Anda di halaman 1dari 8

DHARURIYYATUL-KHAMS (LIMA KEBUTUHAN PENTING YANG HARUS DIJAGA

OLEH KAUM MUSLIMIN)

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari

Apa yang dimaksud dengan dharûriyyâtul-khams? Makna dharûriyyâtul-khams, yaitu


menyangkut lima kebutuhan penting yang semestinya dijaga oleh kaum Muslimin. Dan dalam
masalah ini, Al-Qur‘an dan as-Sunnah telah memberikan perhatian yang besar. Berikut ini ulasan
berkaitan dengan pembahasan judul di atas. Kami angkat berdasarkan ceramah Syaikh Ali bin
Hasan al-Halabi Al-Atsari pada Daurah Syar’iyyah I yang diselenggarakan oleh Yayasan Imam
Bukhari, Jakarta, di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, pada pertengahan bulan Februari 2007, dan
mengacu dengan kitab Maqâshidusy- Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, karya Dr. Yûsuf bin
Muhammad Al-Badawi yang menjadi pegangan Syaikh dalam daurah tersebut

Dharûriyyâtul-khams yang dimaksudkan, yaitu meliputi penjagaan terhadap dîn (agama), jiwa,
keturunan, akal, dan harta.

1. MENJAGA DIN (AGAMA).


Ini merupakan dharûriyyât yang terpenting dan berada pada urutan tertinggi. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

ِ ‫س ِإ ََّّل ِل َي ْعبُد‬
‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. [Adz-
Dzâriyat/51: 56]

Demikian tujuan hakiki dari penciptaan makhluk. Untuk mencapai tujuan inilah, maka para rasul
diutus dan kitab-kitab diturunkan. Sebagaimana firman-Nya.

‫س ِل‬ ُّ َ‫َّللاِ ُح َّجةٌ بَ ْعد‬


ُ ‫الر‬ ِ َّ‫س اًل ُمبَش ِِرينَ َو ُم ْنذ ِِرينَ ِلئ ًََّل َي ُكونَ ِللن‬
َّ ‫اس َعلَى‬ ُ ‫ُر‬

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [An-
Nisâ/4: 165].

Begitu juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

َّ ‫َّللاَ َواجْ تَنِبُوا‬


ُ ‫الطا‬
َ‫غوت‬ َّ ‫وَّل أ َ ِن ا ْعبُدُوا‬
‫س ا‬ُ ‫َولَقَدْ بَعَثْنَا فِي ُك ِل أ ُ َّم ٍة َر‬

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiaptiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. [An-Nahl/16 : 36]

Agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga din (agama) dari kerusakan, karena din merupakan
dharuriyat yang paling besar dan terpenting, maka syari’at juga mengharamkan riddah (murtad),
memberi sanksi kepada orang yang murtad dan dibunuh. Sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ُ‫َم ْن بَدَّ َل دِينَهُ فَا ْقتُلُوه‬

“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia” [HR Bukhari]

Juga sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.

َ ‫اركُ ِل ْل َج َما‬
‫ع ِة‬ ِ َ‫الزا ِني َو ْال ُمف‬
ِ َّ‫ار ُق ِلدِي ِن ِه الت‬ َّ ُ‫س ِبالنَّ ْف ِس َوالث َّ ِيب‬ ٍ ‫ئ ُم ْس ِل ٍم ِإ ََّّل ِبإِحْ دَى ث َ ًَل‬
ُ ‫ث النَّ ْف‬ ٍ ‫ََّل َي ِح ُّل دَ ُم ْام ِر‬

“Tidak halal darah seorang muslim (tidak boleh dibunuh, Red.), kecuali dengan salah satu di
antara tiga sebab yaitu jiwa dengan jiwa, orang tua yang berzina (dibunuh dengan dirajam, Red.),
orang yang murtad meninggalkan agamanya dan jama’ahnya” [HR Bukhari]

Ini semua untuk menjaga din. Realisasinya dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya
dengan :

