Anda di halaman 1dari 12

ILMU ASBABUN NUZUL

A. Pengertian Asbabun Nuzul


1. Secara Etimologi
Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata“asbab” dan “nuzul”,
Secara etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu.
Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu dapat disebut asbab an-
nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan
sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Alquran, seperti halnya asbab al-wurud secara
khusus digunakan bagi sebab terjadinya hadist.
Muhammad Abdul Azhim Al-Zarqani mentakwilkan kata nuzul dengan kata i’lam
(seperti yang dikutip oleh Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan). Alasannya:
a. Mentakwilkan kata nuzul dengan i’lam berarti kembali pada apa yang telah diketahui dan
dipahami dari yang diacunya.
b. Yang dimaksud dengan adanya Al-Qur’an di Lauh al-mahfuzh, Baitul ’Izzah dan dalam hati
Nabi SAW. juga berarti bahwa Al-Qur’an telah di-i’lam-kan oleh Allah pada masing-masing
tempat tersebut sebagai petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebenaran.
c. Mentakwilkan kata nuzul dengan i’lam hanyalah tertuju pada Al-Quran semata dengan semua
segi dan aspeknya. (Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan. 1992: 65-67)
2. Secara Terminologi
Banyak pengertiannya terminologi yang di rumuskan oleh para ulama, di antaranya:
a. Menurut Az-zarqoni: Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta
hubungan dengan turunnya ayat al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat
peristiwa itu terjadi”.
b. Ash-shabuni: asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu
ayat atau beberapa ayat mulai yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik
berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan
agama”.
c. Subhi shalih: asbab an-nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa
ayat al-qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau
penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
d. Mana’ Al-Qaththan: asbab an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya
al-qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa kejadian atau
pertanyaan yang diajukan kepada nabi”.
Kendatipun redaksi pendifinisian di atas sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan bahwa
asbab an-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-qur’an,
dalam rangka menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari
kejadian tersebut. Asbab an-nuzul merupakan bahan sejarah yang dapat di pakai untuk
memberikan keterangan terhadap turunnya ayat Al-qur’an dan memberinya konteks dalam
memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan ini hanya melingkupi peristiwa pada
masa Al-qur’an masih turun (ashr at-tanzil). (Rosihon Anwar, 2006: 61)
Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Al-qur’an itu sangat beragam,
diantaranya:
a. Berupa konflik sosial, seperti ketegangan yang terjadi diantara suku Aus dan suku khazraj.
b. Kesalahan besar, seperti kasus seorang sahabat yang mengimani shalat dalam keadaan mabuk.
c. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada nabi, baik berkaitan
dengan sesuatu yang telah lewat, sedang, atau yang akan rerjadi.
Persoalan mengenai apakah seluruh ayat al-qur’an memiliki asbab an-nuzul atau tidak,
ternyata telah menjadi bahan kontroversi diantara para ulama. Sebagian ulama berpendapat
bahwa tidak semua ayat al-qur’an memiliki asbab an-nuzul. Oleh sebab itu, ada ayat al-qur’an
yang diturunkan tanpa ada yang melatarbelakanginya (ibtida’), dan sebagian lainnya diturunkan
dengan di latarbelakamgi oleh sesuatu peristiwa (ghair ibtida’).
Pendapat tersebut hampir menjadi kesepakatan para ulama. Akan tetapi sebagian
berpendapat bahwa kesejarahan arabia pra-qur’an pada masa turunnya Al-qur’an merupakan
latar belakang makro Al-qur’an, sedangkan riwayat-riwayat asbab an-nuzul merupakan
latarbelakang mikronya. Pendapat ini berarti mengaggap bahwa semua ayat Alquran memiliki
sebab-sebab yang melatarbelakanginya
3. Redaksi Dan Makna Ungkapan Sabab An-Nuzul
Ungkapan-ungkapan yang di gunakan oleh para sahabat untuk menunjukkan turunnya Al-
qur’an tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu secara garis besar di kelompokkan dalam
dua kategori, yaitu:
a. Sarih (jelas)
Ungkapan riwayat “sarih” yang memang jelas menunjukkan asbab an-nuzul dengan
indikasi menggunakan lafadz (pendahuluan). Seperti:
1) “sebab turun ayat ini adalah ...”
2) “telah terjadi... maka turunlah ayat …”
3) “rasulullah saw pernah di tanya tentang ... maka turunlah ayat ...”
Contoh lain: QS. Al-maidah/5, ayat 2 yang berbunyi:
