Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TAFSIR NABI MUHAMMAD SAW

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Metode Tafsir

Dosen Pengampu: Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A.

Disusun Oleh:

1. FurqonAli : 11220340000060
2. Yusfia Zahrotus Salwa : 11220340000148
3. Fauziah Nur Hasanah : 11220340000125

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2023
KARA PENGANTAR

Puji syukur kanmi panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang
berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A
sebagai dosen pengampu mata kuliah Metode Tafsir yang telah membantu memberikan arahan
dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karna
keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………….
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...
BAB I:
1. LATAR BELAKANG……………………………………………………….
2. RUMUSAN MASALAH……………………………………………………
3. TUJUAN PENULISAN……………………………………………………..

BAB II:

A. Pengertian Nabi Muhammad Saw. Sebagai Mufassir…………………….


B. Makna Tafsir Rasulullah……………………………………………………
C. Jenis-Jenis Ayat Yang Ditafsirkan Nabi Muhammad Saw………………..
D. Apakah Nabi Muhammad Saw. Menafsirkan Seluruh Ayat……………..
BAB III:

A. KESIMPULAN ……………………………………………………………..
B. DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Al-Qur'an merupakan sebuah kitab yang unik, orisinil dan berharga. Sebuah kitab yang
kaya akan sastra maupun irama. Sebuah kitab yang menjadi pijakan utama dalam beragama.
Sebuah kitab yang mengandung banyak kata, qira'at maupun makna. Dan sebuah kitab yang
akan terus membimbing kita semua kepada jalan yang diridlai-Nya.
Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab yaitu bahasa yang elastis luar dalamnya. Ia bisa
diucapkan dalam berbagai bentuk cara dan mempunyai beranekaragam makna. Memahami al-
Qur'an diperlukan ilmu tafsir, yaitu sebuah seperangkat ilmu yang digunakan dalam membaca
dan memahami al-Qur'an. Tafsir muncul berbarengan dengan al-Qur'an ada yaitu ketika ia
diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW.
Penafsiran al-Qur'an pada dasarnya sudah ada sejak masa Rasulullah bahkan beliau
adalah penafsir al-Qur'an pertama. Rasulullah seringkali didatangi sahabat yang tidak
memahami kandungan wahyu yang global ataupun rinci kemudian Rasulullah menjelaskan
kandungannya kepada mereka.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Nabi Muhammad Saw. sebagai mufassir ?
b. Apa jenis-jenis ayat yang ditafsirkan Nabi Muhammad Saw ?
c. Apakah Nabi Muhammad Saw. menafsirkan seluruh al-Quran atau tidak ?

3. Tujuan
a. Mengetahui pengertian Nabi Muhammad Saw. sebagai mufassir
b. Mengetahui jenis-jenis ayat yang ditafsirkan Nabi Muhammad Saw.
c. Mengetahui Nabi Muhammad Saw. menafsirkan seluruh ayat atau tidak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nabi Muhammad Saw. Sebagai Mufassir
Nabi saw selain perannya sebagai penerima wahyu berupa al-Qur’an, ia juga
seseorang yang memahami al-Qur’an dengan baik, yakni secara global maupun terperinci
setelah Allah memberi kekuatan hafalan dan penjelasan pada nabi saw, al-Qur’an menyebutkan
dalam QS. Al-Qiyamah: Ayat 17 (Juz 29)1 :

َ ‫ِ ُُثَِّا َّن‬-ِٗٗ‫ِفَاذَاِقَ َرأْنٰهُِفَاتَّب ْعِقُْراٰنَه‬-ِٗٗ‫اَِجْ َعهِٗ َوقُْراٰنَه‬


