Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cekungan Bogor merupakan cekungan yang terisi oleh endapan gravitasi yang
memanjang di tengah-tengah Provinsi Jawa Barat. Cekungan ini juga merupakan salah
satu kunci dari dipelajarinya evolusi geologi Pulau Jawa. Daerah penelitian merupakan
bagian dari Cekungan Bogor, tepatnya di daerah Sibanteng-Kalong Dua, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Daerah tersebut termasuk ke dalam Cekungan Bogor yang membentuk
Zona Antiklinorium.

Berdasarkan peta geologi regional lembar Bogor (Effendi, 1998), daerah


Leuwiliang-Leuwisadeng memiliki persebaran batuan dan pola struktur yang bervariasi.
Pola struktur yang terlihat secara umum berupa antiklinorium. Kenampakan topografi dari
daerah ini pun cukup menarik.

Penelitian ini membahas mengenai segala aspek geologi daerah Leuwiliang-


Leuwisadeng secara khusus. Aspek-aspek tersebut berupa sedimentologi, stratigrafi,
struktur geologi, mikropaleontologi, geomorfologi dan petrografi.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
pendidikan tingkat sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas
Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung.

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kondisi geologi yang meliputi sebaran
litologi, geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi daerah Sibanteng-Kalong Dua,
Kabupaten Bogor. Penelitian ini didasarkan pada analisis data pengamatan unsur-unsur
geologi di lapangan dengan cara pemetaan geologi. Hasil dari penelitian berupa peta
lintasan, peta geomorfologi, dan peta geologi.

1
1.3. Lokasi Penelitian

Secara administratif daerah penelitian berada di Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten


Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1.1). Daerah penelitian memiliki luas ± 25 km2,
terletak sekitar 30 km ke arah barat dari Kota Bogor dan berada pada ketinggian 23 – 396
mdpl. Dengan menggunakan transportasi darat, daerah penelitian dapat dicapai dalam
waktu ± 4 jam perjalanan dari Bandung. Letak geografis daerah penelitian yaitu
106034’00” – 106036’30” LS dan 6032’30” – 6035’00” BT.

Lokasi
Penelitian

Gambar 1.1. Peta Lokasi Daerah Penelitian

1.4. Kondisi Umum Daerah Penelitian

Sebagian besar daerah penelitian merupakan kawasan hutan tropis, persawahan,


perladangan, dan pemukiman penduduk. Kondisi tanah umumnya cukup subur dengan
curah hujan yang tinggi setiap tahun. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh dengan
baik disini, baik tanaman padi untuk daerah yang beririgasi dan tanaman sayuran maupun
perkebunan untuk daerah non-irigasi.

Masyarakat yang tinggal di daerah ini pada umumnya adalah suku Sunda dan
sebagian besar beragama Islam. Mata pencaharian utama mereka adalah sebagai petani,
peternak, gurandil (penambang emas tradisional), buruh, tukang ojek, pegawai negri, dan
pedagang. Ketersedian air bersih pada sebagian masyarakat di daerah ini masih kurang,
apalagi di saat musim kemarau, dimana sumur dan mata air surut atau bahkan kering.

2
Sarana perhubungan di daerah penelitian umumnya cukup baik. Untuk
menghubungkan satu desa dengan desa lainnya sebagian besar berupa jalan berbatu dan
jalan tanah, dan sebagian kecil berupa jalan aspal yang dapat dilalui oleh kendaraan roda
dua dan roda empat. Sedangkan untuk mencapai daerah-daerah pelosok masih harus
melalui jalan setapak. Sarana transportasi satu-satunya di daerah penelitian adalah sepeda
motor yang dipakai sebagai ojek.

Kondisi singkapan umumnya cukup baik dan segar, terutama yang ditemukan di
sungai-sungai. Sedangkan di jalan raya, singkapan umumnya telah mengalami pelapukan
kuat menjadi tanah.

