Anda di halaman 1dari 16

Makalah

Sejarah Perkembangan Tafsir ke-1

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ilmu
Tafsir

Dosen Pengampu:

Hidayatullah, MA

Disusun oleh:

Maxal Mina El Ashar

Rizkyllah

Abdurrahman Effendi

FAKULTAS USHULUDDIN

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN (PTIQ) JAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tafsir al-Qur‟an sebagai interpretasi terhadap teks al-Qur‟an sudah ada ataupun
dimulai sejak zaman ketika Nabi Muhammad hidup hingga wafatnya sampai saat ini.
Dalam perjalanannya tafsir terhadap al-Qur‟an mengalami perkembangan dan
karakteristik yang berbeda-beda dari masa kemasa.
Penafsiran al-Qur‟an, yang terjadi sejak zaman Nabi Muhammad saw. (571-632 M)
dan masih tetap berlangsung hingga sekarang bahkan dimasa-masa mendatang, sungguh
telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi
pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu al-Qur‟an khususnya tafsir. Menulusuri
sejarah penafsiran al-Qur‟an yang demikian panjang dan tersebar luas di segenap penjuru
dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk menguraikannya secara
panjang lebar dan detail. Apalagi di zaman serba cepat dan instan sekarang ini.
Untuk itu, makalah ini tidak akan menguraikan sejarah penafsiran al-Qur‟an dengan
uraian yang panjang lebar atau meluas dan mendalam serta rinci, akan tetapi pemakalah
hendak mencoba memaparkannya secara singkat dan global.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari masalah di atas, makalah yang ingin dikaji
diantaranya:
1. Bagaimana periode tafsir di masa Nabi Muhammad saw?
2. Bagaimana periode tafsir di masa Sahabat Nabi?

C. Tujuan
Berpijak dari rumusan masalah di atas dan sebagaimana lazimnya suatu kegiatan, arus
mempunyai tujuan. Maka tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui periode tafsir di masa Nabi Muhammad saw.
2. Mengetahui periode tafsir di masa Sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembagan tafsir di masa Nabi Muhammad saw


Seperti ditegaskan al-Qur‟an, tugas utama dan pertama dari kenabian/kerasulan Nabi
Muhammad saw adala untuk menyampaikan al-Qur‟an. Namun, bebarengan dengan itu,
berdasarkan al-Qur‟an pula nai Muhammad saw diberi otoritas untuk menerangkan atau
tepatnya menafsirkan al-Qur‟an. Sehubungan dengan itu, maka memang sungguh amat
tepat penobatan Nabi Muhammad saw oleh para ahli tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur‟an
sebagai qari‟, hafizh dan terutama mufassir pertama (al-mufassir al-awwal) dalam sejarah
tafsir al-Qur‟an.
Tugas-tugas penyampaian, penghafalan, dan penafsiran al-Qur‟an, yang dibebankan
Allah Swt kepada Nabi Muhammad saw itu dapat disimpulkan dari deretan ayat-ayat di
bawah ini:

                

          

67. Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia[430]. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

              

 

27. Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al
Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu
tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya.

             

          

45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji
dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
         

17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan


(membuatmu pandai) membacanya.
18. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.

            



44. Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu


Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan

             

 

64. Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Ayat-ayat di atas jelas memerintahkan Nabi Muhammad saw supaya menyampaikan,


membaca, menghafal, dan menafsirkan al-Qur‟an. Nabi telah melaksanakan tugas-tugas
Qur‟aninya itu dengan prima. Baik sebagai pembaca dan penghafal al-Qur‟an, maupun
sebagai penyampai risalah dan penjelas al-Qur‟an. Bahkan lebih dari itu, beliau telah
melaksanakan tugas sucinya mengamalkan dan mempraktikkan ajaran-ajaran al-Qur‟an
selama lebih kurang 23 tahun (610-632 M).
Nabi mendapatkan pengajaran al-qur‟an berikut penjelasannya dari Allah Swt dan
atau malaikat Jibril sepertidapat diketahui dari ayat-ayat berikut:

          

1. (Tuhan) yang Maha pemurah,


2. Yang Telah mengajarkan Al Quran.
3. Dia menciptakan manusia.
4. Mengajarnya pandai berbicara.
   

5. Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.(An-najm)

