Anda di halaman 1dari 14

Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin

Abdul Wahhab (Bag. 1)


Ari Wahyudi, S.Si.

Pendahuluan

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah seorang ulama besar yang
hidup pada abad ke-12 H. Beliau lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H.
Melalui tulisan dan dakwahnya, beliau mengajak manusia untuk kembali kepada ajaran
Islam yang murni dengan berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah melalui jalan yang
ditempuh oleh para sahabat radhiyallahu ’anhum.

Di antara karya beliau yang menjadi pusat perhatian para ulama dan pencari ilmu dari
berbagai penjuru bumi adalah Kitab At-Tauhid Alladzi Huwa Haqqullahi ‘Alal ‘Abiid.
Kitab tersebut berisi penjelasan tentang tauhid yang merupakan hak Allah atas setiap
hamba. Sebuah kitab yang mengupas satu demi satu perkara tauhid ibadah secara rinci
dengan landasan dalil wahyu dan asar pendahulu.

Sebuah kitab yang merangkum ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam yang membeberkan perkara paling agung dan paling mendasar di dalam
agama Islam, yaitu akidah tauhid. Di mana hal itu merupakan kandungan dari 2 kalimat
syahadat. Syahadat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak boleh beribadah,
kecuali kepada Allah. Sedangkan syahadat anna muhammadar rasulullah mengandung
prinsip tidak boleh beribadah kepada Allah, kecuali dengan mengikuti tata cara atau
jalan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di zaman kita sekarang ini, kita bisa jumpai sekian banyak warna dan corak yang
dianggap mewakili ajaran Islam. Ada yang condong kepada pemahaman ini dan
pemikiran itu. Ada yang fanatik kepada kelompok anu dan tokoh anu. Setiap golongan
berbangga dengan apa yang ada pada diri mereka. Mereka tidak sadar, bahwa
sesungguhnya hal itu (berpecah-belah) merupakan salah satu sifat orang-orang musyrik
yang mengangkat sesembahan tandingan bagi Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
ۡ ۟ ُ‫و َﻻ ﺗ َ ُﻜﻮﻧ‬
َ‫ﻮا ِﻣﻦَ ٱﻟ ُﻤ ۡﺸ ِﺮ ِﻛﯿﻦ‬ َ

َ‫ب ِﺑ َﻤﺎ ﻟَﺪَ ۡﯾ ِﮭ ۡﻢ ﻓَ ِﺮ ُﺣﻮن‬ ‫ﺰ‬ۡ ‫ﻮا ِﺷﯿﻌ ۖﺎ ُﻛ ﱡﻞ ِﺣ‬
۟ ُ‫ﻮا دِﯾﻨَﮭﻢ و َﻛﺎﻧ‬
۟ ُ‫ﻣﻦَ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻓَﺮﻗ‬
ِ
ِۭ َ َ ُۡ ‫ﱠ‬

“… Dan janganlah kalian menjadi termasuk golongan orang-orang musyrik, yaitu orang-
orang yang memecah-belah agamanya sehingga mereka pun bergolong-golongan,
setiap golongan berbangga dengan apa-apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ruum:
31-32)

Siapakah yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang memecah-belah agamanya menjadi


bergolong-golongan’? Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud
adalah Yahudi dan Nasrani. Ada juga yang menafsirkan bahwa tercakup di dalamnya
kaum ahli bid’ah yang ada di tengah umat ini. (lihat Ma’alim At-Tanzil, hal. 1007)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bagian ayat ‘janganlah kalian menjadi termasuk
golongan orang-orang musyrik’ maksudnya adalah hendaklah kalian menjadi orang-
orang yang bertauhid yang memurnikan ibadah hanya untuk-Nya. Dia tidak
menghendaki dengan ibadahnya itu, kecuali berharap dan tertuju kepada Allah. (lihat
Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 6/316)

Dan inilah yang senantiasa diserukan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah dalam kitab dan risalah yang beliau susun. Beliau mengajak manusia untuk
memurnikan ibadahnya kepada Allah semata serta meninggalkan segala bentuk
sesembahan selain-Nya.

Hal itu bisa kita lihat dengan gamblang dalam karya-karya beliau seperti Tsalatsah Al-
Ushul (tiga landasan pokok), Al-Qawa’id Al-Arba’ (empat kaidah utama), Kitab At-Tauhid,
dan Kasyfu Syubuhat (menyingkap kerancuan). Buku-buku itu ditulis untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang sangat memerlukan pencerahan dan keterangan yang lurus
tentang hakikat tauhid, ibadah, dan kesyirikan. Perkara-perkara yang sangat urgen dan
fundamental dalam agama Islam yang hanif ini.

Misalnya, beliau mengatakan dalam risalah Tsalatsah Al-Ushul, “Perkara yang paling
agung yang diperintahkan oleh Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam
beribadah. Adapun perkara terlarang yang paling besar yang dilarang oleh Allah adalah
syirik, yaitu berdoa kepada selain-Nya bersama ibadah kepada-Nya.”
Dalam risalahnya Al-Qawa’id Al-Arba’ beliau menjelaskan, “Apabila anda telah mengerti
bahwa Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah, kecuali apabila dibarengi tauhid.
Apabila syirik mencampuri suatu ibadah, maka ibadah itu menjadi rusak sebagaimana
hadats yang menimpa pada thaharah.”

