Anda di halaman 1dari 38

GEOLOGI INDONESIA

GEOLOGI PULAU JAWA

Oleh:
Iqbal Muhammad Audi
TATANAN GEOLOGI PULAU JAWA
Secara garis besar perkembangan tektonik Pulau Jawa tidak berbeda banyak dengan
perkembangan Pulau Sumatra. Hal ini disebabkan disamping keduanya masih merupakan
bagian dari batas tepi lempeng Mikro Sunda, juga karena masih berada dalam sistim yang
sama, yaitu interaksi konvergen antara lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia
demgam lempeng Mikro Sunda.

Perbedaan utama dalam pola interaksi ini terletak pada arah mendekatnya lempeng India-
Australia ke lempeng Sunda. Di Jawa, arah tersebut hadir hamper tegaklurus. Beberapa gejala
geologi yang agak berlainan dengan di Sumatra adalah:

Produk gunung api muda mempunyai susunan yang lebih basa bila dibandingkan
dengan di Sumatra.
Gunung api berumur Tersier Akhir kebanyakan terletak atau bertengger di atas
endapan marin berumur Neogen, sedangkan di Sumatra terletak di atas batuan Pra-
Tersier
Batuan dasar di Pulau jawa terdiri dari komplek mlange berumur Kapur-Tersier
Awal
Di Pulau jawa tidak dijumpai adanya tanda-tanda unsure kerak benua

Unsur-unsur tektonik yang membentuk Pulau Jawa adalah:

Jalur subduksi Kapur-Paleosen yang memotong Jawa Barat, Jawa Tengah dan terus
ke timurlaut menuju Kalimantan Tenggara
Jalur magma kapur di bagian utara Pulau Jawa
Jalur magma Tersier yang meliputi sepanjang pulau terletak agak ke bagian selatan
Jalur subduksi Tersier yang menempati punggungan bawah laut di selatan pulau
Jawa
Palung laut yang terletak di selatan pulau Jawa dan merupakan batas dimana
lempeng/ kerak samudra menyusup ke bawah pulau Jawa (jalur subduksi sekarang).
FISIOGRAFI REGIONAL

Pulau Jawa secara fisiografi dan struktural, dibagi atas empat bagian utama (Bemmelen,
1970) yaitu: Sebelah barat Cirebon (Jawa Barat) Jawa Tengah (antara Cirebon dan
Semarang) Jawa Timur (antara Semarang dan Surabaya) Cabang sebelah timur Pulau
Jawa, meliputi Selat Madura dan Pulau Madura Jawa Tengah merupakan bagian yang sempit
di antara bagian yang lain dari Pulau Jawa, lebarnya pada arah utara-selatan sekitar 100 120
km. Daerah Jawa Tengah tersebut terbentuk oleh dua pegunungan yaitu Pegunungan Serayu
Utara yang berbatasan dengan jalur Pegunungan Bogor di sebelah barat dan Pegunungan
Kendeng di sebelah timur serta Pegunungan Serayu Selatan yang merupakan terusan dari
Depresi Bandung di Jawa Barat.

Pegunungan Serayu Utara memiliki luas 30-50 km, pada bagian barat dibatasi oleh Gunung
Slamet dan di bagian timur ditutupi oleh endapan gunung api muda dari Gunung
Rogojembangan, Gunung Prahu dan Gunung Ungaran. Gunung Ungaran merupakan gunung
api kuarter yang menjadi bagian paling timur dari Pegunungan Serayu Utara. Daerah Gunung
Ungaran ini di sebelah utara berbatasan dengan dataran aluvial Jawa bagian utara, di bagian
selatan merupakan jalur gunung api Kuarter (Sindoro, Sumbing, Telomoyo, Merbabu),
sedangkan pada bagian timur berbatasan dengan Pegunungan Kendeng.Bagian utara Pulau
Jawa ini merupakan geosinklin yang memanjang dari barat ke timur (Bemmelen, 1970).
TATANAN TEKTONIK

Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur geologi dari
waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-pola yang teratur.
Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah penurunan basin, pensesaran,
perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke
waktu. Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yaitu arah Timur Laut Barat Daya
(NE-SW) yang disebut pola Meratus, arah Utara Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah
Timur Barat (E-W). Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut
Barat Daya (NE-SW) menjadi relatif Timur

Barat (E-W) sejak kala Oligosen sampai sekarang telah menghasilkan tatanan geologi
Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit disamping mengundang pertanyaan bagaimanakah
mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau
Jawa dan daerah sekitarnya.
Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian tengah
terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra-Tersier di daerah Karang
Sambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas Cekungan Pati,
Florence timur, Central Deep. Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola
konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo. Pola
Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian timur.

Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan sementara
perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan. Ekspresi yang mencerminkan pola ini
adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna.
Pola Sunda pada Umumnya berupa struktur regangan.

Pola Jawa di bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis
dan sear-sear dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang
terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh
arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik.

Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan pola yang
paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai Paleosen dan
tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karang Sambung hingga di
daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang
lebih muda. Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola
Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir
hingga Oligosen Akhir.

Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh pola yang
telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik menunjukkan bahwa pola sesar
naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga sekarang.

Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur dan persebaran
tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang tertentu pula. Penampang
stratigrafi yang diberikan oleh Kusumadinata, 1975 dalam Pulunggono, 1994
menunjukkan bahwa ada dua kelompok cekungan yaitu Cekungan Jawa Utara bagian
barat dan Cekungan Jawa Utara bagian timur yang terpisahkan oleh tinggian Karimun
Jawa.
Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai bentuk geometri memanjang
relatif utara-selatan dengan batas cekungan berupa sesar-sesar dengan arah utara selatan
dan timur-barat. Sedangkan cekungan yang terdapat di kelompok cekungan Jawa Utara
Bagian Timur umumnya mempunyai geometri memanjang timur-barat dengan peran
struktur yang berarah timur-barat lebih dominan.

Pada Akhir Cretasius terbentuk zona penunjaman yang terbentuk di daerah


Karangsambung menerus hingga Pegunungan Meratus di Kalimantan. Zona ini
membentuk struktur kerangka struktur geologi yang berarah timurlaut-baratdaya.
Kemudian selama tersier pola ini bergeser sehingga zona penunjaman ini berada di
sebelah selatan Pulau Jawa. Pada pola ini struktur yang terbentuk berarah timur-barat.

Tumbukkan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia menghasilkan gaya utama
kompresi utara-selatan. Gaya ini membentuk pola sesar geser (oblique wrench fault)
dengan arah baratlaut-tenggara, yang kurang lebih searah dengan pola pegunungan akhir
Cretasisus.