ٗٗ‫ِعلَْي نَاِبَيَانَه‬ َ ‫اِ َّن‬
َ َ‫ِعلَْي ن‬

Artinya : “Sesungguhnya tugas Kamilah untuk mengumpulkan (dalam hatimu) dan


membacakannya. - Maka, apabila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah
bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya tugas Kami (pula)-lah (untuk)
menjelaskannya”. (QS. Al-Qiyamah: 17-19)
Dan sudah menjadi kewajibannya untuk menyampaikan serta menjelaskan kepada
kaumnya (sahabat) tentang apa yang ada di dalam al-Qur’an QS. An-Nahl: Ayat 44 :

ِ‫ِماِنُِزَلِالَْيه ْم َِولَ َعلَّ ُه ْمِيَتَ َف َِّك ُرْو َن‬


َ ‫ّيِللنَّاس‬
َ ِ َ‫كِال ِذ ْك َرِلتُب‬
َ ‫َواَنْ َزلْنَاِٗالَْي‬

Artinya: “Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan


kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka
memikirkan”. QS. An-Nahl: Ayat 44
Terkait dengan keterlibatan Nabi SAW dalam penafsiran al-Qur’an, Ibnu
Khaldun dalam Muqaddimah-nya pernah mengatakan: “Rasulullah saw menjelaskan makna
al-Qur’an secara umum, membedakan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh, kemudian
memberitahukan kepada para sahabat, sehingga mereka memahami sebab-musabab
turunnya ayat (asbab al-nuzul) dan situasi yang mendukungnya.2
Dari penjelasan dan pemahaman ayat tersebut, bisa dikatakan bahwa nabi saw
adalah orang pertama yang menafsirkan al-Qur’an dan penafsirannya mencangkup semua
ibadah-ibadah, muamalah-muamalah dan akidah-akidah yang dibawa-Nya dan mencangkup
semua yang berhubungan dengan masyarakat manusia, dimulai dari keluarga kepada
kelompok sampai kepada umat dan hubungan antar hakim dengan terhukum serta
hubungan antara umat Islam dengan umat-umat lain dalam keadaan perang dan damai. 3

1
Nur Kholis, Pengantar Studi al-Qur’an dan al-Hadits (Yogyakarta: Teras, 2008), h.137
2
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Al-Qur’an, . . . h. 126-127.
3
Muhammad Ismail Ibrahim, Sisi Mulia Al-Qur’an: Agama dan Ilmu (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 42
Ini berarti awal munculnya tafsir al-Qur’an ialah sejak al-Qur’an diturunkan, sebab begitu
al-Qur’an diturunkan kepada nabi saw, sejak itu pula beliau melakukan proses dan praktik
penafsiran untuk menjelaskan al-Qur’an kepada para sahabat.
Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dipastikan bahwa beliau termasuk dalam kategori
mufassir era klasik, dan mufassir pertama dalam sejarah ulumul Qur’an, bahkan beliau bisa
dianggap sebagai pencetus dasar kaidah-kaidah tafsir (secara tidak langsung) meskipun
hal tersebut memang berasal dari fitrah nabi saw sebagai seorang Arab Quraisy yang
memang terkenal akan keindahan, kemahiran serta kefashihan bahasa arabnya, dan
penafsiran beliau dianggap paling otoritatif untuk menjelaskan kepada umatnya (terlebih
pada masanya).

B. Makna Tafsir Rasulullah


Yang dimaksud dengan tafsir Rasulullah adalah penjelasan-penjelasan tentang makna
ayatayat Al-Qur’an yang diterimanya, dan kemudian diajarkan kepada para Sahabat.
Penjelasan-penjelasan ini biasanya didahului dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
para Sahabat kepadanya. Bisa jadi pertanyaan itu berkaitan dengan makna suatu kata, maksud
yang dituju oleh kata yang ditanyakan, atau dapat pula berupa kandungan dari ayat yang belum
mereka ketahui secara jelas.
Selanjutnya, dalam menjelaskan kandungan Al-Qur’an, penafsiran beliau hanya
dikemukakan dan diinformasikan bila ada sahabat yang bertanya atau meminta penjelasan
tentang maksud dari suatu ayat atau beberapa ayat tertentu. Dengan kondisi ini, dapat diketahui
bahwa tafsir Rasulullah sebenarnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan sahabat. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa tafsir ini merupakan upaya
Rasulullah untuk menjelaskan ajaran-ajaran agama yang diwahyukan kepadanya. Hal yang
sedemikian ini merupakan kenyataan yang dapat diterima, karena Rasulullah yang menerima
wahyu dari Allah, maka beliau juga yang berkewajiban untuk menerangkannya kepada para
sahabat yang menjadi pengikutnya. Isyarat seperti ini juga diperkuat dengan ayat-ayat yang
menyatakan hal tersebut, yaitu:

