Anda di halaman 1dari 15

METODE DAN PRAKTEK PENGAJARAN TAFSIR

MEMPERAKTEKAN CARA MENAFSIRKAN REDAKSI AYAT SECARA BENAR

Di Susun Oleh :

Gusti Ananda (1920304041)

Nadia Azkiya (1910304002)

Wardah Febrianti (2020304046)

Dosen Pengampu :

EKO ZULFIKAR, S.Th.I, M.Ag

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH PALEMBANG

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan rahmat, taufik dan
Hidayah-Nya, Sehingga kami mampu menyelesaikan tugas yang di berikan yang berjudul
“MEMPERAKTEKAN PENAFSIRAN REDAKSI AYAT DENGAN BENAR “ Tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
Eko Zulfikar, S.Th.I, M.Ag pada Mata Kuliah Metode dan Praktek Pengajaran Tafsir. Selain
Itu pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang
“Metode Takrir (Mengulang) Dalam Pengajaran Al-Qur’an.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Eko Zulfikar, S.Th.I, M.Ag selaku
Dosen Pengampu Mata Kuliah Metode dan Praktek Pengajaran Tafsir yang telah memberikan
Tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
Yang kami tekuni.

Kami menyadari, tentulah dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran untuk menyempurkan makalah yang kami
Buat.

Palembang, 26 Mei202

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................

Kata Pengantar ..............................................................................................

Daftar Isi .........................................................................................................

Bab I Pendahuluan ........................................................................................

1. Latar Belakang ...................................................................................


2. Rumusan Masalah .............................................................................
3. Tujuan Pokok .....................................................................................

Bab II Pembahasan ........................................................................................

1. Sejarah Dan Pengertian Tafsir Al-Qur’an ......................................


2. Kaidah-Kaidah Tafsir .......................................................................
3. Metode Penafsiran Al-Qur’an ..........................................................

Bab III Penutup……………………………………………………………...

Kesimpulan .........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Tafsir Al-Qur’an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan


yang bersangkutan dengan al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan al-Qur'an, khususnya
menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Kebutuhan umat
Islam terhadap tafsir al-Qur'an, sehingga makna-maknanya dapat dipahami secara
penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka melaksanakan
perintah Allah (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.
Dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya
pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang
menyangkut Al-Qur'an dan isinya. Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut
dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an (ilmu-ilmu Al-Qur'an).
Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir
isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan
dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat,
tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
Usaha menafsirkan Al-Qur'an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat
Nabi ‫ ﷺ‬sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H),
‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para
sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dibandingkan dengan
sahabat-sahabat yang lain.1

2. Rumusan Masalah
a. Apa sejarah dan pengertian dari tafsir al-Qur’an?
b. Apa saja kaidah-kaidah yang diperlukan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an?
c. Bagaimana metode dalam menafsirkan al-Qur’an ?

3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui sejarah dan pengertian tafsir al-Qur’an!
b. Untuk mengetahui kaidah-kaidah tafsir al-Qur’an!
c. Untuk mengetahui bagaimana metode tafsir tersebut!
d. Untuk mengetahui bagaimana cara menafsirkan redaksi ayat secara benar!
e. Dan untuk mengatasi supaya tidak salah tafsir mentafsir ayat Al-Qur’an !

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Pengertian Tafsir Al-Qur’an


1. Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Allah swt menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi umat manusia
yang sesuai dengan fitrah-nya. Ia turun membawa hukum-hukum dan syariat secara
berangsur-angsur menurut konteks peristiwa dan kejadian dalam kurun waktu lebih
dari dua puluh dua tahun. Namun, hukum-hukum dan syariat ini tidak dapat
dilaksanakan sebelum arti, maksud dan inti persoalannya betul-betul dimengerti dan
dipahami. Maka dari itu, Nabi saw selalu menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya
tentang arti dan kandungan al-Qur’an, menjabarkan maksudnya yang bersifat global,
menjelaskan artinya yang samar-samar, dan memecahkan berbagai problema yang
mereka hadapi, sehingga tidak ada lagi keraguan dan kerancuan di benak para
sahabat.Nabi saw benar-benar berfungsi sebagai seorang penyuluh yang mampu
menunjukkan jalan lurus, sekaligus menjelaskan pengertian-pengertian agama yang
sulit dicerna oleh para sahabat. Nabi saw juga sebagai penafsir al-Qur’andengan
sunnah-sunnahnya baik qauli maupun fi’li.
Hal ini telah dijelaskan Allah swt dalam al-Qur’an.Artinya : Dan kami
turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. Al-Nahl
[16] : 44). Keadaan yang demikian ini, berlangsung sampai dengan wafatnya
Nabisaw. Walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua bisa kita
ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Nabi
saw tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.1 Namun demikian penjelasan-
penjelasan terhadap isi dan kandungan al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi saw
tersebut, menandakan bahwa tafsir ini telah lahir dan benih pertamanya muncul oleh
dan di masa Nabi saw.
1. Tafsir pada masa Rasulullah Saw.