Diakui atau tidak, kenyataan di tengah masyarakat menunjukkan bahwa banyak di antara
kaum muslimin sendiri yang masih tidak mengerti tentang hakikat tauhid dan syirik,
masih dangkal pemahamannya tentang ibadah dan syarat diterimanya ibadah, bahkan
tidak paham betapa besar bahaya syirik terhadap ibadah dan apa saja yang bisa
merusak ibadahnya. Apabila mereka diajak untuk memurnikan ibadahnya kepada Allah
serta komitmen untuk selalu mengikuti tuntunan/ sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, mereka justru marah dan menganggap dakwah tauhid sebagai perusak
persatuan dan pemecah-belah umat. Wallahul musta’aan.

Dari sinilah, umat Islam perlu untuk kembali merujuk kepada petunjuk Allah dan Rasul-
Nya. Bagaimana jalan yang benar untuk selamat dan meraih kebahagiaan. Bagaimana
mewujudkan ibadah dan merealisasikan tujuan hidupnya dengan benar. Sebagaimana
yang dimaksud oleh firman Allah Ta’ala,

‫ﱠ‬ ۡ ۡ َۡ
‫ُون‬
ِ ‫ﻧﺲ ِإﻻ ِﻟﯿَﻌۡ ﺒُﺪ‬ ِ ‫َو َﻣﺎ ﺧَﻠﻘﺖُ ٱﻟ ِﺠ ﱠﻦ َو‬
َ ‫ٱﻹ‬

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Para ulama salaf telah menafsirkan bahwa ibadah yang dimaksud di sini yang paling
pokok adalah tauhid. Sehingga setiap perintah beribadah kepada Allah yang disebutkan
dalam Al-Qur’an, maka maknanya adalah perintah untuk bertauhid.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Semua yang disebutkan dalam Al-
Qur’an yang berisi perintah untuk beribadah maknanya adalah perintah untuk
bertauhid.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya Ma’alim At-Tanzil,
hal. 20)

Demikian pula, wajib bagi kaum muslimin untuk menyadari bahwa sebab utama
keberuntungan dan jalan keselamatan di dunia dan di akhirat adalah dengan
mewujudkan tauhid dan keimanan di dalam kehidupan. Bukankah Allah Ta’ala berfirman,

۟ ۡ ۟ ۟ ۟ ‫و ۡٱﻟﻌﺼۡ ﺮ إ ﱠن ۡٱﻹﻧﺴـﻦَ ﻟَﻔﯽ ُﺧ ۡﺴﺮ إ ﱠﻻ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ء‬


‫ﺼ ۡﺒ ِﺮ‬
‫اﺻ ۡﻮا ِﺑﭑﻟ ﱠ‬ ِ ّ ‫اﺻ ۡﻮا ِﺑﭑﻟ َﺤ‬
َ ‫ﻖ َوﺗ َ َﻮ‬ َ ‫ﺖ َوﺗ َ َﻮ‬ ‫ﻋ ِﻤﻠُﻮا ٱﻟ ﱠ‬
ِ ‫ﺼ ٰـ ِﻠ َﺤ ٰـ‬ َ ‫اﻣﻨُﻮا َو‬
َ َ ِ ٍ ِ َٰ ِ ِ ِ َ َ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan
saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)

Inilah kaidah agung yang senantiasa diwahyukan kepada para nabi. Allah Ta’ala
berfirman,
ۡ
َ‫ﻋ َﻤﻠُ َﻚ َوﻟَﺘ َ ُﻜﻮﻧ ﱠَﻦ ِﻣﻦَ ٱﻟ َﺨ ٰـﺴ ِِﺮﯾﻦ‬ َ ‫ﯨ ۡﻦ أ َ ۡﺷ َﺮ ۡﻛ‬s َ‫ﯽ ِإﻟَ ۡﯿ َﻚ َو ِإﻟَﻰ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ِﻣﻦ ﻗَ ۡﺒ ِﻠ َﻚ ﻟ‬
َ ‫ﺖ ﻟَ َﯿ ۡﺤ َﺒ‬
َ ‫ﻄ ﱠﻦ‬ ‫َوﻟَﻘَ ۡﺪ أُوﺣ‬
َ ِ
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu,
‘Apabila kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu
akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)

Demikianlah metode Al-Qur’an Al-Karim dalam menyeru manusia untuk kembali ke jalan
tauhid. Dengan menggandengkan targhib (motivasi) dengan tarhib/ancaman dan
peringatan. Yang karena itulah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di
dalam Kitab Tauhid-nya juga membuat bab khusus yang menjelaskan keutamaan tauhid
dan dosa-dosa yang terhapus karenanya, di samping beliau juga membawakan bab
tentang rasa takut terjerumus dalam kesyirikan. Terangkum di dalamnya antara khouf
(rasa takut) dan roja’ (harapan) dalam beribadah kepada Allah.

