu di luar nalar, meski
tuduhan itulah yang dipercaya pemerintahmuatau
tepatnya, dipaksa oleh Amerika yang pengecut itu untuk
percaya. Arung, saya mohon pergilah yang jauh untuk
beberapa saat. Maafkan saya telah mencipratimu juga.
Koran-koran itu kami jadikan contoh untuk propaganda
yang disiapkan kaum nasionalis di negara saya. Jujur,
saya awalnya ingin memanfaatkanmu tetapi cinta
mengubah segalanya. Saya menyerah di hadapan
cintamu dan

Mataku masih sembab dan surat Malia belum selesai


ketika kudengar gedoran yang sudah pasti pertanda
sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja. Terdengar
teriakan memintaku keluar. Terdengar teriakan
memintaku menyerahkan diridan belum sempat
kujawab teriakan itu, pintu kontrakanku jebol dan aku
tidak mengingat apa-apa lagi setelahnya.

***

Kali ini adalah pertemuan kedua kami setelah sehari


yang lalu Malia membuatku menyerah lalu berjanji
membantu kepentingan penelitiannya.

Terima kasih, Bung membantu saya, benar yang saya


percaya.

Ia mengucapkan itu sambil menyodorkan rokok dengan


nada dan gerakan yang tampak sungkan. Di tangannya,
selain rokok dan arloji, juga ada beberapa koran
Makassar yang akhirnya berhasil kami kumpulkan.
Hampir lengkap mulai yang lama sampai yang baru
yang berbahasa Tionghoa hingga berbahasa Melayu.

Terima kasih, ucapnya sekali lagi, tapi kita belum


selesai. Bung saya harap masih mau membantu.

Aku tiba-tiba bengah mendengarnya. Apa? Kulihat


tumpukan koran yang kini ia kepit di ketiak kirinya. Di
tumpukan itu bahkan ada koran Mata Hari, yang tertua di
Makassar, setahuku. Selain itu, koran-koran seperti
Tionghoa Poo, Makassaarsche Courant, Indo China,
Xijian Ribao, bahkan Sek Kang Siang Poyang
tergolong tak begitu penting karena hanya terbit beberapa
dan hanya berisi berita dagang, ia dapatkan pula.

Seharusnya Nona berterima kasih pada orang-orang


Koumintang yang merelakan arsipnya buat kita, tadi kan
aku hanya bantu catat nama-nama koran yang kita
dapatkan, tapi tunggu, aku mengambil jeda dengan
mengisap dalam-dalam rokok pemberiannya, belum
selesai? Apanya? Ia tertawa renyah menyusul
pertanyaanku. Ia mengangguk lantas menjelaskan bahwa
Koumintang berada di pihak kami. Kami? Maksudmu
kita? Aku bertanya.
Baiklah, saya ralat. Koumintang bersama saya, Bung.

Aku semakin tidak mengerti ke mana arah kami, dan


semakin penasaran tentang apa yang harus selesai.
Belum ada jawaban untuk rasa penasaranku ketika Malia
pamit dan seorang lelaki yang tampaknya berusia tiga
puluhan sepertiku, menghampiri kami.

Bung, terima kasih, senyumnya sangat manis


mengatakan itu, saya pamit pulang. Ah iya, Malia
seperti melupakan sesuatu yang sangat penting,
kenalkan, Hanafi, ia memberi isyarat kepada kami
untuk berkenalan dan benar saja, temannya mengulurkan
tangan yang segera kusambut sambil menyebutkan nama.
Dia tentara, lanjut Malia, dan bagian terakhir itu sangat
tidak penting.

***

Malia datang membawa kopi yang ia maksud. Wajahnya


tampak tegang, aku tahu itu dan semestinya ia tahu pula
bahwa senyumannya tidak bisa menyembunyikan apa-
apa.

Tidak ada yang perlu disembunyikan. Ceritalah


Amerika di balik semuanya, suaranya ia pelankan, ia
memasang tampang serius, CIA tepatnya, tunggu saja
beberapa hari, mereka akan kirim bantuan.

Aku ragu.

Tidak ada yang ingin kalah seorang diri meskipun


mereka kelak harus menang bersama-sama.

Aku seharusnya percaya.

Komunis menang di Tiongkok, di sini PKI semakin


kuat, kurang alasan apalagi Amerika itu? Mereka itu
penakut!

***

Aku membuka mata dan sudah duduk bersandar di tiang


dengan tangan diikat ke belakang. Yang terakhir kuingat
adalah gedoran di pintu dan hantaman berkali-kali ke
tubuhku. Apa-apaan ini? Aku membatin. Pertanyaan itu
tidak mendapatkan jawaban apa-apa selain sepatu lars
yang menghunjam dadaku dan menimbulkan bunyi
seakan-akan seseorang tengah melupuh bambu. Napasku
tersengal dan tanpa sengaja kumuntahkan surat Malia
yang belum selesai kubaca. Tadi, ketika tentara datang,
aku tidak bisa memikirkan cara menyembunyikan surat
tersebut selain menyimpannya di dalam mulut. Sejulur
tangan memungutnya. Aku tidak berani mengangkat
tatapan. Perang yang baru saja selesai telah mengubah
banyak hal, kecuali cinta kita, Arung. Terdengar pemilik
sejulur tangan itu membaca surat Malia dengan nada
jengekan.

Lonte, rutuknya. Jadi kalian mengkhianatiku selama


ini?

Aku mengingat suara itu. Kutengadahkan wajah dan


kudapati muka Hanafi yang merah padam.

Ternyata kalian selingkuh. Antek sialan!

Sekali lagi tungkainya menghunjamku. Aku tidak sempat


menanyakan nasib Malia dan masih menduga-duga
lanjutan suratnya ketika Hanafi menempelkan ujung
pistol ke jidatku. Tidak usah khawatir, katanya, kalian
akan bertemu di neraka. (*)

Makassar, 2016.
Kisah Ganjil Seorang
Penggali Kubur
Cerpen Sandi Firly (Kompas, 09 Oktober 2016)

Karena kisah makam keramat seorang penggali kubur


yang kudapatkan sore itu begitu memikat, malam harinya
aku langsung menuliskannya menjadi sebuah cerpen
dengan sangat lancar. Namun, ketika akan memasuki
paragraf-paragraf akhir, aku baru sadar kalau cerpen ini
atau tepatnya kisah ituyang segera kamu baca,
memiliki cacat logika.

Aku tidak akan memberitahumu di mana letak cacatnya


itu, sampai nantisetelah kamu menyelesaikan
membaca cerpennya, aku akan ceritakan pertemuanku
kembali dengan Pak Darman, orang tua pengurus makam
yang mengisahkan kepadaku tentang Syam, penggali
kubur yang makamnya dikeramatkan di kampung kecil
yang namanya sebaiknya tidak perlu aku sebutkan.
Begini cerpen tentang kisah itu.

***

Siapakah yang mati hingga liang kuburnya harus digali


malam-malam begini?

Kesadaran itu terletik ketika ia sudah berada di


pekuburan depan mushala kampungnya. Baru kali ini ia
diminta menggali kubur malam-malam. Biasanya, kalau
ada yang meninggal pada malam hari, penguburan tetap
dilakukan esoknya. Tapi ini berbeda. Dua sosok asing
yang menemuinya meminta agar liang kubur disiapkan
tengah malam ini juga, dan dengan pesan khusus; sebuah
liang kubur yang nyaman untuk membaringkan tubuh.

Tangan kanannya menggenggam cangkul, dan tangan kiri


menenteng ceret berisi air minum dengan sebuah ember
ukuran sedang tergantung di bahunya. Walau malam
cukup cerah dengan seiris bulan terang, dan bintang-
bintang bagai butiran-butiran gula yang berserakan di
langit bersih, Syam tetap memerlukan lampu mushala
untuk meneranginya saat bekerja.

Ia memang pernah menggali kubur waktu malam. Waktu


itu ada mayat yang datang dari kota jauh, dan harus
segera dikubur ketika mayat tiba menjelang Isya. Ia
mengira, kali ini pun mayat yang hendak dikuburkan
datang dari tempat jauh.

Sambil mempersiapkan pekerjaan, agak disesalinya


kenapa tidak sempat bertanya kepada dua sosok yang
datang membangunkan dan memintanya menggali kubur
beberapa waktu tadi.

Syam, gali liang kubur sekarang, malam ini juga, ucap


sosok, yang juga baru diingatnya, berwajah sangat bersih
dan entah kenapa seperti bercahaya.

Sebelumnya, Syam terjaga lantaran matanya tiba-tiba


seakan tertusuk bilah-bilah cahaya tajambersamaan
ketika kedua sosok asing itu mengucapkan salam dan
telah berdiri di sisi ranjang kayu tuanya. Semuanya
tampak putih. Seakan kamarnya telah dibanjiri cahaya.

Cepat bangun! Waktunya tidak lama lagi, seru sosok


lainnya, berwajah agak masam, namun juga bercahaya.
Dan ingat, buatlah liang kubur yang nyaman untuk
membaringkan tubuh!
Syam merasa aneh. Baru kali ini ada permintaan
menggali liang kubur dengan syarat khusus seperti itu.
Liang kubur hanyalah liang kubur; tak pernah ia
memikirkan bahwa ada liang kubur yang benar-benar
nyaman bagi mayat. Lagi pula, bukankah mayat tak
mungkin bisa merasakan liang kuburnya nyaman atau
tidak?

Kedua sosok itu berbaju putih polos longgar yang seakan


berkibar-kibar. Syam ingat, tubuh keduanya tampak
sangat tinggi, hingga kedua wajah itu menjulang dan
sulit dikenali.

Ketika ia duduk mengumpulkan seluruh kesadarannya,


kedua sosok itu telah mengucapkan salam, lalu berpaling
keluar dengan meninggalkan kibasan angin yang sempat
dirasakan Syam menerpa wajahnya. Cahaya terang
menyilaukan pun seolah ikut beringsut susut mengiring
kedua sosok itu. Ruangan kamar kembali seperti malam-
malam biasanya; lembab dan redup.

Syam tercenung. Ia masih merasa antara mimpi dan


terjaga. Sayangnya, bukan mimpi. Dan Syam masih
memegang kata-kata bapaknya, yang dulu semasa hidup
juga seorang penggali kubur, agar jangan menolak setiap
permintaan untuk membuat liang kubur.

Juga di saat badan tidak terlalu sehat, seperti dua hari ini
dirasakan Syam. Ia masih ingat, dulu bapaknya tetap
bekerja walau sedang batuk-batuk. Selama aku masih
bisa berdiri, dan mampu mengayunkan cangkul, aku
sehat-sehat saja. Jangan pernah menolak permintaan
menggali kubur. Di kampung ini, orang hanya tahu kalau
Bapaklah tukang gali liang kubur.

Kini, sudah lima tahun lebih bapaknya wafat, dan hanya


pekerjaan penggali kubur yang diwariskan kepadanya.
Tentu juga sepetak kebun di halaman rumah kayu
sederhana mereka, untuk keperluan sehari-hari dan
dijual. Setiap pagi, sepulang salat Subuh, Syam merawat
kebun yang ditanami kacang panjang, tomat, daun
seledri, cabai, kacang panjang, singkong, dan sedikit
jagung. Menjelang tengah hari, ia beristirahat, mandi,
lantas menikmati rokokyang ia linting sendiri, di
beranda rumah ditemani secangkir kopi dan singkong
rebus. Kemudian ia bersiap pergi ke mushala bila telah
terdengar azan.
Syam sudah tak ingat persis kapan terakhir ia menatap
wajah ibunya. Ia masih kanak-kanak ketika menyaksikan
bapaknya menggali liang kubur untuk ibunya. Itulah kali
pertama ia pergi ke pekuburan. Sejak itu pula ia selalu
ikut bila bapaknya bekerja membuat lubang kubur.
Sampai ketika tenaganya cukup kuat mengayunkan
cangkul, ia turut membantu bapaknya.

Sekarang ia benar-benar telah menjadi seperti bapaknya,


seorang penggali kubur. Hingga usianya mencapai empat
puluh satu tahun sekarang ini. Dan masih hidup seorang
diri.

Syam bukannya tak pernah berpikir untuk memiliki


seorang istri. Hanya saja, setiap pikiran itu hinggap, ia
teringat ketika bapaknya menggali kubur untuk ibunya
berpuluh tahun lalu. Dan ia tak ingin mengulang hal itu;
mengubur mayat istrinya sendiri. Tak pernah ia
membayangkan, bahwa bisa saja ia yang mati lebih dulu.

Sudah satu meter tanah digalinya. Syam istirahat,


meneguk air yang mengucur langsung dari leher ceret.
Sesekali ia terbatuk, namun tetap memaksakan diri
menyalakan rokok.
Malam masih hening, diperkirakannya sekitar pukul tiga
dini hari. Langit tetap terang dan bersih.

Di tengah isapan rokoknya, Syam sayup-sayup mencium


bau harum yang diyakininya menguar dari liang
galiannya. Ia tersenyum. Hal ini bukanlah kali pertama
dialaminya. Ini pasti orang baik yang meninggal,
batinnya. Dulu, ia juga ingat, bau harum seperti ini
tercium ketika menguburkan Pak Majid, penjaga
mushala yang meninggal dunia di saat sedang salat.

Soal bebauan yang kadang tercium dari liang galian


kubur adalah rahasia yang disimpannya sendiri. Ia
merasa Tuhan sengaja memberinya keistimewaan itu
karena telah membaktikan diri sebagai seorang penggali
kubur selama puluhan tahun.

Bukan hanya bebauan harum, ia juga pernah mencium


bau busuk dari liang galian kuburnya. Dan akhirnya ia
mengerti, ternyata mayat yang hendak dikubur adalah
seorang yang selama ini di kampungnya dikenal sebagai
preman yang suka mengganggu istri orang dan berbuat
onar. Bau busuk juga pernah tercium olehnya ketika yang
hendak dikubur seseorang yang mati di kamar pelacur di
sebuah lokalisasi.

Mendapati kematian seperti itu, Darman, anak muda alim


yang selalu menjadi muazin di mushala kampung
mereka, pernah berucap kepadanya, Banyak orang yang
mati di saat mengerjakan kebiasaannya. Semoga kita
tidak dimatikan dalam kebiasaan yang buruk-buruk.

Seandainya kita bisa memilih cara kematian kita


sendiri, sahutnya sambil tercenung di tepi liang galian
kubur waktu itu.

Kurasa, tanpa disadari, setiap waktu kita sebenarnya


telah membuat cara bagaimana kematian itu akan datang
menghampiri.

Syam tak sepenuhnya memahami kata-kata Darman.


Tidak juga mengiyakan atau membantah. Yang ia tahu,
setiap yang mati harus dikuburkan, dan ia adalah orang
yang bertugas untuk itu di kampungnya.

Dan malam ini ia mencium bau harum dari liang kubur


yang sedang dikerjakannya. Pasti orang yang akan
dikubur ini mati di saat melakukan kebiasaan baik, bisik
hati Syam.
Ketika liang kubur selesai dikerjakan, Syam baru teringat
permintaan dua sosok yang datang ke rumahnya agar
dibuatkan liang kubur yang nyaman untuk
membaringkan tubuh.

Semula Syam ragu memandangi dasar lubang yang


digalinya. Ia duduk mencangkung, terayun-ayun antara
mata yang mengantuk dan tubuh yang letih.

Apakah liang ini sudah cukup nyaman?

Kemudian ia sadar, tak ada cara untuk mengetahui


apakah liang yang digalinya memang sudah nyaman atau
tidak untuk membaringkan tubuh, selain harus
mencobanya. Juga didorong keinginan untuk
mengistirahatkan tubuh yang penat, dan kelopak mata
yang memberat.

Perlahan ia turun. Lalu pelan-pelan duduk, merebahkan


tubuh, memejamkan mata, dan melipatkan tangan di
dada. Sembari sesekali tarikan napas panjang dengan
embusan yang lembut, ia merasa liang kubur yang baru
digalinya memang nyaman untuk membaringkan tubuh.
Ia pun tersenyum samar dalam keharuman liang kubur
yang digalinya sendiri.

Begitu Syam membuka mata, semuanya telah berubah


menjadi putih terang. Seolah ia berbaring di suatu
hamparan cahaya yang sangat lapang tak berujung.
Sekejap kemudian, ia melihat dua sosok bercahaya
kembali hadir mendatanginya. Semakin dekat. Dan Syam
telah siap dengan pertanyaan yang tak sempat
diucapkannya; Siapakah yang mati hingga liang
kuburnya harus digali malam-malam begini?

***

Jadi, sore itu aku kembali menemui Pak Darman di


mushala usai salat Ashar. Seperti kukatakan di awal, aku
ingin menanyakan kejanggalan yang kurasakan tentang
penggali kubur yang dia kisahkan kepadaku sehari
sebelumnyayang cerpennya baru saja selesai kamu
baca.

Kuingat, wajah tuanya tampak tenang dengan senyum


seorang yang bijaksana ketika menjawab pertanyaanku.

Anak muda, katanya, entah apakah dia telah lupa


namaku yang kusebutkan waktu perkenalan kemarin,
terkadang orang hanya perlu meyakini bahwa begitulah
sebuah kisah terjadi. Dan tak ingin merusaknya dengan
mempertanyakan lagi bagaimana kisah itu terjadi, dari
mana bermula, dan sejauh mana kebenarannya.