Pada periode Pliosen-Pleistosen arah tegasan utama masih sama, utara-selatan.


Aktifitas tektonik periode ini menghasillkan pola struktur naik dan lipatan dengan arah
timur-barat yang dapat dikenali di Zona Kendeng.

Meskipun secara regional seluruh pulau Jawa mempunyai perkembangan tektonik yang
sama, tetapi karena pengaruh dari jejak-jejak tektonik yang lebih tua yang mengontrol
struktur batuan dasar, khususnya pada perkembangan tektonik yang lebih muda, terdapat
perbedaan antara Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Secara regional di pulau Jawa dapat dibedakan adanya 3 satuan tektonik,yaitu:

Cekungan Jawa Utara, yang terdiri dari cekungan Jawa Baratlaut (NW Java Basin)
dan cekungan Jawa Timurlaut (NE Java Basin)
Daerah cekungan Bogor-Kendeng
Daerah cekungan Pegunungan Selatan
Gambar pola struktur Pulau Jawa
GEOLOGI REGIONAL JAWA BARAT

Fisiografi Regional

Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat
dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung dan
Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Gambar 2.1). Martodjojo (1984) memberikan
penamaan Blok Jakarta-Cirebon untuk Zona Dataran Pantai Jakarta sedangkan Zona
Bogor dan Zona Bandung disebut Blok Bogor karena keduanya menurut sejarah
geologi tidak dapat dipisahkan. Cekungan Bogor berupa graben dengan daerah depresi
tidak menerus sepanjang sumbu tengah Jawa, dan barisan punggungan di bagian utara
yang menghubungkan cekungan dengan paparan Sunda.

1. Zona Dataran Pantai Jakarta

Zona Dataran Pantai Jakarta umumnya memiliki morfologi yang datar, pada umumnya
ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi oleh lahar endapan gunung api muda. Zona
Bandung dicirikan oleh beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua yang
menyembul diantara endapan volkanik. Sebagai contoh adalah Gn. Tampomas di
Sumedang, Gn. Walat di Sukabumi dan Rajamandala di daerahPadalarang. Menurut
van Bemmelen (1949), Zona Bandung merupakan puncak geantiklin Jawa Barat
berumur Plistosen yang kemudian runtuh setelah mengalami pengangkatan. Zona
pegunungan selatan dipelajari secara mendalam oleh Pannekoek (1946) op cit Darman, H.,
& Sidi, H., (2000), dimana ia membaginya menjadi 19 morfologi dan menekankan
pentingnya dua generasi morfologi yaitu morfologi Pra-Miosen Akhir, dan morfologi
Resen. Kedua satuan morfologi ini dibatasi oleh ketidakselarasan.

2. Zona Bogor

Zona Bogor, dimana lokasi penelitian berada, umumnya memiliki morfologi berbukit-
bukit, memanjang dengan arah barat-timur dari kota Bogor. Pada daerah sebelah timur
Purwakarta, perbukitan ini membelok keselatan, membentuk perlengkungan disekitar
Kadipaten. Van Bemmelen (1949) menamakan perbukitan ini sebagai antiklinorium. Dapat
diperkirakan bahwa antiklinorium ini berhubungan dengan barisan anjakan-lipatan dari
sistem Sesar Naik Baribis. Sedangkan pada beberapa daerah, intrusi telah membentuk
relief yang lebih terjal.
Gambar 3.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (modifikasi dari van Bemmelen, 1949).

Tektonik Regional

Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa Barat tidak terlepas dari
tektonik kepulauan Indonesia yang merupakan pertemuan tiga lempeng yaitu lempeng
Eurasia yang relatif lebih diam, lempeng Samudra Pasifik yang bergerak relatif ke arah
baratlaut dan lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak ke arah utara (Hamilton, 1979).

Gambar 3.2 Peta perkembangan zona subduksi dan busur magmatik Jawa dari
Berdasarkan
Tersier rekontruksi geodinamika
hingga sekarang SoeriaSoeria
(Modifikasi Atmadja dkk (1994)
Atmadja dkk.dan Hamilton
1994)

(1979), subduksi lempeng Australia ke bawah lempeng Eurasia telah menghasilkan


pola penyebaran batuan volkanik Tersier dan pembentukan gunungapi berarah barat-timur
di Pulau Jawa.Selain itu terbentuk juga intra-arcbasin dan kemudian back-arc basin di
Jawa Barat bagian utara.Back-arc basin inisecara progresif semakin berpindah ke arah
utara sejalan dengan perpindahan jalur gunungapi selama Tersier hingga Kuarter (Gambar
2.2). Berdasarkan perkembangan tektonik di atas, daerah penelitian termasuk ke dalam
Cekungan Bogor merupakan cekungan depan busur pada jaman Kapur-Oligosen Awal dan
sebagai cekungan belakang busur selama kurun waktu Oligo-Miosen dan Mio-Pliosen
(Martodjojo, 1984).

Struktur Regional Jawa Barat

Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994), pola struktur geologi yang


berkembang di Jawa memiliki tiga arah kelurusan struktur yang dominan antara lain:

Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya, terbentuk pada 80-53 juta tahun yang
lalu (Kapur Akhir Eosen Awal).
Pola Sunda, berarah utara-selatan, terbentuk pada 52-32 juta tahun yang lalu
(Eosen Awal-Oligosen Akhir).
Pola Jawa, berarah barat-timur merupakan kala termuda yang terbentuk pada Kala
Neogen, mengaktifkan pola sebelumnya dan mengakibetkan pulau Jawa
mengalami pola kompresi dengan tegasan berarah utara-selatan.

