Anda di halaman 1dari 6

Novel “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer”

Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya ini adalah novel
kelimanya yang telah diterbitkan oleh KPG. Novel ini sebenarnya juga disusun oleh Koesalah
Soebagyo Toer dan Ediati Kamil beserta cerita-cerita dari dari digul. Novel ini sebenarnya
adalah sebuah kumpulan catatan tentang kisah para perawan yang masih remaja semasa awal
kependudukan Jepang sampai setelah Jepang menyerah kepada pihak sekutu. Novel ini terdiri
dari delapan bab yang kesemuanya merupakan cerita menyedihkan tentang kehidupan rakyat
Indonesia terutama para wanitanya yang dijadikan sebagai budak.

Pendudukan Jepang yang berlangsung pada maret 1942 sampai agustus 1945 di Indonesia
telah membuat seluruh lapisan masyarakat hidup dalam kekurangan, kelaparan, dan kemiskinan.
Begitu juga dengan keadaan perawan remaja pada saat itu, sandang dan pangan merupakan
penderitaan yang tiada habisnya karena dua hal tersebut sangat sulit dicari. Akan tetapi muncul
sedikit pengharapan dari pihak pemerintah Dai Nippon itu sendiri. Sayup-sayup terdengar kabar
bahwa pemerintah Dai Nippon akan memberikan janji untuk belajar kepada seluruh pemuda dan
pemudi Indonesia ke Tokyo dan Singapura. Janji tersebut didengar oleh Pram pada tahun 1943
saat bekerja sebagai juru ketik di kantor Domei. Janji tersebut sebenarnya hanya menjadi desas-
desus semata karena tidak ada berita tentang janji tersebut yang tercetak pada media massa tetapi
karena janji tersebut yang mengeluarkan adalah pihak Dai Nippon maka janji tersebut pasti akan
terrealisasi.

Janji itu benar-benar direalisasikan mulai pada tahun 1943. Pemerintah Dai Nippon
memerintahkan kepada semua orang tua yang mempunyai anak gadis untuk segera
mendaftarkannya kepada penerintah. Maksud pendaftaran anak gadis tersebut adalah untuk
mereka akan disekolahkan. Ternyata janji Jepang tersebut mendapat respon yang hangat dari
para perawan Indonesia itu. Respon hangat yang keluar dari para perawan ini muncul karena
beberapa alasan. Alasan yang pertama adalah gadis-gadis yang hatinya penuh berisikan cita-cita
mulia untuk maju dan berbakti pada masyarakat dan bangsanya akan lebih mudah terpikat
dengan janji sekolah di luar negeri yang dijanjikan pihak Jepang tersebut tanpa berpikiran
panjang. Yang kedua mengenai keadaan di Indonesia yang sangat mencekik memudahkan orang
untuk melarikan diri kepada khayalan, sehingga mudah untuk masuk ke perangkan Jepang.
Alasan terakhir adalah peran orang tua yang mengabdi pada Jepang.

Ketiga alasan tersebut membuat para gadis tersebut dengan senang hati ataupun berat hati
harus menjalankan perintah Jepang terssebut. Para gadis tersebut diangkut oleh Jepang dengan
mnggunakan kapal-kapal di pelabuhan. Siapapun tak bisa menolak perintah Jepang tersebut
karena pihak Jepang tidak segan-segan memperlihatkan kekejaman, kekerasan dan kekejian yang
sangat memuakkan kepada rakyat Indonesia. Orang tua para gadis tersebut sebenarnya tidak rela
anak gadisnya diambil akan tetapi mereka terpaksa melakukannya krena rasa takut terhadap
pemerintahan jepang tersebut. Para gadis yang telah diberangkatkan oleh Jepang tersebut sangat
sulit untuk meloloskan diri dari jeratan Dai Nippon tersebut.

