Anda di halaman 1dari 8

1.

Contoh ayat al -Qur’an yang penafsirannya menggunakan metode analitis dalam buku
Nasaruddin Baidan dengan menggunakan corak bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi. Pada surah al-
Baqarah ayat 115.
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ٌ‫ب ۚ! فَ أ َْي نَ َم ا ُت َو لُّ وا َف ثَ َّم َو ْج هُ اللَّ ه ۚ! إ َّن اللَّ هَ َو اس ٌع َع ل يم‬
ُ ‫َو ل لَّ ه الْ َم ْش ِر ُق َو الْ َم ْغ ِر‬
Terjemahnya;

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat -Nya) lagi Maha Mengetahui.

Tafsir (bi al-Ma’tsur):

Yang dimaksud oleh Allah dengan firmannya ialah, Allah berwenang penuh atas
pemilikan dan pengaturan keduanya. Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi
seluruh alam, sebab itu dimana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena kita
selalu berhadapan dengan Allah.
Para pakar ta’wil (tafsir) berbeda pendapat dalam menjelaskan latar belakang
penyebutan kedua tempat tersebut secara khusus ( Asbab al-Nuzul). Ada yang berkata, dalam
kasus ini al-Mutsanni telah menceritakan kepadaku, katanya Abu Shahih telah bercerita
kepadanya, kata Abu Shahih : Mu’awiyah bin Shahih telah bercerita kepadanya berasal dari Ali,
dari Ibn Abbas katanya : “Ketika Nabi melakukan hijrah ke Madinah, mayoritas penduduknya
adalah kaum Yahudi, maka Allah sengaja menyebut kedua tempat itu secara khusus karena kaum
Yahudi dalam shalat menghadap ke Baitul Maqdis, dan Rasulullah pernah melakukan hal yang
sama selama 10 bulan, kemudian mereka menghadap ke Ka’bah. Dikarenakan kaum Yahudi
menyangkal perbuatan Nabi tidak seperti biasanya menghadap kiblat ke Baitul Maqdis kemudian
turunlah ayat ini.
Menurut ulama lain ayat ini turun kepada Nabi saw sebagai dispensasi dari Allah tentang
kebolehan menghadap kemana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan, ketika
perang, ketika ketakutan, atau menemui kesukaran dalam shalat wajib. Dengan demikian,
diberitahukan kepada Nabi bahwa kemana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah sesuai
dengan firmannya tadi.

Tafsir bi-Ra’yi:

Maksud ayat tersebut sesuai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut (Asbab al-
Nuzul) adalah, apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masji

Haram dan Masjid Baitul Maqdis, maka jangan khawatir, sebab seluruh permukaan bumi
telah Kujadikan masjid tempat sembahyang di tempat mana saja di muka bumi ini,dan silahkan
menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu lakukan di tempat itu, tidak terikat pada suatu
masjid tertentu dan tidak pula yang lain, demikian pula tidak terikat oleh lokasi manapun. Karena
dalam firmannya (Allah Maha lapang dan luas rahmatnya), Ia ingin memberikan kelonggaran
kepada hamba -hamba-Nya (lagi Maha tahu) tentang kemaslahatan dan kebutuhan mereka.
Menurut Atha, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kilat shalat oleh suatu kaum
(kelompok) lalu mereka shalat ke arah yang berbeda -beda sesuai dengan keyakinan masing-
masing, setelah pagi hari mereka ternyata keliru menghadap kiblat, lantas menyampaikan
masalah itu kepada rasul maka turunlah ayat ini.
Bahwa dalam penafsiran bi al-ra’yi yang dilakukan oleh al-Zamakhsyari memulai
penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran yang rasional. Kemudian penafsiran itu di
dukungnya dengan firma Allah, setelah itu baru ia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan dalam tafsir bi al-Ma’tsur dilakukan selama
memiliki riwayat, sedangkan bi al-Ra’y tidak sebatas riwayat tetapi lebih kepada pemikiran.
2. Contoh dalam penafsiran dengan metode shufi adalah Surah An- Nisa’ ayat 1

Secara lahir, ayat tersebut berarti “Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis)”. Salah satu tokoh tasawuf Ibn
‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan penafsiran sebagai berikut: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu.
Jadikanlah bagian yang zhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian
batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah
perkara cel aan dan pujian. Maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia
pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradan di
seluruh alam”. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh faham wihdah al-wujud yang
memandang alam ini merupakan Dzat Tuhan yang hakiki

3. Contoh penafsiran dengan metode Fiqh dalam mengenai ‘iddah bagi wanita hamil yang
ditinggal mati suaminya; apakah ‘iddah itu berakhir dengan melahirkan atau empat bulan sepuluh
hari ataukah dengan waktu paling lama diantara keduanya? ini semua mengingat kepada
berfirman Allah Al-Baqarah,2:234 :

ْ ‫ص َن بِ أَ ْن ُف ِس ِه َّن أ َْر َب َع ةَ أ‬
!ۖ ‫َش ُه ٍر َو َع ْش ًر ا‬ َ ‫ين يُ َت َو َّف ْو َن ِم ْن ُك ْم َو يَ َذ ُر‬ ِ َّ
ْ َّ‫اج ا َي َت َر ب‬
ً ‫ون أ َْز َو‬ َ ‫َو ال ذ‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri - isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Q.S Al
Baqarah,2: 234
‫َّق اللَّ هَ جَيْ َع ْل لَ هُ ِم ْن أ َْم ِر ِه يُ ْس ًر ا‬
ِ ‫ض ْع ن مَحْ لَ ُه َّن ۚ! و َم ْن َي ت‬
َ َ َ َ‫َن ي‬
ْ ‫َج لُ ُه َّن أ‬ ِ
َ ‫ت ا أْل َ مْح َ ال أ‬
ُ ‫َو أُو اَل‬

