Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak awal Al-Qur‟an menyatakan dirinya sebagai petunjuk hidup bagi manusia.
Meskipun demikian, namun Al-Qur‟an diturunkan masih dalam pengertian yang sangat
global. Untuk memahami dan menjalankan isi kandungan Al-Qur‟an dibutuhkan suatu usaha
untuk menafsirkan Al-Qur‟an. Usaha menafsirkan Al-Qur‟an sesungguhnya menjadi aktifitas
penting setelah Al-Qur‟an diturunkan. Pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, proses
penafsiran belum mengambil bentuk secara konkret karena Nabi Muhammad SAW bisa
memberikan secara langsung tentang isi dan maksud Al-Qur‟an. Akan tetapi saat Nabi
Muhammad SAW telah wafat dan hadits-hadits mulai bertebaran sesuai dengan sejarah
penyebaran dan ekspedisi para sahabat ke berbagai wilayah, maka kebutuhan untuk
memahami Al-Qur‟an secara sistematis, terkodifikasikan, dan terdokumentasikan menjadi
mendesak.1

Dari sinilah sejarah penafsiran Al-Qur‟an menemukan momentumnya. Al-Qur‟an


menarik perhatian para intelektual Muslim untuk mengkajinya dari berbagai sisi, terutama
dari sisi penafsirannya yang terus menunjukkan progresifitas yang cukup signifikan, sejak
pada masa Al-Qur‟an diturunkan hingga saat ini. Usaha untuk menafsirkan Al-Qur‟an
memang tidak pernah berhenti, hal ini terlihat dari munculnya berbagai macam penafsiran
atasnya dan karya-karya tafsir dengan beragam metode maupun pendekatan. Hal ini
merupakan suatu keniscayaan sejarah, sebab umat Islam pada umumnya senantiasa ingin
menjadikan Al-Qur‟an sebagai teman dialog dalam menjalani kehidupan dan
mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang
tidak terbatas itulah yang menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan penafsiran Al-
Qur‟an.2

Oleh karena itu, untuk menelusuri tentang perjalanan sejarah perkembangan tafsir Al-
Qur‟an pada masa Nabi Muhammad SAW, masa sahabat, masa tabi‟in hingga sekarang maka
pemakalah berusaha memaparkannya secara umum dalam makalah ini.

1
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), Hlm. v.
2
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. v.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an


1. Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Sejarah pertumbuhan tafsir itu muncul dan dimulai sejak Al-Qur‟an diturunkan.
Pada saat Al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka sejak itu pula
beliau melakukan suatu penafsiran yakni memahami dan menjelaskannya kepada para
sahabat.3 Dengan demikian maka beliau merupakan mufassir pertama yang menguraikan
Al-Qur‟an dan menjelaskan kepada umatnya.
Pada masa Nabi Muhammad SAW belum wafat, tidak ada seorang pun dari para
sahabat beliau yang berani menafsirkan Al-Qur‟an, karena beliau masih berada di tengah-
tengah mereka. Hal tersebut dapat dimaklumi karena memang tugas menyampaikan dan
menjelaskan isi muatan Al-Qur‟an pertama ada di pundak Nabi Muhammad SAW.4
Sebagaimana Al-Qur‟an menuturkan:
َّ َ ُ َ َ َ َ ۡ َّ َ َ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َّ
ُ‫ٱّلل‬ َ ّ َّ َ ۡ َ َ ُ ٓ َ ۡ ّ َ ُ ُ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
‫ٍزل إَِلك يٌِ ربِك َۖ ِإَون هى تفعن فًا ةوغت رِساَلُۥ و‬
ِ ‫۞يأيّا ٱلرسْل ةو ِغ يا أ‬
َ ۡ ََۡۡ
َ ‫كَٰفِر‬ ۡ ‫ٱّلل ََل َي‬
َ َّ ‫اس إ َّن‬َّ َ َ ُ ۡ َ
٦٧ ٌ‫ي‬ ِ ‫ٱه‬ ‫م‬ْ ‫ق‬‫ٱه‬ ‫ِي‬
‫د‬ ّ ِ ِ ‫يع ِصًك يٌِ ٱنل‬

“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika


tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak
menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan)
manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
kafir.”5(QS. Al-Maidah/ 5: 67)