Pada saat al-Qur‟an diturunkan, Rasulullah Saw berfungsi sebagai mubayyin


(pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan
kandungan al-Qur‟an, khususnya menyangkut ayat-ayatyang tidak difahami atau
samar artinya. Hal ini karena beliau adalah objek yang diberikan wahyu, dan
didatangkan dari Allah SWT, sebagaimana firman Allah dalam QS. an Nahl: 44
Artinya :Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitabkitab. dan Kami turunkan
kepadamu al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
1
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran- Aliran Tafsir Periode Klasik,
Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, (Yogakarta, Adab Press, 2012), h. 3

5
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS. an Nahl: 44) Maka
tentunya, semua penjelasan dan keterangan yang dating dari Rasulullah Saw dengan
sanad dan shahih, adalah tidak diragukan lagi, bahwa ia merupakan kebenaran yang
wajib menjadi pegangan.

2. Tafsir pada Masa Sahabat.


Pada periode ini, para sahabat pada dasarnya telah dapat memahami al-Qur’an
secara global saja atas dasar pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab sebagai
bahasa pokok al-Qur’an, sedang pemahaman mereka secara detail atas makna al-
Qur’an kiranya masih memerlukan penjelasan. Penafsiaran sahabat terhadap al-Quran
senantiasa mengacu kepada inti dan kandungan al-Qur’an, mengarah kepada
penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat
serta menggambarkan makna yang tinggi jika kesemuanya itu ditemukan dari ayat-
ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan tentang keadaan
umat terdahulu, untuk kesemuanya itu, para shahabat banyak merujuk kepada
pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunya ayat dan peristiwa-peristiwa yang
menjadi sebab turunya ayat. Oleh karenanya, maka mereka tidak mengkaji segi
nahwu, I’rab dan macam-macam balaghoh, yaitu ilmu Ma’any, bayan, dan badi’
majaz dan kinayah.2

3. Tafsir pada Masa Tabi’in


Jika kita menyebut ahli tafsir dari golongan tabi’in sesungguhnya sejumlah
mereka amat banyak, lebih banyak dari para sahabat, dimana jumlah mereka hanya
sekitar 10 orang saja, sebagaimana yang telah disebutlkan oleh Imam As Suyuthi
dalam kitabnya al Itqan, serta telah penyusun sebutkan dimuka namanama mereka. Di
kalangan tabi’in banyak ahli tafsir dan kemasyhuran mereka semakin bertambah luas,
dimana banyak tokoh penting muncul dikalangan mereka yang telah memberikan
sumbangan besar dalam menafsirkan al-Quran, sehingga sebagian besar pendapat ahli
tafsir adalah hasil tukilan dari mereka.

4. Tafsir pada masa modern (kontemporer)


Sementara kata kontemporer berarti seza-man atau sewaktu. Di dalam kamus
Oxford Learner’s Pocket Dictionary dijelaskan, ada dua pengertian dari
contemporary. Pertama belonging to the same time(termasuk waktu yang sama), dan
yang kedua, of the present time; modern (waktu sekarang atau modern). 3 Sedangkan
dalam bahasa Indonesia, kontemporer adalah pada masa kini atau dewasa ini.Pada
dasarnya tidak ada kesepakatan yang jelas tentang arti istilah kontemporer. Misal-nya
apakah istilahkontemporer meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20
s.d 21. Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan periode kontemporer adalah
yaitu sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.
Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer identik dengan modern, keduanya

2
Imam Musbikin, Mutiara Al-Qur’an Khazanah Ilmu Tafsir Dan Al-Qur’an, (Yogyakarta, Jaya Star Nine,
2014), h. 29
3
Rosihon Anwar, dkk, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, Bandung, 2015), h. 167

6
saling saling digu-nakan secara bergantian. Dalam konteks pera-daban Islam
keduanya dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia Islam dengan Barat.
Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer disini mengacu pada pengertian era
yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern.4
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwaTafsir Kontemporer ialah Tafsir
atau penjelasan ayat Alquran yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini.
Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni usaha untuk
menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan
mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta
kondisi sosial masyarakat.