1.5. Batasan Masalah

Ruang lingkup penelitian meliputi tinjauan masalah geologi, dan analisa proses
sedimentasi yang terjadi. Pembahasan permasalahan geologi meliputi geomorfologi,
stratigrafi, struktur geologi, dan sejarah geologi. Pembatasan masalah ditujukan untuk
menghindari pembahasan yang tidak fokus pada tujuan penelitian.

1.6. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalu empat tahap yaitu : tahap persiapan, tahap
penelitian, pengambilan data lapangan, tahap analisis dan pengolahan data, dan tahap
penulisan laporan.

1.6.1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan ini dilakukan untuk mempelajari geologi regional daerah penelitian
serta studi khusus terkait yang diambil dari berbagai literatur berupa laporan, jurnal,
proceeding, dan makalah-makalah geologi terdahulu serta tulisan ilmiah lainnya yang
berkaitan dengan daerah penelitian.

Pada tahap ini dilakukan pula interpretasi citra satelit dan peta topografi skala 1 :
25.000 yang selanjutnya akan digunakan untuk memperoleh gambaran umum mengenai

3
kondisi geologi dan morfologi daerah penelitian sehingga dapat digunakan untuk
perencanaan lintasan dan kegiatan lapangan lainnya.

1.6.2. Tahap Penelitian dan Pengambilan Data Lapangan

Tahap pengambilan data lapangan dilakukan selama dua kali, selama kurang lebih
20 hari (pertengahan bulan Juli – awal bulan Agustus dan pertengahan bulan Oktober)
dengan luas daerah penelitian ± 25 km2 (5 km x 5 km). Tahap ini ditujukan untuk
memperoleh data geologi detail yang akan dianalisis.

Pengambilan data lapangan meliputi:

• Observasi geomorfologi

• Observasi singkapan dan deskripsi batuan

• Pengamatan dan pengukuran unsur struktur geologi

• Pengambilan contoh batuan untuk analisis mikropaleontologi dan


petrografi

• Sintesa lapangan

Hasil dari tahapan ini berupa catatan lapangan (deskripsi singkapan, deksripsi
batuan, dan sketsa), contoh batuan , foto singkapan, peta lokasi pengamatan, peta
geomorfologi, dan peta geologi sementara.

1.6.3. Tahap Pengolahan Data dan Analisis

Analisis dan pengolahan data dilakukan di laboratorium dan studio pengolahan


data. Tahap ini dilakukan bersamaan dengan studi pustaka, studi literatur, dan diskusi
dengan dosen pembimbing. Analisis laboratorium dan pengolahan data yang dilakukan
adalah sebagai berikut:

• Analisis mikropaleontologi untuk menentukan umur dan lingkungan pengendapan


dari suatu batuan di daerah penelitian berdasarkan kehadiran fosil foraminifera.

• Analisis petrografi untuk identifikasi batuan, penentuan mineral pembentuk


batuan, dan tekstur yang terbentuk.

4
• Pembuatan peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi, dan
penampang geologi.

1.6.4. Tahap Penulisan Laporan

Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian berupa laporan hasil penelitian.
Laporan berupa skripsi yang memuat juga peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi,
peta geologi, dan penampang geologi. Skripsi yang disusun akan memberikan informasi
dan penjelasan mengenai kondisi geologi daerah penelitian.

1.7. Sistematika Penelitian

Sistematika pembahasan skripsi ini terbagi menjadi empat bab. Berikut ini
penjelasan mengenai masing-masing bab tersebut.

Bab I : Pendahuluan yang membahas tentang latar belakang, maksud dan tujuan,
lokasi dan kesampaian daerah penelitian, kondisi umum daerah
penelitian, batasan masalah, tahapan penelitian, dan sistematika
pembahasan.

Bab II : Geologi Regional yang membahas tentang fisiografi, stratigrafi regional,


dan struktur geologi regional untuk memberikan gambaran umum tentang
geologi daerah penelitian.