Jepang melakukan berbagai cara agar para gadis tersebut sulit meloloskan diri. Mereka
membuat rumah-rumah yang menjadi tempat penampungan menjadi tempat yang sangat tertutup.
Pagar-pagar tinggi, kawat berduri dan penjagaan yang ketat membuat selurh kegiatan yang
dilakukan dalam rumah tersebut tidak bisa diketahui oleh pihak luar. Sebenarnya hal tersebut
menunjukkan bahwa Jepang tidak mau kejahatan yang dia lakukan diketahui oleh masyarakat
luar. Pihak Jepang juga melakukan berbagai usaha agar kegiatan mengangkut para perawan
tersebut tidak diketahui oleh masyarakat luar. Salah satu cara yang dilakukan oleh Jepang adalah
dengan tidak memuat berita tentang pengangkutan tersebut dalam semua media massa yang ada.
Hal ini agar pihak Jepang dapat mudah menghilangkan jejak kriminalnya. Pengumuman resmi
dan angka-angka seberapa banyak gadis yang diangkutnya sama sekali dihapus sebelum berita
tersebut beredar.

Setelah para perawan itu dikumpulkan dalam sebuah rumah pengepolan kemudian pihak
Jepang mengangkut mereka dalam sebuah kapal. Selain itu ada para perawan yang langsung
dijemput dan dibawa ke kapal tanpa melalui tempat pengepolan tersebut. Pihak Jepang
mengatakan kepada para perawan tersebut akan berlayar ke Tokyo dan Singapura untuk belajar.
Akan tetapi semua janji-janji yang dikatakan Jepang itu hanyalah sebuah bualan dan awal dari
siksaan yang akan mereka alami selama hidupnya. Sukarno Martodihardjo adalah salah satu
saksi dari cerita para perawan yang diangkut dalam kapal Jepang tersebut. Di atas kapal
sebenarnya pihak Jepang memperlakukan para perawan tersebut dengan patut dan baik tetapi
setelah mereka diturunkan di tempat yang tidak mereka duga sebelumnya perlakuan Jepang
menjadi berubah.

Mereka diturunkan bukan di Tokyo atau Siangapura untuk belajar tetapi mereka
diturunkan di daerah perang di mana prajurit Jepang menunggu kedatangan mereka. Mereka
tidak hanya diturunkan di wilayah Indonesia tetapi mereka juga diturunkan di luar wilayah
Indonesia oleh Jepang. Cita-cita mulia untuk belajar dan memimpin bangsa Indonesia yang
dimiliki oleh para gadis tersebut seketika hilang karena direnggut oleh para prajurit Jepang
tersebut. Para perawan tersebut menjadi pemuas nafsu birahi para prajurit Jepang. Kesucian dan
harga diri mereka hilang bersama janji Jepang untuk menyekolahkan mereka. Mereka dipaksa
untuk melayani para tentara Jepang tersebut sampai tubuh mereka kewalahan. Kondisi perawan-
perawan tersebut sangat memprihatinkan. Tidak ada yang bisa menolong mereka dari
cengkraman para prajurit Jepang.

Siksaan yang mereka alami tidak berhenti di situ. Ketika Jepang kalah dalam perang Asia
Timur Raya seketika itu juga pihak Jepang melepaskan tanggung jawabnya terhadap para
perawan remaja yang mereka angkut dari Jawa. Para perawan itu menjadi seperti ayam yang
dilepaskan dari kandang yang terbakar. Usaha-usaha Jepang untuk mencuci tangannya dari
kejahatan yang telah mereka lakukan terhadap para perawan tersebut bisa dikatakan berhasil. Hal
itu didasari oleh beberapa alasan yang kebanyakan disebabkan oleh Indonesia sendiri. Alasan
pertama adalah Indonesia sebagai pihak penggugat belum memiliki bahan otentik untuk
menggugat. Yang kedua adalah saat itu Indonesia sedang terlibat dalam perjuangan senjata untuk
mempertahankan kemerdekaanya. Ketiga saat itu republik Indonesia yang masih sangat muda
masih mengalami pertentangan kepartaian yang berlarut-larut. Dan yang terakhir mengenai
keteledoran dari pihak RI sendiri. Alasan di atas membuat Jepang berhasil lepas dari tanggung
jawab terhadap perbuatan yang telah dilakukannya.

