Anda di halaman 1dari 33

TAFSIR AL-QUR’AN PERIODE NABI MUHAMMAD SAW

Ahmad Dani El Rasyad


A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt dengan kebenaran mutlak yang
menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang
memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan
kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun
kelompok.1
Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum
muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan inspirasi,
sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah terbatas tempat dan waktu
(S}ho>lih}uh Likulli Zama>n wa Maka>n). Di dalamnya terdapat dokumen historis
yang merekam kondisi sosio ekonomis, religious, ideologis, politis, dan budaya
peradaban umat manusia. Maka dari itu pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
melalui penafsiran-penafsiran, memiliki pengaruh yang sangat besar bagi
kehidupan umat manusia serta sebagai kunci untuk membuka wawasan yang
tertimbun dalam Al-Qur’an.2
Al-Qur’an yang membawa pesan-pesan untuk umat manusia diturunkan
melalui Malaikat Jibril dan disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw untuk umat
Islam. Nabi Muhammad sebagai penyampai wahyu Allah, juga memberikan
penjelasan (Mubayyin) Al-Qur’an yang masih bersifat global. Maka pada zaman
Nabi Muhammad masih hidup, maka beliau lah sebagai penafsir tunggal dan juga
sebagai al-mufassir al awwal (Penafsir Pertama).
Penafsiran Al-Qur'an telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan
melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu al-
Qur'an, khususnya tafsir al-Qur'an. Upaya menelusuri sejarah penafsiran al-Qur'an
yang sangat panjang dan tersebar luas disegenap penjuru dunia Islam itu tentu saja
bukan perkara mudah, apalagi untuk menguraikan secara panjang lebar dan
detail.3

1
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), 172.
2
Ibid., 83.
3
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), 14.
Tafsir pada zaman Nabi Muhammad Saw menjadi patokan tafsir sampai
sekarang dikarenakan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi yang memiliki otoritas
penuh terhadap sampainya pesan Allah kepada manusia. Maka dari itu Penulis
mengangkat tema “Tafsir Al-Qur’an Periode Nabi Muhammad” yang akan
mengupas Sejarah munculnya tafsir di zaman Nabi Muhammad masih hidup, di
mana membahas relevansi wahyu dan tafsir, latar belakang munculnya tafsir,
metode penafsiran, sumber dan nilai penafsiran Nabi, pandangan ulama’ terhadap
kadar penafsiran Nabi serta pemalsuan riwayat tafsir Nabi.
Umat islam telah mengetahui bahwa Nabi Muhammad Saw bertugas
utama dalam misi suci (Sacred Mission) untuk menyampaikan isi al-Qur'an, baik
dalam bentuk lisan, pengamalan dan segala praktek Isi al-Qur'an selama kurang
lebih 23 tahun (610-632 M).4 Maka dari itu, berdasarkan Al-Qur’an pula, Nabi
Muhammad Saw diberikan otoritas untuk menerangkan atau menafsirkan Al-
Qur’an. Sebab pada saat beliau masih hidup, tak seorang pun dari para sahabat
yang berani menafsirkan al-Qur’an. Hal ini sudah dijelaskan Al-Qur’an:5

‫إِ َّن َعلَينَا ََج َعهُۥ َوقُرءَانَهُۥ‬

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu)


dan (membuatmu pandai) membacanya.

‫فَِإ َذا قَ َرأنََٰهُ فَٱتَّبِع قُرءَانَهُۥ‬

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

‫ُُثَّ إِ َّن َعلَينَا بَيَانَهُۥ‬

Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.

Lanjutannya dalam Al-Qur’an Surah Al-Nah{l (16:44):


ِ ‫ّي لِلن‬
‫َّاس َما نُ ِِز َل إِلَي ِهم َول ََعلَّ ُهم يَتَ َف َّك ُرو َن‬ ِ ‫َيك ٱل ِِذ‬
َ ِِ َ‫كر لتُ ب‬
َ َ ‫َنزلنَا إِل‬
َ ‫ٱلزبُ ِر َوأ‬
ِ َ‫بِٱلب يَِٰن‬
ُّ ‫ت َو‬ َِ

4
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), 17.
5
Al-Qur'an, 75: 17-18

1
Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.6
Serta Juga disebutkan dalam ayat berikutnya di Surah Al-Nah{l (16:64):
ِ ‫ٱلك َٰتب إََِّّل لِت ب ِّي ََلم ٱلَّ ِذي ٱخت لَ ُفواْ فِ ِيه وهدى ورمحة لَِِقوم ي‬
‫ؤمنُو َن‬ ِ َ َ‫وما أَنزلنَا َعل‬
ُ َ ََ ُ َ َ ُُ َ ِ َ ُ َ َ ‫يك‬ َ ََ
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.7

Maka semasa Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau pun menjadi
pusat penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui makna al-Qur’an
tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan dengan Nabi sebagai
penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih mengerti. Jika terdapat
makna yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan pada Nabi. 8 Sehingga
ciri penafsiran yang berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan yang
dipusatkan atau dinukil dari Nabi.
Sedikit sekali kalangan sahabat yang menggunakan penafsiran bil ra’yi
dalam menafsirkan al-Qur’an. Diantara sahabat yang dengan tegas menolak
penggunaan akal dalam penafsiran adalah Abu Bakar dan Umar ibn Khattab. Abu
Bakar pernah berkata:9
ِ ‫اب‬
‫للا َماَّلَ أَ ْعلَ ُم‬ ُ ‫َي ََسَاء تُ ِظلُِّن إِ َذا قُل‬
ِ َ‫ْت ِف كِت‬ ُّ ‫َي أ َْرض تُِقلُِّن َو أ‬
ُّ ‫أ‬
Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang menaungi
aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak aku
ketahui.

6
Al-Qur’an, 16:44
7
Al-Qur’an, 16:64
8
Di antara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat bertanya tentang sala>t wust}a>.
Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud sala>t wust}a> adalah salat ashar. Selain itu nabi juga
menjelaskan bahwa al-Maghd}u> dalam surat al-Fatih}ah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al-
D}a>lli>n adalah kaum Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîthah, 2005), 43.
9
Hadith Riwayat Ibn Abi syaibah dan at-Thabari. Lihat Ibnu Taimiyyah, Tafsi>r al-Kabi>r (Beirut:
Da>r al-Fikr, tt) 143

2
Abu Bakar mengatakan demikian tatkala seorang bertanya tentang
makna Abba>n. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak
membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah jika ia menggunakan ijtihad, bil
ra’yî. Tetapi ada pula beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan
ijtihad bil ra’yî selain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs.10
B. Tafsir Nabi Muhammad Saw
Setelah melihat urgensi penjelasan Nabi terhadap al-Qur’an, maka perlu
mengetahui bentuk atau metode penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad Saw.
1. Sumber Tafsir Nabi Muhammad Saw
Yang dimaksud sebagai sumber tafsir adalah faktor yang dijadikan
sebagai pegangan dalam memahami makna ayat-ayat al-Qur’an. Bila sumber
penafsiran ini diartikan umum maka kita akan melihat bahwa ada tafsir yang
bersumber melalui periwayatan (tafsir bil ma'tsur), ada juga yang bersumber
melalui akal atau pemikiran (tafsir bil ra'yi), ada pula yang memasukkan jenis
yang ketiga yaitu tafsir bil isyari atau penafsiran yang didasari oleh isyarat-
isyarat atau intuisi spiritual.
Terkait penafsiran Nabi Muhammad Saw tidak ada perselisihan di
antara ulama bahwa penafsiran tersebut tidak terlepas dari wahyu. Selain
adanya penegasan Allah di dalam al-Qur’an bahwa Rasulullah tidaklah
berbicara karena nafsunya melainkan ada tuntunan wahyu menyertainya, juga
diakui bahwa Nabi sebagai penerima al-Qur’an sekaligus penerima tafsiran
makna ayat dari Jibril sebagai pembawa Wahyu.11
Oleh karena itu, penulis membagi metode penafsiran Nabi bila dilhat
dari sumbernya terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:

10
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1900), 209.
11
Dalam bahasa Prof. Muin Salim, wahyu yang diterima oleh Nabi dibedakan atas wahyu al-
Qur'an (‫ ) الوحي القرآين‬dan wahyu yang tidak termasuk dalam kelompok wahyu yang pertama (‫)السنة‬.
Akan tetapi kaitannya dengan sumber tafsir pada masa Nabi maka jenis wahyu yang pertama
dikenal dengan istilah tafsir al-Qur’an bil al-Qur’an dan jenis wahyu yang kedua yaitu tafsir al-
Qur’an bi al wahyi. Lihat Abd. Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir al-Qur’an (Ujung
Pandang: Lembaga Studi Kebudayaan Islam, 1990), 54

3
a. ‫تفسري القرآن ابلقرآن‬, sebuah bentuk penafsiran yang dilakukan oleh Nabi

namun menggunakan ayat al-Qur’an sebagai tafsirannya. Sebagai contoh,

tafsiran kata ‫ ظلما‬dalam QS.Al An'am ayat 28 yang ditafsirkan oleh Nabi

Muhammad Saw dengan menggunakan Al-Qur’an Surat. Lukman ayat

13 sebagai bentuk kemusyrikan (‫)الشرك‬.