Tanpa memedulikan rasa penasaranku, Pak Darman


lantas pergi begitu saja. Termangu aku menatap tubuhnya
dalam jubah putih yang ujungnya berkibar-kibat ditiup
angin sore.

Dan aku masih belum menemukan jawabanyang


menjadi cacat logika dalam cerpenku atau kisah itu; jika
penggali kubur itu mati dalam liang kubur yang digalinya
sendiri, lalu dari mana kisah itu didapatkan dan siapa
yang bisa mengetahuinya? Bukankah penggali kubur
yang mati tidak mungkin bisa menceritakan dirinya
sendiri?

Tapi, akhir kisahnya memang bukan begitu.

Kepadaku sehari sebelumnya Pak Darman mengisahkan,


Subuh itu orang-orang ramai melihat liang kubur yang
seakan-akan ada begitu saja. Di dalamnya tidak ada apa
pun. Liang kubur itu kosong. Akulah yang pertama kali
melihat liang kubur itu sewaktu menuju mushala untuk
salat Subuh. Namun semua orang tahu, tidak ada
penggali kubur selain Syam. Dan tak ada yang menggali
kubur sebaik itu, kecuali juga Syam. Orang-orang pun
percaya bahwa yang menggali liang kubur itu adalah
Syam. Namun anehnya, Syam tiba-tiba telah menghilang
dari kampung. Tak seorang pun tahu ke mana perginya.
Lalu liang kubur itu ditimbun, dan semenjak itulah
diyakini sebagai kuburan Syam yang lambat-laun,
berpuluh-puluh tahun hingga saat ini, dianggap keramat.

Jelas, akhir kisah dari Pak Darman, penjaga makam


keramat ini, juga cacat. Bagaimana mungkin ada kisah
penggali kubur Syam seperti yang kutuliskan apabila
ternyata Syam tiba-tiba menghilang, dan tak seorang pun
tahu keberadaannya.

Dalam perasaan ganjil atas kisah itu, sekali lagi, sebelum


pergi meninggalkan kampung kecil yang sebaiknya tetap
tidak perlu kusebutkan namanya, aku menatap makam
penggali kubur yang dikeramatkan itu. Pusaranya
dipenuhi bunga rampai, serta kain kuning di atas
kubahnya. Di dekatnya, yang sebelumnya luput dari
perhatianku, ada sebuah kotak amal tempat para peziarah
memasukkan uang.

Sampai di sini, bila tidak Pak Darman yang kamu anggap


mengarang-ngarang kisa penggali kubur itu, pasti akulah
yang kamu tuduh mengada-ada dengan kisah cerpenku.
(*)

Sandi Firly. Lahir di Kuala Pembuang, Kabupaten


Seruyan, Kalimantan Tengah. Saat ini menetap di
Banjarbaru, Kalimanan Selatan, dan bekerja sebagai
wartawan. Menulis cerpen dan novel. Mengikuti Ubud
Writers & Readers Festival (UWRF), Bali, 2011.
Cerpennya Perempuan Balian termuat dalam buku
Cerpen Pilihan Kompas, 2012
Sejarah
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 25 September 2016)

1.

Ceritakan padaku apa yang terjadi sebelum aku lahir.


Aku ingin berenang, tenggelam dalam sejarah. Agar aku
tahu arah yang benar dalam meneruskan langkah.

Sejarahku mentok, berhenti sebelum aku lahir. Jadi biar


pun sejarahku ngelotok, sampai tahu berapa ekor nyamuk
sudah terbunuh dalam kamar ini, aku tetap saja buta ke
masa lalu. Maka terus-terang sejarahku tidak afdol. Dan
itu membuat panca inderaku cacat. Timpang.

Mataku, kupingku, mulutku, alat peraba, penciuman,


terutama perasaanku tidak komplit. Semua yang
tertangkap jadi tidak bulat, lengkap, tuntas, tapi hanya
sebagian-sebagian. Bahkan celakanya, tak jelas, itu
sebagian besar atau sebagian kecil?

Karena itu tolong las bolong-bolongku! Tambal, sulam,


supaya air yang kuciduk tidak berceceran dan akhirnya
sudah capek-capek turun ke lembah, mendaki bukit bawa
air untuk menyirami tanaman di kebun, sampai di rumah
emberku kosong. Semua akan marah. Aku bisa frustrasi
dan seluruh tanamanku terancam mati.

Jadi ayolah, ceritakan sejarah yang lengkap, jangan ada


yang ketinggalan. Jangan ada yang ditutup-tutupi.
Sejarah bukan cerita fiksi untuk menobatkan seorang
pelaku jadi pahlawan. Juga bukan sebaliknya! Sejarah
bukan tuduhan jaksa untuk menyeret seorang bandit
narkoba ke vonis pidana mati.

Sejarah biarkan jadi sejarah saja. Jangan diubah,


direnovasi, dipugar atau dimanfaatkan untuk keperluan
lain. Biarkan sejarah tetap bagai bianglala peristiwa,
prisma berwarna Newton, supaya jadi cermin putih yang
mampu menampilkan bayangan semua orang dengan
jujur tak memihak.

Ayo cepat, jangan tunda-tunda lagi! Tuturkan sejarah


selengkapnya dengan sederhana, apa adanya. Jangan
didandani dengan emosi. Jangan meniru gaya para
pembawa berita di TV swasta yang sudah membawakan
berita yang ditulis menurut kemauan pemilik TV dan
dibaca dengan ironi yang sudah dipesan untuk
kemenangan kompetisi politik.

Paparkan saja sejarah seadanya. Biarkan pahit tetap


pahit, manis terus manis, lepas saja apa adanya. Tak perlu
dikomentari, jangan dipandu dengan interpretasi.

Sejarah bukan orang jompo, bukan orang stroke, bukan


tunanetra yang harus dibantu perawat. Sejarah akan
bergerak menurut kodratnya sendiri. Tak perlu ditata dulu
jadi puisi supaya menggigit. Atau dibalut pesan moral
supaya beriman. Karena itu bukan nantinya mencuci tapi
melumpuhkan saraf.

Silakan mulai, mulai saja tuturkan tanpa seremoni.


Biarlah sekarang aku diguyurnya, sebelum keadaan
parah, sebelum, sebelum, ya, ya mulai saja, mulai saja
begitu, aku dengar sembari aku mulai tidur, grrrrrr grrrr
grrrrr, grrrrr gerrrr.

2.

Adikku, waktu kau lahir, aku juga masih kecil. Aku bisa
melihat tapi terbatas. Mendengar juga cuma sepotong.
Aku tak bisa menyimpulkan.
Jadi catatan sejarahku, tergantung pada omongan orang.
Kalau takut, mata aku pejam, ibulah yang lebih tahu.
Sejarahku pun pincang sebatas yang ingin kulihat, yang
terpaksa aku dengar.

Aku juga tak percaya kenapa hidup lebih menakutkan


dari mimpi. Dikejar setan dalam tidur, aku bisa meloncat
bangun dan setannya tak bisa memburu keluar. Tapi
dalam kejadian nyata, kalau mau lari, kemana?

Jadi lebih baik kulupakan saja kejadian pagi itu.


Kuanggap seperti tak pernah terjadi. Karena aku tak
mengerti.

Aku bingung. Bapak yang selalu mengurut kakiku


sesudah seharian mengejar capung di lapangan, subuh itu
ditarik keluar rumah.

Aku bangun, tapi ibu memegang tanganku, menutup


kepalaku dengan selimut. Tapi waktu dia mengintip
keluar dari kisi-kisi dinding, aku ikut ngintip.

Lalu kulihat bapak berlutut di halaman. Kakek


mengangkat kelewang dan aku tak sadarkan diri. Waktu
aku buka mata lagi, aku tak pernah lagi lihat bapak.
Ibu bilang bapak sudah berangkat jauh, terlalu jauh,
mungkin tak kembali sampai kamu lahir, besar, dan
katanya juga, mungkin sesudah aku dan kamu
berkeluarga, kita semua akan menyusul. Kata ibu, bapak
akan menunggu di situ.

Kalau belum jelas, tanya Ibu. Tapi hati-hati nanya, nanti


dia nangis. Kalau aku nanya lagi, dia pasti marah.
Tanyakan kenapa kakek memenggal kepala bapak?

3.

Anakku, kebetulan kamu nanya. Memang Ibu mau


bercerita. Tetapi dengarkan saja, jangan menyela, jangan
banyak bertanya.

Di dalam kehidupan tidak semua pertanyaan ada


jawabannya. Ada yang terpaksa kita biarkan karena
jawabannya bertentangan dengan tetangga. Kalau
dijawab, kita akan bertengkar. Padahal bagaimana kita
hidup tenang kalau tidak rukun dengan tetangga?

Mereka juga begitu. Kita wajib menjaga perasaan


masing-masing. Jadi nanti kalau setelah mendengar
cerita ini kamu mau bertanya, tanya saja hati kamu. Atau
tanya kawan-kawanmu sendiri yang sekiranya akan mau
memberikan jawaban.

Jangan bertanya karena ingin menuntut keadilan. Jangan


berperkara di masyarakat. Itu tempatnya di pengadilan.
Bertanya itu untuk mendengar cerita, jangan menuntut
apa-apa.

Sudah bukan zamannya.

Bapakmu sebelum pergi, minta maaf atas kesalahannya.


Karena ia lebih memikirkan partai. Lupa kamu yang ada
dalam kandungan ibu, adalah juga kewajibannya.

Sebagai bapak aku wajib untuk mengantar anakku


tumbuh sampai dewasa, katanya. Sampaikan nanti, kalau
dia sudah besar, aku minta maaf, katanya.

Sekarang aku permisi pergi duluan karena aku sudah


dijemput. Usahakanlah dengan segala cara asal benar,
supaya mereka, maksudnya kamu dan kakakmu,
mendapat pendidikan yang baik, sehingga nanti dia bisa
mengerti sendiri apa yang sudah terjadi.

Teman-teman lain sudah duluan berangkat. Aku ini yang


terakhir. Sebenarnya mereka tidak berniat
memberangkatkan aku. Karena mereka tahu, kau sedang
mengandung. Tetapi tetangga kita itu, yang pintar cari
muka, menunjuk-nunjuk siapa yang harus dijemput,
maksudnya supaya dia sendiri tidak dijemput.

Katakan padanya nanti kalau sudah besar, katanya sambil


menyentuh perutku, maksudnya kamu, supaya dia belajar
saja jadi orang biasa, jangan ikut-ikutan politik.

Sampai di situ, lalu datang bapaknya, kakekmu. Mereka


bicara, aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Tapi aku
lihat keduanya menangis, lalu pelukan. Sesudah itu ibu
pingsan.

Jangan percaya omongan orang. Bukan kakekmu yang


membunuh bapakmu, itu bohong!

4.

Cucuku, sekarang umurmu sudah cukup untuk bertanya.


Hanya aku masih ragu, apa kamu sudah siap untuk
mendengar.

Sejatinya mendengar tak selalu menunggu umur atau


disiagakan oleh umur. Utamanya dalam mendengar
adalah batinmu sendiri terbuka. Hati nuranimu saja yang
boleh menjawab.

Tetapi karena usiaku sudah larut senja, aku takut nanti


tidak sempat. Nanti kamu bisa terkurung dalam gelap.
Terkatung-katung seperti layangan putus. Kesana-kemari
dipentalkan angin.

Kamu akan gamang antara yang bilang kakek membunuh


bapakmu, anakku sendiri. Atau kakekmu sudah
berkomplot menyingkirkan lawan politiknya, bapakmu,
anakku sendiri.

Dengar baik-baik, kata demi kata, kalimat demi kalimat.


Simak makna seluruh tuturanku, jangan sampai salah
tangkap.

Pertama sekali yang perlu kamu ingat, kita adalah


keluarga petani. Garapan kita tanah. Milik kita atau milik
orang lain, itu tidak membuat kita jadi atau bukan petani.

Kalau kamu hidup dari kerja bertani, kamu petani. Tapi


bapakmu tak setuju. Awalnya ia petani yang rajin. Tapi
setelah ketemu teman-temannya dari kota, ia berubah.

Ia masuk partai. Kerjanya berunding, rapat tiap malam.


Tak mau lagi bertani. Karena sawah yang kita garap
punya orang lain. Bangsawan puri di kota. Petani harus
punya sawah sendiri, kalau tidak punya bukan petani,
katanya.

Sejak itu, ia tidak mau lagi ke sawah. Ia jadi kader


pimpinan partai. Ikut bentrokan dengan partai lain.
Ibumu dilarang sembahyang tak ada gunanya, katanya.

Ia melarang penggarap-penggarap tanah tunduk pada


pemilik tanah. Nanti kalau waktunya sudah tiba,
tanahnya akan kita bagi, orangnya kita sembeleh!
Revolusi harus memenangkan rakyat jelata, kaum
borjuis, feodal, kita bakar!

Bapakmu jadi beringas dan ditakuti. Kakek pun dia


musuhi dianggap antek feodal. Dia berani karena
Gubernur yang satu partai, mendukungnya.

Desa kita waktu itu kisruh dicekam ketakutan. Warga


terbelah. Dalam keluarga ada permusuhan. Orang curiga-
mencurigai. Kalau ada yang meninggal tidak lagi saling
menyambangi.

Lalu hari yang berdarah itu tiba. Siang jadi malam.


Malam jadi siang. Yang dulu ketakutan berbalik jadi
menakutkan.

Subuh itu, sejumlah pemuda muncul. Mereka datang


baik-baik meminta bapakmu merelakan pergi jauh
selamanya. Mereka minta nyawa bapakmu. Bapakmu
paham. Aku pun terpaksa paham.

Keadaan pagi itu sungguh aneh. Bapakmu minta jangan


orang lain, tapi aku yang harus melakukannya, sebab
akulah yang memberinya hidup. Aku tak mampu
menerima tugas itu, tapi bapakmu meminta sungguh-
sungguh karena ia tidak mau dibunuh tapi diantarkan
oleh bapaknya sendiri, aku. Waktu aku ayunkan
kelewang itu, aku sedang membunuh diriku sendiri.

Ya, pagi itu, sebenarnya kakek sudah mati. Anak yang


bertahun kutunggu, kurawat, kegendong ke mama pun
pergi, kududukkan di punggung sapi waktu membajak
sawah, harus kuhabisi. Tas.

Bapakmu pergi dengan damai di tanganku yang bukan


membunuhnya tapi mengantarnya. Tapi aku tak bisa
memaafkan diriku. Begitu banyak yang terjadi di hari-
hari itu yang tak akan bisa kita mengerti.
Karena itu menanggapinya dari jauh, seperti sekarang,
memerlukan jiwa yang besar. Jangan biarkan peristiwa
itu jadi lingkaran setan. Paham? Peristiwa itu jadi sejarah
hitam kita bersama.

Aduh, kakek tak kuat lagi. Cerita subuh itu


menggelapkan hidup kakek. Semoga kamu bisa
menerimanya dengan batin yang bijaksana. Jangan
biarkan lingkaran setan itu lebih panjang.

Sekarang berpulang kepadamu. Paham? Aduh ini, kamu


bagaimana? Kok grrr, grrr, molor! Bangun! Katanya mau
dengar sejarah.

5.

Di dalam kemerdekaan, ternyata masih ada


ketidakmerdekaan. Di dalam ketidakmerdekaan ada
pembunuhan tanpa peradilan. Apakah betul kita sudah
merdeka? Kalau sudah, aku menggugat, adili semua
pembunuhan. Termasuk pembunuh bapakku! Seret
tangan-tangan kotor. Minta maaf kepadaku, bapakku
sudah dieksekusi tanpa peradilan! Bangsa yang tidak
tahu sejarah adalah bangsa keblinger! Orang yang tidak
peduli sejarah adalah tukang molor dan anarkis yang
harus disikat habis!! (*)

Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra


ketiga (bungsu) dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan
Mekel Erwati. Setelah tamat dari SMAN Singaraja dan
Fakultas Hukum UGM, ia pindah ke Jakarta. Pernah
menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan
Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai
film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, dan
lakon. Sejak akhir 2012 aktif melukis. Ribuan cerpen dan
puluhan novel sudah lahir dari tangan Putu. Beberapa
novel dan karya dramanya mendapat penghargaan dari
Dewan Kesenian Jakarta.
Nalea
Cerpen Sungging Raga (Kompas, 18 September 2016)

Tidurlah, Nalea. Esok kita abadi.

***

Gadis kecil itu memucat, bibirnya membiru karena


dingin. Hujan belum juga reda sejak sore tadi. Jalanan
basah dan sebagiannya menampakkan genangan pekat
seperti menandakan begitu kelamnya kehidupan kota ini.

Ini, pakai jaket, kata ayahnya. Lelaki itu menyentuh


kening Nalea, dan memang terasa hangat. Sepertinya
kamu masuk angin.

Mereka sedang berteduh di etalase toko. Kemilau basah


lampu-lampu jalan, papan reklame, juga sorot mobil dan
motor, semua adalah cahaya yang menyelingi udara
dingin di sekujur kota.