Di Jawa Barat pola struktur yang berkembang terdiri dari pola Meratus, pola Sunda yang
berkembang di bagian barat wilayah Jawa Barat dan pola Jawa yang berkembang berupa
kenampakan sesar-sesar naik. Selain itu juga hadir pola-pola struktur Sumatra yang
berarah baratlaut-tenggara namun tidak terlalu dominan

Struktur geologi di Jawa Barat secara umum memiliki pola struktur utama diantaranya yaitu:
1) Sesar Cimandiri berarah baratdaya-timurlaut, sesar naik Rajamandala serta sesar-sesar
lainnya di Purwakarta (arah ini sering dikenal dengan arah Meratus dengan arah mengikuti
pola busur Kapur.
2) Sesar Baribis berarah baratlaut-tenggara dan sesar-sesar G.Walat, dan kelurusan Ciletuh-
Pulau Seribu yang berarah utara-selatan di lepas pantai utara Jawa Barat yang merupakan
pola sesar utama.Sesar-sesar utama yang berarah utara-selatan di Laut Jawa dan di Cekungan
Sunda telah terbukti sebagai komponen struktur yang mengontrol perkembangan cekungan
berumur Paleogen di daerah tersebut.
Gambar 3.3 Pola struktur yang berkembang di Jawa Barat
(Martodjojo, 1984).
Stratigrafi Regional

Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen
Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi
Jatibarang yang terendapkan secara tidak selaras di atas Batuan Dasar. Urutan startigrafi
regional dari yang paling tua sampai yang muda adalah Batuan Dasar, Formasi Jatibarang,
Formasi Cibulakan Bawah (Talang Akar, Baturaja), Formasi Cibulakan Atas (Massive, Main,
Pre-Parigi), Formasi Parigi dan Formasi Cisubuh,
a. Batuan Basement
Batuan basement adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur Kapur
Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra-Tersier (Sinclair dkk.,
1995).Lingkungan pengendapannya merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis
yang lapuk (Koesoemadinata, 1980).
b. Formasi Jatibarang
Formasi Jatibarang tersusun oleh endapan early synrift, terutama dijumpai pada
bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara.Pada bagian barat cekungan ini
(daerah Tambun-Rengasdengklok), kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat
tipis) dijumpai.Pada bagian bawah Formasi ini, tersusun oleh tuff bersisipan lava (aliran),
sedangkan bagian atas tersusun oleh batupasir.Formasi ini diendapkan pada fasies
continental-fluvial.Minyak dan gas di beberapa tempat pada rekahan-rekahan tuff.Umur
Formasi ini adalah dari kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal.Formasi ini terletak secara
tidak selaras di atas Batuan Dasar.
c. Formasi Talang Akar
Pada synrift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar.Pada awalnya Formasi ini
memiliki fasies fluvio-deltaic sampai fasies marine.Litologi Formasi ini diawali oleh
perselingan sedimen batupasir dengan serpih non-marine dan diakhiri oleh perselingan antara
batugamping, serpih dan batupasir dalam fasies marine.Ketebalan Formasi ini sangat
bervariasi dari beberapa meter di Tinggian Rengasdengklok sampai 254 m di Tinggian
Tambun-Tangerang, hingga diperkirakan lebih dari 1500 m pada pusat Dalaman Ciputat.Pada
akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan berakhirnya sedimen
synrift.Formasi ini diperkirakan berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan
sekitarnya.Formasi ini diendapkan pada kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.Pada
Formasi ini juga dijumpai lapisan batubara yang kemungkinan terbentuk pada lingkungan
delta.Batubara dan serpih tersebut merupakan batuan induk untuk hidrokarbon.
d. Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Litologi
penyusun Formasi Baturaja terdiri dari baik yang berupa paparan maupun yang berkembang
sebagai reef build up (menandai fase post rift) yang secara regional menutupi seluruh
sedimen klastik pada Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian
bawah tersusun oleh batugamping masif yang semakin ke atas semakin
berpori.Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah
tinggian.Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman.Selain itu juga ditemukan
dolomit, interkalasi serpih glaukonit, napal, chert, batubara.Formasi ini terbentuk pada kala
Miosen Awal-Miosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera).Lingkungan pembentukan
Formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari cukup
(terutama dari melimpahnya foraminifera Spiroclypens Sp).Ketebalan Formasi ini berkisar
pada (50-300) m.
e. Formasi Cibulakan
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan
batugamping.Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan batugamping klastik serta
batugamping terumbu yang berkembang secara setempat-setempat.Batugamping terumbu ini
dikenal sebagai Mid Main Carbonate (MMC).Formasi ini dibagi menjadi 2 (dua) anggota,
yaitu anggota Cibulakan Atas dan anggota Cibulakan Bawah.Pembagian anggota ini
berdasarkan perbedaan lingkungan pengendapan, dimana anggota Cibulakan Bawah
merupakan endapan transisi (paralik), sedangkan anggota Cibulakan Atas merupakan
endapan neritik. Anggota Cibulakan Bawah dibedakan menjadi dua bagian sesuai dengan
korelasi Cekungan Sumatera Selatan, yaitu : Formasi Talang Akar dan Formasi Baturaja.
Secara keseluruhan Formasi Cibulakan ini berumur Miosen Awal sampai Miosen Tengah.
Formasi Cibulakan Atas terbagi menjadi tiga anggota, yaitu :
1) Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja.Litologi
anggota ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir
dari halus-sedang.Pada Massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian
atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus serta
foraminifera bentonik seperti Amphistegina (Arpandi dan Padmosukismo, 1975).
2) Main
Anggota Main terendapkan secara selaras di atas anggota Massive.Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang mempunyai ukuran
butir halus-sedang (bersifat glaukonitan).Pada awal pembentukannya, berkembang
batugamping dan juga blangketblangket pasir, dimana pada bagian ini dibedakan dengan
anggota lain itu sendiri yang disebut dengan Mid Main Carbonat.
3) Pre Parigi Anggota
Pre-Parigi terendapkan secara selaras di atas anggota Main.Litologinya adalah
perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau.Anggota ini terbentuk pada kala
Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah-Neritik
Dalam (Arpandi dan Padmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal
dan juga kandungan batupasir glaukonitan.
Pre Parigi Anggota
Pre-Parigi terendapkan secara selaras di atas anggota Main.Litologinya adalah
perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau.Anggota ini terbentuk pada kala
Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah-Neritik
Dalam (Arpandi dan Padmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal
dan juga kandungan batupasir glaukonitan.

f. Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas.Litologi
penyusunnya sebagian besar adalah batugamping abu-abu terang, berfosil, berpori dengan
sedikit dolomit. Adapun litologi penyusun yang lain adalah serpih karbonatan, napal yang
dijumpai pada bagian bawah. Selain itu, kandungan koral dan alga cukup banyak dijumpai
selain juga bioherm dan biostrom.Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh
Cekungan Jawa Barat Utara.Lingkungan pengendapan Formasi ini adalah laut dangkal-neritik
tengah (Arpandi dan Padmosukismo, 1975).Formasi Parigi berkembang sebagai batugamping
terumbu, namun di beberapa tempat ketebalannya menipis dan berselingan dengan
napal.Batas bawah Formasi Parigi ditandai dengan perubahan berangsur dari batuan fasies
campuran klastika karbonat dari Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi
Parigi.Kontak antara Formasi Parigi dengan Formasi Cisubuh yang berada di atasnya sangat
tegas yang merupakan kontak antara batugamping bioklastik dengan napal yang berfungsi
sebagai lapisan penutup.Formasi ini diendapkan pada kala Miosen Akhir-Pliosen.
g. Formasi Cisubuh
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi.Litologi penyusunnya
adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih gampingan.Umur Formasi ini
adalah kala Miosen Akhir sampai Pliosen- Pleistosen.Formasi ini diendapkan pada
lingkungan laut dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral-paralik.
Gambar 3.4 Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Noble dkk,1997)
GEOLOGI REGIONAL JAWA TENGAH

Fisiografi Regional

Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi enam zona fisiografi, yaitu:
Dataran Aluvial Utara Jawa, Gunungapi Kwarter, Antiklinorium Bogor Serayu Utara
Kendeng, Depresi Jawa Tengah, Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Selatan Jawa.