Bab III : Geologi Daerah Penelitian yang menyajikan data hasil pengamatan
lapangan dan analisis laboratorium meliputi kajian tentang geomorfologi,
stratigrafi, dan struktur geologi.

Bab IV : Sejarah geologi daerah penelitian.

Bab V : Kesimpulan dari hasil studi Geologi Regional di Daerah Sadeng -


Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

5
BAB II
GEOLOGI REGIONAL

2.1. Fisiografi Jawa Barat

Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat
bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu:

a. Dataran Pantai Jakarta (Plain of Batavia);


b. Zona Bogor (Bogor Zone);
c. Zona Bandung (Bandung Zone); dan
d. Zona Pegunungan Selatan (Southern Mountains)

Daerah Penelitian

Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949). Terlihat bahwa daerah
penelitian terletak di Zona Bogor yang dibatasi oleh Dataran Pantai
Jakarta di bagian utara, Zona Bandung di bagian selatan dan timur, dan
Zona Pegunungan Bayah di bagian barat.

6
Berdasarkan pembagian di atas, secara fisiografi daerah penelitian termasuk ke
dalam Zona Bogor bagian utara. Martodjojo (1984) menyatakan bahwa daerah ini
memanjang barat - timur melalui Kota Bogor, Purwakarta menerus ke Bumiayu di Jawa
Tengah, dengan lebar maksimum sekitar 40 km.

Zona Bogor umumnya mempunyai morfologi berbukit-bukit. Perbukitan disini


umumnya memanjang barat - timur di sekitar kota Bogor, sedangkan pada daerah sebelah
timur Purwakarta perbukitan ini membelok ke selatan, membentuk perlengkungan di
sekitar kota Kadipaten. Van Bemmelen (1949) menamakan perbukitan ini sebagai
antiklinorium yang terdiri dari perlipatan kuat lapisan yang berumur Neogen.

Beberapa intrusi telah membentuk morfologi yang lain pula. Morfologi intrusi disini
umumnya mempunyai relief lebih terjal dibanding dengan tubuh intrusi di Zona Bandung
yang berada di sebelah selatannya. G. Sanggabuana di Purwakarta, G. Kromong di
Cirebon, merupakan contoh tubuh batuan terobosan di daerah ini. Sungai-sungai utama di
daerah ini tidak jarang yang berbentuk aliran antecedent (S. Cimanuk terhadap struktur
Baribis) dan sebagian lagi superposed (S. Ciliwung) terhadap struktur batuan yang ada.
Kebanyakan aliran utama berarah dari selatan ke utara. Anak-anak sungai di daerah yang
terlipat umumnya bersifat subsekuen terhadap jurus perlipatan. Di beberapa tempat,
khususnya di daerah Krawang Selatan, sungai membentuk pola dendritik, disebabkan oleh
sifat batuan yang dilaluinya, yakni Formasi Subang, yang tidak berlapis dan monoton
(Martodjojo, 1984).

2.2. Stratigrafi Regional

Menurut Martodjojo (1984), wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi tiga mandala
sedimentasi, yaitu:

- Mandala Paparan Kontinen Utara terletak pada lokasi yang sama dengan Zona
Dataran Pantai Jakarta pada pembagian zona fisiografi Jawa Bagian Barat oleh
van Bemmelen (1949). Mandala ini dicirikan oleh endapan paparan yang
umumnya terdiri dari batugamping, batulempung, dan batupasir kuarsa, serta
lingkungan pengendapan umumnya laut dangkal dengan ketebalan sedimen dapat
mencapai 1500 m.

7
- Mandala Sedimentasi Banten hanya diketaui dari sedikit data. Pada Tersier Awal,
mandala ini cenderung menyerupai Mandala Paparan Kontinen, sedangkan pada saat
Tersier Akhir, ciri dari mandala ini sangat mendekati Mandala Cekungan Bogor.