Nalea masih berbaring di pangkuan lelaki itu. Ia


berkeringat, membuat helai rambutnya menempel di
kening. Napasnya berat, dan matanya setengah terpejam.
Lelaki itu tak bisa membayangkan perasaan anak
gadisnya setelah segala kejadian yang mereka alami:
Kios sederhana mereka diangkut petugas penertiban
siang tadi.

Siang itu, Nalea sedang duduk di pinggiran taman kota.


Seperti biasa, ia berkumpul dengan bocah sebayanya
yang berpakaian lusuh. Adakah yang lebih
menyenangkan melihat beberapa anak kecil tertawa
riang, yang bahkan giginya belum lengkap, tapi tetap
bisa merasa bahagia meskipun kehidupan ini
sesungguhnya teramat keras? Namun begitulah
kebahagiaan mereka mendadak berhenti ketika
mendengar suara keributan tak jauh di arah belakang.
Tampak beberapa petugas berseragam turun dari mobil.
Rupanya hari itu ada penertiban preman, pengamen, dan
pedagang asongan.

Weh, ada satpol!

Beberapa pengamen yang berusia remaja sudah lebih


dulu melesat di gang-gang pertokoan. Ada yang
bersembunyi di warung makan, di warung internet,
sampai di toko pakaian. Sebagian petugas mengejar
anak-anak itu, sebagian lagi menertibkan barang
dagangan yang ditinggalkan begitu saja. Perempuan-
perempuan pengemis lari sambil menggendong bayi
entah milik siapa, begitu pula peminta-minta yang
awalnya berjalan terseok-seok tiba-tiba seperti mendapat
mukjizat untuk lari menghindari kejaran petugas.

Nalea segera teringat kios ayahnya yang berjarak sekitar


dua ratus meter dari situ. Ia pun langsung berlari,
menyeberang jalan, mengejutkan beberapa pengendara
mobil yang lantas membunyikan klakson berkali-kali.

Woi! Sial anak kecil liar! Mampus saja!

Nalea terus berlari. Ia melewati pedagang soto, pejalan


kaki, tukang becak, tukang ojek yang sedang sibuk
dengan gadget, dan orang-orang lain yang tak ada
hubungannya dengan cerita ini. Namun ada dua orang
petugas yang terus mengejarnya.

Gadis itu pun sampai di sebuah kios kecil. Ia membuka


pintu samping kios, membangunkan seorang lelaki yang
tengah tidur berbalut sarung.

Ayah! Ayah! Aku dikejar satpol.


Ha? dalam keadaan setengah sadar, lelaki itu lantas
meminta Nalea masuk. Namun hanya berselang beberapa
detik sampai dua petugas itu menemukanya.

Oh, jadi curut kecil ini tinggalnya di sini, salah seorang


petugas berkata, lalu mengambil HT, Mobil bawa ke
sini, dua ratus meter arah barat. Ada kios yang harus
diangkut.

Dalam keadaan masih tampak pusing, ayah Nalea


mengajak anaknya segera membereskan beberapa barang
seperti buntalan baju, radio, dan tas. Mereka harus buru-
buru pergi jika tidak ingin dibawa ke panti sosial.

Lho, hei mau kemana?

Lelaki itu menggendong Nalea dan segera menyelinap di


pagar. Maka keduanya pergi, sambil sesekali menoleh
pada petugas yang sibuk merobohkan kios semi-
permanen itu

***

Nalea dan ayahnya lalu berjalan di pinggiran sungai.


Setelah cukup lama, mereka duduk di sebuah taman yang
baru diresmikan oleh wali kota pekan lalu.
Ayah, kapan mau ambil kios kita lagi?

Tidak bisa, Nalea. Kita sudah beruntung tidak ikut


dibawa.

Gadis itu teringat beberapa temannya yang menangis


minta tolong, tapi tetap diseret juga ke atas mobil bak
terbuka. Belum lagi kalau melawan. Ia teringat Salem,
bocah lelaki yang selalu membuatnya tertawa karena
suka bertingkah layaknya orang kaya, yang dengan
tingkahnya itu justru membuatnya terlihat makin
menyedihkan. Ketika hari penertiban, bocah itu diseret
dan ditelanjangi karena meronta dan menendang
selangkangan salah satu petugas.

Bayangan itu sesungguhnya bukan hal baru bagi Nalea.


Ini hanya bagian lain dari hari-hari yang biasa.

Di taman, sekarang mereka makan jagung rebus, melihat


orang-orang berlalu-lalang, sepasang anak muda
bergandengan tangan, penjual balon mendekati anak-
anak kecil, pedagang rokok berbincang dengan pedagang
minuman, termasuk juga perempuan-perempuan yang
baru pulang kerja.
Ayah, perempuan yang itu cantik, ya. Nalea menunjuk
seorang wanita dengan blazer merah yang sedang
berjalan sambil menelepon.

Lelaki itu tersenyum. Kamu ada-ada saja.

Apa dulu ibu juga cantik?

Ha-ha-ha. Ibumu Lebih cantik! Lihat, ia melahirkan


anak semanis kamu.

Nalea tersenyum. Sebenarnya, lelaki itu sudah lama ingin


bercerita, bahwa ia bukan ayahnya. Dahulu, ketika
sedang memulung barang bekas, ia melihat seorang
wanita turun dari mobil, meletakkan kardus di bawah
sudut jembatan layang, kemudian kembali ke mobil dan
pergi. Ketika didekati, didapatinya di dalam kardus itu
seorang bayi. Saat itulah, lelaki itu merasa iba, lalu
merawatnya. Ia memberi nama Nalea, nama yang
ditemukannya dalam sebuah cerita pendek di koran lama.
Nalea kemudian tumbuh dalam tumpukan sampah,
terkadang lelaki itu heran bagaimana bayi itu bisa
bertahan hidup. Ketika usia Nalea satu tahun, beberapa
pengemis wanita sering menyewanya untuk digendong
mengemis seharian. Dan ketika sudah bisa berjalan,
Nalea ikut memulung sampah, ia mulai mengenali mana
yang berharga dan yang tidak. Sekarang ia lebih suka
menjadi pedagang asongan.

Kita hanya harus menjalani hidup ini dengan sebaik-


baiknya, kata lelaki itu ketika Nalea berumur enam
tahun.

Pernah pada masa kampanye wali kota, selama setengah


tahun tidak ada penggusuran karena berganti poster foto
calon wali kota, kehidupan Nalea dan ayahnya berada di
titik terbaik: Mereka punya kios, sambungan listrik
ilegal, dan televisi. Nalea suka menonton kartun pagi hari
sebelum pergi berjualan di lampu merah. Sementara
ayahnya terus menjaga kios, ia telah berhenti memulung
dan berganti berjualan rokok.

Namun apakah yang bisa ditawarkan televisi kepada


mereka? Selain acara pernikahan selebiritis, televisi
hanya menayangkan sosok inspiratif, pengusaha muda
yang sukses, keberhasilan penelitian, orang miskin yang
kuliah di luar negeri. Semua itu demi sebuah optimisme,
tidak peduli bahwa lebih banyak yang gagal dalam hidup
ini. Sementara kemiskinan hanya menjadi obyek dalam
acara realita sosial. Sudah miskin, diuji pula apakah jujur
dengan kemiskinannya.

Televisi itu telah lama rusak. Dan kios itu pun kini sudah
diangkut.

Matahari makin rendah di barat. Lelaki itu kembali


berjalan, kali ini Nalea digendongnya. Pandangan
matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya terasa
ditindih batuan gunung, tapi lelaki itu bertahan. Hingga
ketika hari pun gelap, mereka mulai mencari tempat
untuk beristirahat. Namun mereka harus menunggu
sampai toko-toko tutup agar bisa beristirahat di
emperannya. Awalnya mereka sempat ingin mencari
kolong jembatan, bantaran sungai, atau pinggir rel, tapi
semua tempat itu seakan sudah penuh oleh orang-orang
bernasib serupa.

Akhirnya mereka melihat emperan toko alat-alat musik


yang sepi dan cukup bersih. Lelaki itu terlihat makin
menggigil. Ia menghamparkan alas dari koran.

Ayo pulang, Yah.


Pulang ke mana? Kita tidak pernah punya rumah
Tidurlah dulu, besok kita beli obat biar demammu turun.

Gadis kecil itu memeluk ayahnya. Lho, badan Ayah juga


panas?

Namun lelaki itu tetap menyelimutinya. Ia merogoh


sakunya, tentu saja kosong. Bagaimana agar bisa beli
obat? Namun ia merasa tenaganya pun telah habis,
setidaknya untuk hari ini. Besok saja kupikirkan,
gumamnya.

Malam pun lantas menidurkan keduanya, seperti nina


bobo paling sunyi, dalam mimpi sisa kebisingan kota,
dalam dingin sisa hujan yang seakan tanpa jeda.

***

Pagi harinya, suasana berangsur ramai. Kesibukan yang


sama nyaris setiap hari, angkot berhenti menaik-turunkan
penumpang. Suara klakson. Asap knalpot kembali
memenuhi udara. Orang-orang terburu-buru, wanita
mengenakan masker, berjalan sambil menelepon.
Pedagang koran meneriakkan berita utama. Bus kota
penuh dengan wajah-wajah membisu.
Suara langkah-langkah kaki membuat Nalea terjaga, ia
menyingkap selimut, dan mengusap matanya. Di
dekatnya begitu banyak langkah kaki, begitu banyak
manusia yang tak ia kenal, tapi melihat kepadanya.

Ayah, Ayah

Gadis kecil itu menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya,


orang-orang yang kebetulan melintas akan menoleh
kepadanya sesaat, lalu lewat begitu saja. Sebab begitu
banyak jadwal, begitu padat rutinitas. Begitu berharga
satu helaan napas.

Aku mau minum.

Gadis kecil itu menepuk-nepuk pipi ayahnya. Tapi tak


ada gerakan.

Ayah? (*)

Sungging Raga, lahir dan tinggal di Situbondo, Jawa


Timur. Pernah menempuh pendidikan di Jurusan
Matematika Universitas Gadjah Mada. Mulai menulis
cerita pendek sejak 2009. Karya-karyanya dimuat di
media lokal dan nasional, serta beberapa antologi. Buku
kumpulan cerpennya yang telah terbit, di antaranya
Ketenangan Merentang Kenangan (2009), Simbiosa
Alina (2013), Sarelgaz (2014), dan Reruntuhan Musim
Dingin (2016).
Milana dan Sungai Purba
Cerpen Ken Hanggara (Kompas, 04 September 2016)

Dulu, di depan kita ada sungai, kataku. Sungai besar


dan nyata. Telunjukku menuding ke timur, titik matahari
berangkat, lalu jariku melayang dan mendekat pada
kami, hingga melampaui wajah Milana dan bersambung
ke arah benamnya hari.

Milana menoleh sejenak. Ia tutup mulut dengan dua


tangan.

Sungguh, kataku lagi.

Ia menggeleng-geleng dan tersenyum. Bukan. Bukan


itu.

Milana berdiri dan menarikku dari bangku taman. Kami


menyisir garis panjang di depan bangku, terus ke barat
hingga beberapa puluh meter. Garis ituaku
menyebutnya batas sungai purba yang hilangmemang
ada dari dulu dan gadis ini tahu legendanya. Mestinya
aku tak menjelaskan, karena toh telah tercatat dalam
buku-buku dongeng di kota kami.

Namun begitu, Milana tidak berkata-kata, seperti


misalnya menjelaskan bahwa ia lahir di kota yang sama,
atau bahwa ia tahu cerita itu dari mulut-mulut para tetua
meski belum membuktikan kebenaran keberadaan sungai
itu di masa purba, atau malah bilang, Kamu kira aku
bodoh? Ia justru tersenyum sembari kami jalan, seakan
menganggap lelaki ini, yang ada di dekatnya ini, anak
yang lucu.

Milana kukenal sejak sebelas tahun lebih delapan bulan


silam. Waktu itu kami ke taman ini, tempat yang dulu
pernah dialiri sungai purba, beribu-ribu tahun silam,
suatu masa yang dapat kulihat jelas, sejelas ikan-ikan di
dalam akuarium baru. Bagaimana aku melakukannya,
aku tidak tahu. Penglihatan itu suka muncul tiba-tiba dan
aku semakin ingin membuktikan paling tidak kepada satu
orang saja, bahwa sungai purba itu bukan sekadar
legenda.

Pada hari itu, aku yang belum menunjukkan tanda


keanehanku, merengek pada Oma seakan keinginanku
bentuk wajar dari rasa penasaran bocah usia tujuh tahun.
Aku mendesak dan mengancam bunuh diri jika tidak
dituruti. Setiap malam aku membuat keributan di kamar.
Hari keenam, Oma terpaksa mengajakku pergi karena
kalau tidak tidur bermalam, nanti ia sendiri mati dan itu
bukan gagasan yang bagus; Omaku masih ingin hidup
beberapa tahun lagi, katanya.

Sebelum kami berangkat, Oma berpesan, Jangan bikin


malu, Anak sinting! Aku tidak menjawab, juga tidak
membantah. Hampir selalu Oma kerepotan oleh ulahku
yang suka menendang atau memukul atau meludahi
orang-orang asing di jalan, karena kukira dulu ibuku mati
karena kejahatan mereka. Aku tak pernah tahu ibuku.
Mungkin karena itulah perhatianku lalu tertuju pada
taman dan hutan dan sungai purba yang hilang di kota
kami.

Kali itu aku tenang, karena menurut penglihatanku,


sesuatu yang serupa mimpi tapi nyata, sesuatu yang
serupa dongeng tapi fakta, di sungai purba yang hilang
itu hidup arwah orang-orang mati dan salah satunya
ibuku. Mereka mendiami pohon-pohon jati di hutan.
Untuk soal yang satu ini, aku tidak bisa bicara ke orang
asing, kecuali pada Oma dan para tetangga yang tidak
mengacuhkanku, atau pada teman-teman sepermainan di
rumah, yang lebih sering tidak mendengar ucapanku. Di
penglihatan anehku, sungai itu tampak jernih dan nyata.

Sesampai di taman ini, aku tidak bermain seperti anak-


anak lain, tetapi duduk dan meraba-raba garis yang
dulunya kuyakini adalah tepi sungai. Dan aku sangat
yakin akan pendapat ini, karena di seberang sana,
beberapa meter jauhnya, ada garis yang juga sama,
seakan tercetak di tanah yang ditaburi daun-daun mati.

Kubilang, sungai itu benar ada dan bukan legenda. Aku


belum bisa membuktikan, tapi suatu hari nanti, suatu hari
nanti Kata-kataku kuulang sementara penglihatan itu
lagi-lagi datang. Jernihnya air, bau basah, ikan-ikan
berlompatan

Oma menepis udara dan tertawa begitu keras sampai


beberapa pengunjung taman menoleh. Mereka tidak
memedulikanku dan kembali ke urusan masing-masing,
kecuali seorang gadis yang nantinya aku jatuh cinta
padanya. Ia berdiri tidak begitu jauh dariku. Ia mendekat.
Milana tidak begitu jauh tempat tinggalnya dari
rumahku; aku tidak kenal karena hari-hariku kulalui
bersama Oma yang jahat dan pelit. Setelah ia
memperkenalkan diri dan duduk di sisiku dan bertanya
apa benar sungai itu nyata, penglihatanku mendadak
sirna dan aku kembali ke masa kini. Kubilang: Kamu
dengar kata-kataku? Kamu nguping?

Sejak itu, aku sering bercerita padanya tentang sungai


purba yang dulu pernah ada lalu hilang di taman kota ini.
Hilang oleh suatu sebab yang masih misterius.
Sayangnya, tak banyak orang percaya sungai itu nyata,
bukan sekadar legenda. Atau jangan-jangan di dunia ini,
di kota ini persisnya, cuma aku satu-satunya yang
percaya?

Begitulah aku cerita panjang lebar mengenai dugaan-


dugaanku bahwa sungai itu hilang karena tandas
diminum para penjelajah yang ingin mencari jamu
keabadian dari daun langka di hutan sebelah barat taman.
Atau, bisa jadi sungai itu hilang oleh karena Tuhan
mengeringkan tempat ini pada zaman dulu kala agar
tidak ada lagi yang percaya takhayul keabadian.
Takhayul, seperti kata Oma, bujuk rayu setan. Dan setan
ingin kita masuk neraka. Dulu setan berhasil menghasut
moyang kita, Adam, sehingga kita dibuang ke bumi. Dan
kini, setan belum puas kalau belum memastikan kita
semua masuk neraka, kataku.

Milana terus mengangguk-angguk. Lalu aku membahas


soal langit dan bumi, juga malaikat dan setan sampai
berlarut-larut dan sampai lupa bahwa aku pergi bersama
Oma dan Milana pergi bersama ibunyayang mungkin
mencari-cari anaknya sebab tidak ada bersama anak-anak
lain; kalau Oma, kukira ia mulai pikun dan mungkin saja
pergi ke toko parfum di seberang taman, lantas duduk di
sana selama beberapa jam sampai ingat bahwa hari sudah
sore dan kami harus pulang. Tapi, hari belum sore,
bahkan belum juga siang, sehingga aku terus bicara di
depan Milana.

