1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 2002), 1412.
2
Jalal al-Din Abd Ar-Rahman Bin Abi Bakar As-Suyuthi, Al-Itqan fI Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar alKutub Al’Ilmiyah,
1971), hlm. 339.
3
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Al-Itqan, 2019), hlm. 187.
4
Abi Bakar As-Suyuthi, Al-Itqan fI Ulum al-Qur’an, hlm. 339.
B. Syarat-syarat Nasikh
Dalam nasikh diperlukan beberapa syarat:
1. Hukum yang terkandung pada nasikh bertentangan dengan hukum pada mansukh.
2. Yang mansukh harus lebih awal dari Nasikh.
3. Hukum yang di nasakh mesti hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan
hukuman.
4. Hukum yang di nasakh tidak terbatas waktu tertentu, mesti berlaku sepanjang waktu.
5. Hukum yang terkandung dalam mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nasikh.
6. Status nash nasikh mesti sama dengan nash mansukh.
Beranjak dari keterangan di atas, tentu syarat-syarat tersebut akan dihubungkan langsung
dengan hal-hal yang mengakibatkan terjadinya Naskh. Maka dalam hal ini akan dijelaskan hal-
hal yang mengalami Naskh. Naskh hanya terjadi pada perintah (amr) dan larangan (nahy), baik
yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang
bermaksud perintah atau larangan, selama tidak terhubung dengan akidah zat Allah dan sifatsifat
Allah, kitab-kitab Allah, pada rasul, hari kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak
atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalat. 5
C. Jenis-jenis Nasikh
1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Misalnya ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.6
2. Nasakh Al-Qur’an dengan as-Sunnah :7
a. Nasakh al-Qur’an dengan hadits ahad. akan tetapi Jumhur al-Ulama’ sepakat bahwa ini
tidak berlaku karena al-Qur’an adalah mutawatir.
b. Nasikh al-Qur’an dengan hadits mutawatir, nasikh semacam ini diperbolehkan oleh
imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad.
3. Nasakh al-Sunnah dengan Al-Qur’an, ini dibolehkan oleh jumhur sebagaimana masalah
menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan as-Sunnah dan didalam Al-Qur’an tidak
terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini kemudian di nasikh oleh al-Qur’an dengan
firman-Nya:
ِِ ِ الس ماۤ ۚ ِء َفلَنولِّين
ُ ك َش طَْر الْ َم ْس جد احْلَ َر ِام ۗ َو َحْي
ث َم ا ُكْنتُ ْم َف َولُّْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َ َّك قْبلَ ةً َت ْر ٰض َىها ۖ َف َو ِّل َو ْج َه َ َ َ ُ َ َّ ك ىِف َ ب َو ْج ِه َ ُّقَ ْد نَ ٰرى َت َقل
ٰب لََي ْعلَ ُم ْو َن اَنَّهُ احْلَ ُّق ِم ْن َّرهِّبِ ْم ۗ َو َما ال ٰلّهُ بِغَافِ ٍل َع َّما َي ْع َملُ ْو َن ِ ِ َّ ِ
َ َشطَْرهٗ ۗ َوا َّن الذيْ َن اُْوتُوا الْكت
5
Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 225.
6
10 Manna Khalil al-Qattan, Mabahits Fi Ulum al-Qur’an, diterjemah Mudzakkir, (Bogor, Pustaka Lentera Antar
Nusa, 1996), hlm. 334.
7
Ibid. hlm. 336.
Artinya: “Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami
palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah
Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan
sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan
kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang
mereka kerjakan”.(al-Baqarah: 144)
Tetapi nasakh versi ini pun ditolak oleh Imam Shafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya apa
saja yang ditetapkan Sunnah tentu di dukung oleh al-Qur’an dan apa saja yang ditetapkan oleh
al-Qur’an tentu pula didukung oleh as-Sunnah. Hal ini karena Al-Qur’an dan As-Sunnah harus
senatiasa sejalan dan tidak bertentangan.8
4. Nasikh Sunnah dengan Sunnah Dalam hal ini ada empat bentuk yaitu:
a. Nasakh mutawatir dengan mutawatir
b. Nasakh ahad dengan ahad
c. Nasakh ahad dengan mutawatir
d. Nasakh mutawatir dengan ahad tiga bentuk pertama diperbolehkan sedangkan yang ke
empat terjadi silang pendapat.9
8
Ibid. hlm. 336.
9
Ibid. hlm. 337.