2. Pengertian Tafsir
Tafsir secara etimologi mengikuti wazan taf’il, berasal dari kata fasr yang
berarti al-idah, al-sharh} dan al-bayan(penjelasan atau keterangan). Ia juga berarti al-
ibanah (menerangkan), al-kashf (menyingkap) dan izhar al-ma’na al-
ma’qumenampakkan makna yang rasional). Ada yang mengatakan bahwa tafsir
berasal dari safru (dengan menukar tempatnya sin dengan fa’) sepertikata orang Arab,
“asfara al-subh idha ada’a” artinya apabila shubuh itu telah bersinar. Adapula yang
mengatakan ia berasal dari kata tafsirah, yaitu nama dari alat yang digunakan oleh
dokter untuk mengetahui keluhan pasiIbn Manzur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan
bahwa “fasr” adalah menyingkap sesuatu yang tertutup dan tafsir adalah menyingkap
makna yandikehendaki dari lafadz yang musykil.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa tafsir secara etimologis
dapat dipakai untuk menyingkap sesuatu yang bersifat indrawi dan dapat pula
digunakan untuk menyingkap sesuatuyang bersifat maknawi (makna rasional dari
suatu teks).Namun demikian pemakaian tafsir untuk yang kedua lebih banyak dari
pada pemakaiannya untuk yang pertama.Adapun kata tafsir dengan makna keterangan
dan penjelasan terdapat dalam salah satu ayat al-Qur’an yang artinya:Tidaklah orang-
orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil melainkan kami
datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS.
Al-Furqan [25] : 33).
Abu Hayyan mendefinisikan tafsir dengan “Ilmu yang membahas tentang tata
cara mengucapkan (membunyikan) lafadz-lafadz al-Qur’an, sesuatu yang
terindikasikan darinya, hukum-hukumnya baik mengenai kata-kata tunggal maupun
tarkib, makna-makna yang menjadi implikasi keadaan susunannya dan segala sesuatu
yang dapat menyempurnakannya (yang termasuk dalam hal ini dalah mengetahui
nasakh, sebab-sebab turunnya ayat, kisah-kisah yang dapat menjelaskan sesuatu yang
masih samar (mubham) dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya).”
Dari definisi yang dikemukakan di atas, perlu digarisbawahi bahwa tafsir
adalah upaya untuk menjelaskan tentang arti atau maksud dari firman-firman Allah
SWT sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir),” dan sebagai konsekwensi dari

4
Fatihuddin, Sejarah Ringkas Al-Qur’an Kandungan Dan Keutamaannya, (Yogyakarta: Kiswatun Publishing,
2015), h. 18

7
perbedaan latar belakang keilmuan dan kemampuanyang terdapat pada masing-
masing mufassir, maka keanekaragaman penafsirantidak dapat terelakkan. Dalam hal
ini, para sahabat Nabi SAW sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya
wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan
arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat dalam pemahaman mereka tentang
maksud firman-firman Allah SWT yang mereka dengar atau yang mereka baca itu.
Dengan demikian pernyataan yang menegaskan bahwa “yang paling paham
dan mengerti tentang maksud dari suatu perkataan adalah orangnya
sendiri”,nampaknya juga berlaku bagi al-Qur’an. Sedangkan yang bisa dilakukan
olehorang yang mengkaji dan menelaahnya adalah sebatas berupaya dengan sungguh-
sungguh serta mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki untuk memahami
maksud-maksud yang terkandung dalam ayat-ayatnya. Kemudian apakah pemahaman
yang telah dihasilkan dari upaya maksimal tersebut benar atau salah, hal itu berada di
luar kemampuan manusia.