Setelah puas bicara soal alam gaib, aku kembali ke


bahasan soal sungai purba yang hilang itu. Aku mulai
membahas arwah-arwah di sekitar hutan, yang salah
satunya tak lain tak bukan adalah ibuku yang mati
dibunuh orang-orang asing. Kamu orang asing, kataku,
tapi kamu baik, jadi kuyakin bukan kamu yang
membunuh ibuku. Lagi pula Ibu mati setelah aku
dilahirkan dan pada malam itu pastilah Milana juga
masih bayi merah dan baru keluar dari perut ibunya.

Milana antusias dan dia gadis yang jujur. Aku tahu dia
tidak seperti orang lain, yang nyaris selalu tertawa keras-
keras seperti Oma, kalau bukan berdiri dan menyuruh
orang lain membawaku ke rumah sakit jiwa. Ia juga tidak
seperti teman-temanku di rumah, yang kebanyakan suka
pura-pura mendengarkan, padahal di kepala mereka ada
bayang-bayang es krim atau donat yang dijanjikan
ayahnya atau bahkan arwah hantu tua di dalam tubuh
kecilku. Entahlah.

Kukira, satu-satunya yang memahami ceritaku hanya


Milana.

***

Milana menahanku setelah kami jalan beberapa lama. Di


titik ini, pepohonan jati tumbuh lebih lebat dan semak
belukar tampak tak beratur. Tak ada yang merawat
tempat ini sedemikian rapi sebagaimana taman tempat
kami bertemu selama sebelas tahun lebih, juga tak ada
seorang pun suka berlama-lama di sini, kecuali orang
gila.

Tidak jauh dari tempat kami berdiri ada sebuah bukit.

Itu tempatnya, kan?

Aku mengangguk. Mungkin saja itu, tapi, yah, kurasa itu.

Kami tak pernah jalan sejauh ini. Mungkin sejam lebih


atau jangan-jangan dua jam? Aku tak membawa arloji
dan aku selalu gugup di dekat gadis ini. Jatuh cinta
membuat kepalamu kadang sedikit kacau dan otakmu
berkelana entah kemana. Caraku mengatasi ini dengan
terus menerus bercerita soal sungai purba dan arwah Ibu
yang mungkin saja kutemui tidak jauh di sekitar sini.

Milana, meski sudah beribu kali mendengar, tak jenuh.


Mungkin, ia cinta. Dan caranya mengalihkan kekacauan
di kepala adalah dengan mengangguk dan tersenyum
seakan ceritaku hiburan yang selalu mengasyikkan
baginya.

Milana menatap bawah dan terkagum-kagum. Kami


melihat betapa garis ini masih bertahan sekian jauhnya.
Kalau sekadar legenda, rasanya garis ini terlalu panjang
untuk sebuah kebetulan. Sungai itu memang nyata, ya.
Ia berkata pelan.

Seperti ceritaku dulu, tidak jauh dari bukit di depan


kami, ada tikungan. Garis itu melengkung mengikuti
kaki bukit. Mula-mula serong ke barat laut, lalu persis
garis itu mengarah utara.

Kubilang, aku belum pernah kemari, tapi aku tahu


belokan-belokan selanjutnya, misalnya dari tempat kami
berdiri saat ini, tiga mil menuju utara, ada lagi belokan
ke barat. Tidak lama, kalau kami tiba di sana
sayangnya itu tidak mungkin terjadi karena kami tak
punya kendaraan dan hutan ini sangat luassungai
purba akan serong ke barat daya. Sesudahnya, sungai itu
tetap demikian, tidak berbelok lagi. Di bagian itu, andai
seseorang menyelidiki kebenaran sungai sampai jauh, ia
akan menembus negeri lain dan konon di sanalah tempat
jamu keabadian itu berada.

Kita sudah di hutan, kata Milana. Jadi, bagaimana


sungai itu hilang?
Aku tak menjawab pertanyaannya. Kurasa tidak jauh dari
bukit ada kampung kecil. Dan benar, ada tujuh rumah
terbuat dari bambu dan kayu. Rumah-rumah itu telah
lama ditinggalkan dan tidak mungkin ditinggali lagi
karena rusak dan diselimuti lumut serta membatu oleh
waktu.

Ini rumah penjelajah pada zaman itu. Mereka mati


kehausan, kataku. Dan, ya, pohon-pohon yang
menyerap sungai. Aku mengernyitkan dahi. Penglihatan
muncul sekelebat. Orang-orang mati. Pohon-pohon
menggeliat seperti setan yang kabur dari neraka. Milana
ketakutan dan ia mengajakku pulang.

Tidak, kita tidak pulang sebelum mendapat jawaban


bagaimana sungai itu hilang, kataku. Kami lalu berjalan
menembus hutan yang gelap. Kami tidak akan
menempuh jarak bermil-mil, karena tidak jauh dari sini,
arwah-arwah itu tinggal. Di sanalah, kataku padanya,
jawaban yang benar-benar meyakinkan ada, karena di
tempat itu aku merasa melihat ibuku.

Tentu saja, kata Milana. Ia genggam tanganku lembut.


Ibuku tidak suka bohong. Kukira semua ibu ingin yang
terbaik bagi anaknya, begitupun ibumu. (*)

Ken Hanggara (lahir 21 Juni 1991) menulis cerpen, puisi,


dan esai yang terbit di puluhan antologi, media massa,
blog http://www.kenhanggara.blogspot.com, dan
beberapa buku solo, di antaranya: Dermaga Batu (FAM,
2013), Jalan Setapak Aisyah (FAM, 2013), Minus
Menangis (FAM, 2014), dan Menulis Cerpen Itu
Gampang (Unsa Press, 2015). Peraih juara 2 kategori
bahasa Indonesia di ASEAN Young Writers Award 2014
lewat cerpennya, Robot-robotan di Rahim Ibu dan
empat besar Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen
dengan judul manuskrip Di Angkot Mas Gondo. Aktif
di komunitas menulis Untuk Sahabat dan Forum Aktif
Menulis (FAM) Indonesia.
Surat untuk Ado
Cerpen Putu Oka Sukanta (Kompas, 28 Agustus 2016)

Ado, ini surat aku tulis sepulang dari rumahmu. Engkau


telah membawa aku ke kawah kerinduan yang luka. Sisa
langit kelam, desing letupan di telinga, petir cambuk api
seolah tersimpan di pembuluh darah halus bola matamu
yang liar seperti ketika engkau menarikan tari Baris Bali.
Tidak hanya itu Ado, aku masih sempoyongan ketika
meninggalkan rumahmu, sebab pukulan kata-katamu
yang mengentak di pangkal sanubari. Engkau dengan
ringan tanpa perasaan bersalah apalagi berdosa membuka
obrolan kita dengan ucapanmu, Saya sengaja
melupakannya. Terlalu berat untuk dibawa-bawa terus.
Mengingat terus masa lalu seperti dililit spiral kawat
berdurinya sejarah. Saya mau membebaskan langkah
untuk kehidupan yang lebih baik. Dan engkau
mengarahkan mukamu ke arahku seolah menantang.

Ayo kamu mau bilang apa?

Kita berempat terdiam. Mamimu menatap tajam ke


arahmu, mungkin terkejut dan kecewa berat atas sikapmu
itu. Sebab kita semua tahu, masa lalu, bagi mamimu
adalah makanan lezat tapi getir yang selalu dihidangkan
untuk menghidupkan semangat berjuang dan ketahanan
hidupnya. Sedangkan Ila temanku yang duduk di
sampingku, menghentikan penanya dan matanya
menagih pernyataanmu yang lebih rinci.

Mungkin cara itu, secara psikologis, membebaskan saya


untuk berani tampil tanpa sedikitpun merasa punya
masalah. Lu suka boleh berteman, lu gak suka, itu urusan
lu. Itu prinsip saya. Engkau menutup pernyataanmu
dengan tertawa lepas, renyah pecah berderai, suaramu
mengusir kegamangan. Pancaran cahaya wajahmu
berbinar.

Di dalam mobil ketika pulang meninggalkan rumahmu,


aku dan Ila tidak bisa keluar dari pusaran pertemuan dan
obrolan kita. Kami tertawa bersama mengingat
munculnya teman sekolahmu sewaktu SMP dari kamar
makan, yang tiba-tiba saja nimbrung mengungkapkan
perasaannya seperti tanpa kendali ketika menceritakan
demonstrasi yang membakar gedung PKI. Dia berdiri
bersama banyak orang di depan rumahnya di Jalan
Kramat Raya di dekat kantor CC PKI di awal bulan
Oktober 65, lima puluh tahun yang lalu. Tetapi dia juga
menceritakan kegembiraannya menonton parade seni,
drumband, dan gemuruh lagu Nasakom di hari-hari
sebelumnya. Dia yang usianya sudah 60 tahun, masih
seperti anak SMP, ABG yang riang pecicilan, suaranya
lepas. Siapa itu Ado?

Perempuan kurus dengan rambut disasak itu, seperti Ado


juga, tanpa beban, tanpa risih dan tanpa perlu minta
permisi kepada kami sebagai tamu Ado yang belum
dikenalnya, nyerocos menyeret kita ke masa yang justru
Ado ingin lupakan.

Ingat, kan, lu, si Andre yang mengejek lu di sekolah?


cetusnya.

Ya, hanya dia. Lantas gue labrak dia. Nyahok dia. Gue
bilang ame dia, Papi gue di penjara bukan karena maling,
bukan rampok. Papi gue tahanan politik. Tapi ketika
teman lain nanya, di mana papi gue, dengan enteng dan
pede gue bilang, papi keluar negeri. Ada urusan apa dia
dengan papi gue.
Kami tertawa.

Lantas lu pindah sekolah.

Gue dah gak nyaman. Gue bilang sama mami. Dia yang
ngatur. Mukanya diangkat mengarah ke maminya.
Senyum nyengir.

Lu, kan, sering pindah-pindah sekolah.

Mami yang ngatur. Tau gak lu, ketika gue di SMA,


kepala sekolah sangat pengertian. Hanya dia yang tahu
kalau papi gue ditahan. Setiap mau bezuk papi ke penjara
Salemba, gue minta izin. Keesokan harinya, zuster
kepala menanyakan bagaimana keadaan papi. Dia sayang
sama gue. Namanya siapa mami?

Maminya memijit-mijit dahi mengingat nama zuster


kepala sekolah yang dimaksud. Lantas menyahut, Ado,
nama itu tidak terlalu penting diingat, yang diingat
adalah suara hati dan perbuatannya.

Ila menggeleng-gelengkan kepala mengetahui


ketabahanmu menghadapi militer yang menempati
separo rumahmu. Engkau tidak acuh, tidak menunjukkan
ketakutan, dan bertahun-tahun bertahan untuk tidak
berkomunikasi dengan tentara itu. Oma mengajarkan
untuk berani karena benar. Mami melarang aku
berkomunikasi. Perampok tidak patut diajak ngomong.

Ado, sebab aku menulis surat ini, adalah karena rasa


kangen kehidupan di rumahmu yang lama. Di Jalan
Tjidurian itu. Engkau bilang masih ingat dengan penyair,
musikus, dan pelukis yang tunarungu itu, yang membuat
lukisanmu dengan apik. Waktu itu Ado masih di Taman
Kanak-kanak Melati yang digelar di halaman samping
rumahmu. Ceritamu seperti pancuran di gentong yang
membolak-balik air di dalam gentong itu sendiri. Engkau
menuturkan bagaimana engkau diajak papimu ke
percetakan surat kabar di daerah Pintu Besar di daerah
kota, dan sesampainya di rumah papimu mencorat-coret
setumpukan koran yang tadi diambilnya di percetakan.
Engkau telah memancing kegelisahanku. Apalagi ketika
engkau menceritakan bagaimana engkau membuat
komitmen dengan pacarmu tentang papimu yang masih
di Buru dan keluargamu. Aku tidak ingat persis kata-
katamu, tetapi bukankah seperti ini? Ferdi, kamu udah
tahu, kan, papiku itu siapa? Papi begini, begini, begini.
Dan gue juga sudah tahu orangtuamu siapa.

Ya. Lantas kenapa? Ferdi menjawab dingin.

Gue gak mau, ya, nanti kalau papiku pulang atau


kenapa-kenapa, keluarga lu menjelek-jelekkan papi atau
keluarga gue.

Gak lah Ferdi dingin.

Janji ya.

Iya.

Nanti kalau gue tahu, terang-terangan atau lewat orang


lain, menjelek-jelekkan papiku, akan kulabrak. Tidak
peduli orangtua lu atau yang lainnya.

Gak mungkinlah. Ferdi tetap tenang.

Ado matamu berbinar-binar meneruskan cerita, bahwa


ketika papimu dibebaskan dari Pulau Buru, orangtua
Ferdi dan saudara-saudaranya, pamannya, semua ikut
menyambut papimu. Engkau berdesah seperti
meyakinkan dirimu sendiri, sambil mengusap embun di
ujung matamu, Saya merindukan papi empat belas
tahun. Kita semua terdiam membisu di ruangan tempat
kita ngobrol. Tidak seseorang dari kami yang
memandangmu. Kami memandang diri kami masing-
masing, bagaikan di depan sebuah cermin.

Tetapi, alangkah terkejutnya aku, ketika engkau


meneruskan cerita, bahwa engkau tidak paham mengapa
papimu begitu getol berbagi kepada orang lain, bahkan
engkau bilang papimu keterlaluan, naif, rumah tidak
pernah kosong dari tamu bermacam-macam dan harus
selalu menyediakan keperluan mereka. Papimu sampai
ngutang demi orang lain, sehingga suatu hari datang
tukang tagih sangar bertubuh gempal mengancam
papimu. Juga engkau menceritakan bahwa papimu sering
membuat engkau sakit hati dan menangis.

Dengan suara parau engkau meneruskan cerita bahwa


dengan tega papimu memberikan boneka kesayanganmu
kepada anak teman papimu tanpa minta izinmu. Juga
engkau bercerita tentang patung bali yang antik,
kesayangan mamimu dan Ado, sehingga ketika dalam
hidup sangat sulit pun, patung itu masih engkau
pertahankan untuk tidak dijual. Tetapi, papimu dengan
enteng tanpa minta pertimbangan engkau dan mamimu,
memberikan patung kepada tamu dari Belanda yang
sampai sekarang tidak pernah berhubungan satu kali pun
sesudah menggondol patung itu.

Aku kira cuma itu, perbuatan papimu yang melukai hati.


Ternyata masih ada yang lain, sampai-sampai engkau
tiga bulan tidak menegurnya. Engkau menangis sesudah
menceritakan hal itu, perkara papimu tidak memenuhi
janji akan mengantar engkau dan anakmu ke dokter,
hanya karena ada tamu tak diundang akan diantarnya
pulang.

Saya merindukan papi empat belas tahun. Sesudah


pulang kok begitu. Kok lebih mementingkan orang lain?
Saya benci. Tiga bulan saya tidak menegurnya. Sejak
peristiwa itu papi berubah, memberi perhatian dan
menyediakan waktu untuk kami. Walaupun begitu, saya
bilang kepada papi dan mami, saya tidak mau mengikuti
cara hidupnya. Saya tidak mau terlibat di dalam kegiatan
bisnisnya yang hancur-hancuran. Saya mau menentukan
sendiri cara hidup saya.

Ado, mendengarkan ceritamu semua tadi, aku jadi


kangen dengan papimu. Aku memang tidak selalu seia
sekata dengan si Bung. Juga tidak pernah meminta
pertimbangannya kalau aku mau melakukan sesuatu
kegiatan. Tetapi, aku selalu mendengarkan kritiknya.
Mungkin karena itu aku tidak pernah membencinya.
Seperti pada hari Imlek yang lalu lewat engkau aku
menitipkan salam kepada si Bung yang mungkin pulang
menengok anak cucunya.

Ado, mendengarkan ceritamu ternyata engkau tidak


melupakan masa lalumu, engkau hanya menyimpannya
dengan baik, rapi, tidak sampai diketahui orang lain dan
terhindar dari serangan rayap. Sekali waktu engkau
membukanya dan menghidupkannya, menghirup
kekuatannya.

Salam hangat buat engkau dalam persahabatan yang


tidak tergerus warna rambut. *

Putu Oka Sukanta, sastrawan berusia 77 tahun, tinggal


di Jakarta. Beberapa bukunya berupa novel, kumpulan
cerpen dan kumpulan puisi telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis. Memperol
Tawa Gadis
Padang Sampah

Cerpen Ahmad Tohari (Kompas, 21 Agustus 2016)

Korep, Carmi, dan Sopir Dalim adalah tiga di antara


banyak manusia yang sering datang ke padang
pembuangan sampah di pinggir kota. Dalim tentu
manusia dewasa, sopir truk sampah berwarna kuning
dengan dua awak. Dia pegawai negeri, suka lepas-pakai
kacamatanya yang berbingkai tebal. Carmi sebenarnya
masih terlalu muda untuk disebut gadis. Korep anak laki-
laki yang punya noda bekas luka di atas matanya.
Keduanya pemulung paling belia di antara warga padang
sampah.