- Dataran Aluvial Utara Jawa mempunyai lebar maksimum 40 km ke arah selatan.


Semakin ke arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km.

- Gunungapi Kwarter di Jawa Tengah antara lain G. Slamet, G. Dieng, G. Sundoro, G.


Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G. Merbabu, dan G. Muria.

- Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan Tegal, zona ini tertutupi oleh
produk gunungapi kwarter dari G. Slamet. Di bagian tengah ditutupi oleh produk
volkanik kwarter G. Rogojembangan, G. Ungaran dan G. Dieng. Zona ini menerus ke
Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan batas antara keduanya terletak di sekitar
Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis di sebelah barat G. Slamet. Sedangkan ke
Arah timur membentuk Zona Kendeng.

- Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan. Sebagian
merupakan dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai ini cukup kontras
dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang relatif lebih terjal.

- Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang
membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari pegunungan serayu selatan
yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk anticlinorium yang berakhir di timur
pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di Pulau jawa, yaitu daerah Luk Ulo,
Kebumen.

- Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa membentuk


morfologi pantai yang terjal. Namun, di Jawa Tengah, zona ini terputus oleh Depresi
Jawa Tengah.
Gambar 2.1 Zona Fisiografis Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut (Van
Bemmelen 1949)

Tektonik Regional
Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland). Pada Daratan Sunda ini
terdapat dua sistem gerak lempeng; Lempeng Laut Cina Selatan di utara dan
Lempeng Samudera Hindia di selatan.Lempeng Laut Cina Selatan (Eurasia) bergerak ke
tenggara sejak Oligosen (Longley, 1997), sedangkan Lempeng Samudera Hindia yang berada
di selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan menunjam ke bawah sistem busur
kepulauan Sumatra dan Jawa (Liu dkk., 1983).

Pulau jawa yang terlihat saat sekarang adalah akibat adanya pergerakan dua lempeng yang
bergerak saling mendekat dan mengalami tabrakan, dimana proses tersebut relatif bergerak
menyerong (oblique) antara lempeng samudra hindia pada bagian barat daya dan lempeng
Benua Asia bagian tenggara (eurasian), dimana lempeng samudra hindia akan menyusup ke
lempeng asia tenggara. Pada zone subduksi akan dihasilkan palung jawa (Java trench) dengan
pergerakan relatif 7 cm/tahun. Pada zone subduksi terdiri dari Acctionary Complex yang
materialnya secara garis besar dari lantai samudra india pada busur muka Jawa.
Fase Tektonika
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-
Australia ke arah timurlaut menghasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate
sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase)
selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben (rendahan).
Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra Jawa-
Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di
daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir-
Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi
Karangsambung- Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents di wilayah Asia
Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996).Basement bersifat
kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi Karangsambung-Meratus dan yang
mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah- 1 (Conoco, 1977) berupa granit
pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement
diorit. Docking (mera-patnya) fragmen mikrokontinen pada bagian tepi timur Sundaland
menyebabkan matinya zona subduksi Karang-sambung-Meratus dan terangkatnya zona
subduksi tersebut menghasilkanPegunungan Meratus.
Gambar 2.2 Rekonstruksi tektonika Pulau Jawa akhir kapur-paleogen

Evolusi tektonik tersier pulau jawa memasuki periode Eosen (Periode Ekstensional
/Regangan). Periode ini terjadi Antara 54 jtl-45 jtl (Eosen), dimana di wilayah Lautan Hindia
terjadi reorganisasi lempeng ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan
pergerakan ke utara India.
Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama
setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl). Berkurangnya secara mencolok gerak India ke
utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama
Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik
regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang ditandai
dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-cekungan: Natuna, Sumatra,
Sunda, Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift.
Pelamparan extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional
yang telah ada sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement
mempengaruhi arah cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara
Sundaland (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan Tenggara).

Gambar 2.3 Rekonstruksi tektonika Pulau Jawa pada eosen

Pada jaman Eosen itu juga disertai oleh pengangkatan terhadap jalur
subduksi,sehingga di beberapa tempat tidak terjadi pengendapan. Pada saat ituterjadi
pemisahan yang penting antara bagian utara Jawa dengan cekungannya yang dalam dari
bagian selatan yang dicirikan oleh lingkungan engendapan darat, paparan dan dangkal. Proses
pengangkatan tersebut berlangsung hingga menjelang Oligosen akhir. Proses yang
dampaknya cukup luas (ditandai oleh terbatasnya sebaran endapan marin Eosen-Oligosen di
Jawa dan wilayah paparan Sunda), dihubungkan puladengan berkurangnya kecepatan gerak
lempeng Hindia-Australia (hanya 3 cm/tahun). Gerak tektonik pada saat itu didominasi oleh
sesar-sesar bongkah, dengan cekungan-cekungan terbatas yang diisi oleh endapan aliran
gayaberat (olistotrom dan turbidit).