Di dalam risalah Ba’dhu Fawa’id Surah Al-Fatihah, beliau juga mengungkapkan kepada
kita bahwa ada 3 pilar ibadah hati yang tersimpan di dalam surat yang agung ini, yaitu
surat al-Fatihah. Ketiga pilar ibadah itu adalah takut, harap, dan cinta. Tidaklah benar
ibadah kepada Allah tanpa berpadunya ketiga pilar ibadah ini. Di dalam risalah ini
(begitu juga dalam karya beliau yang lain) beliau juga menekankan bahwa memalingkan
ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Beliau juga berkata, “Sesungguhnya Allah
tidak rida dipersekutukan bersama-Nya dalam beribadah kepada-Nya siapa pun itu,
entah itu malaikat yang dekat dengan Allah ataupun seorang nabi utusan.”

Tiga Landasan Utama

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berupaya menyajikan ilmu ini
semudah mungkin bagi masyarakat. Oleh sebab itu, beliau merangkum berbagai
keutamaan dan kewajiban dalam kalimat-kalimat yang ringkas dan sarat akan makna.
Misalnya, di bagian awal risalah Tsalatsah Al-Ushul beliau menyebutkan ada 4 kewajiban
kita, yaitu ilmu, amal, dakwah, dan sabar.
Beliau juga meringkas bahwa hakikat ilmu yang paling wajib dipelajari itu mencakup
mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan berlandaskan
dalil-dalil. Inilah 3 landasan utama yang menjadi materi pertanyaan bagi setiap insan
ketika dia telah masuk ke alam kubur. Siapa Rabbmu? Siapa nabimu? Dan apa
agamamu?

Disebutkan dalam hadis riwayat At-Thayalisi dan yang lainnya, bahwa orang yang
beriman apabila ditanya oleh malaikat, “Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?”
Dia pun menjawab, “Rabbku Allah, agamaku Islam, dan nabiku Muhammad
shallallahu’alaihi wasallam.” Adapun orang kafir ketika ditanya oleh malaikat, “Siapa
Rabbmu?” Dia menjawab, “Hah, hah, aku tidak tahu.” Ketika ditanya, “Apa agamamu?”
Dia menjawab, “Hah, hah, aku tidak tahu.” Ketika ditanyakan kepadanya, “Apa yang kamu
katakan tentang lelaki ini yang telah diutus kepada kalian?” Maka, dia tidak bisa
menyebutkan namanya. Lalu, dikatakan kepadanya, “Muhammad!” tetapi dia malah
mengatakan, “Hah, hah. Aku tidak tahu.” (Hadis ini disahihkan Al-Albani dan dinyatakan
hasan oleh Muqbil Al-Wadi’i, lihat Al-Qabru ‘Adzabuhu wa Na’imuhu, hal. 15-19)

Orang yang bisa menjawab pertanyaan kubur, maka kuburnya akan menjadi salah satu
taman di antara taman-taman surga. Sedangkan orang yang tidak bisa menjawab
pertanyaan kubur, maka kuburnya akan menjadi jurang di antara jurang-jurang neraka.
Suatu ketika, ‘Aisyah radhiyallahu ’anha bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam mengenai azab kubur. Beliau menjawab, “Ya, azab kubur itu benar adanya.”
‘Aisyah pun mengatakan, “Tidaklah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
setelah itu, melainkan beliau selalu berdoa dalam setiap kali salat untuk berlindung
kepada Allah dari azab kubur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis lain dikisahkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila
seorang beriman telah didudukkan di dalam kuburnya, dia pun didatangi oleh malaikat.
Kemudian dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.
Itulah maksud dari firman Allah,
ۡ ۟ ‫ﯾُﺜ َ ّﺒﺖُ ﱠ ﱠ‬
ِ ‫اﻣﻨُﻮا ِﺑﭑﻟﻘَ ۡﻮ ِل ٱﻟﺜﱠ ِﺎﺑ‬
‫ﺖ‬ َ ‫ٱ{ُ ٱﻟﺬِﯾﻦَ َء‬ ِ

‘Allah akan teguhkan orang-orang beriman dengan ucapan yang kokoh.’ (QS. Ibrahim :
27)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Orang yang bisa menjawab pertanyaan kubur adalah orang beriman ahli tauhid,
sedangkan orang kafir dan munafik tidak akan bisa menjawab dan akan diazab dengan
azab yang sangat keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun orang
munafik dan orang kafir, dikatakan kepadanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang lelaki
ini (Muhammad)?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak tahu, aku hanya mengatakan apa-apa yang
dikatakan oleh orang.’ Lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu tidak mau tahu dan tidak mau
mengikuti (kebenaran). Kemudian dia dipukul dengan palu dari besi sekali pukulan.
Lantas dia pun menjerit (kesakitan) yang jeritannya itu bisa didengar siapa yang dekat
dengannya selain jin dan manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah menjelaskan,

