📗 Adab - Modul 01
🌐 https://madeenah.bimbinganislam.com/
•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•
MADEENAH...
Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar
بسم هللا الرحمن الرحيم
السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته
ا ّمابعد.الحمدهلل والصالة واسالم على رسول هللا و على آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة
Di kesempatan ini insya Allah kita akan belajar dari kitab Al-Adab yang ditulis oleh Syaikh Fuad
bin Abdil Aziz Al-Salhub. Insya Allah kita akan membahas tentang adab-adab membaca Al-
Qur'an atau adab-adab lainnya yang berkaitan dengan Al-Qur'an.
"Kami-lah yang menurunkan adz-dzikra dan Kami-lah yang akan bertanggung jawab untuk
menjaganya." Jadi kita meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang terjaga.
Seandainya itu bukan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka kita meyakini bahwa Al-Qur'an itu
dari Allah sehingga informasinya tidak saling bertentangan.
Jadi orang yang hatinya sudah terkunci tidak bisa mentadabburi Al-Qur'an.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kita untuk membaca Al-Qur'an dengan tartil,
memberikan hak huruf sesuai dengan aturan-aturannya. Belajar makharijul huruf dan
tajwidnya.
Sangat mulia sekali empat keutamaan bagi orang-orang yang membaca Al-Qur'an dan
mempelajarinya.
6. Orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya merupakan atau termasuk orang-
orang yang terbaik.
7. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghargai orang-orang yang membaca Al-Qur'an, yang pandai
dihargai dengan luar biasa yang susah juga dihargai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
pahala yang berlipat juga.
Jadi ini adalah beberapa hal yang perlu kita yakini ketika kita membaca Al-Qur'an.
Di poin pertama dari adab tentang Al-Qur'an adalah berusaha untuk memiliki niat ikhlas saat
membaca Al-Qur'an, saat mempelajari Al-Qur’an atau saat menghafal Al-Qur'an.
Maka kita perlu untuk ikhlas. Dan Imam An-Nawawi rahimahullahu ta'ala menjelaskan tentang
bagaimana cara ikhlas itu. Beliau mengatakan :
فأول ما يؤمر به ـ أي القارئ
Hal pertama yang diperintahkan kepada seorang yang membaca Al-Qur'an dan kita masukkan
dengan makna membaca ini dengan yang menghafal juga, kemudian yang mempelajari juga.
Ini kata Imam An-Nawawi. Menjadi perintah pertama untuk para pembaca Al-Qur'an, untuk
para penghafal Al-Qur'an, untuk orang-orang yang mempelajari Al-Qur’an. Ikhlas kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Karena banyak juga orang yang kalau baca Al-Qur'an, menghafal Al-Qur’an, mempelajari Al-
Qur’an niatnya bukan ikhlas karena Allah, ada yang niatnya caper, ingin perhatian manusia.
Kalau bahasa Syaikh Fuad Al-Salhub adalah agar dilihat orang-orang. Ada orang yang membaca
seperti itu.
"Wah, masyaAllah. Bacaannya bagus sekali pak! Belajar di mana?" Wah langsung pengen.
Kalau dia tidak menginginkan hal tersebut maka tidak masalah, tapi kalau ada keinginan untuk
dipuji seperti itu, ini bermasalah. Jadi yang bermasalah kalau ada keinginan, adapun kalau tidak
ada keinginan koq dipuji, itu tidak masalah. Nah, ini yang diperingatkan. Jangan sampai kita
ingin caper, ingin cari perhatian orang, ingin dipuji-puji orang. Jangan!
Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari yang seperti ini.
Kemudian yang kedua ada juga orang yang membaca Al-Qur'an inginkan dihormati dihargai
sama orang lain, kalau bahasa Syaikh وتبجلــه و توكــيرهingin dihormati, ingin dihargai. "Wah,
masyaAllah ini sudah pandai baca Al-Qur'an, jadi imam ya pak?" dihormati, dihargai.
Kalau dia ikhlas karena Allah diseperti itukan tidak masalah, tapi kalau ada keinginan diseperti
itukan, ini yang bermasalah perlu diobati hatinya. Dan ada niat-niat lain yang terkadang
mengotori hati kita saat membaca Al-Qur'an, saat mempelajari Al-Qur’an maupun saat
menghafal Al-Qur'an.
Dan Syaikh Fuad Al-Salhub juga mengingatkan kita dengan sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dengan nomor 1905, yaitu sabda Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, Ada
seorang laki-laki yang mempelajari ilmu kemudian belajar Al-Qur’an dan menghafalkan Al-
Qur'an, dia nanti di hari kiamat akan didatangkan orang yang seperti itu.
Di hari kiamat nanti akan didatangkan orang seperti ini kemudian ditanya :
فَ َما َع ِم ْلتَ فِيهَا؟
"Kamu sudah Ku beri nikmat banyak, apa yang kamu lakukan dengan nikmat-nikmat yang telah
Aku berikan kepadamu?" Kata Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan saya lebih suka menerjemahkan kata qaraa ( )قَ َرْأdisini dengan menghafal, karena bahasa
zaman dulu seorang yang hafal Al-Qur'an itu disebut Qura disebut Qari' itu hafal bukan hafidz.
Jadi dia belajar ilmu agama, mengajarkannya mendakwahkannya dan menghafal Al-Qur'an.
Maka dijawab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika dia mengaku seperti itu, aku gunakan
nikmat-nikmat-Mu untuk belajar ilmu agama, mengajarkannya, dan menghafal Al-Qur'an. Maka
dijawab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala :
ََك َذبْت
"Engkau berdusta tidak seperti itu niatmu."
ال عَالِ ٌم َ َك تَ َعلَّ ْمتَ ْال ِع ْل َم لِيُق
َ ََّولَ ِكن
"Kamu belajar ilmu agama cuma ingin dikatakan sebagai orang yang 'alim, orang yang pandai."
ْأ
ارٌئِ ََوقَ َر تَ ْالقُرْ آنَ ِليُقَا َل ه َُو ق
"Dan kamu menghafal Al-Qur'an biar disebut, "Ini loh, seorang yang hafidz seorang yang sudah
hafal Al-Qur'an", kamu pengennya itu saja."
يلَ ِفَقَ ْد ق
"Dan itu sudah disebut manusia di dunia dulu, itu sudah kamu dapatkan."
َ ثُ َّم ُأ ِم َر بِ ِه فَس ُِح
ب َعلَى َوجْ ِه ِه
"Akhirnya dia diperintahkan untuk diseret di atas wajahnya"
ُأ
ِ ََّحتَّى ْلقِ َي فِي الن
ار
"Sampai dimasukan ke dalam neraka."
