Disusun Oleh:
1. Irfan Wardana (2030304067)
2. Ahmad Rizky P (2030304056)
3. Arya Fitradani (2020304044)
Dosen Pengampu:
Bpk Almunadi MA
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun
dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan
Penulis
DAFRAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A . Definisi, maksud dan keutamaan naqli dan 'aqli di dalam syari'at Islam……...3
B . Contoh-contoh penggunaan naqli dan 'aqli ………………………………4
C. Masalah pertentangan antara naqli dan 'aqli dalam bidang tauhid…………...14
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi, maksud dan keutamaan naqli dan 'aqli di dalam syari'at Islam
a. Naqli
Naqli menurut bahasa adalah dari (يءFFل الشFF )نقyakni mengambil sesuatu dari satu
tempat ke tempat lain, dan (ديثFFة الحFFَ )نَقَلyakni mereka yang menuliskan hadist-hadist dan
menyalinkannya dan menyandarkannya kepada sumber-sumbernya.
Dikatakan pada dalil-dalil dari Al-qur'an dan hadist: dalil naqli. Oleh karena
itu naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari Kitab Allah
yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita
oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi. Diantara landasan utama ditetapkannya al-Qur'an
dan sunnah sebagai dalil naqli oleh para ulama adalah sebuah hadist Rasulullah saw:
كتاب هللا وسنة نبيه:تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما
Artinya: "Telah aku tinggalkan dua perkara, yang apabila kalian berpegang kepada
keduanya maka kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".
Namun ketika naqli dihubungkan dengan ilmu tafsir maka disebut tafsir bi al-
manqul atau bi al-ma'tsur, yaitu penafsiran al-Qur'an yang disandarkan kepada riwayat-
riwayat yang sahih secara tertib, atau dengan cara menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an
atau menafsirkannya dengan as-Sunnah atau menafsirkannya dengan riwayat-riwayat yang di
terima dari para sahabat atau para tabi'in, seperti penafsirannya At-Thabari dan Ibnu Katsir.
Al-qur'an (رآنFFFFF)الق adalah kitab suci umat Islam yang secara bahasa
merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja (ً قرآنا – قراءة - )قرأ, yang berwazan فُعْالن. Allah
swt berfirman:
َفإِ َذا َق َر ْأ َناهُ َفا َّت ِبعْ قُرْ آ َن ُه.ُإنَّ َعلَ ْي َنا َجمْ َع ُه و َقرُآ َنه
Artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu".
Adapun secara istilah adalah kalam Allah, yang diturunkan kepada Muhammad saw,
yang membaca setiap hurufnya adalah ibadah. Atau secara lengkapnya adalah kalam Allah
yang bermukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat
Jibril dalam bahasa Arab, diriwayatkan secara mutawatir dan membaca setiap hurufnya
adalah ibadah, bermula dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah an-Naas.
Oleh karena itu al-Quran merupakan Kitab Suci umat Islam yang keotentikannya
tidak diragukan lagi; baik dari segi asal-usulnya, turunnya, riwayatnya, ayat-ayatnya, dst.
sehingga umat Islam menjadikanya sebagai sumber utama dalam mempelajari, memahami,
dan menjalankan ajaran (syariat) Islam juga dalam mengambil dalil-dalil mengenai perkara-
perkara atau permasalahan-permasalahan yang ada kaitannya dengan keimanan dan amal
ibadah mereka.
Sedangkan sunnah ( )السنةsecara bahasa bermakna ()السيرة الحسنة أو القبيحة: jalan hidup
yang baik atau jelek, juga bermakna ()الطريقة: jalan.
Adapun secara istilah sunnah memiliki beberapa definisi, diantaranya:
1. Sunnah menurut muhadditsun (ahli hadits) adalah apa yang disandarkan kepada Rasulullah
saw dari segi perkataan atau perbuatan atau pengakuan atau sifat akhlak (peribadi) dari
permulaan diutusnya sampai wafatnya.
2. Sunnah menurut ulama usul adalah perkataan-perkataan Rasulullah saw dan perbuatan-
perbuatannya serta pengakuan-pengakuannya yang diriwayatkan kepada kita dengan
periwayatan yang sahih.
Sunnah Rasul saw adalah sumber rujukan umat Islam kedua setelah al-Qur'an, dimana
kedudukannya dalam Islam adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan kerana terdapat
penegasan yang banyak di dalam al Quran tentang sunnah tersebut, bahkan di dalam beberapa
tempat sunnah disebutkan bersamaan dengan al Kitab ataupun al Quran, dan disebutkan juga
ketaatan terhadap Rasulullah saw setelah ketaataan kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana
yang ditegaskan di dalam firman-Nya seperti:“Dan taatilah Allah dan RasulNya, jika kamu
adalah orang-orang yang beriman”. Dan firman-Nya:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan RasulNya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain bagi urusan
mereka”. Juga firman-Nya:“Apa yang diberikan Rasul kepada kamu, maka ambillah ia, dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
Dengan penegasan al Quran di atas, jelaslah bahawa sunnah tidak dapat dipisahkan
penggunaannya di dalam segala hal yang berkaitan dengan Islam. Sehingga fungsi sunnah di
dalam Islam, diantaranya:
1. Penguat dan penyokong hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran seperti dalam
perkara pensyariatan shalat, puasa dan haji.