B. Kaidah-kaidah Tafsir
a) Ayat-Ayat Al-Qur'an

Upaya pertama yang harus dilakukan dalam memahami dan menafsirkan ayat
al-Qur'an adalah dengan menengok dan mengkaji tentang ayat-ayat lainnya yang
memiliki keterkaitan. Sebab, ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur'an saling
membenarkan dan menjelaskan. Allah berkalam:

ِ َ‫ت ِ ِّمنَ ْال ُه ٰدى َو ْالفُرْ ق‬


‫ان‬ ِ َّ‫ِي ا ُ ْن ِز َل فِ ْي ِه ْالقُرْ ٰانُ هُدًى ِلِّلن‬
ٍ ‫اس َوبَيِِّ ٰن‬ ْ ‫ضانَ الَّذ‬
َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
{Beberapa hari yang ditetapkan itu adalah bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan permulaan al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang
hak dengan yang batil (QS al-Baqarah/2: 185).(2)

Apa yang diungkapkan secara global diperinci pada ayat lain, apa yang
tampak samar pada satu tempat dijelaskan di tempat lain, apa yang diungkapkan
secara mutlak pada suatu tempat dipersempit pada tempat lain, dan apa yang diungkap
umum pada suatu tempat dikhususkan pada ayat lain. Karenanya, ayat-ayat dan nash-
nash harus senantiasa dikonfirmasikan satu sama lain, sehingga pemahamannya
menjadi sempurna, dan dapat ditangkap pamahaman yang dimaksud dari nash itu.(3)

1. Hadist/Sunnah Nabi

Terdapat banyak riwayat yang menceritakan bahwa Rasul Allah menjelaskan


kata-kata al-Qur’an yang rumit dan makna-maknanya yang ambigius kepada para
sahabat. Karenanya, Ibnu Taymiyyah menegaskan,”wajib diketahui bahwa Nabi telah
menjelaskan makna-makna al-Qur’an, sebagaimana telah menjelaskan lafal-lafalnya”.
Seperti ketika Rasul Allah ditanya oleh Adi bin Hatim tentang penyembahan pengkut
Nasrani dan Yahudi dalam kalam Allah, yang artinya :

8
‫َّل ا ِٰلهَ اِ ََّّل ه َۗ َُو‬
ْٓ َ ‫ّٰللا َوالْ َم ِسيْ َح ابْنَ َمرْ يَ َۚ َم َو َمآْ اُ ِم ُر ْْٓوا ا ََِّّل ِليَعْبُد ُْْٓوا ا ِٰلها َّواحِ د َۚا‬
ِ ‫ارهُ ْم َو ُر ْهبَانَ ُه ْم اَرْ بَابا ِِّم ْن د ُْو ِن ه‬َ َ‫اِتَّ َخذُ ْْٓوا اَ ْحب‬
ُ
َ‫ع َّما يُ ْش ِرك ْون‬
َ ‫سُبْحٰ نَ ٗه‬
{Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
Tuhan selain Allah, dan mereka juga mempertuhankan al-Masih putera
Maryam (QS al-Taubah/9: 31)}.
2. Tafsir Sahabat

Para sahabat adalah murid madrasah Rasul Allah. Dari madrasah inilah para
Sahabat mendapatkan ilmu dan memperoleh pemahaman. Maka jika ada riwayat
Yang shahih dari sahabat ra tentang tafsir tertentu, kita harus membuka pendengaran
kita dengan serius. Sebab, mereka menyaksikan langsung sebab turunnya ayat-ayat al-
Qur’an, mengetahui qarain atau indikator yang menyertainya dan mereka mendengar
apa yang tidak didengar oleh orang selain mereka. Di samping juga karena ketinggian
kemampuan bahasa mereka yang terakumulasi dari pergaulan dan lingkungan hidup
mereka, kejernihan pemahaman mereka, dan kekuatan keyakinan mereka. Ibnu
Mas’ud berkata: Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada satu ayat pun
yang turun kecuali aku mengetahui untuk siapa diturunkan dan di mana diturunkan.
Sekiranya aku mengetahui ada seseorang yang lebih pandai tentang Kitabullah
daripada aku yang dapat didatangi dengan mengendarai kendaraan niscaya aku akan
mengunjunginya.5 Terhadap Ibnu ‘Abbas, Rasul Allah mendo’akannya: {Ya Allah,
berilah ia pemahaman dalam urusan agama, dan ajarkanlah dia takwil atau tafsir (HR
Ahmad).