- Mandala Cekungan Bogor terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen Utara. Pada
pembagian zona fisiografi Jawa Barat van Bemmelen (1949), mandala ini meliputi
Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala ini merupakan
mandala sedimentasi yang dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan
berupa fragmen batuan beku dan batuan sedimen, seperti andesit, basalt, tuf, dan
batugamping. Ketebalan sedimen diperkirakan lebih dari 1700 m.

Berdasarkan pembagian mandala sedimentasi di atas, daerah penelitian terletak pada


Mandala Cekungan Bogor. Mandala Cekungan Bogor menurut Martodjojo (1984)
mengalami perubahan dari waktu ke waktu sepanjang zaman Tersier–Kuarter. Mandala ini
terdiri dari tiga siklus pengendapan. Pertama-tama diendapkan sedimen laut dalam,
kemudian sedimen darat yang berangsur berubah menjadi sedimen laut dangkal, dan yang
terakhir diendapkan sedimen dengan mekanisme aliran gravitasi. Siklus pertama dan
kedua sedimen berasal dari utara, sedangkan siklus ketiga berasal dari selatan. Lebih
lanjut, Martodjojo (1984) telah membuat penampang stratigrafi terpulihkan utara-selatan
di Jawa Barat (Gambar 2.2).

Menurut Martodjojo (1984), Mandala Cekungan Bogor didasari oleh kompleks


batuan yang terdiri dari batuan beku dan metamorf yang berumur Kapur sampai Eosen
Awal yang merupakan batuan tertua pada mandala ini. Kompleks batuan tersebut adalah
melange yang merupakan suatu prisma akresi sejak Kapur sampai Eosen.

Di sebelah selatan cekungan, Mandala Cekungan Bogor didasari oleh kompleks melange
yang berumur Kapur sampai Eosen. Di atas kompleks melange tersebut diendapkan
Formasi Ciletuh yang diperkirakan berumur Eosen Awal dan merupakan endapan laut
dalam (pond deposit) dengan litologi berupa lempung dan pasir kuarsa dengan sisipan
breksi, kaya fragmen batuan metamorf dan beku ultrabasa. Di atas Formasi Ciletuh
diendapkan Formasi Bayah secara selaras yang tersusun dari batupasir kuarsa dan
batulempung dengan sisipan batubara. Formasi yang terendapkan pada lingkungan darat
sampai laut dangkal ini diperkirakan berumur Eosen Tengah-Eosen Akhir. Puncak
pendangkalan di sebagian atau seluruh Pulau Jawa diperkiraan terjadi bersamaan dengan
pembentukan Formasi Bayah.

8
Bentang

Bojonglopang

Cimandiri

= Kisaran Umur
= Daerah Penelitian

Gambar 2.2. Penampang Stratigrafi Utara-Selatan Jawa Barat (Martodjojo, 1984).


Daerah penelitian terletak di sebelah timur penampang stratigrafi pada
gambar ini. Hanya sebagian daerah penelitian yang terlihat yakni Formasi
Cibulakan.

Dan Formasi Batuasih diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Bayah.
Formasi ini diperkirakan berumur Oligosen Awal. Ciri litologi formasi ini adalah lempung
napalan dengan sisipan pasir kuarsa. Pada beberapa horizon terdapat napal yang kaya
foraminifera plankton, foraminifera bentos, dan juga moluska. Bagian teratas dari Formasi
Batuasih lebih bersifat gampingan dan mengandung lensa-lensa gamping kalkarenit. Dari
ciri batuannya dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapannya adalah transisi
sampai laut dangkal.

Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Awal diendapkan Formasi Rajamandala, yang
memiliki nama lain berupa Batugamping Tagogapu (Leopold dan van der Vlerk, 1931 op
cit. Martodjojo, 1984) dan Satuan Gamping Terumbu (Effendi, 1974 op cit. Martodjojo,

9
1984). Bagian bawah formasi ini memiliki hubungan menjemari dengan Formasi Batuasih
dan keduanya terletak tidak selaras di atas Formasi Bayah, tetapi di Teluk Bayah formasi
ini tidak ditemukan. Formasi ini hanya terdiri dari gamping yang kadang-kadang
berkembang sebagai terumbu. Penyebaran dari satuan ini hanya terdapat pada jalur
tertentu, memanjang dari Citarate di Bayah-Sukabumi, dan menerus ke Rajamandala,
sehingga disimpulkan pada waktu Formasi Rajamandala diendapkan, daerah poros
Citarate-Sukabumi-Rajamandala merupakan pinggir dari suatu cekungan, berbatasan
dengan daratan di selatan Ciletuh. Dari sistem terumbu yang ada menunjukkan arah laut
terbuka ke utara (Martodjojo, 1984).