(a). Beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, mengetahui


Asmâ dan Sifat Allahl.
(b). Berpegang teguh dengan agama, mempelajarinya, lalu mendakwahkannya.
(c). Menjauhi dan memperingatkan dari perbuatan syirik dan riya’.
(d). Memerangi orang-orang yang murtad.
(e). Mengingatkan dari perbuatan bid’ah dan melawan ahlul bid’ah.[1]

2. MENJAGA JIWA (HIFZHUN-NAFSI).


Menjaga jiwa juga termasuk dharûriyatul-khamsi, dan din tidak akan bisa tegak, jika tidak ada
jiwa-jiwa yang menegakkannya. Kalau kita ingin menegakkan din, artinya, kita harus menjaga
jiwa-jiwa yang akan menegakkan din ini. Untuk menjaga dan memuliakan jiwa-jiwa ini, Allah
Azza wa Jalla berfirman :

ِ ‫اص َحيَاة ٌ يَا أُو ِلي ْاْل َ ْلبَا‬


َ‫ب لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِ ‫ص‬َ ‫َولَ ُك ْم فِي ْال ِق‬

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa” [Al-Baqarah/2:179]

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjadikan qishash sebagai salah satu sebab kelestarian
kehidupan, padahal qishash itu merupakan kematian. Mengapa? Karena, dengan keberadaan
hukum qishash, maka para pelaku kriminal menjadi jera, kehidupan pun menjadi aman. Jadi,
qishash merupakan salah satu sebab terwujudnya kehidupan yang damai, tenang, dan dalam
naungan hidayah.

ِ ‫َّللاُ إِ ََّّل بِ ْال َح‬


َ‫ق َو ََّل يَ ْزنُون‬ َّ ‫س الَّتِي َح َّر َم‬
َ ‫َو ََّل يَ ْقتُلُونَ النَّ ْف‬
“: (Di antara sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yaitu) tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina”. [Al-
Furqân/25: 68]

Yang disebut dengan al-haq (kebenaran), yaitu harus dengan dalil dan bukti. Jika tidak, berarti
melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar. Dan berdasarkan Al-Qur‘an dan as-Sunnah,
melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar, hukumnya terlarang.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang penjagaan terhadap jiwa:

‫َار َج َهنَّ َم يَت ََردَّى خَا ِلداا ُم َخلَّداا فِي َها أَبَداا‬ َ ‫َم ْن ت ََردَّى ِم ْن َجبَ ٍل فَقَت َ َل نَ ْف‬
ِ ‫سهُ فَ ُه َو فِي ن‬

“Barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati), maka
dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya”.
[HR Imam Bukhari]

Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap seseorang yang berpendapat “saya bebas melakukan
apa saja atas diri saya”. Perkataan seperti ini merupakan perkataan keliru, karena di dalam Al-
Qur`anul-Karim disebutkan tentang ucapan yang benar, sebagai petunjuk bagi kaum Mukminin
jika tertimpa musibah. Allah Azza wa Jalla berfirman.

ِ ‫صيبَةٌ قَالُوا إِنَّا ِ َّّلِلِ َوإِنَّا إِلَ ْي ِه َر‬


َ‫اجعُون‬ َ َ‫الَّذِينَ إِذَا أ‬
ِ ‫صابَتْ ُه ْم ُم‬

“ (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un.” [Al-Baqarah/2: 156]

Inna lillahi (sesungguhnya kita milik Allah) dengan demikian, kita ini milik Allah Azza wa Jalla,
tidak boleh berbuat sewenang-wenang atas diri kita, tidak boleh menyengaja melukai tangan
sendiri lalu berkata “ini tangan saya, saya bebas melakukan apa saja terhadapnya”. Apalagi
sampai mengatakan “ini adalah jiwaku, saya ingin membunuh diri atau menjatuhkan diri dari
gunung, atau menenggak racun”, maka semua ini tidak boleh, karena termasuk berbuat
sewenangwenang pada sesuatu yang bukan miliknya.

Wahai Hamba Allah! Jiwa yang pada dirimu itu adalah milik Pencipta dan Rabbmu, Dzat yang
engkau ibadahi, yaitu Allah Azza wa Jalla . Engkau tidak boleh berbuat sewenang-wenang
padanya.