ٓ
َ‫ي َواَل ۡٱلقَ ٰلَئِ َد َوٓاَل َءٓا ِّمينَ ۡٱلبَ ۡيتَ ۡٱل َح َرا َم يَ ۡبتَ ُغون‬ َ ‫وا َش ٰ َٓعئِ َر ٱهَّلل ِ َواَل ٱل َّش ۡه َر ۡٱل َح َرا َم َواَل ۡٱلهَ ۡد‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ُّ‫وا اَل تُ ِحل‬
َ t‫ ِج ِد ۡٱل َح‬t ‫ص ُّدو ُكمۡ ع َِن ۡٱل َم ۡس‬
‫ر ِام أَن‬t َ ‫َٔانُ قَ ۡو ٍم أَن‬tَ‍‫ُوا َواَل يَ ۡج ِر َمنَّ ُكمۡ َشن‬ ْ tۚ ‫ٱصطَاد‬ ۡ َ‫ا َوإِ َذا َحلَ ۡلتُمۡ ف‬tۚ‫ض ٰ َو ٗن‬
ۡ ‫ضاٗل ِّمن َّربِّ ِهمۡ َو ِر‬ ۡ َ‫ف‬
ِ ‫وا ٱهَّلل ۖ َ إِ َّن ٱهَّلل َ َش ِدي ُد ۡٱل ِعقَا‬
‫ب‬ ْ ُ‫وا َعلَى ٱإۡل ِ ۡث ِم َو ۡٱلع ُۡد ٰ َو ۚ ِن َوٱتَّق‬ْ ُ‫وا َعلَى ۡٱلبِ ِّر َوٱلتَّ ۡق َو ٰۖى َواَل تَ َعا َون‬ ْ ۘ ‫ت َۡعتَد‬
ْ ُ‫ُوا َوتَ َعا َون‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah
sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.
Asbab an-nuzul dari ayat ini; ibnu jarir mengetengahkan subuah hadits dari ikrimah
yang telah bercerita,” bahwa hatham bin hindun al-bakri datang kemadinah beserta kafilahnya
yang membawa bahan makanan. Kemudian ia menjualnya lalu ia masuk ke madinah menemui
nabi saw. setelah itu ia membaiatnya masuk islam. Tatkala ia pamit untuk keluar pulang, nabi
memandangnya dari belakang kemudian beliau bersabda kepada orang-orang yang ada di
sekitarnya, ‘sesungguhnya ia telah menghadap kepadaku dengan muka yang bertampang
durhaka, dan ia pamit dariku dengan langkah yang khianat. Tatkala al-bakri sampai di
yamamah, ia kembali murtad dari agama islam. Kemudian pada bulan dhulkaidah ia keluar
bersama kafilahnya dengan tujuan makkah. Tatkala para sahabat nabi saw. Mendengar
beritanya, maka segolongan sahabat nabi dari kalangan kaum muhajirin dan kaun ansar
bersiap-siap keluar madinah untuk mencegat yang berada dalam kafilahnya itu. Kemudian
Allah SWT. Menurunkan ayat,’ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
shiar-shiar Allah. (QS. Al-maidah/5: 2) kemudian para sahabat mengurungkan niatnya (demi
menghormati bulan haji itu). (Qamaruddin Shaleh dan. M. D. Dahlan, Dkk. 2004: 182)
Hadits serupa ini di kemukakan pula oleh asadiy.” Ibnu abu khatim mengetengahkan
dari zaid bin aslam yang mengatakan, bahwa rasulullah saw. Bersama para sahabat tatkala
berada di hudaibiah, yaitu sewaktu orang-orang musyrik mencegah mereka untuk memasuki
bait al-haram peristiwa ini sangat berat dirasakan oleh mereka, kemudian ada orang-orang
musyrik dari penduduk sebelah timur jazirah arab untuk tujuan melakukan umroh. Para
sahabat nabi saw. Berkata, marilah kita halangi mereka sebagaimana (teman-teman mereka)
merekapun menghalangi sahabat-sahabat kita. Kemudian Allah Swt. Menurunkan ayat,
”janganlah sekali-kali mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka.” (QS. Al-maidah/5 ayat :
2)
b. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)
Ungkapan “muhtamilah”adalah ungkapan dalam riwayat yang belum dipastikan asbab
an-nuzul karena masih terdapat keraguan. Hal tersebut dapat berupa ungkapan sebagai
berikut:
1) ...“ayat ini diturunkan berkenaan dengan ...”
2) “saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ...”
3) “saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan ...”
Contohnya: QS. Al-baqarah/2: 223 yang berbunyi:
َ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا أَنَّ ُكم ُّم ٰلَقُو ۗهُ َوبَ ِّش ِر ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِين‬ ْ ُ‫وا أِل َنفُ ِس ُكمۡۚ َوٱتَّق‬
ۡ ‫وا ٱهَّلل َ َو‬ tْ ُ‫ث لَّ ُكمۡ فَ ۡأت‬ٞ ‫نِ َسٓا ُؤ ُكمۡ َح ۡر‬
ْ ‫وا َح ۡرثَ ُكمۡ أَنَّ ٰى ِش ۡئتُمۡۖ َوقَ ِّد ُم‬
Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman.
Asbab an-nuzul dari ayat berikut; dalam sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh abu
daud dan hakim, dari ibnu abbas di kemukakan bahwa penghuni kampung di sekitar yatsrib
(madinah), tinggal berdampingan bersama kaum yahudi ahli kitab. Mereka menganggap
bahwa kaum yahudi terhormat dan berilmu, sehingga mereka banyak meniru dan menganggap
baik segala perbuatannya. Salah satu perbuatan kaum yahudi yang di anggap baik oleh mereka
ialah tidak menggauli istrinya dari belakang.
Adapun penduduk kampung sekitar quraish (makkah) menggauli istrinya dengan
segala keleluasannya. Ketika kaum muhajirin (orang makkah) tiba di madinah salah seorang
dari mereka kawin dengan seorang wanita ansar (orang madinah). Ia berbuat seperti
kebiasaannya tetapi di tolak oleh istrinya dengan berkata: “kebiasaan orang sini, hanya
menggauli istrinya dari muka.” Kejadian ini akhirnya sampai pada nabi saw, sehingga
turunlah ayat tersebut di atas yang membolehkan menggauli istrinya dari depan, balakang,
atau terlentang, asal tetap di tempat yang lazim. (Jalaluddin as-Suyuthi, 2008: 95)