ِ‫ِماِنُِزَلِالَْيه ْم َِولَ َعلَّ ُه ْمِيَتَ َف َّك ُرْو َن‬


َ ‫ّيِللنَّاس‬
َ ِ َ‫كِال ِذ ْك َرِلتُب‬
َِ ‫الزبُرِِٗ َواَنْ َزلْنَاِٗالَْي‬
ُّ ‫بِالْبَ يِنٰت َِو‬

Artinya : “(Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas


(mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar
mereka memikirkan”. (QS. An-Nahl: Ayat 44)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah merupakan orang yang pertama
kali diberi tugas untuk menjelaskan atau menafsirkan Al-Qur’an. Karena itu, dapat disepakati
bahwa beliau adalah mufassir pertama dari Kitabullah ini. Pernyataan seperti ini juga
dipertegas oleh Subhi Shâlih. Dalam karyanya yang berjudul Mabâhits fî `Ulûm Al-Qur’an, ia
mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah orang pertama yang menjelaskan atau
menafsirkan Kitâbullâh. 4 Sedang Manna` al-Qaththân tidak secara eksplisit menyebut bahwa
Nabi saw. adalah mufassir pertama dari Al-Qur’an. Tetapi dari ungkapannya dapat dipahami
bahwa ia juga berpendapat demikian. Penilaian seperti ini disimpulkan dari tulisannya yang
mengungkapkan bahwa Nabi saw. adalah al-mubayyîn lî Al-Qur’an (penjelas dari Al-Qur’an).5

C. Jenis-Jenis Ayat Yang Ditafsirkan Nabi Muhammad Saw.


Tafsir Rasulullah saw sebagian besar merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan para Sahabat atau yang lain kepadanya. Bisa jadi pertanyaan itu berkaitan
dengan makna suatu kata, maksud yang dituju oleh kata yang ditanyakan, atau dapat pula
berupa kandungan dari ayat yang belum mereka ketahui secara jelas, Tafsir Rasulullah saw
jarang ditujukan untuk penetapan hukum, karena ketika itu semua hukum telah dapat dipahami
dari kandungan ayat atau penjelasan Rasulullah sendiri serta tingkat validitasnya sangat kuat
dibandingkan tafsir produk Intelektual yang hidup setelah wafatnya Rasulullah.
Jika dilihat dari motif penafsiran Nabi SAW sendiri dapat dikategorikan menjadi tiga
tujuan, yaitu:6
1) Al-Irsyadi (Untuk Pengarahan)
Tafsir Nabi yang berupa pengarahan ini maksudnya nabi saw memberikan arahan yang
lebih baik lagi daripada yang sebelumnya, sebagai contoh adalah penafsiran
sehubungan dengan firman Allah SWT :

ِ‫َّاُِتبُّو َن‬
ُ ‫ِح ََّّتِتُنف ُقواِِْم‬
َ َّ‫لَنِتَنَالُواِالِْب‬

Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai”... (QS. Ali Imran: 92).
Ketika ayat itu turun, ada seorang sahabat bernama Abu Thalhah (seorang sahabat
yang memiliki kebun kurma di Madinah) menyampaikan keinginannya untuk