Bersamaan dengan itu pula, Nabi Muhammad SAW diberikan otoritas untuk
menafsirkan Al-Qur‟an. Sebagaimana Al-Qur‟an menyebutkan:
َ َّ َ َّ َ َ َ ُ َّ ‫ّي ل‬ ّ َ ۡ َ ٓ َ ۡ َ َ َ ُ ُّ َ َٰ َ ّ َ ۡ
َ ّ َ‫ٱل ِۡل َر َلِ ُب‬
٤٤ ‫اس َيا ٍ ّ ِزل إ ِ َۡل ِّ ۡى َوه َعو ُّ ۡى َي َتفم ُرون‬
ِ َ‫ِو‬ ِ ‫ت وٱلزب ِر وأٍزنلا إَِلك‬ِ ‫ةِٱۡليِن‬

3
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 34.
4
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 34.
5
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012),
Hlm. 158

2
“(mereka Kami utus) denga membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan Az-Zikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
agar mereka memikirkan.”6(QS. An-Nahl/ 16: 44)

ۡ َّ َٗۡ َ َ َُٗ ْ ََُ ۡ َّ ُ ُ َ َ ّ َ ُ َّ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ ۡ َ َ ٓ َ َ


‫ويا أٍزنلا عويك ٱهمِتَٰب إَِل َلِ ب ِّي لّى ٱلِي ٱختوفْا فِيُِ وِدى ورۡحة ه ِقْ ٖم‬

َ ۡ
٦٤ ‫يُؤي َُِْن‬

“Dan Kami tidak menurunkan Kitab (Al-Qur’an) ini kepadamu (Muhammad),


melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman.”7 (QS. An-Nahl/ 16: 64)

Pada ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW diperintahkan


untuk memberikan keterangan terhadap Al-Qur‟an, memberikan penjelasan terhadap Al-
Qur‟an, dan memberikan penafsiran terhadap Al-Qur‟an atas persoalan-persoalan yang
diperselisihkan oleh umatnya dalam masalah-masalah keagamaan serta Al-Qur‟an sebagai
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Kemudian bagaimana Nabi Muhammad SAW menafsirkan Al-Qur‟an? Menurut
Abdul Mustaqim, dilihat dari sisi bentuknya, maka penafsiran Nabi Muhammad SAW itu
bisa berbentuk sunnah qauliyyah, atau berbentuk sunnah fi’liyyah, dan bahkan bisa juga
berbentuk sunnah taqririyyah. Salah satu di antara keunggulan tafsir Nabi Muhammad
SAW adalah bahwa penafsiran beliau selalu dibantu oleh wahyu, sehingga jika ada
kekeliruan terhadap ijtihad Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan persoalan
syariat, wahyu lain akan turun untuk memberikan teguran dan koreksi. Begitu kuatnya
otoritas Nabi Muhammad SAW dalam hal ini, sehingga para sahabat jika kesulitan dalam
memahami maksud suatu ayat maka mereka segera merujuk dan menanyakan kepada
Nabi Muhammad SAW.8

6
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012),
Hlm. 370.
7
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012),
Hlm. 373.
8
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 36.

3
Dari Ibnu Mas‟ud diriwayatkan, ia berkata, “Pada saat ayat ini turun, orang-
orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan imannya dengan kezaliman…” (QS.
Al-An‟am/ 6: 82), sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?” Beliau
menjawab, “Kezaliman di sini bukanlah seperti yang engkau pahami. Tidakkah engkau
mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang shaleh (Luqman), “Sesungguhnya
syirik itu adalah kezaliman yang besar.” (QS. Luqman/ 31: 13). Kezaliman yang
dimaksud di sini adalah syirik. (HR. Muslim dan lainnya).9 Demikian penjelasan dari
Nabi Muhammad SAW terhadap maksud dari suatu ayat kepada para sahabatnya.
Demikianlah tafsir Al-Qur‟an yang diberikan secara langsung oleh Nabi
Muhammad SAW berdasarkan wahyu atau ilham dari Allah SWT, baik itu langsung dari
Allah SWT maupun melalui malaikat Jibril. Setiap kali selesai menerima wahyu, Nabi
Muhammad SAW langsung menyampaikannya kepada para sahabat. Jika ada kosakata
ayat yang tidak dipahami maka para sahabat langsung bertanya dan Nabi Muhammad
SAW menjelaskan kepada mereka hingga mereka memahami.10
Dengan demikian, sumber tafsir Al-Qur‟an pada masa Nabi Muhammad SAW
adalah Al-Qur‟an itu sendiri dan Hadits. Sedangkan mufassir Al-Qur‟an pada masa Nabi
Muhammad SAW hanyalah beliau sendiri sebagai mufassir tunggal. Dalam hal ini, para
sahabat baru menafsirkan Al-Qur‟an setelah Nabi Muhammad SAW wafat.11

2. Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Sahabat


Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka para sahabat beliaulah yang banyak
mendalami Al-Qur‟an. Merekalah yang telah mendapatkan tuntunan serta petunjuk dari
Nabi Muhammad SAW sehingga mereka terpanggil untuk mengambil peran dalam
menerangkan dan menjelaskan apa saja yang mereka ketahui dan mereka pahami tentang
Al-Qur‟an. Para sahabat pada dasarnya telah dapat memahami Al-Qur‟an secara global
berdasarkan pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur‟an,
akan tetapi pemahaman mereka secara rinci atas Al-Qur‟an membutuhkan penjelasan dari
Nabi Muhammad SAW berupa hadits-hadits, di samping ijtihad mereka sendiri.12

9
Syaikh Manna Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur‟an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005) Hlm. 423
10
Nashrudin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai: Pustaka
Mandiri, 2003), Hlm. 6-7.
11
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), Hlm. 17-18.
12
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 36-37.

4
Sahabat pertama yang menafsirkan Al-Qur‟an sesudah Nabi Muhammad SAW
wafat adalah Abdullah ibn Abbas (w. 68 H). Ia dikenal dengan sebutan Bahrul-‘Ilm
(Lautan Ilmu), Habrul-Ummah (Ulama Umat), dan Turjumanul-Qur’an (Juru Tafsir Al-
Qur‟an). Berkaitan dengan Ibnu Abbas, Nabi Muhammad SAW pernah berdo‟a:
sekiranya Allah SWT berkenan mengajarkan ta‟wil kepadanya dan memberinya
kemampuan untuk memahami makna Al-Qur‟an sedalam-dalamnya. Berkaitan dengan
Ibnu Abbas juga, seorang ulama bernama Mujahid menuturkan: “Disaat Ibnu Abbas
sedang menfasirkan Al-Qur‟an kulihat wajahnya bercahaya”.13
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, para sahabat merujuk kepada beberapa
sumber, di antaranya sebagai berikut:14
a. Menelitinya di dalam Al-Qur‟an itu sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur‟an satu sama
lain saling menafsirkan.
b. Merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan fungsi beliau
sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an.
c. Apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur‟an
dan tidak sempat menanyakannya kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat
berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab dan keadaan orang-orang Yahudi
dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut
diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri.
d. Sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah para
Nabi atau kisah-kisah yang termuat dalam Al-Qur‟an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab
yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam (w. 43 H), Ka‟ab Al-
Ahbar (w. 32 H), dan lain-lain.

13
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Hlm. 71).
14
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), Hlm. 15-17.

5
Ada beberapa karakteristik tafsir Al-Qur‟an pada masa sahabat ini, di antaranya
sebagai berikut15:

a. Penafsiran Al-Qur‟an tidak secara keseluruhan karena sahabat hanya menafsirkan


sebagian dari ayat Al-Qur‟an yang benar-benar mereka dalami dan kuasai. Akan
tetapi, seiring dengan terjadinya interaksi yang intensif di antara mereka, tafsir Al-
Qur‟an pun akhirnya berproses menjadi tafsir yang lengkap dan sempurna.
b. Perbedaan penafsiran Al-Qur‟an di antara mereka relatif sedikit karena selain secara
politis para sahabat masih tetap utuh dan padu, juga belum banyak masalah yang
dihadapi.
c. Penafsiran yang dilakukan umumnya lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na
al-ijmali (pengertian kosakata secara global), tidak dengan penafsiran yang panjang
lebar dan rinci.
d. Membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughawi (etimologis) dengan gaya
ungkapan yang sederhana-singkat, dan tidak menggunakan metodologi penafsiran
yang rumit seperti yang berkembang kemudian.
e. Tidak melakukan istinbath atas hukum-hukum fikih dari ayat-ayat Al-Qur‟an, apalagi
jika istinbath hukum itu lebih mengedepankan semangat pembelaan kepada mazhab-
mazhab fikih yang pada waktu itu belum terjadi.
f. Tafsir Al-Qur‟an belum dikodifikasikan.
g. Penafsiran Al-Qur‟an umumnya dilakukan dengan menguraikan hadits, bahkan tafsir
itu merupakan bagian (cabang) dari hadits.