‫ﻀ ﱡﻞ َو َﻻ َﯾ ۡﺸﻘَ ٰﻰ‬ ِ ‫ای ﻓَ َﻼ َﯾ‬ ُ ‫ﱠ‬


َ َ‫ﻓ ࣰَﻤ ِﻦ ٱﺗ َﺒ َﻊ ھﺪ‬
َ

ۡ
‫ﺸ ُﺮ ۥهُ ﯾَ ۡﻮ َم ٱﻟ ِﻘﯿَ ٰـ َﻤ ِﺔ أَ ۡﻋ َﻤ ٰﻰ‬ُ ‫ﺿﻨﻜﺎ َوﻧ َۡﺤ‬ َ ‫ﻋﻦ ذِﻛ ِﺮی ﻓَﺈِ ﱠن ﻟَ ۥﮫُ َﻣ ِﻌﯿﺸَﺔ‬
ۡ َ ۡ
َ ‫َو َﻣﻦ أ ۡﻋ َﺮ‬
َ ‫ض‬

َ
‫ﺼﯿﺮا‬ ِ ‫ﻗَﺎ َل َربّ ِ ِﻟ َﻢ َﺣﺸ َۡﺮﺗ َ ِﻨ ۤﯽ أ ۡﻋ َﻤ ٰﻰ َوﻗَ ۡﺪ ُﻛﻨﺖُ َﺑ‬
ۡ ۖ َۡ
‫ﻨﺴ ٰﻰ‬َ ُ ‫ﻗَﺎ َل َﻛﺬَ ٰ⁠ ِﻟ َﻚ أﺗَﺘ َﻚ َءا َﯾ ٰـﺘُﻨَﺎ ﻓَﻨَﺴِﯿﺘ َ َﮭﺎ َو َﻛﺬَ ٰ⁠ ِﻟ َﻚ ٱﻟ َﯿ ۡﻮ َم ﺗ‬

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan
tidak pula celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya
penghidupan yang sempit dan kelak pada hari kiamat kami akan mengumpulkan dia
dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Wahai Rabbku mengapa Engkau kumpulkan aku
dalam keadaan buta padahal dahulu aku bisa melihat?’ Allah menjawab, ‘Demikianlah
yang pantas kamu peroleh. Dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu
justru melupakannya. Maka, pada hari ini kamu juga dilupakan.’” (QS. Thaha: 123-126)

Orang yang berpaling dari peringatan Allah dan petunjuk-Nya, maka dia akan
mengalami kesempitan hidup di dunia dan di akhirat. Hatinya tidak bisa merasa tenang.
Dadanya terasa sempit. Meskipun secara lahiriah dia tampak menikmati berbagai
kemewahan dan kelezatan. Akan tetapi, hatinya terus saja dilanda keraguan, kegalauan,
dan kesusahan. Termasuk makna penghidupan yang sempit adalah berupa amalan yang
jelek dan rezeki yang kotor (jelek). Termasuk dalam bentuk penghidupan yang sempit
juga akan disempitkan kuburnya sampai tulang-tulang rusuknya bergeser berantakan.
Al-Bazzar rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam juga menafsirkan ‘penghidupan yang sempit’ itu dengan
‘azab kubur’. (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim karya Ibnu Katsir rahimahullah, 5: 239)

Syekh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri hafizhahullah (seorang ulama besar di Arab Saudi
sekaligus ahli fikih dan ahli ushul) menjelaskan bahwa asas dari agama ini adalah
I’tiqad (aqidah). Seandainya ada orang yang berpegang-teguh dengan hukum agama
dalam cabang-cabang syari’at Islam ini, tetapi dia tidak berpegang-teguh dengan
akidah kita (tauhid), maka hal itu tidak akan bermanfaat untuknya di hadapan Allah. Oleh
sebab itulah, pertanyaan yang ditujukan kepada seorang hamba pada saat di alam
kuburnya adalah berkaitan dengan akidah, “Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Siapa
nabimu?” (lihat Syarh Mutun Al-’Aqidah, hal. 5)

Saudaraku yang dirahmati Allah Ta’ala, pengetahuan dan pemahaman tentang tauhid
adalah kunci kebaikan seorang hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia
dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam Tirmidzi juga membawakan
hadis ini dalam bab yang berjudul ‘Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang
hamba, maka Allah pahamkan dia dalam agama’ (lihat penjelasan Syekh Abdul Muhsin
al-’Abbad dalam Kutub wa Rasa’il ‘Abdil Muhsin, 2: 38)

[Bersambung]

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Artikel: www.muslim.or.id
Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin
Abdul Wahhab (Bag. 2)
Ari Wahyudi, S.Si.

Kecintaan kepada ilmu dan ulama

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga mengajarkan kepada kita
penghormatan dan kecintaan kepada para ulama terdahulu. Oleh sebab itu, beliau
menukil perkataan para ulama semisal Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Baghawi,
Imam Ibnu Katsir, dan yang lainnya. Beliau juga mendoakan kebaikan dan rahmat untuk
mereka. Selain itu, beliau selalu berupaya mengikatkan pemahaman kita dengan dalil Al-
Qur’an maupun As-Sunnah.