b. ‫تفسريالقرآن ابلسنة‬, penafsiran yang dilakukan oleh Nabi yang disertai dengan

tuntunan wahyu, maksudnya Jibril memberikan penjelasan kepada Nabi


makna dan maksud dari ayat-ayat al-Qur’an. Sebagai contoh, adalah
ketidakmampuan Nabi menjawab pertanyaan seorang Yahudi mengenai
bintang yang sujud kepada Nabi Yusuf AS. Sebagaimana firman Allah
dalam Surah Yusuf: 4. kemudian Jibril datang mejelaskan kepada Nabi
Muhammad tentang jawaban pertanyaan tersebut.12

c. ‫ تفسري القرآن ابإلجتهاد‬, penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah didasari

oleh ijtihad atau kemampuan bahasa yang dimilikinya. Namun, model


penafsiran ini merupakan bahan diskusi yang panjang sebagaimana
disebutkan di atas-, tetapi ketika hadis-hadis tafsir diteliti maka di sana
ditemukan beberapa penfasiran nabi yang tampaknya tidak didasari oleh
wahyu baik al-Qur’an maupun bukan. Hal ini, dapat dilihat pada riwayat
mengenai shalat Nabi Muhammad Saw terhadap jenazah Abdullah bin
Ubai bin Salul yang dikenal sebagai orang munafik.13 Sikap Rasulullah
tersebut didasari oleh pemahamannya pada QS. Al Taubah : 80

12
Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS.Yusuf: 4, di sana ia menyampaikan sebuah riwayat yang
menyebutkan alur cerita tersebut . dan ia pun sendiri sebagai ahli Hadith –di samping ahli tafsir-
menegaskan bahwa kualitas Hadith tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Lihat Imam Abu Fida
Isma’il Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’a>n al-‘Ad}i>m, Terj Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2005), 300
13
Salahuddin Ibn Ahmad al Adlabi, Manhaj Naqd al Matn Ind al Ulama al Hadist al Nabawi terj.
Oleh HM. Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2004), 226-227.

4
َ ِ‫ٱّللُ ََلُم ََٰذل‬
ْ‫ك ِِبَنَّ ُهم َك َف ُروا‬ ِ ‫غفر ََلم س ِبعّي م َّرةفَلَن ي‬
َّ ‫غف َر‬َ
ِ ِ ِ
َ َ َ ُ َ‫ٱستَغفر ََلُم أَو ََّل تَستَغفر ََلُم إِن تَست‬
ِِ
َ ‫وم ٱل ََٰفسق‬
‫ّي‬ ِ َّ ‫ٱّلل َوَر ُسولِ ِهۦ َو‬
َ ‫ٱّللُ ََّل يَهدي ٱل َق‬
َِّ ِ‫ب‬

Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan


ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu
memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah
sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang
demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-
Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.14
Nabi Muhammad Saw beranggapan bahwa ayat tersebut
merupakan pilihan padanya, yang mungkin pemahaman Nabi tersebut
disebabkan oleh adanya huruf takhyir "pilihan" yaitu ‫ أو‬. sehingga beliau
tetap melaksanakan salat jenazah tersebut disertai penegasannya bahwa
beliau akan memohonkan ampun untuk Abdullah bin Ubai lebih dari
tujuh puluh kali. Namun, sikap Nabi ditegur tidak disetujui oleh
sahabatnya sendiri yaitu Umar bin Khattab. Dan ternyata tidak lama
kemudian turun ayat yang mendukung pendapat Umar yaitu Surah Al-
Taubah: 84

ْ‫ٱّلل َوَر ُسولِ ِهۦ َوَماتُوا‬


َِّ ِ‫ات أَبدا وََّل تَ ُقم علَى قَ ِربهِۦ إِنَّهم َك َفرواْ ب‬
ُ ُ َٰ َ َ َ َ ‫نهم َّم‬
ِ ‫وََّل تُص ِل علَى أ‬
ُ ‫َحد ِم‬
َ َٰ َ ِ َ َ
ِ َ‫وهم َٰف‬
‫اس ُقو َن‬ َُ
Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah)
seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri
(mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan
fasik.15
Kasus sembahyang jenazah di atas dapat memberikan petunjuk
adanya penggunaan ra'yu oleh Nabi dalam memahami al-Qur’an.
Namun, penafsiran Nabi yang bersifat rasio bila mengalami kekeliruan

14
Al-Qur'an, 9:80
15
Al-Qur'an, 9:84

5
maka wahyu akan turun memberikan koreksi dan pembetulan, dan
inilah yang membedakan Nabi dan orang-orang yang datang setelahnya
sekaligus berdampak pada boleh tidaknya penggunaan akal dalam
menafsirkan al-Qur’an.
2. Penyampaian Tafsir Nabi Muhammad Saw
Model penafsiran yang seperti ini tidak terlepas dari defenisi hadis itu
sendiri atau paling tidak cara Nabi menyampaikan hadisnya kepada para
sahabat. Sebagaimana telah dikenal bahwa Nabi dalam bercengkrama dengan
sahabatnya beliau paling tidak menggunakan tiga cara, yaitu perkataan,
perbuatan dan persetujuan (taqrir) Nabi.
Oleh karena itu, kaitannya dengan model penafsiran dalam bentuk ini,
juga dibagi dalam tiga bagian:16

a. ‫" البيان القويل‬perkataan", artinya Rasulullah SAW menjelaskan maksud dan

makna al-Qur’an dengan kata-katanya atau secara lisan. Dan bentuk


banyak ditemukan dalam literatur-literatur yang ada. Misalnya penjelasan

makna kata ‫ صالة الوسطى‬sebagai salat ashar, dll.

b. ‫" البيان الفعلي‬perbuatan", artinya Rasulullah dalam menjelaskan kandungan

dan makna al-Qur’an menggunakan metode keteladanan atau penafsiran


Nabi tersebut terlihat pada sikap dan perbuatannya. Bentuk seperti ini
pun banyak ditemukan, misalnya saja tata cara salat sebagai
penafsiran kaifiat pada perintah mendirikan salat yang datang dalam

bentuk global ‫ أقيمواالصالة‬.

c. ‫التقريري‬ ‫" البيان‬persetujuan", artinya Rasulullah SAW menyetujui

pemahaman dan atau sikap sahabat terhadap ayat al-Qur’an atau dengan
kata lain model merupakan sebuah pembenaran dari Nabi yang dipahami
dari diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.

16
M. Quraish Shihab ketika menjelaskan fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir, menyebutkan
bahwa Rasulullah menjelaskan arti dan maksud ayat al Qur'an melalui empat cara, yaitu ucapan,
perbuatan, tulisan, ataupun taqrir. Lihat Shihab, Membumikan al Qur'an..., 128.

6
Sebagai contoh, persetujuan Nabi atas pemahaman dan sikap 'Amru bin
Ash karena ia ('Amru) pada saat terjadi perang Dhah al-Salasil, ia
melarang mandi junub dalam keadaan cuaca sangat dingin karena dapat
menimbulkan mudarat bagi diri sendiri. Pemahaman 'Amru tersebut
didasari pada Firman Allah Swt: 17

‫َٰط ِل إََِّّل أَن تَ ُكو َن ِ َٰتََرةً َعن تَ َراض ِِمن ُكم َوََّل‬
ِ ‫َمولَ ُكم بين ُكم بِٱلب‬
َ َ َ ََٰ ‫ين ءَ َامنُواْ ََّل ََت ُكلُواْ أ‬ ِ َّ
َ ‫ََيََٰيُّ َها ٱلذ‬
‫ٱّللَ َكا َن بِ ُكم َرِحيما‬
َّ ‫س ُكم إِ َّن‬
َ ‫تَقتُ لُواْ أَن ُف‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.
Namun sebagian ulama telah memahami bahwa yang dimaksud
adalah larangan membunuh orang lain.18
3. Fungsi Tafsir Nabi Muhammad Saw.
Kaitannya dengan fungsi atau kegunaan tafsir maka Metode
penafsiran Nabi, terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:19

a. ‫ بيان التأكيد‬, artinya penafsiran yang dilakukan oleh Nabi sebagai penguat

yang menguatkan atau menggaris bawahi kembali apa yang terdapat di


dalam al-Qur’an. Diantara kriteria model seperti ini adalah ketika
penjelasan al-Sunnah tidak bertentangan atau sesuai dengan penjelasan al-
Qur’an. Sebagai contoh model penafsiran ini Hadis Nabi Muhammad
Saw:20

17
Al-Qur'an, 4:29
18
Lihat al Qurtuby, penjelasan surat al nisa' : 29
19
Ulama tidak sepakat dalam standar pembagian tersebut (angka tiga).Ada yang membagi
menjadi tiga, lima, bahkan tiga belas. Namun apabila diteliti secara seksama, semuanya akan
kembali pada angka tiga tersebut. Lihat al-Dzahabî, al-Tafsîr wa ..., 40
20
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. al Musnad: kitab awwalu musnad al basriyyin (Riyadh:
Maktabah al-Turath al-Islami, jil.IV, 1994), 94

7
‫عن عمرو بن يثريب قال خطبنا رسول للا صلى للا عليه وسلم فقال أَّل وَّل حيل َّلمرئ من‬