B. Fungsi Asbabun Nuzul dalam Memahami al-Qur’an


Para mufassirūn (para ahli tafsir) telah memperhatikan dan memberikan pembahasan khusus
masalah asbāb an-nuzūl dalam buku-buku mereka. Di antaranya:
1. Ali bin Madini syaikh Bukhari, kemudian karangan termasyhur yang di tulis oleh al-Wahidi
dengan judul Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān. Telah salahlah yang mengira bahwa tidak ada gunanya
mengetahui asbāb an-nuzūl. Karena, menurut mereka mempelajarinya hanya bagaikan mengikuti
peristiwa sejarah. Padahal tidaklah demikian, sebab mempelajari asbāb an nuzūl memiliki
beberapa faidah. (Az-Zarkasi. (1985: 22)
2. Al-Wahidi mengatakan tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat tanpa bersandar kepada kisah
dan penjelasan sebab turunnya.
3. Ibnu Daqiq al-Id juga mengatakan bahwa menjelaskan sabab nuzūl adalah cara yang kuat dalam
memahami makna-makna ayat Al-Qur’ān.
4. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa mengetahui sabab nuzūl membantu dalam memahami sebuah
ayat, karena pengetahuan tentang as-sabab (sebab) akan menghasilkan al-musabbab (akibat).
(As-Suyūti. 2000: 59)
5. Az-Zarqani menjelaskan secara detail tentang fawā`id (faedah-faedah) mengetahui asbāb an-
nuzūl, di antaranya:
a. Membantu dalam memahami ayat dan menghilangkan kesulitan. Semisal firman Allah SWT.
dalam surat al-Baqarah ayat 115:
ْ ُّ‫ق َو ۡٱل َم ۡغ ِر ۚبُ فَأ َ ۡينَ َما تُ َول‬
‫يم‬ٞ ِ‫وا فَثَ َّم َو ۡجهُ ٱهَّلل ۚ ِ إِ َّن ٱهَّلل َ ٰ َو ِس ٌع َعل‬ ُ ‫َوهَّلِل ِ ۡٱل َم ۡش ِر‬
Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Lafal ayat ini secara tekstual menunjukkan bahwa seseorang boleh melaksanakan salat
menghadap kemana saja, tidak diwajibkan baginya untuk menghadap al-Bait al-Haram baik
dalam berpergian maupun di rumah. Akan tetapi jika ia mengetahui bahwa ayat ini turun bagi
orang yang berpergian atau pun orang yang salat dengan hasil ijtihad dan ternyata hasil
ijtihadnya salah tidak sesuai dengan yang di maksud, maka ia akan memahami bahwa maksud
ayat di atas adalah memberikan keringanan bagi musafir dalam salat sunnah atau terhadap
orang yang berijtihad dalam menentukan arah kiblat, kemudian salat dan ternyata hasil
ijtihadnya salah dalam menentukan arah kiblat. Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa ayat
ini turun berkaitan dengan salat musafir yang sedang dalam kendaraan dan kendaraan itu
mengarah kemanapun. (Az-Zarqāni. 2001: 98)
b. Pengkhususan hukum dengan sebab (takhsīs al-hukm bi as-sabab) bagi yang menganut paham
al-‘ibrah bi khusūs as-sabab lā bi ‘umūm al-lafzhi (ketentuan berlaku untuk kekhususan
sebab, bukan pada keumuman lafal, maka dari itu ayat-ayat zihār di permulaan surat al-
Mujādilah sebabnya adalah bahwa Aus bin as-Samit men-zihār istrinya, Khaulah binti Hakim
as-Sa‘labah. Hukum yang di kandung dalam ayat-ayat ini khusus untuk keduanya saja
(menurut paham ini), sedang yang lain bisa diketahui melalui dalil lain, baik dengan qiyās
(analogi) atau yang lain. Sudah semestinya bahwa tidak mungkin mengetahui maksud hukum
dan juga analogi kecuali jika mengetahui sebabnya, dan tanpa mengetahui sebab turunnya,
maka ayat itu menjadi tidak berfaidah sama sekali. (Az-Zarqāni. 2001: 100)
c. Dengan sabab nuzūl berfungsi untuk mengetahui ayat ini diturunkan kepada siapa, sehingga
tidak terjadi keraguan yang akan mengakibatkan penuduhan terhadap orang yang tidak
bersalah dan membebaskan tuduhan terhadap orang yang bersalah. Oleh karena itu, Aisyah
menolak tuduhan Marwan terhadap saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar, bahwa
Abdurrahman adalah orang yang di maksud dalam ayat 17 dari surat al-Ahqaf:
ّ ٖ ُ‫ال لِ ٰ َولِد َۡي ِه أ‬
‫ف لَّ ُك َمٓا‬ َ َ‫َوٱلَّ ِذي ق‬
Artinya: “Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “bagi kamu keduanya”.
Aisyah berkata: “Demi Allah, bukan dia yang di maksud dengan ayat itu, kalau
seandainya aku ingin menyebutnya maka akan aku sebutkan siapa namanya” sampai akhir
kisah itu. (Az-Zarqāni. 2001: 101)
d. Pemudahan hafalan, pemahaman dan pengukuhan wahyu dalam benak setiap orang yang
mendengarnya, jika ia mengetahui sebab turunnya. Karena hubungan antara sebab dan akibat,
hukum dan peristiwa, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya, semua itu merupakan
faktor-faktor pengokohan sesuatu dan terpahatnya dalam ingatan. (Az-Zarqāni. 2001: 101)
6. Muhammad chirzin dalam bukunya: Al-qur’an dan ulum Al-qur’an menjelaskan, dengan ilmu
asbab an-nuzul, maka:
a. Seorang dapat mengetahui hikmah di balik syariat yang di turunkan melalui sebab tertentu.
b. Seorang dapat mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului
turunnya suatu ayat.
c. Seorang dapat dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan
dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti di terapkan.
d. Seorang dapat menyimpulkan bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada rasulullah
dan selalu bersama para hambaNya.
7. Muhammad Amin Suma tentang faedah mempelajari asbab an-nuzul yang mengatakan kesulitan
dalam menafsirkan al-Qur’an tanpa melibatkan ilmu asbab an-nuzul mungkin tidak terlalu terasa
ketika seseorang hendak menafsirkan ayat-ayat ilmu pengetahuan dan teknologi (ayat-ayat
