Anda di halaman 1dari 28

KITAB AL – ADAB (‫)كتاب اآلداب‬

📆 Senin, 20 Muharram 1445 H/07 Agustus 2023 M

👤 Ustadz Ratno Abu Muhammad Lc,.M.Ag

📗 Adab - Modul 01

🌐 https://madeenah.bimbinganislam.com/
•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

MADEENAH...
Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬
‫ ا ّمابعد‬.‫الحمدهلل والصالة واسالم على رسول هللا و على آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة‬

Di kesempatan ini insya Allah kita akan belajar dari kitab Al-Adab yang ditulis oleh Syaikh Fuad
bin Abdil Aziz Al-Salhub. Insya Allah kita akan membahas tentang adab-adab membaca Al-
Qur'an atau adab-adab lainnya yang berkaitan dengan Al-Qur'an.

ADAB MEMBACA AL QURAN DAN YANG BERKAITAN DENGANNYA

1. Al-Qur'an adalah kitab yang terjaga, kita harus meyakini ini.

Beliau menukilkan firman Allah Ta'ala dalam QS. Al-Hijr: 9 :


َ‫ِإنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ٱل ِّذ ْك َر وَِإنَّا لَهۥُ لَ ٰ َحفِظُون‬
Sesungguhnya Kami-lah yang menurun adz-dzikra (‫)ٱل ِّذ ْك َر‬

Sebagian ulama mengatakan adz-dzikra adalah Al-Qur'an.


Sebagian ulama memasukan hadits dalam kata adz-dzikra tetapi sebagian mengatakan bahwa
yang benar ini adalah Al-Qur'an. Tapi meskipun begitu hadits pun juga masuk dalam makna adz-
dzikra ini, karena itu akan mendukung penafsiran Al-Qur'an.

"Kami-lah yang menurunkan adz-dzikra dan Kami-lah yang akan bertanggung jawab untuk
menjaganya." Jadi kita meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang terjaga.

2. Tidak ada informasi yang saling bertentangan di dalam Al-Qur'an.

Allah ta'ala berfirman dalam QS. An-Nisaa: 82 :


َ‫َأفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ۡٱلقُ ۡر َء ۚان‬
Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur'an ?
ٗ ِ‫ٱختِ ٰلَ ٗفا َكث‬
‫يرا‬ ۡ ‫ُوا فِي ِه‬
ْ ‫َولَ ۡو َكانَ ِم ۡن ِعن ِد غ َۡي ِر ٱهَّلل ِ لَ َو َجد‬
Seandainya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, pasti orang-orang akan mendapati di dalam
Al-Qur'an tersebut perbedaan dan perselisihan yang sangat banyak,
informasinya saling bertentangan

Seandainya itu bukan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka kita meyakini bahwa Al-Qur'an itu
dari Allah sehingga informasinya tidak saling bertentangan.

3. Orang yang hatinya terkunci tidak akan bisa mentadabburi Al-Qur'an.

Allah Ta'ala berfirman dalam QS. Muhammad: 24 :


‫ب َأ ْقفَالُهَا‬
ٍ ‫َأفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْالقُرْ آنَ َأ ْم َعلَ ٰى قُلُو‬
Apakah mereka itu tidak mentadabburi Al-Qur'an atau memang di hati mereka itu
sudah ada kunci (penutup) nya, tidak bisa terbuka lagi ?

Jadi orang yang hatinya sudah terkunci tidak bisa mentadabburi Al-Qur'an.

4. Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kita untuk membaca Al-Qur'an dengan tartil,
memberikan hak huruf sesuai dengan aturan-aturannya. Belajar makharijul huruf dan
tajwidnya.

Allah Ta'āla berfirman dalam QS. Al-Muzamil: 4 :


‫َو َرتِّ ِل ْالقُرْ آنَ تَرْ تِيال‬
Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil

5. Empat keutamaan mempelajari Al-Qur’an.

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda :


‫ت هَّللا ِ تَ َعالَى‬
ِ ‫ت ِم ْن بُيُو‬ ٍ ‫و َما اجْ تَ َم َع قَوْ ٌم فِي بَ ْي‬
"Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah."
ِ ‫َاب هَّللا‬
َ ‫يَ ْتلُونَ ِكت‬
"Membaca kitab Allah."
‫َويَتَدَا َرسُونَهُ بَ ْينَهُ ْم‬
"Mempelajari kitab Allah tersebut."
ُ‫ت َعلَ ْي ِه ُم ال َّس ِكينَة‬
ْ َ‫ِإالَّ نَزَ ل‬
"Kecuali akan datang kebahagiaan, ketenangan, ketentraman dalam hatinya."
(Keutamaan Pertama)

ُ‫َوغ َِشيَ ْتهُ ُم الرَّحْ َمة‬


Mereka akan dinaungi dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala."
(Keutamaan Kedua)
ُ‫َو َحفَّ ْتهُ ُم ْال َمالَِئ َكة‬
"Dinaungi oleh para malaikat."
(Keutamaan Ketiga)
ُ‫َو َذ َك َرهُ ُم هَّللا ُ فِي َم ْن ِع ْن َده‬
"Dan mereka akan disebut-sebut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di majelis di sisi-Nya."
(Keutamaan Keempat)
(Hadits riwayat Muslim no. 2699)

Sangat mulia sekali empat keutamaan bagi orang-orang yang membaca Al-Qur'an dan
mempelajarinya.

6. Orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya merupakan atau termasuk orang-
orang yang terbaik.

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda :


‫خَ ْي ُر ُك ْم من تعلم ْالقُرْ آن َوعلمه‬
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an kemudian mengajarkannya"
(Hadits riwayat Imam Al-Bukhari no. 5027)

7. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghargai orang-orang yang membaca Al-Qur'an, yang pandai
dihargai dengan luar biasa yang susah juga dihargai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
pahala yang berlipat juga.

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda :


‫آن َم َع ال َّسفَ َر ِة ْال ِك َر ِام ْالبَ َر َر ِة‬
ِ ْ‫ْال َما ِه ُر بِ ْالقُر‬
"Orang yang ahli membaca Al-Qur'an bersama para malaikat yang mulia.
‫َوالَّ ِذي يَ ْق َرُأ ْالقُرْ آنَ َويَتَتَ ْعتَ ُع فِي ِه‬
Adapun orang yang membaca Al-Qur'an dan dia terbata-bata.
ِ ‫َوهُ َو َعلَ ْي ِه شاق لَهُ َأجْ َر‬
‫ان‬
Dan membacanya itu susah baginya dua pahala."
(Hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim).

Jadi ini adalah beberapa hal yang perlu kita yakini ketika kita membaca Al-Qur'an.

MEMPERHATIKAN NIAT IKHLAS DALAM MEMPELAJARI AL-QUR’AN

Di poin pertama dari adab tentang Al-Qur'an adalah berusaha untuk memiliki niat ikhlas saat
membaca Al-Qur'an, saat mempelajari Al-Qur’an atau saat menghafal Al-Qur'an.

Kenapa kita perlu ikhlas?


Alasannya karena membaca, menghafal, mempelajari Al-Qur’an, merupakan salah satu bentuk
ibadah yang besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dua syarat ibadah ini harus ada.

Dua syarat ibadah itu adalah :


1. Keikhlasan. Harus ikhlas mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Mencontoh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam

Maka kita perlu untuk ikhlas. Dan Imam An-Nawawi rahimahullahu ta'ala menjelaskan tentang
bagaimana cara ikhlas itu. Beliau mengatakan :
‫فأول ما يؤمر به ـ أي القارئ‬
Hal pertama yang diperintahkan kepada seorang yang membaca Al-Qur'an dan kita masukkan
dengan makna membaca ini dengan yang menghafal juga, kemudian yang mempelajari juga.

Yang pertama yang harus diperintahkan kepada mereka adalah :


Ikhlas ketika membacanya ‫اإلخالص في قراءته‬
‫سبحانه وتعالى‬- ‫وأن يريد بها وجه هللا‬
Dia mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala saat membaca Al-Qur'an, saat menghafal
Al-Qur'an.

Kalau ditanya kenapa kamu menghafal Al-Qur'an?


 Saya ingin mendapatkan atau
 Saya ingin melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala
 Saya ingin mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫وأن ال يقصد بها توصالً إلى شيء سوى ذلك‬


Dan jangan mengharapkan niat-niat lain selain niat-niat yang ikhlas karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

Ini kata Imam An-Nawawi. Menjadi perintah pertama untuk para pembaca Al-Qur'an, untuk
para penghafal Al-Qur'an, untuk orang-orang yang mempelajari Al-Qur’an. Ikhlas kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Karena banyak juga orang yang kalau baca Al-Qur'an, menghafal Al-Qur’an, mempelajari Al-
Qur’an niatnya bukan ikhlas karena Allah, ada yang niatnya caper, ingin perhatian manusia.
Kalau bahasa Syaikh Fuad Al-Salhub adalah agar dilihat orang-orang. Ada orang yang membaca
seperti itu.
"Wah, masyaAllah. Bacaannya bagus sekali pak! Belajar di mana?" Wah langsung pengen.

Kalau dia tidak menginginkan hal tersebut maka tidak masalah, tapi kalau ada keinginan untuk
dipuji seperti itu, ini bermasalah. Jadi yang bermasalah kalau ada keinginan, adapun kalau tidak
ada keinginan koq dipuji, itu tidak masalah. Nah, ini yang diperingatkan. Jangan sampai kita
ingin caper, ingin cari perhatian orang, ingin dipuji-puji orang. Jangan!
Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari yang seperti ini.
Kemudian yang kedua ada juga orang yang membaca Al-Qur'an inginkan dihormati dihargai
sama orang lain, kalau bahasa Syaikh ‫ وتبجلــه و توكــيره‬ingin dihormati, ingin dihargai. "Wah,
masyaAllah ini sudah pandai baca Al-Qur'an, jadi imam ya pak?" dihormati, dihargai.

Kalau dia ikhlas karena Allah diseperti itukan tidak masalah, tapi kalau ada keinginan diseperti
itukan, ini yang bermasalah perlu diobati hatinya. Dan ada niat-niat lain yang terkadang
mengotori hati kita saat membaca Al-Qur'an, saat mempelajari Al-Qur’an maupun saat
menghafal Al-Qur'an.