Sopir Dalim sesungguhnya pemulung juga. Dia mengatur


kedua pembantunya agar memulung barang-barang
bekas paling baik ketika sampah masih di atas truk.
Perintah itu diberikan terutama ketika truknya
mengangkut sampah dari rumah-rumah amat megah di
Jalan Anu. Ikat pinggang kulit yang dipakai Sopir Dalim
juga barang pulungan. Katanya, itu barang buatan
Perancis yang dibuang oleh pemiliknya hanya karena ada
sedikit noda goresan. Katanya lagi, kebanyakan penghuni
rumah-rumah megah itu hanya mau memakai barang-
barang terbaik tanpa noda sekecil apapun.

Ketika Korep dan Carmi memasuki padang sampah bau


busuk belum begitu terasa. Sinar matahari masih
terhambat pepohonan di sisi timur sehingga padang
sampah belum terpangpang. Nati menjelang tengah hari
padang sampah akan terjerang dan bau busuk akan
menguap memenuhi udara. Sopir Dalim sering
mengingatkan Carmi dan Korep, jangan suka berlama-
lama berada di tengah padang. Sudah banyak pemulung
meninggal karena sakit, paru-parunya membusuk,
katanya. Entahlah, Sopir Dalim merasa perlu
mengingatkan Carmi dan Korep. Dia sendiri tidak tahu
mengapa hatinya dekat dengan kedua anak itu;
barangkali karena Korep dan Carmi adalah dua
pemulung paling bocah di padang sampah.

Belasan pemulung sudah berdiri berkerumun di sisi


selatan. Mereka sedang menunggu truk sampah datang.
Ada pemulung perempuan memasang puntung rokok di
mulutnya. Lalu bergerak ke sana-kemari meminta api.
Ada tangan terjulur ke arah mulutnya. Api menyala dan
asap segera mengepul. Tetapi perempuan itu kemudian
berteriak. Rupanya tangan lelaki pemegang korek api
kemudian mencolek pipinya. Dia kejar si lelaki dan balas
mencubit punggungnya. Mereka bergelut. Mendadak
muncul tontonan yang meriah. Korep dan Carmi ikut
bersorak-sorak. Ada luapan sukacita dan teriakan-
teriakan yang riuh. Begitu riuh sehingga burung-burung
gereja yang sedang cari makan di tanah serentak terbang
ke udara. Seekor anjing yang merasa terusik segera
menghilang di balik mesin pengeruk sampah yang telah
lama rusak, menjadi sampah juga.

Truk yang dibawa Sopir Dalim masuk. Dan dalam satu


detik suasana berubah. Kerumunan para pemulung buyar.
Mereka berlari di belakang sampai truk berhenti. Pada
detik sampah tercurah terjadilah suasana yang sangat
ribut. Belasan pemulung termasuk Korep dan Carmi
berubah layaknya sekandang ayam kelaparan yang
ditebari pakan; berebut, saling desak, saling mendahului,
saling dorong. Mereka berebut mengais sampah mencari
apa saja selain popok, kain pembalut atau bangkai tikus.

Korep mendapat dua mangga separuh busuk. Carmi


ceritanya lain. Mata Carmi terpana ketika ada barang
jatuh dari bak truk menimpa kepalanya. Itu satu sepatu
sebelah kanan yang bagus ukuran tanggung. Carmi
segera mengambil sepatu itu. O, dia sering bermimpi
memakai sepatu seperti itu. Dalam mimpinya Carmi
melihat betisnya amat bersih dan berisi, dan makin indah
karena bersepatu. Carmi sungguh-sungguh berdebar. Dia
makin keras mengais-kais tumpukan sampah dengan
tangan untuk menemukan sepatu yang kiri. Keringat
membasahi kening dan pipinya, tetapi Carmi gagal.
Maka dia menegakkan punggung dan melihat sekeliling;
barangkali sepatu yang satunya ada di sana. Atau
ditemukan oleh pemulung lain. Gagal juga. Maka Carmi
berhenti lalu meninggalkan timbunan sampah. Dia
bahkan membuang kembali tiga gelas plastik bekas air
kemasan yang sudah didapatnya.

Di tepi padang sampah dia coba memasang sepatu itu


pada kaki kanan. Hatinya kembali berdebar karena
sepatu itu terasa begitu nyaman di kakinya. Dilepas dan
dibersihkan dengan remasan kertas koran. Setelah agak
bersih dipasang lagi. Carmi berdiri, berputar dan
mengangkat-angkat kaki kanan agar dapat memandang
dengan seksama bagaimana sepatu itu menghiasi
kakinya. Sungguh, dia berharap besok atau kapan sepatu
yang kiri akan sampai juga ke padang sampah ini. Siapa
tahu. Ya, siapa tahu. Bukankah benda apa saja bisa
sampai ke sini?

Korep datang dan langsung tertawa melihat ulah


temannya. Carmi merengut. Dia tersinggung tetapi tidak
ingin menanggapi ulah Korep. Atau mata Carmi lebih
tertarik kepada dua mangga di tangan Korep. Carmi lega
karena Korep tanggap. Apalagi Korep tidak meneruskan
bicara soal sepatu di kaki kanannya.

Kita makan mangga saja. Ayo. Ajak Carmi sambil


memasukkan sepatu yang hanya sebelah itu ke kantung
plastik kuning. Korep nyengir, tetapi ia merasa ajakan
Carmi menarik juga. Maka Korep dan Carmi bergerak ke
sisi timur. Di sana ada pohon ketapang yang rindang.
Korep mengeluarkan pisau kecil pemberian Sopir Dalim.
Satu mangga ada di tangan kiri. Dengan sekali gerak
tersayatlah mangga itu tepat pada batas yang busuk.
Carmi menatap permukaan sayatan yang berwarna
kuning segar. Liur Carmi terbit, tetapi kemudian bergidik
karena ada dua belatung muncul di permukaan sayatan.
Korep tertawa, lalu membuat sayatan lagi, lebih ke
dalam. Kali ini bagian mangga yang busuk benar-benar
hilang. Siapa bilang mangga separuh busuk tidak enak
dimakan, iya kan? Kata Korep sambil menyodorkan
satu iris daging mangga tanpa busuk kepada Carmi. Iya,
kan? Carmi hanya tertawa. Korep menatap deretan gigi
Carmi yang memang enak dilihat.

***

Setiap hari Carmi membawa-bawa kantung plastik


kuning berisi sepatu sebelah kanan. Akhirnya semua
orang tahu gadis kecil itu masih menunggu sepatu yang
sebelah kiri. Mereka merasa iba. Itu hampir mustahil.
Namun kepada Carmi semua pemulung berjanji akan
membantunya. Sopir Dalim bahkan punya gagasan yang
luar biasa. Dia akan menyuruh kedua awak truknya
mendatangi setiap rumah di Jalan Anu. Keduanya akan
disuruh bertanya kepada pembantu, sopir, atau tukang
kebun di sana, apa mereka tahu di mana sepatu kiri yang
sedang ditunggu Carmi.

Tetapi gagasan Sopir Dalim yang cemerlang itu tidak


usah dilaksanakan. Beberapa hari setelah penemuan
sepatu kanan oleh Carmi, Sopir Dalim digoda oleh kedua
pembantunya. Saat itu dia tengah mengemudikan truk di
jalan raya. Tiba-tiba di depan matanya, di luar kaca ruang
kemudi ada sepatu kiri yang bergerak turun naik. Pasti
sepatu itu diikat dengan tali panjang dan ujungnya
dipegangi oleh pembantunya di bak truk. Dengan serta-
merta Sopir Dalim menginjak pedal rem. Bunyi derit ban
menggasak permukaan aspal. Di atas bak truk kedua
pembantu terhuyung dan rubuh ke depan.

Sopir Dalim melompat turun, langsung melepas


kacamata. Kedua awak truk juga turun. Salah satunya
menyerahkan sepatu kiri itu kepada Sopir Dalim yang
kemudian tersenyum lebar. Sambil memegangi gagang
kacamata dia mengucapkan pujian kepada Tuhan sampai
tiga kali.

Kamu temukan di mana?

Ya di bak sampah depan rumah di Jalan Anu, nomer


berapa, lupa.

Cukup. Di mana sepatu kiri ini kamu temukan bukan


hal yang penting.

Sopir Dalim berhenti bicara karena mau melepas


kacamata dan memakainya lagi. Kini dia memijit-mijit
dahi, terkesan sedang berpikir keras. Perilaku Sopir
Dalim membuat dua pembantunya bertanya-tanya. Mikir
tentang apa lagi? Bukankah hanya tinggal satu hal:
menyerahkan sepatu kiri ini kepada Carmi?

Nanti kamu yang menyerahkan sepatu ini kepada


Carmi. Ini perintah Sopir Dalim kepada pembantu yang
bercelana pendek. Yang ditunjuk mengangkat muka
karena agak terkejut.

Sebaiknya Pak Dalim saja.

Ya betul, sebaiknya Pak Dalim saja, kata pembantu


yang bercelana panjang. Dia mendukung temannya.
Sopir Dalim mendesah lalu melepas kacamata. Sebelum
memakainya lagi dia berbicara dengan suara tertekan.

Ah, kalian tidak tahu. Masalahnya, aku tidak sampai


hati melihat Carmi pada detik dia menerima sepatu ini.
Carmi mungkin akan melonjak-lonjak, tertawa-tawa,
atau bahkan menjerit-jerit karena begitu girang.
Barangkali matanya akan berbinar-binar atau sebaliknya,
berlinang-linang. Ah, hanya karena sebuah sepatu bekas
yang diambil dari tempat sampah hati Carmi akan
berbunga-bunga. Aku tidak akan tega menyaksikannya.
Itu akan terasa amat pahit di hati. Kalian bisa tega?

Tanpa menunggu jawaban Sopir Dalim memutuskan lain.


Sepatu kiri itu akan ditaruh di bawah pohon ketapang di
sisi timur. Carmi dan Korep biasa berteduh di sana pada
waktu tengah hari. Semua setuju, maka Sopir Dalim
melompat ke ruang kemudi dengan sepatu kiri itu di
tangannya. Kedua pembantu naik ke atas bak dan truk
pun bergerak menuju padang sampah.

Saat matahari tepat di atas padang sampah semua


pemulung menepi ke empat sisi. Mereka akan menata
hasil pemulungan, memasukkan ke dalam karung atau
mengikatnya dengan tali plastik. Carmi juga menepi. Dia
mendapatkan belasan gelas plastik bekas kemasan air
minum, disusun rapi sehingga mudah dibawa. Di tangan
kiri masih ada kantung plastik kuning berisi sepatu
kanan. Beriringan dengan Korep yang membawa seraup
mangga separuh busuk, Carmi bergerak ke sisi timur
menuju kerindangan pohon ketapang.

Ketika udara di padang sampah amat panas, tanpa angin,


bau busuk mengembang ke mana-mana, burung gereja
berdatangan, juga anjing-anjing; siapakah yang
kemudian mendengar Carmi tertawa keras diikuti
teriakan hore berkali-kali? Tawa keras itu terasa sebagai
pelampiasan rasa gembira berlebihan sehingga terdengar
memilukan hati?

Yang mendengar tawa Carmi belasan pemulung di


padang sampah. Dan hanya mereka pula yang bisa
memaknai dengan tepat serta menghayati sepenuhnya
tawa gadis kecil pemulung itu. Maka lihatlah, para
pemulung berdiri dan tersenyum ketika memandang
Carmi dan Korep pergi memnggalkan padang sampah.
Carmi tertawa-tawa, tentu karena ada sepasang sepatu di
kakinya Tetapi kedua bocah pemulung itu mau ke mana
kiranya? Semua warga padang sampah tahu Carmi dan
Korep tak punya rumah untuk pulang. (*)

Ahmad Tohari, lahir di Banyumas, 13 Juni 1948.


Sekarang menetap di Desa Tinggarjaya, Jatilawang,
Purwokerto, Jawa Tengah. Karyanya yang paling populer
novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Kumpulan
cerpennya, Senyum Karyamin, Nyanyian Malam, dan
Mata yang Enak Dipandang. Buku-buku lainnya berupa
novel: Kubah (1982), Di Kaki Bukit Cibalak (1977),
Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air
(1995), Belantik (2001), dan Orang-orang Proyek
(2002). Tohari sampai sekarang telah menulis delapan
novel. Sampai sekarang di kampung halamannya ia tetap
produktif menulis dan menjadi pembicara di sejumlah
kota
Anjing Bahagia yang Mati
Bunuh Diri

Cerpen Agus Noor (Kompas, 07 Agustus 2016)

Koruptor atau bukan, ada baiknya kalian menyimak


cerita anjing Pak Kor ini. Setiap orang punya nasibnya
sendiri-sendiri, tetapi kalau ada anjing yang nasibnya
lebih beruntung dari manusia, sudah sepantasnya kalau
kami iri.

Sebleh, seorang pemulung, menemukan anjing yang


sekarat di tempat pembuangan sampah. Tubuh anjing itu
bobrok oleh borok, belepotan lumpur penuh kutu dengan
kepala belepotan darah terkena bacokan. Begitu
menyedihkan anjing itu, sampai maut pun tak berani
mendekat. Sebleh membawa anjing itu bukan tersebab
kasihan, tapi karena ia berpikir bisa menjual anjing itu ke
penjual daging anjing. Sebleh mengikat kedua kaki
anjing itu, kemudian berhari-hari menjemurnya di atap
seng, berharap luka penuh kutu di kulit anjing itu
mengering dan ia bisa menjualnya dengan harga sedikit
mahal. Kalau pun tak laku, ia bisa menyembelih anjing
itu untuk anak istrinya yang belum tentu setahun sekali
makan daging.

Tempat tinggal Sebleh mendempet tembok belakang


kediaman Pak Kor. Sebenarnya satpam rumah Pak Kor
telah berkali-kali menyuruh Sebleh membongkar rumah
liarnya itu. Karenanya Sebleh begitu gugup ketika
melihat Pak Kor muncul. Ia langsung pasang wajah
mengiba, berharap Pak Kor tak mengusirnya. Ternyata
Pak Kor bertanya soal suara anjing yang didengarnya
terus-menerus mengerang sepanjang malam. Sebleh
menunjuk anjing yang dua hari lalu ditemukan itu. Siang
begitu terik, dan anjing itu terus menguik menggeliat
kepayahan di atas seng panas seperti digoreng hidup-
hidup. Wajah Pak Kor terlihat begitu terguncang. Lalu
tanpa banyak cing-cong mengeluarkan uang dari
dompetnya, 500 ribu, langsung diserahkan pada Sebleh.
Biar anjing ini saya rawat, kata Pak Kor.

Mendapat rezeki nomplok yang sama sekali tak


diduganya, Sebleh langsung membungkuk-bungkuk dan
setelahnya tak henti-henti menceritakan kebaikan Pak
Kor pada tetangganya. Kalau saya jual ke warung
sengsu, paling dapat lima puluh ribu, kata Sebleh.
Benar-benar beruntung kita punya tetangga sebaik Pak
Kor. Meski kaya, beliau tidak sombong. Ia masih mau
menyempatkan menengok kita yang begini melarat.
Kalau semua orang kaya di negeri ini sebaik Pak Kor,
pasti enggak ada orang miskin yang kelaparan.

Hari itu, dengan uang pemberian Pak Kor, Sebleh


langsung pergi ke restoran Padang yang terkenal paling
enak. Sebleh mengembat empat potong rendang
sekaligus, membawa pulang banyak lauk-pauk untuk
anak istrinya. Tapi tak membagi secuil pun untuk
tetangganya.

***

Empat bulan berselang, Sebleh terkejut ketika


berpapasan dengan Pak Kor yang sedang berjalan-jalan
menuntun seekor anjing yang terlihat begitu ceria.
Sesekali anjing itu menyalak riang, dan berlarian kecil
mengitari Pak Kor yang tertawa gembira. Sebleh sama
sekali tak menyangka, anjing yang beberapa waktu
ditemukan nyaris koit itu kini terlihat begitu sehat. Tak
pernah Sebleh melihat wajah anjing yang begitu bahagia.
Kulitnya coklat bersih, tak ada lagi kutu atau bekas luka,
dan matanya begitu jernih penuh syukur dan terima
kasih.

Penampilan Pak Kor juga menjadi terlihat lebih gembira,


tak tampak kalau ia sudah berumur 60 tahunan. Rambut
klimis rapi, tubuh sigap seperti orang yang rajin olah
raga; warna sepatu, celana sepertiga kaki dan kaos polo
coklat cerah yang dikenakan seperti sengaja diserasikan
dengan warna bulu anjing itu. Pak Kor dan anjing itu
benar-benar pasangan yang modis.

Terima kasih telah membuat saya bertemu dengan


anjing ini, ujar Pak Kor. Perasaan bahagia telah bisa
menolongnya membuat saya merasakan sesuatu yang
berharga dalam hidup saya. Setiap kali menolong,
sebenarnya kita sedang menabung kebahagiaan. Lalu
Pak Kor bercerita, bagaimana ia telah membawa anjing
itu ke dokter agar mendapat perawatan terbaik.

Wajah Sebleh hanya cemberut ketika mendengar berapa


biaya yang dihabiskan Pak Kor untuk kesembuhan anjing
itu.

Ternyata selama ini saya keliru menilai Pak Kor, kata


Sebleh pada istrinya. Sembari berbaring di tikar,
pandangan Sebleh menerawang ke atap seng rombeng
bolong-bolong hingga sinar bulan yang lembut
menyelusup masuk, membuat kamar petak tak berlistrik
itu sedikit mendapat limpahan cahaya. Sementara
istrinya duduk bersimpuh sembari menyisir rambut.