kauniyah) misalnya, tetapi diduga kuat akan menghadapi masalah ketika dihubungkan dengan
ayat-ayat qashash dan terutama ayat-ayat hukum. Pasalnya, karena ayat-ayat kauniyah dapat
dikatakan lebih banyak berhubungan dengan kondisi kekinian dan kemungkinan masa depan,
sementara ayat-ayat sejarah dan hukum sangat berhubungan dengan masa silam di samping masa
sekarang dan akan datang. Selanjutnya, atas dasar ini, maka terlepas dari sikap pro-kontra para
pakar ulumul Quran akan keberadaan ilmu asbab an-nuzul berikut urgensi-fungsionalnya, yang
pasti keberadaan ilmu ini telah memasyarakat dalam dunia tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an. Ilmu
asbab an-nuzul telah menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari ilmu-ilmu al-Qur’an secara
keseluruhan, dan keberadaannya sama sekali tidak merugikan penafsiran dan justru semakin
memperkaya dalam penafsiran. (, Muhammad Amin Suma, 2013: 218-219)
8. Manna khalil al-qattan dalam bukunya mabahith fi ulum al-qur’an diantara faedah ilmu asbab an-
nuzul dalam dunia pendidikan:
a. Membantu para pendidik yang megalami kesulitan dalam penggunaan media pendidikan
untuk dapat membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka siap menerima
pelajaran dengan penuh minat dan terdorong untuk mendengarkan dan mengikuti pelajaran.
b. Asbab an-nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa
pertanyaan yang di sampaikan kepada rasulullah untuk mengetahui hukum suatu masalah,
maka apabila seorang pendidik menyampaikan sebab asbab an-nuzul, maka kisahnya itu
sudah cukup untuk membangkitkan perhatian, minat, memusatkan potensi intelektual dan
menyiapkan jiwa anak didik untuk menerima pelajaran.
c. Peserta didik segera dapat memahamai pelajaran secara umum dengan mengetahui asbab an-
nuzul karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kisah yang menarik. Dengan demikian jiwa
mereka terdorong untuk mengetahui ayat apa yang rahasia perundangan dan hukum-hukum
yang terkandung didalamnya, yang kesemua ini memberi petunjuk kepada manusia kejalan
kehidupan lurus, jalan menuju kekuatan kemuliaan dan kebahagiaan.
Dalam kaitannya dengan kajian ilmu shari’ah dapat ditegaskan bahwa pengetahuan tentang
asbab an-nuzul berfungsi antara lain:
1. Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ tehadap
kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama. Jika dianalisa secara
cermat, proses penetapan hukum berlangsung secara manusiawi, seperti pelanggaran minuman
keras,misaalnya ayat-ayat al-qur’an turun dalam empat kali tahapan yaitu: QS. An-nahl: 67, QS.
Al-baqarah: 219, QS. An-nisa’: 43 dan QS Al-Maidah: 90-91.
2. Mengetahui asbab an-nuzul membantu memberikan kejelasan terhadap beberapa ayat. Misalnya.
Urwah ibnu zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardu sa’i antara sofa dan
marwa QS. Al-baqarah/2: 158:
tَ ‫ٱعتَ َم َر فَاَل ُجنَا َح َعلَ ۡي ِه أَن يَطَّوَّفَ بِ ِه َم ۚا َو َمن تَطَ َّو‬
‫ ٗرا‬tt‫ع خ َۡي‬ ۡ ‫صفَا َو ۡٱل َم ۡر َوةَ ِمن َش َعٓائِ ِر ٱهَّلل ۖ ِ فَ َم ۡن َح َّج ۡٱلبَ ۡيتَ أَ ِو‬
َّ ‫إِ َّن ٱل‬
‫فَإِ َّن ٱهَّلل َ َشا ِك ٌر َعلِي ٌم‬
Artinya: Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka
barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan
dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
Mengetahui.
Urwah bin zubair kesulitan memahami ”tidak ada dosa” di dalam ayat ini lalu ia
menanyakan kepada aisyah perihal ayat tersebut, lalu aisyah menjelaskan bahwa peniadaan
dosa di situ bukan peniadaan hukum fardhu peniadaan di situ dimaksudkan sebagai penolak
keyakinan yang telah mengakar di hati muslimin pada saat itu, bahwa melakukan sa’i antara
sofa dan marwah termasuk perbuatan jahiliyah.
Keyakinan ini didasarkan atas pandangan bahwa pada masa pra islam di bukit safa
terdapat sebuah patung yang di sebut ”isaf” dan di bukit marwah ada patung yang di sebut
”na’ilah”. Jika melakukan sa’i di antara bukit itu orang jahiliyah sebelumnya mengusap kedua
patung tersebut. Ketika islam datang, patung-patung tersebut itu di hancurkan, dan sebagian
ummat islam enggan melakukan sa’i di tempat itu, maka turunlah ayat ini; QS. Al-
Baqarah:158.
a. Pengetahuan asbab an-nuzul dapat menghususkan (takhsis) hukum terbatas pada sebab,
terutama ulama yang menganut kaidah (khusus as-sabab) sebab khusus. Sebagai contoh
turunnya ayat-ayat dhihar pada permulaan surat al-mujadalah, yaitu dalam kasus aus ibnu
as-samit yang mendzihar istrinya, khaulah binti hakam ibnu tha’labah. Hukum yang
terkandung dalam ayat-ayat ini khusus bagi keduanya dan tidak berlaku bagi orang lain.
b. Yang paling penting ialah asbab an-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat
berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu di terapkan. Maksud
yang sesungguhnya suatu ayat dapat di pahami melalui asbab an-nuzul.
c. Pengetahuan tentang asbab an-nuzul akan mempermudah orang yang menghafal ayat-ayat
al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan yang mendengarnya jika
mengetahui sebab turunnya. Sebab, pertalian antara sebab dan musabab (akibat), hukum
dan peristiwa, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya, semua ini merupakan faktor-
faktor yang menyebabkan mantapnya dan terlukisnya dalam ingatan.