Para perawan tersebut lalu menjadi seorang buangan yang terlupakan. Mereka sangat
berkeinginan untuk pulang tetapi mereka sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara untuk
pulang. Mereka tidak mempunyai harta benda sedikitpun sebagai biaya untuk pulang. Mereka
dilepas oleh Jepang tanpa tanggung jawab, tanpa pesangon, tanpa fasilitas dan tanpa terima
kasih. Mereka hanya diserahkan kepada naluri hidup masing-masing. Parahnya lagi mereka tidak
mendapatkan perlindungan dan pelayanan hukum dari pemerintah RI. Akhirnya mereka menjadi
buangan yang terlupakan di daerah-daerah dahulu mereka diturunkan oleh Jepang.

Bab selanjutnya dalam novel ini banyak menceritakan tentang bagaimana kehidupan para
buangan perawan tersebut di Pulau Buru. Pramoedya dan teman-temannya yang menjadi tahanan
politik semula berada di Pulau Nusa Kambangan di pindahkan ke pembuangan di Pulau Buru.
Mereka berangkat menggunakan kapal pada 16 Agustus 1969 dan sampai di Pulau Buru setelah
sebelas hari berlayar. Mereka ditempatkan di sebuah savana pedalaman bernama Wanayasa. Di
tempat ini banyak pengalaman menarik yang dilaluinya. Pengalaman tersebut mengenai para
buangan sebelum mereka yaitu para perawan yang dijanjikan bersekolah oleh Jepang yang telah
berubah menjadi nenek-nenek di Pulau Buru. Pramoedya menceritakan pengalaman teman-
teman dan dirinya yang bertemu dengan para perawan buangan tersebut. Rodius Sutanto adalah
seorang yang bertemu dengan dua orang perawan buangan yang berasal dari Jawa Tengah.
Mereka tidak menyebutkan nama dan tempat tinggalnya di pulau tersebut. Menurut Rodius umur
mereka sekitar 50-an tahun. Kedua orang tersebut adalah perawan yang dibawa Jepang pada
tahun 1944. Ketika mereka ditanya oleh Rodius tentang keinginan mereka untuk pulang ke Jawa
mereka menjawab tidak ingin karena malu terhadap keluarga dan teman-temannya.

Pertemuan lain dialami oleh Suyud yang berasal dari Semarang. Pada saat Juli 1942
ketika dia beristirahat di dekat Wai Apu ada seorang penduduk menemui dia dan berkata bahwa
ada seorang penduduk wanita sedang mencari tapol dari Semarang. Setelah Suyud pergi ke
kampung Wai Grending, ia bertemu dengan wanita setengah tua bernama Sutinah. Sutinah
adalah seorang asli Semarang yang ditipu oleh Jepang dan dijadikan sebagai pelacur untuk
prajurit Jepang di daerah Pulau Buru. Sutinah berhasil melarikan diri berkat bantuan seorang
penduduk laki-laki Alfuru yang kemudian menjadi suaminya. Sebenarnya dia ingin pulang ke
Jawa dan meminta Suyud untuk membawanya ketika Suyud bebas dari Pulau Buru tetapi hal
tersebut hanyalah sebuah impian. Cerita lain tentang para perawan tersebut terjadi ketika Sulastri
yang berasal dari Semarang menampakkan diri di Wanasurya. Sulastri sambil bercucuran air
mata mengutarakan maksudnya agar dibawa serta pulang ke Jawa akan tetapi hal tersebut
dilarang oleh suaminya yang merupakan pribumi di sana. Ma’at dan sudadi dua orang
penggergaji yang bertemu dengan Suwarti yang juga berasal dari Semarang. Suwarti juga
merupakan salah satu korban penipuan Jepang tersebut. Ia diberangkatkan bersama 228 teman
lainnya dari Pulau Jawa, dia diturunkan di Pulau Buru. Kemudian mereka digiring oleh Jepang
ke dalam sebuah benteng bawah tanah yang berada di kaki Gunung Pala(t)Mada. Di sana mereka
dijadikan sebagai pemuas nafsu tentara Jepang dan ketika Jepang kalah mereka dilepas begitu
saja.