Dalam hadits “barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya
(mati), maka dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-
lamanya” terdapat pelajaran yang bisa kita ambil. Bahwa orang tersebut kekal selamanya dalam
Neraka Jahannam, sedangkan di dalam Ahlu Sunnah wal-Jama’ah –di antaranya terdapat kaidah-
Perbuatan dosa-dosa besar termasuk dalam kategori dosa-dosa yang bisa diampuni Allah Azza
wa Jalla jika Allah berkehendak. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

‫َّللاَ ََّل يَ ْغ ِف ُر أ َ ْن يُ ْش َركَ بِ ِه َو َي ْغ ِف ُر َما د ُونَ َٰذَلِكَ ِل َم ْن يَشَا ُء‬


َّ ‫إِ َّن‬
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” [An-Nisâ/4: 48]

Bunuh diri, termasuk dalam bagian pertama ayat ini, ataukah bagian yang kedua? Apakah bunuh
diri termasuk syirik, ataukah berada di bawah syirik? Jawabnya, bunuh diri termasuk dalam dosa
di bawah dosa syirik. Namun dalam hadits itu dijelaskan, dia kekal selamanya di neraka. Lantas
bagaimana jawabnya?

Para ulama mengatakan, pengertian hadits ini dibawa kepada orang yang membunuh diri, karena
ia menganggapnya halal, atau karena meremehkan hukum syari’at, bukan karena maksiat semata,
baik yang kecil maupun yang besar. Akan tetapi, ini merupakan pelanggaran terhadap dasar
hukum syari’at, dia menentangnya dan menghalalkannya. Dalam kondisi seperti itu, maka dosa
maksiat ini menjadi dosa kekufuran.

Oleh karena itu, Abu Ja’far ath-Thahawi, di dalam kitab ‘aqidah beliau yang masyhur, beliau
mengatakan: “Kami tidak mengkafirkan ahlul-qiblah (kaum Muslimin) dengan sebab dosa,
selama dia tidak menganggapnya halal.”

Pelaku perbuatan dosa ini, jika menganggapnya halal, maka dia menjadi kafir, meskipun
perbuatan dosa tersebut lebih kecil atau lebih sedikit dari bunuh diri.

Secara ringkas, hifzhun-nafs dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:

(a). Pada saat darurat (sangat terpaksa), wajib memakan apa saja demi menyambung hidup,
meskipun yang ada saat itu sesuatu yang haram pada asalnya.
(b). Memenuhi kebutuhan diri, berupa makanan, minuman dan pakaian.
(c). Mewajibkan pelaksanaan qishash (hukum bunuh bagi yang membunuh, jika sudah terpenuhi
syarat-syaratnya, Red.) dan mengharamkan menyakiti atau menyiksa diri [2]

3. MENJAGA AKAL (HIFZHUL-AQLI).


Sarana untuk menjaga akal ialah ilmu.
Kalimat wahyu pertama kali yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menyentuh telinga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah kalimat iqra’ (bacalah!), setelah itu
kalimat:

‫سانَ َما لَ ْم َي ْع َل ْم‬ ِ ْ ‫َعلَّ َم‬


َ ‫اْل ْن‬

“(Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. [Al-Alaq/96: 5]

Karena membaca merupakan jalan mendapatkan ilmu, meskipun bukan jalan satu-satunya, akan
tetapi dia merupakan jalan terpenting.

Dalam nash Al-Qur‘an yang lain, Allah berfirman,

‫ب ِزدْنِي ِع ْل اما‬
ِ ‫َوقُ ْل َر‬
“(dan katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” [Thaha/20 : 114]

Akan tetapi ilmu ini wajib diiringi dengan amal perbuatan. Ilmu bukan sekedar untuk diketahui,
namun dengan ilmu agar bertakwa, beramal shalih, serta menjauhan diri dari perbuatan maksiat
dengan landasan takwa kepada Allah Azza wa Jalla . Karenanya dalam firman Allah surat Al-
Maidah ayat 91 disebutkan.