C. Klasifikasi Asbabun Nuzul Ayat dan Contohnya


Asbabun Nuzul dapat di tinjau dari berbagai aspek, yaitu:
1. Dari aspek bentuknya, asbab an-nuzul diklasifikasikan menjadi dua macam:
a. Berbentuk peristiwa.
Menurut Ramli Abdul Wahid (1993) terdiri dari tiga jenis peristiwa, yaitu:
1) Berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk antara segolongan dari suku
Aus dan segolongan dari Khazraj. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya beberapa ayat
surat Ali Imran mulai dari firman Allah:
َ‫ب يَ ُر ُّدو ُكم بَ ۡع َد إِي ٰ َمنِ ُكمۡ ٰ َكفِ ِرين‬
َ َ‫وا ۡٱل ِك ٰت‬ ْ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا إِن تُ ِطيع‬
ْ ُ‫ُوا فَ ِر ٗيقا ِّمنَ ٱلَّ ِذينَ أُوت‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-
orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang
kafir sesudah kamu beriman. (QS. Ali Imran: 100). Sampai beberapa ayat sesudahnya.
2) Kesalahan serius, seperti peristiwa seorang yang mengimami shalat sedang mabuk
sehingga tersalah membaca surah al-Kafirun. Peristiwa ini menyebakan turunnya Ayat:
ْ ‫صلَ ٰوةَ َوأَنتُمۡ ُس ٰ َك َر ٰى َحتَّ ٰى ت َۡعلَ ُم‬
َ‫وا َما تَقُولُون‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ‫وا اَل ت َۡق َرب‬
َّ ‫ُوا ٱل‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan … (QS. An-Nisa: 43)
3) Cita-cita atau keinginan, seperti persesuaian-persesuaian (muwafaqat) khalifah Umar bin
khaththab dengan ketentuan-ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an.
Contoh: Imam Al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Anas r.a . bahwa Umar
berkata :”Aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal: Aku katakan kepada Rasul,
bagaimana sekiranya kita jadikan makam Ibrahim tempat shalat; maka turunlah surat Al-
Baqarah: 125.

ۖ‫ص ٗلّى‬ ْ ‫َوٱتَّ ِخ ُذ‬


َ ‫وا ِمن َّمقَ ِام إِ ۡب ٰ َر ِهۧ‍ َم ُم‬
Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat.

“Aku katakan kepada Rasul, sesungguhnya isteri-isterimu masuk kepada mereka itu orang
yang baik-baik dan orang yaang jahat, maka bagaimana sekiranya Engkau perintahkan
kepada mereka agar bertabir, maka turunlah ayat hijab (Q.S. Al Ahzab: 53).
َٔۡ َ‫َوإِ َذا َسأ َ ۡلتُ ُموه َُّن َم ٰتَعٗ ا ف‬
ٖ ۚ ‫لُوه َُّن ِمن َو َرٓا ِء ِح َج‬tَ‍‫س‬
‫اب‬
Artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi),
maka mintalah dari belakang tabir.
b. Berbentuk pernyataan. Adapun dalam bentuk pernyataan terdiri dari tiga macam, yaitu:
1) Berhubungan pada masa lalu. Seperti dalam (QS. Al-Kahf: 83)
ْ ُ‫لُونَكَ عَن ِذي ۡٱلقَ ۡرن َۡي ۖ ِن قُ ۡل َسأ َ ۡتل‬tَ‍‫س‬
‫وا َعلَ ۡي ُكم ِّم ۡنهُ ِذ ۡكرًا‬ َٔۡ َ‫َوي‬
Artinya: Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain.
Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya".
2) Berhubungan pada masa yang sedang berlangsung. Seperti dalam (QS. Al- Isra: 85)
‫وح قُ ِل ٱلرُّ و ُح ِم ۡن أَمۡ ِر َربِّي َو َمٓا أُوتِيتُم ِّمنَ ۡٱل ِع ۡل ِم إِاَّل قَلِياٗل‬
ِ ۖ ُّ‫لُونَكَ َع ِن ٱلر‬tَ‍‫س‬
َٔۡ َ‫َوي‬
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.
3) Berhubungan pada masa yang akan datang. Seperti dalam (QS. Al-A’raf: 187)
‫لُونَكَ َع ِن ٱلسَّا َع ِة أَيَّانَ ُم ۡر َس ٰىهَ ۖا‬tَ‍‫س‬
َٔۡ َ‫ي‬
Artinya: Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?

2. Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbab an-nuzul diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid
Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat/wahyu. Terkadang
wahyu turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab (Muhammad Ali Ash-
shaabuuniy, 1998:52) misalnya turunnya Q.S. Al-Ikhlas: 1-4, yang berbunyi:
ۢ‫ص َم ُد لَمۡ يَلِ ۡد َولَمۡ يُولَ ۡد َولَمۡ يَ ُكن لَّ ۥهُ ُكفُ ًوا أَ َح ُد‬
َّ ‫قُ ۡل ه َُو ٱهَّلل ُ أَ َح ٌد ٱهَّلل ُ ٱل‬
Artinya: “Katakanlah:”Dia-lah Allah, yang maha Esa. Allah adalah tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia Tiada beranak dan tiada pula di peranakkan. Dan tiada
seoarangpun yang setara dengan dia.
Ayat-ayat yang terdapat pada surat di atas turun sebagai tanggapan terhadap orang-
orang musyrik makkah sebelum nabi hijrah, dan terhadap kaum ahli kitab yang ditemui di
madinah setelah hijrah.
Contoh yang lain dalam Q.S. Al-Baqarah: 238, yang berbunyi:
َ‫وا هَّلِل ِ ٰقَنِتِين‬
ْ ‫ى َوقُو ُم‬tٰ َ‫صلَ ٰو ِة ۡٱل ُو ۡسط‬ ِ ‫صلَ ٰ َو‬
َّ ‫ت َوٱل‬ ْ ُ‫ٰ َحفِظ‬
َّ ‫وا َعلَى ٱل‬
Artinya: “peliharalah semua shalat (mu), dan (peliharah) shalat wustha. Berdirilah untuk
Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.
Ayat di atas menurut riwayat diturunkan berkaitan dengan beberapa sebab berikut:
1) Dalam sustu riwayat dikemukakan bahwa nabi saw. Shalat dzuhur di waktu hari yang
sangat panas. Shalat seperti ini sangat berat dirasakan oleh para sahabat. Maka turunnlah
ayat tersebut di atas. (HR. Ahmad, bukhari, abu daud).
2) Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nabi saw. Shalat dzuhur di waktu yang sangat
panas. Di belakang rasulullah tidak lebih dari satu atau dua saf saja yang mengikutinya.
Kebanyakan diantara mereka sedang tidur siang, adapula yang sedang sibuk berdagang.
Maka turunlah ayat tersebut diatas (HR.ahmad, an-nasa’i, ibnu jarir).
3) Dalam riwayat lain dikemukakan pada zaman rasulullah SAW. Ada orang-orang yang suka
bercakap-cakap dengan kawan yang ada di sampingnya saat mereka shalat. Maka turunlah
ayat tersebut yang memerintahkan supaya diam pada waktu sedang shalat (HR. Bukhari
muslim, tirmidhi, abu daud, nasa’i dan ibnu majah).
4) Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ada orang-orang yang bercakap-cakap di waktu
shalat, dan ada pula yang menyuruh temannya menyelesaikan dulu keperluannya (di waktu
sedang shalat). Maka turunlah ayat ini yang sedang memerintahkan supaya khusyuk ketika
shalat.
b. Ta’adud an-nazil wa al-asbab wahid
Satu sebab yang mekatarbelakangi turunnya beberapa ayat. Contoh: Q.S. Ad-
dukhan/44: 10,15 dan16, yang berbunyi:
ۡ
ٖ ‫فَ ۡٱرتَقِ ۡب يَ ۡو َم تَأتِي ٱل َّس َمٓا ُء بِ ُد َخ‬
)10( ٖ‫ان ُّمبِين‬
Artinya: maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.
ِ ‫وا ۡٱل َع َذا‬
)15( َ‫ب قَلِياًل ۚ إِنَّ ُكمۡ عَٓائِ ُدون‬ ْ ُ‫اشف‬
ِ ‫إِنَّا َك‬
Artinya: “sesungguhnya (kalau) kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit
sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar)”.
ٓ ٰ ‫يَ ۡو َم ن َۡب ِطشُ ۡٱلبَ ۡط َشةَ ۡٱل ُك ۡب َر‬
)16( َ‫ى إِنَّا ُمنتَقِ ُمون‬
Artinya:“(ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras.
Sesungguhnya kami memberi balasan”.
Asbab an-nuzul dari ayat-ayat tersebut adalah dalam suatu riwayat dikemukakan,
ketika kaum Quraisy durhaka kepada nabi saw. Beliau berdo’a supaya mereka mendapatkan
kelaparan umum seperti kelaparan yang pernah terjadi pada zaman nabi yusuf. Alhasil mereka
menderita kekurangan, sampai-sampai merekapun makan tulang, sehingga turunlah (QS. Ad-
dukhan/44: 10). Kemudian mereka menghadap nabi saw untuk meminta bantuan. Maka
rasulullah saw berdo’a agar di turunkan hujan. Akhirnya hujanpun turun, maka turunnlah ayat
selanjutnya (QS. Ad-dukhan/44: 15), namun setelah mereka memperoleh kemewahan
merekapun kembali kepada keadaan semula (sesat dan durhaka) maka turunlah ayat ini (QS.
Ad-dukhan/44: 16) dalam riwayat tersebut dikemukakan bahwa siksaan itu akan turun di
waktu perang badar.
Contoh lain Terkadang ada satu peristiwa tapi ayat yang turun banyak. Semisal hadis
yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Hakim dari Ummu Salamah, ia berkata: “Wahai
Rasulullah, saya tidak mendengar Allah menyebutkan sesuatu kepada kaum wanita tentang
hijrah”, maka Allah menurunkan ayat 195 dari surat Ali ‘Imrān