Dan Syaikh Fuad Al-Salhub juga mengingatkan kita dengan sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dengan nomor 1905, yaitu sabda Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, Ada
seorang laki-laki yang mempelajari ilmu kemudian belajar Al-Qur’an dan menghafalkan Al-
Qur'an, dia nanti di hari kiamat akan didatangkan orang yang seperti itu.

Di hari kiamat nanti akan didatangkan orang seperti ini kemudian ditanya :
‫فَ َما َع ِم ْلتَ فِيهَا؟‬
"Kamu sudah Ku beri nikmat banyak, apa yang kamu lakukan dengan nikmat-nikmat yang telah
Aku berikan kepadamu?" Kata Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka orang ini mengatakan :


ُ ‫ت ْال ِع ْل َم َوعَلَّ ْمتُهُ َوقَ َرْأ‬
َ‫ت فِيكَ ْالقُرْ آن‬ ُ ‫تَ َعلَّ ْم‬
"Aku belajar ilmu, mengajarkan ilmu dan mendakwahkannya serta aku menghafal Al-Qur'an-Mu
atau aku membaca Al-Qur'an-Mu."

Dan saya lebih suka menerjemahkan kata qaraa (‫ )قَ َرْأ‬disini dengan menghafal, karena bahasa
zaman dulu seorang yang hafal Al-Qur'an itu disebut Qura disebut Qari' itu hafal bukan hafidz.
Jadi dia belajar ilmu agama, mengajarkannya mendakwahkannya dan menghafal Al-Qur'an.

Maka dijawab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika dia mengaku seperti itu, aku gunakan
nikmat-nikmat-Mu untuk belajar ilmu agama, mengajarkannya, dan menghafal Al-Qur'an. Maka
dijawab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala :
َ‫َك َذبْت‬
"Engkau berdusta tidak seperti itu niatmu."
‫ال عَالِ ٌم‬ َ َ‫ك تَ َعلَّ ْمتَ ْال ِع ْل َم لِيُق‬
َ َّ‫َولَ ِكن‬
"Kamu belajar ilmu agama cuma ingin dikatakan sebagai orang yang 'alim, orang yang pandai."
‫ْأ‬
‫ارٌئ‬ِ َ‫َوقَ َر تَ ْالقُرْ آنَ ِليُقَا َل ه َُو ق‬
"Dan kamu menghafal Al-Qur'an biar disebut, "Ini loh, seorang yang hafidz seorang yang sudah
hafal Al-Qur'an", kamu pengennya itu saja."
‫يل‬َ ِ‫فَقَ ْد ق‬
"Dan itu sudah disebut manusia di dunia dulu, itu sudah kamu dapatkan."
َ ‫ثُ َّم ُأ ِم َر بِ ِه فَس ُِح‬
‫ب َعلَى َوجْ ِه ِه‬
"Akhirnya dia diperintahkan untuk diseret di atas wajahnya"
‫ُأ‬
ِ َّ‫َحتَّى ْلقِ َي فِي الن‬
‫ار‬
"Sampai dimasukan ke dalam neraka."

Na'uudzu billaahi min dzaalik.

Maka kita berusaha ketika membaca Al-Qur'an, mempelajari Al-Qur’an, menghafal Al-Qur’an,
kita usahakan untuk ikhlas mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan
pahala dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

MENGAMALKAN KANDUNGAN AL-QUR'AN

Caranya adalah :
1. Meyakini bahwa yang dihalalkan oleh Al-Qur'an merupakan sesuatu yang halal. ‫بتحليل حالله‬
2. Mengharamkan apa yang diharamkan oleh Al-Qur'an. ‫وتحريم حرامه‬
Kita tidak menyelisihi dalam hal ini, apa yang dihalalkan oleh Al-Qur'an kita jangan haramkan,
apa yang diharamkan oleh Al-Qur'an kita jangan menganggapnya halal. Begitu!
3. Kalau ada larangan dari Al-Qur'an kita berhenti tidak melakukan larangan tersebut, itu artinya
mengamalkan Al-Qur'an. ‫والوقوف عند نهيه‬
4. Melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Al-Qur'an. ‫واالئتمار بأمره‬
5. Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (jelas), yang jelas maknanya kita amalkan. ‫العمل بمحكمه‬
6. Mengimani apa yang mutasyabih dari Al-Qur'an, yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dengan
hari akhir, dengan hari kiamat yang terkadang tidak bisa kita gambarkan di dalam pikiran kita.
Kita tetap mengimani bahwa itu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan nanti akan ada kejadian
seperti itu dan kalau kita mengibaratkan, kita akan mengibaratkan atau mengungkapkan
kejadian yang kita lihat di hari kiamat seperti yang diungkapkan oleh Al-Qur'an. Kita mengimani
seperti itu. ‫واإليمان بمتشابهه‬

Contohnya ketika membaca surat Al-Qari'ah, gunung menjadi seperti kapas yang berterbangan.
Kita tidak bisa memikirkan itu bagaimana? Tapi kita meyakini akan terjadi kejadian seperti itu
sehingga kita akan berkomentar, "Gunungnya sudah seperti kapas, berterbangan". Kita
meyakini itu, mengimani itu.

7. Menegakkan hukum-hukum yang ada di sana. ‫إقامة حدوده و حروفه‬

Kalau kita jadi seorang pemimpin, menjadi pemerintah, berusaha untuk menegakkan hukum-
hukum yang ada di dalam Al-Qur'an semaksimal yang kita mampui. Dan kita tidak mentazkiyah
diri sendiri, bisa jadi kalau kita menjadi pemimpin juga belum bisa melaksanakan semua
perintah Al-Qur'an, tetapi secara mindset, secara pola pikir, kita berusaha untuk mengamalkan
apa yang diajarkan oleh Al-Qur'an.

Dan apa yang diajarkan oleh Al-Qur'an pasti membawa kebaikan, entah saat itu atau secara
langsung di waktu dekat maupun setelah berlalunya beberapa waktu.
8. Menegakkan juga huruf-hurufnya, kita baca sesuai dengan makharijul hurufnya, qaf (‫ )ق‬dibaca
dengan qaf (‫)ق‬, kaf (‫ )ك‬dibaca dengan kaf (‫)ك‬, ain (‫ )ع‬dibaca dengan ain (‫)ع‬, alif (‫ )ا‬dibaca
dengan alif (‫ )ا‬tidak bercampur aduk ha (‫ )ح‬dengan Ha (‫ )ه‬dibedakan.

Berusaha menegakkan huruf-hurufnya, ini maksud dari mengamalkan Al-Qur'an, menghalalkan


apa yang dihalalkan, mengharamkan apa yang diharamkan. Menjauhi larangan Al-Qur'an,
melaksanakannya yang diperintahkan Al-Qur'an. Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam yang
jelas, kemudian beriman dengan ayat-ayat yang mutasyabih.

Kemudian yang ketujuh menegakkan hukum-hukum Al-Qur'an dan yang kedelapan membaca
Al-Qur'an sesuai dengan huruf-hurufnya. Menegakkan hak huruf-hurufnya. Ini maksud dari
mengamalkan Al-Qur'an. Dan ada bahaya bagi orang-orang yang tidak mengamalkan Al-Qur'an.

Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-
Bukhari pernah bermimpi ada dua orang yang mendatangi Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
kemudian mengajak Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pergi, sampai suatu saat atau di dalam
mimpi tersebut beliau diajak sampai ada orang ُ‫ ُمضْ طَ ِج ٍع َعلَى قَفَاه‬ada orang yang berbaring.

َ ْ‫َو َر ُج ٌل قَاِئ ٌم َعلَى َرْأ ِس ِه بِفِه ٍْر َأو‬


‫ص ْخ َر ٍة‬
Orang yang berbaring itu, disampingnya ada orang lain, anggap saja orang kedua. Orang kedua
ini membawa batu sebesar telapak tangan.

Kemudian, ُ‫ فيَ ْش َد ُخ بِه َرْأ َسه‬orang kedua ini mukulin kepala orang yang sedang tidur tadi, dipukuli
dengan batu tersebut, dipecah kepalanya.

‫ض َربَهُ تَ َد ْه َدهَ ْالهجر‬


َ ‫فَِإ َذا‬
Setelah dipakai untuk memecah kepala orang yang sedang tidur tadi, batunya lari, pergi atau
bahasa kita terlempar jauh.

ُ‫ق ِإلَ ْي ِه لِيَْأ ُخ َذه‬


َ َ‫فَا ْنطَل‬
Orang kedua pun berusaha untuk mengambil batu yang terlempar jauh tadi.
‫فَاَل يَرْ ِج ُع ِإلَى هَ َذا َحتَّى يَ ْلتَِئ َم َرْأ ُسهُ َوعَا َد َرْأ ُسهُ َك َما هو‬
Sebelum orang kedua ini balik lagi ke orang pertama yang dipecahkan kepalanya tadi, sebelum
dia balik. Maka kepalanya sudah kembali seperti semula (sembuh) setelah itu dipukulkan lagi
sampai pecah lagi, batunya terlempar lagi, begitu terus. Dipukuli kepalanya, sampai nanti hari
kiamat.

Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bertanya, "Ini siapa?", maka dijawab oleh dua orang
yang membawa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dalam mimpi tersebut. Dikatakan dia adalah :

َ‫ر ُج ٌل َعلَّ َمهُ هَّللا ُ ْالقُرْ آن‬


Ini adalah seorang yang diajarkan Al-Qur'an oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
‫فنام عنه بالليل‬
Kalau malam tidur, tidak membaca Al-Qur'an meskipun sedikit.
‫ولم يعمل فيه بالنهار‬
Tidak mengamalkan Al-Qur'an kalau di siang hari.
Malamnya tidur tidak membaca, siangnya tidak mengamalkan Al-Qur'an.
ِ َ‫يُ ْف َع ُل به إلى ي‬
‫وم القِيَا َم ِة‬
Dia akan diperlakukan seperti itu sampai nanti hari kiamat. Na'uudzu billaahi min dzaalik.

ANJURAN UNTUK SELALU MEMBACA AL-QUR'AN DAN MENJAGA HAFALAN

Kenapa kita harus selalu membaca Al-Qur'an, untuk menjaga hafalan?

Karena Al-Qur'an ini sangat cepat untuk terlupakan, mudah hilang hafalannya. Maka kita perlu
untuk sering-sering membacanya dan memuraja'ahnya.

Jika ini tidak kita lakukan, maka hafalan kita terancam hilang, kita terancam lupa dengan
hafalan Al-Qur'an kita.

Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam memisalkan cepatnya hilang hafalan ini dengan beberapa
permisalan, diantaranya di dalam shahih Al-Bukhari 5031 Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
bersabda :
‫ب ْالقُرْ آ ِن‬ ِ ‫صا ِح‬ َ ‫ِإنَّ َما َمثَ ُل‬
"Permisalan orang yang hafal Al-Qur'an,
‫ب اِإْل بِ ِل ْال ُم َعقَّلَ ِة‬ َ ‫َك َمثَ ِل‬
ِ ‫صا ِح‬
Itu seperti permisalan seorang pemilik unta yang sedang tertali dengan tali 'iqal
(tali 'iqal bukan tali yang dikalungkan dileher)

Tali 'iqal adalah tali pada unta untuk mengikat kaki yang dilipat, ibaratnya kita di sikunya
dimasukkan dengan tali 'iqal, tali yang biasanya dipakai orang-orang Arab di atas kepala. Tali
('iqal) itu dimasukkan ke kakinya sehingga dia tidak bisa berdiri, ini disebut tali 'iqal.

Orang yang hafal Al-Qur'an seperti orang yang memiliki unta yang terikat dengan tali 'iqal,
‫ِإ ْن عَاهَ َد َعلَ ْيهَا َأ ْم َس َكهَا‬
Kalau tali 'iqalnya ini terus dijaga maka untanya akan terjaga tidak akan lari.
‫ت‬ْ َ‫طلَقَهَا َذهَب‬ ْ ‫وَِإ ْن َأ‬
Tapi kalau dibiarkan, unta itu cepat melepaskan diri dan dia bisa pergi."

Permisalan kedua Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam memerintahkan :


َ‫تَ َعاهَدُوا ْالقُرْ آن‬
"Terus bacalah Al-Qur'an, ingat-ingat dan kuatkan hafalannya.
‫فَ َوالَّ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه‬
Demi yang jiwaku di tangan-Nya (demi Allah).
‫صيًا ِمنَ اِإْل بِ ِل فِي ُعقُلِهَا‬ ِّ َ‫لَ ْه َو َأ َش ُّد تَف‬
Al-Qur'an itu lebih cepat lepasnya dibandingkan unta yang berada di tali 'iqalnya, secara
perhitungan waktu lebih cepat Al-Qur'an hilangnya, lebih cepat lepas Al-Qur'an."

Dan ini adalah perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa
sallam.
Ibnu Hajar rahimahullah memberikan rahasia kenapa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
mempermisalkan hafalan Al-Qur'an itu dengan unta yang tertali di dalam tali 'iqal?

Jawabannya:
1. Ini menunjukkan bahwa kalau hafalan itu dijaga maka akan tetap ada, akan terus kita ingat.
Tapi kalau tidak kita jaga maka akan cepat hilang akan mudah hilang.
Ini adalah rahasia pertama kenapa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mempermisalkan
dengan unta yang ada di tali 'iqalnya, karena Al-Qur'an itu lebih cepat hilang kalau dijaga
maka akan tetap ada.

2. Kenapa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mempermisalkan hafalan Al-Qur'an itu seperti
unta yang ada di tali 'iqalnya.
Kenapa kok unta yang dipilih?
Disebutkan di sini karena unta merupakan hewan yang paling agresif (binatang ternak yang
paling agresif). Kalau sudah lepas susah untuk ditali lagi.
Begitu juga Al-Qur'an jika sudah sudah terlanjur lepas, maka susah untuk mengembalikan
hafalan itu kembali. Ini adalah rahasia kenapa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
mempermisalkan hafalan Al-Qur'an seperti unta yang tertali dengan tali 'iqalnya.

Maka di antara adab kita terhadap Al-Qur'an, apabila kita mempunyai hafalan Al-Qur'an sering-
sering kita baca, sering-sering kita ingat kembali agar hafalan itu tetap ada, agar hafalan itu
tetap ada pada diri kita.

WAJIBNYA MENTADABBURI AL-QUR'AN DAN HUKUM LUPA HAFALAN

Apa hukum orang yang menghafal Al-Qur'an kemudian lupa?


Ini dijawab oleh Lajnah Daimah dalam empat poin di halaman atau di juz 4 di halaman 64.
1. Mereka mengatakan hendaknya seorang penghafal Al-Qur'an tidak lalai dari menjaga
hafalannya. Hendaknya ia memiliki jadwal rutin untuk membaca hafalan-hafalannya setiap
hari.
2. Mereka mengatakan hal ini perlu dilakukan agar seseorang tidak lupa dan tetap ingat dengan
hafalan-hafalannya tersebut, kemudian dengan melakukan hal ini juga dia bisa
mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta memetik pelajaran-pelajaran
berharga dari hukum- hukum yang disampaikan oleh Al-Qur'an.
3. Barangsiapa yang lupa hafalannya karena kesibukan yang dimilikinya maka dia tidak berdosa.
4. Hadits-hadits yang memberikan ancaman terhadap orang yang lupa hafalannya bukanlah
hadits-hadits yang shahih.
Kemudian terkait wajibnya tadabbur. Allah Ta'ala berfirman dalam QS. An-Nisaa: 82 :
َ‫َأفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْالقُرْ آن‬
Apakah mereka itu tidak mentadabburi Al-Qur'an ?
ْ ‫َولَوْ َكانَ ِم ْن ِعن ِد َغي ِْر هَّللا ِ لَ َو َجدُوا فِي ِه‬
ۚ‫اختِاَل فًا َكثِيرًا‬
Seandainya Al-Qur'an itu bukan dari Allah, pasti akan didapati banyak perselisihannya

Kata Syaikh As-Sadi rahimahullah pada ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mentadabburi
ayat Al-Qur'an, dan maksud dari tadabbur adalah memikirkan ayat-ayat tersebut secara lebih
dalam dari sisi konsep, prinsip, akibat dan konsekuensi-konsekuensinya.

Kemudian beliau menyebutkan bahwa dengan tadabbur ini seseorang akan mendapatkan
banyak hal, yang beliau sebutkan diantaranya adalah :
1. Pengetahuan baru.
2. Iman akan bertambah dan semakin kuat.
3. Kita akan semakin kenal kepada Allah.
4. Kita akan mengetahui jalan yang menyampaikan kepada Allah.
5. Kita akan tahu sifat-sifat penghuni surga ketika di dunia ini.
6. Kita akan mengetahui siapa musuh kita, sifatnya bagaimana dan bagaimana cara
melawannya.
7. Kita akan mengetahui jalan yang mengantarkan kepada adab sifat orang-orang yang berhak
mendapatkan adab-adab ketika di dunia ini. Sifatnya bagaimana kemudian kita akan tahu
bagaimana cara menghindarinya.

Dan terkait tadabbur ini, sudah dipraktikan oleh para ulama Salaf kita, bahkan disebutkan
dalam riwayat Imam Ahmad dulu para sahabat tidak menambahkan menghafal sepuluh ayat.
Jadi berhenti di sepuluh ayat tidak akan menambah hafalannya kecuali setelah mempelajari
ilmu dan amal yang terkandung di dalam ayat tersebut.

Jadi ini semangat para sahabat untuk tadabbur, bukan hanya hafalan tetapi mengerti apa
ilmunya apa amalnya kemudian mereka praktikkan.

Kemudian Zaid bin Tsabit, salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam juga pernah
ditanya.
Menurut Anda bagaimana tentang mengkhatamkan Al-Qur'an setiap tujuh hari?
Maka beliau mengatakan kalau saya lebih suka mengkhatamkannya setiap 10 hari atau 15 hari.
Kemudian beliau ditanya, kenapa koq memilih sepuluh atau lima belas hari? Beliau menjawab
agar aku bisa mentadabburi ayat-ayatnya.
Ini terdapat di riwayat Imam Malik di dalam Kitab Al-Muwatha' nomor 320.

HUKUM MENYENTUH AL-QUR'AN BAGI ORANG YANG BERHADATS

Kita akan melanjutkan di antara adab terhadap Al-Qur'an adalah Tidak menyentuh Al-Qur'an
kecuali dalam keadaan suci dan maksud dari suci di sini adalah suci dari hadats besar dan
hadats kecil, kemudian perlu kita berikan muqaddimah terlebih dahulu bahwa yang dimaksud
Mushaf adalah Al-Qur'an yang tidak ada terjemahannya, tidak ada tafsirnya, bukan yang ada di
alat-alat elektronik semacam laptop dan HP. Itu yang dimaksud dengan mushaf. Jadi kalau ada
Al-Qur'an di HP ini tidak dimaksud mushaf di pembahasan ini.

Kalau ada Al-Qur'an yang itu terdapat dalam kitab tafsir, ini tidak termasuk mushaf dalam
pembahasan ini, kalau ada Al-Qur'an yang di situ tercampur dengan terjemahannya, maka itu
juga masuknya ke kitab tafsir bukan mushaf Al-Qur'an.

Jadi kalau mushaf Al-Qur'an harus benar-benar sendirian Al-Qur'annya tidak ada kalimat
manusia di situ. Ibaratnya begitu atau ada kalimat manusia hanya sedikit saja, misalnya di
pendahuluan atau apa. Menyentuh mushaf hendaknya dalam keadaan suci sebagaimana
disebutkan dalam kitab ini.

Dan dalil terkait hal (pembahasan) ini adalah firman Allah Ta'ala dalam QS. Al-Waaqi'ah: 79 :
َ‫ال يَ َم ُّسهُ ِإاَّل ْال ُمطَهَّرُون‬
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan

Begitu juga sabda Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam di dalam kitab yang tertuliskan untuk Amr
bin Hazm, bahwasanya :
‫ان ال يمسُّ القرآنَ إاَّل طاه ٌر‬
"Hendaknya tidak membaca Al-Qur'an kecuali orang yang suci."

Apa hukum menyentuh Al-Qur'an dengan kain atau ujung pakaian?


(Ada penghalang antara mushaf Al-Qur'an dengan tangan orang yang berhadats).

Maka dijawab oleh Al-Lajnah Ad-Daimah nomor 557 bahwasanya menyentuh Al-Qur'an dengan
kain (ada pembatas antara tangan seseorang dengan mushaf tersebut) ini diperbolehkan.

Dan Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah mengatakan, "Tidak masalah jika kain itu di atasnya
atau di bawahnya".