Penafsiran yang dibangun Rasululah saw ialah menafsirkan al-qur‟an dengan al-
qur‟an dan menafsirkan al-qur‟an dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian
populer dengan sebutan assunnah atau al-hadis. Jika al-qur‟an sifatnya murni semata-mata
wahyu Allah, baik teks/naskah lafadz maupun maknanya, maka al-hadis kecuali hadis
Qudsi pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat al-qur‟an.
Dengan kalimat lain, sumber tafsir al-qur‟an pada masa Rasulullah saw adalah al-qur‟an
itu sendiri dan kemudian hadis. Adapun mufassir pada masa Nabi Muhammad saw pada
hakikatnya Nabi Muhammad sendiri sebagai mufassir tunggal. Sedangkan para sahabat,
yang tergabung dalam periode mutaqaddimin, baru menafsirkan al-qur‟an setelah wafat
Nabi Muhammad saw.1
Ulama berbeda pendapat mengenai sejauh mana Nabi Muhammad saw menjelaskan
al-qur‟an kepada para sahabatnya, sebagai berikut:
Pertama, syaikhul islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Rasululah saw
menjelaskan semua makna yang terkandung dalam al-qur‟an sebagaimana menjelaskan
lafadz-lafadznya. Namun pendaat ini dibantah sebagai pembuktian yang tidak benar,
karena Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk menjelaskan al-qur‟an yang sulit
dipahami di dalamnya, namun hanya sebagian saja.
Kedua, Al-Khubi dan as-Suyuthi berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw hanya
menjelaskan sedikit saja dari keseluruhan kandungan al-qur‟an kepada para sahabat.
Mereka beralasan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Sayyidah
A‟isyah berkata:
‫ ػومين اايه جربيل‬،‫ما اكن امنيب ملسو هيلع هللا ىلص يفرس شيئا من املرآن اال آاي بؼدد‬
Namun hadis ini juga dibantah sebagai pembuktian yang batil, sebab hadis ini adalah
gharib (tidak dikenal oleh mayoritas muhaddisin).2
Penafsiran yang dilakukan Nabi Muhammad memiliki sifat dan karakteristik tertentu,
di antaranya penegasan makna (bayan tasrif), perincian makna (bayan tafsil). Adapun dari
segi motifnya,penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat-ayat al-qur‟an mempunyai
tujuan pengarahan (bayan irsyad), atau penerapan (tathbiq) dan pembetulan atau koreksi
(bayan tashih).3

1
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A.,M.M., Ulumul Qur’an, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hal 320-
322
2
Mahmud Basuni Faudah, (1985).Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan Dengan Metodelogi Tafsir. Bandung:
Penerbit Pustaka. Hal. 31
33
Abd Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Ujung Pandang:Lembaga Study Kebudayaan
Islam. Hal 59-62
Penafsiran al-qur‟an yang dibangun Rasulullah saw ialah penafsiran al-qur‟an dengan
al-qur‟an dan al-qur‟an dengan hadis atau sunah beliau. Apabila al-qur‟an sifatnya murni
semata-mata dari Allah baik teks atau naskah lafalnya, kecuali hadis qudsi merupakan
hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat al-qur‟an.4 Menurut Mustafa Al-Maragi, penafsiran
Nabi Muhammad saw dapat berupa sunah qauliyyah (perkataan) atau sunah fi‟liyyah
(perbuatan).5 Yaitu sebagaimana teks arabnya:

‫ وكد‬،‫و مما ساػد ػىل ذكل آهو نزل منجام ػىل حسب احلوادث واموكائع يف هيف و غرشين س نة‬
‫ ويفرس‬،‫ و يفصل هلم مجمويا ويوحض هلم مهبميا‬،‫اكهت ثزنل ػويو الية يف واكؼة بؼيهنا فيتدارسيا مع حصبو‬
‫ وىكذا رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص اميادي هلم اىل سواء‬،‫ حىت ال ثبلي يف امنفس بلية من مبس‬،‫هلم مشلكيا‬
‫ واملفرس مكتاب هللا بسنتو املومية وسنتو امفؼوية نام كال‬،‫ وامفاحت هلم ما اس تغوق من آمر ديهنم‬،‫امسبيل‬
‫ثؼاىل ( وآنزمنا اميم اذلهر متبني نوناس ما نزل اههيم ) وىكذا ظل دامئا حىت حلق ابمرفيق الػىل‬
Pada dasarnya, apa yang disabdakan Rasulullah saw yang berkaitan dengan al-qur‟an
merupakan wahyu dari Allah. Diantara penafsiran yang dilakuakan Nabi Muhammad saw
adalah sebagai berikut, ketika Nabi menjelaskan ayat al-qur‟an surat al-anfal ayat 60

     

60. Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi ......