Karena itulah, kita harus memperhatikan penafsiran para sahabat. Terutama


jika mereka bersepakat terhadap penafsiran itu. Karena kesepakatan mereka
menunjukkan bahwa penafsiran itu mempunyai dasar dari sunnah Nabi, meskipun
mependapat mereka yang lebih dekat kepada kebenaran, atau menambahkan
pemahaman baru kepadanya. Karena, perbedaan pendapat di antara mereka
menunjukkan bahwa mereka menafsirkan dengan ijtihad merek pemahaman baru
kepadanya. Karena, perbedaan pendapat di antara mereka menunjukkan bahwa
mereka menafsirkan dengan ijtihad mereka.

3. Memperhatikan Konteks

Konteks dilihat dari latar belakang turun (asbab nuzul) suatu ayat/surat dari al-
Qur’an. Sebagaimana diakui para ulama, ada ayat-ayat al-Qur'an yang diturunkan
setelah adanya kejadian-kejadian tertentu atau menjawab suatu pertanyaan yang
diajukan kepada Rasul Allah . Peristiwa atau pertanyaan itulah yang disebut sebagai
asbab al-nuzul. Meskipun suatu ayat diambil berdasarkan umumnya lafal dan bukan
khususnya sebab, tapi pengetahuan terhadap sabab nuzul tetap merupakan suatu hal

5
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 67

9
yang penting. Karena, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taymiyyah bahwa
pengetahuan sabab nuzul dapat membantu memahami al-Qur'an.6

Tanpa mengetahui sabab nuzul, kita akan mengalami kesulitan memahami


kandungan ayat ini. Hal ini dialami oleh Marwan bin Hakam. Ia berkata kepada
pembantunya,” Pergilah kamu kepada Ibnu Abbas, jika setiap orang yang bergembira
dengan apa yang telah diberikan dan senang dipuji dengan apa yang belum dikerjakan
akan mendapatkan adzab, sungguh kita semua akan mendapatkan azab”. Ibnu Abbas
lalu menjelaskan kepadanya bahwa ayat itu turun kepada ahli kitab ketika mereka
ditanya tentang sesuatu oleh Nabi Rasul Allah , mereka tidak menjawab yang
sebenarnya, lalu mereka menyiarkan peristiwa itu dan mengharapkan pujian dari ulah
mereka.(6) Di samping dua hal itu, masih ada beberapa perangkat lain yang perlu
diperhatikan para mufassir, seperti ilmu qiraat, ushul al-din, ushul al-fiqh, fiqh, nasikh
wa al-mansukh dan ilmu mauhibah. (7)

C. Metode Penafsiran Al-Qur’an

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa terdapat empat metode dalam


menafsirkan al-Qur’an. Empat metode tersebut adalah : (1) metode tahlili (al - tafsir
al - tahlili), (2) metode ijmali ( al - tafsir al - ijmali), (3) metode perbandingan (al-
tafsir al-muqaran), dan (4) metode tematik (al-tafsir al-maudhu'i). Keempat
metode ini dipakai oleh para mufassir sesuai dengan kecenderungan yang mereka
punyai masing - masing terhadap metode tersebut.

Al - Tafsir al-Tahlili adalah tafsir dengan metode mengurai dan


menganalisa ayat - ayat al-Qur'an secara berurutan dengan membahas segala
makna dan aspek yang terkandung di dalamnya. Di samping diberi nama tahlili
metode ini juga dikenal juga dengan nama al-tafsir al-tajzi'i yang scara harfiah
berarti penafsiran berdasarkan bagian-bagian menurut ayat al–Qur’an. Sebagai
metode yang paling awal muncul dalam studi tafsir, metode tahlili ini memberikan
perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat al-
Qur’an. Metode ini mencakup :

a) Al-Munasabah (hubungan) antara satu ayat dengan ayat yang lain, antara
satu surah dengan surah yang lain, atau antara awal surah dengan akhirnya.
b) Asbab al-Nuzul (sebab - sebab turun) yakni latar belakang sejarah atau kondisi
sosial turunnya ayat al-Qur'an.
c) Al-Mufradat (kosa kata) atau lafal dari sudut pandang dan qaidah kebahasaan
yang terdapat dalam bahasa Arab. Termasuk juga dalam langkah ini
menelaah dalam ayat al–Qur’an. Metode ini mencakup :