Hal ini menunjukkan kepada kita semangat beliau yang sangat besar dalam
memahamkan kaum muslimin terhadap agama mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,

‫ﻣﻦ ﯾﺮد ﷲ ﺑﮫ ﺧﯿﺮا ﯾﻔﻘﮭﮫ ﻓﻲ اﻟﺪﯾﻦ‬

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal
agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari sudut yang lain, kita juga bisa melihat bahwa upaya Syekh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah untuk menegakkan dakwah tauhid ini dan menyebarkannya
merupakan aplikasi dari prinsip dan kaidah yang selalu dipegang erat oleh para ulama.
Kaidah tersebut adalah bahwa ilmu merupakan pondasi bagi segala bentuk ucapan dan
amal perbuatan. Bahkan, untuk mewujudkan iman dan amal saleh serta tauhid yang lurus
itu pun harus berdasarkan ilmu yang sahih. Karena itulah, beliau pun menukil perkataan
Imam Bukhari rahimahullah, ‘Bab: Ilmu sebelum Ucapan dan Amalan’.

Dalam kitab Miftah Daris Sa’adah, Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “Iman itu
memiliki dua pilar. Yang pertama adalah mengenali ajaran yang dibawa oleh Rasul dan
mengilmuinya. Yang kedua adalah membenarkan ajaran itu dalam bentuk ucapan dan
amalan. Pembenaran tanpa landasan ilmu dan pemahaman adalah mustahil. Karena
pembenaran merupakan cabang dan konsekuensi dari keberadaan sesuatu yang
diyakini kebenarannya. Kalau begitu, maka kedudukan ilmu dalam keimanan seperti
peranan ruh di dalam jasad.” (lihat kitab ‘Ibadatul ‘Umri karya Syekh Abdurrahman As-
Sanad hafizhahullah, hal. 10)

Kecintaan kepada ilmu agama dan pengagungan kepada ilmu Islam adalah pedoman
yang harus selalu ditanamkan. Tidak mungkin bisa mewujudkan ibadah dan keislaman
dengan benar, kecuali orang yang mengerti apa hakikat ibadah dan Islam secara benar
pula. Oleh sebab itu, di dalam risalah Tsalatsatul Ushul beliau memberikan penjelasan
tentang Islam, bahwa Islam itu adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid,
tunduk kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya.

Oleh sebab itu, di dalam kitab Al-Qawa’id Al-Arba’ beliau juga mengingatkan kepada
kita bahwa sesungguhnya pengakuan tentang keesaan Allah dalam hal rububiyah-Nya,
keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam, hal itu
belum cukup dan belum bisa memasukkan pemiliknya ke dalam agama Islam. Tidakkah
seorang masuk ke dalam Islam, kecuali dengan dua kalimat syahadat yang terkandung
di dalamnya kewajiban mentauhidkan Allah dalam beribadah dan berlepas diri dari syirik
dan kekafiran.

Karena itulah, di dalam Kitab Tauhid beliau membuat bab tentang dakwah/ seruan
kepada syahadat laa ilaha illallah. Yang pada hakikatnya itu merupakan dakwah tauhid,
dakwah yang diemban oleh para nabi dan rasul serta para penerus perjuangan mereka.
Allah Ta’ala berfirman,

‫ِﯽ‬‫ﻨ‬F‫ﻌ‬F‫ﺒ‬ U ‫ﻣﻦ‬
‫ٱﺗ‬ FF
‫و‬ ۠
‫ﺎ‬ FF
‫ﻧ‬ ‫أ‬ ٍ
‫ة‬ F
‫ﺮ‬ ‫ِﯿ‬
‫ﺼ‬ F ‫ﻰ‬F
‫ﺑ‬ ‫ﻠ‬F‫ﻋ‬ U
ِ
W ‫ٱ‬ ‫ﻰ‬ F‫۟ إ‬
‫ﻟ‬ ‫ا‬ ‫ﻮ‬9‫ﻋ‬ ‫د‬
ۡ
F
‫ﺒﯿﻠ‬F‫ِ ﺳ‬
‫ِﯽ أ‬ ‫ِه‬‫ۦ‬C
‫ﺬ‬ ‫ـ‬F
‫ۡھ‬‫ﻞ‬9
‫ﻗ‬
ۖ ِ C ۚ ِ ۤ ۤ ِ
“Katakanlah, ‘Inilah jalanku. Aku menyeru menuju Allah di atas bashirah (hujjah) yang
nyata. Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku.’” (QS. Yusuf: 108)

Di dalam Kitab Tauhid itu pula beliau membawakan hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma yang mengisahkan diutusnya Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman dan
di dalamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepadanya untuk
menjadikan dakwah kepada dua kalimat syahadat atau dakwah tauhid sebagai materi
pertama dan paling utama yang harus diajarkan kepada mereka.