4 Subhi Shâlih, Mabâhits fî `Ulûm Al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Kutub li alMalâyin, 1977), h. 289
5
Manna’ al-Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm Al-Qur’an, (Beirut: Mansyurât al`Ashr al-Hadis, 1973), h. 328
6 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur'an (Yogyakarta: Adab Press, 2014), h.43-48.
menyedekahkan tanah milki yang sangat disayanginya di daerah Yarha' di Madinah.
Maka Nabi SA lalu bersabda:

ِ‫يحِوقدِعلَْيه َِو َسلَّ َمِبَ ْحِمسعتِماِقلكِوإينِأرىِأن‬


َ ‫قالِرسولِهللاِصلىِهللاِعليهِوملِنعِذلكِقالِرابعِذلكِمالِر‬
‫أفعلهاِيفِاألثرينِقالِأبوِطلحةِالفعلِايِرسولِاللهفتهاِأبوِطلحةِيفِالقاريةِويفِيفِعشرِة‬

Nabi shallallahu 'alaihiwasallam pun bersabda: "Amboi (waah), itu adalah harta yang
menguntungkan, itu adalah harta yang menguntungkan! Aku telah mendengar apa
yang telah kamu katakan, namun aku melihat sepertinya lebih baik itu engkau
sedekahkan untuk kerabat-kerabatmu."Lalu Abu Thalhah berkata; "Wahai Rasulullah,
aku akan melakukannya."Maka Abu Thalhah pun membagi-bagikan kepada kerabat
dan anak-anak pamannya."

2) At-Tathbiqi (Untuk Petunjuk Pelaksanaan)


termasuk dari tafsir yang motifnya berupapenjelasan aplikatif melalui peragaan.
Sebagai contoh adalah ketika nabi sawmenjelaskan ayat 125 dan 157 Surat Al-
Baqarah. Allah SWT berfirman:

ِ‫ِت‬
َ ‫يلِأَ ْنِطَ ِهَِراِبَْي‬
َ ‫ِوإ ْمسَاع‬
َ ‫ِو َعه ْد ََنِإ ََلِإبْ َراه َيم‬:ِ‫اهيمِمصلى‬
َ ‫وإذاِجعلناِالبيتِمثابةِللناسِوأمناِوالتخدواِمنِمقامِابر‬
‫الرَّكعِالسجوِد‬
ُّ ‫ّي َِو‬ َ ‫للطَّائف‬
َ ‫ّي َِوالْ َعاكف‬
Dalam ayat lain Allah menyebutkan

ِ‫احِ)ِعليهِأنِيطوفِهبماِومنِالطلوعِخريا‬
َ َ‫ِجن‬
ُ ‫ِاعتَ َم َرِفَََل‬
ْ ‫تِ أَو‬
َ ‫ِح َّجِالْبَ ْي‬
َ ‫ِاَّللِفَ َم ْن‬
َّ ‫ِش َعائر‬
َ ‫ِالص َفا ِ َوالْ َمْرَوةَِم ْن‬
َّ َِ ‫إن‬
‫قولِهللاِشاكرِعل ِيم‬
َ

Berkaitan dengan dua ayat tersebut, nabi saw pernah memberikan penjelasan secara
aplikatif melalui peragaan bagaimana cara tawaf dan sa'i, sebagaimana riwayat Imam
al-Tirmidzi di bawah ini:

َ َ‫ّيِِقَد َم َِم َّكةَِط‬ ٍ ُ ‫عي ي نَةَِعنِجع َفرِبن‬


ِ‫ِسْب ًعاِ َوأَتَى‬
َ ‫افِِبلْبَ ْيت‬ َ ‫ِعلَْيه َِو َسلَّ َمِح‬ َّ َّ‫ِصل‬
َ ُ‫ىِاَّلل‬ َ ‫َِّب‬ َّ ‫ِجاب ٍرِأ‬
َّ ‫َنِالن‬ َ ‫ِع ْن‬ َ ‫ِع ْنِأَبيه‬
َ ‫ُِمَ َّمد‬ ْ ْ َ ْ َ ْ َُ
َِ‫الِنَْب َدأُِِبَاِبَ َدأ‬
َ َ‫ُِثَِّق‬
ُ ُ‫استَ لَ َمه‬
ِْ َ‫ىِاْلَ َج َرِف‬
ْ َ‫ُِثَِّأَت‬
ُ ‫فِالْ َم َقام‬ َ ْ‫ىِخل‬َ َّ‫صل‬
َ َ‫صلًّىِ}ِف‬ َ ‫ِم‬ َ ‫َِ{ِو َّاَّت ُذواِم ْن‬
ُ ‫ِم َقامِإبْ َراه َيم‬ َ ‫الْ َم َق َامِفَ َقَرأ‬
‫يح‬
ِ ‫ِصح‬ َ ‫ِح َسن‬ َ ‫اِحديث‬ َ ‫ىِه َذ‬َ ‫يس‬َ ‫ِاَّللِ}ِقَ َالِأَبُوِع‬ َّ ‫ِش َعائر‬
َِ ‫اِوالْ َمْرَوةَِم ْن‬ َّ ‫اِوقَ َرأَِ{ِإ َّن‬
َ ‫ِالص َف‬ َ ‫لص َف‬ َّ ‫اَّللُِبهِفَبَ َدأَِِب‬
َّ
Menurut Imam Tirmizi, hadits tersebut berkualitas hasan shahih dan berdasarkan
hadits ini pula, orang yang haji harus memulai ibadah sa'inya dari Şafa. Sehingga jika
ia melakukan sa'i mulai dari Marwa dulu, maka hajinya tidak sah.

3) At-Tashhihi (Untuk Koreksi)


Tafsir nabi yang dimaksudkan untuk mengkoreksi kesalahan dalam memahami ayat.
Diantara contoh penafsiran ini ialah ketika nabi sawmengkoreksi pemahaman sahabat
mengenai makna QS. Al-Baqarah: 187.

‫وكلواِواشربواِحَّتِيتبّيِلكمِاخليطِاألبيضِمنِاخليطِاألسودِمنِالفجرُِثِأمتواِالصيامِإَلِالليل‬
Ketika itu ada seorang sahabat bernama Adi bin Hatim yang salah memahami ayat tersebut,
Dalam ayat tersebut ada kata-kata majaz (metafora), yaitu kata al-khaithul abyad (benang
putih) dan al-khaythul aswad (benang hitam). Adi bin Hatim rupanya memahaminya secara
apa adanya. Maka ia lalu mengambil benang yang berwarna putih dan hitam. Pada malam
harinya, benang itu ia perhatikan terus-menerus, namun tetap saja tidak jelas perbedaanya,
mana yang berwarna putih dan mana yang hitam. Keesokan harinya, hal itu dilaporkan kepada
nabi saw, maka beliau memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan khaithul abyad
benang putih adalah bayad al-nahar (putihnya siang) dengan datangnya waktu fajar.
Sedangkan yang dimaksud Sedangkan yang dimaksud al-khaytul aswad (benang hitam) adalah
sawad-al-lall (hitam atau gelapnya malam). Intinya, maksud ayat tersebut adalah informasi
tentang kebolehan seseorang untuk makan dan minum di malam bulan Ramadhan, hingga
munculnya fajar subuh.