Emang kenapa?

Kalau dipikir-pikir, Pak Kor itu bukan orang yang baik,


tapi orang yang suka pamer.

Kok bisa gitu?

Bayangin, kenapa dia mesti ngabisin banyak duit buat


nyelamatin itu anjing? Kalau emang dia bener-bener
dermawan yang berniat menolong, yang mestinya
ditolong ya hidup kita ini, bukan anjing buduk itu!

Ah, jangan gitu. Sebaik-baik nasib anjing pastilah masih


lebih baik nasib manusia.

Kalau keadaannya begini, saya rela bertukar nasib


dengan anjing itu. Setidaknya anjing itu kini hidupnya
jauh lebih nyaman. Tinggal di rumah mewah. Tiap hari
dapat makan enak. Kabarnya kalau makan daging pun
selalu daging impor. Kamu tahu, berapa biaya makan
untuk anjing itu? Bisa buat biaya makan kita berbulan-
bulan. Baru sakit sedikit saja, Pak Kor langsung
membawa anjing itu ke dokter. Padahal kamu tahu
sendiri, itu Mak Jumi, yang rumahnya di pojok gang itu,
sudah bertahun-tahun tergolek digerogoti bermacam
penyakit, jangankan ke dokter, beli sebiji obat pun kagak
mampu. Nah, kalau memang Pak Kor berniat menolong,
kenapa enggak membawa Mak Ijah ke rumah sakit,
kenapa malah menghambur-hamburkan uang buat
ngobatin anjing yang mungkin hanya masuk angin.
Dikerokin juga sembuh!

Masa anjing dikerokin.


Saya baru ngerti, selama ini Pak Kor sebenarnya sedang
meledek kita. Menolong anjing itu hanyalah caranya
pamer kekayaan. Sekarang saya benar-benar merasa
terhina karena dia telah ngasih 500 ribu buat kita,
sementara dengan enteng dia menghambur-hamburkan
puluhan juta buat anjing itu.

Sudah, jangan marah-marah terus, istrinya berbaring


pelan. Bau keringat istrinya membuat Sebleh menarik
nafas dalam-dalam. Lalu beringsut merapatkan tubuhnya.
Makanya, jangan cuman doyan kawin kayak anjing
Istrinya cekikikan geli. Setelahnya cahaya lembut bulan
yang menyelusup kamar terasa gemetar oleh nafas
keduanya.

***

Di antara semua penyakit hati manusia, perasaan iri


selalu lebih gampang cepat menular. Nasib baik anjing
itu seperti pelan-pelan tapi merancap dalam, membuat
sayatan panjang yang melukai perasaan kami,
menimbulkan perasaan lengang yang semakin lama
membuat kami bertambah merana karena telah bertahun-
tahun hidup berdesakan di perkampungan yang tak hanya
sumpek tapi juga bertambah busuk, sementara anjing itu
bisa secepat kilat hidup serba berkecukupan di rumah
megah Pak Kor.

Anjing itu mendapatkan semua kemewahan hidup yang


tak mungkin dinikmati oleh orang miskin seperti kami.
Sudah sepantasnya kami merasa iri pada anjing itu, yang
setiap pagi terlihat meloncat-loncat riang ketika Pak Kor
hendak berangkat kerja dengan mobil mewahnya.

Orang-orang kini sering menyebut anjing Pak Kor


sebagai anjing paling bahagia di dunia. Secara
berkelakar, kadang kami membandingkan nasib anak-
anak kami dengan anjing Pak Kor. Semoga anak-anak
kita kelak seperti anjing Pak Kor. Dan kami tertawa,
antara nyengir dan getir. Ada lagi kejadian, seorang anak
dimarahi ayahnya karena setiap hari hanya malas-
malasan, Mau jadi apa kamu kalau nggak mau
belajar?! Dengan enteng anak itu menjawab, Mau jadi
anjing Pak Kor, lalu anak itu meloncat-loncat sambil
menirukan gongongan anjing: guk guk guk. Kalian bisa
bayangkan perasaan ayahnya. Membanding-bandingkan
hidup kami dengan nasib baik anjing itu hanya kian
menimpulkan perasaan sakit dan terhina.

Beberapa orang sudah merencanakan niat, dengan


berbagai cara, untuk mencelakai atau sekalian
membunuh anjing itu. Tapi sebagian dari kami
mengingatkan, agar jangan cari masalah dengan orang
kaya itu. Bagaimana pun kita tak boleh melupakan
kebaikan Pak Kor, kata Pak RT mengingatkan, ketika
suatu malam duduk-duduk di gardu ronda bersama
beberapa warga. Ingat, setelah banjir tahun lalu, siapa
yang langsung memperbaiki jalan di depan gang kita
yang rusak penuh genangan air itu? Pak Kor, kan! Tiap
menjelang Lebaran rumah Pak Kor juga terbuka buat
kita, kita selalu diundang makan-makan dan dapat
pembagian beras, meski pun cuma beras miskin. Tiap
kampung kita ada acara, dari tujuhbelasan sampai
perayaan Mauludan, Pak Kor juga selalu ngasih
sumbangan.

Benar yang dikatakan Pak RT, bagaimana pun Pak Kor


orang yang baik. Kami ingat, dulu sewaktu masih kuliah,
Pak Kor juga tinggal sekampung dengan kami. Ia kuliah
sambil bekerja serabutan apa saja. Orangnya memang
yang ulet dan pintar melihat peluang sekaligus ramah.
Keramahan itulah yang membuat nasibnya cepat
berubah. Lalu ia pelan-pelan mulai membangun
rumahnya, dari rumah sederhana kemudian membeli
tanah di sekelilingnya, sampai kini rumah itu menjadi
rumah paling mewah di kampung kami. Mengingat kisah
hidup Pak Kor kami menjadi bisa memahami, kenapa ia
menolong anjing itu. Mungkin ketika melihat anjing itu
ia teringat dirinya yang dulu juga rombeng dan compang-
camping.

Malam itu, sayup-sayup kami mendengar suara lolong


anjing Pak Kor. Betapa bahagianya anjing itu. Ah,
kebahagiaan memang gampang menimbulkan cemburu.

Karena itulah, betapa kami kaget dan nyaris tak percaya,


ketika mendengar kabar anjing Pak Kor mati bunuh diri.
Baru kali ini kami mendengar ada anjing bunuh diri.
Kalau pun itu benar terjadi, kami tak habis pikir, kenapa
anjing itu mesti bunuh diri padahal hidupnya begitu
bahagia?

Benar, anjing itu gantung diri, kata satpam yang


menjaga rumah Pak Kor, ketika kami datang untuk
menanyakan kabar kematian anjing itu. Ini sungguh
kejadian paling konyol yang pernah kami dengar. Kami
sempat melongok, rumah Pak Kor begitu sepi. Beberapa
hari lalu Pak Kor memang tertangkap tangan dan ditahan
karena kasus korupsi.

Kami teringat pada anjing yang bahagia itu, ketika ada


yang nyeletuk. Mungkin, ini mungkin lho ya, anjing itu
mati bunuh diri karena malu, ternyata selama ini ia
makan dengan uang hasil korupsi. Terdengar lebih
konyol dan lucu.

Tapi kami tak bisa tertawa. (*)

(Cerita buat Putu Wijaya)

Agus Noor, menulis buku Cerita Buat Para Kekasih


(Gramedia, 2014). Buku lain yang sudah terbit antara
lain Bapak Presiden yang Terhormat, Memorabilia,
Selingkuh Itu Indah, Rendezvous, Matinya Toekang
Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos, Sepotong Bibir
Paling Indah di Dunia, dan Ciuman yang
Menyelamatkan dari Kesedihan. Menulis naskah lakon
dan menyutradarai pertunjukan teater dan konser musik
untuk Slank, Yovi Widianto, Glenn Fredly, dan lain-lain.
Roh Meratus

Cerpen Zaidinoor (Kompas, 14 Agustus 2016)

Belantara ini seperti memiliki kutukan. Rojik adalah


orang ketiga yang dijemput ajal. Mayatnya terbujur kaku
di hadapan kami. Seluruh tubuhnya menguning. Persis
seperti dua teman kami sebelumnya. Sekarang yang
tersisa hanya Budir dan aku. Dan hidup kami tak lebih
dari undian mengerikan. Menduga-duga giliran siapa
yang akan mati.

Tak ada siapa pun yang bisa dimintai pertolongan. Jarak


antara permukiman warga lokal dan pondok kami hampir
10 kilometer. Tak mungkin kami berdua membopong
tubuh Rojik naik turun gunung hanya untuk
menguburkannya di permukiman sana. Kami
menguburkan Rojik tepat di samping pondok.

Setelah penguburan Rojik, kami duduk di teras pondok.


Sore ini mulai gerimis. Budir menyalakan rokok. Ia
tampak gelisah. Aku sudah tak tahan lagi berada di
tempat busuk ini, katanya. Jari tempat rokoknya terselip
gemetar.

Bagaimana dengan kontrak kita yang tinggal setahun


lagi? Kan tanggung

Persetan dengan kontrak itu. Kalau kita tetap bertahan,


kita akan mati konyol di sini. Kau tak lihat Rojik, setelah
seharian meriang, besok paginya ia kejang-kejang. Dan
sore ini kita sudah menguburkannya! kata Budir.

Besok pagi-pagi aku akan pulang. Terserah kau mau


tetap tinggal atau pulang bersamaku. Kalau aku lebih
memilih hidup daripada kontrak itu! ujar Budir yang
kemudian berdiri dan masuk ke dalam pondok.

Sebenarnya aku pun kecut juga. Bagaimana tidak? Satu


per satu anggota tim kami meninggal dunia. Dalam satu
tahun, ada saja yang mati. Namun, apa mau dikata. Kalau
mengikuti Budir yang ingin pulang berarti pekerjaan
kami selama tiga tahun di sini sia-sia belaka. Padahal,
kontraknya tinggal satu tahun lagi.

Dulu, sebagai orang yang hanya memiliki ijazah SLTA


dan tanpa keterampilan apa-apa, aku langsung
menyetujui pekerjaan yang ditawarkan sebuah
perusahaan perkebunan sawit. Mereka ingin membuka
perkebunan baru. Pekerjaannya cukup mudah. Dalam
kontrak disebutkan bahwa selama empat tahun tugas
kami hanya memasang patok batas lahan yang akan
dibuka. Selain itu kami juga harus memberi tanda silang
pohon-pohon yang berdiameter tertentu di kawasan lahan
tersebut.

Setelah pekerjaan itu selesai, lahan akan dibuka. Selama


pembukaan lahan, kami difasilitasi oleh perusahaan
mengikuti training di luar negeri. Saat perkebunan sawit
siap, training kami juga selesai. Dan kami akan masuk
dalam jajaran manajemen perkebunan baru itu.

Setelah meneken kontrak, aku bersama empat orang


lainnya diterbangkan ke Kalimantan dan langsung
diantar ke pedalaman Meratus. Namun, baru satu tahun
berada di Meratus, Mamat, salah seorang anggota tim,
mendadak sakit. Awalnya meriang biasa, tiga hari
kemudian Mamat meninggal dunia. Tahun kedua Kharis
juga mengalami hal serupa. Ia juga tewas dalam keadaan
menderita. Dan pada akhir tahun ketiga ini Rojik yang
kami kuburkan. Sekarang hanya tinggal berdua. Tahun
keempat hanya tinggal beberapa hari lagi. Apakah ini
berarti yang akan mati hanya antara aku dan Budir? Ini
menakutkan sekali.

***

Saat aku bangun, aku tak mendapati Budir. Aku


memanggil-manggil namanya. Tak ada jawaban.
Kuperhatikan sekeliling, baju dan tas Budir juga tidak
ada. Ternyata lelaki itu tak membuang waktu. Mungkin
pagi-pagi sekali ia telah meninggalkan pondok.
Sepeninggal Budir tak mungkin aku menyelesaikan
pekerjaan ini sendirian. Dan lebih tak mungkin lagi aku
tinggal sendiri di belantara ini! Tinggal aku satu-satunya
manusia yang akan mati. Berarti aku tak punya pilihan
selain meninggalkan pondok ini.

Aku mengemasi barang-barang dan segera meninggalkan


pondok. Langkahku cepat menuruni teras dan berjalan ke
arah dusun terdekat. Aku berharap bisa menyusul Budir.
Kemungkinan besar, lelaki itu pasti akan istirahat di sana
sebelum mencari orang yang bisa mengantarkannya ke
kota kabupaten.

Perlu waktu satu jam lebih untuk sampai ke dusun. Pagi


sudah mulai menaik. Bajuku basah oleh peluh. Baru saja
memasuki dusun, aku langsung disambut oleh
serombongan orang. Mereka setengah berlari
mendekatiku.

Lelaki yang penampilan mirip Anda itu teman Anda?


tanya salah seorang dari mereka begitu sudah di
hadapanku.

Ia punya tas yang seperti ini? aku bertanya balik


sambil menunjukkan ranselku pada mereka.

Mereka mengangguk. Berarti Budir telah sampai di


dusun ini, pikirku.

Di mana dia?

Di teras rumah tetua, meninggal dunia.

***

Tak kusangka Budir yang kemarin sore masih segar


bugar sekarang sudah kaku menjadi mayat. Mulutnya
berbusa. Matanya tak bisa terpejam. Seorang lelaki paruh
baya duduk bersimpuh di samping mayat Budir. Lekat
matanya memandang wajah Budir yang menguning.

Tetua, ini teman si mayit, salah seorang dari


rombongan yang mengantarku memberi tahu lelaki itu.

Tetua memandangku yang berdiri terpaku. Roh


Meratus, katanya seperti berdesis. Aku bergidik ngeri.
Ia kemudian berdiri perlahan. Mendekatiku yang masih
terpaku. Entah kenapa, aku tertunduk manakala mata
kami saling bertumbuk.

Kau salah satu dari orang-orang yang kabarnya


memberi tanda silang pohon-pohon besar di hutan sana?
tanya tetua.

Saya satu-satunya yang tersisa, kataku masih


menunduk.

Anak muda, aku tak tahu apa maksud kalian bertahun-


tahun di belantara sana. Namun, melihat keadaan
temanmu yang meninggal ini, tampaknya Meratus
merasa terganggu, ujar tetua.

Aku merasa ada hawa dingin menyelusup tubuhku. Tiba-


tiba aku menggigil. Perkataan tetua tak lagi jelas
terdengar. Penglihatanku mulai buram. Sesaat kemudian,
aku merasa kepanasan. Dahiku mulai berkeringat. Baru
dua-tiga buliran keringat, hawa dingin menyergap lagi.
Beberapa detik kemudian, aku kembali diserang hawa
panas. Dingin, panas, dingin lagi, panas lagi, keduanya
kurasakan bergantian secara cepat. Entah berapa lama
aku dalam keadaan seperti itu.

Tiba-tiba tubuhku terguncang. Dan zeppp!.. Anak


muda! Sadarlah! ternyata tangan tetua mengoyang-
goyang bahuku. Penglihatanku mulai terang. Kau juga
sudah terkena murka Roh Meratus! kata sang tetua.

Deg! Jantungku serasa terhenti. A apakah aku juga


akan mati? aku bertanya terbata.

Jika beruntung kau masih punya waktu beberapa jam


lagi sebelum nasibmu sama dengan temanmu itu,
katanya sambil memandang mayat Budir yang masih di
teras.

Sang tetua memerintahkan beberapa orang untuk


mengurus mayat Budir. Ia kemudian bergegas masuk ke
dalam rumah dan keluar dengan menyandang butah [1].
Kita harus mencari ular tadung [2] yang berkeliaran
searah dengan matahari terbit, hanya itu satu-satunya
peluangmu untuk selamat.

Aku segera mengkuti langkahnya dengan lunglai.

***

Kondisiku makin lama makin parah. Aku tak tahu berapa


lama kami mencari dan bagaimana tetua bisa menangkap
ular tadung sebesar pergelangan tangan itu hidup-hidup.
Di bawah sebatang pohon meranti yang tak bisa dipeluk
oleh satu orang dewasa, aku terbaring tak berdaya. Suara
air di pancur sayup terdengar. Samar kulihat tetua
mencengkeram leher ular dengan tangan kanannya. Ia
kemudian mendekatiku dan meletakkan butah tak jauh
dari tempatku berbaring.

Masih memegang ular, tangan kirinya mengambil panci


dari dalam butah. Ia juga menyalakan api. Semuanya
dilakukan dengan cepat. Api menyala, ia mengambil air
di pancur dengan panci dan langsung merebusnya.

Api yang besar membuat air cepat mendidih. Saat air


menggelegak di dalam panci, tetua berkata pelan, Ular,
izinkan aku merebusmu hidup-hidup. Harap kau himung
[3] karena akan dijadikan tatamba [4].

Selesai berujar tetua langsung memasukkan ular itu


dalam air yang sedang mendidih. Di dalam panci ular
menggeliat-geliat berontak. Namun, hanya sebentar, sang
ular kemudian ikut menggelegak bersama air. Dalam
pandanganku yang berkunang-kunang, badan ular itu
membesar dan memerah jambu di dalam panci. Ular itu
matang!