Pemurnian Ibadah kepada Allah


Di dalam risalahnya Tsalatsatul Ushul beliau mengingatkan kepada kita bahwa
sesungguhnya tauhid inilah perintah yang Allah Ta’ala berikan kepada seluruh manusia.
Beliau pun membawakan firman Allah Ta’ala,
U F 9 F F F
‫ﻮن‬9
F ‫ﻘ‬U Fۡ
‫ﺗﺘ‬ ‫ﻢ‬9
‫ﻠﻜ‬F‫ۡ ﻟﻌ‬
‫ِﻜﻢ‬
‫ۡﻠ‬ ‫ﻣ‬F
‫ِﻦ ﻗﺒ‬ ‫ِﯾﻦ‬ U F
‫ٱﻟﺬ‬ ‫ۡو‬ ‫ﻜ‬F
‫ﻢ‬9 ‫ﻠﻘ‬F‫ِی ﺧ‬ U 9
‫ٱﻟﺬ‬ ‫ﻢ‬9 UF
‫ﺑﻜ‬ ‫۟ر‬ 99
‫ﺪوا‬ ‫ ٱﻋ‬9‫ﺎس‬U
‫ۡﺒ‬ ‫ﺎ ٱﻟﻨ‬F
‫ﯾﮭ‬e‫ﺄ‬Cۤ
‫ﯾـ‬F

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan orang-orang
sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Perintah untuk menyembah (beribadah) di dalam ayat ini mencakup dua pemaknaan
sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah. Pertama, bermakna
mentauhidkan-Nya dan yang kedua bermakna taat kepada-Nya. Kedua penafsiran ini
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. (lihat Zaadul Masiir, hal. 48 karya
Ibnul Jauzi)

Ibnu Katsir rahimahullah menukil penafsiran Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma terhadap


ayat,
F
‫ﻢ‬9
9 UF
‫ﺑﻜ‬ ‫۟ر‬ 99
‫ﺪوا‬ ‫ ٱﻋ‬9‫ﺎس‬U
‫ۡﺒ‬ ‫ﺎ ٱﻟﻨ‬F
‫ﯾﮭ‬e‫ﺄ‬Cۤ
‫ﯾـ‬F

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian…” (QS. Al-Baqarah: 21)

Beliau berkata, “Tauhidkanlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-
orang sebelum kalian.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1: 195 karya Ibnu Katsir)

Ayat ini berisi seruan dan panggilan kepada seluruh manusia untuk memurnikan ibadah
kepada Allah. Karena hanya Allah yang menciptakan mereka. Maka, sudah seharusnya
mereka menujukan ibadah kepada Allah semata. (lihat Syarh Mutun al-’Aqidah, hal. 214)

Ayat di atas juga memberikan faidah kepada kita, bahwasanya ibadah merupakan
kewajiban seluruh umat manusia. Semua orang wajib untuk tunduk beribadah
(bertauhid) kepada Allah. Ibadah itu pun harus ditegakkan di atas dua asas: ikhlas
kepada Allah dan sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat
Ahkam minal Qur’an Al-Karim, hal. 106)

Islam mengajak kepada pemurnian ibadah kepada Allah. Dan hal inilah yang ditentang
keras oleh kaum musyrikin di sepanjang masa. Mereka menyombongkan diri bahkan
menggelari da’i tauhid dengan julukan-julukan yang buruk. Allah Ta’ala berfirman,
F ۟ 9 F 9U
F
‫ون‬9
‫ِﺮ‬ ‫ﻜ‬F
‫ۡﺒ‬ F9W
‫ﯾﺴۡﺘ‬ U‫ إ‬F
U‫ﻻ ٱ‬ِ ‫ﮫ‬C‫ﻟـ‬Fِ
‫ﻻۤ إ‬F ۡ
‫ﻢ‬9‫ﻟﮭ‬F F
‫ِﯿﻞ‬
‫ِذا ﻗ‬
‫ۤا إ‬
‫ۡ ﻛﺎﻧﻮ‬
‫ِﻧﮭﻢ‬
‫إ‬
F ‫ﺎ‬U FF 9 9
‫ﻮن‬9‫ﻨ‬ ‫ﺠ‬ U
‫ﻣ‬ ‫ِﺮ‬
‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬F‫ِﺸ‬
‫ﻟ‬ ‫ﺎ‬F‫ِﻨ‬
‫ﺘ‬ F
‫ﮭ‬ ‫ﻟ‬
ِ ‫ا‬ F
‫ء‬ ۟
‫ا‬ ‫ﻮ‬9‫ﻛ‬ ‫ﺎر‬F‫ﺘ‬ ‫ﻟ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﯨ‬ v FF
‫ﯾﻘﻮﻟﻮن أ‬ ‫و‬
ۭ ۡ ࣲ
ِ ۤ ِ

“Sesungguhnya mereka itu apabila diserukan kepada mereka laa ilaha illallah maka
mereka menyombongkan dirinya, seraya mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan
sesembahan-sesembahan kami hanya untuk mengikuti seorang penyair gila.” (QS. Ash-
Shaffat: 35-36)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas
agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya
harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari
syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang
merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah
apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali
apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (lihat Ia’nat Al-Mustafid
bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17])

Akidah merupakan asas di dalam agama. Ia merupakan kandungan dari syahadat ‘laa
ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah’. Akidah merupakan kandungan dari rukun
Islam yang pertama. Oleh sebab itu, wajib memperhatikannya dan mengenalinya dengan
baik. Wajib pula mengetahui hal-hal yang bisa merusaknya. Dengan begitu, maka
seorang insan akan berada di atas ilmu yang nyata dan di atas akidah yang benar.
Karena apabila agamanya tegak di atas pondasi yang benar niscaya agama dan amalnya
akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah. (lihat keterangan Syekh Shalih Al-Fauzan
hafizhahullah dalam At-Ta’liqat ‘ala Ath-Thahawiyah, hal. 23)