Sejak Miosen Awal sampai Miosen Akhir di Cekungan Bogor diendapkan endapan
aliran gravitasi. Pada Miosen Awal, di daerah selatan diendapkan Formasi Jampang yang
terdiri dari breksi dan tuf, sedangkan di utaranya diendapkan Formasi Citarum yang terdiri
dari tuf dan greywacke. Kedua satuan ini merupakan satu sistem kipas laut dalam, dengan
Formasi Jampang yang merupakan bagian dalam dan Formasi Citarum merupakan bagian
luar. Pada Miosen Tengah diendapkan Formasi Saguling berupa breksi yang ditutupi
secara selaras oleh Formasi Bantargadung berupa lempung dan greywacke berumur akhir
Miosen Tengah. Endapan termuda di Cekungan Bogor berupa breksi, berumur Miosen
Akhir, termasuk Formasi Cigadung di bagian Lembah Cimandiri dan Formasi Cantayan di
bagian utara cekungan. Di atas Formasi Cantayan diendapkan secara tidak selaras
Endapan Vulkanik Plio-Pleistosen hingga Resen (Martodjojo, 1984).

Di sebelah utara cekungan, batuan tertua yang dapat diteliti adalah batuan andesit
dan tufa berumur Kapur hingga Eosen yang merupakan Formasi Jatibarang (Arpandi dan
padmosoekismo, 1975 op cit. Martodjojo, 1984). Di atas formasi ini diendapkan secara
tidak selaras Formasi Cibulakan yang berumur Miosen Tengan. Ciri litologi formasi ini
adalah berupa serpih karbonan berwarna coklat keabu-abuan dengan sisipan lapisan
batubara di bagian bawah, batugamping berwarna putih kotor dengan sisipan serpih dan
pasir tipis di bagian tengah, dan pasir gampingan berselang-seling dengan napal dan
lempung di bagian atas. Lingkungan pengendapan dari formasi ini berupa laut dangkal. Di
daerah Leuwiliang yang terletak di sebelah barat dari sebaran formasi ini, formasi
Cibulakan berubah fasies menjadi Formasi Bojongmanik dengan lingkungan pengendapan
berupa daerah transisi antara pantai sampai lagoon. Formasi Bojongmanik ini memiliki

10
kisaran umur yang hampir sama dengan Formasi Cibulakan, yakni Miosen Tengah ( N9 –
N13 ) (Martodjojo, 1984).

Di atas Formasi Cibulakan diendapkan secara selaras Formasi Parigi yang berupa
satuan batugamping di Jawa Barat. Formasi Subang diendapkan secara selaras di atas
Formasi Parigi. Ciri litologi Formasi Subang berupa lempung berlapis yang semakin
keatas berubah menjadi masif dan tak berlapis dan lempung berwarna coklat. Formasi
Subang ditutupi secara selaras oleh Formasi Kaliwangu yang umumnya terdiri dari
batupasir dan batulempung (Martojojo, 1984).

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bogor (Effendi, 1998) daerah penelitian terletak
pada Formasi Bojongmanik (Tmb), dan Tuf - Breksi (Tmtb) Secara singkat stratigrafi
regional daerah penelitian yaitu:

- Formasi Bojongmanik (Tmb)

Formasi ini terdiri dari batupasir, tuf batuapung, napal, batugamping, dan
batulempung (Effendi, 1998). Menurut Martodjojo (1984), formasi ini memiliki
lingkungan pengendapan transisi dari pantai hingga lagoon. Formasi ini berumur
MiosenTengah.