2. Penghurai dan pentafsir ayat-ayat al-Quran yang umum seperti memperjelaskan mengenai
tata cara perlaksanaan shalat, kaedah jual beli, menunaikan zakat dan haji dan sebagainya
yang mana perkara-perkara tersebut hanya disebutkan secara umum oleh al-Quran.
3. Menjadi keterangan tasyri’ yaitu menentukan sesuatu hukum yang tidak disebutkan di
dalam al-Quran seperti dalam hal memakan haiwan yang ditangkap oleh hewan pemburu
terlatih seperti anjing yang mana buruan tersebut terdapat kesan dimakan oleh hewan
pemburu terlatih tadi dan kesan tersebut menunjukkan bahwa hewan pemburu tadi
menangkap buruan untuk dirinya sendiri. Di dalam al-Quran hanya dibenarkan memakan
buruan yang ditangkap oleh hewan pemburu terlatih. Maka dalam hal ini, hadith
menerangkan bahawa buruan yang mempunyai kesan dimakan oleh hewan pemburu adalah
haram dimakan.
4. Menasakhkan hukum yang terdapat di dalam al Quran. sebagian ulama berpandangan
bahawa hadith yang dapat menasakhkan hukum al Quran itu mestilah sekurang-kurangnya
bertaraf Mutawatîr, Masyhûr ataupun Mustafhîdh.
5. Menerangkan mengenai ayat yang telah dinasakh dan ayat mana yang telah dimansukhkan.
b. Aqli
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab ()عقل: akal yang mempunyai
beberapa makna, di antaranya: ()الدية: denda, ()الحكمة: kebijakan, dan ()حسن التصرف: tindakan
yang baik atau tepat.
bnu Taimiyah melihat bahwa apabila dikatakan bahwa dua dalil saling bertentangan,
baik kedua-duanya itu naqli atau kedua-duanya 'aqli atau salah satunya naqli dan yang
lainnya 'aqli, maka yang harus dikatakan (ditetapkan) adalah bahwa hal tersebut tidak
terlepas dari tiga pilihan, yaitu: kedua-duanya qath'i (pasti atau absolut), atau kedua-
duanya dzanni (relatif atau dugaan), atau salah satunya qath'i dan yang lainnya dzanni.
Apabila kedua-duanya itu qath'i, maka tidak boleh ada pertentangan, baik kedua-
duanya itu 'aqli atau kedua-duanya naqli atau salah satunya 'aqli dan yang lainnya naqli. Ini
merupakan kesepakatan para ulama, karena dalil qath'i adalah dalil atau petunjuk yang
mengharuskan adanya ketetapan pada madlulnya (yang ditunjukannya), dan dalalahnya
(tanda penunjuknya) tidak mungkin bathil. Dalam hal ini apabila kedua dalil qath'i saling
bertentangan dan salah satunya menentang madlul yang lainnya, maka kedua-duanya mesti
bersatu, dan ini tidaklah mungkin, bahkan setiap dalil yang diyakini bertentangan dengan
dalil yang diyakini qath'i maka kedua dalil tersebut atau salah satunya haruslah
bukan qath'i atau kedua madlulnya saling bertentangan.
Dan apabila salah satu dari kedua dalil yang saling bertentangan itu qath'i tanpa yang
lainnya, maka yang qath'i haruslah di dahulukan, sebagaimana kesepakatan para ulama, baik
dalil itu naqli ataupun 'aqli, karena yang dzanni tidak sampai kepada tahapan yakin.
Adapun apabila kedua-duanya dzanni, maka hal ini harus di bawa ke ranah tarjih,
mana dari keduanya yang paling rajih maka didahulukan, baik dalil
itu naqli ataupun 'aqli[38].
Sedangkan Muhammad Abduh, salah seorang ulama yang termasuk pembaharu
agama dan sosial di Mesir pada zaman modern, disatu sisi berpandangan seperti
pandangannya Ibnu Taimiyah, bahwa antara naqli dan 'aqli tidak mungkin bertentangan.
Namun ketika didapat ada pertentangan antara keduanya, Abduh memilih yang benar
menurut 'Aqli, sehingga tampak dihadapannya dua jalan: tunduk kepada kebenaran wahyu
dengan mengakui ketidakmampuan dalam memahaminya dan menyerahkan perkara tersebut
kepada Allah swt, atau mena’wilkan wahyu dengan memperhatikan kaedah-kaedah bahasa
sehingga ada persesuian antara maknanya dengan apa yang telah ditetapkan oleh akal.