6
Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Qur’an Dengan Metode Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an,
(Bandung: Marja, 2012), h. 37

10
1) Al-Munasabah(hubungan) antara satu ayat dengan ayat yang lain,
antara satu surah dengan surah yang lain, atau antara awal surah dengan
akhirnya.
2) Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turun) yakni latar belakang sejarah atau kondisi
so s ial turunnya ayat Al - Qur'an.
3) Al-Mufradat (kosa kata) atau lafal dari sudut pandang dan kaidah kebahasaan
yang terdapat dalam bahasa Arab. Termasuk juga dalam langkah ini
menelaah syair-syair yang berkembang pada masa sebelum dan waktu
turunnya al-Qur'an.
4) Fasahah, Bayan dan I’jaz yang terdapat dalam ayat ynag sedang
ditafsirkan, terutama ayat - ayat yang mengandung balaghah (keindahan
bahasa).
5) Al-Ahkam fi al-ayat, dengan melakukan istinbath sehingga diperoleh
kesimpulan hukum fiqh dari ayat yang sedang ditafsirkan.
6) Al-Hadits yang menjelaskan maksud dari kandungan ayat al-Qur'an,
termasuk qaul sahabat dan tabi’in.
7) Apabila tafsir bercorak saintifik maka pendapat-pendapat para pakar di
bidangnya juga dijadikan rujukan oleh mufassir. 7

Ditilik dari kandungan dan corak pembahasan serta sumber yang


dipergunakan oleh tafsir dengan metode tahlili, maka dapat dikatagori kan ke
dalam tujuh corak penafsiran , yaitu : Al-Tafsir bi al-Ma'tsur, Al - Tafsir bi al - Ra'yi,
al-Tafsir al-Shufi, al-Tafsir al-Fiqh, al-Tafsir al-Falsafi, al - Tafsir al-‘Ilmi dan al-
Tafsir al-Adabi al-Ijtima'i.

Al-Tafsir Al-Ijmali, yakni metode tafsir yang mengemu kakan penafsiran


ayat - ayat al-Qur'an secara global. Dengan metode ini mufassir hanya
menafsirkan ayat-ayat Al - Qur'an secara garis besar, tanpa perincian detail sama
sekali. Oleh sebab itu penafsiran yang disajikan terasa ringkas dan padat,
menyangkut kata-kata yang memerlukan penjelasan. Adakalanya metode ijmali ini
terkesan menterjemah kata saja. Tetapi penterjemahan disini dimaksudkan
memberi tafsir tentang kata yang sedang diterjemahkan itu, bukan hanya
mengalih bahasa. Itu sebabnya metode ijmali terkesan membiarkan al-Qur'an
menjelaskan dirinya sendiri. Dalam menafsirkan ayat, mufassir juga terkadang
memasukkan riwayat berkaitan dengan asbabun nuzul ayat yang sedang
ditafsirkan. Kelihatannya menukil asbabun nuzul ini tidaklah terlihat menjadi
syarat mutlak dalam penafsiran ijmali. Namun pencantuman asbabun nuzul tersebut
memberikan nilai tambah bagi metode ijmali ini. Tafsir klassik yang disajikan
dengan metode ijmali ini antara lain adalah Tanwir al - Miqbas min Tafsir ibn
Abbas, karya Ibnu Abbas dan Tafsir al-Qur'an al-Azhim, karya Imam Jalal al-Din
al-Suyuti dan Jalal al-Din al-Mahalli.

7
M. Quraish Shihab, et all., Sejarah & 'U l um al – Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Get. Ill, 2001), hal. 173 -
174