- Tuf dan Breksi (Tmtb)

Satuan batuan ini berumur Miosen Akhir dan diendapkan secara tidak selaras di
atas satuan batuan Formasi Bojongmanik (Tmb). Satuan batuan ini terdiri dari
litologi berupa tuf batuapung, breksi tufaan fragmen andesit, batupasir tuf,
lempung tufaan dengan kayu terkersikkan dan sisa tumbuhan, serta batupasir
berlapis silang.

2.3. Struktur Geologi Regional

Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa bagian barat dipengaruhi oleh
tektonik kepulauan Indonesia bagian barat yang merupakan produk konvergensi Lempeng
Indo-Australia yang relatif bergerak ke arah utara dan Lempeng Eurasia yang relatif diam
(Hamilton, 1979). Berdasarkan rekonstruksi geodinamika (Katili, 1975 op.cit Hamilton,
1979), subduksi lempeng Australia kebawah lempeng Eurasia yang aktif pada Eosen telah
menghasilkan sistem busur kepulauan yang dapat diikuti kemenerusannya mulai dari

11
Burma di baratlaut, Andaman, Sumatra, Jawa, sampai ke Lengkong Banda di Indonesia
bagian timur (Koesoemadinata, 2001). Aktivitas lempeng yang bekerja sangat berperan
dalam membentuk tatanan tektonik suatu daerah, baik dalam membentuk blok-blok
ketinggian atau blok-blok depresi yang dapat berubah fungsi menjadi cekungan-cekungan
pengendapan. Aktivitas lempeng tersebut menjadi faktor yang sangat penting dalam
pembentukkan tatanan struktur dan stratigrafi suatu daerah.

Daerah Penelitian

Gambar 2.3 Peta Pola Struktur Jawa Barat (Martodjojo, 2003)

Terdapat 3 pola struktur dominan yang berkembang di Pulau Jawa berdasarkan


Martodjojo (2003), yaitu:

a. Pola Meratus berarah timurlaut-baratdaya yang merupakan pola tertua dan


terbentuk pada 80-53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal). Pola ini
diwakili oleh Sesar Cimandiri, Sesar Naik Rajamandala serta sesar-sesar lainnya.
Pola Meratus yang dihasilkan oleh tektonik kompresi diduga merupakan arah
awal penunjaman lempeng Samudra Indo-Australia ke bawah Paparan Sunda.

b. Pola Sunda, berarah utara-selatan yang terbentuk pada 53-32 juta tahun yang lalu
(Eosen Awal – Oligosen Awal). Pola ini berupa kelurusan Ciletuh – Kepulauan
Seribu. Pola Sunda dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan ini

12
membentuk horst dan graben yang ditafsirkan terbentuk pada akhir Eosen. Pola
ini umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara
Jawa Barat.

c. Pola Jawa berarah barat-timur merupakan pola struktur termuda yang terbentuk
pada Kala Neogen yang mengaktifkan pola sebelumnya dan mengakibatkan
Pulau Jawa mengalami pola koompresi dengan tegasan berarah utara-selatan.
Pola ini diwakili oleh Sesar Baribis, sesar-sesar di lembah Cimandiri dan G.
Walat. Pada Kala Miosen Awal-Pliosen, Cekungan Bogor yang Kala Eosen
Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, berubah menjadi
cekungan belakang busur magmatik sehingga terbentuk sesar-sesar anjakan dan
lipatan.

Berdasarkan peta pola struktur Jawa barat (Gambar 2.3), daerah penelitian
dipengaruhi oleh struktur Pola Jawa dan Pola Sunda. Pola Sunda yang berarah utara –
selatan ditafsirkan terbentuk pada Kala Eosen, sedangkan Pola Jawa yang berarah barat –
timur ditafsirkan terbentuk pada Neogen.

13

Anda mungkin juga menyukai