D. Apakah Nabi Muhammad Saw. Menafsirkan Seluruh Ayat


Redaksi ayat-ayat al-Quran, sebagaiman setiap redaksi yang diucapka atau ditulis, tidak
dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini
kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal al-Quran, para sahabat Nabi
sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta
memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat,
atau bahkan kelirudalam pemahaman mereka tentang masud firman-firman Allah yang mereka
dengar atau mereka baca itu 7. Dari sini ulama mengarisbawahi bahwa tafsir adalah “penjelasan

7Muhammad Husain al-Zahabiy, Al-Tafsir waAl-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, Jilid I, h.
59.
tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir)”8,
dan bahwa “kepastian satu kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin
dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri
sendiri”.9
Rasulullah Muhammad Saw. mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman
Allah (QS. 16:44). Tugas ini memberi pentunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti
benar. Hal ini didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan
dalam al-Quran menyangkut sikap dan ucapan beliau yang dinilai oleh Tuhan “kurang tepat“
misalnya QS 9:42; 3:128; 80:1, dan sebagainya, yang kesemuanya mengandung arti bahwa
beliau Ma’shum(terpelihara dari melakukan suatu kesalahan atau dosa).10

Al-Quran diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Jibril untuk disampaikan
semuanya tanpa terkecuali kepada umat manusia. Tidak boleh ada ayat yang ditinggalkan oleh
Rasulullah untuk disampaikan, suka ataupun tidak suka. Seluruh ayat-ayat Allah harus
disampaikan oleh Rasulullah baik ayat tersebut berhasil memberi pengaruh hidayah ataupun
tidak. Terkait hal tersebut Allah menjelaskan dalam banyak ayat, yaitu dalam (QS.5:67).

Para ulamaberselisihpendapat soal sejauh mana Rasulullah Saw. Dalam menafsirkan al-Qur’an
kepada para sahabatnya:11
1. Semua sudah dijelaskan (ex: Ibnu Taimiyah), mereka beragumen bahwa maksud
dari lafal “litubayyin” dalam Surat Al-Nahl ayat 44 yang artinya “menerangkan”
mencakup menerangkan semua makna yang terkandung dalam al-Qur’an, di
samping penjelasan tentang lafaz-lafaznya. Dan juga berdalil dengan hadis
yangartinya “Telah menceritakan kepada kami seorang sahabat nabi Shallallahu 'alaihi
wa salam yang pernah mengajari bacaan al-Quran pada kami, bahwa mereka
mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam, mereka tidak
mempelajari sepuluhayat lain hingga mereka mengetahui ilmu dan amal yang ada
di dalamnya, kami mengetahui ilmu dan amal”.Atsar (berita) dari para sahabat ini