َ‫ص ًَل ِة ۖ فَ َه ْل أَ ْنت ُ ْم ُم ْنتَ ُهون‬ ُ ‫ضا َء ِفي ْال َخ ْم ِر َو ْال َم ْيس ِِر َو َي‬
َّ ‫صدَّ ُك ْم َع ْن ِذ ْك ِر‬
َّ ‫َّللاِ َو َع ِن ال‬ َ ‫طانُ أ َ ْن يُو ِق َع َب ْينَ ُك ُم ْال َعدَ َاوة َ َو ْال َب ْغ‬
َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ِإنَّ َما ي ُِريد ُ ال‬

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu, dan berjudi itu menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.

Khamr dan perjudian telah menyebabkan manusia terhalang dari jalan Allah k dan bisa
menghilangkan akal (kesadaran), sedangkan akal sangat dibutuhkan manusia untuk memahami
perintah dan hukum-hukum syari’ah.

Dalam ayat ini, setelah Allah Azza wa jalla menjelaskan hukum syar’i dan menjelaskan
kewajiban, kemudian seolah-olah Allah Azza wa Jalla hendak menggugah perhatian manusia.
Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: (maka berhentilah kamu [dari mengerjakan
pekerjaan itu]). Mengapa kalian tidak berhenti dari hal-hal yang kalian dilarang darinya, berupa
kebiasaan orang-orang Jahiliyah, yaitu khamr dan perjudian? Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda:.

‫ُك ُّل ُم ْس ِك ٍر خ َْم ٌر َو ُك ُّل َخ ْم ٍر َح َرا ٌم‬

“Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram”.

Meskipun banyak pabrik membuat produk, lalu setan membuat istilah-istilah untuk produk
tersebut, namun kita memiliki kaidah yang mencakup semua nama, meskipun nama tersebut baru
dan dirubahrubah, tetapi, setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram.

Dan bahwasanya, untuk menjaga kebaikan akal, maka syari’at mengharamkan semua yang bisa
merusaknya, baik yang maknawi (abstrak) seperti perjudian, nyanyian, memandang sesuatu yang
diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr, narkoba serta memberikan sanksi kepada
yang melakukannya.[3]

4. MENJAGA KETURUNAN (HIFZHUN-NASLI).


Di antara dharûriyyâtul-khams yang dipelihara dan dijaga dalam syari’at, yaitu menjaga
keturunan. Allah Azza wa Jalla berfirman :

‫س ِب ا‬
‫يًل‬ َ ‫شةا َو‬
َ ‫سا َء‬ ِ ‫َو ََّل ت َ ْق َربُوا‬
ِ َ‫الزنَا ۖ ِإنَّهُ َكانَ ف‬
َ ‫اح‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk”. [Al-Isrâ/17: 32]
Bentuk penjagaan agar manusia menjauhkan manusia dari perbuatan zina, maka syari’at
memperbolehkan dan menganjurkan pernikahan poligami, sebagaimana firman Allah Azza wa
Jalla menyebutkan.

‫ع‬ َ ‫اء َمثْن ََٰى َوث ُ ًَل‬


َ ‫ث َو ُربَا‬ ِ ‫س‬َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬
َ ‫ط‬َ ‫فَا ْن ِك ُحوا َما‬

“Maka kawinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat”[An-Nisâ/4: 3]

Nabi Shallallahu ‘alaihiwa sallam juga bersabda :

َّ ‫ع ِم ْن ُك ْم ْالبَا َءة َ فَ ْليَت َزَ َّوجْ َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَعَلَ ْي ِه بِال‬


‫ص ْو ِم فَإِنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء‬ َ َ ‫ب َم ْن ا ْست‬
َ ‫طا‬ َّ ‫يَا َم ْعش ََر ال‬
ِ ‫شبَا‬

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka hendaklah dia
menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia melakukan puasa (sunat).
Karena sesungguhnya puasa itu menjadi obat bagi dia”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

‫الزانِي ِحينَ يَ ْزنِي َوه َُو ُمؤْ ِم ٌن‬


َّ ‫ََّل يَ ْزنِي‬

“Seorang pezina tidak akan melakukan perbuatan zina, sedangkan dia dalam keadaan beriman”.

Dalam sebagian riwayat dijelaskan, iman tercerabut darinya. Jika ia berhenti dari berzina, maka
keimanannya kembali kepadanya. Semua nash-nash ini untuk menjaga keturunan.