Demikianlah, tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan disiplin ilmu
tersendiri, masih merupakan bagian dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan, dan
belum tersistematis. Di samping itu juga, pada masa sahabat ini pun Al-Qur‟an belum
ditafsirkan secara keseluruhan, dan pembahasannya pun masih belum luas dan
mendalam.16

15
Suryanto, Pemetaan Kajian Tafsir Periode Sahabat dan Tabi’in, (Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir
Hadits, Vol. 2, No. 1, Juni 2012), Hlm. 102-103.
16
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQA N Publishing, 2014), Hlm. 272.

6
Adapun tokoh-tokoh mufassir pada masa sahabat dapat ditinjau dari berberapa
segi:17
a. Ditinjau dari segi popularitasnya, tokoh-tokoh mufassir yang termasyhur ada sepuluh
orang, yaitu: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khattab, Usman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Ibnu Mas‟ud, Ibnu „Abbas, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa Al-Asy‟ari, dan Abdullah bin Zubair. Sedangkan tokoh-tokoh yang tidak begitu
masyhur ada 6 orang, yaitu: Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Jabir
bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash, dan „Aisyah.
b. Ditinjau dari segi intensitas dan kuantitasnya, tokoh-tokoh yang banyak menafsirkan
Al-Qur‟an ada 4 orang, yaitu: Ali bin Abi Thalib, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah ibn
Mas‟ud, dan Ubay bin Ka‟ab. Sedangkan tokoh-tokoh yang relatif sedikit dalam
menafsirkan Al-Qur‟an ada sekitar 12 orang, yaitu: Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-
Asy‟ari, Abdullah bin Zubair, Abu Bakar, Umar bin Al-Khattab, Usman bin Affan,
Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin
Amr bin Ash, dan „Aisyah.

3. Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Tabi’in


Setelah berakhir masa sahabat, datanglah generasi berikutnya yaitu generasi
tabi‟in yang melanjutkan usaha yang sudah dirintis oleh generasi para sahabat. Para
tabi‟in selalu mengikuti jejak para sahabat yang masyhur dalam penafsiran Al-Qur‟an. Di
samping menafsirkan Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an dan hadits Nabi Muhammad SAW,
mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga mengutip dari
Ahlul Kitab. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan
ijtihad.18
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sumber
para mufassir pada masa tabi‟in ini dalam menafsirkan Al-Qur‟an adalah sebagai
berikut:19
a. Ayat Al-Qur‟an.
b. Hadits Nabi Muhammad SAW.
c. Pendapat para sahabat.

17
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 44-45
18
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQA N Publishing, 2014), Hlm. 272.
19
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 61.

7
d. Keterangan dari Ahlul Kitab.
e. Ijtihad dari tabi‟in itu sendiri.
Pada saat penaklukan Islam yang semakin meluas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong
berpindah ke daerah-daerah taklukan. Mereka membawa ilmu masing-masing. Dari
tangan mereka inilah para tabi‟in menimba ilmu, sehingga tumbuh bermacam mazhab dan
perguruan tafsir. Secara garis besar perguruan tafsir pada masa ini dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu:20
a. Perguruan Tafsir di Makkah
Di Makkah ini berdiri perguruan Ibnu Abbas. Perguruan ini bermula dari keberadaan
Ibnu Abbas sebagai guru di Makkah yang mengajarkan Al-Qur‟an kepada para
tabi‟in. Lalu para tabi‟in tersebut meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas dan
menambahkan pemahamannya serta mengajarkan kepada generasi berikutnya.21 Di
antara murid-muridnya adalah: Mujahid ibn Jabir (w. 104 H), Atha‟ ibn Abi Rabah
(w. 114 H), Ikrimah Maula ibn Abbas (w. 104 H)22, Said bin Jubair, dan Thawus bin
Kisan Al-Yamani.23
b. Perguruan Tafsir di Madinah
Perguruan tafsir di Madinah ini dipelopori oleh Ubay bin Ka‟ab yang didukung oleh
para sahabat lain yang berada di Madinah. Melalui Ubay bin Ka‟ab, para tabi‟in
banyak menafsirkan Al-Qur‟an yang selanjutnya disebarkan kepada generasi
selanjutnya sampai kepada kita.24 Di antara murid-muridnya dari kalangan tabi‟in
yaitu: Zaid bin Aslam, Abu Al-„Aliyah Ar-Riyahi, dan Muhammad bin Ka‟ab Al-
Qurazhi.25
c. Perguruan Tafsir di Iraq
Perguruan tafsrir di Iraq ini dipelopori oleh Abdullah ibn Mas‟ud (yang dipandang
oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra‟yi). Banyak para tabi‟in di Irak
dikenal dalam bidang tafsir. Di antaranya yang masyhur adalah „Alqamah bin Qais,