Begitu juga (boleh juga) kain itu yang dipakai oleh laki-laki, perempuan maupun anak-anak,
boleh digunakan untuk memegang, menjadi pembatas antara mushaf Al-Qur'an dengan tangan
seseorang, ini disebutkan dalam fatwa An-Nisaa halaman 21.

Apa hukum membawa Al-Qur'an di kantong baju?


Dijawab disini hukum membawa Al-Qur'an di kantong baju jawabannya boleh, tidak mengapa.
Kemudian apabila ingin masuk ke toilet, bagaimana?
Maka dijawab, hendaknya Al-Qur'an diletakkan di luar, di tempat yang terhormat dalam rangka
mengagungkan dan menghormati Al-Qur'an.
Kemudian disebutkan apabila ada rasa takut jika Al-Qur'an itu diletakkan di luar koq hilang,
maka diperbolehkan untuk membawanya, masuk ke dalam toilet karena ini urusan darurat dan
dalam kaidah fiqih disebutkan bahwasanya darurat itu menyebabkan sesuatu yang haram
menjadi halal.

HUKUM MEMBACA AL-QUR'AN SAAT BERHADATS KECIL, JUNUB, HAID DAN NIFAS

Di antara adab terhadap Al-Qur'an yang disebutkan di dalam kitab ini adalah pembahasan
tentang bolehkah membaca Al-Qur'an bagi orang yang berhadats kecil. Sekarang
pembahasannya adalah membaca, di kesempatan yang lalu pembahasannya adalah memegang
atau menyentuh.

Maka disini ada dua pembagian, pembagian pertama atau bagian pertama membaca Al-Qur'an
dari hafalannya, kemudian bagian kedua adalah membaca Al-Qur'an dari mushaf Al-Qur'an.

Membaca Al-Qur'an dari hafalannya


Maka bagi seseorang yang berhadats besar itu tidak boleh, berhadats kecil boleh.

Jadi membaca Al-Qur'an dari hafalannya tanpa membuka mushaf. Maka kalau dia hadatsnya
hadats besar tidak boleh, karena Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ta'ala 'anhu pernah
menyatakan:
‫يُ ْق ِرُئنَا اَ ْلقُرْ آنَ َما لَ ْم يَ ُك ْن ُجنُبًا‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللَا‬
"Dahulu Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam membaca Al-Qur'an kepada kami selama beliau
tidak junub."

Kemudian terkait orang yang berhadats kecil boleh membaca Al-Qur'an dari hafalannya, maka
ada sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ta'āla 'anhuma ketika beliau tinggal di rumah
bibinya Maimunah. Beliau bercerita :
‫آل ِع ْم َرانَ ثُ َّم‬ َ ‫ت ْال َخ َواتِ َم ِم ْن س‬
ِ ‫ُور ِة‬ ِ ‫ ثُ َّم قَ َرَأ ْال َع ْش َر اآليَا‬,‫س يَ ْم َس ُح النَّوْ َم ع َْن َوجْ ِه ِه بِيَ ِد ِه‬ َ َ‫ا ْستَ ْيقَظَ َرسُو ُل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم فَ َجل‬
ُ‫ضَأ ِم ْنهَا فََأحْ َسنَ ُوضُو َءه‬
َّ ‫قَا َم ِإلَى شَنٍّ ُم َعلَّقَ ٍة فَتَ َو‬

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bangun dari tidurnya kemudian Beliau duduk, Beliau
mengusap (wajahnya dari rasa ngantuk) dengan tangannya. Kemudian setelah itu Rasulullah
shallallahu 'alayhi wa sallam langsung membaca 10 ayat penutupan Surat Ali-Imran. Kemudian
beliau mendatangi sebuah tempat air yang tergantung, kemudian Beliau berwudhu disana dan
Beliau memperbagus wudhunya.
(HR. Bukhari, no.183 Muslim no.673)

Artinya Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dalam keadaan baru bangun belum berwudhu,
kemudian beliau membaca Al-Qur'an ini. Ini adalah sebuah amalan yang diperbolehkan artinya
membaca Al-Qur'an ketika seseorang berhadats kecil ini diperbolehkan. Karena beliau baru saja
bangun, dan tidur itu membatalkan wudhu, setelah itu Beliau berwudhu.
Kalau ada orang yang meyakini orang yang berhadats kecil tidak boleh baca Al-Qur'an, maka
keyakinan ini harus diingkari, harus dibenarkan orang tersebut.

Pernah terjadi suatu ketika Umar Bin Khaththab radhiyallahu ta'ala 'anhu berkumpul dengan
suatu kaum lalu beliau pergi buang hajat, saat kembali Umar bin Khaththab radhiyallahu ta'āla
'anhu datang sambil membaca Al-Qur'an padahal beliau belum berwudhu.

Maka ada orang yang mengatakan :


‫يَا َأ ِمي َر ْال ُمْؤ ِمنِينَ أتَ ْق َرُأ ْالقُرْ آنَ َولَسْتَ َعلَى ُوضُو ٍء؟ َم ْن َأ ْفتَاكَ بِهَ َذا َأ ُم َس ْيلِ َمةُ ؟‬
"Wahai Amirul Mukminin, Apakah Anda membaca Al-Qur'an padahal Anda belum berwudhu?"
Maka Umar bin Khaththab radhiyallāhu ta'āla 'anhu menjawab, "Siapa yang berfatwa seperti ini
terhadapmu, kamu mendapat ilmu seperti ini dari mana, apakah Musailamah yang berfatwa
kepadamu?"
(Lihat kitab al-Muwattho' no.469)

Artinya Musailamah Al-Kadzab (nabi palsu).


Apakah Musailamah yang mengajarkan kamu seperti itu?

Artinya Umar mengingkari orang yang meyakini bahwa berhadats kecil itu dilarang membaca
Al-Qur'an dari hafalannya.
Membaca Al-Qur'an dari mushaf
Kalau hadatsnya hadats besar maka jelas tidak diperbolehkan, kalau hadatsnya hadats kecil
menurut fatwa Lajnah Ad-Daimah ini juga tidak diperbolehkan. Mereka mengatakan :
‫ولـيس لــه أن يقــرأه مــن المصــحف إال علــى طهــارةكاملــة مــن الحــدث‬
‫األكبر واألصغر‬
"Seseorang hendaknya tidak membaca Al-Qur'an dari mushaf kecuali dalam keadaan suci yang
sempurna, baik suci dari hadats besar maupun dari hadats kecil."

Kemudian beliau membaca sebuah permasalahan, manakah yang lebih utama, membaca Al-
Qur'an dari mushaf atau dari hafalan? Mana yang lebih afdhal?
Jadi pembahasanya bukan masalah boleh atau tidak boleh, tapi mana yang lebih utama dan
mana yang paling utama.

Dan ini ada tiga pendapat :


1. Bahwa yang lebih utama adalah dari mushaf karena seseorang akan lebih banyak melihat
dan membaca itu lebih menguatkan hafalan. Ini sebagian pendapat yang menyatakan dari
mushaf.
2. Membaca Al-Qur'an dari hafalan.
3. Dirinci (ditafsir), seperti Ibnu Katsir mengatakan konsep pentingnya adalah kembali kepada
kekhusyu'an, kalau lebih khusyu' dari membaca mushaf maka membaca mushaf lebih
utama, kalau khusyu'nya lebih datang ketika dia membaca Al-Qur'an dari hafalan maka ini
lebih utama. Jadi ditafsir.
Dan Imam Nawawi juga mengatakan pendapat para ulama Salaf lebih condong kepada
pendapat yang merinci seperti ini, kemudian dinukilkan perkataan Ibnul Jauzi di dalam akhir-
akhir bab ini, bahwa Ibnul Jauzi mengatakan :
"Tapi bagi orang yang memiliki mushaf hendaknya punya rutinitas membaca dari mushafnya
meskipun hanya sedikit agar tidak menjadikan Al-Qur'an sebagai kitab yang dijauhi atau kitab
mahjur."

Membaca Al-Qur'an bagi orang yang haid dan nifas


Bagi sebagian orang atau mungkin bagi para ibu-ibu atau para akhawat yang mereka memiliki
hafalan Al-Qur'an, apabila tidak dibaca selama kurun waktu haid mereka atau kurun waktu nifas
mereka, maka akan terasa sangat panjang sekali dan bisa jadi ini berakibat mereka lupa dengan
hafalannya.

Maka apa atau bagaimana hukumnya bagi mereka untuk membaca Al-Qur'an? Maka disini
dikatakan bahwasanya seseorang yang haid dan nifas itu diperbolehkan untuk membaca Al-
Qur'an. Kenapa?
‫وذلـك ألنـه لم يثبـت دليـل يتعـينـ المصـير إليـه علـى المنـع مـن ذلك‬
Karena tidak ada dalil yang valid yang shahih yang mengharuskan seorang ulama untuk memilih
pendapat dilarangnya membaca Al-Qur'an bagi wanita yang haid dan nifas, tapi perlu dicatat di
sini :
‫ولكن بدون مس المصحف‬
Tapi tidak boleh memegang mushafnya.
Jadi ibaratnya boleh membaca mungkin dari hafalannya atau mungkin dibukakan oleh seorang
yang suci. Lajnah Daimah mengatakan (‫ )قالت اللجنة الدائمة‬:
‫أمــا قـــراءة الحــائض والنفســاء القـــرآن بــال مـــس مصحف فال بأس به في أصح قولي العلماء‬
Adapun membaca Al-Qur'an bagi wanita yang haid dan nifas tanpa menyentuh mushaf maka
ini tidak mengapa, artinya diperbolehkan. Menurut pendapat yang lebih tepat dari dua
pendapat ulama, artinya pendapat yang menyatakan boleh dan menyatakan tidak boleh.

Lajnah Daimah lebih menguatkan bahwasanya diperbolehkan membaca Al-Qur'an.


‫ألنه لم يثبت عن النبي صلى اهللا عليه وسلم ما يمنع ذلك‬
Karena tidak ada hadis-hadis yang valid (shahih) dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam yang
melarang dari membaca Al-Qur'an terhadap wanita yang haid dan nifas.

Intinya seorang wanita yang haid dan nifas boleh membaca Al-Qur'an selama tidak menyentuh
mushaf.