Beliau menjelaskan bahwa kekuatan itu terdapat pada panah. Hal ini dijelaskan
sebagaimana hadis berikut:

)‫غلبة بن ػامر يلول مسؼت رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص وىو ػىل املنرب يلول ( وآػدوا هلم ما اس تطؼمت من كوة‬
‫آال ان املوة امريم آال ان املوة امريم ان املوة امريم‬
Uqbah bin Amir berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda ketika sedang di
atas mimbar, “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuanuntuk menghadapi mereka
dengan kekuatan yang kamu miiki. (QS. Al-Anfal:8). Ingatlah sesungguhnya kekuatan itu
berada pada panah (Nabi bersabda hingga tiga kali)”. (HR Muslim).

4
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung:Tafakur.hal.17
5
Ahmad Mustofa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Bairut: Dar Ihya At-Turas Al-“Arabi, juz 1 hal. 5
Contoh lain adalah penafsiran beliau terhadap surah Al-Fatihah ayat terakhir.6

         

7. (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Pada ayat ini Nabi menafsirkan kata al-magdub (orang-orang yang terkutuk) dengan
orang-orang Yahudi dan kata Ad-Dallin (orang-orang yang sesat) dengan orang Nasrani.
Begitu juga ketika Nabi Muhammad saw membacakan surah Al-An‟am ayat 82 di
bawah ini:

           

82. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk.

Mendengar hal tersebut, para sahabat merasa kaget, kemudian berkata kepada Nabi,
“Wahai Nabi siapakah di antara kami yang tidak terlepas dari perbuatan zalim?”. Maka
Rasulullah saw pun bersabda:

‫ميس ذكل امنا ىو امرشك آمل جسمؼوا ما كال ملامن البنو وىو يؼظو اي بين ال جرشك ابهلل ان امرشك‬
‫مظمل غظمي‬
Bukan seperti itu apa yang kamu sangkakan, melainkan hal itu adalah perbuatan
syirik,tidaklah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh Lukman ketika ia memberikan
pelajaran keada anaknya, “ Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar,” (HR.
Bukhari).