Karena pentingnya akidah tauhid inilah, Allah Ta’ala utus para rasul untuk menyeru
manusia agar beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut. Setiap rasul berkata,

9
ۤ9
‫ه‬‫ﺮ‬ ‫ﯿ‬F
‫ۡۥ‬ ‫ﮫ‬C
‫ٍﻏ‬ ‫ﻟـ‬Fِ
‫ۡإ‬‫ِﻦ‬ ‫ﻟﻜ‬F ‫ﻣﺎ‬
‫ﻢ ﻣ‬9 U‫۟ ٱ‬
F FW 99
‫ﺪوا‬ ‫ۡﺒ‬
‫ِ ٱﻋ‬
‫ۡم‬‫ﻮ‬F
‫ﻘ‬C F
‫ﯾـ‬

“Wahai kaumku, sembahlah Allah saja. Tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.”
(QS. Al-A’raf: 59).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selama 10 tahun di Mekah pun mengokohkan tauhid,
mendakwahkannya, memerangi syirik, dan memperingatkan umat darinya. Setelah itu,
sepanjang hayatnya beliau berusaha meneguhkan dan mengokohkan akidah tauhid dan
menerangkan hukum-hukum syari’at. Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan dan
memprioritaskan perkara akidah dalam belajar, mengajar, beramal, dan berdakwah.
(lihat Ushul Ad-Da’wah As-Salafiyah, hal. 42)
Kalimat iman yaitu laa ilaha illallah mengandung sikap berlepas diri dari segala bentuk
sesembahan selain Allah dan menetapkan bahwa ibadah ditujukan kepada Allah semata.
Allah berfirman,

ۗ
‫ﺎ‬F‫ﻟﮭ‬F F
‫ﺎم‬F
‫ِﺼ‬ ‫ﻰ‬F
‫ﻻ ٱﻧﻔ‬F C ‫ۡﺛﻘ‬9 ۡ ِ
‫ٱﻟﻮ‬ ‫ة‬F ‫ﺮ‬9
‫ۡو‬ ‫ِﭑﻟﻌ‬ ۡF
ۡ ‫ ﺑ‬F‫ﻚ‬F‫ﻤﺴ‬ ‫ﺪ‬F
‫ِ ٱﺳۡﺘ‬ ‫ﻘ‬F U‫ِﭑ‬
‫ِ ﻓ‬W ‫ۢﺑ‬ ‫ۡﻣ‬
‫ِﻦ‬ 9F
‫ﯾﺆ‬ ‫ﻮتِ و‬9
‫ﻐ‬C‫ـ‬U‫ِﭑﻟﻄ‬
‫ۡﺑ‬‫ﺮ‬9
‫ۡﻔ‬ ‫ﻤ‬F
F ‫ﻦ‬F
‫ﯾﻜ‬ ‫ﻓ‬

“Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya
dia telah berpegang teguh dengan buhul tali yang paling kuat dan tidak akan terputus…”
(QS. Al-Baqarah: 256).

Yang dimaksud dengan ‘urwatul wustqa’ (buhul tali yang paling kuat) adalah kalimat laa
ilaha illallah, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama tafsir. (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-
’Azhim, 1: 684)

Allah berfirman,
ࣱ F ࣰ ࣰ ࣰ
9 F FF F
ِۤ
‫ء‬ ‫ﺎ‬F
‫ﻤ‬U‫ِﯽ ٱﻟﺴ‬‫ﺎ ﻓ‬F
‫ﮭ‬9‫ۡﻋ‬ F
‫ﻓﺮ‬F ‫ﺎ ﺛﺎﺑ‬F
‫ِﺖ و‬ ‫ۡﻠﮭ‬ ‫ﺔ‬F
‫ٍ أﺻ‬ F ‫ة‬F
‫ࣲ ﻃﯿِﺒ‬ ‫ﺮ‬FF F
‫ﺔ ﻛﺸﺠ‬F F
‫ﺔ ﻃﯿِﺒ‬F‫ِﻤ‬‫ﻠ‬F‫ﻣﺜﻼ ﻛ‬ U‫ ٱ‬F
9W ‫ب‬F‫ﺮ‬F
‫ﺿ‬F ‫ﯿ‬F
‫ۡﻒ‬ ‫ﻛ‬F Fۡ
‫ﺗﺮ‬ ‫ﻟﻢ‬F‫أ‬
U F U F Fۡ F99
F
‫ون‬9‫ﺮ‬U‫ﻛ‬F
‫ﺬ‬F Fۡ
‫ﯾﺘ‬ ‫ﻠﮭ‬F
‫ﻢ‬9 ‫ِﻠﻨﺎسِ ﻟﻌ‬ ‫ﻟ‬F
‫ﻣﺜﺎل‬ۡ‫ ٱﻷ‬9WU‫ ٱ‬9‫ِب‬
‫ۡﺮ‬ FF
‫ﯾﻀ‬ ‫ۗو‬‫ﺎ‬F
‫ِﮭ‬‫ﺑ‬F ۡ‫ِﺈ‬
‫ذنِ ر‬ ‫ﺑ‬
ِ ِ‫ِﯿﻦ‬‫ﺣ‬ U
‫ﻞ‬ 9
‫ﻛ‬ ‫ﺎ‬ F
‫ﮭ‬ ‫ِﯽ أﻛﻠ‬‫ۡﺗ‬
‫ﺗﺆ‬9
ۭ ۤ
“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan suatu perumpamaan tentang
suatu kalimat yang baik seperti sebuah pohon yang baik, yang pokoknya kokoh dan
cabang-cabangnya menjulang di langit. Ia memberikan buah-buahnya pada setiap
muslim dengan izin Rabbnya. Dan Allah memberikan perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia, mudah-mudahan mereka mau mengambil pelajaran.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘kalimat yang baik’ di sini
adalah kalimat laa ilaaha illallah. Beliau juga menjelaskan bahwa perumpamaan ‘pohon
yang baik’ itu maksudnya adalah pohon kurma. Ibnu Abbas menafsirkan bahwa yang
dimaksud adalah sebuah pohon di surga. (lihat Tafsir Al-Baghawi, hal. 685)