DISUNNAHKAN MEMBACA TA'AWUDZ DAN BASMALAH SEBELUM MEMBACA AL-QUR'AN

Membaca Ta'awudz
Terkait hal ini Allah Ta'ala berfirman dalam QS. An-Nahl: 98 :
ِ ‫فَِإ َذا قَ َرْأتَ ْالقُرْ آنَ فَا ْست َِع ْذ بِاهَّلل ِ ِمنَ ال َّش ْيطَا ِن الر‬
‫َّج ِيم‬
Apabila kamu membaca Al-Qur'an, maka berlindunglah kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

Dan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam di dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud, apabila shalat
maka beliau juga membaca ta'awudz ini, dalam hadits tersebut ta'awudz Nabi shallallahu 'alayhi
wa sallam berbunyi :
ِ َ‫يع ْال َعلِ ِيم ِمن ال َّش ْيط‬
‫ ِم ْن هَ ْم ِز ِه َونَ ْف ِخ ِه َونَ ْفثِ ِه‬،‫ان ال َّر ِج ِيم‬ ِ ‫َأعُو ُذ بِاهَّلل ِ ال َّس ِم‬
"Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari syaithan
yang terkutuk baik yang berbentuk was-was, kesombongan, maupun gangguannya."

Allah disifati dengan Maha Mendengar Maha Mengetahui dan gangguan syaithan ditafsirkan
dengan was-was, kesombongan dan gangguan tadi. Ini dibaca oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa
sallam ketika akan memulai Al-Fatihah.

Kemudian lafadz untuk ta'awudz ini ada beberapa macam, yang paling terkenal terkenalnya
adalah:
‫َأعُو ُذ بِاهَّلل ِ ِمنَ ال َّشيطَا ِن ال َّر ِج ِيم‬
"Aku berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk."
Lafadz kedua sebagaimana di dalam hadits ini tadi :
‫ ِم ْن هَ ْم ِز ِه َونَ ْف ِخ ِه َونَ ْفثِ ِه‬،‫ان ال َّر ِج ِيم‬ ِ َ‫يع ْال َعلِ ِيم ِمن ال َّش ْيط‬
ِ ‫َأعُو ُذ بِاهَّلل ِ ال َّس ِم‬
"Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari syaithan
yang terkutuk, dari was-wasnya, dari kesombongannya, dan dari gangguannya."

Kemudian yang ketiga adalah :


ِ ‫يع ْال َعلِ ِيم ِمن ال َّش ْيطَا ِن الر‬
‫َّج ِيم‬ ِ ‫َأعُو ُذ بِال َّس ِم‬
"Aku berlindung kepada yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui
dari syaithan yang terkutuk."
Kata Allahnya tidak disebutkan.

Faedahnya membaca ta'awudz sebelum membaca Al-Qur'an :


‫ليكون الشيطان بعيدا عن قلب المرء‬
Tujuannya agar syaithan itu jauh dari hati seseorang.

Tujuannya ketika syaithan jauh adalah seseorang bisa tadabbaru Al-Qur'an, bisa memahami Al-
Qur'an ‫ وتفهم معانيه‬dan bisa memahami makna-maknanya ‫ واالنتفاع به‬dan bisa mengambil manfaat
dari Al-Qur'an.

Dan tentu beda antara orang yang bisa membaca Al-Qur'an hatinya hadir dan orang yang
membaca Al-Qur'an hatinya berkelana entah ke mana.

Membaca Basmalah
Di sunnahkan atau dianjurkan untuk membaca Basmalah ( ‫ )بِ ْس ـ ِم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ـ ِن ٱل ـ َّر ِح ِیم‬ketika akan
membaca Al-Qur'an, sebagaimana dulu Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pernah turun surat
kepada Beliau, kemudian Beliau menundukkan kepalanya dan kemudian mengangkatnya
kemudian tersenyum.
Maka sahabat mengatakan : ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫ما َأضْ َح َك‬
َ ‫ك يَا َرس‬
"Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah."

َ ‫ى آنِفًا س‬
Maka Beliau mengatakan : ٌ‫ُورة‬ ْ َ‫ُأ ْن ِزل‬
َّ َ‫ت َعل‬
ِ ‫ بِ ْس ـ ِم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ـ ِن ٱل ـر‬sebelum
"Tadi diturunkan satu surat kepadaku maka beliau membaca ‫َّح ِیم‬
membaca surat tersebut."

Membaca ‫( صدق هللا العظيم‬Allah Maha Benar dengan firmannya).


Apakah ini dibenarkan?

Kalau menurut Syaikh disini hal ini tidak dibenarkan, kenapa? Karena dulu Nabi shallallahu
'alayhi wa sallam pernah meminta Abdullah bin Mas'ud untuk membacakan surat kepadanya.
Maka Abdullah bin Mas'ud membacakan surat An-Nisaa setelah sebelumnya bertanya, "Wahai
Rasulullah, Al-Qur'ankan turun kepada Anda, kenapa Anda meminta saya membacakan kepada
Anda?"
Maka Nabi mengatakan : ‫ِإنِّي َأ ْشتَ ِهي َأ ْن َأ ْس َم َعهُ ِم ْن َغي ِْري‬
"Aku ingin mendengar dari selainku."

Jadi kalau kita ingin mendengar Al-Qur'an dari orang lain, itu tidak masalah ada sunnahnya. Dan
terkadang mendengar dari orang lain itu bisa masuk ke dalam hati kita daripada kita membaca
sendiri.
Maka ketika sampai di dalam ayat :
َ ِ‫فَ َك ْيفَ ِإ َذا ِجْئنَا ِم ْن ُك ِّل ُأ َّم ٍة بِ َش ِهي ٍـد َو ِجْئنَا ب‬
‫ك َعلَى هَُؤ الَ ِء َش ِهيدًا‬
"Lalu bagaimana kami mendatangkan dari setiap umat itu saksi-saksi?"
َ ِ‫َو ِجْئنَا ب‬
‫ك َعلَى هَُؤ الَ ِء َش ِهيدًا‬
"Dan Kami datangkan kamu wahai Muhammad, menjadi saksi atas mereka."
Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan : ‫كف أو أمسك‬ ّ "Cukup, cukup"
Dan Abdullah bin Mas'ud mengatakan :
‫فرأيت عينيه تذرفان‬
"Dan aku melihat kedua mata Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam menangis."

Demi Allah, kata Syaikh disini Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam tidak mengatakan ‫صدق هللا العظيم‬,
tidak ada perkataan seperti itu. Dan kata-kata ini belum dipraktikan oleh para sahabat yang
mulia, para khalifah belum melakukan ini dan para ulama Salafush Shalih juga tidak
mengatakan ini.

Maka beliau memberikan kesimpulan akhir, bahwasanya ini adalah sesuatu yang tidak pantas
untuk dilakukan dan bukan merupakan sunnah.

Kemudian Lajnah Daimah mengatakan terkait hal ini, orang yang mengatakan ‫صــدق هللا العظيم‬
secara makna, kata itu benar. Akan tetapi ketika membaca kalimat tersebut setiap kali selesai
membaca Al-Qur'an maka ini kebid'ahan.
Bid'ah (‫ ?)بِ ْدعَة‬Kenapa karena Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, para Khulafaur Rasyidin, mereka
tidak pernah mengamalkan hal ini.

Kemudian ada faedah dari Imam An-Nawawi rahimahullahu ta'ala, bahwa hendaknya seseorang
yang membaca Al-Qur'an itu, memperhatikan dimana dia berhenti agar siap, agar konteks
kalimat itu sempurna, jangan sampai dia berhenti (waqaf), menutup mushafnya dalam keadaan
masih ada sambungannya.

Makanya sebagian ulama mengatakan bahwa membaca satu surat full itu lebih baik daripada
memotong-motong. Ini pengingat dari Imam An-Nawawi bahwa hendaknya kita
memperhatikan dimana kita berhenti agar makna yang kita baca itu bersambung, sudah
sempurna, dan tidak menggantung.

DISUNNAHKAN MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN TARTIL DAN


MAKRUH MEMBACA SANGAT CEPAT

Dan dalil terkait hal ini adalah firman Allah Ta'ala dalam QS. Al-Muzamil : 4 :
‫َو َرتِّ ِل ْالقُرْ آنَ تَرْ تِياًل‬
Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil

Dan membaca Al-Qur'an dengan tartil, kata tartil maknanya adalah ‫ بينه تبيينا‬Jelas. Dan maksud
dengan jelas ini dikatakan oleh sebagian ulama yang lainnya :
‫بأن يبين جميع الحروف و يوفيها حقها من اإلشباع‬
Memberikan hak huruf sebagaimana mestinya, makhrajnya dikeluarkan sebagaimana
tempatnya. Itu maksud dari tartil.

Sebagian ulama memakruhkan itu membaca dengan tidak tartil, artinya membaca dengan
cepat-cepat, pengennya dapat banyak (misalkan). Tapi ternyata ada kesalahan-kesalahan
makhraj, kesalahan-kesalahan panjang pendek. Intinya dia cepat dan ada kekurangan di situ.
Maka para ulama memakruhkan hal ini.

Kenapa koq dimakruhkan?


Karena mereka ini pengennya dapat pahala banyak, tapi mereka melewatkan sesuatu
kemaslahatan yang sangat besar yaitu tadabbur ayat-ayat Al-Qur'an. Ini tidak bisa dilakukan
oleh orang yang membacanya cepat sekali. Tidak bisa tadabbur.

Dan orang yang membaca cepat tidak bisa mengambil pelajaran sebagaimana orang yang
membaca dengan tartil. Bahkan Abdullah bin Mas'ud pernah dikatakan oleh seseorang. Jadi ada
orang yang mengatakan kepada Abdullah bin Mas'ud, dia mengatakan :
‫إنِّي ألقرُأ المفص ََّل في َركع ٍة‬
"Aku bisa membaca surat-surat mufashal dalam satu raka'at."
(Artinya dari surat Qaf sampai surat An-Naas itu bisa dibaca dalam satu raka'at).
Maka Abdullah bin Mas'ud mengatakan :
ًّ
ِ ‫هذا َكه ِّذ ال ِّش‬
‫عر‬
"Apakah cepat banget seperti kamu membaca syi'ir?"

Maka beliau (Abdullah bin Mas'ud) mengatakan kepada orang yang membacanya cepat ini :
‫إن أقوام يقرؤن القرآن ال يجاوز تراقيهم‬
"Banyak orang membaca Al-Qur'an ini tidak melewati kerongkongan mereka.
(Artinya tidak masuk di hati, cuma di lisan saja).

‫ولكن إذا وقع في القلب فرسخ فيه نفع‬...


“Tapi apabila seseorang membaca Al-Qur'an bisa masuk ke dalam hati, maka akan ada manfaat
di dalamnya."