Pemeliharaan keturunan ini, bisa dilihat dari beberapa hal berikut:


(a). Anjuran untuk melakukan pernikahan.
(b). Persaksian dalam pernikahan.
(c). Kewajiban memelihara dan memberikan nafkah kepada anak, termasuk kewajiban
memperhatikan pendidikan anak.
(d). Mengharamkan nikah dengan pezina.
(e). Melarang memutuskan untuk thalaq jika tidak karena terpaksa.
(f). Mengharamkan ikhtilâth. [4]

5. MENJAGA HARTA (HIFZHUL-MALI).


Bagian terakhir dari dharuriyâtul-khams yang dijaga oleh syari’at. Yakni sesuatu yang menjadi
penopang hidup, kesejahteraan dan kebahagiaan, yaitu menjaga harta. Sebagaimana firman Allah
Azza wa Jalla:

‫سو ُه ْم َوقُولُوا لَ ُه ْم قَ ْو اَّل َم ْع ُروفاا‬


ُ ‫ار ُزقُو ُه ْم ِفي َها َوا ْك‬ َّ ‫سفَ َها َء أَ ْم َوالَ ُك ُم الَّ ِتي َج َع َل‬
ْ ‫َّللاُ لَ ُك ْم ِق َيا اما َو‬ ُّ ‫َو ََّل تُؤْ تُوا ال‬

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan” [An-
Nisâ‘/4 : 5]
Maksudnya, kemapanan keberadaan manusia ialah dengan harta. Oleh karenanya terdapat
perintah mengeluarkan zakat, shadaqah. Dan zakat merupakan hak Allah k . Sehingga orang
yang berhak menerimanya terjaga dan harta yang mengeluarkannya juga menjadi bersih dan
suci.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ُ‫ط ُع َيدُه‬ َ ‫َّارقَ َيس ِْر ُق ْال َب ْي‬


َ ‫ضةَ فَت ُ ْق‬ َّ َ‫لَ َعن‬
ِ ‫َّللاُ الس‬

“Allah Azza wa Jalla melaknat pencuri yang mencuri telur, lalu tangannya dipotong”.

Dalam syari’at Allah yang bijak ini, juga terdapat larangan melakukan perbuatan tabdzir
(pemborosan). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

‫ورا‬ َ ‫ش ْي‬
‫طانُ ِل َربِ ِه َكفُ ا‬ َّ ‫ين ۖ َو َكانَ ال‬
ِ ‫اط‬ َّ ‫ِيرا إِ َّن ْال ُمبَذ ِِرينَ كَانُوا إِ ْخ َوانَ ال‬
ِ َ‫شي‬ ‫َو ََّل تُبَذ ِْر تَ ْبذ ا‬

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya


pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada
Rabbnya”. [Al-Isrâ : 26-27]

Begitu juga Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang isrâf (berlebih-lebihan), sebagaimana


disebutkan dalam firman-Nya.

َ‫َو ََّل تُس ِْرفُوا ۚ إِنَّهُ ََّل ي ُِحبُّ ْال ُمس ِْرفِين‬

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan” [Al-An’am/6 :141]

Di antara cara dalam pemeliharaan harta ialah:


(a). Islam mewajibkan beramal dan berusaha.
(b). Memelihara harta manusia dalam kekuasaan mereka.
(c). Islam menganjurkan bershadaqah, memperbolehkan jual beli dan hutang-piutang.
(d). Islam mengharamkan perbuatan zhalim terhadap harta orang lain dan wajib menggantinya.
(e). Kewajiban menjaga harta dan tidak menyia-nyiakannya.[5]

Demikian beberapa nash dari Al-Qur‘an dan as- Sunnah, yang berkaitan dengan dharûriyyâtul-
khams .

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada kaum Muslimin lainnya untuk
memahaminya, sehingga semakin menambah dan mengokohkan keyakinan terhadap kebenaran
din, agama yang haq ini. Wallahu a’lam bish-Shawab

_______
Footnote
[1]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 448-458
[2]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 462-465.
[3]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 467-468.
[4]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 473-478.
[5]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 481-487.

Anda mungkin juga menyukai