Oligosen Akhir-Miosen Awal, terjadi gerak rotasi yang pertama sebesar 20 ke arah
yang berlawanan dengan jarum jam dari lempeng Sunda (Davies, 1984). Menurut Davies,
wilayah-wilayah yang terletak di bagian tenggara lempeng atau sekitar Pulau Jawa dan Laut
Jawa bagian timur, akan mengalami pergeseran-pergeseran lateral yang cukup besar sebagai
akibat gerak rotasi tersebut. Hal ini dikerenakan letaknya yang jauh dari poros rotasi yang
oleh Davies diperkirakan terletak di kepulauan anambas. Akibat gerak rotasi tersebut, gejala
tektonik yang terjadi wilayah pulau Jawa adalah:
a. Jalur subduksi Kapur-Paleosen yang mengarah barat-timur berubah menjadi timur
timurlaut-barat baratdaya (ENE-WSW)
b. Sesar-sesar geser vertical (dip slip faults) yang membatasi cekungan cekunganmuka
busur dan bagian atas lereng (Upper slope basin), sifatnya berubah menjadi sesar-
sesar geser mendatar. Perubahan gerak daripada sesar tersebut akan memungkinkan
terjadinya cekungancekungan pull apart khususnya di Jawa Tengah utara dan Laut
Jawa bagian timur, termasuk Jawa Timur dan Madura. Menjelang akhir Miosen Awal,
gerak rotasi yang pertama daripada lempeng Mikro Sunda mulai berhenti.
c. Miosen Tengah terjadi percepatan pada gerak lempeng Hindia-Australia dengan 5-6
cm/th dan perubahan arah menjadi N200E pada saat menghampiri lempeng Mikro
Sunda. Pada Akhir Miosen Tengah, terjadi rotasi yang kedua sebesar 20-25, yang
dipicu oleh membukanya laut Andaman (Davies, 1984)
Berdasarkan data kemagnitan purba, gerak lempeng Hindia-Australia dalam
menghampiri lempeng Sunda, mempunyai arah yang tetap sejak Miosen Tengah yaitu dengan
arah N200E. Dengan arah yang demikian, maka sudut interasi antara lempeng Hindia
dengan Pulau Jawa akan berkisar antara 70 (atau hampir tegak lurus) Perubahan pola
tektonik terjadi dijawa barat sebagai berikut :
a. Cekunagn muka busur eosen yang menampati cekungan pengendapan bogor, berubah
statusnya menjadi cekungan belakang busur, dengan pengendapan turbidit (a.l. Fm.
Saguling)
b. Sebagai penyerta dari interksi lempeng konvergen, tegasan kompresip yang
mengembang menyebapkan terjadinya sesar-sesar naik yang arahnya sejajar dengan
jalur subduksi dicekunagn belakang busur. Menurut Sujono (1987), sesar- sesar
tersebut mengontrol sebaran endapan kipas-kipas laut dalam. Di jawa tengah
pengendapan kipas-kipas turbidit juga berlangsung didalam cekungan belakang
busur yang mengalami gerak-gerak penurunan melalui sesar-sesar bongkah dan
menyebapkan terjadinya sub cekungan.
Stratigrafi Regional
Stratigrafi Jawa Tengah secara keseluruhan dapat diwakili oleh stratigrafi pada daerah
Karangsambung karena secara umum susunan litologi di daerah Jawa Tengah telah
mengalami beberapa fase tektonik yang menyebabkan susunan stratigrafi manjadi tidak dapat
disusun secara jelas dan stratigrafi di Karangsambung secara regional dapat menjelaskan
tentang bagaimana tatanan stratigrafi di Jawa Tengah secara keseluruhan. Berikut adalah
susunan stratigrafi di daerah Karangsambung mulai dari batuan paing tua hingga termuda.
1. Batuan Pra-tersier
Merupakan batuan tertua yang tersingkap di zona pegunungan serayu selatan, mempunyai
umur kapur tengah sampai denga paleosen yang dikenal sebagai kompleks Mlange Luk Ulo
(Sukendar Asikin, 1974 dalam Prasetyadi 2010).Kelompok batuan ini merupakan bagian dari
kompleks mlange yang terdiri dari graywake, sekis, lava basalt berstruktur bantal, gabbro,
batugamping merah, rijang, lempung hitam yang bersifat serpihan dimana semuanya
merupakan campuran yang dikontrol oleh tektonik.
2. Formasi Karangsambung
Merupakan kumpulan endapan olisostrom, terjadi akibat pelongsoran gaya berat di bawah
permukaan laut, melibatkan endapan sedimen yang belum terkompaksi yang berlangsung
pada lerengparit di bawah pengaruh endapan turbidit. Formasi ini merupakan sedimen pond
dan diendapkan diatas bancuh Luk Ulo, terdiri dari konglomerat polimik, lempung abu-abu,
serpih, dan beberapa lensa batugamping foraminifera besar. Hubungan tidak selaras dengan
batuan Pratersier.
3. Formasi Totogan
Harloff (1933) dan Tjia HD (1996) menamakan sebagai tufa napalm I, sedangkan Suyanto &
Roksamil (1974) menyebutnya sebagai lempung breksi. Litologi berupa breksi dengan
komponen batulempung, batupasir, batugamping, napal, dan tufa.Berumur oligosen-miosen
awal, dan berkedudukan selaras diatas formasi karang sambung.
4. Formasi Waturanda
Fomasi ini terdiri dari batupasir vulkanik dan breksi vulkanik yang berumur miosen awal-
miosen tengah yang berkedudukan selaras diatas formasi totogan.Formasi ini memiliki
anggota Tuff, dimana Harloff (1933) menyebutnya sebagai Eerste Merger Tuff Horizon.
5. Formasi Penosogan
Formasi ini terendapkan selaras diatas formasi waturanda, litologi tersusun dari perselingan
batupasir, batulempung, tufa, napal, dan kalkarenit.Ketebalan formasi ini 1000 meter,
memiliki umur miosen awal-miosen tengah.
6. Formasi Halang
Menindih selaras di atas formasi Penosogan dengan litologi terdiri dari perselingan batupasir,
batulempung, napal, tufa dan sisipan breksi.Merupakan kumpulan sedimen yang dipengaruhi
oleh turbidit bersifat distal sampai proksimal pada bagian bawah dan tengah kipas bawah
laut.Formasi ini memiliki umur miosen awal-pliosen. Anggota Breksi Halang, Sukendar
Asikin menamakan sebagai formasi breksi II dan berjemari dengan formasi Penosogan.
Namun Sukendar Asikin (1974) meralat bahwasanya Anggota Breksi ini menjemari dengan
Formasi Halang (dalam Prasetyadi, 2010)
7. Formasi Peniron
Peneliti terdahulu menamakan sebagai horizon breksi III.Formasi ini menindih selaras diatas
formasi haling dan merupakan sedimen turbidit termuda yang diendapkan di Zona
pegunungan serayu selatan.Litologinya terdiri dari breksi aneka bahan dengan komponen
andesit, batulempung, batupasir dengan masa dasar batupasir sisipan tufa, batupasir, napal,
dan batulempung.
8. Batuan Vulkanik Muda
Memiliki hubungan yang tidak selaras dengan semua batuan yang lebih tua
dibawahnya.Litologi terdiri dari breksi dengan sisipan batupasir tufan, dengan komponen
andesit dan batupasir yang merupakan bentukan aliran lahar pada lingkungan
darat.Berdasarkan ukuran komponen yang membesar kearah utara menunjukkan arah sumber
di utara yaitu Gunung Sumbing yang berumur plistosen (Dari berbagai sumber dalam
Prasetyadi, 2010)
Gamabr 2.4 Stratigrafi Regional Jawa Tengah modifikasi dari
Smyth et al., 2005
GEOLOGI REGIONAL JAWA TIMUR
Fisiografi Regional
Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi,
dari selatan ke utara berturut-turut adalah sebagai berikut:Zona Pegunungan Selatan Bagian
Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial
Jawa Utara, dan Gunung Api Kuarter.
a. Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur
Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang
terdiri dari endapan silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan
kemiringan lapisan yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona Pegunungan
Selatan Jawa Bagian Timur memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari
dekat Yogyakarta sampai ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini pada umumnya
mempunyai topografi yang dibentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai
gejala karst.