Kemudian ada seorang tabi'in, namanya Abu Jamrah mengatakan kepada Ibnu Abbas :
‫إني سريع القراءة‬
"Wahai Ibnu Abbas, Aku bisa membaca Al-Qur'an dengan cepat”.

‫وإ ني اقرأ القرآن في ثالث‬


“Dan aku bisa mengkhatamkan Al-Qur'an dalam tiga hari".

Maka Abdullah bin Abbas mengatakan :


‫ألن أقرأ البقرة في ليلة‬
"Aku membaca surat Al-Baqarah semalam saja kemudian aku mentadabburinya dan
membacanya dengan tartil”.

‫أحب إلى من أن أقرأ كما تقول‬


“Itu lebih aku sukai daripada bacaan yang kamu lakukan."

Artinya Abdullah bin Abbas membaca surat Al-Baqarah semalam yang mana itu hanya 2,5 Juz,
artinya butuh waktu lebih untuk bisa khatam Al-Qur'an (bisa 10 hari bisa 13 hari) itu lebih
disukai oleh Abdullah bin Abbas daripada membaca cuma tiga hari khatam Al-Qur'an dan tidak
dapat pelajaran.

Maka Abdullah bin Abbas mengatakan kepada Abu Jamrah :


‫فإن كنت فاعال البد‬
"Kalau kamu memang harus membaca dengan seperti itu”,
‫فأقرأه قراة تسمع أذنيك ويعيه قلبك‬
“Kalau kamu harus seperti itu membacanya, maka bacalah dengan bacaan yang bisa didengar
oleh telingamu dan bisa dipahami oleh hatimu."

Kemudian Imam Ahmad pernah ditanya tentang membaca dengan cepat dan ada
kekurangannya. Maka beliau mengatakan aku tidak suka seperti itu, membaca Al-Qur'an
dengan terlalu cepat kemudian tajwidnya, makhrajnya, bisa ternomor duakan, saya tidak suka.
Beliau memakruhkannya.Kemudian beliau ditanya, apakah dia itu berdosa?
Maka Imam Ahmad mengatakan :
‫أما اإلثم فال أجترى عليه‬
"Kalau masalah dosa atau tidak, saya tidak berani untuk memastikan, tetapi saya tidak suka."
Kemudian disini ada pertanyaan atau ada permasalahan. Kalau saya membaca cepat bisa
didengar telinga, bisa diingat oleh hati, bisa diambil pelajaran dan membaca dengan tartil
(pelan-pelan), itu yang lebih diutamakan yang mana?

Maka disini para ulama (kadang) mengutamakan yang cepat, tetapi masih bisa didengar telinga
dan dipahami hati. Ada yang mendahulukan bahwa membaca dengan tartil lebih utama.

Dan Ibnu Hajar memisalkan hal ini, bahwasanya membaca Al-Qur'an dengan tartil, pelan-pelan,
ini ibarat orang yang bersedekah dengan mutiara satu tetapi harganya sangat luar biasa, dan
ada orang yang membaca dengan cepat, itu ibarat orang yang bersedekah dengan banyak
mutiara tapi harganya sedikit-sedikit.

Sehingga kadang (bisa jadi) yang satu ini lebih utama daripada yang sedikit-sedikit tapi banyak
dan terkadang ada yang sedikit-sedikit banyak itu lebih utama daripada yang hanya satu.
Makanya Ibnu hajar mengatakan bahwa, "Bisa jadi yang lebih utama yang banyak, bisa jadi
yang lebih utama yang sedikit tapi berkualitas."

Intinya yang terpenting dalam pembahasan ini adalah saat membaca Al-Qur'an kita berusaha
untuk menjadikan hati kita memahami apa yang kita baca, telinga kita mendengar apa yang kita
baca.

DISUNNAHKAN MEMBAGUSKAN BACAAN AL-QUR'AN KETIKA MEMBACANYA

‫استحباب تحسين الصوت بالقراءة و النهي عن القراءة باأللحان‬


Disunnahkannya (dianjurkannya) untuk memperbagus bacaan ketika membaca Al-Qur'an dan
dilarang untuk membaca Al-Qur'an dengan lahn dengan tangga nada atau dengan tata cara
bacaan sebagaimana lagu. Ini dilarang !

Terkait anjuran untuk memperbagus bacaan Al-Qur'an, maka ada beberapa hadits yang datang
dalam masalah ini, diantaranya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari
dari sahabat Baraa bin Azib radhiyallahu ta'ala 'anhu.

Beliau mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam membaca surat ِّ‫َوٱلت‬
ِ ُ‫ین َوٱل َّزیۡت‬
‫ون‬ ِ di shalat Isya.
‫وما سمعت أحدا أحسن صوتا منه أو قراءة‬
Dan aku belum pernah mendengar ada seorang yang bacaannya (suaranya) lebih bagus
daripada bacaan dan suara Beliau."
Ini adalah cara bagaimana Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam membaca Al-Qur'an, dengan suara
yang bagus yang indah.

Kemudian hadits lainnya, Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pernah bersabda di dalam hadits
riwayat Imam Al-Bukhari Imam Muslim :
‫لم يأذن هللا لشيء ما أذن لنبي أن يتغنى بالقرآن‬
"Allah tidak mengizinkan tentang sesuatu sebagaimana izin Allah kepada para Nabi
untuk membaca Al-Qur'an dengan suara yang bagus yang indah."

Ini artinya Allah sangat mengizinkan. Bahkan kata Ibnu Katsir rahimahullahu ta'ala,
َّ
‫أن هللا تعالى ما استمع لشيء كاستماعه لقراء نبي يجهر بقراءته ويحسنها‬
"Allah tidak mendengar terhadap sesuatu sebagaimana pendengaran Allah kepada bacaan para
Nabi-Nya ketika membaca Al-Qur'an."

Kenapa ini sangat didengarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ?


‫طيب الصوت‬
Karena suaranya bagus.
‫لكمال خلقهم‬
Karena kesempurnaan mereka.
‫وتمام الخشية‬
Dan karena kesempurnaan rasa takut mereka.

Jadi Allah sangat mendengar bacaan yang bagus dari para nabi-Nya, dan ini menjadi sunnah
untuk kita.

Dan Imam Ahmad mengatakan :


‫يحسن القارىء صوته بالقرآن‬
"Hendaknya seorang yang membaca Al-Qur'an memperbagus bacaannya.

Kemudian,
‫ويقرؤءه بحزن وتدبر‬
Membacanya dengan suara yang ada rasa takutnya, ada rasa sedihnya di dalam suara tersebut
dan ada tadabburnya di situ."

Ini perkataan Imam Ahmad ketika menerangkan bahwa Allah tidak mengizinkan sesuatu
sebagaimana izin Allah kepada para Nabi untuk membaca Al-Qur'an dengan suara yang sangat
indah.

Kemudian di dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud, Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
bersabda:
‫ْس ِمنَّا َم ْن لَ ْم يَتَغ ََّن بِ ْالقُرْ آن‬
َ ‫لَي‬
"Bukan golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur'an."
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud yang lainnya
mengatakan :
‫َزيِّنُوا أصواتكم بالقرآن‬
"Hiasilah suara kalian dengan Al-Qur'an."

Dan pernah ada seorang sahabat yang dijuluki sebagai pemegang serulingnya Nabi Dawud.
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pernah mengatakan kepada sahabat tersebut :
‫آل داو َد‬
ِ ‫مزامير‬
ِ ‫ لقد ُأوتيتَ ِمزمارًا من‬، َ‫لو رأيتُني و أنا أست ِم ُع لقرا َءتَك البارحة‬
"Seandai tadi malam kamu tahu, aku mendengarmu."

Jadi sahabat ini tidak tahu kalau Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mendengar bacaannya. Dan
Nabi berkomentar terkait bacaannya ini, "Sungguh kamu telah diberikan seruling (‫ ) ِم ْز َمار‬dari
keluarganya Nabi Dawud". Ibaratnya begitu, Ini diibaratkan saja, "Sungguh kamu telah
diberikan seruling dari keluarganya Nabi Dawud", artinya suaramu bagus sekali.

Dan kata sahabat tersebut : ‫أما أني لو علمت بمكانك لحبرته لك تحبيرا‬
"Wahai Rasulullah, kalau aku tahu seandainya Anda mendengar bacaanku akan ku kuperbagus
lagi bacaanku."

Siapa sahabat tersebut?


Beliau adalah sahabat Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu, beliau mempunyai bacaan yang
sangat bagus.

Ini juga motivasi untuk kita, untuk memiliki bacaan yang bagus mempelajari tajwid, ikut kelas
tahsin dan semisalnya.

Adapun tentang Al-Lahn membaca Al-Qur'an dengan ditirukan dengan nada-nada lagu yang
tidak baik, misalkan. Maka ini dimakruhkan, maka sebagian menganggapnya sebagai sesuatu
kebid'ahan.

MENANGIS KETIKA MEMBACA AL-QUR'AN ATAU KETIKA MENDENGARNYA


‫البكاء عند تالوة القرآن و سماعه‬

Ada sebuah riwayat dari Abdullah bin Asy-Syikhir, Beliau mengatakan :


‫رسول هَّللا صلَّى هَّللا ُ علي ِه وسلَّ َم َوه َو يصلِّي‬
َ ُ
‫أتيت‬
Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam ketika Beliau shalat.
‫رج ِل يعني اليبُكي‬ َ ‫كأزيز ال ِم‬
ِ ‫ولجوفِ ِه أزي ٌز‬
Dan ketika itu Beliau ada isak tangis di dalam suaranya. Ada terlihat suaranya.
(HR. at-Tirmidzi, dalam asy-Syamail)

Abdullah bin Syadaad mengatakan : ‫وقال عبد هللا بن شداد‬


‫سمعت نشيج عمر و أنا في آخر الصفوف‬
"Aku mendengar isak tangisnya Umar dan ketika itu aku di akhir shaf, ketika itu Umar membaca
‫( إنما أشكو بثي وحزني إلى هللا‬Sesungguhnya aku hanya mengeluhkan musibah yang menimpaku dan
kesedihanku kepada Allah saja)."

Ini adalah para sahabat dan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam ketika membaca Al-Qur'an.
Bahkan kalau kita tambahkan Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ta'ala 'anhu pernah diminta
oleh Ibunda Aisyah agar tidak menjadi imam. Kenapa? Karena setiap membaca Al-Qur'an pasti
beliau menangis. Itu adalah Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu 'anhu.
Dan ada kisah lainnya yang pernah kita bawakan juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Mas'ud radhiyallahu 'anhu. Ketika itu Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam meminta Abdullah bin
Mas'ud agar membaca Al-Qur'an kepada Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.