6
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung:Tafakur.hal. 62
B. Perkembangan tafsir di masa Sahabat
Sepeninggal Rasulullah saw (11 H/632 M) selaku mufassir pertama dan mufassir
tunggal pada zamannya, penafsiran al-qur‟an dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi.
Terutama kalangan sahabat senior dan kemudian sahabat-sahabat junior. Dari kalangan
para sahabat, minimal tercatat sepuluh orang mufassir terkenal, yaitu: (1) Abu Bakar As-
Shiddiq (w. 13 H/634 M); (2) Umar Ibn al-Khaththab (w. 23 H/644 M); (3) Utsman bin
Affan (w. 35 H/656 M); (4) Ali bin Ai Thalib (w. 40 H/661 M) yang keempatnya lazim
disebut dengan julukan Al-Khulafa Ar-Rasyidun (para khalifah yang lurus); kemudian (5)
Ibn Mas‟ud (w. 32 H/652 M); (6) Zaid bin Tsabit (w. 45 H/665 M); (7) Ubay bin Ka‟ab
(w. 20 H/640 M); (8) Abu Musa Al-Asy‟ari (w. 44 H/664 M); (9) Abdullah bin Zubair
(w. 73 H/692 M), dan terutama (10) Abdullah bin Abbas (w. 68 H/687 M).
Dari kalangan Khulafa Ar-Rasyidin, Ali bin Abi Thaliblah yang dikenal paing banyak
menafsirkan al-qur‟an. Sedangkan tiga lainnya, terutama Abu Bakar, di samping Umar,
Utsman, relatif tidak banyak terlibat dengan kegiatan menafsirkan al-qur‟an. Selain
karena Utsman, Umar dan terutama Abu Bakar yang secara berturut-turut terlibat
langsung dengan kegiatan dunia politik praktis dengan jabatannya sebagai khalifah; juga
terutama disebabkan usia mereka terutama Abu Bakar yang tidak lama masa hidupnya
dari kematian Nabi Muhammad saw. seperti diketahui, setelah Nabi berpulang ke rahmat
Allah, Abu Bakar secara aklamasi meskipun didahului dengan perdebatan yang cukup
memanas dibaiat untuk menggantikan posisi Nabi selaku pemimpin umat dan negara
(khalifah). Tapi dua tahun kemudian, Abu Bakarpun berpulang ke rahmat Allah.
Meskipun lebih panjang darimasa kekhalifahan Abu Bakar, namun Umar dan Utsman
masing-masing menjadi kalifah selama empat tahun dan dua belas tahun, juga kemudian
meninggal dunia lebih dulu dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib.
Faktor ain yang menyebabkan Ali lebih banyak menafsirkan al-qur‟an dibandingkan
dengan tiga khalifah lainnya,ialah karena Ali telah memeluk Islam sejak masa kanak-
kanak. Jadi, berbeda dengan ketiga sahabat lainnya terutama Umar di samping Abu Bakar
yang memeluk Islam setelah usia dewasa atau bahkan memasuki usia relatif tua.
Tidak sama denan para khalifah di atas, yang sebagian besar waktunya tersita dengan
pelayanan masyarakat/warga negara, para sahabat lain yang telah disebutkan di atas
terutama Ibn Abbas, yang mendapat julukan terjuman al-qur‟am (juru bicatra al-qur‟an),
hibr/habr al-„ilm wa al-ummat (sumber ilmu umat) dan syaykh al-mufassirin (guru besar
mufassir), serta mendapat doa khusus dari Nabi dalam hal penakwilan al-qur‟an,
dinyatakan sebagai sahabat yang aling banyak terlibat dengan penafsiran al-qur‟an. Posisi
Ibnu Abbas sebagai mufassir, benar-benar sangat melegenda di kalangan masyarakat dan
terutama para pegiat tafsir. Namun demikian, tidak berarti sahabat-sahabat lain di luar
IbnAbbas tidak memiliki andil besar (saham) bagi pengembangan tafsir al-qur‟an. Sebab
para sahabat besar lain terutama Ibn Mas‟ud, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa
al-Asy‟ari dan Abdullah bin Zubair juga banyak terlibat dengan penafsira Mn al-qur‟an.7
Seiring dengan mereka, para sahabat junior Nabi juga turut mengembangkan
penafsiran al-qur‟an. Di antara mereka tercatat nama-nama besar semisal Anas bin Malik

7
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A.,M.M., Ulumul Qur’an, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hal 320-
323
(w. 93 H/711 M), Abu Hurairah (w. 85 H/704 M), Abdullah bin Umar (w. 73 H/692 M),
Abdullah bin Amr bin al-Ash (w. 65 H/684 M), dan Aisyah r.a(w. 57 H/676 M). Hanya
saja, dibandingkan keenam sahabat senior yang mendahuluinya, para sahabat junior tidak
berkonsentrasi kepada penafsiran al-qur‟an. Sebab, keahlian sahabat junior ini
kebanyakan memang bukan dalam bidang tafsir. Abu Hurairah misalnya, lebih popular di
bidang hadis. Sedangkan Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, dan Ubaidillah bin Amr
bin Ash lebih menonjol dalam bidang fikih. Demikian pula dengan Aisyah r.a yang lebih
akrab dengan dunia hukum halal-haram (fikih) khususnya dalam bidang faraid (kewarisan
Islam). Sungguhpun demikian, semua cabang ilmu yang digeluti mereka itu
bersumberkan al-qur‟an dan bisa digunakan untuk menafsirkan al-qur‟an
Tentang kedudukan, peranan dan keterlibatan sahabat daam pengembangan tafsir al-
qur‟an, tentu tidak diragukan lagi kebenarannya. Sebagian ahli tafsir dan hadis, di
antaranya Al-Hakim dalam karyanya al-Mustadrak menyatakan bahwa tafsir As-Shahabi
yang pemiliknya (para sahabat) menyaksikan proses penurunan wahyu al-qur‟an, dapat
dikatakan menduduki derajat hadis marfu‟ yakni hadis yang sanadnya dianggap sampai
kepada Nabi. Dengan demikian, maka tafsir sahabat itu seolah-olah diriwayatkan dari
Nabi Muhammad saw.8

1. Sumber Tafsir Sahabat


Para sahabat dalam menafsirkan al-qur‟an pada masa ini berpegang pada:
1) Al-Qur‟anul Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat
dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang
dalam bentuk muthlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat lain yang
membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan tafsir qur‟an dengan qur‟an.
Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya. Misalnya, kisah-kisah dalam al-qur‟an
yang ditampilkan secara ringkas di beberapa tempat, kemudian di tempat lain datang
uraiannya panjang lebar. Contohnya firman Allah:

......        

“Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu...”

(Q.S Al-Maidah :1), ditafsirkan oleh ayat:

......   

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.....” (Q.S Al-Maidah: 3)

Dan firman-Nya:

8
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A.,M.M., Ulumul Qur’an, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hal 320-
324
......   

. “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata...” (Q.S Al-An‟am:103), ditafsirkan
oleh ayat:

   

23. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. (Q.S Al-Qiyamah)9

2) Nabi Muhammad saw, mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan al-
qur‟an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan
kesulitan dalam memahami sesuatu ayat. Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: rasulullah
saw bersabda:”Al-Kausar adalah sungai yang diberikan tuhan kepadaku di surga.”10
Kitab-kitab himpunan sunnah telah menyajikan satu bab khusus memuat tafsir bil-ma‟tsur
dari Rasulullah saw. Dalam hal ini Allah berfirman:

             

 

64. Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Di antara kandungan al-qur‟an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta‟wilnya
kecuali melalui penjelasan Rasulullah saw. Misalnya, rincian tentang perintah dan
larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yaang difardhukan-Nya. Inilah
yang dimaksud dengan perkataan Rasululla: “Ketahuilah, sungguh telah diturunkan
kepadaku al-qur‟an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya...”

3) Pemahaman dan ijtihad


Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al-qur‟an dan tidak pula
mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah saw, mereka
melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemapuan nalar. Ini mengingat nereka
adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa arab, memahaminya dengan
baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balagahan yang ada di dalamnya.
Di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-qur‟an adalah empat
khalifah, Ibn Mas‟ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy‟ari,
Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, jabir bin Abdullah, Adullah

9
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Litera Antar Nusa, Bogor, 1996 hal. 470
10
Hadis Ahmad dan Muslim
bin Amr bin Ash dan Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya
penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada mereka dan
kepada sahabat yang lain di berbagai tempat tafsir bil ma‟tsur yang tentu saja berbeda
derajat keshahihannya dan ke dhaifannya dilihat dari sudut sanad.
Tidak diragukan lagi, tafsir bil ma‟tsur yang berasal dari sahabat mempunyai nilai
tersendiri. Jumhur ulama berpendapat, tafsir sahabat mempunyai status hukum marfu‟
(disandarkan kepada Rasulullah). Bila berkenaan dengan asbabun nuzul dan semua hal
yang tidak mungkin dimasuki ra‟yi. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki ra‟yi maka
statusnya adaah mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan kepada
Rasulullah.
Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir yang mauquf pada sahabat,
karena merekalah yang paling ahli bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan
situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka. Di samping mereka mempunyai daya
pemahaman yang shahih.11
Imam Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan berkata:”Ketahuilah, al-qur‟an itu ada dua
bagian. Satu bagian penafsirannya datang berdasarkan naql (riwayat) dan bagian yang
lain tidak dengan naql. Yang pertama, penafsiran itu adakalanya dari Nabi, sahabat, atau
tokoh tabi‟in. Jika berasal dari Nabi, hanya perlu dicari keshahihan sanadnya. Jika berasal
dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan darisegi bahasa? Jika
ternyata demikian maka mereka adalah orang yang paling mengerti tentang bahasa Arab,
karena itu pendapatnya dapat dijadikan pegangan, tanpa diragukan lagi. Atau jika mereka
menafsirkan berdasarkan asbab nuzul atau situasi kondisi yang mereka saksikan, maka
hal ini pun tidak diragukan lagi.”12
Pada masa ini tidak ada sedikitpun tafsir yang dibukukan, sebab pembukuan baru
dilakukan pada abad ke-2. Di samping itu tafsir hanya merupakan cabang dari hadis, dan
belum mempunyai bentuk yang teratur. Ia diriwayatkan secara bertebaran mengikuti ayat-
ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sitimatika ayat-ayat al-qur‟an dan
surah-surahnya. Di samping juga tidak mencakup keseluruhannya.