b. Zona Solo
Zona Solo dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu:
Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan jalur depresi yang sempit,
berhubungan dengan Pegunungan Selatan di bagian selatan dan ditutupi oleh endapan
aluvial.
Subzona Solo Bagian Tengah. Subzona ini dibentuk oleh deretan gunungapi Kuarter
dan dataran antar gunung api. Gunung api tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung
Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger dan Gunung Ijen di ujung timur Pulau
Jawa. Sedangkan dataran-dataran antar gunungapinya adalah Dataran Madiun, Dataran
Ponorogo, dan Dataran Kediri. Dataran antar gunungapi ini pada umumnya dibentuk
oleh endapan lahar.
Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan depresi yang berbatasan
dengan Subzona Solo di bagian selatan dan Pegunungan Kendeng di bagian utara.
Subzona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan aluvial dan endapan gunung api.
c. Zona Kendeng
Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang mulai dari Semarang yang
kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di bagian utara. Smyth dkk.
(2005) menyatakan bahwa Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah barat-timur. Zona
ini pada umumnya dibentuk oleh endapan volkanik, batupasir, batulempung, dan napal.

d. Zona Randublatung
Zona Randublatung merupakan sinklinorium yang memanjang mulai dari Semarang di
sebelah barat sampai Wonokromo di sebelah timur. Zona ini berbatasan dengan Zona
Kendeng di bagian selatan dan Zona Rembang di bagian utara.

e. Zona Rembang
Zona Rembang merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat-timur,
mulai dari sebelah timur Semarang sampai Pulau Madura dan Kangean. Lebar rata-rata zona
ini adalah 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala tektonik Tersier akhir
(Pringgoprawiro, 1983). Zona ini terdiri dari sikuen Eosen-Pliosen berupa sedimen klastik
laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada zona ini terdapat suatu tinggian (Tinggian
Rembang) yang dibatasi oleh sesar mayor berarah ENE-WSW (Smyth dkk., 2005).

f. Dataran Aluvial Jawa Utara


Dataran Aluvial Jawa Utara menempati dua bagian, yaitu bagian barat dan bagian timur.
Di bagian barat mulai dari Semarang ke timur sampai ke Laut Jawa dan berbatasan dengan
Zona Rembang di bagian timur. Di bagian timur mulai dari Surabaya ke arah barat laut, di
sebelah barat berbatasan dengan Zona Randublatung, di sebelah utara dan selatan berbatasan
dengan Zona Rembang.

g. Gunung Api Kuarter


Gunung Api Kuarter menempati bagian tengah di sepanjang Zona Solo. Gunungapi yang
tidak menempati Zona Solo adalah Gunung Muria. Smyth dkk. (2005) menamakan zona ini
sebagai Busur Volkanik Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen Akhir.
Gambar 1.1 Peta Fisiografi Jawa Timur (modifikasi dari van Bemmelen,
1949).

Stratigrafi Regional

Zona Rembang

Berdasarkan posisi geografisnya, stratigrafi regional, Zona Rembang ini merupakan


bagian dari Cekungan Jawa Timur Utara.Cekungan Jawa Timur bagian utara merupakan
pecahan dari Geosinklin Jawa Utara.Cekungan ini memanjang dengan arah barat-timur,
bagian selatan dibatasi oleh Geantiklin Jawa Selatan, dan bagian utara dibatasi oleh Paparan
Sunda (Van Bemmelen, 1949).Berdasarkan Peta Geologi Lembar Rembang (Kadar dan
Sudijono, 1994), secara regional urutan stratigrafi sebagai berikut:

1. Formasi Tawun (Tmt), terdiri dari batulempung dengan sisipan batugamping, batupasir,
batulanau, dan kalkarenit. Berdasarkan fosil yang ditemukan menunjukan bahwa Formasi
Tawun berumur Miosen Awal (N7N8) dan menunjukan pengendapan di lingkungan laut
dalam, neritik luarbatial atas (outer neritik-upper bathyal).
2. Formasi Ngrayong (Tmn), terdiri dari batupasir, serpih, batulempung, batulanau, dan
sisipan-sisipan batugamping. Pada formasi ini kadang-kadang terdapat sisipan batubara
dan lignit. Batupasir terdiri dari kuarsa, berumur Miosen Awal-Miosen Tengah (N8-N12).
Formasi ini diendapkan dalam lingkungan laut agak dangkal, mulai dari dekat pantai
sampai neritik tengah.

3. Formasi Bulu (Tmb), terdiri dari batugamping berwarna putih keabu-abuan, kadang
berlapis dan pasiran, sering membentuk pelat-pelat (platy), dengan sisipan napal dan
batupasir. Formasi ini berumur Miosen Tengah (N13 - N14) dan diendapkan di
lingkungan laut dangkal, neritik tengah.

4. Formasi Wonocolo (Tmw), terdiri dari batulempung gampingan dengan selingan tipis
batugamping, batupasir galukonit di lapisan bagian bawah, dan napal pasiran bersisipkan
kalkarenit. Berumur Miosen Tengah (N13-N14) dan diendapkan pada laut dangkal
(neritik tepi-neritik tengah).