11
Al-Tafsir al-Muqaran (tafsir perbandingan), yakni tafsir yang
mempergunakan metode perbandingan (analogi). Apa yang diperbandingkan
dalam tafsir al - muqaran ini ? Yang diperbandingkan adalah antara penafsiran satu
ayat dengan penafsiran ayat yang lain, yakni ayat - ayat yang mempunyai kemiripan
redaksi dari dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih, atau ayat - ayat yang
memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau diduga sama. Juga
membandingk an antara penafsiran ayat al-Qur'an dengan hadis Rasulullah SAW
serta membandingkan pendapat ulama tafsir yang satu dengan yang lain dalam
penafsiran Al - Qur'an. Namun satu hal perlu ditegaskan disini bahwa al - tafsir
al-muqaran hanya berfokus pada persoalan redaksi yang berbeda antara ayat - ayat al-
Qur'an, bukan dalam aspek pertentangan maknanya. Sebab dalam aspek makna,
memang terdapat perbedaan, karena kosa kata al-Qur'an sering mengandung makna
yang berbilang. Imam Al - Zarkasyi8 menginventaris terdapat delapan macam
variasi redaksi ayat-ayat al-Qur'an, yakni perbedaan tata letak dalam
kalimat, pengurangan dan penambahan huruf, pengawalan dan pengakhiran,
perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma'rifah (definite noun), perbedaan
bentuk jamak dan bentuk tunggal, perbedaan penggunaan huruf kata depan,
perbedaan penggunaan kosa kata dan perbedaan penggunaan idgham
(memasukkan satu huruf ke huruf yang lain).

Kitab tafsir yang termasuk kedalam tafsir muqaran ini adalah The Quran
and Its Interpreters, karya Mahmud Ayyoub. Tafsir ini mencoba
memperbandingkan beberapa tafsir dari para mufassir yang berbeda latar
belakang aliran, mazhab dan disiplin ilmunya, seperti :

a) Ibnu Araby (tafsir sufi)


b) Ibnu Katsir (mazhab Syaf’i dan Salafi)
c) Al-Wahidi (tafsir lughawi)
d) Al-Qurthuby (mazhab Maliki)
e) Al - Zamakhsyari (tafsir Mu'tazili)
f) Al-Razy (tafsir Sunny)
g) Al-Qumi dan Al-Thabdil (Syi'ah klassik)
h) Thabathaba'i (Syi'ah modern) dan
i) Sayyid Quthb (ijtima'i).

Al-Tafsir al-maudhu'i, atau tafsir tematik, adalah tafsir yang menggun akan
metode tematik dalam menafsirkan al-Qur'an. Yang dimaksud dengan tematik
adalah suatu tema yang ditetapkan oleh mufassirin dengan menghimpun ayat -
ayat yang berkaitan dengan tema tersebut menjadi satu kesatuan dan melakukan
analisis terhadap ayat - ayat tersebut secara spesifik dengan syarat dan langkah
khusus. Tujuannya adalah untuk menemukan makna dan konsep, sesuai dengan
tema yang sedang dibahas serta menarik hubungan satu dengan lainnya sebagai

8
Badr al - Din Muhammad bin Abd Allah al - Zarkasyi, Al - Burhan fi ‘Ulum al - Qur'an, Juz I, (Beirut, Dar
al - Fikr, 1988), hal. 147 - 169.

12
satu kesatuan. Kitab-kitab tafsir yang termasuk ke dalam tafsir maudhu'i ini
adalah Al-Insan fi al-Qur'an dan Al-Mar'ah fi al-Qur'an karya Abbas Mahmud
Aqqad, Al-Riba fi al-Qur'an dan Al-Musthalahat al - Arba'ah fi al - Qur'an karya
Abu al-A'la al-Maududi.9

Adapun bentuk-bentuk penafsiran al-Quran atau disebut dengan bentuk naw’


(macam atau jenis) penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, paling tidak
ada dua bentuk penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama’ yaitu al-
ma’tsur(riwayat) dan al- ra’y (pemikiran).10 Bentuk Riwayat (al-Ma’tsur) penafsiran
yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan “tafsir bi al-ma’tsur”
adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam
khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat di
jumpai dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir al-Thabari, Tafsir ibn Katsir, dan
lain-lain. Dalam tradisi studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting di
dalam pemahaman teks Al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai
penafsir pertama terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah “metode
tafsir riwayat”. Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik Al-Qur’an
klasik, merupakan suatu proses penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan data riwayat
dari Nabi SAW. dan atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses penafsiran
Al- Qur’an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana
dijelaskan oleh Nabi dan atau para sahabat.

Yang kedua adalah bentuk pemikiran (al-Ra’y) etelah berakhir masa salaf
sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka
lahirlah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat. Masing-masing golongan
berusaha menyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka. Untuk
mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi,
lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah
berkembangnya bentuk penafsiran al-ra’y (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad).
Melihat berkembang pesatnya tafsir bi al-ra’y, maka tepat apa yang dikatakan Manna’
al-Qaththan bahwa tafsir bi al-ra’y mengalahkan perkembangan tafsir bi al-ma’tsur.