“Dan prempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka ialah sampai mereka
melahirkan kandungan mereka.”(Ath-Thalaq,65:4)

4. contoh dari metode tafsir ilmi terdapat dalam QS. Al-Rahman/55:19-21, Allah SWT
berfirman:
Terjemahnya:

Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian bertemu, antara keduanya
ada batas yang tidak dilampaui masing -masing, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah
yang kamu dustakan. (Q.S:55: 19-21)

Dari ayat di atas dapat dibuktikan dan ditemukan melalui sains bahwa di dasar laut
merah terdapat sumber mata air tawar yang mengalir terus dan tidak tercampur oleh air laut yang
disekitarnya asin.
Dengan demikian salah satu pembuktian yang dilakukan oleh sain terhadap ayat-ayat
yang kauniah memang benar adanya, dan dengan sains tersebut membuktikan bahwa
kemukjizatan ilmiah dari al -Qur’an. Al-Qur’an juga memberikan isyarat terhadap hukum -hukum
alam dan fenomena kehidupan dengan gambaran yang sanga meyakinka, dan tidak mungkin
bertentangan dengan penemuan manusia dalam berbgai fase dan tingkatannya.
Penafsiran dengan metode ini tidak terlepas dari berbagai tanggapan, ada yang
menerima dan ada pula yang menentang. 1
5. Salah satu tafsir sufi adalah tafsir al-nazari yaitu karya Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau
dianggap sebagai ulama tafsir sufi nazari yang menyandarkan beberapa teori-teori tasawufnya dengan
al-Quran. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-‘Arabi
adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdatul wujud dalam teori sufi
adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Pertama, dalil al-Quran tentang paham
ini di antaranya dalam QS. al-Baqarah ayat 186:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya
aku adalah dekat. Aku me- ngabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memo- hon
kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Kata doa yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti lazim
dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil
dan Tuhan melihatnya dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan
membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka. Kedua, dalam QS. al-Baqarah ayat 115:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”.
Kaum sufi menafsirkannya de- ngan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijum- pai.
Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia
selalu ada. Ketiga, dalam QS. Qaf ayat 16:
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh
hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

1
La Ode Ismail Ahmad, “Konsep Metode Tahlili Dalam Penafsiran Al-Qur’an,” Jurnal Shaut Al-Arabiyah 4, no. 2 (2016):
53–66.
Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan, orang
tidak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain
bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. Mereka
memperkuat penafsirannya itu dengan mengutip hadits Nabi SAW: “Siapa yang mengetahui dirinya,
maka mengetahui Tuhannya”. Untuk memperkuat tafsiran itu me- reka juga mengambil atau
menghubungkannya dengan ayat-ayat lain, seperti dalam QS. al-Anfal ayat 17:
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh
mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
(Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-
orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.

Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sangat dipengaruhi oleh paham wahdatul
wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-seolah penafsirannya
itu dijadikan legitimasi atas pemahamannya. Al-Dzahabi berpendapat bahwa Ibn al-‘Arabi dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari
pendapat- nya itu, al-Dzahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al- ‘Arabi yang telah keluar dari
maksud dilalah ayat.
Contoh penafsiran Ibn al-‘Arabi sebagai landasan untuk mem- perkuat paham wahdatul wujud di
antaranya yaitu ketika menafsirkan QS. al-Fajr ayat 29-30 yang berbunyi:
ِ ‫فَ اد خ لِ ي يِف ِع ب‬
‫ َو ْاد ُخ لِ ي َج نَّ يِت‬. ‫اد ي‬ َ ُْ
Wadkhuli jannati, menurut tafsirannya adalah masuklah ke da- lam diri kamu (manusia) untuk
mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sendiri (manusia). Manusia untuk bisa
mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penu- tup yang ada pada diri
manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka telah masuk dalam diri
kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu
(manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah hamba.
Selanjutnya al-Dzahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karakteristik atau ciri-ciri dalam
penafsirannya nazary yang dapat diringkas sebagai berikut: Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-
Quran tafsir nazary sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al- Dzahabi memberikan contoh tafsir
nazary yang dipengaruhi filsafat yaitu penafsiran Ibn al-‘Arabi terhadap QS. Maryam ayat 57 yang
berbunyi:

‫َو َر َف ْع نَ اهُ َم َك انً ا َع لِ يًّ ا‬

Menurut al-Dzahabi penafsiran Ibn al-‘Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat
alam yaitu dengan menafsirkan lafaz makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam binatang). Kedua, di
dalam tafsir nazary, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak atau dengan
perkataan lain mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata. Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-
kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir nazary adalah hanya berdasarkan pada
penafsiran takwil ang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut hemat penulis, tafsir nazary
pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir nazary ini
dalam praktiknya tidak memperha- tikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang
dimaksudkan ayat secara zahir.

Anda mungkin juga menyukai