5. Formasi Ledok (Tml), terdiri dari batulempung abu-abu, napal, batulanau gampingan
dengan sisipan-sisipan tipis batugamping, kadang terdapat batupasir glaukonit. Satuan ini
terletak tidak selaras di atas Formasi Wonocolo dengan bagian bawah dicirikan oleh
batupasir glaukonit berwarna hijau. Diantara Formasi Wonocolo dan Formasi Ledok
terdapat suatu rumpang stratigrafi, yang ditandai dengan hilangnya Zona N15 dan bagian
bawah Zona N16 karena erosi atau proses ketiadaan pengendapan (non-deposition).
Lingkungan pengendapan berkisar antara neritik tengah sampaibatial atasFormasi Mundu
(Tmpm), terdiri dari napal masif berwarna abu-abu keputihan, kaya akan foraminifera
plankton. Formasi Mundu terletak selaras di atas Formasi Ledok. Formasi ini diendapkan
pada laut terbuka (neritik luar sampai bathial) dan berumur Miosen Akhir Pliosen (N17-
N21).

6. Anggota Selorejo Formasi Lidah (QTps), terdiri dari selang-seling lapisan tipis
batugamping dengan kalkarenit yang kaya akan foraminifera plankton. Batuan ini
diendapkan pada Pliosen Akhir-Plistosen berkaitan dengan susut laut atau bersamaan
dengan perlipatan sedimen di Cekungan Jawa Timur Utara.

7. Formasi Lidah (QTpl), terdiri dari batulempung abu-abu dan batulempung hitam dengan
sisipan batupasir yang mengandung moluska. Umur formasi ini adalah Pliosen Akhir-
Plistosen.
8. Formasi Paciran (QTpp), terdiri dari batugamping masif dengan permukaan berbentuk
karen yang terjadi karena pengaruh pelapukan. Batugamping ini bersifat dolomitan, pada
umumnya berfasies terumbu dengan organisme pembentuk terdiri dari koral, ganggang
dan foraminifera. Umur formasi ini tidak dapat dipastikan karena tidak mengandung fosil
penunjuk. Walaupun demikian, karena dipeta geologi Lembar Jatirogo menindih Formasi
Mundu secara tidak selaras, umurnya diduga Pliosen-Plistosen.

9. Endapan Gunungapi Lasem (Qvl), terdiri dari andesit, aglomerat, breksi, tuf lapili, tuf
halus, dan lahar. Satuan batuan ini diperkirakan terbentuk oleh kegiatan gunungapi zaman
Kuarter.

10. Endapan Gunungapi Muria (Qvm), terdiri dari tuf, lahar, dan tuf pasiran. Umurnya
diperkirakan Kuarter.

11. Aluvium (Qa), terdiri dari endapan sungai dan pantai.


Gambar 1.2. Kolom Stratigrafi Lembar Rembang (Kadar dan Sudijono, 1994)
Zona Kendeng

Menurut Pringgoprawiro (1983), maka secara stratigrafi Zona Kendeng dapat dibagi menjadi
unit-unit stratigrafi sebagai berikut

Formasi Pelang : terdiri dari napal abu-abu yang masif sampai berlapis yang kaya fosil
dan batulempung abu-abu dengan sisipan batugamping bioklastik. Lapisan ini
diendapkan pada lingkungan neritik dan berumur Oligosen Akhir - Miosen Awal.
Formasi Kerek : terdiri dari endapan turbidit dengan ketebalan 800 m, sebagian besar
terbentuk oleh lapisan yang menghalus dan menipis keatas dengan tipe struktur sedimen
arus densitas. Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, batulempung, napal, dan
batugamping. Formasi ini berumur Miosen Awal Miosen Akhir.

Formasi Kalibeng (Kalibeng Bawah) : terdiri dari napal abu-abu kehijauan kaya fosil
dengan sisipan tuf berlapis tipis. Sedimen ini diendapkan pada lingkungan bathyal.
Bagian atas dari Formasi Kalibeng (Anggota Atasangin) terdiri atas perlapisan batupasir
tufaan berukuran halus-kasar, tuf putih, dan breksi volkanik. Sedimen ini diendapkan
oleh mekanisme turbidit. Formasi ini berumur Miosen Akhir Pliosen.

Formasi Sonde (Kalibeng Atas) : bagian bawah dari formasi ini (Anggota Klitik)
didominasi oleh perlapisan napal pasiran, batupasir gampingan, dan tuf. Sedangkan
bagian atasnya terdiri atas batugamping mengandung Balanus dan grainstone. Formasi
ini diendapkan di lingkungan laut dangkal dan berumur Pliosen.

Formasi Pucangan : terdiri atas batupasir kasar-konglomeratan, batupasir, batupasir


tufaan, dan lempung hitam yang mengandung moluska air tawar. Di Zona Kendeng
bagian barat dan tengah, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies daratan.
Sedangkan di bagian timur Zona Kendeng, Formasi Pucangan merupakan endapan laut
dangkal. Formasi ini berumur Pliosen Akhir Pleistosen Awal.

Formasi Kabuh : terdiri dari perlapisan batupasir kasar dengan perlapisan silang-siur,
fosil vertebrata, lensa konglomerat, dan tuf. Di Zona Kendeng bagian barat dan tengah,
Formasi Kabuh diendapkan pada lingkungan darat, sedangkan di Zona Kendeng bagian
timur Formasi Kabuh mempunyai fasies yang berbeda-beda, fasies darat berangsur-
angsur berubah menjadi fasies laut yang makin keatas berubah ke batuan volkanik yang
diendapkan pada lingkungan pantai.
Formasi Notopuro : terdiri dari endapan lahar, tuf, dan batu pasir tufaan berumur
Pleistosen yang diendapkan pada lingkungan darat.

Gambar 1.3 Kolom stratigrafi umum Zona Kendeng (Pringgoprawiro, 1983)


Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur Utara
Perkembangan tektonik yang berkembang di Cekungan belakang busur Jawa Timur
tidak bisa lepas dari aktifitas penunjaman Lempeng Australia di bawah Lempeng benua Asia
yang menghasilkan busur magmatik. Daerah Cekungan Jawa Timur Utara secara umum
dibedakan menjadi empat propinsi tektonik (Darman & Sidi, 2000), dari utara ke selatan
yaitu Paparan benua stabil (Zona Rembang) dan zona transisi (Zona Randublatung)

1. Cekungan laut dalam labil (Zona Kendeng)


2. Zona Vulkanik (Sabuk Vulkanik)
3. Paparan benua bagian selatan (Pegunungan Selatan)

Gambar 1.4 Pembagian Struktur Regional Cekungan Jawa Timur Utara.(Latief et al,
1990 dalamDarman & Sidi, 2000)