2. Mufassir Dari Kalangan Sahabat

Menurut Imam Suyuthi dalam kitab Al-Itqon Fi Ulum al- Qur‟an, sahabat yang
masyhur itu ada 10. 4 Khulafaa Ar-Rasyidin, Ibnu Mas‟ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka‟ab,
Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy‟ari, Abdullah bin Zubair.13Adapun Khulafaa Ar-
Rasyidin, mayoritas meriwayatkan langsung dari Nabi Muhammad saw. Sedangkan para
sahabat yang lainnya mendapatkannya dari Khulafaa Ar-Rasyidin. Para Khulafaa Ar-
Rasyidin ini mempunyai ilmu dan pengetahuan yang luas dalam bahasa Arab, mereka
sering berinteraksi langsung dengan Nabi Muhammad, yang memungkinkan mereka

11
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Litera Antar Nusa, Bogor, 1996 hal. 472
12
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqon, jilid 2, halaman 183
13
Al-Imam Jalaluddin ‘Abd Ar-Rahman Bin Abi Bakr As-Suyuthi, Al-Itqãan Fi Ulum Al-Qur’an, h. 587
menyaksikan langsung ketika al-qur‟an diturunkan.14 Dari biografi Khulafa Ar-Rasyidin
kita sudah banyak mengenal maka pada makalah ini, saya sedikit membahas biografi
mufassir dari kalangan sahabat yang bukan termasuk Khulafa Ar-Rasyidin di antaranya:

1. Ibnu Abbas
Nama lengkapnya yaitu, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin
Abdi Manaf Al-Quraisy Al-Hasyimi. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad saw. Beliau
dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah di kampung Syab Ali Mekah. Ibunya bernama
Ummu Al-Fadhil Lubabah Al-Kubra binti Al-Haris bin Hilaliyyah.15
Ibnu Abbas adalah seorang maestro al-qur‟an. Pengetahuannya tentang al-qur‟an
sangat mendalam, sehingga dijuluki dengan Tarjuman Al-Qur‟an (penerjemah al-
qur‟an).16

Ibnu Abbas wafat di Thaif paada usia 76 tahun. Dan dimakamkan di sana. Banyak
riwayat yang beliau terima, ada yang shahiih, dhaif, hasan dan maudhu‟.17

2. Ibnu Mas‟ud
Ibnu Mas‟ud adalah termasuk dalam golongan As-Sabiqun Al-Awwalun (orang yang
pertama memeluk Islam). Beliau juga terkenal dengan sebutan Ibnu Umm Abd yang
berarti putra dari budak wanita. Setelah masuk Islam, beliau selalu mengikuti Nabi,
bahkan dikabarkan beliau menjadi pembantu khusus Nabi, termasuk dalam persoalan
rumah tangga Nabi. Karena itu, beliau mengetahui semua gerak-gerik Nabi Muhammad.
Tak heran beliau dijuluki sebagai orang yang paling dekat dengan Nabi Muhamad dari
segi karakter.
Dan pada masa pemerintahan Khalifah Umar, beliau di kirim ke Kuffah sebagai
hakim dan kepala pembendaharaan negara (bait al-mal). Beliau kemudian dikirim ke
Madinah dan sampai wafat di Madinah pada tahun 32 H, pada usia lebih dari 60 tahun.
18
Beliau banyak meriwayatkan tafsir dari Ali bin Abi Thalib.
3. Ubay bin Ka‟ab
Ubay bin Ka‟ab lahir di Madinah. Beliau berasal dari Bani Najjar. Tidak ditemukan
lebih tepatnya beliau lahir. Namun sejarah mencatat bahwa Ubbay bin Ka‟ab masuk
Islam setelah Nabi Muhammad saw hijrah.
Ubay bin Ka‟ab merupakan salah satu dari segelintir sahabat Anshar yang pandai
dalam tulis menulis dan sudah diakui oleh orang Madinah. Selain itu, beliau dikenal
dengan Sayyid Al-Qurra (pemimpin para penghafal qur‟an).