‫مال أخيه شيء إَّل بطيب نفس منه‬

Tidak halal bagi seseorang harta saudaranya kecuali dengan


izin/kerelaan hati dari pemiliknya.
Penjelasan Nabi yang disebutkan di dalam riwayat di atas saling
terkait dan sesuai dengan firman Allah QS.Al Nisa' ayat 29.21

‫اط ِل إََِّّل أَ ْن تَ ُكو َن ِتَ َارةً َع ْن تَ َراض ِم ْن ُك ْم َوََّل‬


ِ ‫َي أَيُّها الَّ ِذين آَمنوا ََّل ََتْ ُكلُوا أَموالَ ُكم ب ي ن ُكم ِابلْب‬
َ ْ َ َْ ْ َ ْ َُ َ َ َ

‫يما‬ ِ ِ َّ ‫س ُك ْم إِ َّن‬
ً ‫اّللَ َكا َن ب ُك ْم َرح‬ َ ‫تَ ْقتُ لُوا أَنْ ُف‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.

b. ‫ بيان التفسري‬, artinya penafsiran Nabi bukan sekedar menguatkan melainkan

penafsiran tersebut memperjelas, merinci bahkan membatasi pengertian


lahir dari ayat-ayat al-Qur’an. Karena luasnya cakupan model seperti ini,
maka dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk penafsiran, yaitu:

1) ‫بيان التعريف‬, yaitu penjelasan yang menjelaskan apa sebenarnya yang

dimaksud oleh term atau lafadz. Dengan kata lain bahwa model
semacam ini merupakan sebuah penjelasan dari kata yang
dianggap musykil. Misalnya saja penafsiran Nabi terhadap firman
Allah SWT di sepotong ayat Surat Al-Baqarah 187:22

...‫َس َو ِد ِم َن الْ َف ْج ِر‬ ِ ْ ‫ط ْاْلَب يض ِمن‬


ْ ‫اْلَْيط ْاْل‬ َ ُ َ ْ ُ ‫اْلَْي‬
ْ ‫ّي لَ ُك ُم‬
َ َّ َ‫ َح ََّّت يَتَ ب‬...

21
Al-Qur'an, 4:29
22
Al-Qur’an, 2:187

8
...Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam...

Kata ‫ اْليط اْلبيض‬diartikan sebagai ‫( بياض النهار‬keterangan tentang

siang hari), sementara ‫اْلسود‬ ‫ اْليط‬diartikan sebagai ‫سواد‬

‫( الليل‬keterangan tentang malam hari).

2) ‫ بيان التفصيل‬, yaitu sebuah penjelasan yang merinci konsep-konsep yang

terkandung di dalam lafad atau dapat diartikan sebagai penjelasan


Nabi terhadap kata-kata yang bersifat Mujmal (Global).

Misalnya kata ‫ مصيبة‬pada firman Allah SWT pada Surah Al-Shura:23

ِ ِ َٰ ‫وما أ‬
ِ ‫صيبة فَبِما َكسبت أ‬
‫َيدي ُكم َويَع ُفواْ َعن َكثِري‬ َ َ َ َ ‫َصبَ ُكم ِمن ُّم‬
َ ََ

yang ditafsirkan atau dirincikan dengan makna ‫مرض‬

"penyakit", ‫" عقوبة‬hukuman", ‫" بالء‬cobaan di dunia ini”.24 Salah satu

contoh yang lain, penjelasan mengenai waktu salat dan jumlah


rakaatnya, tata caranya, penjelasan mengenai ukuran zakat, jenis-
jenisnya, atau penjelasan mengenai manasik haji.

3) ‫ بيان التوسيع‬, yaitu penjelasan yang memperluas pengertian makna dari

suatu term. Misalnya lafadz ‫ الدعاء‬yang ditafsirkan dengan konsep

yang lebih luas, yaitu dengan makna ‫ العبادة‬.sebagaimana yang dikutip

oleh Imam al-Syaukani dalam tafsirnya ketika sampai pada Surah Al-

23
Al-Qur’an, 42:30
24
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an..., 105

9
Baqarah ayat 186, bahwa Nabi menegaskan makna do'a dengan
ibadah.25

4) ‫ بيان التخصيص‬, yaitu penjelasan Nabi yang menyempitkan makna dari

suatu lafadz atau mengkhususkan makna dari kata yang bersifat


umum. Sebagai contoh, firman Allah SWT (Al-An’am):26

‫َمن َو ُهم ُّمهتَ ُدو َن‬ َ ِ‫سواْ إِيََٰنَ ُهم بِظُلم أ ُْوَٰلَئ‬
ُ ‫ك ََلُُم ٱْل‬
ِ
ُ ‫ين َء َامنُواْ َوََل يَلب‬
ِ َّ
َ ‫ٱلذ‬
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata: “ ketika

diturunkannya ayat ‫اْلية‬.…‫…“ الذين أمنوا وَل يلبسوا اياهنم بظلم‬yaitu orang-

orang yang beriman dan tidak mencampur aduk iman mereka dengan
perbuatan dzalim…” ,para sahabat merasa sangat terbebani dan
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keterangan yang ada dalam
ayat tersebut, kemudian mereka bertanya kepada Nabi Muhammad
Saw, “Siapakah diantara kami yang tidak mendzalimi dirinya
sendiri?” Nabi Muhammad Saw menjawab, “Bukanlah pengertian dari
ayat tersebut seperti yang kalian maksudkan, bukankah kalian pernah

mendengar perkataan seorang hamba yang shalih (luqman as.): ‫ان‬

‫ الشرك لظلم عظيم‬sesunguhnya yang dimaksud ‫ الظلم‬adalah perbuatan

syirik”. (Terjemahan Hadith Riwayat Bukhori)27

Muhammad bin Ali bin Muhammad al Syaukani, Fathul Qadir al Jami' baina Fanni al Riwayah
25

wa al Dirayah min Ilmi al Tafsir (Beirut: al Maktabah al 'Ashriyah, jil. I, tt), 242, dan lihat juga
Abu Daud, Sunan Abi Daud: Bab al Du'a (Indonesia: Maktabah Dahlan, jil. II, tt), 76.
26
Al-Qur'an, 6:82
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa ..., 40 Lihat: Al-Bukhari, Shohihul Bukhori: Bab Dulmun duna dulmin,
27

Hadis No. 31 (Mesir: Da>r Ibn Hazm, tt, jld. 1), 56

10
5) ‫التقييد‬ ‫ بيان‬, yaitu sebuah penafsiran yang memberikan

pengklasifikasian makna dari suatu term atau mengikat makna dari


lafadz yang mutlak. Sebagai contoh firman Allah Swt:28
ِ َِّ ‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعوا أَي ِدي هما جزاء ِِبَا َكسبا نَ َك ًاَّل ِمن‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
ٌ ‫اّللُ َع ِز ٌيز َحك‬
‫يم‬ َّ ‫اّلل َو‬ َ ََ ً ََ َ َُ ْ ُ َّ ‫َو‬

Kata tangan pada kalimat ‫ فاقطعوا أيديهما‬dijelaskan oleh Rasulullah

sebagai tangan kanan.Atau ayat yang memerintahkan ibadah haji


ditafsirkan sebagai sebuah kewajiban sekali dalam seumur hidup.

6) ‫ بيان التمثيل‬yaitu penjelasan makna suatu ayat dengan memberikan

contoh atau penyerupaan sifat dari makna yang ditafsirkan. Hal ini
bisa dilihat pada penafsiran Nabi pada ayat al-Qur'an:29

‫غري املغضوب عليهم وَّل الضالّي‬

Orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang tersesat.

Kalimat "orang yang dimurkai" dijelaskan sebagai "orang-orang


Yahudi" karena memang sifat-sifat yang dimiliki oleh mayoritas umat
Yahudi pada masa Nabi menunjukkan kewajaran untuk mendapatkan
murka dari-Nya. Bahkan al-Qur’an sendiri memberitakan bahwa
orang-orang Yahudi mengenal kebenaran namun mereka enggan
mengikutinya, sehingga wajar bila Rasulullah memberi contoh orang
yang dimurkai sebagai kaum Yahudi.30

c. ‫ بيان أحكام زائدة على ما جاء ف القرآن الكرمي‬, artinya penafsiran yang dilakukan

oleh Rasulullah merupakan sebuah penambahan hukum terhadap apa yang


terdapat di dalam al-Qur’an. Penafsiran semacam ini menjadi bahan
perbincangan ulama, sehingga menimbulkan keragaman pendapat, ada
yang menyetujui, ada pula yang menolaknya.