Trisuti Rahmadi seorang dalang dalam pembuangan mengisahkan cerita lain. Pada tahun
1974 dia bertemu seorang perempuan, dia lupa tidak bertanya namanya, yang juga korban
Jepang dan dibawa ke Jepang ke sebuah asrama di Pulau Manipah. Pada saat Jepang kalah
mereka ditelantarkan dan dia dibawa ke Pulau Buru oleh seorang laki-laki Alfuru. Ia mengatakan
ingin pulang ke Jawa dan seketika itu dia juga hilang di balik rumpun bambu. Sarony dari
perkampungan Wanasurya juga bertemu dengan korban Jepang yang berasal Semarang. Ia ingin
bertemu dengan orang sedaerahnya yang mengenal keluarganya. Pertemuan yang berkali-kali
terjadi adalah dengan Sumiyati tetapi tidak banyak keterangan yang didapat darinya. Pertemuan
dengan para perawan yang sudah menjadi nenek tersebut terjadi lagi pada tahun 1976. Cerita itu
dicuplik dari catatan Soeprihono Koeswadi yang bertemu dengan seorang wanita buangan
bernama Kartini. Kartini kelahiran Semarang yang sudah lama tinggal di Buru sejak jaman
Jepang hampir bubar. Setelah Kartini menjadi boneka Jepang kemudian dia lari masuk hutan dan
bertemu seorang Alfuru yang menjadi suaminya. Kartini sudah tidak berhasrat untuk pulang ke
Jawa. Itulah beberapa pertemuan dengan para perawan Jawa yang telah ditipu Jepang. Mereka
tetap ada di Pulau Buru pada tahun 1978. Kebanyakan dari mereka menjadi seorang istri dari
orang Alfuru sehingga harus mematuhi adat istiadat yang ada dan mereka harus hidup jauh di
bawah taraf peradaban dan kebudayaan asal mereka

Catatan Pram terus berlanjut ketika ia mengenal perempuan yang dipanggil Bu F. Tersiar
kabar bahwa Bu F adalah seorang Sunda, hal tersebut didasari bahwa dia sedang mencari orang
Jawa Barat yang bernama Kosasih. Bukti yang sangat kuat datang dari Daswian yang dipanggil
Oking. Oking berasal dari Subang, Jawa Barat dan ternyata mempunyai hubungan kerabat
dengan Bu F. Kosasih yang selama ini dicari Bu F ternyata adalah ayah dari Oking dan
merupakan kakak dari Bu F. Bu F ternyata adalah bibi Oking yang dibawa Jepang untuk menjadi
pelacur. Siti Fatimah adalah nama asli dari Bu F lahir pada1927 anak asisten Wedana Subang.
Cerita selanjutnya mengenai Bolansar yang mempunyai nama Buru Muka Jawa. Bolansar adalah
nama setempat sedangkan aslinya adalah Bu Lanjar. Bolansar merupakan orang Jawa kelahiran
Pemalang, sekarang ia hidup di pedalaman Pulau Buru. Rony dan Wai Durat adalah dua orang
yang mencatat perjalanan mereka untuk menemui Bolansar. Usaha mereka berdua untuk
mengorek keterangan tentang identitas dari Bolansar agak menemui ganjalan sebab Bolansar
sendiri yang tidak ingin untuk menjabarkan kisah hidupnya selama menjadi buangan di Pulau
Buru. Bolansar tidak ingin melanggar pamali yang ada di hukum adat istiadatnya. Dia sudah
terikat dengan adat istiadat di sana dan takut disiksa oleh suaminya jika ketahuan melanggarnya.
Ia pun tidak mau untuk di ajak pindah dari tempat itu agar mendapatkan perhatian yang lebih
baik.