20
Syaikh Manna Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur‟an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005) Hlm. 426-427.
21
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 58.
22
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQA N Publishing, 2014), Hlm. 272.
23
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 58.
24
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 59.
25
Syaikh Manna Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur‟an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005) Hlm. 427.

8
Masruq ibn Al-Ajda, Al-Aswad bin Yazid, Murrah Al-Hazani, Amir Asy-Sya‟bi,
Hasan Al-Basri, dan Qatadah bin Di‟amah As-Sadusi.26
Pada masa tabi‟in ini corak tafsir bi al-riwayah masih mendominasi penafsiran
para tabi‟in walaupun sudah muncul ra‟yu dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Di antara
karakteristik tafsir pada masa tabi‟in ini adalah sebagai berikut:27
a. Pada masa ini, tafsir juga masih belum terkodifikasi secara tersendiri.
b. Tradisi tafsir juga masih bersifat hafalan dan periwayatan.
c. Pada masa tab‟in ini, tafsir sudah kemasukan riwayat-riwayat Israiliyat, karena
keinginan sebagian para tabiin untuk mencari penjelasan yang lebih rinci tentang
cerita-berita dalam Al-Qur‟an.
d. Sudah mulai muncul bibit-bibit perbedaan aliran dalam penafsirannya.
e. Sudah banyak perbedaan pendapat antara penafsiran para tabi‟in dengan penafsiran
para sahabat.

Setelah masa sahabat dan masa tabi‟in datanglah masa kodifikasi hadits di mana
riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab tersendiri, meskipun tetap
belum sistematis seperti susuanan Al-Qur‟an. Dalam perkembangan selanjutnya tafsir
dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama seperti Ibn
Majah (w. 273 H), Ibn Jarir At-Thabari (w. 310 H), Abu Bakar ibn Al-Munzir An-
Naisaburi (w. 318 H) dan lain-lain mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tafsir dari
Nabi Muhammad SAW, sahabat dan tabi‟in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang
dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur‟an dan disusun sesuai
dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain
pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian dikenal dengan bentuk tafsir bil
ma’tsur.28
Contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan bentuk tafsir bil ma’tsur ini antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Muhammad Ibn Jari Ath-Thabari (w. 310 H), Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an.
b. Abu Al-Laits Nashir ibn Muhammad As-Samarqandi (w. 373 H), Bahr al-‘Ulum.

26
Syaikh Manna Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur‟an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005) Hlm. 427.
27
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 62.
28
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQA N Publishing, 2014), Hlm. 273.