‫ض‬ ُ ‫ضي ُع َع َم َل ٰ َع ِم ٖل ِّمن ُكم ِّمن َذ َك ٍر أَ ۡو أُنثَ ٰۖى بَ ۡع‬


ٖ ۖ ‫ض ُكم ِّم ۢن بَ ۡع‬ ِ ُ‫اب لَهُمۡ َربُّهُمۡ أَنِّي ٓاَل أ‬ ۡ َ‫ف‬
َ ‫ٱست ََج‬
Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain”.
Diriwayatkan juga oleh Hakim dari Ummu Salamah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, laki-laki
disebutkan sedang perempuan tidak di sebut”, maka turunlah surat al-Ahzab ayat 35:
ِ ‫إِ َّن ۡٱل ُم ۡسلِ ِمينَ َو ۡٱل ُم ۡسلِ ٰ َم‬
‫ت‬
Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim
Dan diriwayatkan juga dari Ummu Salamah, bahwa ia berkata: “laki-laki berperang dan
perempuan tidak berperang, dan kita mendapat warisan nishf (setengah)”, maka Allah menurunkan
ayat 32 dari surat an-Nisā:
َ ‫وا ٱهَّلل‬ َٔۡ ‫ ۡب ۚنَ َو‬t‫يب ِّم َّما ۡٱكت ََس‬
ْ ُ‫ل‬tَ‍‫س‬ ْ ۖ ‫يب ِّم َّما ۡٱكتَ َسب‬ ِ َ‫ض لِّل ِّر َجا ِل ن‬ َ ‫ا َما فَض ََّل ٱهَّلل ُ بِِۦه بَ ۡع‬tْ‫َواَل تَتَ َمنَّ ۡو‬
ِ ‫ٓا ِء ن‬t‫ُوا َولِلنِّ َس‬
ٞ t‫َص‬ ٞ ‫ص‬ ٖ ۚ ‫ض ُكمۡ َعلَ ٰى بَ ۡع‬
‫ضلِ ۚ ِٓۦه إِ َّن ٱهَّلل َ َكانَ بِ ُكلِّ َش ۡي ٍء َعلِ ٗيما‬
ۡ َ‫ِمن ف‬
Artinya: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari
pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
ِ ‫إِ َّن ۡٱل ُم ۡسلِ ِمينَ َو ۡٱل ُم ۡسلِ ٰ َم‬
‫ت‬
Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim
D. Aneka Riwayat tentang Sebab Turunnya Satu Ayat
Definisi Asbab al-nuzul yang dikemukakan pada pembagian ayat-ayat Al-Qur’an ada dua
kelompok:
1. Kelompok ayat yang turun tanpa sebab.
Ayat-ayat al-Qur’an yang turun tanpa dilatarbelakangi dengan peristiwa atau pertanyaan
yang diajukan kepada Nabi, Saw. Lebih banyak (mayoritas) dibandingkan ayat yang turun
karena sebab.
2. Kelompok ayat yang turun dengan sebab tertentu
Ayat yang turun dengan sebab (asbab an-Nuzul) lebih sedikit dibandingkan yang turun
tanpa sebab. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak semua ayat menyangkut keimanan,
kewajiban dari syariat agama turun tanpa asbab al-nuzul.
Untuk mengetahui sabab an-nuzūl adalah melalui hadis sahih maupun hadis mursal dengan
syarat sanadnya sahih dan harus dikuatkan dengan hadis mursal yang lain yang diriwayatkan oleh
para sahabat maupun tabi‘i. Karena, sahabat adalah orang yang menyaksikan dan bertemu langsung
dengan Rasulullah.
Apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab secara umum atau sesuai dengan sebab
secara khusus, maka yang umum (‘ām) diterapkan pada keumumannya dan khusus (khās) pada
kekhususannya.
1. Contoh yang pertama firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 222:
َ‫إِ َذا تَطَه َّۡرن‬t َ‫ر ۖنَ ف‬tۡ tُ‫وه َُّن َحتَّ ٰى يَ ۡطه‬ttُ‫يض َواَل ت َۡق َرب‬ ۡ
ِ ‫ٓا َء فِي ٱل َم ِح‬t ‫وا ٱلنِّ َس‬ْ ُ‫ٱعت َِزل‬t ۡ tَ‫ َو أَ ٗذى ف‬t ُ‫ل ه‬tۡ tُ‫يض ق‬ ۡ
ِ ۖ ‫لُونَكَ َع ِن ٱل َم ِح‬tَ‍‫س‬ َٔۡ َ‫َوي‬
ۡ ُ ‫فَ ۡأتُوه َُّن ِم ۡن َح ۡي‬
َ‫ث أَ َم َر ُك ُم ٱهَّلل ۚ ُ إِ َّن ٱهَّلل َ يُ ِحبُّ ٱلتَّ ٰ َّوبِينَ َوي ُِحبُّ ٱل ُمتَطَه ِِّرين‬
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Anas berkata: Bila istri orang-orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak
di beri makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah di
tanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang haid,
kemudian kata Rasulullah: “Bersama-samalah dengan mereka di rumah dan perbuatlah segala
sesuatu kecuali menggaulinya.”
2. Contoh kedua ialah firman-Nya:
ٓ ٰ ‫ ز‬t‫ ٱأۡل َ ۡتقَى ٱلَّ ِذي ي ُۡؤتِي َمالَ ۥهُ يَتَ َز َّك ٰى َو َما أِل َ َح ٍد ِعن َد ۥهُ ِمن نِّ ۡع َم ٖة تُ ۡج‬t‫َو َسيُ َجنَّبُهَا‬
َ‫ ۡوف‬t ‫ ِه َربِّ ِه ٱأۡل َ ۡعلَ ٰى َولَ َس‬t‫ٓا َء َو ۡج‬tt‫َى إِاَّل ۡٱبتِ َغ‬
‫ض ٰى‬ َ ‫يَ ۡر‬
Artinya: “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang
menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada
seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia
memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya yang Maha Tinggi, dan kelak
dia benar-benar mendapat kepuasan”. (QS. Al-Lail: 17-21)
Ayat-ayat ini diturunkan mengenai Abu Bakar, karena kata al-atqā (orang yang paling
taqwa) menurut tasrif berbentuk af‘ala untuk menunjukkan superlatif, tafdīl yang disertai
al-‘ahdiyah (kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui
maksudnya), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Oleh sebab
itu, al-Wahidi berkata: al-atqā adalah Abu Bakar as-Siddiq menurut pandangan para ahli tafsir.
(As-Suyūti. 2000: 61-62)
Adapun jika sebab itu khusus sedangkan ayat yang turun berbentuk umum, maka ada
ikhitilāf (perselisihan) antara ahli usul mengenai apakah al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafzhi atau bi
khus}ūs as-sabab (yang harus diperhatikan keumuman lafal atau kekhusuan sebab).
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah ‘ibrah bi ‘umūm al-lafzhi
(yang harus diperhatikan keumuman lafal). Seperti turunnya ayat zhihār dalam kasus Salamah
bin Sakhr, ayat li‘ān dalam masalah Hilal bin Umayah dan juga ayat tentang seorang wanita yang
mencuri pada zaman nabi. Kesemua peristiwa di atas berlaku umum untuk semua orang tanpa
kecuali, bukan hanya sebatas pada Salamah bin Shakhr, Hilal bin Umayah ataupun wanita yang
mencuri pada zaman nabi (as-Saraqah). (As-Suyūti. 2000: 61-62)
2. Sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘ibrah bi khushūs as-sabab (yang harus diperhatikan
adalah kekhususan sebab). Mereka berkomentar bahwa kasus zhihār, li‘ān, dan wanita yang
mencuri pada zaman nabi itu hanya berlaku bagi mereka saja, tidak berlaku bagi yang lain. Oleh
karenanya harus dicarikan dalil lain dengan menggunakan qiyās (analogi). (As-Suyūti. 2000: 61-
62)