Bab terakhir dalam novel tersebut mengenai pencarian Ibu Mulyati dari Klaten. Nama
Mulyati baru diketahui ketika Sarony mencari keterangan mengenai identitas para perawan yang
menjadi buangan di Pulau Buru. Sarony bertanya dengan kepala adat kampung Bamaniwelaheng
yang bernama Lige. Lige menceritakan bahwa ada seorang perempuan bernama Malat yang
berasal dari Klaten. Malat adalah nama panggilan dari para Jepang dan penduduk Alfuru
sedangkan Bu F yang mengenal beliau memanggilnya Yati. Dari keterangan tersebut diketahui
bahwa nama beliau adalah Mulyati. Kini ia menjadi seoarng istri Kepala Soa Wai Temon Latun
tetapi dia membelot dari suaminya tersebut dan mendirikan kampung baru bersama pengikutnya.
Atas keterangan yang samar-samar tersebut Sarony bersama teman-temannya memberanikan diri
untuk mencarinya. Sarony menuliskan perjalanan mencari Ibu Mulyati tersebut yang memakan
waktu lebih dari 20 jam. Dalam catatan ini selain memapaparkan usaha-usaha Sarony dan
kawan-kawannya untuk bertemu dengan Mulayati juga menceritakan keindahan alam yang
terdapat di Pulau Buru pedalaman.

Keindahan-keindahan alam tersebut diceritakan dengan sangat detail oleh Sarony. Pegunungan,
bukit-bukit dan sungai yang dilaluinya diceritakan dengan sangat baik. Catatan itu juga sarat
memuat tentang materi antropologi budaya. Kebudayaan dari para suku Alfuru yang menjadi
penduduk asli di sana digambarkan dengan sangat jelas dan detail. Kampung-kampung yang
menjadi tempat persinggahannya dilukiskannya dengan keterangan yang mendetail. Adat istiadat
yang menjadi hukum tertinggi yang berlaku di sana dan peradaban penduduknya juga dicatatnya
dengan baik. Peristiwa yang mereka alami selama perjalanan menunjukan memerlukan usaha
keras untuk menaklukannya misalnya banjir yang tiba-tiba datang, bukit-bukit yang licin untuk
didaki dan hujan yang membuat badan mereka basah kuyup. Ada juga pengalaman Mantir,
teman Sarony, yang menjadi mantri untuk mengobati para penduduk yang sedang terserang
penyakit. Mantir yang mengobati dengan cara modern agak bertentangan dengan cara penduduk
Alfuru yang masih percaya pada roh-roh nenek moyang yang akan menyembuhkannya. Akan
tetapi dalam catatan ini masih banyak percakapan yang menggunakan bahasa Buru setempat
sehingga ada sebagian yang sulit untuk dipahami maksudnya. Setelah mereka bertemu dengan
Ibu Mulyati di desa Wai temon agaknya usaha mereka untuk berbicara dan menolong Ibu
mulyati gagal dan sudah terlambat. Ibu Mulyati sama sekali tak mau berbicara dengan Sarony,
mungkin karena hukum adat yang tidak memperbolehkan perempuan berbicara selain bahasa
Buru. Ibu Mulyati sudah berubah menjadi nenek yang rabun penglihatannya dan rapuh tubuhnya.
Siksaan Jepang dan tindakan yang dia terima di pembuangan selama ini telah menjadikannya
seperti itu. Usaha keras mereka tidak sepenuhnya gagal karena mereka telah menemukan ibu
Mulyati dari Klaten tersebut dengan keadaan yang memprihatinkan.

Janji Jepang terhadap para perawan Jawa yang akan mengirim mereka ke Tokyo dan
Singapura untuk bersekolah ternyata hanya sebagai jebakan untuk menjadikan mereka semua
sebagai pemuas nafsu birahi dari para prajurit Jepang pada tahun 1943. Dan pada saat Jepang
menyerah tanpa syarat pada 1945 para perawan remaja tersebut dilepas tanpa tanggung jawab
oleh Jepang hingga akhirnya ada yang menjadi buangan di Pulau Buru. Mereka hidup di sana
selama 35 tahun atau sekitar tahun 1978 menurut catatan Pramoedya. Kesatuan politik yang
terbentuk dari novel ini adalah para tahanan politik di Pulau Buru yang menjadi buangan
berusaha untuk mengumpulkan sejarah dari kejahatan perang Jepang.

Anda mungkin juga menyukai