9
c. Abu Ishaq Ahmad ibn Ibrahim Ats-Tsa‟labi (w. 427), Al-Kasysyaf wa al-Bayan ‘an
Tafsir Al-Qur’an.
d. Abu Muhammad Al-Husain ibn Mas‟ud Al-Baghawi (w.510 H), Ma’alim at-Tanzil fi
at-Tafsir.
e. Abu Muhammad Abd Al-Haq ibn Ghaib ibn „Athiyah (w.546), Al-Muharrir al-Wajiz
fi Tafsir Al-Kitab Al-‘Aziz.
f. Abu Al-Fida Ismail ibn „Amr ibn Katsir (w. 774 H), Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim.
g. Abu Zaid Abd Ar-Rahman ibn Muhammad Ats-Tsa‟labi (w. 876 H), Al-Jawahir Al-
Hassan fi Tafsir Al-Qur’an.
h. Jalal Ad-Din As-Suyuthi (w. 911), Ad-Durr Al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma’tsur.29
Kemudian setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa
Daulah „Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bil ma’tsur, karena
perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan
memperluas dan memperbesar peran ra‟yu atau ijtihad dibandingkan dengan
penggunannya pada bentuk bil ma’tsur. Tafsir dalam bentuk ini kemudian dikenal dengan
tafsir bi ar- ra’yi. Bukan berarti dengan tafsir bi ar-ra’yi para mufassir meninggalkan
tafsir Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an atau dengan hadits, penafsiran para sahabat dan
tabi‟in. Akan tetapi bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-
macam ilmu pengetahuan. Disebut dengan tafsir bi ar-ra’yi karena yang dominan
memang penalaran atau ijtihad mufassir itu sendiri.30
Adapun contoh kitab tafsri bi ar-ra’yi antara lain adalah sebagai berikut:
a. Abu Al-Qasim Jarullah Mahmud ibn „Umar Az-Zamakhsyari Al-Khawarizmi (w.
538), Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq At-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh At-Ta’wil.
b. Abu „Abdillah Muhammad ibn „Umar Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib.
c. Nashir Ad-Din Abu Khair „Abdullah ibn „Umar Al-Baidhawi (w.685 H), Anwar At-
Tanzil wa Asrar at-Ta’wil.
d. Abu Al-Barakat Abdullah ibn Ahmad An-Nasafi (w. 701 H), Madarik at-Tanzil wa
Haqaiq at-Ta’wil.
e. Abu Fadhl Syihab Ad-Din As-Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi (w. 1270 H),
Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim as-Sab’i al-Matsani.31

29
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQA N Publishing, 2014), Hlm. 273.
30
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQA N Publishing, 2014), Hlm. 274.
31
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQA N Publishing, 2014), Hlm. 274.

10
4. Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Modern-Kontemporer
Dalam konteks perkembangan tafsir, istilah masa kontemporer terkait dengan
situasi dan kondisi tafsir pada saat ini sehingga ia dibedakan dengan masa modern.
Walaupun demikian, perkembangan tafsir Al-Qur‟an pada masa kontemporer tidak bisa
terlepas dengan perkembangannya di masa modern. Setidaknya gagasan-gagasan yang
berkembang pada masa kontemporer ini sudah dimulai sejak zaman modern.32 Pada masa
ini dimulai dengan munculnya tokoh-tokoh Islam seperti Sayyid Ahmad Khan dengan
karyanya Tafhim Al-Qur’an dan Muhammad Abduh dengan karya tafsirnya Al-Manar
yang terpanggil melakukan kritik terhadap tafsir para ulama terdahulu yang dianggap
tidak lagi relevan.33
Jejak Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh ini kemudian diteruskan oleh
mufassir kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun,
dan Hassan Hanafi. Para tokoh ini pada umumnya bersikap kritis terhadap karya tafsir
masa lalu yang selama ini banyak dikonsumsi oleh umat Islam. Mereka juga cenderung
melepaskan diri dari model-model berpikir mazhabi. Sebagian dari mereka juga telah
memanfaatkan perangkat keilmuan modern. Bertolak dari keprihatinan mereka terhadap
produk tafsir masa lalu yang cenderung ideologis, sektarian, dan tak lagi mampu
menjawab tantangan zaman, mereka kemudian mencoba membangun sebuah epistimologi
tafsir baru yang dipandang akan mampu merespons perubahan zaman dan kemajuan ilmu
pengetahuan.34
Pada masa ini, kajian terhadap Al-Qur‟an secara intensif tidak hanya dilakukan
para sarja muslim saja, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Nashr Hamid Abu
Zayd, Muhammad Syahrur, dan Riffat Hasan, tetapi juga oleh para sarjana non-muslim,
seperti John Wansbrough, Andrew Rippin, Stefan Wild, dan Alford T. Welch. Para
sarjana Barat banyak yang tertarik mengkaji Al-Qur‟an karena adanya apresiasi yang
tinggi dari Barat yang menganggap Islam sebagai fenomena dunia di mana Al-Qur‟an
menjadi sentral ajarannya.35

32
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 91.
33
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), Hlm. 52.
34
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), Hlm. 52.
35
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), Hlm. 53.