Ibnu Abbas juga menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘kalimat yang baik’ adalah syahadat
laa ilaha illallah. Adapun yang dimaksud ‘pohon yang baik’ di sini adalah gambaran
seorang mukmin. Yang pokoknya kokoh tertanam di dalam hati, yaitu kalimat laa ilaha
illallah, dan cabangnya menjulang tinggi di langit maksudnya amal-amalnya terangkat ke
langit. Ayat ini memberikan perumpamaan tentang keadaan seorang mukmin yang
ucapannya baik dan amalannya juga baik. Perumpamaan seorang mukmin seperti pohon
kurma. Senantiasa muncul darinya amal saleh pada setiap waktu dan musim, di kala
pagi maupun sore. (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 4: 491)
Demikianlah perumpaan tentang keberadaan seorang mukmin. Ia laksana sebatang
pohon yang bagus. Akarnya tertancap kuat di dalam bumi berupa ilmu dan keyakinan.
Adapun cabang-cabangnya berupa ucapan-ucapan yang baik, amal-amal saleh, akhlak
mulia, dan adab-adab yang indah, semuanya menjulang tinggi di langit. Amal-amal dan
ucapan-ucapan yang baik pun terangkat pahalanya ke langit ke hadapan Allah yang itu
semuanya merupakan buah dari pohon keimanan. Dengan itu semua, maka seorang
mukmin bisa mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang-orang lain
di sekitarnya. (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 425)

Maka, sungguh aneh apabila ada sebagian orang yang mengaku sebagai da’i-da’i Islam
yang menyeru kepada persatuan dan persaudaraan, tetapi justru menyingkirkan dakwah
tauhid dan peringatan dari bahaya syirik. Mereka ingin menyatukan umat tanpa
menegakkan pondasi Islam, yaitu tauhid. Mereka ingin merajut persaudaraan tanpa
menanamkan akar keimanan yaitu tauhid. Sungguh aneh bin ajaib! Betapa banyak orang
yang mengaku muslim di masa kini tetapi menujukan ibadahnya kepada selain Allah.
Mereka berdoa kepada Hasan dan Husain. Mereka meminta kepada sesembahan selain
Allah. Apakah bisa dipersatukan orang yang hatinya menghamba kepada Allah semata
dengan orang-orang yang hatinya tercerai-berai oleh beraneka ragam bentuk
sesembahan?!

Hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa masih banyak di antara umat Islam ini
yang tidak memahami makna kalimat tauhid. Mereka mengucapkan laa ilaha illallah
dalam keadaan tidak memahami maknanya dengan benar. Sehingga mereka pun
terjerumus dalam berbagai bentuk praktek dan keyakinan syirik yang meruntuhkan iman
dan ketaatan.

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Bagaimana bisa tersembunyi makna


tauhid ini dari orang-orang yang beribadah kepada kuburan dan makam-makam
keramat, sementara mereka itu menyandarkan dirinya sebagai bagian dari umat Islam?!
Bahkan, bisa jadi di antara mereka juga ada yang tergolong ahli ilmu agama dan
fuqaha’/ahli fikih. Akan tetapi, sebenarnya hal ini merupakan buah (akibat) dari
keteledoran dan tidak adanya perhatian yang serius terhadap perkara yang agung ini.
Padahal inilah yang menjadi asas agama dan jalan keselamatan.” (lihat At-Ta’liq Al-
Mukhtashar Al-Mubin ‘ala Qurrati ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 29)

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan
meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada
Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang
musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya
sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka, bukanlah
yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi, yang
terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.
Kalau tidak seperti itu, maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada
Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang
melakukan salat, puasa, dan haji, tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain
Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Artikel: www.muslim.or.id

Anda mungkin juga menyukai