28
Al-Qur’an, 5:38
29
Al-Qur’an, 1:7
30
Lihat penjelasan lebih luas mengenai alasan Yahudi dianggap sebagai orang yang
dimurkai pada Shihab, Tafsir al-Misbah..., 10

11
Namun Hal ini tidak bertentangan dengan al-Qur’an sama sekali-
sebagaimana penjelasan Imam Ibnu al-Qoyyim31: Hal ini adalah hukum
Nabi Muhammad Saw yang wajib ditaati dan ini bukan berarti
mendahulukan sunnah daripada al-Qur’an, tetapi merupakan aplikasi dan
implementasi perintah Allah swt untuk mentaati Rasul-Nya. Apabila Nabi
Muhammad Saw tidak ditaati dalam bagian ini, maka hilang pula
kepercayaan kenabian beliau, Sedangkan Allah swt berfirman:

‫ك َعلَي ِهم َح ِفيظا‬ َ ‫ٱّللَ َوَمن تَ َو َّ ََّٰل فَ َما أ‬


َ َ‫َرس َٰلن‬ َّ َ‫ول فَ َقد أَطَاع‬ َّ ‫َّمن يُ ِط ِع‬
َ ‫ٱلر ُس‬

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati


Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Sebagian ulama -semisal Imam al-Syathibi32 melihat bagian ketiga
ini bukan sebagai independensi sunnah dalan Tasyri’. Beliau berpendapat
bahwa semua makna yang dikandung oleh sunnah telah disinggung oleh
al-Qur’an, baik secara global maupun terperinci, yaitu dengan meninjau
kapasitas sunnah sebagai bayan. Apabila Allah Swt menjadikan al-Qur’an
sebagai penjelas bagi segala sesuatu, maka secara otomatis sunnah masuk
di dalamnya. Hal ini dengan menganalogikan dengan nash atau
memasukkan dalam kaedah umum syara’. Sebagai contoh: larangan
memadu istri dengan bibinya adalah tidak lebih dari menganalogikannya
dengan larangan memadu antara dua saudara kandung, hak waris nenek
ketika tidak ada ibu, tiada lain adalah menganalogikan nenek dengan ibu.
Di dalam makalah ini, penulis tidak ingin berpanjang lebar
berbicara mengenai keragaman pendapat tersebut, karena diakui atau tidak,
diterima atau ditolak, ternyata dalam beberapa hal Rasulullah SAW
menetapkan hukum yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an dan ini
berarti bahwa Rasulullah menetapkan hukum baru. Sebagai
contoh penetapan zakat fitrah, hukum rajam bagi pezina laki-laki yang

31
Ibnul Qoyyim, I’lamul Muwaqqi’in (Beirut: Da>r al-Kutub, tt, jld. 2), 308.
32
Asy-Syathibi, Al-Muwafiqot (Saudi Arabia: Dar Ibn Al Jauzy, jld. 4, 2000), 192.

12
muhshin (‫)الزاين احملصن‬, harta warisan bagi nenek, penetapan hukum dengan

saksi dan sumpah, dan contoh-contoh yang lain yang banyak ditemukan
pada persoalan fiqih.33

Termasuk pula dalam kategori penafsiran ini adalah ‫بيان‬

‫ النسخ‬, yaitu penjelasan Rasululah bahwa ayat ini misalnya telah di nasakh,

atau hukum ini telah dinasakh dengan hukum ini.34 Seperti misalnya
penjelasan Nabi tentang wasiat, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah :35

‫عن أنس بن مالك قال إين لتحت انقة رسول للا صلى للا عليه وسلم يسيل علي لعاهبا‬

‫فسمعته يقول إن للا قد أعطى كل ذي حق حقه أَّل َّل وصية لوارث‬

Hadith ini merupakan penjelasan dari Rasulullah bahwa wasiat bagi


orang tua dan keluarga itu dinasakh hukumnya karena termasuk ahli waris
sekalipun tetap disebutkan di dalam al-Qur’an sebagai hak wasiat:36
ِ ‫صيَّةُ لِلْوالِ َدي ِن و ْاْلَقْربِّي ِابلْمعر‬
‫وف َح ًّقا‬ ِ ‫ت إِ ْن تَر َك َخي را الْو‬
ُ ‫َح َد ُك ُم ال َْم ْو‬ َ ‫ب َعلَْي ُك ْم إِذَا َح‬ ِ
ُْ َ َ َ َ ْ َ َ ًْ َ َ ‫ض َر أ‬ َ ‫ُكت‬
‫ّي‬ ِ
َ ‫َعلَى ال ُْمتَّق‬
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
4. Motif Tafsir Nabi Muhammad Saw

33
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa ..., 57.
34
Pembahasan ini sangat terkait dengan persoalan nasikh mansukh. Lihat Manna' al
Qatthan, Maba>hith fi Ulum al-Qur'a>n (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), 210
35
Dalam Hadis Riwayat Turmudzi, kitab al washaya an Rasulillah: bab ma ja'a la wasiyah li
warits. Dalam Hadis Riwayat al Nasa'I, kitab al washayah: bab ibthal washiyah li warits. Dalam
Hadis Riwayat Abu Daud, kitab al Washayah: bab ma ja'a fi washiyah li warits, Dalam Hadis
Riwayat ibnu Majah, kitab al washayah: bab la washiyah li warits. Imam Turmudzi
mengkategorikan Hadith tersebut sebagai Hadith hasan sahih karena memang semua perawinya
mampu dipertanggungjawabkan.
36
Al-Qur’an, 2:180

13
Yang dimaksud dengan motif di sini adalah latar belakang yang
mendorong adanya tafsir atau yang diistilahkan oleh Prof. Muin Salim

sebagai ‫( إرادة التفسري‬tujuan tafsir). Tetapi penulis sendiri melihat bahwa motif

tafsir tidak terbatas pada aspek latar belakang atau tujuannya tetapi juga
mencakup sebab munculnya, kenapa Nabi menyampaikan atau menjelaskan
makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu penulis melihat bahwa model
penafsirannya dari segi motifnya terbagi kepada dua bagian, yaitu: 37
a. Model penafsiran langsung, artinya Rasulullah SAW menafsirkan ayat al-
Qur’an tidak didahului dengan pertanyaan atau qarinah yang
menyebabkannya. Tetapi hal ini dilakukan oleh Nabi secara langsung, baik
ketika beliau berkhutbah maupun dalam kondisi-kondisi yang lain. Pada

umumnya penafsiran Rasulullah dengan model ini memiliki sifat ‫البيان‬

‫" اإلرشادي‬pengarahan".38 Maksudnya Rasulullah SAW dalam menafsirkan

memiliki motif tujuan atau tujuan untuk mengarahkan dan memberitakan


makna dari ayat yang ditafsirkan. Sebagai contoh, hadis Rasulullah yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari melalui jalur Abu Bakrah bahwa pada saat
Nabi berkhutbah pada saat haji wada', beliau menyampaikan:39

‫الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق للا السموات واْلرض السنة اثنا عشر شهرا منها أربعة‬

‫حرم ثالثة متواليات ذو القعدة وذو احلجة واحملرم ورجب مضر الذي بّي َجادى وشعبان‬

Sesungguhnya zaman itu beredar seperti keadaannya pada hari Allah


menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu adalah dua belas bulan,
ada empat diantaranya yang dihormati, tiga di antaranya berturut-

37
Pengkategorian ini memiliki perbedaan dengan konsep yang ditawarkan oleh Prof Muin Salim,
sebab ia hanya membagi model tafsir berdasarkan motifnya ke dalam tiga bentuk, yaitu irsyadi,
tathbiqi, dan tashhih. Lihat Salim, Beberapa Aspek Metodologi..., 60-61
38
Penulis –sampai saat ini- tidak berani mengatakan hanya satu bentuk penafsiran dengan model
ini, karena dalam pikiran penulis sendiri ada keraguan atau ketidakyakinan bahwa kemungkinan
ada penjelasan dari secara langsung tidak dalam arti pengarahan tetapi berarti berita atau
informasi (‫) البيان األخبارى‬. Tetapi bentuk ini disebutkan pada pembahasan di atas karena selama
penelitian ini, penulis tidak atau belum menemukan contoh yang bisa mewakili penjelasan yang
bersifat pemberitaan atau informasi tersebut
39
Hadis Riwayat Bukhari dalam kitab bad'ul khalqi: bab ma ja'a fi sab'I ardhiyn

14
turut, yaitu zulqaidah, zulhijjah dan muharram, serta Rajab Madhar
yang berada di antara Jumadi dan Sya'ban.
Hadis sebenarnya memberikan penjelasan atau pengarahan makna dari
ayat al-Qur’an:40

ٌ‫َرض ِم َنها أَربَ َعة‬


َ ‫ٱلس ََٰم ََٰوت َوٱْل‬
ِ ِ ‫شر َشهرا ِف كِ َٰت‬
ِ َّ ‫ٱّلل يوم َخلَ َق‬
َ َ َّ ‫ب‬َ
َِّ ‫ٱلشهوِر ِعن َد‬
َ َ ‫ٱّلل ٱثنَا َع‬
ِ
ُ ُّ َ‫إِ َّن ع َّدة‬

‫ّي َكافَّة َك َما يُ ََٰقتِلُونَ ُكم َكافَّة‬ِ ِ َٰ ِ ِ ِ ِ َ ِ‫حرم ََٰذل‬


َ ‫ين ٱل َقيِ ُم فَ َال تَظل ُمواْ في ِه َّن أَن ُف‬
َ ‫س ُكم َوقَتلُواْ ٱملُش ِرك‬ ُ ‫ك ٱل ِد‬ ُُ
‫ّي‬ ِ َّ ‫َوٱعلَ ُمواْ أ‬
َّ ‫َن‬
َ ‫ٱّللَ َم َع ٱملُتَّق‬
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat
itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
b. Model penafsiran secara tidak langsung, artinya Rasulullah SAW
menjelaskan makna ayat al-Qur’an karena ada sesuatu yang
menghendakinya, baik dalam bentuk pertanyaan, perbuatan yang
dilakukan, atau berupa kekeliruan pemahaman sahabatnya terhadap al-
Qur’an. Untuk model ini, penulis melihat bahwa ia dapat dibagi ke dalam
tiga bagian, yaitu:
1) ‫" البيان اإلرشادى‬pengarahan", bentuk ini sama motifnya pada bagian yang

pertama di atas, contohnya ketika Rasulullah SAW ditanya oleh para


sahabatnya tentang tafsiran kata ‫ ظلما‬dalam QS. Al An'am ayat 28,

maka Rasululah menerangkan pada mereka bahwa yang dikehendaki


di dalam ayat tersebut adalah syirik. Beliaupun menguatkan
tafsirannya dengan firman Allah dalam QS. Luqman ayat 13.