Minumlah ini kalau kau ingin selamat! perintah tetua


tegas sambil menyodorkan air seduhan ular tadi dengan
sendok kayu.

Tanpa memedulikan rasa jijik, segera sendok demi


sendok kureguk. Pada sendok keempat, ada hawa hangat
menjalar dalam tubuhku. Keringat mulai mengucur. Aku
merasa ringan. Sendok di tangan tetua langsung kuambil.
Segera aku menyeduh dan meminum sendiri, kali ini tak
kuhitung lagi berapa sendok yang kureguk.

Kami kembali berjalan pulang. Kondisiku sudah


sepenuhnya normal. Tetua melangkah di depanku. Tak
kusangka, dalam keadaan kritis ternyata kami telah
sangat jauh memasuki belantara. Aku memperhatikan
pohon-pohon besar yang kami lewati. Sinar matahari
bahkan hampir tak bisa menembus ke bawah.

Aku merasa asing di tempat ini. Pohon-pohon yang


berlumut itu, sulur-sulur yang bergantungan, semak-
semak yang rimbun itu Oh ternyata belantara ini
adalah tempat menakjubkkan. Bayangkan, di lumut
batang pohon itu udang-udang kecil berloncatan lincah.
Belum pernah aku melihat udang hidup di batang pohon!

Kau tahu anak muda, tempat ini merasa terancam


dengan keberadaan tetua menghentikan langkahnya
dan mengambil sesuatu dalam butah. Roh Meratus
meniupkan wisa [5] ke tubuh kalian, sayang kawan-
kawanmu yang lain terlambat, sambungnya kemudian
melemparkan gulungan kertas yang diambil dari butah.
Sigap kutangkap gulungan itu.

Itu peta yang kuambil dari ranselmu. Ternyata kalian


memasang patok-patok dan memberi tanda pohon-pohon
besar untuk ditebang. Dan perlu kau ketahui anak muda,
tempat ini juga termasuk wilayah yang akan kalian
pasangi patok-patok itu, katanya dingin.

Perlahan kubuka gulungan peta di tanganku. Dari peta


terlihat jelas, pekerjaan kami tinggal sedikit lagi. Jika
saja semuanya lancar, maka kami akan sampai di tempat
ini dan selesailah kontrak kerja kami. Dalam waktu yang
singkat, mungkin alat-alat berat akan didatangkan!
Pohon-pohon ini, sulur-sulur ini, lumut-lumut ini, udang-
udang iniakan bagaimana?

Tetua, izinkan aku tinggal di sini dan bersama kaummu


menjaga tempat ini Akhirnya setelah lama hanya
diam, aku menatap mata tetua mantap. (*)

Keterangan

[1] Butah: Sejenis baku yang biasa digunakan oleh laki-


laki

[2] Tadung: Salah satu jenis ular berbisa, termasuk jenis


kobra.

[3] Himung: Senang.

[4] Tatamba: Penyembuh


[5] Wisa: Hawa beracun, biasanya terdapat di
pedalaman belantara. Masyarakat Kalimantan juga
menyebutnya penyakit kuning. Ada yang menganggap
penyakit ini adalah malaria.

Zaidinoor, lahir 22 Agustus 1984 di Barabai, Kabupaten


Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Menyelesaikan S-1 di Institut Agama Islam Negeri
Antasari Banjarmasin. Pernah menjadi jurnalis di tabloid
lokal, Urbana, dan asisten koordinator area Kalselteng,
salah satu lembaga survei politik di Indonesia. Sekarang
tinggal di sebuah desa di kaki pegunungan Meratus di
Hulu Sungai Tengah bersama istri tercinta sambil belajar
bertani
Tanah Air
Cerpen Martin Aleida (Kompas, 19 Juni 2016)

Hatiku teduh. Dia kelihatan tenang. Cuma matanya saja


yang terus memandangiku dengan ganjil. Seakan aku ini
siapa, bukan istrinya. Tadi, sambil duduk berdampingan
menjuntaikan kaki di tubir tempat tidur, perlahan
kupotongi kuku-kukunya yang panjang, hitam berdaki.
Dari tangan sampai kaki. Gemertak pemotong kuku
meningkahi angin pagi yang deras dan dingin memukuli
jendela.

Tanpa menatapku barang sekejap pun, seperti berbisik


pada dedaunan di luar, lagi-lagi dia mengulangi igauan
yang saban pagi, menjelang matahari terbit,
diucapkannya seperti merapal mantra. Atau pesan yang
aku tak tahu kepada siapa. Setengah jam lagi. Begitu
matahari terbit, mereka akan datang membebaskan kita,
desisnya dengan mata yang tetap saja liar, dan sepertinya
aku entah di mana, tidak berada di seberang bahunya.
Siapa yang akan membebaskannya? Aku tak tahu. Dan
aku tak pernah mau bertanya. Tetapi, yang jelas janji
akan pembebasan selepas subuh itulah yang kelihatan
membuat penderitaannya lebih dalam.

Aku sama sekali tak tahu bagaimana awal kesengsaraan


yang kini membelenggunya, membuat dia tidak berada
dalam tubuhnya sendiri, sebagaimana dia yang kukenal
sejak lebih setengah abad lalu. Dari seorang wartawan
olahraga koran sore yang terpandang. Yang katanya
sering mengintipku dari gerbang Tjandra Naja, dekat
Jakarta Kota, saat aku pulang sekolah naik sepeda. Laki-
laki peranakan yang bermata tidak sesipit mataku, tapi
hatinya sungguh lapang. Dan aku merasa tersanjung,
juga bingung, ketika dalam surat pertama yang dia
selipkan ke dalam tasku, memuji betisku setengah mati.

Sekarang, di tempat tidur ini, dari seorang manusia, kini


dia tinggal menjalani sisa hidup hanya sebagai seonggok
daging tak berjiwa. Hampa. Aku tak tahu apa yang
menjadi pencetus penyakitnya ini. Yang membuat
matanya terkadang garang. Teramat garang. Memerah.
Seperti hendak pecah. Kalau sudah begini, dia
menghindar dari tatapanku, bagaimanapun manisnya aku
tersenyum, dan melemparkan pandang ke luar jendela.
Yang tetap bertahan adalah pernyataan kasih sayangnya
sejak dulu: kalau bangkit dia tak pernah lupa membelai
lututku, persis di atas betis yang katanya membuat dia
kesengsem, dulu.

Dari kawan-kawannya sesama pelarian, yang tak bisa


pulang karena paspor mereka dirampas penguasa baru di
tanah yang kutinggalkan, kudengar dia merasa sangat
bersalah. Mengutuki dirinya sebagai seorang ayah yang
keji, karena tidak membesarkan, apalagi menyekolahkan,
anak tunggal kami. Tak sekali-dua-kali kawan-kawannya
di Tiongkok, sebelum mereka mendamparkan diri ke
Amsterdam sini, memergokinya sedang membisikkan
nama anaknya berulang kali, dan membentur-benturkan
kepalanya ke meja makan. Juga ke tembok. Kawannya
sekamar sering mendengar desis sebuah nama dan
gedebuk berulang-ulang di dinding batu sementara dia
masih berada di toilet.

Menurut cerita kawan-kawannya itu pula, ketika


Revolusi Kebudayaan membanjir di seluruh daratan
Tiongkok, dia acapkali termenung, tak percaya akan apa
yang dia saksikan. Dia dengar di seluruh negeri itu
seorang manusia sedang dipuja melebihi dewi Kwan Im.
Suatu pagi dia terperanjat. Gemetar melihat puluhan
pemuda dan tentara bertopi segi-lima, syal merah, yang
sedang konferensi di satu hotel bertingkat, semuanya
berdiri di beranda hotel di tingkat ke sekian, menghadap
ke timur. Mereka bukannya memuja matahari, melainkan
memuliakan sang penyelamat yang sedang duduk entah
di mana. Lewat pengeras suara, mereka bersenandung,
seperti hendak menggelontorkan matahari:

di langit tiada dewa

di bumi tiada raja

gunung-gunung menyingkirlah

aku datang ...

Dia bersama ratusan kawan senasib disingkirkan ke


sebuah kota kecil, jauh dari Peking. Alasannya demi
keamanan. Supaya tak jadi sasaran mereka yang datang
dengan senjata Buku Merah. Dia merasa benar-benar
dikucilkan, disingkirkan, dari dunia yang wajar. Dilarang
keluar dari kompleks perumahan. Dari seorang yang
terlatih menulis, dia menjadi pengangkut kotoran
manusia untuk pupuk tanaman. Perasaannya tambah
tertekan. Apalagi muncul perpecahan di kalangan mereka
yang tak bisa pulang ke Tanah Air itu. Ratusan
jumlahnya. Mereka bertengkar, seperti hendak berbunuh-
bunuhan, karena beda pilihan keyakinan politik, antara
Moskow dan Peking.

Beberapa tahun kemudian, aku menerima sepucuk surat.


Melihat titimangsanya, surat itu terlambat empat bulan.
Melalui perbatasan sejumlah negara Eropa, diposkan di
Amsterdam. Hanya secarik kertas. Dia membujukku
menjual apa saja untuk ongkos dan bertolak dari Jakarta
supaya bisa berjumpa di Macao atau Kanton. Waktu itu,
pekerjaan sebagai tukang jahit dan pembuat kue sudah
kutinggalkan. Aku sudah memiliki beberapa bajaj dan
berangan-angan menjadi pengusaha taksi supaya bisa
memilih perguruan yang baik untuk anakku.

Di stasiun kereta api Kanton aku menjumpainya sedang


duduk di sebuah bangku panjang. Duduk berpangku
tangan. Dari rona matanya, sepertinya dia kehilangan
sesuatu yang sangat berharga. Aku memanggil namanya.
Ini aku, sapaku. Dia berdiri, memelukku erat-erat
seperti hendak meremukkan tulang rusukku. Orang hilir-
mudik tak dia hiraukan.

Malam pertama, dia bercerita tentang rencananya


berangkat ke Belgia, yang tak lama lagi akan membuka
hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Sehingga visa
tinggal di negara itu diperkirakan akan mudah diperoleh.
Dari negara itu, katanya, dia akan melompat ke Belanda,
di mana beberapa orang temannya senasib sudah siap
menampung. Aku hanya meletakkan kupingku dengan
baik-baik di bahunya. Mengiyakan apa saja yang dia
rencanakan. Malam kedua, ulu hatiku terasa seperti dia
tonjok, ketika dia katakan ada kabar yang sampai ke
kupingnya, bahwa aku sering pergi dengan lelaki. Lantas
dia keluarkan sebuah buntalan kecil dari saku celananya.
Dibalut kain putih, di dalamnya segumpal tanah merah
yang kering.

Ciumlah Ini tanah Indonesia. Apa pun yang akan


terjadi dia akan mempertautkan kita, katanya lamat-
lamat seraya memegangi tanganku, merebahkan kepala
di bahuku. Semacam permintaan maaf atas tuduhan yang
baru saja dia timpakan padaku. Katanya, tanah itu dia
bawa ketika meninggalkan Jakarta menuju Kairo dan
kandas di Peking.

Tak sampai lima tahun setelah pertemuan di Kanton itu.


Begitulah, kalau tak salah ingatanku. Bajajku sudah
selusin dan taksiku lima. Dengan bantuan pengarahan
dari gereja, aku bisa menyekolahkan anakku di Australia.
Dia studi teknologi informasi, keinginannya satu-
satunya.

Setelah beberapa lama bermukim di Belanda, suamiku


berkirim surat. Layaknya pecandu sepakbola yang ingin
lawannya kalah habis-habisan, dia berteriak melalui
baris-baris suratnya: Juallah semuanya, jangan
tinggalkan sepeser pun di negeri yang dikuasai fasis itu.
Terbanglah kemari! Tanahmu. Tanahku, walau
segenggam, menunggu di sini .!

Tak terlalu sulit untuk memenuhi keinginannya. Ada


orang-orang gereja yang siap membantu mencarikan
pembeli. Juga sanak-saudara, sekalipun mereka harus
mendekatiku dengan hati-hati. Cecunguk di mana-mana.
Tiba-tiba, datang lagi surat dari dia. Singkat.
Memerintah: jangan berangkat dulu! Keadaan tidak
aman. Maksudnya apa, aku tak tahu. Tunggu kabar
selanjutnya, katanya. Padahal rumah sudah terjual.
Terpaksa aku mengontrak rumah selama setahun. Kabar
susulan dari dia belum juga muncul selama setahun.

Aku berniat baik, ingin berbuat kebajikan kepada suami


yang kucintai. Orang yang sayangnya pada anakku
membuat dia dikungkung ketegangan karena merasa
bersalah tidak ikut membesarkannya. Tetangga, sanak-
famili boleh acuh-tak-acuh, karena takut, namun gereja
membukakan pintu untukku. Walau hanya bubungan
gereja kecil. Di situlah aku tinggal sambil menunggu
aba-aba keberangkatan yang akan datang dari daratan
impian.

Derita tak usah berpanjang-panjang. Sementara


keteguhan tak boleh padam. Singkat cerita, aku mendarat
di Schiphol. Dia menyambutku di pintu ke luar. Dada
sesak oleh kebahagiaan. Aku dirangkulnya berlama-
lama. Lantas mendorong barang bawaanku menuju
kereta api.

Rumahnya agak di tepi Amsterdam. Masyarakatnya


terdiri dari berbagai ras. Orang Suriname yang paling
banyak. Ruang tamunya cukup lega, dua kamar tidur,
lengkap dengan dapur dan kamar mandi yang memadai.
Terletak di lantai delapan. Dari kawan-kawan
terdekatnya, terutama peranakan, kuperoleh keterangan
bahwa kesengsaraan, berupa stres yang dia tanggungkan,
bertambah buruk. Apa pun aku akan dan harus
menemaninya. Sebagaimana aku harus membesarkan
anakku, maka aku juga harus mendampinginya walau
ajal menanti.

Dia sering merenung. Matanya acapkali menerawang


kosong ke luar jendela. Jarang sekali dia memulai
percakapan. Hatiku melambung bahagia ketika anakku
liburan dan mengunjungi kami. Ketika dia masih duduk
di sekolah dasar, dengan susah-payah aku melerai
kemarahannya terhadap ayah yang dia tuduh tidak
bertanggung jawab, meninggalkannya. Menyia-nyiakan
ibunya. Bersenang-senang di luar negeri sana.

Di meja makan. Menjelang tidur. Terkadang saat sedang


belajar, kalau momennya kena, kukatakan bahwa
ayahnya tidak bersalah. Tak bisa pulang membesarkan
dan menyekolahkannya bukan pilihannya. Susah-payah
aku menjelaskan kepadanya, bahwa ada kekuasaan yang
begitu buruk rupanya, sehingga sampai hati memisahkan
seorang anak tunggal dari ayahnya.

Han, sekarang sudah terbebas dari siksa di masa


kecilnya. Selain penjelasan berulang-ulang yang
kusampaikan, dia juga menjadi matang dengan jalan
yang dia temukan sendiri. Terutama oleh dunia yang bisa
dia arungi lewat Google. Bagaimanapun kekuasaan
mencoba berbohong dan menutupi kejahatannya
terbongkar juga di dunia maya.

Han membuat dadaku mongkok. Setelah dewasa, dia


berubah dalam bersikap terhadap papinya. Suamiku yang
tetap tumpul. Terkungkung dalam jiwa yang remuk.
Setelah putra tunggal kami itu kembali ke Australia,
ketegangan yang dialami suamiku bukannya mengendur.
Bercakap-cakap di taman, di meja makan, di tempat
tidur, dia tak habis-habisnya mengutuk dirinya sendiri.
Karena ucapan anaknya yang masih kecil, bahwa dia
bukan seorang ayah yang bertanggung jawab.

Sudahlah . Dengarlah baik-baik. Tuduhan anakmu itu


kan kau dengar dari kawan-kawamu di Tiongkok kan?
Sama seperti kau juga dengar bahwa aku menjual diri
kepada lelaki lain. Aku tak mempedulikan omong-
kosong orang. Kalau kumasukkan ke dalam hati, aku bisa
gila. Dengarlah baik-baik. Selama Han bersama kita di
sini, dia memanggilmu Papi. Papi! Kau ingat kan?
Tidakkah kau bisa menafsirkan sebutannya padamu itu
sebagai tanda permintaan maaf. Bahwa kau adalah
ayahnya yang baik. Bahwa kau tak pulang-pulang bukan
lantaran kehendakmu.

Tapi, dia cuma membatu. Tak bergetar. Apa yang


berkecamuk di dalam hatinya, aku tak tahu. Matanya
tetap nanar menatapku.

***

Hatiku terasa teduh. Dan dia kelihatan lebih tenang.


Cuma matanya yang terus memandangiku dengan ganjil.
Seakan-akan aku bukan istrinya. Sebentar-sebentar dia
melongok ke jendela.

Sudah potong kuku. Sudah mandi. Sudah sarapan. Kita


tinggal tunggu. Nanti dokter akan datang, bujukku. Saya
pamit mau membuang sampah, menyiram tanaman di
beranda, mencuci piring, dan merapikan ruang tamu.

Di beranda aku merawat taman kami yang mungil,


sekitar setengah kali dua meter. Di situ kutanam rose,
juga dua pohon pisang, agar Indonesia tidak terlalu jauh
dari kami.