Maka jelas saja Abdullah bin Mas'ud merasa heran, "Wahai Rasulullah, apakah saya akan
membacakan Al-Qur'an kepadamu padahal Al-Qur'an itu turun kepadamu?" Maka Nabi
shallallahu 'alayhi wa sallam menjawab, "Iya, hanya saja aku ingin mendengar dari yang lain",
dan akhirnya dibacakan surat An-Nisaa.

Sampai ketika Abdullah bin Mas'ud sampai di ayat :


‫ك َعلَ ٰى هَ ٰـُٓؤٓاَل ِء َش ِهي ًـدۭا‬َ ِ‫فَ َك ْيفَ ِإ َذا ِجْئنَا ِمن ُك ِّل ُأ َّم ٍۭة بِ َش ِهي ٍدۢ َو ِجْئنَا ب‬
"Bagaimana menurutmu ketika didatangkan untuk setiap umat saksi-saksi mereka dan
Kami datangkan pula kamu menjadi saksi atas orang-orang yang menjadi umatmu."
(QS. An-Nisaa: 41).

Ketika itu Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan :


َ‫َح ْسبُكَ اآلن‬
"Sudah cukup!"
ْ
ُّ َ‫فالتَف‬
‫ت إلَ ْي ِه‬
Aku menoleh kepada Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.
ِ ‫فإذا َعيْناهُ ت َْذ ِر‬
‫فان‬
Ketika itu mata beliau sudah basah dengan air mata.

Artinya menangis atau mungkin bahasanya mengeluarkan air mata, merasa tersentuh dengan
Al-Qur'an itu merupakan salah satu adab yang tidak tercela.

Artinya bagi orang yang bisa seperti itu, BAGUS. Bagi orang yang tidak sampai menangis pun itu
juga bukan sebuah kewajiban. Tapi artinya orang yang menangis seperti ini dia tersentuh
dengan Al-Qur'an dan itu tidak mengapa, boleh-boleh saja.

Kemudian yang disampaikan beliau disini juga adalah sebuah kritikan terhadap orang-orang
yang keterlaluan menangisnya sampai berteriak-teriak. Maka ini bukan sesuatu yang baik, yang
baik adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, ada isak-isak
tangis sedikit yang tadi diibaratkan dengan ‫كأزيز المرجل‬.
Itu adalah suara air yang sedang mendidih. (‫)أزيز المرجل‬
Itu suara tangis Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.

Dan dulu para ulama yang kuat-kuat pun itu juga tersentuh dengan Al-Qur'an.
Imam Ahmad mengatakan:
‫لو دفع أولو قدر أحد أن يدفع هذا عن نفسه دفعه يحي‬
Yahya bin Said Al-Qathan itu juga menangis kalau baca Al-Qur'an dan Imam Ahmad
mengomentari, "Seandainya ada orang yang mampu untuk menolak tangisan ketika membaca
Al-Qur'an tentu Yahya bin Said Al-Qathan ini orang yang paling bisa untuk menolak suara
tangisan tersebut."

Intinya menangis ketika membaca Al-Qur'an hukumnya diperbolehkan tidak mengapa selama
masih di batas normal tidak sampai berteriak-teriak.

Kapan seseorang bisa menangis ketika membaca Al-Qur'an? Jawabannya disini disebutkan
setidaknya ada tiga :
1. Ketika hati yang hidup itu hadir mendengarkan Al-Qur'an.
2. Dia tahu apa yang dibaca, artinya apa itu, kalau tahu artinya dia akan bisa menangis.
3. Paham konsekuensi-konsekuensi dari ayat tersebut maka dia akan bisa menangis.
(‫)واستشعار معنى مطلوب‬

Kemudian ditambahkan materi disini tentang dianjurkannya mendengar dari orang yang
bacaannya bagus. Kalau kita meminta orang untuk membacakan Al-Qur'an kepada kita, maka
minta kepada orang yang bacaannya bagus. Ini adalah sebuah sunnah.

Karena Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam ketika itu minta kepada siapa? Kepada Abdullah bin
Mas'ud, dan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam itu berkata tentang bacaannya Abdullah bin
Mas'ud : ‫ضاطريا كما ُأ ْن ِز َل‬ ًّ ‫َمن س َّرهُ أن يَقرَأ القرآنَ غ‬
"Barangsiapa yang ingin membaca Al-Qur'an sebagaimana saat diturunkan (masih segar, masih
fresh), ‫فليَقرأهُ علَى قراء ِة اب ِن أ ِّم عب ٍد‬
Hendaknya dia membaca kepada bacaannya Abdullah bin Mas'ud."

Dan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pernah bersabda juga :


ٍ ‫ َوُأبَ ِّي ب ِن َك ْع‬،َ‫ َموْ لَى َأبِي ُح َذ ْيفَة‬،‫ َو َسالِ ٍم‬،‫ ِم ِن اب ِْن َم ْسعُو ٍد‬:‫ا ْستَ ْق ِرُئوا القُرْ آنَ ِمن َأرْ بَ َع ٍة‬
‫ َو ُم َعا ِذ ب ِن َجبَ ٍل‬،‫ب‬
"Belajarlah baca Al-Qur'an dari empat orang, dari ① Abdullah bin Mas'ud, ② Salim maula abi
Hudzaifah, ③ Ubay bin Ka'ab dan ④ Mu'adz bin Jabal."
BATASAN YANG DIANJURKAN DALAM MENGHATAMKAM AL-QUR'AN
‫القدر المستحب في ختم القرآن‬

Para ulama Salaf berbeda pendapat tentang berapa lama hendaknya Al-Qur'an dikhatamkan.
Sebagian mengatakan dua bulan, sebagian lagi ada yang mengatakan sebulan, ada yang
mengatakan sepuluh hari, ada juga yang mengatakan tujuh hari. Dan tujuh hari ini yang paling
banyak pendapatnya. Dan ini semua disebutkan oleh Imam An-Nawawi di dalam Kitab Al-
Adzkaar.
Dan sebagian lagi selain yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi, ada maklumat-maklumat dan
ada referensi lain yang menyatakan bahwasanya ada sebagian ulama, sahabat, tabi'in, yang
mengkhatamkan Al-Qur'an setiap tiga hari bahkan ada yang mengkhatamkan Al-Qur'an setiap
semalam (setiap satu malam).

Dan kisah Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ta'ala 'anhuma merupakan kisah yang sangat
masyhur, ketika itu Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan kepada Abdullah bin
Amr: ‫" إ ْق َرِإ ْالقُرْ آنَ فِي َشه ٍْر‬Bacalah Al-Qur'an setiap sebulan (sebulan sekali khatam, maksudnya)
Kata beliau, "Aku mampu lebih cepat lagi wahai Rasulullah" ً‫ت ِإنِّي َأ ِج ُد قُ َّوة‬ ُ ‫قُ ْل‬

Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan :


َ‫فَا ْق َرْأهُ فِي َسب ٍْع َوالَ ت َِز ْد َعلَى َذلِك‬
"Khatamkanlah setiap tujuh hari dan jangan lebih cepat dari itu."

Dan dalam riwayat yang lain, dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam kepada Abdullah
ٍ َ‫" ا ْق َرْأهُ فِي ثَال‬Bacalah setiap tiga hari."
bin Amr : ‫ث‬

Kalau riwayat tujuh hari ini ada di dalam shahih Al-Bukhari, kalau riwayat tiga hari ini ada di
Sunan Abu Dawud. Namun ringkasnya atau yang dipilih oleh Syaikh Fuad Salhub adalah
pendapat Imam An-Nawawi.

Imam An-Nawawi mengatakan :


‫أن ذلك يختلف باختالف األشخاص‬
Bahwa ukuran seberapa hendaknya seseorang mengkhatamkan Al-Qur'an ini berbeda antara
individu satu dan individu yang lainnya.
‫ لطائف ومعارف‬، ‫فمن كان يظهر له بدقيق الفكر‬
Barangsiapa yang tampak pada dirinya ada kecerdasan pikiran ada pemahaman yang dalam,
maka :
‫فليقتصر على قدرما يحصل له كمال فهم ما يقرأ‬
Hendaknya dia membaca sesuai dengan kadar kesempurnaan pemahamannya, seberapa dia
bisa paham itu yang digunakan ukurannya.

Sebulan baru bisa paham dengan baik, maka sebulan. Kalau saya bisa tujuh hari dan bisa paham
bacanya (bukan hanya baca saja) saya bisa paham, maka tujuh hari tidak apa-apa sesuai dengan
kecerdasan seseorang.

Begitu juga kata Imam An-Nawawi tergantung dari seberapa sibuk seseorang, disini disebutkan
‫ مشغوالبنشــر العلم‬seseorang yang sibuk menyebarkan ilmu, seseorang yang sibuk memutuskan
perkara di tengah-tengah kaum muslimin yang berprofesi sebagai hakim ataupun yang lainnya.
Maka hendaknya dia membaca sesuai kadar yang tidak membuatnya terlewatkan dari hal-hal
yang lebih penting.
Dan barangsiapa yang tidak memiliki kesibukan, kata Imam An-Nawawi dia bisa memperbanyak
bacaan Al-Qur'an semaksimal yang dia mampui selama tidak mencapai derajat kebosanan.
Boleh diperbanyak !

Jadi kata Imam An-Nawawi tergantung dari sisi seberapa sibuk seseorang, seberapa cerdas
seseorang. Kalau dia sibuk disesuaikan dengan kesibukannya, kalau dia tidak sibuk diperbanyak
itu bagus.

Doa Khatam Al-Qur'an

Bahwasanya tidak ada doa yang shahih dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam tentang Khatmil
Qur'an. Tapi kalau dibaca itu masih diperbolehkan selama tidak meyakini itu dari Nabi
shallallahu 'alayhi wa sallam.

Kemudian Syaikh menyebutkan tentang khataman Al-Qur'an, membaca doa setelah khatam Al-
Qur'an itu boleh atau tidak? Dikatakan disini bahwa menghadiri doa khataman Al-Qur'an,
membaca doa setelah khatam Al-Qur'an ini merupakan perkara yang, ‫مأثور من عمل السلف الصالح‬
termasuk perkara yang ada riwayatnya dari kalangan ulama Salaf.