11
Adapun karakteristik tafsir pada masa modern-kontemporer ini adalah sebagai
berikut:
a. Menjadikan Al-Qur‟an sebagai kitab petunjuk. Dalam upaya mengembalikan Al-
Qur‟an sebagai kitab petunjuk, para mufassir kontemporer tidak lagi memahami kitab
suci sebagai wahyu yang mati sebagaimana telah dipahami oleh para ulama
tradisional selama ini, melainkan sebagai sesuatu yang hidup.
b. Mengungkapkan ruh Al-Qur‟an. Para mufassir kontemporer tidak menerima begitu
saja apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-Qur‟an secara literal, melainkan
mencoba melihat lebih jauh apa yang ingin dituju oleh ungkapan literal ayat-ayat
tersebut. Dengan demiakian, yang hendak dicari oleh para mufassir kontemporer
adalah ruh atau pesan moral Al-Qur‟an.36

36
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 96.

12
B. Komentar Terhadap Perkembangan Tafsir Al-Qur’an
1. Tafsir Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Di antara keunggulan dari tafsir Nabi adalah beliau tidak menafsirkan atau
menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur‟an menurut akal pikiran beliau sendiri, namun
dituntun wahyu dari Allah SWT. Jika semisal ada kesalahan atau kekeliruan terhadap
ijtihad Nabi Muhammad SAW maka akan turun wahyu lain untuk mengoreksinya.
Namun demikian, tulis Abdul Mustaqim, hal ini tidak berarti bahwa seluruh kandungan
makna Al-Qur‟an secara detil sudah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW, sebab
banyak ayat Al-Qur‟an yang belum sempat dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dan
itu merupakan tugas bagi generasi berikutnya untuk menjelaskannya.37
2. Tafsir Pada Masa Sahabat
Tidak terdapat perbedaan yang begitu berarti antara tafsir Nabi dengan tafsir
sahabat, hanya saja sedikit dari segi sumbernya. Kalau tafsir Nabi bersumber dari Al-
Qur‟an itu sendiri dan Hadits, sedangkan tafsir sahabat bersumber dari Al-Qur‟an, hadits
Nabi, dan ijtihad mereka sendiri. Selain itu, kelebihan dari tafsir pada masa sahabat ini
adalah tidak bersifat sektarian, artinya tafsir tersebut tidak dimaksudkan untuk membela
kepentingan golongan tertentu, tidak banyak perbedaan pendapat di antara mereka
mengenai hasil penafsirannya, dan tafsir pada masa ini belum terkontaminasi dengan
riwayat-riwayat Israiliyat. Di samping itu juga, salah satu kelemahan tafsir pada masa
sahabat ini adalah penafsiran yang masih bersifat parsial dan tidak terlalu mendetil dalam
menjelaskan suatu ayat.
3. Pada Masa Tabi’in
Di antara sisi positif tafsir pada masa tabi‟in ini adalah mereka mewarisi metode
dan corak penafsiran para sahabat. Sedangkan sisi negatifnya adalah sebagai berikut:38
a. Pada masa tabi‟in ini, tafsir telah banyak disusupi oleh kisah-kisah israiliyat yang
dapat membahayakan kemurnian ajaran Islam.
b. Pada masa tabi‟in ini, tafsir sudah mulai bersifat sektarian dan mulai terpengaruhi
oleh kepentingan golongan tertentu, sehingga menjadi kurang objektif dalam
menafsirkan Al-Qur‟an.
c. Tidak lagi utuh seperti yang pernah dilakukan oleh sahabat dalam periwayatan
informasi yang mereka peroleh dari Nabi Muhammad SAW.

37
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), Hlm. 36
38
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), Hlm. 22.