14
M. Hasbi Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, h. 214
15
Saiful Amin Ghofur, Profil Mufassir Al-Qur’an, h. 33

16
Berdasarkan riwayat yang menurut Al-Baihaqi dalam kitab ‚Ad- Dalaail‛. Al-Imam Jalal Al-Din ‘Abd Ar-
Rahman Bin Abi Bakr As-Suyuthi, Al- Itqan Fi Ulum Al-Qur’an, h. 588

17
Mahmud Basuni Faudah, (1985).Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan Dengan Metodelogi Tafsir. Bandung:
Penerbit Pustaka. Hal. 42
18
Saiful Amin Ghofur, Profil Mufassir Al-Qur’an, h. 39
Minimnya informasi tentang Ubay bin Ka‟ab juga terjadi pada tahun wafatnya,
sehingga tidak dapat ditetapkan dengan pasti beliau wafat. Sumber lain menyebutkan
beliau wafat pada tahun 19 H, bahkan ada yang berpendapat pada 30 H.19
4. Zaid bin Tsabit
Nama lengkap Zaid bin Tsabit bin Ad-Dhahak bin Zaid bin Lauzan adalah seorang
penulis wahyu dan termasuk Huffadzulqur‟an pada masa Khalifah Abu Bakar,20namun
pada awalnya Zaid bin Tsabit menolak dengan alasan menulis wahyu tidak ada pada saat
Nabi Muhammad saw masih hidup, bahkan beliau mengatakan bahwa menulis lebih
berat daripada memindahkan gunung.21
5. Abu Musa al-asy‟ari
Abu Musa al-asy‟ari berasal dari Yaman. Beliau tergolong orang yang pertama masuk
Islam. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau ikut hijrah ke Abisinia dan baru
kembali lagi pada masa penaklukan Khaibar. Pada tahun 17 H, beliau dinobatkan
menjadi Gubernur Bashrah oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Abu Musa Al-Asy‟ari terlibat dalam perang Shiffin pada tahun 37 H antara Ali dan
Mu‟awiyah. Ketika itu beliau bertindak sebagai arbitrator untuk Khalifah. Menurut
sebuah sumber mengatakanbahwa pada tahun 42 H wafat di Kufah.22
6. Abdullah bin Zubair
Adalah salah satu orang yang mengklaim kekhalifahan setelah kematian Mua‟awiyah
dan mendirikan kekhalifahan keluarga Zubair di Makkah. Ia adalah anak dari Zubair bin
Awwam. Karena ia masih kecil pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw, maka ia
disebut dengan sahabat kecil. Ia adalah kaum Muhajirin dari kalangan anak-anak yang
pertama kali lahir di Madinah

3. Karakteristik Tafsir Sahabat


Ada beberapa ciri khusus tafsir pada masa sahabat, yang terpenting daripsadanya
ialah:
a. Mereka tidak menafsirkan al-qur‟an secara keseluruhan, karena para sahabat hanya
menafsirkan sebagian ayat al-qur‟an yang benar-benar mereka dalami dan kuasai.
Namun, dengan berinteraksi dengan sesama mereka, tafsir al-qur‟an pun akhirnya
berproses menuju ke arah yang lebih lengkap dan sempurna karena penafsiran
mereka itu kemudian dirajut oleh generasi berikutnya.
b. Pada periode sahabat, pervedaan penafsiran al-qur‟an di kalangan mereka relatif
sedikit, karena selain secara politis para sahabat masih tetap utuh dan padu, juga
terutama belum terlalu banyak permasalahan yang mereka hadapi. Tambahan lagi
rata-rata sahabat kebanyakan mampu menafsirkan al-qur‟an itu sendiri.
c. Penafsiran yang dilakukan para sahabat pada umumnya lebih menekankan
pendekatan pada al-ma‟na al-ijmali (pengertian kosa kata secara global), dan tidak
melakukannya secara panjang lebar dan mendetail. Mereka telah menganggap cukup