Telepon berdering. Saya psikiater yang akan


mengunjungi suami Nyonya. Apakah dia baik-baik
saja? kata yang menelepon.

Dia baik. Baik, Dokter, sahutku.

Tunggu ya.

Aku membersihkan kamar mandi. Menggosok toilet.


Ketika menjinjing vacuum cleaner ke kamar tidur, aku
disentak gordin yang berkibar sejadi-jadinya disapu
angin. Jendela ternganga. Tempat tidur melompong. Aku
berteriak memanggilinya. Tak ada jawaban. Aku lari ke
kamar mandi. Dia tak ada di situ. Toilet kosong. Secepat
petir pikiranku terbang. Suara orang yang menelepon,
yang mengaku psikiater, tadi kayaknya mirip suaranya.
Kudorongkan kepalaku keluar jendela. Memanggil-
manggil namanya ke samping, ke bawah. Di mana
kau Di mana?!

Kukunci seluruh ruangan. Cepat aku melangkah ke lift.


Kupencet angka nol di panel. Begitu keluar dari lift,
kudengar jeritan ambulans yang merapat di ujung
apartemen. Beberapa orang terlihat mengerubung di
sekitar jasad yang ditutup selimut. Aku tak tahu sekuat
apa aku menjerit. Sebesar apa mulutku terkuak
menyerukan namanya: Ang ! Aaaang ! Aku
terjerembab di sampingnya. Jari-jemarinya masih
mengepal tanah merah berbalut kain putih. Di dekatnya
ada secarik kertas yang berkata: Tanah Air Indonesia.
Kalau terjadi apa-apa tolong hubungi istriku, An Sui. Ini
nomor teleponnya. (*)

Martin Aleida, Lahir 1943 di Tanjung Balai, Sumatera


Utara, menghabiskan lebih dari lima puluh tahun usianya
di Jakarta, sebagai mahasiswa, wartawan, penulis lepas.
Awal 2016, selama tiga bulan, dengan dukungan
sejumlah tokoh, mengadakan riset tentang kehidupan
eksil Indonesia di lima negara Eropa
Mata Gunting dan Jiwa
Rambut yang Dicukur

Cerpen Ahmad Muchlish Amrin (Kompas, 12 Juni 2016)

Setiap tukang cukur di dunia adalah pembunuh. Ruh-ruh


setiap helai rambut yang dipotong mengendap-endap
gentayangan di angkasa seperti jiwa-jiwa yang linglung.
Rambut-rambut yang dipotong menjerit dan mengerang
seperti jiwa-jiwa yang sakit. Gunting-gunting tajam
dengan mulut menganga dan dua mata nanar mencelat
layaknya seorang pembunuh berdarah dingin.

***

Lelaki itu memutuskan berhenti menjadi tukang cukur.


Padahal ia memiliki banyak pelanggan; setiap hari tidak
kurang dari sepuluh kepala datang ke kiosnya untuk
bercukur. Namun, semenjak ia memutuskan berhenti,
orang-orang yang datang ke kiosnya, pulang dengan
penuh rasa kecewa; kecewa karena tidak bercukur dan
kecewa karena sulit mencari tukang cukur yang sebagus
cukurannya.

Kios cukur berukuran 3 x 4 di pojok pasar Kota Gede itu


telah tutup. Di saat aku bertanya pada sebuah warung
kelontong di sebelahnya, pemilik warung itu mengatakan
bahwa kios cukur itu telah ditutup satu bulan yang lalu.
Pintu-pintunya hanya menyeringai pada sepi. Dinding-
dindingnya begitu kusam. Anak-anak muda yang kurang
ajar, mencorat-coret dinding-dinding kios itu. Jika aku
melihat dari luar, kios itu seperti sebuah bangunan tua
yatim piatu.

Hari berikutnya, sebagai teman dan pelanggannya yang


merasa prihatin dengan keputusannya, aku datang ke
rumahnya untuk mengetahui, mengapa lelaki itu
memutuskan berhenti menjadi tukang cukur? Aku
menjumpainya sedang duduk di sebuah kursi di amben
rumahnya. Matanya seredup kancing bajunya. Wajahnya
dipenuhi keruwetan yang mendalam. Mula-mula aku
tidak percaya melihat ia yang periang tiba-tiba berubah
menjadi begitu pendiam.
Ah, tidaktidak! begitulah ia mengelak dari
pertanyaanku.

Ia bahkan enggan berbicara padaku. Sementara dari


matanya, aku melihat sketsa-sketsa acak-acakan yang
sangat mengganggu pikirannya. Menurut penuturan
istrinya, ia berniat berhenti menjadi tukang cukur
semenjak dua bulan sebelumnya, hanya saja istrinya
memaksanya untuk tetap membuka kiosnya dan ia hanya
kuat satu bulan. Bulan berikutnya, ia terasa sangat berat.
Dan akhirnya, lelaki dengan tanda lahir di lengan
kanannya itu memutuskan untuk menutup kiosnya.

***

Setiap tukang cukur di dunia adalah pembunuh


begitulah bualan paman Doblang. Ya, lelaki bau tanah ini
memang seorang pembual. Bagi orang yang baru
pertama kali berjumpa dengannya, akan termakan oleh
bualan-bualannya, seolah-olah apa yang dikatakannya
sebagai sesuatu yang sangat benar. Rambut putih dan
jenggotnya yang berwarna logam membuatnya mirip
seorang yang dapat dipercaya. Padahal paman Doblang
memang benar-benar seorang pembual. Orang-orang
yang ada di lingkungan sekitarnya pasti telah mengetahui
bahwa lelaki dengan bekas luka di pelipis kirinya itu
adalah seorang pembual.

Beginilah kisah pertemuan si tukang cukur malang itu


dengan paman Doblang ketika membual:

Sebuah hari yang malang, ketika ia berkunjung ke rumah


seorang kawannya, Joni. Secara kebetulan, paman
Doblang sedang ada di tempat itu. Ia memang rutin
mengunjungi rumah Joni untuk mendapatkan sebungkus
rokok yang dijanjikannya dua hari sekali. Maklum,
paman Doblang tidak bekerja. Hidupnya hanya
bergantung pada pemberian orang-orang yang merasa
kasihan padanya. Tetapi meskipun demikian, sama sekali
tidak tergambar rasa sedih di wajahnya.

Dan di pagi menjelang siang yang malang, si lelaki


tukang cukur itu diperkenalkan Joni pada paman
Doblang.

Dia paman Doblang, katanya dengan mulut yang


lincah, dia adalah pamanku. Dia memiliki banyak
ilmu. Si pembual itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, seolah-olah mengiyakan semua perkataan
Joni. Dan, si tukang cukur itu menganggukkan kepalanya
layaknya orang yang baru berjumpa.

Joni melanjutkan perkataannya, Dia adalah orang yang


sangat bijaksana. Setiap hari dia membaca buku-buku
dan menasihati banyak orang. Bukankah itu sudah cukup
untuk dikatakan sebagai orang yang bijaksana? kening
Joni sedikit mengernyit. Si lelaki tukang cukur itu sedikit
merunduk bagai sapi bodoh. Sementara paman Doblang
mengangkat bahunya, merasa menguasai suasana pagi
itu. Angin berdesir lamban. Cahaya matahari pelan-pelan
meninggi. Ayam-ayam kampung yang dilepas sebagian
bersuara. Suara mereka mirip suara ayam yang akan
bertelur.

Namamu Yudi, bukan? paman Doblang mulai


membuka pembicaraan.

Iya, kepalanya mengangguk penuh hormat.

Pekerjaanmu sebagai tukang cukur, bukan? seolah-olah


menebak profesi lelaki malang itu.

Iya.
Ia tentu sangat kaget, bagaimana mungkin orang yang
baru bertemu itu bisa tahu semuanya. Padahal dia hanya
diberi tahu Joni ketika dia melihat ia masuk di halaman
rumahnya.

Begini, begini.

Ia sesekali menatap mata dia. Sesekali pula menunduk.


Paman Doblang semakin menampakkan diri sebagai
seorang yang gagah dan cerdas. Dia bertingkah seperti
orang yang sangat sombong. Dengan mulut yang sangat
buruk, dia berkata, Semua tukang cukur di dunia adalah
pembunuh.

Tentu muka si lelaki tukang cukur itu merah membara


ketika mendengar kata-kata paman Doblang. Ia sangat
jengkel pada dia. Ia tidak bisa menutup kekesalannya.
Aku berbicara padamu sepenuhnya berbicara tentang
kebenaran. Dia berusaha memoles-moles kata-katanya.
Pura-pura menjadi orang yang mengerti kebenaran.

Lelaki tukang cukur itu tentu ingin menggampar


mulutnya di saat mendengar dia berceramah. Dan ia
merasa dirinya telah masuk di tempat yang salah.
Kau tahu, Yudi? Tangan kirinya menunjuk lurus
dengan batang hidung si tukang cukur yang malang.
Mulut paman Doblang yang mirip perahu tak membuka
layar itu melanjutkan pembicaraannya, Setiap rambut
memiliki jiwanya sendiri-sendiri. Ia adalah makhluk
yang berjiwa. Bagaimana mungkin mata guntingmu yang
menyeringai dan mulut guntingmu yang serakah itu
memotong-motong rambut-rambut yang berjiwa?
Bagaimana mungkin kau lakukan itu, ha?

Yudi hanya bergeming. Gelisah. Matanya sesekali


melihat ke seluruh ruang itu. Sesekali pula ia menghela
napas. Pikiran-pikirannya semakin bertualang pada
jutaan helai rambut yang telah ia pangkas setiap hari.
Paman Doblang melanjutkan lagi pembicaraannya.

Jiwa rambut-rambut yang kau cukur itu mengendap-


endap di angkasa, Yudi. Mereka semua pasti memandang
penuh kebencian padamu. Seandainya kau bisa melihat
dan kau bisa mendengar suara-suara dari jiwa rambut-
rambut yang kau cukur itu, kau akan menangis
sebagaimana mereka menangis. Kau akan terlunta-lunta
sebagaimana mereka terlunta-lunta. Terlihat mulutnya
berbusa-busa di bibir bagian terpinggir. Matanya
menyalak tajam.

Bagaimana mungkin kau mengetahui itu paman? Joni


balik tanya seraya memperbaiki lengan bajunya.

Semua itu sudah dijelaskan dalam buku-buku dan kitab-


kitab kebijaksanaan, Jon!

Lalu, bagaimana denganku paman Doblang? Yudi


tampak semakin gelisah. Ia seperti seorang yang sedang
merenung. Asap melindap dari mulut paman Doblang.

Tentang itu, pikirkanlah baik-baik kau pasti tahu apa


yang terbaik untuk kehidupanmu.

Burung-burung di luar amben rumah itu terus bercericit.


Matahari bergeser sekian inci hingga sinarnya terasa
menguap. Dan yang terakhir, Yudi! Sebelum aku
pulang, tegas paman Doblang, dan ia segera
melanjutkan, Setiap orang akan diminta pertanggung
jawaban kelak. Setiap perilaku keseharian manusia akan
dipertanggungjawabkan. Dan kau. paman Doblang
menuding ke arah Yudi. Kata-katanya begitu menyilet
hati si lelaki tukang cukur itu, Akan bertanggung jawab
atas rambut-rambut yang telah kau cukur selama ini.

Setelah itu, paman Doblang berdiri dari tempat


duduknya. Ia bersalaman pada Joni dan Yudi. Kemudian
lelaki dengan rambut dan jenggot putih kapas itu
melangkah keluar dari rumah itu. Sementara Yudi masih
terngiang dengan kata-katanya. Bahkan, pikiran-
pikirannya telah disesaki oleh rambut-rambut yang
berjiwa.

***

Tersiar kabar dari orang-orang bahwa seorang tukang


cukur telah menjadi gila. Setiap hari, ia selalu
mengendap-endap dari kios cukur satu ke kios cukur
yang lain. Ia memunguti potongan rambut-rambut yang
telah dicukur. Ia mengumpulkan helai-helai rambut yang
terpotong itu dari kios cukur milik orang lain. Sebagian
tukang cukur merasa aneh dengan perilakunya. Bahkan
sebagian mereka melarangnya mengambil rambut-
rambut yang telah dicukurnya, karena mereka khawatir,
lelaki ini memberi guna-guna pada rambut-rambut yang
telah dicukur.
Di sepanjang jalan, mantan tukang cukur yang telah
menjadi gila ini selalu bergumam Semua tukang cukur
di dunia adalah pembunuh.

Tak satu pun dari orang-orang yang berlalu lalang


bersalipan mempedulikannya. Ia terus membawa
kumpulan potongan rambut-rambut itu. Potongan
rambut-rambut itu ia kumpulkan di sebuah ruangan di
rumahnya. Istrinya pun sangat sedih melihat suaminya
menjadi gila. Istrinya pun sering melarang bila suaminya
akan menaruh potongan rambut-rambut itu di kamarnya.
Sebab menurutnya, potongan-potongan rambut itu hanya
akan mengotori kamarnya.

Dan, suatu malam yang malang. Ia mendengar suara


gaduh dan ramai dari arah ruangan yang di dalamnya
dijadikan penyimpanan rambut-rambut yang dicukur.

Suara-suara itu memang amat sangat berisik di


telinganya. Suara-suara itu dengan serempak
mengatakan, Semua tukang cukur di dunia adalah
pembunuh. Pembunuuhhhhh! Aku akan mengintaimu
dan aku akan balas dendam.
Begitu mendengar suara-suara yang sangat ramai, ia
merasa terancam. Ia merasa takut. Ia berpikir, bagaimana
jika ruh-ruh rambut yang pernah dicukurnya datang
membawa belati, lalu menggorok lehernya atau bahkan
memutilasinya sebagaimana ia mencukur rambut-rambut
itu?

Lalu disusul pikiran lain, bagaimana jika jiwa rambut-


rambut yang dipotong itu tiba-tiba berubah menjadi
sosok manusia yang kekar. Kemudian sosok manusia
yang tinggi dan kekar itu menyekapnya di sebuah
ruangan dan mereka melukai tubuhnya pelan-pelan
dengan silet dan menyirami air garam di atas luka itu?
Betapa perih yang akan ia rasakan? Pikiran-pikiran lain
bermunculan terus menerus sebanyak rambut-rambut
yang dicukurnya.

Istrinya pun bingung melihat suaminya berdiam diri,


kadang berceracau, kadang pula berteriak, dan
seterusnya. Istrinya sangat sedih melihat rambut
suaminya yang acak-acakan, kusam, dan kotor. Dan
sampai saat ini pun istrinya belum tahu bahwa yang
menyebabkannya gila adalah sang pembual sialan itu.
Sebagai seorang istri, ia terus merawatnya, memberinya
makan, dan jika ia tidak ada di rumah, ia selalu
mencarinya. Hidupnya telah menjadi kelam sebagaimana
malam-malam yang terus mengancam.

***

Jarum-jarum sinar matahari masuk di sela-sela


rumahnya. Berkapas-kapas awan putih di angkasa
terdiam sebagaimana si lelaki tukang cukur itu. Suara-
suara ruh-ruh rambut yang dicukur terus menerus
mendera telinganya dan pikiran-pikirannya dijalari
kemungkinan-kemungkinan ancaman yang akan
diterimanya.

Keanehan-keanehan tentang rambut-rambut semakin


meruyak. Ia bahkan melihat cahaya putih berpendar di
ruangan tempat ia menyimpan rambut-rambut itu. Ia juga
melihat mata-mata kegelapan yang membara bersumber
dari rambut-rambut yang lain. Apakah penampakan dari
rambut-rambut itu mencerminkan pemilik rambut itu?
Artinya jika pemilik rambut yang dicukur adalah orang
baik akan memendarkan cahaya dan jika pemilik rambut
itu seorang yang jahat akan memendarkan mata
kegelapan yang menakutkan? Tidak ada yang tahu
tentang ini!

Sore itu menjadi sore yang malang baginya. Di saat


istrinya keluar rumah, ia mengambil sebuah tambang,
lalu masuk ke sebuah kamar mandi. Begitu tiba di dalam
kamar mandi, ia naik ke atas bak mandi. Ia mengikatkan
tambang itu di lehernya. Kemudian ujung tambang
ditalikan pada sebuah kayu yang melintang di atas kamar
mandi itu.

Dari mulutnya masih berceracau, Semua tukang cukur


di dunia adalah pembunuh. Terus menerus. Begitu
ikatan tambang kokoh melingkar di kayu yang
melintang. Ia melompat dari bak mandi. Tubuhnya
bergelantungan. Cicak-cicak di dinding mondar-mandir.
Berbunyi. Dan saat itulah, jiwa-jiwa rambut yang
dicukur membalaskan dendamnya. Jiwa si lelaki tukang
cukur yang malang itu telah terbang bersama ruh-ruh
rambut yang dicukur. (*)
Ahmad Muchlish Amrin, Lahir di Sumenep, Madura.
Bulan Oktober 2009, ia diundang untuk presentasi dan
membacakan karyanya di Festival International Ubud
Writers & Readers di Ubud Bali. Kini tinggal di
Yogyakarta. Twitter: @damar_kembang.

Anda mungkin juga menyukai