Secara ringkas pandangan jumhur ulama tentang pertentangan
antara naqli dan 'aqli dalam bidang tauhid adalah sebagai berikut:
1. Naqli didahulukan atas 'aqli, karena naqli itu ma’shum sedang 'aqli tidak ma’shum.
2. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat
detail.
3. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan naqli.
4. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan naqli.
5. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah
hak prerogatif syari'at (naqli).
6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu,
walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
7. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh naqli. Allah swt berfirman: "Kami tidak akan
meng‘adzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul".
8. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh naqli.
9. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah swt yang ditentukan oleh akal kita kepada-Nya,
karena Allah swt mengatakan tentang diri-Nya: "Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-
Nya"
BAB III
PENUTUP
Naqli dan 'Aqli merupakan dua landasan pokok yang harus di pegang oleh setiap
Muslim di ketika mengungkap dan membuktikan kebenaran-kebenaran dan memantapkan
keteguhan dalam berkeyakinan yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu Tauhid atau
akidah, atau ketika mengistinbath (mengambil dalil-dalil) dan menetapkan hukum-hukum
perkara-perkara yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu fikih, atau ketika menafsirkan
al-Qur'an.
Naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari Kitab
Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada
kita oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi. Keidentikan ini selaras dengan kebutuhan
ilmu Tauhid terhadap dalil-dalil yang bisa memberantas dan mengikis segala keragu-raguan
atau kepercayaan yang lemah, sehingga muncul keteguhan, keyakinan dan kepercayaan yang
kuat, tidak mudah goyah atau mendangkal.
Namun keidentikan ini tidak menutup bidang ilmu lain untuk berpegang kepada naqli,
justru setiap kajian-kajian ilmu agama Islam tidak terlepas dari naqli, seperti dalam bidang
fikih dan tafsir, dimana seorang fakih ketika ingin menetapkan hukum suatu perkara ia
membutuhkan naqli, begitu juga mufassir ketika ingin menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an ia
memerlukan bantuan naqli, sehingga muncullah istilah tafsir bi al-manqul atau bi al-ma'tsur.
Sedangkan 'aqli identik dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal fikiran manusia yang
sehat dan obyektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi atau kebencian dari emosi.
Dan akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam diri manusia
diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu berupa
kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna
bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah swt.
Jumhur ulama memandang bahwa antara naqli dan 'aqli tidak bertentangan, tetapi
saling menguatkan. Namun ketika diyakini antara keduanya ada pertentangan, maka para
ulama berbeda pendapat antara mendahulukan naqli atau 'aqli, dan jumhur memilih naqli.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim Said, Dr. Himam. At-Tamhid Fi Usul Al-Hadist, 'Amman: Dar Al-Furqan,
1992.
Al-Buraikan, Dr. Ibrahim bin Muhammad. Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah
‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414 H.
Asrukin, M.Si., Drs. Mochammad. Tafsir al-Qur'an: Sebuah Tinjauan Pustaka, Makalah.
Az-Zaqlam, Fatih Muhammad. Usul Al-Ahkam, Tripoli: Dar Al-Fasifsa, 2006.
http//id.wikipedia/wiki.
http//latifabdullah.files.wordpress.com.
http//nyimpanilmu.blogspot.com/2011/01/dalil-naqli-dalil-aqli.
Taimiyah, Ibnu. Dar'u Ta'aarudh Al-'Aql Wa An-Naql, Ar-Riyadh: Dar Al-Kunuz Al-
Adabiyah, 1391 H.
Ash-Shobuniy, M. Ali. At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Alam al-Kutub, 1985.
Ash-Shobuniy, M. Ali. Rawaai' Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam, Al-Maktabah Asy-
Syaamilah.
Al-Alusi, Mahmud Bin Abdullah Al-Husaini. Ruh Al-Ma'aani Fi Tafsir Al-Qur'an
Al-'Adzim Wa As-Sab'u Al-Matsaani, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Anas, Malik Bin. Al-Muwaththa, Muassasah Zaaid bin Sulthan Aal nahyaan, 2004.
Al-Qathaan, Manaa'. Mabahits Fi Ululm Al-Qur'an, Maktabah Al-Ma'aarif, 2000.
Abduh, Muhammad. Al-Islam Wa An-Nashraniah.
Abduh, Muhammad. Tafsir Al-Qur'an Al-Karim: Juz Amma, Daru Wa Mathabi' Al-Sya'b.
Al-Jaamii, Muhammad Amaan Bin Ali. Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi, Al-
maktabah Asy-Syamilah.
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. Dalil ‘Aqli Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli
Yang Shahih (terj), Al-Manhaj.or.id.