40
Al-Qur'an, 9:36

15
2) ‫" البيان التطبيق‬peragaan", artinya Rasulullah menjelaskan kandungan ayat

karena didahului oleh sebuah perbuatan atau peragaan, dan peragaan


itulah yang menjadi latar belakang Rasulullah menyampaikan secara
lisan makna al-Qur’an. Sebagai contoh, riwayat Muslim dan Turmudzi
dari Jabir ra bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW ketika tiba

di Mekah beliau tawaf tujuh kali lalu membaca firman Allah ‫واختذوا من‬

‫ مقام ابراهيم مصلى‬, kemudian Nabi mendatangi hajar aswad lalu

menyentuhnya kemudian berkata, "kita mulai dengan bagian yang

Alah mulai", lalu membaca ‫إن الصفا واملروة من شعائر للا‬.41 Hadis ini

merupakan bukti nyata bahwa Rasulullah di samping melaksanakan


ibadah kepada Allah juga berusaha menjelaskan tata cara pelaksanaan
ibadah tersebut kepada umatnya, bahkan beliau berusaha
menghubungkannya dengan ayat yang dianggap memiliki keterkaitan
satu sama lain.

3) ‫" البيان التصحيحى‬pembetulan", artinya Rasulullah SAW menjelaskan

ayat al-Qur’an karena ingin membetulkan kekeliruan pemahaman


yang dialami sahabatnya. Hal ini terlihat ketika Rasulullah
mengoreksi pemahaman sahabatnya yaitu 'Adiy bin Hatim karena

kekeliruannya dalam memahami kata ‫ اْليط اْلبيض‬dan ‫ اْليط اْلسود‬yang

terdapat dalam ayat tentang puasa.42

C. Pandangan Ulama’ tentang Penafsiran Nabi Muhammad Saw

41
Hadis Riwayat Turmudzi dalam kitab al hajji 'an Rasulillah: bab ma ja'a annahu yubdau bis
shafa qabla al marwah. Dan Turmudzi sendiri mengakui bahwa kualitas hadis tersebut adalah
hasan sahih
42
Hadis Riwaya Bukhari, kitab al shaum: bab qaulihi Ta'ala: wakulu wasyrabu hatta yatabayyanu
lakumuml khaithu l abyadhu

16
Sebagian Ulama’ memahami bahwa penjelasan Al-Qur’an atau Tafsir yang
sesungguhnya berasal dari Nabi Muhammad Saw. Para Ulama’ ini berpendapat
bahwa Nabi Muhammad Saw sesungguhnya sudah menjelaskan setiap Lafadh
dalam Al-Qur’an dan menafsirkan Al-Qur’an secara utuh, termasuk yang
berpendapat seperti ini adalah Ibnu Taimiyyah.43
Ulama’ yang berpendapat Nabi Muhammad Saw telah menafsirkan Al-
Qur’an secara utuh beragumentasi untuk menuatkan pendapat mereka, di
antaranya:
1. Nabi ditugaskan oleh Allah untuk menjelaskan kandungan Al-Qur’an secara
keseluruhan sebagaimana ia telah menjelaskan lafadh-lafadhnya.
2. Riwayat dari Abu> Abdurrah{man al-Sulami bahwasanya ia telah diceritakan
oleh orang-orang yang telah menghadapkan bacaannya kepada Nabi, seperti
Uthma>n bin 'Affa>n, Abdulla>h bin Mas'ud dan yang lainnya, bahwa apabila
mereka mempelajari sepuluh ayat dari al-Qur’an maka mereka tidak
melewatinya hingga mereka mempelajari kandungan ayat tersebut baik yang
berupa ilmu pengetahuan maupun pengamalan.44
Sebagian ulama yang lain melihat bahwa Nabi Muhammad Manafsirkan
dan menjelaskan sebagian kecil dari makna Al-Qur’an. Seperti halnya yang
diungkapkan Imam al-Shuyut}i

‫َل يبّي ْلصحابه معن القرأن اَّل القليل‬

Tidak menjelaskan (Nabi Muhammad Saw) kepada sahabatnya tentang


ma’na/tafsir Al-Qur’an kecuali sedikit.45
Ulama’ yang berpendapat demikian memiliki landasan dalam
pendapatnya, di antaranya:46

43
Disebutkan dalam Arsif Multaqo Ahlu Al-Tafsi>r bahwa ibnu taimiyah adalah yang pertama kali
berpendapat bahwa Nabi telah menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an, Tapi tidak dipahami bahwa
beliau mengatakan bahwa Nabi menafsirkan seluruh ayat satu demi satu dengan perkataannya
melainkan penafsiran yanga maknanya luas dalam arti meliputi perkataan, perbuatan,
kesepakatan dan sifat Nabi itu sendiri
44
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa ..., 50
45
Jalal al-Din al-Suyut}i, al-Itqa>n Fi ‘Ulum al-Qur’a>n Jilid II (Beirut: Da>r al-Fikr, tt), 120
46
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa ..., 50

17
1. Riwayat dari 'Aisyah bahwa Nabi tidak menjelaskan sesuatupun dari al-
Qur'an kecuali beberapa ayat tertentu yang telah diajarkan Jibril kepadanya.
2. Apabila Nabi telah menafsirkan seluruh al-Qur’an maka ia tidak perlu
mendoakan Ibnu Abbas secara khusus

‫اللهم فقه ف الدين وعلمه التأويل‬

Doa tersebut terdapat sebuah indikasi bahwa Ibnu Abbas diharapkan mampu
menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Penulis sendiri dalam menyikapi keragaman pendapat tersebut, mengambil
kesimpulan bahwa penafsiran Nabi terhadap al-Qur'an tidaklah menyeluruh bila
penafsiran tersebut ditinjau dari aspek penjelasan lisan. Tetapi bila ditinjau dari
aspek akhlak dan perbuatan, Maka Nabi Muhammad Saw dapat dikatakan al-
Qur'an telah ditafsirkan oleh Rasululah secara keseluruhan.
Hal tersebut, didasari oleh keterangan 'Aisyah ketika ia ditanya mengenai
akhlak Nabi, ia hanya menjawab dengan singkat:47

‫كان خلقه القرآن‬

Akhlaknya (Nabi Muhammad Saw) adalah al-Qur’an.


Bahkan ketika M. Quraish shihab menjelaskan Hadith tersebut yang terkait
dengan Surah Al-Qalam ayat 4:

‫ك ل ََعلَ َٰى ُخلُق َع ِظيم‬


َ َّ‫َوإِن‬
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.48
M. Quraish Shihab mengingatkan tentang penggambaran dari sekelumit
akhlak Nabi, "Maka bukalah lembaran-lembaran al-Qur'an, dan temukan ayat-ayat
perintah dan anjuran, pahami secara benar kandungannya. Anda akan menemukan
penerapannya pada diri Rasulullah SAW. Beliau adalah bentuk nyata dari
tuntunan al-Qur'an".49

47
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an...,207
48
Al-Qur’an, 68:4.
49
M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Ciputat:
Lentera Hati, jil. XIV, 2006), 381.

18
Begitu juga pendapat ini diperkuat oleh DR. Sobri Mutawalli, beliau
mengatakan:50

‫صلى‬- ‫ بل إن أقوال النيب‬، ‫"إن التفسري النبوي للقرآن ليس معناه احلجم املقروء الذي وصل إلينا‬

‫(كان‬: -‫رضي للا عنها‬- ‫ وقد قالت عائشة‬. ‫ وأفعاله وتقريراته تعد تفسريا للقرآن‬-‫للا عليه وسلم‬

")‫خلقه القرآن‬

Dr. Muhammad Husain al Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsi>r Wal


Mufassiru>n telah panjang lebar menjelaskan perbedaan pendapat para ulama
dalam hal ini, disertai dengan dalil masing masing kelompok, kemudian
mengambil jalan tengan sebagai kesimpulan dari pendapat pendapat tersebut dan
mengatakan bahwa Nabi menafsirkan sebagian besar isi al-Qur’an, dan tidak
menafsirkan seluruh isinya.51
D. Pemalsuan Riwayat Tafsir Nabi Muhammad Saw
1. Pemalsuan Hadith pada Keutamaan Al-Qur’an.
Menafsirkan ayat al-Qur’an semata tanpa ada dasar yang shahih
adalah haram, tidak boleh dilakukan.52 Allah berfirman: 53
َِّ ِ‫َٰحش ما ظَهر ِمنها وما بطَن وٱ ِإلُث وٱلبغي بِغَ ِري ٱحل ِِق وأَن تُش ِرُكواْ ب‬
ِ َّ ِ
‫ٱّلل َما‬ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ‫يب ٱل َف َو‬ َِِ‫قُل إَّنَا َح َّرَم َر‬
َِّ ‫ََل ي ن ِزل بِ ِهۦ سل َٰطَنا وأَن تَ ُقولُواْ علَى‬
‫ٱّلل َما ََّل تَعلَ ُمو َن‬ َ َ ُ ِ َُ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui".