19
Saiful Amin Ghofur, Profil Mufassir Al-Qur’an, h. 44
20
Mahmud Basuni Faudah, (1985).Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan Dengan Metodelogi Tafsir. Bandung:
Penerbit Pustaka. Hal.42
21
Saiful Amin Ghofur, Profil Mufassir Al-Qur’an, h. 45
22
Ibid. Hal.45
menafsirkan al-qur‟an secara umum sekadar untuk membantu mereka memahami
makna asli dari ayat-ayat al-qur‟an. Kondisi kehidupan generasi sahabat yang
umumnya sederhana dan tidak masalah merupakan faktor tersendiri bagi kehadiran
penafsiran yang serba sederhana.
d. Membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughawi (etimologis) dalam ungkapan
sederhana dan singkat; tanpa menggunakan metodologi penafsiran yang rumit
(takwil) seperti yang berkembang kemudian.
e. Jarang mengistinbathkan hukum-hukum fiqhiyyah dari ayat-ayat al-qur‟an, apalagi
jika istinbath hukum itu sendiri lebih mengedepankan semangat pembelaan kepada
mazhab-mazhab fikih yang di zaman generasi sahabat memang belum terjadi.
f. Tafsir al-qur‟an sama sekali belum dibukukan; mengingat zaman pembukuan lahir
jauh setelah generasi tabi‟in.
g. Pada generasi sahabat, penafsiran al-qur‟an pada umumnya dilakukan dengan
menguraikan hadis, bahkan tafsir itu merupakan bagian (cabang) dari hadis.23
4. Tafsir Ibnu Abbas
Satu jilid besar tentang tafsir dinisbatkan kepada (dinyatakan berasal dari Ibnu
Abbas). Tafsir ini telah dicetak beberapa kali di Mesir dengan nama Tanwirul Miqbas min
Tafsiri Ibni Abbas. Kitab ini dihimpun oleh Abu Tahir Muhammad bin Ya‟qub Al-
Fairuzabadi Asy-Syafi‟i, pengarang kamus al-muhit.
Ibnu Abbas adalah seorang sahabat yang dikenal dengan julukan “Tarjuman Al-
Qur‟an”. Umar bin Khattab sendiri sangat menghormati dan mempercayai tafsir-
tafsirnya. Pada beberapa bagian tafsirnya, Ibnu Abas terkadang mengutip dari Ahli Kitab
keterangan-keterangan yang sesuai antara al-qur‟an dengan taurat dan injil. Namun hal
demikian amatlah terbatas.
Prof.Goldziher dalam bukunya Al-Mazahibul Islamiyah fi Tafsiril Qur‟an menuduh
Ibnu Abbas telah mengutip secara bebas dan tanpa batas dari ahli kitab. Tuduhan serupa
dilontarkan pula oleh Prof. Amad Amin dalam bukunya Fajrul Islam. Namun kemudian
keduanya disanggah oleh Prof. Muhammad Husain Az-Zahabi dalam bukunya At-Tafsir
wal Mufassirun. Ibnu Abbas, seperti halnya sahabat-sahabat yang lain, tidak akan
bertanya kepada tokoh-tokoh Yahudi yang memeluk tentang sesuatu yang berhubungan
masalah akidah atau berkaitan dengan pokok-pokok agama atau cabang-cabangnya.
Tetapi ia hanya menerima keterangan-keterangan yang tidak diragukan lagi kebenarannya
mengenai kisah dan cerita orang-orang terdahulu .
Ibnu Abbas, berbeda dengan sahabat yang lain, dalam memahami makna lafaz-lafaz
al-qur‟an banyak merujuk pada syair-syair Arab, karena pengetahuannya tentang seluk
beluk bahasa arab dan pemahamannya akan sastra Arab kuno sangat tinggi dan luas.24

23
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A.,M.M., Ulumul Qur’an, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hal 320-
325
24
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Litera Antar Nusa, Bogor, 1996 hal. 499
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟anul Karim;
Suma, Muhammad amin, Uumul Qur‟an, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Al-Qattan, Manna‟ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, Bogor: Litera Antar Nusa,
1996.
Ghafur, Saiful Amin, Profil Mufassir Al-Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka insani Madani,
2008.
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-Tafsir Al-Qur‟an, Perkenalan Dengan Metodelogi
Tafsir, Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.
Ash-Shidieqy, Muhammad Hasbie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir, Semarang: Bulan Bintang, 1977.
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2011.
Al-Maragi, Ahmad Mustofa, Tafsir Al-Maragi, Bairut: Dar Ihya At-Turas Al-„Arabi
Salim, Abdul Muin, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur‟an, Ujung Pandang:
Lembaga Study Kebudayaan Islam.
As-Suyuthi, Al-Imam Jalal Al-Din „Abd Ar-Rahman Bin Abi Bakr, Al- Itqan Fi Ulum
Al-Qur‟an, Bairut: Muassasah Ar-RisalahNashirun, 2008.
Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, At-Tafsir Wal Mufassirun, Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000.

Anda mungkin juga menyukai