Perkembangan TektonikCekungan Jawa Timur Utara

Cekungan Jawa Timur ini mengalami tiga tahapan tektonik yang dikenal berpengaruh
terhadap seri batuan Kenozoikum di Indonesia (van Bemmelen, 1949 dalam Djuhaeni, 1997).
Sejarah tektonik diawali dengan tumbukan lempeng antara Samudera Hindia dan Lempeng
Sunda pada Kapur Akhir. Kemudian diikuti fase tektonik tarikan (extensional tectonic) yang
terjadi pada interval Kapur Atas Eosen Tengah, menghasilkan sesar - sesar tarik yang
membentuk sistem tinggian (horst) dan rendahan (graben) dengan orientasi arah timur laut-
baratdaya.
Gambar 1.5 Tumbukan Lempeng Samudera Hindia dan Lempeng Sunda pada Kapur Akhir
sebagai awal tektonik pada daerah telitian (Koesoemadinata dkk., 1994)

Fase tektonik berikutnya berupa fase tekanan terjadi pada Miosen Tengah yang
ditandai oleh peristiwa penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan fauna,
juga oleh hiatus di daerah Cepu (Baumann, 1975 dalam Djuhaeni, 1997) dan dicirikan oleh
perubahan fase transgresi menjadi fase regresi di seluruh Zona Rembang (Muin, 1985 dalam
Djuhaeni, 1997) yang menyebabkan ketidakselarasan secara regional.

Gambar 1.6 Fase pertama berupa fase ekstensional pada Eosen Oligosen.
(Koesoemadinata dkk., 1994)

Fase tektonik ketiga merupakan aktifitas tektonik terbesar yang bersifat tekanan dan
berulang beberapa kali mulai Mio-Pliosen sampai dengan Pleistosen, dimana mengaktifkan
kembali sistem struktur sebelumnya dengan mengakibatkan inversi dari graben berupa sesar -
sesar turun dan naik, disertai pengangkatan yang mengakibatkan kenampakan seperti
sekarang ini.

Gambar 1.7 Fase kedua berupa fase tekanan Miosen Tengah yang diikuti oleh fase ketiga fase
tekanan (MioPliosen) menyebabkan inversi dari graben (Koesoemadinata dkk.,1994)

ke Sumatera. Di Jawa Tengah hampir semua sesar di Jalur Serayu Utara dan Selatan
mempunyai arah yang sama, yaitu barat-timur. Pola Jawa ini menerus sampai ke
Pulau Madura dan di utara Pulau Lombok. Kemenerusan ini mengakibatkan Pulau
Jawa menghasilkan Zona Anjakan-Lipatan (Thrust Fold Belt) di sepanjang Pulau
Jawa dan berlangsung sampai sekarang.

Struktur Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Utara

Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian utara (NorthEast Java
Basin), yaitu Zona Kendeng, Zona RembangMadura, Zona PaparanLaut Jawa (Stable
Platform), dan Zona Depresi Randublatung. Secara ringkasnya, pada Cekungan Jawa Timur
mengalami dua periode waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau pola
tektoniknya berubah, yaitu:

Pada zaman Paleogen (Eosen-Oligosen), yang berorientasi timurlaut-baratdaya (searah


dengan pola Meratus). Pola ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian utara
(cekungan belakang busur) mengalami rejim tektonik regangan, diindikasikan oleh
litologi batuan dasar berumur Pra-tersier yang menunjukkan pola akresi berarah
timurlaut-baratdaya berupa orientasi sesar-sesar di batuan dasar, horst atau sesar-sesar
anjak, dan graben atau sesar tangga.
Pada zaman Neogen (Miosen-Pliosen) berubah menjadi relatif timur-barat (searah dengan
memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga
menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar-sesar anjak, dan menyebabkan cekungan
Jawa Timur Utara terangkat.
Pada masa sekarang (Neogen-Resen), pola tektonik yang berkembang di Pulau Jawa dan
sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa Timur bagian utara merupakan zona penunjaman
(convergent zone), antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia Australia.

Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa Timur bagian utara pada umumnya
berarah barat-timur, sedangkan struktur patahannya umumnya berarah timurlaut-baratdaya,
dan ada beberapa sesar naik berarah timur-barat.

Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan yang dapat dibedakan
menjadi 2 bagian, yaitu :

1. bagian timur, arah umum poros antiklin membujur dari baratlaut-timur tenggara.
2. bagian barat, masing-masing porosnya mempunyai arah barat-timur dan secara umum
antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur.
SEJARAH GEOLOGI PULAU JAWA
Pengaruh Gerak Lempeng
a. Kala kapur hingga oligosen tengah diperkirakan busur vulkanis terbentuk di Pulau
Jawa dan satu busur vulkanis terbentuk di daratan Pulau Jawa.
b. Busur non volkanis di perkirakan berumur eosen, tersusun oleh fragmen kerak bumi
yang tertimbun pada jalur subdaksi dan mengandung kwarsa.
c. Antar busur volkanis dan non volkanis terdapat cekungan busur luar yang relative
dalam, terletak di sekitar pantai utara Jawa.
d. Akhir miosen dan oligosen terjadi perubahan tegas yaitu jalur subdaksi bergeser ke
selatan.
e. Busur volkanis diperkirakan di pantai selatan Pulau Jawa sekarang. Gunung api
muncul di dasar laut membentuk deretan gunung api. Aktivitas vulkanik ini
merupakan tahap pertama pembentukan Pulau Jawa.
f. Satu busur gunungapi dengan laut dangkal yang luas sampai Kalimantan (sampai
pliosen tengah)
g. Busur dalam bergeser ke utara hingga pantai utara Jawa, laut dangkal mengalami
pengangkatan membentuk daratan sehingga sedimen marin muncul ke atas
permukaan laut. Kala pliosen kuarter garis besar pulau Jawa sudah terbentuk.
h. Akhir pliosen di perkirakan Pulau Jawa sering tenggelam yang muncul hanya
perbukitan di bagian selatan Jawa.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.Januari 2009.GeologiGunung
Ungaran.Wordpress.http://ptbudie.wordpress.com/
Asikin, Sukendar. Geologi Struktur Indonesia. Bandung. ITB Press
Rovicky.Juni2006.Patahan-patahan yang Membelah Pulau Jawa.
http://rovicky.wordpress.com/
Satyana, Awang. 27 Desember 2007. Indentasi JawaTimur, Depresi Lumajang, dan
Kelurusan Semeru-Bromo-Penanjakan. IAGI. http://www.mail-archive.com/iagi-
net@iagi.or.id/msg20811.html
Simandjuntak. 2004. Tektonika. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi bandung

Anda mungkin juga menyukai