50
51
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa ..., 58
52
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qurȃn, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996),
489
53
Al-Qur'an, 7:33

19
Dalam Hadith dikatakan:
Barang siapa berkata tentang al-Qur’an menurut pendapatnya
sendiri atau menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia
menempati tempat duduknya di dalam neraka.”54
Oleh karena itu, golongan salaf keberatan dan enggan, untuk
menafsirkan al-Qur’an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dari
Yahya bin Sa’id diriwayatkan, dari Sa’id bin al-Musayyab, apabila ia ditanya
tentang tafsir sesuatu ayat al-Qur’an maka ia menjawab, “Kami tidak akan
mengatakan sesuatu pun tentang al-Qur’an.”
Ada sebagian kisah menceritakan adanya orang-orang yang
berbohong atas nama Rasulullah. Oleh karena itu, mereka membuat Hadith-
Hadith bohong untuk memotivasi manusia agar gemar membaca al-Qur’an
dan menisbahkannya kepada Rasulullah.55
Contoh pemalsuan Hadith, yang telah diriwayatkan dari Ubay bin
Ka’ab, dari Rasulullah. Hadith palsu ini menjelaskan tentang keutamaan
surah-surah al-Qur’an. Kepalsuan Hadith ini sebagaimana yang telah
disebutkan oleh Ibnu Shalȃh dalam Mukaddimah nya sebagai berikut:56
Mu’mil berkata, akan diberitahu oleh seorang syaikh tentang Hadith
ini. Maka akupun bertanya kepadanya, “ Siapakah yang memberitahu
Hadith ini kepadamu ?” Syaikh itu menjawab, “ Aku diberitahu oleh
seorang syaikh yang berada di daerah Wasith.” Maka akupun datang
ke Wasith unutk menjumpai syaikh yang dimaksud. Sesampai di sana
aku bertanya kepada seorang syaikh di daerah ‘Ubadan.” Aku
bertekad untuk pergi ke daerah bersama dengan syaikh tersebut.
Sang syaikh menggandeng tanganku dan mengajak aku memasuki
sebuah rumah. Ternyata di dalamnya terdapat sekelompok orang-
orang sufi yang dipimpin oleh syaikh mereka. Syaikh yang

54
Dalam redaksi lain dinyatakan, “Barang siapa berkata tentang al-Qur’an dengan pendapatnya
lalu pun ternyata benar, ia telah melakukan kesalahan.” (Hadith at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Abu
Daud)
55
Muhammad Abdurrahim Muhammad, Tafsir Nabawi, (Cet I:Jakarta Selatan: Pustaka Azzam,
2001), 75
56
Ibid.

20
mengajakku tadi berkata, “Syaikh inilah yang memberitahukan Hadith
itu kepadaku. Akan tetapi aku melihat banyak sekali orang yang
enggan membaca al-Qur’an. Maka sengaja aku memalsukan semua
Hadith agar hati mereka condong kepada al-Qur’an.”
Dalam kasus seperti ini sudah ada beberapa orang yang mengakui
usaha pemalsuan yang telah dilakukannya. Padahal masih lebih banyak lagi di
antara para pemalsu Hadith yang tidak mau mengakui perbuatan buruknya
tersebut.57
Sudah sepantasnya diperhatikan, bahwa sahnya penafsiran telah
dimasuki kepalsuan, dan segala tipuan dan khurafat telah berjalan di
dalamnya. Merujuk kepada beberapa hal sebagai berikut:58
a. Penyembunyian yang dilakukan musuh-musuh Islam, seperti kaum Zindiq
yahudi yang berpura-pura masuk Islam untuk menyembunyikan berita-
berita yang telah diselewengkan yang mereka temukan dalam kitab-kitab
mereka.
b. Hal yang disembunyikan oleh pengikut-pengikut aliran yang sesat, serta
aliran yang palsu, seperti Syiah Rafidhiah yang memalsukan Hadith-
Hadith serta menghubungkannya secara serampangan dan secara
berbohong kepada Rasulullah SAW atau kepada para sahabat R.A
c. Pengutipan sebagian besar pendapat yang dinisbatkan para sahabat tanpa
Isnad, yang mengarahkan kepada pencampuran yang absah dan yang tidak
absah serta pemakaian yang hak dengan yang bathil.
Dengan adanya pemalsuan Hadith tentang keutamaan surah-surah al-
Qur’an maka harus memperhatikan dua hal sebagai berikut:59
Pertama, jika memang telah terjadi penyusupan unsur pemalsuan pada
beberapa Hadith tentang keutamaan al-Qur’an dan surah-surahnya sebagaimana
dapat pemberitaan beberapa mufassir maka yang perlu diperhatikan di sini adalah
bahwa tidak semua riwayat tentang keutamaan al-Qur’an dan surah-surah yang

57
Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qurȃn: Studi Kompleksitas Al-Qurȃn (Yogyakarta:
Titia Ilahi,1996), 199
58
Ibid
59
Muhammad, Tafsir Nabawi...,83

21
ada di dalamnya adalah maud}u’ (palsu). Karena, ada juga beberapa Hadith yang
berkualitas shahih. Hal tersebut dapat menjumpai ketika menelaah kitab shahih al-
Bukhȃri dan beberapa kitab shahih lainnya yang terpercaya. Pembahasan masalah
ini dapat di jumpai terutama dalam bab khusus keutamaan al-Qur’an dalam kitab-
kitab Hadith shahih tersebut.
Kedua, sekalipun riwayat-riwayat Maud}u’ terdapat dalam beberapa karya
tafsir, namun bukan berarti hal itu menjadi metode umum bagi semua mufassir.
Ternyata banyak juga para mufassir yang mengingkari keabsahan riwayat-riwayat
Hadith Maud}u’ tersebut sebagaimana yang telah kita saksikan. Beberapa ulama
ahli tafsir sekalipun jumlahnya sedikit yang membantah kebatilan riwayat-riwayat
Maud}u’tersebut dan mengupas kepalsuan serta kebatilannya.
2. Riwayat Israiliyyat yang Berstatus Maud}u’
Pada mulanya Israiliyyat masuk ke dalam tafsir, adalah dikala para
sahabat ingin berijtihad dengan keterangan orang yahudi dan nasrani yang
menunjuk kepada kebenaran Nabi. Pada mula-mulanya para sahabat seperti
‘Abdullah ibn ‘Umar meriwayatkan isi kitab taurat semata-mata untuk
menguatkan keterangan dalam menantang orang-orang yahudi dan nasrani sendiri,
bukan unutk menambah atau mengubah isi al-Qur’an. Akan tetapi, yang sangat
kita sesali, ialah sesudah beberapa lama masa berlalu, berpindahlah fungsi
Israiliyyat dari fungsi ijtihad kepada fungsi ta’wil, takhrij, tafsir yang
memalingkan maksud al-Qur’an kepada maksud yang sesuai dengan riwayat-
riwayat itu, lalu terbukalah pintu bagi orang-orang seperti Yuhanna Addimasqy
untuk merusakkan makna-makna al-Qur’an.60
Ada sejenis tafsir yang cukup berharga, yakni tafsir atas kata-kata yang
samar pengertian dan maknanya serta berkaitan dengan tokoh-tokoh tertentu,
tempat-tempat tertentu.61 seperti yang terdapat dalam Firman Allah:
ِ َ‫َوقَالُواْ لَوََّل نُ ِِز َل ََٰه َذا ٱل ُقرءَا ُن َعلَ َٰى َر ُجل ِِم َن ٱل َقريَت‬
‫ّي َع ِظيم‬

Dan mereka berkata: "Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada


seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?"62
60
Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ..., 212
61
Ahmad Syurbasyi, Sejarah Tafsir Al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus,1996), 53

22
ِِ ِ ِ ِ‫اهد ِمن ب ِن إ‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ِ ُ ‫ٱّلل وَك َف‬
‫كربُُت‬
َ َ‫يل َعلَ َٰى مثلهۦ فَ َام َن َوٱست‬
َ ‫سرَٰء‬
َ َ ِ ‫رُت بِهۦ َو َش ِه َد َش‬ ِ
َ َّ ‫قُل أ ََر َءيتُم إن َكا َن من عند‬
ِ َٰ ِ
َ ‫وم ٱلظَّل ِم‬
‫ّي‬ َّ ‫إِ َّن‬
َ ‫ٱّللَ ََّل يَهدي ٱل َق‬
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al
Quran itu datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan
seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa
dengan (yang tersebut dalam) Al Quran lalu dia beriman, sedang kamu
menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim".63