Meskipun tafsir bi al-ra’y berkembang dengan pesat, namun dalam


penerimaannya para ulama terbagi menadi dua : ada yang membolehkan ada pula
yang melarangnya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan
itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya kedua belah pihak sama-sama
mencela penafsiran berdasarkan ra’y (pemikiran) semata tanpa mengindahkan
kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya, keduannya sepakat

9
M. Yunan Yusuf, “Metode Penafsiran Al-Qur'an Tinjauan atas Penafsiran Al-Qur'an secara Tematik,” Jurnal
Syamil vol. 2 no.1 (2014): 59-62
10
Muhammad ‘Abd Al-Azhim Al-Zarqani, Manahil Al-Irfan, hlm. 12.

13
membolehkan penafsiran Al- Qur’an dengan sunnah Rasul serta kaedah-kaedah yang
mu;tabarah(diakui sah secara bersama). 11

Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak
dulu sampai sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu bi al- ma’tsur
(melalui riwayat) dan bi al-ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad).12

BAB III

Kesimpulan

Tafsir terdiri dari empat bagian : pertama, yang dapat dimengerti secara umum
oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak
ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui
kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Kemudian,
Ada dua jenis pembatasan dalam tafsir al-Qur’an, yaitu : menyangkut materi ayat-
ayat dan menyangkut syarat-syarat penafsiran. Dalam penafsiran al-Qur’an ada dua
bentuk yang selama ini dipakai (diterapkan) oleh para ulama, yaitu : al-Tafsir bi al-
Ma’tsur (Riwayat), dan al-Tafsir bi al- Ra’y (Pemikiran). Secara garis besarnya ada
empat cara (metode) penafsiran al-Qur’an yang dipakai sejak dahulu sampai sekarang,
yaitu :ijmaliy (global), tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy
(tematik) (5) Yang paling populer dari keempat metode penafsiran, menurut Dr.
Quraish Shihab adalah : metode tahliliy (analistis), dan metode mawdhu’iy (tematik)
namun disamping populer menurut para ulama tafsir, metode ini memiliki kelemahan-
kelemahan disamping memiliki kelebihan.

11
Prof. Dr.Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000.
hlm. 57 – 58.
12
Hadi Yasin, “Mengenal Metode Penafsiran Al-Qur’an” Jurnal Tadzhib al-Akhlak vol. 1, no. 5 (2020)

14
Daftar Pustaka

Al-Zarkasyi, Badr al - Din Muhammad bin Abd Allah et.al,. Al - Burhan fi ‘Ulum al -
Qur'an, Juz I, (Beirut, Dar al - Fikr, 1988)
Anwar, Rosihon dkk. (2015), “Ilmu Tafsir,” (Bandung: Pustaka Setia, Bandung)
Asy-Syirbashi, Ahmad. “Sejarah Tafsir Al-Qur’an.”
Baidan, Nasharuddin (2000) Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti
Prima Yasa.
Fatihuddin. (2015). “Sejarah Ringkas Al-Qur’an Kandungan Dan Keutamaannya,”
(Yogyakarta: Kiswatun Publishing)
Halim, Muhammad Abdul. (2012). “Memahami Al-Qur’an Dengan Metode
Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an” (Bandung: Marja)
Musbikin, Imam. (2014) “Mutiara Al-Qur’an Khazanah Ilmu Tafsir Dan Al-Qur’an,”
(Yogyakarta, Jaya Star Nine)
Mustaqim, Abdul. (2012), “Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran- Aliran
Tafsir Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer,”
(Yogakarta, Adab Press)
Shihab, M. Quraish. (2001) Sejarah & 'U l um al – Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
Get. Ill)
Yasin, Hadi. (2020), “Mengenal Metode Penafsiran Al-Qur’an” Jurnal Tadzhib al-
Akhlak vol. 1, no. 5
Yusuf, M. Yunan. (2014), “Metode Penafsiran Al-Qur'an Tinjauan atas Penafsiran Al-
Qur'an secara Tematik,” Jurnal Syamil vol. 2 no.1

15

Anda mungkin juga menyukai