Sebagaimana dulu pernah dilakukan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, setiap kali beliau
selesai Al-Qur'an beliau khataman, makan-makan dan membaca doa di sana.

Dan Ibnul Qayyim berkata : ‫وهو من آكد مواطن الدعاء و مواطن اإلجابة‬
Ini termasuk salah satu tempat mustajab untuk berdoa.

Kemudian apabila ada yang membaca doa khatmil Al-Qur'an di dalam shalat yaitu imam atau
munfarid baca doa khatmil Qur'an di dalam shalat sebelum ruku' atau di dalam shalat tarawih
atau di shalat-shalat lainnya. Maka ini tidak diketahui dalilnya dari Nabi shallallahu 'alayhi wa
sallam dan tidak ada dari kalangan sahabat yang bisa dicontoh.

DISUNNAHKAN SUJUD TILAWAH JIKA BERTEMU AYAT AS-SAJDAH


‫من السنة السجود عند المرور بآية سجدة‬

Ayat-ayat as-sajdah jumlahnya ada 15 dan ini ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama
terkait jumlahnya. Tapi disini Syaikh mengatakan jumlahnya 15.

Apabila melewati ayat tersebut hendaknya seseorang sujud dengan membaca doa-doa yang
diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.

Di antara doanya adalah :


ْ ُ‫اللَّهُ َّم احْ ط‬
َ ‫ط َعنِّي بِهَا ِو ْزرًا َوا ْكتُبْ لِي بِهَا َأجْ رًا َواجْ َع ْلهَا لِي ِع ْن َد‬
‫ك ُذ ْخرًا‬
"Ya Allah dengan sujud ini gugurkanlah dosa-dosaku, tuliskanlah pahala untukku
dan jadikanlah amalanku ini menjadi harta simpanan berharga di sisi-Mu"

Dalam riwayat Imam At-Tirmidzi doa ini ditambah dengan lafadz lain, yaitu:
َ ‫َوتَقَب َّْلهَا ِمنِّي َك َما تَقَب َّْلتَهَا ِم ْن َع ْب ِد‬
‫ك دَا ُو َد‬
"Ya Allah terimalah sujudku ini sebagaimana Engkau menerima sujudnya Nabi Dawud"
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Imam Ibnu Majah,
dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy rahimahullahu ta'ala)

Kemudian di antara doa lainnya adalah :


‫ص َرهُ بِ َحوْ لِ ِه َوقُ َّوتِ ِه‬ َّ ‫َس َج َد َوجْ ِهي لِمن َخلَقَهُ َو َش‬
َ َ‫ق َس ْم َعهُ َوب‬
"Aku bersujud atau wajahku bersujud kepada yang telah menciptakannya,
yang telah memberikan pendengaran pada tubuh ini, penglihatan,
yang tanpa ada daya serta kekuatan dariku untuk mengaturnya"
(HR. Sunnan Abu Dawud, Musnad Imam Ahmad, An-Nasai dan Sunan At-Tirmidzi
dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy rahimahullahu ta'ala)

Dan di dalam mushaf-mushaf yang ada di Indonesia biasanya :


‫ص َرهُ بِ َحوْ لِ ِه َوقُ َّوتِ ِه‬ َّ ‫َس َج َد َوجْ ِه َي لِلَّ ِذي خَ لَقَهُ َو َش‬
َ َ‫ق َس ْم َعهُ َوب‬

Kata ‫ من‬diganti dengan ‫ الذي‬, itu tidak mengapa.

Kemudian di antara doanya juga adalah:


َ‫ تَبَا َركَ هللاُ َأحْ َسنُ ْالخَ الِقِ ْين‬،ُ‫ص َره‬
َ َ‫ق َس ْم َعهُ َوب‬ ُ ‫ َولَكَ َأ ْسلَ ْم‬،‫ت‬
َّ ‫ َس َج َد َوجْ ِه َي لِلَّ ِذي خَ لَقَهُ وصوره َش‬،‫ت‬ ُ ‫ك آ َم ْن‬ َ َ‫اَللّهُ َّم ل‬
ُ ‫ك َس َج ْد‬
َ ِ‫ َوب‬،‫ت‬
"Ya Allah kepada-Mu lah aku bersujud, dengan-Mu lah aku beriman,
dan kepada-Mu lah aku berserah diri, wajahku bersujud kepada yang telah menciptakannya,
yang telah membentuknya, yang telah memberikan pendengaran dan penglihatan padanya.
Maha Suci Engkau ya Allah, Engkaulah sebaik-baik pencipta"
(Ini ada di shahih Muslim ada beberapa doa pilihan, bisa dihafal dengan yang paling mudah)

Hukum Sujud Tilawah


Hukumnya adalah sunnah, tidak wajib.

Dalilnya adalah hadits Zaid binTsabit. Beliau mengatakan :


ُ ‫قَ َرْأ‬
‫اَلنَّجْ َم‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ت َعلَى اَلنَّبِ ِّي‬
"Aku pernah membaca kepada Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam surat An-Najm dan di dalam
surat An-Najm ada sujud tilawahnya, tapi ‫ فَلَ ْم يَ ْسـ ُج ْد فِيهَا‬Ternyata Nabi shallallahu 'alayhi wa
sallam tidak sujud ketika saya bacakan surat An-Najm tersebut."
Artinya hukumnya sunnah.
Begitu juga Umar bin Khaththab radhiyallahu ta'ala 'anhu pernah berkhutbah, suatu saat beliau
pernah membaca surat An-Nahl, maka beliau sujud ketika melewati sujud tilawah namun di
Jum'at berikutnya beliau membaca surat An-Najm lagi tetapi beliau tidak sujud kala itu. Lalu
beliau mengatakan : "Wahai manusia, sesungguhnya kita telah melewati ayat yang
memerintahkan untuk sujud, barangsiapa yang sujud maka dia telah benar dan barangsiapa
yang tidak sujud maka tidak ada dosa atasnya."
Dan ketika itu Umar tidak sujud.

Kemudian kita melanjutkan pembahasan tentang, apakah saat sujud tilawah kita harus takbir,
harus salam, harus dalam keadaan suci dan menghadap kiblat?

Dikatakan di sini : ‫اَل يشرع فيه تحريم وال تحليل‬


Tidak disyari'atkan atau tidak ada kewajiban untuk takbir dan salam.

Dan tidak dipersyaratkan padanya syarat-syarat shalat baik bersuci ataupun menghadap kiblat.
Bahkan boleh saja bersujud dalam keadaan tidak suci. ‫بل يجوز على غير طهارة‬

Namun apabila seseorang sujud tilawah dalam keadaan suci, maka ini lebih utama dan
hendaknya tidak ditinggalkan oleh seorang muslim. Wallahu a'lam.

Kemudian apabila tiga orang yang satu membaca Al-Qur'an yang kedua mendengarkan dengan
perhatian terhadap bacaan tersebut dan ketiga mendengar hanya sambil lalu.
Maka yang disunnahkan untuk sujud tilawah adalah:
1. Pembacanya.
2. Orang yang mendengarkan dengan perhatian terhadap bacaan tersebut.
3. Adapun orang ketiga yang hanya mendengar sambil lalu tidak disunnahkan untuk ikut sujud
tilawah.
Kemudian di antara yang diingatkan oleh Syaikh disini adalah hendaknya tidak hanya membaca
doa sujud tilawah saja saat sujud tilawah, tetapi hendaknya juga membaca ‫سبحان ربي األعلى‬
terlebih dahulu.

Bahkan sebagian mengatakan kalau tidak membaca ‫ سبحان ربي األعلى‬terlebih dahulu maka dia
telah melakukan suatu kebid'ahan. Wallahu a'lam, itu sebagian pendapat di kalangan para
ulama.

DIMAKRUHKAN MENGGANTUNGKAN AYAT-AYAT AL-QUR'AN DI DINDING DAN SELAINNYA


‫كراهية تعليق اآليات على الجدر و نحوها‬

Pada masa-masa ini banyak orang yang menggantungkan ayat-ayat Al-Qur'an di tembok-
tembok dengan berbagai alasan, diantaranya :
1. Tabarruk mencari keberkahan.
2. Hiasan, menggantungkannya di tembok tokonya, menggantungkannya di mobilnya atau
bahkan menempelkan tulisan di mobilnya.
3. Perlindungan (‫)حرزا‬
4. Permohonan barakah dari Allah (‫)تبركا‬
5. Untuk mengingatkan orang (‫)تذكرا‬

Dan terkait hal ini, dikatakan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah : ‫ان في تعليق اآليات و نحو ذلك‬
1. Menggantungkan ayat-ayat Al-Qur'an dan yang semisalnya ‫ إنحراف بالقرآن عما أنزل من أجله‬ada
bentuk peralihan dari fungsi Al-Qur'an yang sebenarnya, yang mana fungsi Al-Qur'an yang
sebenarnya adalah memberikan hidayah, memberikan nasihat yang baik, memberikan
peringatan untuk dibaca, untuk dihafal. Ini tujuan Al-Qur'an diturunkan bukan untuk
dipajang-pajang seperti itu.
2. Bahwasanya pada hal yang seperti ini ada sikap menyelisihi contoh Nabi shallallahu 'alayhi
wa sallam dan Khulafa Ar-Rasyidin yang mereka tidak melakukan hal ini.
3. Bahwa pelarangan terhadap tindakan ini akan menjadi satu dharaih menutup celah terhadap
satu kesyirikan, karena hal seperti ini biasanya akan mengarah juga kepada jimat-jimat
(menulisnya untuk jimat) digantungkan dan yang semisalnya.
4. Bahwasanya Al-Qur'an diturunkan untuk dibaca bukan untuk diturunkan, untuk dijadikan
hiasan di toko-toko, di dinding-dinding atau untuk penglaris dan semisalnya. Tidak untuk itu!
5. Bahwa tindakan seperti ini, menggantungkan, menempelkan, dan yang semisalnya akan
membuat Al-Qur'an bisa saja dihinakan dan bisa saja mendapatkan kotoran-kotoran dan itu
membuat Al-Qur'an tidak baik.

Maka dari lima hal ini Lajnah Ad-Daimah menganjurkan untuk mengikuti para ulama Salaf,
untuk mengikuti Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, yang mana mereka paling semangat untuk
mengamalkan agama, paling semangat untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
paling jauh dari keburukan, maka kita bisa meniru mereka.

Anda mungkin juga menyukai