َ ‫َرض ِِبَا َر ُحبَت َو‬


ُ ‫ضاقَت َعلَي ِهم أَن ُف‬
ْ‫س ُهم َوظَنُّوا‬ ُ ‫ضاقَت عَلَي ِه ُم ٱْل‬ َٰ َّ ‫ين ُخلُِِفواْ َح‬
َ ‫َّت إِذَا‬ ِ َّ ِ َٰ
َ ‫َو َعلَى ٱلثَّلَثَة ٱلذ‬
ِ َّ ‫َّواب‬ َّ ‫ب َعلَي ِهم لِيَ تُوبُواْ إِ َّن‬ ِ َِّ ‫أَن ََّّل ملجأَ ِمن‬
‫يم‬
ُ ‫ٱلرح‬ ُ َّ ‫ٱّللَ ُه َو ٱلت‬ َ ‫ٱّلل إََِّّل إِلَيه ُُثَّ ََت‬ َ َ َ
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat)
mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal
bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka,
serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa)
Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat
mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang
maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.64
‫ّي‬ ِ ‫ال يَٰ َق‬
ِ ُ‫وم ٱتَّبِعواْ ٱمل‬ ِ ِ ِ ‫وج‬
َ ‫رسل‬
َ ُ َ َ َ‫سع َٰى ق‬
َ َ‫َقصا ٱملَدينَة َر ُجل ي‬
َ ‫اء من أ‬
َ ََ
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia
berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu".65

Menghadapi tafsir-tafsir yang berkaitan dengan kata-kata samar seperti itu


kita harus bersikap hati-hati. Sebab, menafsirkan soal-soal yang samar hanya
dapat dipandang benar apabila didasarkan pada teks-teks riwayat Hadith shahih.
Kalau tidak demikian, maka dikhawatirkan akan terjadinya berbagai kemungkinan

62
Al-Qur'an, 43:31
63
Al-Qur'an, 46:10
64
Al-Qur'an, 9:118
65
Al-Qur'an, 36:20

23
yang bersifat negatif, seperti kemungkinan menduga-duga saja terhadap persoalan
ghaib, atau hanya bersandar kepada sumber pernyataan seseorang mengenai Allah
yang ucapkan tanpa dasar ilmu pengetahuan, atau mungkin pula membuat
kesimpulan dari pendapat orang-orang yang tidak memiliki dalil-dalil atau
pembuktian yang benar terhadap sesuatu yang tidak pernah ditentukan Allah.
Ibnu Kathir menegaskan bahwa penafsiran soal-soal yang samar di dalam
al-Qur’an pada galibnya didasarkan pada dongeng-dongeng yahudi (Israiliyyat).
Ibnu Kathir menekankan perlunya orang bersikap hati-hati terhadap persoalan itu,
kemudian secara panjang lebar ia menerangkan sebagai berikut:66
Cerita-cerita yang berasal dari kelompok yahudi boleh disebut
hanya sebagai data, bukan sebagai bukti untuk memperkuat penafsiran.
Cerita-cerita seperti itu dapat dibagi menjadi tiga golongan.
Pertama : cerita-cerita yang telah kita ketahui ketahui kebenarannya yaitu
cerita-cerita yang mirip seperti yang sudah ada pada kita sendiri dan dapat
dibuktikan. Cerita-cerita seperti itu adalah benar.
Kedua: cerita-cerita yang kita telah ketahui kebohongannya, yaitu cerita-
cerita yang bertentanngan dengan yang ada pada kita.
Ketiga: Cerita-cerita yang tidak termasuk golongan pertama maupun
golongan kedua. Cerita-cerita itu kita biarkan, tidak kita tolak tetapi tidak
pula kita terima, tidak kita percayai dan tidak juga kita dustakan, boleh kita
ceritakan dan boleh tidak. Pada umumnya cerita-cerita semacam itu tidak
memberi manfaat apapun kepada soal-soal keagamaan. Karena itu pada
ahli agama dikalangan ahlul Kitab sendiri banyak berbeda pendapat
mengenai soal itu; dan sebagai akibatnya, para ahli tafsir kita sendiri juga
berbeda pendapat. Misalnya mengenai nama-nama Ashabul Kahfi (para
penghuni goa. Liha al-Kahfi, 9-26), mengenai warna dan jumlah anjing
mereka. Demikian pula mengenai tongkat Nabi Musa as.berasal dari
pohon apa; tentang nama burung-burung mati yang dihidupkan kembali
oleh Allah sebagai bukti kepada Nabi Ibrahim as; perihal bagian yang
mana dari tubuh sapi yang dipukulkan kepada orang yang sudah mati

66
Syurbasyi, Sejarah Tafsir..., 54

24
(dalam cerita yahudi); juga jenis pohon ketika wahyu diperdengarkan
Allah kepada Nabi Musa as. Dan lain sebagainya yang tidak ada
penjelasannya dalam al-Qur’an.
3. Musuh-Musuh Islam
Pada mulanya Islam dari kalangan zindiq Persi dan Romawi serta yang
berasal dari kalangan Yunani tidak bias melawan agama yang baru ini (Islam)
melalui kekuatan perang atau pengarahan kekuatan pasukan.mereka juga tidak
mampu menghancurkan Islam melalui berbagai argumentasi dan berbagai alasan
yang dibuat-buat. Oleh karena itulah, mereka berusaha untuk menyusupkan anak-
anak mereka yang berpura-pura memeluk agama Islam. Melalui mereka inilah
para musuh Islam berusaha untuk memasukkan beberapa riwayat tafsir Maud}u’.
Dengan serangan dalam seperti mereka dapat menyerang agama Islam, Nabinya
dan para pemeluknya.67
Di antara yang bisa kita saksikan adalah kisah “ Gharaniq’ yang sengaja
bias disusun sebagai kebohongan. Kisah ini disisipkan untuk menafsirkan Firman
Allah:68
ِ ‫ٱّلل ما ي‬ ِِ ِ َٰ َّ ‫ّن أَل َقى‬
َٰ َّ ََ‫يب إََِّّل إِذَا َت‬ ِ َ ِ‫وما أَرسلنا ِمن قَبل‬
‫لقي‬ُ َ َُّ ‫خ‬ َ َ‫ٱلشيطَ ُن ِف أُمنيَّتهۦ فَ ي‬
ُ ‫نس‬ ِ َِ‫ك من َّر ُسول َوََّل ن‬ َ َ ََ

‫يم َح ِكيم‬ ِ َّ ‫ٱّلل ءايَٰتِ ِهۦ و‬ ِ َٰ َّ


ٌ ‫ٱّللُ َعل‬ َ َ َ َُّ ‫ٱلشيطَ ُن ُُثَّ ُحيك ُم‬
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak
(pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah
menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Sebagian mufassir mencantumkan latar belakang turunnya ayat di atas,
karena adanya kisah Gharaniq yang merupakan suatu kebohongan yang dibuat-
buat. Berikut ini adalah redaksi kisah tersebut, ‘ Sebagian ulama ahli tafsir berkata
tentang asbabunnuzul ayat ayat tersebut bahwa tatkala Rasulullah mengalami

67
Muhammad, Tafsir Nabawi..., 116
68
Al-Qur'an, 22:52

25
masa-masa sangat berat, yakni ketika ditinggal oleh kaumnya. Maka beliau
berharap tidak akan ada azab yang diturunkan Allah kepada mereka. Sebab
Rasulullah sebenarnya masih menginginkan mereka pada suatu saat akan menjadi
orang-orang yang beriman. Pada suatu saat beliau sedang duduk di salah satu
tempat pertemuan orang-orang Quraisy. Tiba-tiba Allah menurunkan ayat:69

‫َّجم إِ َذا َه َو َٰى‬


ِ ‫َوٱلن‬

Demi bintang ketika terbenam.

Beliau terus saja membaca ayat tersebut sampai turun Firman Allah:70
ِ َٰ
‫ُخر َٰى‬
َ ‫ٱلع َّز َٰى َوَمنَ َٰوةَ ٱلثَّالثَةَ ٱْل‬ َ َّ‫أَفَ َرءَيتُ ُم ٱلل‬
ُ ‫ت َو‬
19. Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al
Lata dan al Uzza,
20. Dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak
perempuan Allah)?

Nabi Muhammad Saw pada saat itu sedang merenung, ternyata tanpa sadar
lisannya membaca kalimat yang dituntun oleh setan sebagai berikut:71
Tilkal gharȃniqul’ulaa wa ‘inna syafaa’atahunna laturjaa
Itulah patung dan berhala yang syafaatnya selalu diharapkan.
Ketika orang kafir Quraisy mendengar perkataan beliau tersebut mereka
langsung bersuka cita. Sedangkan Rasulullah meneruskan bacaan al-Qur’annya
sampai dengan akhir surah. Ketika beliau sujud di akhir ayat surah tersebut,
semua orang di tempat pertemuan itu, baik yang muslim maupun yang musyrik,
ikut bersujud. Orang-orang Quraisy pun bubar dalam keadaan sangat senang
dengan kejadian itu. Mereka berkata, “ Muhammad telah menyebutkan Tuhan-
tuhan kita dengan sebutan yang baik.” Maka beliau didatangi oleh malaikat jibril
yang berkata, “ Apa yang telah engkau perbuat ? Mengapa kamu membacakan
kepada manusia sesuatu yang tidak aku bacakan kepadamu (dan juga) bukan