13
4. Tafsir Pada Masa Modern/ Kontemporer

Produk kajian tafsir kontemporer sebenarnya bukanlah produk tafsir yang


tanpa kritik dan respons, termasuk pendekatan dan metodologi yang dikembangkan dalam
tradisi tafsir tersebut. Dalam perjalananya tafsir kontemporer ini seringkali memunculkan
kontroversial. Baik dari dalam diri umat Islam sendiri maupun dari luar. Kritikan
langsung dan tidak langsung seringkali muncul untuk mengkritisinya dan bahkan
memberi penilaian yang relatif ekstrim.39 Di samping itu juga, tafsir kontemporer dinilai
akan memberikan angin segar bagi perkembangan tafsir. Tafsir kontemporer memiliki
peran penting dalam merespons dan menjawab isu-isu global kontemporer, seperti
demokrasi, pluralisme, HAM, dan kesetaraan gender. Isu-isu yang muncul di era global
ini tidak dapat lagi dijawab dengan menggunakan paradigma tafsir klasik yang cenderung
sektarian, ideologis, dan diskriminatif.40

39
Rohimin, Karakter Tafsir Al-Qur’an Kontempore, (Jurnal Nuansa, Edisi 1, No. 2, September 2010),
Hlm. 141.
40
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), Hlm. 84-85.

14
BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas, sebagai penutup maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
secara umum, di antaranya sebagai berikut:

1. Sejarah pertumbuhan tafsir itu muncul dan dimulai sejak Al-Qur‟an diturunkan. Pada
saat Al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka sejak itu pula beliau
melakukan suatu penafsiran yakni memahami dan menjelaskannya kepada para
sahabat. Dengan demikian maka beliau merupakan mufassir pertama yang
menguraikan Al-Qur‟an dan menjelaskan kepada umatnya.
2. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka para sahabat beliaulah yang banyak
mendalami Al-Qur‟an. Merekalah yang telah mendapatkan tuntunan serta petunjuk
dari Nabi Muhammad SAW sehingga mereka terpanggil untuk mengambil peran
dalam menerangkan dan menjelaskan apa saja yang mereka ketahui dan mereka
pahami tentang Al-Qur‟an. Para sahabat pada dasarnya telah dapat memahami Al-
Qur‟an secara global berdasarkan pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab yang
menjadi bahasa Al-Qur‟an, akan tetapi pemahaman mereka secara rinci atas Al-
Qur‟an membutuhkan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW berupa hadits-hadits, di
samping ijtihad mereka sendiri.
3. Setelah berakhir masa sahabat, datanglah generasi berikutnya yaitu generasi tabi‟in
yang melanjutkan usaha yang sudah dirintis oleh generasi para sahabat. Para tabi‟in
selalu mengikuti jejak para sahabat yang masyhur dalam penafsiran Al-Qur‟an. Di
samping menafsirkan Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an dan hadits Nabi Muhammad
SAW, mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga
mengutip dari Ahlul Kitab. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran
sendiri berdasarkan ijtihad.
4. Pada masa modern-kontemporer dimulai dengan munculnya tokoh-tokoh Islam
seperti Sayyid Ahmad Khan dengan karyanya Tafhim Al-Qur’an dan Muhammad
Abduh dengan karya tafsirnya Al-Manar yang terpanggil melakukan kritik terhadap
tafsir para ulama terdahulu yang dianggap tidak lagi relevan.
5. Jejak Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh ini kemudian diteruskan oleh
mufassir kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammed
Arkoun, dan Hassan Hanafi. Para tokoh ini pada umumnya bersikap kritis terhadap
karya tafsir masa lalu yang selama ini banyak dikonsumsi oleh umat Islam. Mereka
15
juga cenderung melepaskan diri dari model-model berpikir mazhabi. Sebagian dari
mereka juga telah memanfaatkan perangkat keilmuan modern. Bertolak dari
keprihatinan mereka terhadap produk tafsir masa lalu yang cenderung ideologis,
sectarian, dan tak lagi mampu menjawab tantangan zaman, mereka kemudian
mencoba membangun sebuah epistimologi tafsir baru yang dipandang akan mampu
merespon perubahan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik
Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003).

Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010).

Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011).

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012).

Nashrudin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai:


Pustaka Mandiri, 2003).

Rohimin, Karakter Tafsir Al-Qur’an Kontempore, (Jurnal Nuansa, Edisi 1, No. 2, September
2010).

Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007).

Suryanto, Pemetaan Kajian Tafsir Periode Sahabat dan Tabi’in, (Mutawatir: Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadits, Vol. 2, No. 1, Juni 2012).

Syaikh Manna Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur‟an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni,
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005).
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQA N Publishing, 2014).

17

Anda mungkin juga menyukai