8Muhammad Husain al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, Jilid I, h.
15.
9Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, t.t., jilid II, h. 35.
10
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, h. 75-76.
11
At-Tibyan, Vol. I, No.1 Januari–Juni 2016: 79-
80.(https://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/tibyan/article/view/33/32)
menunjukkan bahwa para sahabat mempelajari dari Rasulullah seluruh makna yang
terkandung dalam al-Qur’an di samping lafaz-lafaznya.
2. Tidak semuanya sudah ditafsirkan oleh nabi saw (ex:al-Khubi dan al-Suyuti),
mereka berpendapat bahwa lafaz “litubayyin” dalam surat al-Nahl ayat 44 maksudnya
nabi saw hanya menjelaskan apa-apa yang sulit di pahami oleh sahabat dari al-Qur’an,
tidak menjelaskanseluruh lafaz al-Qur’an. Dan untukhadis yang dijadikan hujjahdari
kelompok pertama (semua sudahditafsirkan) maksudnya sahabatmemperoleh hasil
pemahaman yang tuntas (ilmu & amal) tidak hanya dari Rasulullah saja akan tetapi
jugabisa dari sahabat yang lain, bahkan bisa dari hasil pemikiran mereka
sendiri manakala Allah telah membukakan rahasia al-Qur’an itu kepada mereka,
baik melalui observasi maupun ijtihad.
Ulama yang mendukung pendapat ini, Rasulullah Saw. tidak mendapatkan perintah dari Allah
untuk menjelaskan seluruh ayat al-Quran. Alasannya agar hamba-Nya berpikir dan
merenunginya.Dengan pendapt kedua ini, sepertinya ulama menilai bahwa pengertian pada
QS. al-Nahl (16):44 tidak mencakup keseluruhan ayat. Sementara memang terdapat ayat yang
mendorong manusia untuk tadabbur dan tadzakkur terhadap ayat al-Quran. Misal, pada QS.
Shad (38): 29.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penafsiran al-Qur'an pada dasarnya sudah ada sejak masa Rasulullah bahkan beliau
adalah penafsir al-Qur'an pertama. Rasulullah seringkali didatangi sahabat yang tidak
memahami kandungan wahyu yang global ataupun rinci kemudian Rasulullah menjelaskan
kandungannya kepada mereka.
nabi saw adalah orang pertama yang menafsirkan al-Qur’an dan penafsirannya
mencangkup semua ibadah-ibadah, muamalah-muamalah dan akidah-akidah yang dibawa-
Nya dan mencangkup semua yang berhubungan dengan masyarakat manusia, dimulai
dari keluarga kepada kelompok sampai kepada umat dan hubungan antar hakim dengan
terhukum serta hubungan antara umat Islam dengan umat-umat lain dalam keadaan perang
dan damai.12 Ini berarti awal munculnya tafsir al-Qur’an ialah sejak al-Qur’an diturunkan,
sebab begitu al-Qur’an diturunkan kepada nabi saw, sejak itu pula beliau melakukan proses
dan praktik penafsiran untuk menjelaskan al-Qur’an kepada para sahabat.
Tafsir Rasulullah saw sebagian besar merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan para Sahabat atau yang lain kepadanya. Bisa jadi pertanyaan itu berkaitan
dengan makna suatu kata, maksud yang dituju oleh kata yang ditanyakan, atau dapat pula
berupa kandungan dari ayat yang belum mereka ketahui secara jelas, Tafsir Rasulullah saw
jarang ditujukan untuk penetapan hukum, karena ketika itu semua hukum telah dapat dipahami
dari kandungan ayat atau penjelasan Rasulullah sendiri serta tingkat validitasnya sangat kuat
dibandingkan tafsir produk Intelektual yang hidup setelah wafatnya Rasulullah.
Al-Quran diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Jibril untuk
disampaikan semuanya tanpa terkecuali kepada umat manusia. Tidak boleh ada ayat yang
ditinggalkan oleh Rasulullah untuk disampaikan, suka ataupun tidak suka. Seluruh ayat-ayat
Allah harus disampaikan oleh Rasulullah baik ayat tersebut berhasil memberi pengaruh
hidayah ataupun tidak. Para ulamaberselisihpendapat soal sejauh mana Rasulullah Saw. Dalam
menafsirkan al-Qur’an kepada para sahabatnya.

12
Muhammad Ismail Ibrahim, Sisi Mulia Al-Qur’an: Agama dan Ilmu (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 42
DAFTAR PUSTAKA

Al-Syathibi Abu Ishaq, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, t.t., jilid II


al-Qaththân Manna’, Mabâhits fî `Ulûm Al-Qur’an, (Beirut: Mansyurât al`Ashr al-Hadis, 1973)
At-Tibyan, Vol. I, No.1 Januari–Juni 2016: 79-80.
(https://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/tibyan/article/view/33/32)

al-Zahabiy Muhammad Husain, Al-Tafsir waAl-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961,
Jilid I
Ibrahim Muhammad Ismail , Sisi Mulia Al-Qur’an: Agama dan Ilmu (Jakarta: Rajawali, 1986)
Kholis Nur, Pengantar Studi al-Qur’an dan al-Hadits (Yogyakarta: Teras, 2008)
Mustaqim Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur'an (Yogyakarta: Adab Press, 2014)
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Al-Qur’an
Shâlih Subhi, Mabâhits fî `Ulûm Al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Kutub li alMalâyin, 1977)
Shihab Quraish, Membumikan Al-Quran

Anda mungkin juga menyukai