69
Al-Qur'an, 53:1
70
Al-Qur'an, 53:19-20
71
Muhammad, Tafsir Nabawi..., 117

26
berasal dari Allah?” Rasulullah merasa bersedih dan merasa sangat takut. Maka
Allah pun menurunkan ayat tersebut di atas.72
Itulah merupakan salah satu contoh pemalsuan tafsir Rasulullah SAW
terhadap al-Qur’an. Berita yang shahih telah tercampur aduk dengan berita yang
tidak shahih, yang baik susah dibedakan dengan yang buruk dan yang samar sulit
dipisahkan dengan yang jelas. Itu semua sebagaimana yang telah kami sebutkan
adalah disebabkan oleh ulah tukang cerita, para zuhud, dan orang-orang sufi yang
telah mengubah Hadith-Hadith fadhilah targhȋb (anjuran mengerjakan sebuah
amal) serta Hadith targhib (anjuran untuk menjauhi semua amal. Tidak
ketinggalan juga kecenderungan para penganut sekte pemikiran di dalam
menta’wilkan beberapa ayat al-Quran. Mereka tentu saja menafsirkan ayat al-
Qur’an sesuai dengan keyakinan dan hawa nafsu. Belum lagi dengan orang-orang
yang ahli kitab dan musuh-musuh Islam yang telah menyusupkan ide-ide busuk
dalam ajaran dan syariat Islam.73
4. Fanatisme Madhhab
Pada tahun 41 H, tepatnya pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib ,
kaum muslimin terpecah menjadi tiga kelompok. Ada kelompok Syiah yang
sangat ekstrim dalam mencintai dan mendukung, ada kelompok Khawarij yang
memisahkan diri dari kelompok Ali dan berbalik menganggapnya sebagai musuh,
dan kelompok moderat yang berdiri di tengah tanpa condong kearah Syi’ah
maupun Khawarij. Masing-masing sekte tersebut berusaha sekuat mungkin untuk
mencari legitimasi teologis kebenaran kelompok mereka. Bahkan landasan
teologis yang mereka cari adalah dari ayat-ayat al-Quran.74
Orang yang menelaah kitab-kitab tafsir Syiah akan menjumpai banyak
sekali riwayat-riwayat Maud}u’ yang diciptakan untuk memperkuat ideology sekte
mereka. Ke semua berita itu adalah hasil sebuah kebohongan. Yang lebih
parahnya, kebohongan itu disandarkan kepada Rasulullah. Di antara tafsir
Maud}u’yang mereka ciptakan75 adalah tafsir Firman Allah SWT:76

72
Ibid., 118
73
Ibid., 121
74
Ibid., .92
75
Ibid., 95

27
‫ٱلزَك َٰو َة َو ُهم َرَٰكِعُو َن‬ ِ ‫ٱّلل ورسولُهۥ وٱلَّ ِذين ءامنُواْ ٱلَّ ِذ‬ ِ
َّ ‫ٱلصلَ َٰوةَ َويُؤتُو َن‬
َّ ‫يمو َن‬
ُ ‫ين يُق‬
َ َ َ َ َ ُ ُ َ َ َُّ ‫إِ ََّّنَا َوليُّ ُك ُم‬
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-
orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah).
Salah seorang syiah yang bernama Al-Thabarsi telah meriwayatkan sebuah
hadis Maud}u’ untuk menafsirkan ayat al-Qurȃn tersebut. Hadis itu menceritakan
bahwa sahabat Ali telah mensedekahkan cincinnya ketika sedang shalat.77
Pada suatu hari Ath-Thabarsi pernah mengerjakan shalat dhuhur bersama
dengan Rasulullah. Ternyata ada seorang yang meminta-minta di dalam mesjid
tersebut. Namun tidak ada seorang pun yang memberinya sedekah. Maka dia
mengangkat tangannya ke langit sambil berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku
telah meminta di mesjid Rasulullah. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang
memberiku sedekah.” Kebetulan pada waktu itu Ali sedang mengerjakan ruku’.
Maka dia mengacungkan jari kelingking tangan kanannya yang sedang
mengenakan cincin. Si peminta tersebut segera mendekat dan mengambil cincin
tersebut dari jari kelingking Ali. Kejadian itu terjadi di hadapan Rasulullah.78
Adapun contoh yang telah disebutkan di atas menjelaskan bagaimana sekte
Syiah memiliki peran dalam menciptakan hadis-hadis palsu yang dinisbatkan
kepada Rasulullah. Hadis-hadis itu terutama memberitahukan tentang tafsiran
beberapa ayat al-Qurȃn.79
E. Penutup
Dari uraian yang lalu, maka dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut:
1. Penafsiran Nabi Muhammad Saw adalah penafsiran pusat dan tidak bisa
dibantah sebagai pokok penjelas al-Qur'an, beberapa kajian tentang Tafsir
Nabi Muhammad Saw:

a. Sumber Tafsir Nabi Muhammad Saw

76
Al-Qur'an, 5:55
77
Muhammad, Tafsir Nabawi..., 95
78
Ibid.
79
Ibid.

28
Sumber Tafsir Nabi Muhammad Saw ada 3 yaitu: al-Qur’an bi al-Qur'an,
al-Sunnah (Wahyu), Ijtihad Nabi Muhammad Saw sendiri.
b. Penyampaian Tafsir Nabi Muhammad Saw
Cara penyampaian tafsir sama seperti hadis, yakni dengan Qoul
(Ucapan), Fi’li (Perbuatan) dan Taqrir (Ketetapan)
c. Fungsi Tafsir Nabi Muhammad Saw
Fungsi Tafsir Nabi Muhammad Saw sebagai: Penguat, Penjelas,
Merinci, Meluaskan Makna, Mengkhususkan, Mengklasifikasi,
Memisalkan (mencontohkan) serta Memberi hukum tersembunyi
dalam al-Qur'an.
d. Motif Tafsir
Maksudnya ialah yang mendorong Nabi Muhammad Saw menafsirkan
al-Qur'an, ada 2 yakni: Secara Langsung, yaitu tanpa ada pertanyaan
ketika wahyu datang langsung beliau menafsirkan ayat tersebut. Tidak
Langsung, yaitu panafsiran yang dilakukan Nabi Muhammad Saw ketika
adanya pertanyaan, kekeliruan sahabat pada penafsiran al-Qur'an dan
juga perbuatan yang langsung dipraktekan Nabi Muhammad Saw.
2. Pandangan Ulama’ tentang Tafsir Nabi Muhammad Saw ada 2:

a. Ulama’ yang berpendapat bahwa tafsir Nabi Muhammad Saw sudah


mencakup semua tafsir, jadi Nabi Muhammad Saw sudah menafsirkan
seluruh al-Qur'an

b. Ulama’ yang berpendapat Nabi Muhammad Saw hanya menafsirkan


sebagian pemahaman al-Qur'an, dan perlu adanya penafsiran lanjutan
agar al-Qur'an dapat di implementasikan ke segala waktu dan tempat.

Menurut hemat penulis, Nabi Muhammad Saw telah menafsirkan seluruh al-
Qur'an. Namun, belum pada keseluruhan pemahaman al-Qur'an karena
terbatasnya waktu dan tempat Nabi Muhammad Saw.

3. Pemalsuan tafsir Nabi Muhammad Saw banyak terjadi setelah kewafatan


Nabi Muhammad Saw, hal ini dipengaruhi adanya perpecahan aliran Islam,

29
Orang-orang munafik dan campur tangan Non Islam dalam penafsiran al-
Qur'an.

30
DAFTAR PUSTAKA

Al-Adlabi, alahuddin Ibn Ahmad. Manhaj Naqd al Matn Ind al Ulama al Hadist
al Nabawi terj. Oleh HM. Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq. 2004.
Metodologi Kritik Matan Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama.

al-Dzahabî. Muhammad Husain. 2005. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo: Dâr al-


Kutub al-Hadîthah.

Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin. 1994. al Musnad: kitab awwalu musnad al
basriyyin. Riyadh: Maktabah al-Turath al-Islami.

Izzan, Ahmad. 2011. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur.

Kathir, Imam Abu Fida Isma’il Ibn. 2005. Tafsir al-Qur’a>n al-‘Ad}i>m. Terj Bahrun
Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Muhammad, Abdurrahim Muhammad. 2001. Tafsir Nabawi. Jakarta: Pustaka


Azzam.

al-Qattan, Manna’ Khalil. 1996. Studi Ilmu-Ilmu al-Qurȃn. Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa.

al-Qattan, Manna’ Khalil. Tt. Maba>hith Fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Maktabah


Wahbah.

Al-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. 1996. Ulumul Qurȃn: Studi Kompleksitas Al-
Qurȃn. Yogyakarta: Titia Ilahi.

Salim, Abd. Muin. 1990. Beberapa Aspek Metodologi Tafsir al-Qur’an. Ujung
Pandang: Lembaga Studi Kebudayaan Islam.

Shihab, M. Quraish. 1995. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Shihab, M. Quraish. 2006. Tafsir al Mishbah: Pesan. Kesan dan Keserasian al-
Qur’an. Bandung: Lentera Hati.

31
Al-Shiddieqy Muhammad Hasbi. 1990. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-
Tafsir. Jakarta: PT Bulan Bintang

al-Suyut}i, Jalal al-Din. Tt. al-Itqa>n Fi ‘Ulum al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr.

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Tt. Fathul Qadir al Jami'
baina Fanni al Riwayah wa al Dirayah min Ilmi al Tafsir. Beirut: al
Maktabah al 'Ashriyah.

Syurbasyi, Ahmad. 1996. Sejarah Tafsir Al-Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus.

32

Anda mungkin juga menyukai