Maka kita berusaha ketika membaca Al-Qur'an, mempelajari Al-Qur’an, menghafal Al-Qur’an,
kita usahakan untuk ikhlas mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan
pahala dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Caranya adalah :
1. Meyakini bahwa yang dihalalkan oleh Al-Qur'an merupakan sesuatu yang halal. بتحليل حالله
2. Mengharamkan apa yang diharamkan oleh Al-Qur'an. وتحريم حرامه
Kita tidak menyelisihi dalam hal ini, apa yang dihalalkan oleh Al-Qur'an kita jangan haramkan,
apa yang diharamkan oleh Al-Qur'an kita jangan menganggapnya halal. Begitu!
3. Kalau ada larangan dari Al-Qur'an kita berhenti tidak melakukan larangan tersebut, itu artinya
mengamalkan Al-Qur'an. والوقوف عند نهيه
4. Melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Al-Qur'an. واالئتمار بأمره
5. Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (jelas), yang jelas maknanya kita amalkan. العمل بمحكمه
6. Mengimani apa yang mutasyabih dari Al-Qur'an, yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dengan
hari akhir, dengan hari kiamat yang terkadang tidak bisa kita gambarkan di dalam pikiran kita.
Kita tetap mengimani bahwa itu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan nanti akan ada kejadian
seperti itu dan kalau kita mengibaratkan, kita akan mengibaratkan atau mengungkapkan
kejadian yang kita lihat di hari kiamat seperti yang diungkapkan oleh Al-Qur'an. Kita mengimani
seperti itu. واإليمان بمتشابهه
Contohnya ketika membaca surat Al-Qari'ah, gunung menjadi seperti kapas yang berterbangan.
Kita tidak bisa memikirkan itu bagaimana? Tapi kita meyakini akan terjadi kejadian seperti itu
sehingga kita akan berkomentar, "Gunungnya sudah seperti kapas, berterbangan". Kita
meyakini itu, mengimani itu.
Kalau kita jadi seorang pemimpin, menjadi pemerintah, berusaha untuk menegakkan hukum-
hukum yang ada di dalam Al-Qur'an semaksimal yang kita mampui. Dan kita tidak mentazkiyah
diri sendiri, bisa jadi kalau kita menjadi pemimpin juga belum bisa melaksanakan semua
perintah Al-Qur'an, tetapi secara mindset, secara pola pikir, kita berusaha untuk mengamalkan
apa yang diajarkan oleh Al-Qur'an.
Dan apa yang diajarkan oleh Al-Qur'an pasti membawa kebaikan, entah saat itu atau secara
langsung di waktu dekat maupun setelah berlalunya beberapa waktu.
8. Menegakkan juga huruf-hurufnya, kita baca sesuai dengan makharijul hurufnya, qaf ( )قdibaca
dengan qaf ()ق, kaf ( )كdibaca dengan kaf ()ك, ain ( )عdibaca dengan ain ()ع, alif ( )اdibaca
dengan alif ( )اtidak bercampur aduk ha ( )حdengan Ha ( )هdibedakan.
Kemudian yang ketujuh menegakkan hukum-hukum Al-Qur'an dan yang kedelapan membaca
Al-Qur'an sesuai dengan huruf-hurufnya. Menegakkan hak huruf-hurufnya. Ini maksud dari
mengamalkan Al-Qur'an. Dan ada bahaya bagi orang-orang yang tidak mengamalkan Al-Qur'an.
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-
Bukhari pernah bermimpi ada dua orang yang mendatangi Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
kemudian mengajak Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pergi, sampai suatu saat atau di dalam
mimpi tersebut beliau diajak sampai ada orang ُ ُمضْ طَ ِج ٍع َعلَى قَفَاهada orang yang berbaring.
Kemudian, ُ فيَ ْش َد ُخ بِه َرْأ َسهorang kedua ini mukulin kepala orang yang sedang tidur tadi, dipukuli
dengan batu tersebut, dipecah kepalanya.
Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bertanya, "Ini siapa?", maka dijawab oleh dua orang
yang membawa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dalam mimpi tersebut. Dikatakan dia adalah :
Karena Al-Qur'an ini sangat cepat untuk terlupakan, mudah hilang hafalannya. Maka kita perlu
untuk sering-sering membacanya dan memuraja'ahnya.
Jika ini tidak kita lakukan, maka hafalan kita terancam hilang, kita terancam lupa dengan
hafalan Al-Qur'an kita.
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam memisalkan cepatnya hilang hafalan ini dengan beberapa
permisalan, diantaranya di dalam shahih Al-Bukhari 5031 Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
bersabda :
ب ْالقُرْ آ ِن ِ صا ِح َ ِإنَّ َما َمثَ ُل
"Permisalan orang yang hafal Al-Qur'an,
ب اِإْل بِ ِل ْال ُم َعقَّلَ ِة َ َك َمثَ ِل
ِ صا ِح
Itu seperti permisalan seorang pemilik unta yang sedang tertali dengan tali 'iqal
(tali 'iqal bukan tali yang dikalungkan dileher)
Tali 'iqal adalah tali pada unta untuk mengikat kaki yang dilipat, ibaratnya kita di sikunya
dimasukkan dengan tali 'iqal, tali yang biasanya dipakai orang-orang Arab di atas kepala. Tali
('iqal) itu dimasukkan ke kakinya sehingga dia tidak bisa berdiri, ini disebut tali 'iqal.
Orang yang hafal Al-Qur'an seperti orang yang memiliki unta yang terikat dengan tali 'iqal,
ِإ ْن عَاهَ َد َعلَ ْيهَا َأ ْم َس َكهَا
Kalau tali 'iqalnya ini terus dijaga maka untanya akan terjaga tidak akan lari.
تْ َطلَقَهَا َذهَب ْ وَِإ ْن َأ
Tapi kalau dibiarkan, unta itu cepat melepaskan diri dan dia bisa pergi."
Dan ini adalah perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa
sallam.
Ibnu Hajar rahimahullah memberikan rahasia kenapa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
mempermisalkan hafalan Al-Qur'an itu dengan unta yang tertali di dalam tali 'iqal?
Jawabannya:
1. Ini menunjukkan bahwa kalau hafalan itu dijaga maka akan tetap ada, akan terus kita ingat.
Tapi kalau tidak kita jaga maka akan cepat hilang akan mudah hilang.
Ini adalah rahasia pertama kenapa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mempermisalkan
dengan unta yang ada di tali 'iqalnya, karena Al-Qur'an itu lebih cepat hilang kalau dijaga
maka akan tetap ada.
2. Kenapa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mempermisalkan hafalan Al-Qur'an itu seperti
unta yang ada di tali 'iqalnya.
Kenapa kok unta yang dipilih?
Disebutkan di sini karena unta merupakan hewan yang paling agresif (binatang ternak yang
paling agresif). Kalau sudah lepas susah untuk ditali lagi.
Begitu juga Al-Qur'an jika sudah sudah terlanjur lepas, maka susah untuk mengembalikan
hafalan itu kembali. Ini adalah rahasia kenapa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
mempermisalkan hafalan Al-Qur'an seperti unta yang tertali dengan tali 'iqalnya.
Maka di antara adab kita terhadap Al-Qur'an, apabila kita mempunyai hafalan Al-Qur'an sering-
sering kita baca, sering-sering kita ingat kembali agar hafalan itu tetap ada, agar hafalan itu
tetap ada pada diri kita.
Kata Syaikh As-Sadi rahimahullah pada ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mentadabburi
ayat Al-Qur'an, dan maksud dari tadabbur adalah memikirkan ayat-ayat tersebut secara lebih
dalam dari sisi konsep, prinsip, akibat dan konsekuensi-konsekuensinya.
Kemudian beliau menyebutkan bahwa dengan tadabbur ini seseorang akan mendapatkan
banyak hal, yang beliau sebutkan diantaranya adalah :
1. Pengetahuan baru.
2. Iman akan bertambah dan semakin kuat.
3. Kita akan semakin kenal kepada Allah.
4. Kita akan mengetahui jalan yang menyampaikan kepada Allah.
5. Kita akan tahu sifat-sifat penghuni surga ketika di dunia ini.
6. Kita akan mengetahui siapa musuh kita, sifatnya bagaimana dan bagaimana cara
melawannya.
7. Kita akan mengetahui jalan yang mengantarkan kepada adab sifat orang-orang yang berhak
mendapatkan adab-adab ketika di dunia ini. Sifatnya bagaimana kemudian kita akan tahu
bagaimana cara menghindarinya.
Dan terkait tadabbur ini, sudah dipraktikan oleh para ulama Salaf kita, bahkan disebutkan
dalam riwayat Imam Ahmad dulu para sahabat tidak menambahkan menghafal sepuluh ayat.
Jadi berhenti di sepuluh ayat tidak akan menambah hafalannya kecuali setelah mempelajari
ilmu dan amal yang terkandung di dalam ayat tersebut.
Jadi ini semangat para sahabat untuk tadabbur, bukan hanya hafalan tetapi mengerti apa
ilmunya apa amalnya kemudian mereka praktikkan.
Kemudian Zaid bin Tsabit, salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam juga pernah
ditanya.
Menurut Anda bagaimana tentang mengkhatamkan Al-Qur'an setiap tujuh hari?
Maka beliau mengatakan kalau saya lebih suka mengkhatamkannya setiap 10 hari atau 15 hari.
Kemudian beliau ditanya, kenapa koq memilih sepuluh atau lima belas hari? Beliau menjawab
agar aku bisa mentadabburi ayat-ayatnya.
Ini terdapat di riwayat Imam Malik di dalam Kitab Al-Muwatha' nomor 320.
Kita akan melanjutkan di antara adab terhadap Al-Qur'an adalah Tidak menyentuh Al-Qur'an
kecuali dalam keadaan suci dan maksud dari suci di sini adalah suci dari hadats besar dan
hadats kecil, kemudian perlu kita berikan muqaddimah terlebih dahulu bahwa yang dimaksud
Mushaf adalah Al-Qur'an yang tidak ada terjemahannya, tidak ada tafsirnya, bukan yang ada di
alat-alat elektronik semacam laptop dan HP. Itu yang dimaksud dengan mushaf. Jadi kalau ada
Al-Qur'an di HP ini tidak dimaksud mushaf di pembahasan ini.
Kalau ada Al-Qur'an yang itu terdapat dalam kitab tafsir, ini tidak termasuk mushaf dalam
pembahasan ini, kalau ada Al-Qur'an yang di situ tercampur dengan terjemahannya, maka itu
juga masuknya ke kitab tafsir bukan mushaf Al-Qur'an.
Jadi kalau mushaf Al-Qur'an harus benar-benar sendirian Al-Qur'annya tidak ada kalimat
manusia di situ. Ibaratnya begitu atau ada kalimat manusia hanya sedikit saja, misalnya di
pendahuluan atau apa. Menyentuh mushaf hendaknya dalam keadaan suci sebagaimana
disebutkan dalam kitab ini.
Dan dalil terkait hal (pembahasan) ini adalah firman Allah Ta'ala dalam QS. Al-Waaqi'ah: 79 :
َال يَ َم ُّسهُ ِإاَّل ْال ُمطَهَّرُون
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan
Begitu juga sabda Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam di dalam kitab yang tertuliskan untuk Amr
bin Hazm, bahwasanya :
ان ال يمسُّ القرآنَ إاَّل طاه ٌر
"Hendaknya tidak membaca Al-Qur'an kecuali orang yang suci."
Maka dijawab oleh Al-Lajnah Ad-Daimah nomor 557 bahwasanya menyentuh Al-Qur'an dengan
kain (ada pembatas antara tangan seseorang dengan mushaf tersebut) ini diperbolehkan.
Dan Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah mengatakan, "Tidak masalah jika kain itu di atasnya
atau di bawahnya".
Begitu juga (boleh juga) kain itu yang dipakai oleh laki-laki, perempuan maupun anak-anak,
boleh digunakan untuk memegang, menjadi pembatas antara mushaf Al-Qur'an dengan tangan
seseorang, ini disebutkan dalam fatwa An-Nisaa halaman 21.
HUKUM MEMBACA AL-QUR'AN SAAT BERHADATS KECIL, JUNUB, HAID DAN NIFAS
Di antara adab terhadap Al-Qur'an yang disebutkan di dalam kitab ini adalah pembahasan
tentang bolehkah membaca Al-Qur'an bagi orang yang berhadats kecil. Sekarang
pembahasannya adalah membaca, di kesempatan yang lalu pembahasannya adalah memegang
atau menyentuh.
Maka disini ada dua pembagian, pembagian pertama atau bagian pertama membaca Al-Qur'an
dari hafalannya, kemudian bagian kedua adalah membaca Al-Qur'an dari mushaf Al-Qur'an.
Jadi membaca Al-Qur'an dari hafalannya tanpa membuka mushaf. Maka kalau dia hadatsnya
hadats besar tidak boleh, karena Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ta'ala 'anhu pernah
menyatakan:
يُ ْق ِرُئنَا اَ ْلقُرْ آنَ َما لَ ْم يَ ُك ْن ُجنُبًا- صلى هللا عليه وسلم- ِ َكانَ َرسُو ُل هَّللَا
"Dahulu Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam membaca Al-Qur'an kepada kami selama beliau
tidak junub."
Kemudian terkait orang yang berhadats kecil boleh membaca Al-Qur'an dari hafalannya, maka
ada sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ta'āla 'anhuma ketika beliau tinggal di rumah
bibinya Maimunah. Beliau bercerita :
آل ِع ْم َرانَ ثُ َّم َ ت ْال َخ َواتِ َم ِم ْن س
ِ ُور ِة ِ ثُ َّم قَ َرَأ ْال َع ْش َر اآليَا,س يَ ْم َس ُح النَّوْ َم ع َْن َوجْ ِه ِه بِيَ ِد ِه َ َا ْستَ ْيقَظَ َرسُو ُل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم فَ َجل
ُضَأ ِم ْنهَا فََأحْ َسنَ ُوضُو َءه
َّ قَا َم ِإلَى شَنٍّ ُم َعلَّقَ ٍة فَتَ َو
Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bangun dari tidurnya kemudian Beliau duduk, Beliau
mengusap (wajahnya dari rasa ngantuk) dengan tangannya. Kemudian setelah itu Rasulullah
shallallahu 'alayhi wa sallam langsung membaca 10 ayat penutupan Surat Ali-Imran. Kemudian
beliau mendatangi sebuah tempat air yang tergantung, kemudian Beliau berwudhu disana dan
Beliau memperbagus wudhunya.
(HR. Bukhari, no.183 Muslim no.673)
Artinya Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dalam keadaan baru bangun belum berwudhu,
kemudian beliau membaca Al-Qur'an ini. Ini adalah sebuah amalan yang diperbolehkan artinya
membaca Al-Qur'an ketika seseorang berhadats kecil ini diperbolehkan. Karena beliau baru saja
bangun, dan tidur itu membatalkan wudhu, setelah itu Beliau berwudhu.
Kalau ada orang yang meyakini orang yang berhadats kecil tidak boleh baca Al-Qur'an, maka
keyakinan ini harus diingkari, harus dibenarkan orang tersebut.
Pernah terjadi suatu ketika Umar Bin Khaththab radhiyallahu ta'ala 'anhu berkumpul dengan
suatu kaum lalu beliau pergi buang hajat, saat kembali Umar bin Khaththab radhiyallahu ta'āla
'anhu datang sambil membaca Al-Qur'an padahal beliau belum berwudhu.
Artinya Umar mengingkari orang yang meyakini bahwa berhadats kecil itu dilarang membaca
Al-Qur'an dari hafalannya.
Membaca Al-Qur'an dari mushaf
Kalau hadatsnya hadats besar maka jelas tidak diperbolehkan, kalau hadatsnya hadats kecil
menurut fatwa Lajnah Ad-Daimah ini juga tidak diperbolehkan. Mereka mengatakan :
ولـيس لــه أن يقــرأه مــن المصــحف إال علــى طهــارةكاملــة مــن الحــدث
األكبر واألصغر
"Seseorang hendaknya tidak membaca Al-Qur'an dari mushaf kecuali dalam keadaan suci yang
sempurna, baik suci dari hadats besar maupun dari hadats kecil."
Kemudian beliau membaca sebuah permasalahan, manakah yang lebih utama, membaca Al-
Qur'an dari mushaf atau dari hafalan? Mana yang lebih afdhal?
Jadi pembahasanya bukan masalah boleh atau tidak boleh, tapi mana yang lebih utama dan
mana yang paling utama.
Maka apa atau bagaimana hukumnya bagi mereka untuk membaca Al-Qur'an? Maka disini
dikatakan bahwasanya seseorang yang haid dan nifas itu diperbolehkan untuk membaca Al-
Qur'an. Kenapa?
وذلـك ألنـه لم يثبـت دليـل يتعـينـ المصـير إليـه علـى المنـع مـن ذلك
Karena tidak ada dalil yang valid yang shahih yang mengharuskan seorang ulama untuk memilih
pendapat dilarangnya membaca Al-Qur'an bagi wanita yang haid dan nifas, tapi perlu dicatat di
sini :
ولكن بدون مس المصحف
Tapi tidak boleh memegang mushafnya.
Jadi ibaratnya boleh membaca mungkin dari hafalannya atau mungkin dibukakan oleh seorang
yang suci. Lajnah Daimah mengatakan ( )قالت اللجنة الدائمة:
أمــا قـــراءة الحــائض والنفســاء القـــرآن بــال مـــس مصحف فال بأس به في أصح قولي العلماء
Adapun membaca Al-Qur'an bagi wanita yang haid dan nifas tanpa menyentuh mushaf maka
ini tidak mengapa, artinya diperbolehkan. Menurut pendapat yang lebih tepat dari dua
pendapat ulama, artinya pendapat yang menyatakan boleh dan menyatakan tidak boleh.
Intinya seorang wanita yang haid dan nifas boleh membaca Al-Qur'an selama tidak menyentuh
mushaf.
Membaca Ta'awudz
Terkait hal ini Allah Ta'ala berfirman dalam QS. An-Nahl: 98 :
ِ فَِإ َذا قَ َرْأتَ ْالقُرْ آنَ فَا ْست َِع ْذ بِاهَّلل ِ ِمنَ ال َّش ْيطَا ِن الر
َّج ِيم
Apabila kamu membaca Al-Qur'an, maka berlindunglah kepada Allah dari syaitan yang terkutuk
Dan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam di dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud, apabila shalat
maka beliau juga membaca ta'awudz ini, dalam hadits tersebut ta'awudz Nabi shallallahu 'alayhi
wa sallam berbunyi :
ِ َيع ْال َعلِ ِيم ِمن ال َّش ْيط
ِم ْن هَ ْم ِز ِه َونَ ْف ِخ ِه َونَ ْفثِ ِه،ان ال َّر ِج ِيم ِ َأعُو ُذ بِاهَّلل ِ ال َّس ِم
"Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari syaithan
yang terkutuk baik yang berbentuk was-was, kesombongan, maupun gangguannya."
Allah disifati dengan Maha Mendengar Maha Mengetahui dan gangguan syaithan ditafsirkan
dengan was-was, kesombongan dan gangguan tadi. Ini dibaca oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa
sallam ketika akan memulai Al-Fatihah.
Kemudian lafadz untuk ta'awudz ini ada beberapa macam, yang paling terkenal terkenalnya
adalah:
َأعُو ُذ بِاهَّلل ِ ِمنَ ال َّشيطَا ِن ال َّر ِج ِيم
"Aku berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk."
Lafadz kedua sebagaimana di dalam hadits ini tadi :
ِم ْن هَ ْم ِز ِه َونَ ْف ِخ ِه َونَ ْفثِ ِه،ان ال َّر ِج ِيم ِ َيع ْال َعلِ ِيم ِمن ال َّش ْيط
ِ َأعُو ُذ بِاهَّلل ِ ال َّس ِم
"Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari syaithan
yang terkutuk, dari was-wasnya, dari kesombongannya, dan dari gangguannya."
Tujuannya ketika syaithan jauh adalah seseorang bisa tadabbaru Al-Qur'an, bisa memahami Al-
Qur'an وتفهم معانيهdan bisa memahami makna-maknanya واالنتفاع بهdan bisa mengambil manfaat
dari Al-Qur'an.
Dan tentu beda antara orang yang bisa membaca Al-Qur'an hatinya hadir dan orang yang
membaca Al-Qur'an hatinya berkelana entah ke mana.
Membaca Basmalah
Di sunnahkan atau dianjurkan untuk membaca Basmalah ( )بِ ْس ـ ِم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ـ ِن ٱل ـ َّر ِح ِیمketika akan
membaca Al-Qur'an, sebagaimana dulu Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pernah turun surat
kepada Beliau, kemudian Beliau menundukkan kepalanya dan kemudian mengangkatnya
kemudian tersenyum.
Maka sahabat mengatakan : ِ ُول هَّللا َ ما َأضْ َح َك
َ ك يَا َرس
"Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah."
َ ى آنِفًا س
Maka Beliau mengatakan : ٌُورة ْ َُأ ْن ِزل
َّ َت َعل
ِ بِ ْس ـ ِم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ـ ِن ٱل ـرsebelum
"Tadi diturunkan satu surat kepadaku maka beliau membaca َّح ِیم
membaca surat tersebut."
Kalau menurut Syaikh disini hal ini tidak dibenarkan, kenapa? Karena dulu Nabi shallallahu
'alayhi wa sallam pernah meminta Abdullah bin Mas'ud untuk membacakan surat kepadanya.
Maka Abdullah bin Mas'ud membacakan surat An-Nisaa setelah sebelumnya bertanya, "Wahai
Rasulullah, Al-Qur'ankan turun kepada Anda, kenapa Anda meminta saya membacakan kepada
Anda?"
Maka Nabi mengatakan : ِإنِّي َأ ْشتَ ِهي َأ ْن َأ ْس َم َعهُ ِم ْن َغي ِْري
"Aku ingin mendengar dari selainku."
Jadi kalau kita ingin mendengar Al-Qur'an dari orang lain, itu tidak masalah ada sunnahnya. Dan
terkadang mendengar dari orang lain itu bisa masuk ke dalam hati kita daripada kita membaca
sendiri.
Maka ketika sampai di dalam ayat :
َ ِفَ َك ْيفَ ِإ َذا ِجْئنَا ِم ْن ُك ِّل ُأ َّم ٍة بِ َش ِهي ٍـد َو ِجْئنَا ب
ك َعلَى هَُؤ الَ ِء َش ِهيدًا
"Lalu bagaimana kami mendatangkan dari setiap umat itu saksi-saksi?"
َ َِو ِجْئنَا ب
ك َعلَى هَُؤ الَ ِء َش ِهيدًا
"Dan Kami datangkan kamu wahai Muhammad, menjadi saksi atas mereka."
Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan : كف أو أمسك ّ "Cukup, cukup"
Dan Abdullah bin Mas'ud mengatakan :
فرأيت عينيه تذرفان
"Dan aku melihat kedua mata Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam menangis."
Demi Allah, kata Syaikh disini Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam tidak mengatakan صدق هللا العظيم,
tidak ada perkataan seperti itu. Dan kata-kata ini belum dipraktikan oleh para sahabat yang
mulia, para khalifah belum melakukan ini dan para ulama Salafush Shalih juga tidak
mengatakan ini.
Maka beliau memberikan kesimpulan akhir, bahwasanya ini adalah sesuatu yang tidak pantas
untuk dilakukan dan bukan merupakan sunnah.
Kemudian Lajnah Daimah mengatakan terkait hal ini, orang yang mengatakan صــدق هللا العظيم
secara makna, kata itu benar. Akan tetapi ketika membaca kalimat tersebut setiap kali selesai
membaca Al-Qur'an maka ini kebid'ahan.
Bid'ah ( ?)بِ ْدعَةKenapa karena Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, para Khulafaur Rasyidin, mereka
tidak pernah mengamalkan hal ini.
Kemudian ada faedah dari Imam An-Nawawi rahimahullahu ta'ala, bahwa hendaknya seseorang
yang membaca Al-Qur'an itu, memperhatikan dimana dia berhenti agar siap, agar konteks
kalimat itu sempurna, jangan sampai dia berhenti (waqaf), menutup mushafnya dalam keadaan
masih ada sambungannya.
Makanya sebagian ulama mengatakan bahwa membaca satu surat full itu lebih baik daripada
memotong-motong. Ini pengingat dari Imam An-Nawawi bahwa hendaknya kita
memperhatikan dimana kita berhenti agar makna yang kita baca itu bersambung, sudah
sempurna, dan tidak menggantung.
Dan dalil terkait hal ini adalah firman Allah Ta'ala dalam QS. Al-Muzamil : 4 :
َو َرتِّ ِل ْالقُرْ آنَ تَرْ تِياًل
Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil
Dan membaca Al-Qur'an dengan tartil, kata tartil maknanya adalah بينه تبييناJelas. Dan maksud
dengan jelas ini dikatakan oleh sebagian ulama yang lainnya :
بأن يبين جميع الحروف و يوفيها حقها من اإلشباع
Memberikan hak huruf sebagaimana mestinya, makhrajnya dikeluarkan sebagaimana
tempatnya. Itu maksud dari tartil.
Sebagian ulama memakruhkan itu membaca dengan tidak tartil, artinya membaca dengan
cepat-cepat, pengennya dapat banyak (misalkan). Tapi ternyata ada kesalahan-kesalahan
makhraj, kesalahan-kesalahan panjang pendek. Intinya dia cepat dan ada kekurangan di situ.
Maka para ulama memakruhkan hal ini.
Dan orang yang membaca cepat tidak bisa mengambil pelajaran sebagaimana orang yang
membaca dengan tartil. Bahkan Abdullah bin Mas'ud pernah dikatakan oleh seseorang. Jadi ada
orang yang mengatakan kepada Abdullah bin Mas'ud, dia mengatakan :
إنِّي ألقرُأ المفص ََّل في َركع ٍة
"Aku bisa membaca surat-surat mufashal dalam satu raka'at."
(Artinya dari surat Qaf sampai surat An-Naas itu bisa dibaca dalam satu raka'at).
Maka Abdullah bin Mas'ud mengatakan :
ًّ
ِ هذا َكه ِّذ ال ِّش
عر
"Apakah cepat banget seperti kamu membaca syi'ir?"
Maka beliau (Abdullah bin Mas'ud) mengatakan kepada orang yang membacanya cepat ini :
إن أقوام يقرؤن القرآن ال يجاوز تراقيهم
"Banyak orang membaca Al-Qur'an ini tidak melewati kerongkongan mereka.
(Artinya tidak masuk di hati, cuma di lisan saja).
Kemudian ada seorang tabi'in, namanya Abu Jamrah mengatakan kepada Ibnu Abbas :
إني سريع القراءة
"Wahai Ibnu Abbas, Aku bisa membaca Al-Qur'an dengan cepat”.
Artinya Abdullah bin Abbas membaca surat Al-Baqarah semalam yang mana itu hanya 2,5 Juz,
artinya butuh waktu lebih untuk bisa khatam Al-Qur'an (bisa 10 hari bisa 13 hari) itu lebih
disukai oleh Abdullah bin Abbas daripada membaca cuma tiga hari khatam Al-Qur'an dan tidak
dapat pelajaran.
Kemudian Imam Ahmad pernah ditanya tentang membaca dengan cepat dan ada
kekurangannya. Maka beliau mengatakan aku tidak suka seperti itu, membaca Al-Qur'an
dengan terlalu cepat kemudian tajwidnya, makhrajnya, bisa ternomor duakan, saya tidak suka.
Beliau memakruhkannya.Kemudian beliau ditanya, apakah dia itu berdosa?
Maka Imam Ahmad mengatakan :
أما اإلثم فال أجترى عليه
"Kalau masalah dosa atau tidak, saya tidak berani untuk memastikan, tetapi saya tidak suka."
Kemudian disini ada pertanyaan atau ada permasalahan. Kalau saya membaca cepat bisa
didengar telinga, bisa diingat oleh hati, bisa diambil pelajaran dan membaca dengan tartil
(pelan-pelan), itu yang lebih diutamakan yang mana?
Maka disini para ulama (kadang) mengutamakan yang cepat, tetapi masih bisa didengar telinga
dan dipahami hati. Ada yang mendahulukan bahwa membaca dengan tartil lebih utama.
Dan Ibnu Hajar memisalkan hal ini, bahwasanya membaca Al-Qur'an dengan tartil, pelan-pelan,
ini ibarat orang yang bersedekah dengan mutiara satu tetapi harganya sangat luar biasa, dan
ada orang yang membaca dengan cepat, itu ibarat orang yang bersedekah dengan banyak
mutiara tapi harganya sedikit-sedikit.
Sehingga kadang (bisa jadi) yang satu ini lebih utama daripada yang sedikit-sedikit tapi banyak
dan terkadang ada yang sedikit-sedikit banyak itu lebih utama daripada yang hanya satu.
Makanya Ibnu hajar mengatakan bahwa, "Bisa jadi yang lebih utama yang banyak, bisa jadi
yang lebih utama yang sedikit tapi berkualitas."
Intinya yang terpenting dalam pembahasan ini adalah saat membaca Al-Qur'an kita berusaha
untuk menjadikan hati kita memahami apa yang kita baca, telinga kita mendengar apa yang kita
baca.
Terkait anjuran untuk memperbagus bacaan Al-Qur'an, maka ada beberapa hadits yang datang
dalam masalah ini, diantaranya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari
dari sahabat Baraa bin Azib radhiyallahu ta'ala 'anhu.
Beliau mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam membaca surat َِّوٱلت
ِ ُین َوٱل َّزیۡت
ون ِ di shalat Isya.
وما سمعت أحدا أحسن صوتا منه أو قراءة
Dan aku belum pernah mendengar ada seorang yang bacaannya (suaranya) lebih bagus
daripada bacaan dan suara Beliau."
Ini adalah cara bagaimana Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam membaca Al-Qur'an, dengan suara
yang bagus yang indah.
Kemudian hadits lainnya, Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pernah bersabda di dalam hadits
riwayat Imam Al-Bukhari Imam Muslim :
لم يأذن هللا لشيء ما أذن لنبي أن يتغنى بالقرآن
"Allah tidak mengizinkan tentang sesuatu sebagaimana izin Allah kepada para Nabi
untuk membaca Al-Qur'an dengan suara yang bagus yang indah."
Ini artinya Allah sangat mengizinkan. Bahkan kata Ibnu Katsir rahimahullahu ta'ala,
َّ
أن هللا تعالى ما استمع لشيء كاستماعه لقراء نبي يجهر بقراءته ويحسنها
"Allah tidak mendengar terhadap sesuatu sebagaimana pendengaran Allah kepada bacaan para
Nabi-Nya ketika membaca Al-Qur'an."
Jadi Allah sangat mendengar bacaan yang bagus dari para nabi-Nya, dan ini menjadi sunnah
untuk kita.
Kemudian,
ويقرؤءه بحزن وتدبر
Membacanya dengan suara yang ada rasa takutnya, ada rasa sedihnya di dalam suara tersebut
dan ada tadabburnya di situ."
Ini perkataan Imam Ahmad ketika menerangkan bahwa Allah tidak mengizinkan sesuatu
sebagaimana izin Allah kepada para Nabi untuk membaca Al-Qur'an dengan suara yang sangat
indah.
Kemudian di dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud, Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam
bersabda:
ْس ِمنَّا َم ْن لَ ْم يَتَغ ََّن بِ ْالقُرْ آن
َ لَي
"Bukan golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur'an."
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud yang lainnya
mengatakan :
َزيِّنُوا أصواتكم بالقرآن
"Hiasilah suara kalian dengan Al-Qur'an."
Dan pernah ada seorang sahabat yang dijuluki sebagai pemegang serulingnya Nabi Dawud.
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pernah mengatakan kepada sahabat tersebut :
آل داو َد
ِ مزامير
ِ لقد ُأوتيتَ ِمزمارًا من، َلو رأيتُني و أنا أست ِم ُع لقرا َءتَك البارحة
"Seandai tadi malam kamu tahu, aku mendengarmu."
Jadi sahabat ini tidak tahu kalau Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mendengar bacaannya. Dan
Nabi berkomentar terkait bacaannya ini, "Sungguh kamu telah diberikan seruling ( ) ِم ْز َمارdari
keluarganya Nabi Dawud". Ibaratnya begitu, Ini diibaratkan saja, "Sungguh kamu telah
diberikan seruling dari keluarganya Nabi Dawud", artinya suaramu bagus sekali.
Dan kata sahabat tersebut : أما أني لو علمت بمكانك لحبرته لك تحبيرا
"Wahai Rasulullah, kalau aku tahu seandainya Anda mendengar bacaanku akan ku kuperbagus
lagi bacaanku."
Ini juga motivasi untuk kita, untuk memiliki bacaan yang bagus mempelajari tajwid, ikut kelas
tahsin dan semisalnya.
Adapun tentang Al-Lahn membaca Al-Qur'an dengan ditirukan dengan nada-nada lagu yang
tidak baik, misalkan. Maka ini dimakruhkan, maka sebagian menganggapnya sebagai sesuatu
kebid'ahan.
Ini adalah para sahabat dan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam ketika membaca Al-Qur'an.
Bahkan kalau kita tambahkan Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ta'ala 'anhu pernah diminta
oleh Ibunda Aisyah agar tidak menjadi imam. Kenapa? Karena setiap membaca Al-Qur'an pasti
beliau menangis. Itu adalah Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu 'anhu.
Dan ada kisah lainnya yang pernah kita bawakan juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Mas'ud radhiyallahu 'anhu. Ketika itu Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam meminta Abdullah bin
Mas'ud agar membaca Al-Qur'an kepada Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.
Maka jelas saja Abdullah bin Mas'ud merasa heran, "Wahai Rasulullah, apakah saya akan
membacakan Al-Qur'an kepadamu padahal Al-Qur'an itu turun kepadamu?" Maka Nabi
shallallahu 'alayhi wa sallam menjawab, "Iya, hanya saja aku ingin mendengar dari yang lain",
dan akhirnya dibacakan surat An-Nisaa.
Artinya menangis atau mungkin bahasanya mengeluarkan air mata, merasa tersentuh dengan
Al-Qur'an itu merupakan salah satu adab yang tidak tercela.
Artinya bagi orang yang bisa seperti itu, BAGUS. Bagi orang yang tidak sampai menangis pun itu
juga bukan sebuah kewajiban. Tapi artinya orang yang menangis seperti ini dia tersentuh
dengan Al-Qur'an dan itu tidak mengapa, boleh-boleh saja.
Kemudian yang disampaikan beliau disini juga adalah sebuah kritikan terhadap orang-orang
yang keterlaluan menangisnya sampai berteriak-teriak. Maka ini bukan sesuatu yang baik, yang
baik adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, ada isak-isak
tangis sedikit yang tadi diibaratkan dengan كأزيز المرجل.
Itu adalah suara air yang sedang mendidih. ()أزيز المرجل
Itu suara tangis Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.
Dan dulu para ulama yang kuat-kuat pun itu juga tersentuh dengan Al-Qur'an.
Imam Ahmad mengatakan:
لو دفع أولو قدر أحد أن يدفع هذا عن نفسه دفعه يحي
Yahya bin Said Al-Qathan itu juga menangis kalau baca Al-Qur'an dan Imam Ahmad
mengomentari, "Seandainya ada orang yang mampu untuk menolak tangisan ketika membaca
Al-Qur'an tentu Yahya bin Said Al-Qathan ini orang yang paling bisa untuk menolak suara
tangisan tersebut."
Intinya menangis ketika membaca Al-Qur'an hukumnya diperbolehkan tidak mengapa selama
masih di batas normal tidak sampai berteriak-teriak.
Kapan seseorang bisa menangis ketika membaca Al-Qur'an? Jawabannya disini disebutkan
setidaknya ada tiga :
1. Ketika hati yang hidup itu hadir mendengarkan Al-Qur'an.
2. Dia tahu apa yang dibaca, artinya apa itu, kalau tahu artinya dia akan bisa menangis.
3. Paham konsekuensi-konsekuensi dari ayat tersebut maka dia akan bisa menangis.
()واستشعار معنى مطلوب
Kemudian ditambahkan materi disini tentang dianjurkannya mendengar dari orang yang
bacaannya bagus. Kalau kita meminta orang untuk membacakan Al-Qur'an kepada kita, maka
minta kepada orang yang bacaannya bagus. Ini adalah sebuah sunnah.
Karena Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam ketika itu minta kepada siapa? Kepada Abdullah bin
Mas'ud, dan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam itu berkata tentang bacaannya Abdullah bin
Mas'ud : ضاطريا كما ُأ ْن ِز َل ًّ َمن س َّرهُ أن يَقرَأ القرآنَ غ
"Barangsiapa yang ingin membaca Al-Qur'an sebagaimana saat diturunkan (masih segar, masih
fresh), فليَقرأهُ علَى قراء ِة اب ِن أ ِّم عب ٍد
Hendaknya dia membaca kepada bacaannya Abdullah bin Mas'ud."
Para ulama Salaf berbeda pendapat tentang berapa lama hendaknya Al-Qur'an dikhatamkan.
Sebagian mengatakan dua bulan, sebagian lagi ada yang mengatakan sebulan, ada yang
mengatakan sepuluh hari, ada juga yang mengatakan tujuh hari. Dan tujuh hari ini yang paling
banyak pendapatnya. Dan ini semua disebutkan oleh Imam An-Nawawi di dalam Kitab Al-
Adzkaar.
Dan sebagian lagi selain yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi, ada maklumat-maklumat dan
ada referensi lain yang menyatakan bahwasanya ada sebagian ulama, sahabat, tabi'in, yang
mengkhatamkan Al-Qur'an setiap tiga hari bahkan ada yang mengkhatamkan Al-Qur'an setiap
semalam (setiap satu malam).
Dan kisah Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ta'ala 'anhuma merupakan kisah yang sangat
masyhur, ketika itu Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan kepada Abdullah bin
Amr: " إ ْق َرِإ ْالقُرْ آنَ فِي َشه ٍْرBacalah Al-Qur'an setiap sebulan (sebulan sekali khatam, maksudnya)
Kata beliau, "Aku mampu lebih cepat lagi wahai Rasulullah" ًت ِإنِّي َأ ِج ُد قُ َّوة ُ قُ ْل
Dan dalam riwayat yang lain, dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam kepada Abdullah
ٍ َ" ا ْق َرْأهُ فِي ثَالBacalah setiap tiga hari."
bin Amr : ث
Kalau riwayat tujuh hari ini ada di dalam shahih Al-Bukhari, kalau riwayat tiga hari ini ada di
Sunan Abu Dawud. Namun ringkasnya atau yang dipilih oleh Syaikh Fuad Salhub adalah
pendapat Imam An-Nawawi.
Sebulan baru bisa paham dengan baik, maka sebulan. Kalau saya bisa tujuh hari dan bisa paham
bacanya (bukan hanya baca saja) saya bisa paham, maka tujuh hari tidak apa-apa sesuai dengan
kecerdasan seseorang.
Begitu juga kata Imam An-Nawawi tergantung dari seberapa sibuk seseorang, disini disebutkan
مشغوالبنشــر العلمseseorang yang sibuk menyebarkan ilmu, seseorang yang sibuk memutuskan
perkara di tengah-tengah kaum muslimin yang berprofesi sebagai hakim ataupun yang lainnya.
Maka hendaknya dia membaca sesuai kadar yang tidak membuatnya terlewatkan dari hal-hal
yang lebih penting.
Dan barangsiapa yang tidak memiliki kesibukan, kata Imam An-Nawawi dia bisa memperbanyak
bacaan Al-Qur'an semaksimal yang dia mampui selama tidak mencapai derajat kebosanan.
Boleh diperbanyak !
Jadi kata Imam An-Nawawi tergantung dari sisi seberapa sibuk seseorang, seberapa cerdas
seseorang. Kalau dia sibuk disesuaikan dengan kesibukannya, kalau dia tidak sibuk diperbanyak
itu bagus.
Bahwasanya tidak ada doa yang shahih dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam tentang Khatmil
Qur'an. Tapi kalau dibaca itu masih diperbolehkan selama tidak meyakini itu dari Nabi
shallallahu 'alayhi wa sallam.
Kemudian Syaikh menyebutkan tentang khataman Al-Qur'an, membaca doa setelah khatam Al-
Qur'an itu boleh atau tidak? Dikatakan disini bahwa menghadiri doa khataman Al-Qur'an,
membaca doa setelah khatam Al-Qur'an ini merupakan perkara yang, مأثور من عمل السلف الصالح
termasuk perkara yang ada riwayatnya dari kalangan ulama Salaf.
Sebagaimana dulu pernah dilakukan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, setiap kali beliau
selesai Al-Qur'an beliau khataman, makan-makan dan membaca doa di sana.
Dan Ibnul Qayyim berkata : وهو من آكد مواطن الدعاء و مواطن اإلجابة
Ini termasuk salah satu tempat mustajab untuk berdoa.
Kemudian apabila ada yang membaca doa khatmil Al-Qur'an di dalam shalat yaitu imam atau
munfarid baca doa khatmil Qur'an di dalam shalat sebelum ruku' atau di dalam shalat tarawih
atau di shalat-shalat lainnya. Maka ini tidak diketahui dalilnya dari Nabi shallallahu 'alayhi wa
sallam dan tidak ada dari kalangan sahabat yang bisa dicontoh.
Ayat-ayat as-sajdah jumlahnya ada 15 dan ini ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama
terkait jumlahnya. Tapi disini Syaikh mengatakan jumlahnya 15.
Apabila melewati ayat tersebut hendaknya seseorang sujud dengan membaca doa-doa yang
diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.
Dalam riwayat Imam At-Tirmidzi doa ini ditambah dengan lafadz lain, yaitu:
َ َوتَقَب َّْلهَا ِمنِّي َك َما تَقَب َّْلتَهَا ِم ْن َع ْب ِد
ك دَا ُو َد
"Ya Allah terimalah sujudku ini sebagaimana Engkau menerima sujudnya Nabi Dawud"
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Imam Ibnu Majah,
dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy rahimahullahu ta'ala)
Kemudian kita melanjutkan pembahasan tentang, apakah saat sujud tilawah kita harus takbir,
harus salam, harus dalam keadaan suci dan menghadap kiblat?
Dan tidak dipersyaratkan padanya syarat-syarat shalat baik bersuci ataupun menghadap kiblat.
Bahkan boleh saja bersujud dalam keadaan tidak suci. بل يجوز على غير طهارة
Namun apabila seseorang sujud tilawah dalam keadaan suci, maka ini lebih utama dan
hendaknya tidak ditinggalkan oleh seorang muslim. Wallahu a'lam.
Kemudian apabila tiga orang yang satu membaca Al-Qur'an yang kedua mendengarkan dengan
perhatian terhadap bacaan tersebut dan ketiga mendengar hanya sambil lalu.
Maka yang disunnahkan untuk sujud tilawah adalah:
1. Pembacanya.
2. Orang yang mendengarkan dengan perhatian terhadap bacaan tersebut.
3. Adapun orang ketiga yang hanya mendengar sambil lalu tidak disunnahkan untuk ikut sujud
tilawah.
Kemudian di antara yang diingatkan oleh Syaikh disini adalah hendaknya tidak hanya membaca
doa sujud tilawah saja saat sujud tilawah, tetapi hendaknya juga membaca سبحان ربي األعلى
terlebih dahulu.
Bahkan sebagian mengatakan kalau tidak membaca سبحان ربي األعلىterlebih dahulu maka dia
telah melakukan suatu kebid'ahan. Wallahu a'lam, itu sebagian pendapat di kalangan para
ulama.
Pada masa-masa ini banyak orang yang menggantungkan ayat-ayat Al-Qur'an di tembok-
tembok dengan berbagai alasan, diantaranya :
1. Tabarruk mencari keberkahan.
2. Hiasan, menggantungkannya di tembok tokonya, menggantungkannya di mobilnya atau
bahkan menempelkan tulisan di mobilnya.
3. Perlindungan ()حرزا
4. Permohonan barakah dari Allah ()تبركا
5. Untuk mengingatkan orang ()تذكرا
Dan terkait hal ini, dikatakan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah : ان في تعليق اآليات و نحو ذلك
1. Menggantungkan ayat-ayat Al-Qur'an dan yang semisalnya إنحراف بالقرآن عما أنزل من أجلهada
bentuk peralihan dari fungsi Al-Qur'an yang sebenarnya, yang mana fungsi Al-Qur'an yang
sebenarnya adalah memberikan hidayah, memberikan nasihat yang baik, memberikan
peringatan untuk dibaca, untuk dihafal. Ini tujuan Al-Qur'an diturunkan bukan untuk
dipajang-pajang seperti itu.
2. Bahwasanya pada hal yang seperti ini ada sikap menyelisihi contoh Nabi shallallahu 'alayhi
wa sallam dan Khulafa Ar-Rasyidin yang mereka tidak melakukan hal ini.
3. Bahwa pelarangan terhadap tindakan ini akan menjadi satu dharaih menutup celah terhadap
satu kesyirikan, karena hal seperti ini biasanya akan mengarah juga kepada jimat-jimat
(menulisnya untuk jimat) digantungkan dan yang semisalnya.
4. Bahwasanya Al-Qur'an diturunkan untuk dibaca bukan untuk diturunkan, untuk dijadikan
hiasan di toko-toko, di dinding-dinding atau untuk penglaris dan semisalnya. Tidak untuk itu!
5. Bahwa tindakan seperti ini, menggantungkan, menempelkan, dan yang semisalnya akan
membuat Al-Qur'an bisa saja dihinakan dan bisa saja mendapatkan kotoran-kotoran dan itu
membuat Al-Qur'an tidak baik.
Maka dari lima hal ini Lajnah Ad-Daimah menganjurkan untuk mengikuti para ulama Salaf,
untuk mengikuti Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, yang mana mereka paling semangat untuk
mengamalkan agama, paling semangat untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
paling jauh dari keburukan, maka kita bisa meniru mereka.