Anda di halaman 1dari 4

Wajibkah Kita Bermadzhab?

rumaysho.com /950-wajibkah-kita-bermadzhab.html

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
para sahabatnya.

Seringkali kita mendengar sebagian orang mengatakan bahwa kita wajib memilih madzhab tertentu dalam
beragama dan jangan sampai meninggalkannya. Apakah prinsip seperti ini diperkenankan dalam syariat Islam
ini? Temukan jawabannya dalam artikel berikut ini. Semoga bermanfaat.

Apakah Orang Awam Wajib Memilih Madzhab Tertentu Untuk Beragama?

Dalam hal ini ada dua pendapat: Salah satu pendapat yang ada mengatakan, Tidak wajib. Inilah pendapat
yang lebih tepat. Yang namanya kewajiban adalah jika diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-
Nya sama sekali tidak mewajibkan kepada seseorang untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu untuk diikuti
agamanya, namun yang diwajibkan adalah mengikuti petunjuk Al Quran dan As Sunnah. Dan telah berlalu
beberapa generasi, namun mereka sama sekali tidak berpegang dengan satu madzhab tertentu.[1]
Intinya, mewajibkan mengikuti salah satu madzhab tertentu tidaklah dibolehkan. Inilah hukum asalnya.

Namun perlu diperhatikan bahwa pendapat di atas tidak berlaku secara mutlak. Sebenarnya tetap
diperbolehkan mengikuti madzhab tertentu namun hanya berlaku pada keadaan tertentu saja. Keadaan-
keadaan yang dibolehkan tersebut adalah:
1. Mempelajari madzhab tertentu hanya sebagai wasilah (perantara) saja dan bukan tujuan. Jika seseorang
tidak mampu belajar agama kecuali dengan mengikuti madzhab tertentu, maka dalam keadaan seperti ini
dibolehkan.
2. Jika ia mengikuti madzhab tertentu untuk menghilangkan mafsadat (kerusakan) lebih besar, yang ini bisa
dihilangkan bila ia mengikuti madzhab tertentu, maka ini dibolehkan. [2]

Jadi sebenarnya mengikuti madzhab tertentu harus melihat pada maslahat dan mafsadat. Jika mengikuti
madzhab tertentu membuat seseorang mendapatkan maslahat besar, maka pada saat ini boleh bermadzhab.
Namun ada beberapa rambu yang harus diperhatikan ketika belajar pada madzhab tertentu.

Rambu-Rambu dalam Bermadzhab

Rambu pertama: Harus diyakini bahwa madzhab tersebut bukan dijadikan sarana kawan dan musuh sehingga
bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Jadi tidak boleh seseorang berprinsip jika orang lain tidak
mengikuti madzhab ini, maka ia musuh kami dan jika semadzhab, maka ia adalah kawan kami.

Sifat dari pengikut hawa nafsu (ahlu bidah) berprinsip bahwa satu person dijadikan sebagai tolak ukur teman
dan lawan. Sedangkan Ahlus Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar wala dan baro (kawan dan
lawan) hanya dengan mengikuti Al Quran dan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, serta ijma
(konsensus) para ulama kaum muslimin.

Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu dan tidak
boleh mengikuti imam lainnya. Jika ada yang meyakini demikian, dialah orang yang jahil. Namun orang awam
boleh baginya mengikuti orang tertentu, akan tetapi tidak ditentukan bahwa yang diikuti mesti Muhammad, Amr
atau yang lainnya.

Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia
menyampaikan maksud dari agama dan syariat Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-
Nya. Maka tidak boleh seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu adalah pendapat imamnya.
Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia mengambil pendapat imam tersebut karena itu yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
1/4
Rambut keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para
pengikut madzhab di antaranya:

1. Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.


2. Berpaling dari Al Quran dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.
3. Membela madzhab secara overdosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhoif agar orang lain
mengikuti madzhabnya.
4. Mendudukkan imam madzhab sebagai Nabi shallallahu alaihi wa sallam. [3]

Ibnu Taimiyah mengatakan,

Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil
mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang
seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.[4]

Dalil dari perkataan Syaikhul Islam di atas, Allah Taala berfirman,

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. An Nisa: 65)

Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau
mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. (QS. An Nisa: 64)

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imron: 31)

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka
(QS. Al Ahzab: 36)


Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-
orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An Nisa: 69)

Prinsip Yang Benar: Ikutilah Al Quran dan As Sunnah

Prinsip yang benar adalah mengikuti Al Quran dan As Sunnah. Selama perkataan imam madzhab sejalan
dengan keduanya, maka barulah perkataan mereka layak diambil. Sedangkan memaksakan seseorang untuk
bermadzhab dengan pendapat salah seorang di antara mereka, ini adalah menetapkan perintah tanpa adanya
dalil.

Allah Taala berfirman,


2/4

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS. Al Arof: 3)

Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir. (QS. Ali Imron: 32)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS. An Nisa: 59)

Hal ini juga dapat dilihat dalam hadits Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu seolah-olah inilah nasehat
terakhir Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menasehati para sahabat
radhiyallahu anhum,

Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu
dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini
shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)

Salah seorang khulafaur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash
Shiddiq radhiyallahu anhu mengatakan,

Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam amalkan kecuali aku
mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang. (Lihat Shohih wa
Dhoif Sunan Abi Daud, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)

Ibnu Baththoh dalam Al Ibanah, 1/246, mengomentari perkataan Abu Bakar di atas, beliau rahimahullah
mengatakan, Inilah, wahai saudaraku! Orang yang paling shiddiq (paling jujur) seperti ini saja masih merasa
takut dirinya akan menyimpang jika dia menyelisihi sedikit saja dari perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Bagaimana lagi dengan orang yang mengejek Nabi dan perintahnya (ajarannya), membanggakan diri dengan
menyelisihinya, mencemooh petunjuknya (ajarannya). -Kita memohon kepada Allah agar terjaga dari kesalahan
dan agar terselamatkan dari amal yang jelek-

Para Imam Madzhab Sendiri Memerintahkan Kita untuk Mengikuti Petunjuk Nabi

Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berkata,

Tidak boleh bagi seorang pun mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil
perkataan tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen).[5]

Imam Malik berkata,

Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu
mencocoki Al Quran dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Quran dan

3/4
Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[6]

Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafii berkata,

Jika hadits itu shahih, itulah pendapatku.[7]

Imam Asy Syafii berkata,

Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah
diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.[8]

Imam Ahmad berkata,

Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam
jurang kebinasaan.[9]

Semoga Allah memberikan taufik bagi siapa saja yang membaca risalah yang ringkas ini. Amin Yaa Mujibas
Saailin.

Diselesaikan di Panggang, GK, 18 Rabiuts Tsani 1431 H (02/04/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

[1] Lihat Ilamul Muwaqiin, 4/261-262

[2] Lihat Majmu Al Fatawa, 11/514 dan 20/209

[3] Pembahasan ini dan point sebelumnya kami ambil faedah dari pembahasan kitab Maalim Ushul Fiqh, hal.
501-503

[4] Majmu Al Fatawa, 35/121, Darul Wafa

[5] Ilamul Muwaqiin, 2/211, Darul Jail

[6] Ilamul Muwaqiin, 1/75

[7] Dinukil dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/39, 41

[8] Majmu Al Fatawa, 20/211, Darul Wafa

[9] Ibnul Jauzi dalam Manaqib, hal. 182. Dinukil dari sifat Shalat Nabi hal. 53

4/4

Anda mungkin juga menyukai