Banyak riwayat mengenai sebab turunya satu ayat. Dalam keadaan demikian sikap seorang
mufassir kepadanya sebagai berikut:
1. Jika salah satu riwayatnya saja yang sahih, ketentuannya adalah menggunakan yang sahih. Itu
untuk menjelaskan sebab turun dan menolak yang tidak sahih. Misalnya antara hadis yang
dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan yang lain melalui jalur Jundab dan hadis yang
dikeluarkan oleh at-Tabrani dan Ibnu Abi Syaibah melalui jalur Hafs bin Maisarah dari ibunya
dari neneknya, yang merupakan pelayan Rasulullah SAW. Mengenai kenapa Allah belum
menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. pada surat ad-Dhuhā ayat 1-3:
‫َوٱلضُّ َح ٰى َوٱلَّ ۡي ِل إِ َذا َس َج ٰى َما َو َّدعَكَ َربُّكَ َو َما قَلَ ٰى‬
Artinya: Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi
(gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
Maka kami (az-Zarqani) dalam hal ini hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslimlah yang lebih didahulukan karena, kesahihan riwayatnya. (Az-Zarqāni. 2001:104)
2. Jika kedua riwayat sama-sama sahih dan salah satu dari keduanya mempunyai murajjih
(penguat), maka yang di ambil adalah yang lebih rajah. Dan murajjih (penguat) bisa di lihat dari
segi lebih sahih dari yang lain atau perawi salah satunya menyaksikan langsung kejadiannya.
Semisal hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Ibnu Mas‘ud dan hadis yang
dikeluarkan oleh Tirmizi dari jalur Ibnu Abbas mengenai ruh pada surat al-Isrā ayat 85
‫وح قُ ِل ٱلرُّ و ُح ِم ۡن أَمۡ ِر َربِّي َو َمٓا أُوتِيتُم ِّمنَ ۡٱل ِع ۡل ِم إِاَّل قَلِياٗل‬
ِ ۖ ُّ‫لُونَكَ َع ِن ٱلر‬tَ‍‫س‬
َٔۡ َ‫َوي‬
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan
Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Antara kedua riwayat ini yang di ambil adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari jalur Ibnu Mas‘ud karena, Ibnu Mas‘ud menyaksikan langsung kisah itu dari awal
hingga akhir, sedangkan Ibnu Abbas tidak. Tidak diragukan lagi orang yang menyaksikan
langsung lebih kuat daripada yang tidak menyaksikan secara langsung. (Az-Zarqāni. 2001:104)
3. Jika kedua riwayat sama-sama sahih dan tidak ada murajjih bagi salah satu dari keduanya, maka
dikompromikan. Ibnu Hajar berkata: “tidak ada masalah banyaknya sebab turun pada satu ayat”.
Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas dan hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalur Sahal bin Sa‘ad tentang qaz\af (tuduhan)
seorang suami kepada istrinya melakukan zina yang ada pada ayat enam dari surat an-Nūr
َّ ٰ ‫ت بِٱهَّلل ِ إِنَّهۥُ لَ ِمنَ ٱل‬
َ‫ص ِدقِين‬ ِ ۢ ‫ُم َولَمۡ يَ ُكن لَّهُمۡ ُشهَدَٓا ُء إِٓاَّل أَنفُ ُسهُمۡ فَ َش ٰهَ َدةُ أَ َح ِد ِهمۡ أَ ۡربَ ُع َش ٰهَ ٰ َد‬tۡ‫َوٱلَّ ِذينَ يَ ۡر ُمونَ أَ ۡز ٰ َو َجه‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”.
Dari kedua riwayat ini maka caranya adalah dikompromikan. Lebih utama
mengkompromikan daripada meninggalkan salah satunya, sebab tidak ada halangan untuk
mengambil keduanya. Dan juga tidak boleh menolak keduanya, karena keduanya sama-sama
sahih dan tidak ada ta’ārud (pertentangan). Di samping itu tidak dibenarkan mengambil salah
satunya dan membuang yang lainnya karena, itu merupakan tarjih tanpa ada murajjih (yang
menguatkan). (Az-Zarqāni. 2001:106)
4. Jika dua riwayat sama-sama sahih, tidak ada murajjih (yang menguatkan) dan tidak bisa
mengambil salah satunya karena sebab-sebab turunnya tersebut waktunya berjauhan, maka
dalam ini kita (az-Zarqani) pahami sebagai berulangnya turunnya ayat dengan banyaknya asbāb
an-nuzūl. Seperti hadis yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dan al-Bazzar dari jalur Abu Hurairah
dan riwayat yang dikeluarkan oleh Tirmizi dan Hakim dari jalur Abu bin Ka‘ab mengenai
balasan atas gugurnya sahabat di perang Uhud. Ini terekam dalam surat an-Nahl ayat 126
َّ ٰ ‫ر لِّل‬ٞ ‫خَي‬
َ‫صبِ ِرين‬ َ ‫ بِ ِۖۦه َولَئِن‬t‫ُوا بِ ِم ۡث ِل َما عُوقِ ۡبتُم‬
ۡ ‫صبَ ۡرتُمۡ لَه َُو‬ tْ ‫م فَ َعاقِب‬tُۡ‫َوإِ ۡن عَاقَ ۡبت‬
Artinya: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”.
Maka dari kedua riwayat tersebut tidak masalah bila dikatakan bahwa banyaknya waktu
turun, satu diturunkan pada perang Uhud dan satunya pada hari Fathu Makkah. (Az-Zarqāni.
2001:108)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan dkk. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Al-Wahidi. 2001. Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān.,Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Aminuddin, Studi Ilmu al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

As-Suyūti. 2000. al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān., Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Az-Zarqāni. 2001. Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān. Al-Qāhirah: Dār al-Hadīs.

Az-Zarkasi. 1985. al-Burhān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān, Al-Qāhirah: Maktabah Dār at-Turās.

Jalaluddin as-Suyuthi. 2008. Asbabun Nuzul. Alih Bahasa oleh Tim Abdul Hayyie, Sebab-sebab
Turunnya al-Qur’an. Jakarta: Gema insani.
Manna’ Khalil Al-Qattan. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa.

Muhammad Ali Ash-shaabuuniy. 1998. At-Tibyaan Fii Uluumil Qur’an, Alih Bahasa oleh.

Qamaruddin Shaleh dan. M. D. Dahlan, Dkk. 2004. Asbabun Nuzul. Bandung: Diponegoro.

Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan. 1992. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Rosihon Anwar. 2006. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.

Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’ān. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai