Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH FILSAFAT

“FILSAFAT ISLAM : AL-KINDI & AL-FARABI”

DISUSUN OLEH :

ALFINSYAH
NIM : 2030304058

DOSEN PENGAMPU :
HENDRI INDRAYANI, M.A.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2021/2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa atas kehadiran Allah SWT., yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Filsafat, dengan judul “Filsafat Islam ;
al-Kindi, al-Farabi”

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun
dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Palembang, 3 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Kindi........................................................................ 2
B. Pemikiran Filsafat Al-Kindi........................................................ 3
C. Karya-Karya Al-Kindi................................................................. 12
D. Biografi Al-Farabi....................................................................... 13
E. Pemikiran Filsafat Al-Farabi....................................................... 15
F. Karya-Karya Al-Farabi................................................................ 26
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 29
B. Saran............................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat
segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu
sendiri adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam
yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis
serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh para filosof
Islam.

Filsafat Yunani paling dominan masuk kedunia Islam ditandai dengan adanya
penterjemahan buku-buku filsafat. Upaya-upaya umat Islam ini dapat memunculkan
tokoh filosof Islam terkenal di dalam atau luar Islam. antara lain: Al-Kindi, Ibnu
Rusyd, Al-Fabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah dan masih banyak lagi. Pedapat Auguste
Comte, bahwa setiap pribadi atau bangsa tumbuh dalam tiga tingkatan yaitu a.
Tingkat agama atau dogma. b. Tingkat filsafat. c. Tingkat ilmu pengetahuan.

Adapun yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah tokoh filsafat muslim
yang bernama, Al-kindi dan Al-Farabi. Alasannya adalah karena tokoh  tersebut
merupakan peletak dasar dalam filsafat islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, yang menjadi masalah pada
makalah ini adalah:
1. Bagaimana Biografi Al-Kindi dan Al-Farabi
2. Bagaimana Pemikiran Filsafat Al-Kindi dan Al-Farabi
3. Apa saja Karya-karya Al-Kindi dan Al-Farabi

C. Tujuan Pokok
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui Biografi Al-Kindi dan Al-Farabi
2. Untuk mengetahui Pemikiran Filsafat Al-Kindi dan Al-Farabi
3. Untuk mengetahui Karya-karya Al-Kindi dan Al-Farabi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Kindi

Al-Kindi lahir di Kufah pada abad sembilan masehi yaitu sekitar tahun 801 M
dan wafat pada tahun 873 M,1 tahun kelahiran dan kematian Al-Kindi tidak diketahui
secara jelas. Al-Kindi hidup selama kurang lebih 72 tahun kelahirannya di kota kufah
merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam. Inilah kota
bersejarah di Irak yang dibangun pada masa ekspansi pertama Islam ke luar
Semenanjung Arab.
Orang tua Al-Kindi adalah gubernur dari Kufah pada masa pemerintahan Al-
Mahdi (775-758 M) dan Harun Al-Rasyid (786-809) dari Bani’Abbas, akan tetapi
beberapa tahun setelah kelahiran Al-Kindi, ayahnya meninggal dunia Ishaq Ibnu As-
Sabah,2 dengan demikian Al-Kindi pun dibesarkan dalam keadaan yatim. Al-Kindi
adalah keturunan suku kindah (Yaman). Ia lahir ditengah keluarga yang kaya akan
informasi kebudayaan dan berderajat tinggi serta terhormat dimata masyarakat.

Kakeknya atau keturunannya yang pertama kali memeluk islam ialah Al-
Asy’ats bin Qeis,3 seseorang yang memimpin utusan Kabilah menghadap Rasul SAW.
Asy’ats termasuk salah seorang sahabat nabi yang paling pertama datang ke kota
Kufah. Ia pun termasuk diantara para sahabat yang meriwayatkan hadist-hadist nabi
bersama dengan Sa’ad Abi Waqqash ia turut berkecimpung dalam peperangan
melawan Persia di Iraq.

Nama Lengkap Al-Kindi ialah Abu Yusuf Yakub ibn Ishaq ibn al-Sahabbah
ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy`as ibn Qais ibn al-Kindi. 4 Lebih populer di
kampus-kampus dan seminar-seminar filsafat dengan sebutan al-Kindi, dinisbatkan
kepada Kindah yaitu suatu kabilah terkemuka pra Islam yang merupakan cabang dari
Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Pendidikan Al-Kindi dimulai dari lingkungan
keluarga yang pertama-tama diberikan padanya adalah membaca Al-Qur’an, menulis
dan berhitung. Pada masa kecilnya, Al-Kindi sempat merasakan masa pemerintahan
Khalifah Harun Al-Rasyid yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong
perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum Muslim.

Pendidikan Al-Kindi pun berlanjut ke kota Baghdad, di kota ini Pengetahuan


Al-Kindi pun mengalami kemajuan bahkan Ia termasuk pelopor pemikiran Islam dan
penerjemah buku-buku asing kedalam bahasa Arab. Bermacam-macam ilmu telah
dikajinya termasuk filsafat, walapun pada masa-masa itu penuh pertentangan agama
dan mazhab yang di banjirin oleh paham golongan mutazilah serta ajaran-ajaran syiah.
1
M. M. Syarif, 1985, Para Filosof Muslim, Bandung : Mizan, hal. 11
2
Khan Mahdi Ali, 2004, Dasar-Dasar Filsafat Islam Pengantar ke Gebrang Pemikiran, Bandung :
Nuansa, hal. 47
3
Daudy Ahmad, 1992, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 9
4
Ahwani Al Fuad Ahmad, 1985, Filsafat Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, hal. 64

2
Di kota Baghdad Ia di perlakukan dengan baik oleh Al-Makmun dan saudara-
saudara laki-lakinya Al-Muktashim dan sampai akhirnya Al-Kindi mendapatkan
posisi penting sebagai guru tabib kerajaan, bahkan Ia dipercaya Muktashim untuk
mendidik anaknya yaitu Ahmad. Masa-masa yang penuh dengan dinamika politik dan
intelektual serta puncak kejayaan Daulah Abbasiyah dalam bidang militer dan politik.
Suasana tersebut sangat kondusif bagi Al-Kindi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan filsafatnya.5

Al-Kindi telah lahir di tengah situasi perkembangan pengetahuan dalam Islam


yang mendapatkan pengaruh dari pemikiran yunani. Saat itu intelektualisme Islam
berkembang dalam dua jalan yang berbeda :

a. Jalan Ortodoksi yang banyak ditempuh oleh mayoritas umat Islam yang
berusaha mengembangkan jenis ilmu-ilmu pengetahuan seperti : filologi,
sejarah, jurisprudensi.

b. Jalan Non-Ortodoksi yaitu jalan yang dipengaruhi oleh kebudayaan yunani,


siria, dan persia yang berusaha mengembangkan berbagai disiplin ilmu filsafat,
matamatika, astronomi, astrologi, ilmu-ilmu fisika, dan geografi. Al-Kindi pun
mencoba menempuh jalan yang terakhir.

Al-Kindi termasuk filosof pertama yang berorientasi pada akal. Ia hidup pada
masa abbasiyah yang orientasi resminya adalah menghadapi keterasingan akal yang
diusung oleh al-manawiyah dan syi’ah. Ia hidup semasa dengan al-makmun,
almutashim, al-watsiq dan al-mutawakkil. Pada masa itu, Ia menghadapi pada masa-
masa penindasan, ketika terjadi transformasi sunni yang di prakarsai al-mutawakkil
guna menentang mu’tazila. Dengan demikian Al-Kindi terlibat pertarungan ideologis
tersebut.6

B. Pemikiran Fisafat Al-Kindi


1. Menyamakan Agama dan Filsafat

Al-Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi
pemikiran Islam, tepatnya masa transisi dari teologi tradisional kepada filsafat. Al-
Kindi-lah justru orang Arab pertama yang mengenalkan filsafat ke dalam pemikiran
Arab, sehingga diberi gelar “Filosof Bangsa Arab”. Menurut Atiyeh (1923-2008 M),
dalam kondisi seperti ini setidaknya ada 2 kesulitan yang dihadapi al-Kindi. Pertama,
kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan filosofis ke dalam bahasa Arab yang
saat itu kekurangan istilah teknis untuk menyampaikan ide-ide abstrak. Kedua, adanya
tantangan atau serangan yang dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat;
filsafat dan filosof dituduh sebagai pembuat bid’ah dan kekufuran.7

5
Arsyad Natsir M, 1989, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Bandung : Mizan, hal. 49
6
Nasution Harun, 1973, Filsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 15
7
George N Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno, (Bandung, Pustaka,
1983), hal. 10.

3
Untuk mengatasi kesulitan pertama, al-Kindi melakukan beberapa hal: (1)
menterjemahkan secara langsung sesuai gramatika istilah-istilah Yunani ke dalam
bahasa Arab, seperti kata hyle diterjemahkan dengan thîn (tanah liat). (2) mengambil
alih istilah-istilah Yunani kemudian menjelaskannya dengan menggunakan kata-kata
bahasa Arab murni, seperti failusûf untuk istilah Yunani philosophos (filosof),
falsafah untuk istilah philosophia (filsafat), fanthasiyah untuk istilah phantasia
(fantasi). (3) menciptakan kata-kata atau istilah baru dengan cara mengambil kata
ganti dan menambahkan akhiran iyah di belakangnya, untuk membuat atau
menjelaskan abstraksi-abstraksi yang sulit dinyatakan dalam bahasa Arab. Misalnya,
al-mâhiyah dari kata mâ huwa (apakah itu?) untuk menjelaskan istilah Yunani to ti
esti (esensi); al-huwiyah dari kata ganti huwa (dia) untuk menjelaskan istilah Yunani
to on (substansi). (4) memberikan makna baru pada istilah-istilah lama yang sudah
dikenal.8

Untuk menghadapi tantangan kedua, al-Kindi menyelesaikannya dengan cara


menyelaraskan antara agama dan filsafat. Upaya untuk menyelaraskan agama dan
filsafat ini sendiri dilakukan melalui beberapa tahapan.

Pertama, membuat kisah-kisah atau riwayat yang menunjukkan bahwa bangsa


Arab dan Yunani adalah bersaudara, sehingga tidak patut untuk saling bermusuhan.
Dalam kisah ini, misalnya, ditampilkan bahwa Yunan (personifikasi dari nama negeri
Yunani) adalah saudara Qathan, nenek moyang bangsa Arab. Dengan demikian,
bangsa Yunani dan Arab berarti adalah saudara sepupu, sehingga mereka mestinya
dapat saling melengkapi dan mencari kebenaran bersama meski masing-masing
menggunakan jalannya sendiri-sendiri.9

Kedua, menyatakan bahwa kebenaran adalah kebenaran yang bisa datang dari
mana saja dan umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya.
Dalam al-Falsafah al-Ulâ, secara jelas al-Kindi menulis,“Kita hendaknya tidak merasa
malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan mengambilnya dari manapun dia berasal,
meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari
kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil
kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat
sang pencari kebenaran, melainkan justru menjadikannya terhormat dan mulia”.10

Ketiga, menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kebutuhan, sebagai sarana dan
proses berpikir, bukan sesuatu yang aneh atau kemewahan. Al-Kindi senantiasa
menekankan masalah ini terhadap orang-orang yang fanatik agama dan menentang
kegiatan filosofis. Al-Kindi, dengan metode dialektika, mengajukan pertanyaan
kepada mereka, “Filsafat itu perlu atau tidak perlu?”. Jika perlu, mereka harus
8
George N Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno, (Bandung, Pustaka,
1983), hal. 12.
9
George N Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno, (Bandung, Pustaka,
1983), hal. 10.
10
Al-Kindi, “al-Falsafah al-Ulâ”, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindî alFalsafiyah,
(Mesir, al-I`timad, 1950), hal. 103. Selanjutnya disebut al-Falsafah al-Ulâ.

4
memberikan alasan dan argumen untuk membuktikannya; begitu juga jika
menyatakan tidak perlu. Padahal, dengan menyampaikan alasan dan argument
tersebut, mereka berarti telah masuk dalam kegiatan filosofis dan berfilsafat. Artinya,
filsafat adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat dihindari, karena sebagai
sarana dan proses berpikir.11Dalam Islam, setelah al-Kindi (801-873 M), argument
seperti ini kemudian digunakan oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M), tokoh filsafat
Aristotelian asal Andalus (Spanyol).12

Keempat, menyatakan bahwa meski metode agama dan filsafat berbeda tetapi
tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, baik dalam tujuan praktis maupun
teoritisnya. Tujuan praktis agama dan filsafat adalah mendorong manusia untuk
mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi, sedang tujuan teoritisnya adalah
mengenal dan mencapai kebenaran tertinggi, Tuhan. Karena itu, menurut al-Kindi,
tidak ada perbedaan yang esensial antara agama dan filsafat, karena keduanya
mengarah kepada tujuan yang sama.13

Al-Kindi tampak lebih cenderung untuk menempatkan pengetahuan rasional


filosofis di bawah pengetahuan kenabian atau ilmu-ilmu keagamaan. Dalam
Kammiyah Kutub Aristhûthâlîs wa Mâ Yahtaj Ilaih fî Tahshîl al-Falsafah (Jumlah
Karya Aristoteles), al-Kindi menulis sebagai berikut :

“Jika seseorang tidak memiliki ilmu pasti (ilm al-kammiyah) dan ilmu
penalaran (ilm al-kaifiyah), maka ia tidak akan mendapatkan ilmu filosofis,
yaitu pengetahuan insani (al-ulûm al-insâniyah) yang diperoleh lewat riset,
upaya dan ketekunan; sebuah pengetahuan yang berada di bawah ilmu ilahiyah
(al-ilm al-ilahy) yang diperoleh tanpa riset, upaya, ketekunan dan waktu,
seperti pengetahuan para rasul yang diberikan secara langsung oleh Tuhan”.14

Dengan konsep bahwa pengetahuan rasional filsafat di bawah ilmu-ilmu


keagamaan, maka al-Kindi mendapat dua keuntungan sekaligus: (1) ia tetap dapat
menjaga dan mempertahankan filsafat dari serangan pihak-pihak yang tidak
menyukainya; (2) dapat meredam kemarahan atau serangan kaum agamawan yang
mayoritas.

Kelima, memfilsafatkan ajaran dan pemahaman agama sehingga selaras


dengan pemikiran filosofis. Al-Kindi melakukan upaya ini dengan cara memberikan
makna alegoris (takwîl) terhadap teks-teks atau nash yang secara tekstual dinilai tidak
selaras dengan pemikiran rasional-filosofis. Misalnya, ketika dia diminta oleh Ahmad,
putra khalifah al-Muktashim (833-842 M), untuk menjelaskan makna ayat “Bintang-
bintang dan pepohonan sujud kepada-Nya”, QS. Al-Rahman, 6. Kata “sujud”
11
Al-Kindi, “al-Falsafah al-Ulâ”, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindî alFalsafiyah,
(Mesir, al-I`timad, 1950), hal. 105.
12
Ibn Rusyd, “Fashl al-Maqâl” dalam Falsafah Ibn Rusyd, (Beirut, Dar al-Afaq, 1978), hal. 14
13
Al-Kindi, Al-Falsafah al-Ula, hal. 102.
14
Al-Kindi, “Fî Kammiyah Kutub Aristhûthâlîs wa Mâ Yahtaj Ilaih fî Tahshîl al-Falsafah” dalam Abu
Riddah (ed), Rasâil al-Kindi, hal. 372.

5
mengandung beberapa arti: (1) sujud dalam shalat, (2) kepatuhan atau ketaatan, (3)
perubahan dari ketidaksempurnaan kepada kesempurnaan, dan (4) mengikuti aturan
secara ihlas. Makna yang terakhir inilah yang digunakan al-Kindi untuk menjelaskan
ayat di atas, sehingga sujud bintang-bintang dan pepohonan adalah dengan cara
mematuhi perintah Tuhan, bukan sujud seperti dalam shalat.15

Menurut al-Kindi, apapun yang disampaikan Rasul dari Tuhan adalah benar
adanya dan dapat diterima oleh nalar, sehingga tidak ada pertentangan di antara
keduanya. Pertentangan yang muncul antara kata-kata al-Qur’an dengan pemahaman
filosofis, sesungguhnya, adalah akibat dari adanya kesalahpahaman kita sendiri dalam
memahami makna al-Qur’an. Secara jelas al-Kindi menulis, “Semua ucapan Nabi
Muhammad saw adalah benar adanya dan apa yang disampaikannnya dari wahyu
Tuhan adalah dapat diterima dan ditentukan dengan argument-argumen rasional
filosofis. Hanya orang yang kehilangan akal sehat dan dipenuhi kebodohan yang
menolaknya”.16

Tafsir alegoris al-Kindi didasarkan atas prinsip-prinsip linguistic dan tata


bahasa, sehingga berbeda dengan medel penafsiran kaum Stoik sebelumnya. Model
tafsir al-Kindi ini lebih dekat dengan retorika teologi Muktazilah daripada filsafat.
Pada fase-fase berikutnya, dalam sejarah filsafat Islam, penyelesaian dengan takwil
ketika terjadi perbedaan antara teks agama dan pemahaman filsafat ini diikuti oleh Ibn
Rusyd (1126-1198 M).17

2. Creatio Ex Nihilo.

Menurut Atiyeh (1923-2008 M), para filosof Yunani secara keseluruhan;


mulai Plato (428-347 SM), Aristoteles (384–322 SM) sampai Plotinus (204–270 M),
berpandangan bahwa semesta tercipta dari yang ada. Sebab, bagi mereka, apa yang
disebut sebagai mencipta adalah membuat sesuatu yang baru berdasarkan apa yang
ada sebelumnya (creatio ex materia), baik lewat gerakan atau emanasi. Artinya, dalam
pandangan filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta dalam makna yang
sesungguhnya, dari tiada menjadi ada, melainkan hanya sebagai penggerak atau
pewujud realitas, dari alam potensialitas kepada alam aktualitas. Konsekuensinya,
alam menjadi qadîm, tidak terbatas dan abadi karena gerak atau emanasi Tuhan adalah
qadîm, tidak terbatas dan abadi; suatu teori penciptaan yang tidak dapat diterima oleh
kaum teolog muslim manapun.18

15
Al-Kindi, “Al-Ibânah an Sujûd al-Jirm al-Aqshâ wa Thâ`atuh lillah” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil
al-Kindi, hal. 244 dan seterusnya.
16
Atiyeh, al-Kindi, hal. 24.
17
Ibid, hal. 25; A Khudori Soleh, Epistemologi Ibn Rusyd, (Malang: UIN Press, 2011). Pemikiran
filsafat Stoik mengambil dari seluruh filsafat Yunani dan kemudian (ajaran Kristen) Romawi. Sekolah filsafat
ini di tutup tahun 529 M atas perintah Kaisar Justinian I (483–565 M), karena dianggap mengajarkan sesuatu
yang bertentangan dengan iman Kristen.
18
Atiyeh, Al-Kindi, hal. 48.

6
Al-Kindi juga menolak teori tersebut dan sebagai gantinya memunculkan
gagasan bahwa alam tercipta dari yang tiada (creation ex nihilo), sebagaimana yang
diyakini dalam teologi Islam. Menurutnya, semesta ini terbatas, tidak abadi dan
tercipta dari yang tiada. Namun, argumentasi yang digunakan tidak bersifat teologis
melainkan filosofis, dan itu didasarkan atas prinsip-prinsip logika Aristoteles sendiri.
Ada dua prinsip Aristoteles yang digunakan oleh al-Kindi: (1) bahwa sesuatu yang
tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam bentuk yang
aktual; (2) bahwa materi, waktu dan gerak adalah muncul secara serentak, bersamaan.
Dua prinsip ini oleh al-Kindi kemudian dikembangkan menjadi 9 pernyataan:

1. Dua besaran yang sama, jika salah satunya tidak lebih besar dari yang lainnya,
berarti adalah sama.
2. Jika satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama
tersebut, maka keduanya menjadi tidak sama.
3. Jika sebuah besaran dikurangi, maka sisanya adalah lebih kecil dari besaran
semula.
4. Jika suatu besaran diambil sebagiannya, kemudian sebagiannya tersebut
dikembalikan lagi, maka hasil besarannya adalah sama seperti sebelumnya.
5. Besaran yang terbatas tidak dapat berubah menjadi tidak terbatas, begitu juga
sebaliknya.
6. Jumlah dua besaran yang sama, jika masing-masing bersifat terbatas, adalah
terbatas.
7. Besaran alam aktualitas adalah sama dengan besaran alam potensialitas.
8. Dua besaran yang tidak terbatas tidak mungkin salah satunya menjadi lebih
kecil daripada lainnya.
9. Apa yang dimaksud sebagai lebih besar adalah dalam hubungannya dengan
bagian yang lebih kecil, dan yang disebut sebagai lebih kecil adalah dalam
hubungannya dengan yang lebih besar.19

Berdasarkan atas dua prinsip dan 9 pernyataan di atas, al-Kindi kemudian


membuktikan kebenaran pandangannya. Pertama, jika kita menyatakan bahwa
semesta ini tidak terbatas, maka kita juga harus menyatakan bahwa wujud aktual dari
semesta ini juga tidak terbatas. Namun, ini bertentangan dengan prinsip pertama
Aristoteles yang menyatakan bahwa wujud actual adalah terbatas. Kedua, jika wujud
semesta yang diasumsikan tidak terbatas ini kita ambil sebagiannya, maka sisanya
dapat berupa wujud tidak terbatas sebagaimana keseluruhannya, atau menjadi wujud

19
Al-Kindi, “Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil al-Kindi,
hal. 202 dan seterusnya.

7
terbatas. Namun, jika dikatakan tidak terbatas, maka berarti ada dua hal yang sama-
sama tidak terbatas, dan itu mengimplikasikan bahwa keseluruhan adalah sama
dengan bagiannya dan itu tidak masuk akal; jika dikatakan menjadi wujud terbatas,
maka hal itu bertentangan dengan pernyataan bahwa yang tidak terbatas tidak
mungkin melahirkan yang terbatas. Ketiga, jika sebagiannya yang diambil tadi kita
dikembalikan lagi, maka hasilnya adalah sebagaimana yang ada sebelumnya. Namun,
ini mengimplikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar
dari dari sesuatu yang tidak terbatas lainnya (bagian); sesuatu yang tidak masuk akal.20

Berdasarkan kontradiksi-kontradiksi logis tersebut, maka menurut al-Kindi,


semesta yang ada dalam aktualitas ini tidak dapat lain kecuali harus bersifat terbatas;
dan karena terbatas, maka semesta ini berarti tidak abadi, tidak qadîm dan tercipta dari
yang tiada (creatio ex nihilo).Konsep al-Kindi tentang yang terbatas, tidak qadîm dan
tidak abadi tersebut tidak hanya berkaitan dengan wujud semesta melainkan juga
menyangkut masalah waktu dan gerak; dua hal yang dalam perspektif metafisika
Aristoteles dianggap abadi. Menurut al-Kindi, waktu tidak sama dengan gerak; justru
waktu adalah bilangan pengukur gerak. Bilangan sendiri ada dua: tersendiri dan
berkesinambungan. Waktu tidak termasuk bilangan tersendiri melainkan
berkesinambungan karena waktu merupakan jumlah dari bilangan yang dahulu dan
berikutnya.21Kesimpulannya, jika waktu dan gerak adalah ada permulaan dan terbatas,
maka ia berarti tercipta, tercipta dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada (creation ex
nihilo).

Berdasarkan hal itu, al-Kindi berarti mempunyai konsep sendiri yang tidak
sama dengan Aristoteles (384–322 SM) yang menyatakan bahwa semesta adalah
terbatas dalam ruang (materi) tetapi tidak terbatas dalam waktu dan gerak. Begitu
pula, al-Kindi tidak sesuai dengan Plato (428-347 SM) yang menyatakan bahwa
semesta adalah terbatas dalam waktu tetapi tidak terbatas dalam materi (ruang).
Sebab, bagi al-Kindi, ruang (materi), waktu dan gerak, ketiganya adalah sama-sama
terbatas dan tercipta. Meski demikian, al-Kindi berkesesuaian dengan Plato dalam
masalah hubungan antara gerak dan waktu. Menurut keduanya, waktu muncul seiring
bersama gerak dan perubahan, di mana ada gerak dan perubahan berarti di situ ada
waktu, begitu juga sebaliknya. Tuhan, karena tidak berubah, maka tidak berkaitan
dengan waktu, dan karena itu Dia tidak bermula (qadîm) dan abadi.22

Menurut al-Kindi, semesta tersusun secara geosentris, tidak heliosentris


sebagaimana yang banyak diyakini masyarakat sekarang. Konsep geosentris al-Kindi
sendiri dibangun berdasarkan atas paduan antara pemikiran Aristoteles (384–322 SM)
dan Cladius Ptolemy (90-168 M) dari Mesir, sehingga dikenal juga dengan sistem
Ptolemaic.23

20
Atiyeh, Al-Kindi, hal. 51.
21
Fuad Ahwani, Al-Kindi, hal. 24
22
Fuad Ahwani, Al-Kindi, 24; Atiyeh, Al-Kindi, hal. 53
23
Atiyeh, Ibid, hal. 65

8
Geosentris adalah sebuah konsep kosmologi yang menempatkan bumi sebagai
pusat tata surya, sedang heliosentris adalah pemikiran yang memposisikan matahari
sebagai pusat tata surya. Dalam sejarahnya, konsep geosentris telah muncul sejak
Yunani kuno, mulai Anaximander (610–546 SM), Phytagoras (570– 495 SM) sampai
Aristoteles (384–322 SM), dan merupakan pemikiran yang dominan dalam filsafat
Yunani. Dalam pemikiran mereka, matahari, bulan, bintang dan planet-planet lainnya,
adalah bergerak mengelilingi bumi.24

3. Dalil Adanya Tuhan

Al-Kindi mengajukan beberapa argumen untuk membuktikan adanya Tuhan,


baik filosofis maupun teologis.

Pertama, berdasarkan prinsip hukum sebab akibat. Sebagaimana telah


dijelaskan, semesta ini adalah terbatas dan tercipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo).
Menurut prinsip sebab akibat, setiap yang tercipta berarti ada yang mencipta, dan sang
pencipta semesta yang dimaksud adalah Tuhan. Ketika Tuhan sebagai pencipta dan
karya ciptaannya yang berupa semesta ini ada, maka Dia berarti ada.25

Kedua, berdasarkan prinsip bahwa segala sesuatu tidak dapat menjadi sebab
atas dirinya sendiri, karena agar dapat menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu itu harus
ada sebelum dirinya. Apa yang dimaksud sebagai “sesuatu” di sini adalah semesta.
Artinya, jika semesta tidak dapat muncul karena dirinya sendiri berarti ia butuh
sesuatu di luar dirinya untuk memunculkannya, dan itu adalah Tuhan.26

Ketiga, berdasarkan analogi antara alam makrokosmos (semesta) dan


mikrokosmos (manusia). Menurut Atiyeh (1923-2008 M), argumen ini didasarkan
atas pemikiran kaum Stoik, sebuah aliran filsafat Yunani kuno yang dibangun oleh
Zeno (334-262 SM) pada tahun 301 SM di Athena; juga pemikiran Marcus Tullius
Cicero (106 SM-43 M). Menurut argumen ini, persis sebagaimana tubuh manusia
yang bergerak dan berfungsi secara tertib dan mulus yang menunjukkan adanya sang
pengatur yang cerdas dan tidak kelihatan, yaitu jiwa, maka demikian juga dengan
alam. Perjalanan alam yang teratur, tertib dan selaras menunjukkan adanya sang
pengatur yang sangat cerdas dan tidak kelihatan, yaitu Tuhan. Karena itu, ketika
ditanyakan kepada al-Kindi, bagaimana kita dapat mengetahui adanya Tuhan, ia
menjawab bahwa persis seperti kita memahami adanya jiwa dengan memperhatikan
munculnya gerak dan efek-efek yang dapat diamati dari tubuh, maka begitu pula
dengan Tuhan. Keberadaan-Nya dapat diketahui lewat efek-efek pengaturan-Nya
yang bijak sebagaimana yang terwujud dalam semesta.27

24
Kajian tentang masalah ini, lihat referensi-referensi yang mendiskusikan masalah susunan alam
semesta, dari klasik sampai modern.
25
Atiyeh, Al-Kindi, hal. 55.
26
Al-Kindi, “Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil al-Kindi,
hal. 207.
27
Al-Kindi, “Fî Hudûd al-Asyyâ’ wa Rusûmuhâ” dalam Abu Riddah, Rasâil, hal. 174.

9
Keempat, didasarkan atas argumen teleologis, yaitu dalil al-`inâyah. Dalil ini
menyatakan bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur dan menakjubkan ini tidak
mungkin terjadi secara kebetulan melainkan pasti karena adanya tujuan dan maksud
tertentu, sekaligus menunjukkan adanya Dzat Yang Maha Mengatur yang merupakan
“pembangkit dari semua pembangkit, yang pertama dari semua yang pertama, dan
yang menjadi sebab dari semua sebab”. Al-Kindi menulis,

“Susunan alam dan keteraturannya yang mengagumkan, di mana setiap bagian


selaras dengan bagian lainnya, beberapa bagian tunduk pada pengaturan
bagian lainnya; juga pengaturannya yang sempurna, di mana yang terbaik
selalu terpelihara dan yang terburuk senantiasa terbinasakan, semua adalah
petunjuk yang paling baik dan jelas tentang adanya sistem pengaturan yang
sangat cerdas, yang dengan demikian menunjukkan adanya Sang Maha
Pengatur yang sangat cerdas”.28

“Keteraturan, ketertiban dan keselarasan alam raya ini adalah wujud dari
pengaturan-Nya yang bijak dan sempurna. Sungguh, kehidupan alam yang
serba teratur dan bijak telah cukup (sebagai bukti tentang ada-Nya) bagi
mereka yang mampu melihat dengan pikiran jernih”.29

Argumen terakhir ini, oleh sebagian filosof, dianggap sebagai dalil paling
efektif untuk membuktikan adanya Tuhan. Dalam tradisi filsafat Islam, dalil ini juga
digunakan oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M),30 sedang dalam tradisi filsafat Barat
dipakai oleh Immanuel Kant (1724–1804 M).

4. Sifat-Sifat Tuhan

Masalah sifat-sifat Tuhan menjadi persoalan yang sangat krusial dalam diskusi
teologi saat itu. Paling tidak muncul tiga madzhab teologi yang berbeda dan
bersitegang karena persoalan ini.

Pertama, musyabbihah, Kedua, Asy’ariyah, Ketiga, Muktazilah, yang menolak


adanya sifat positif apapun pada Tuhan, dan menolak pembedaan antara sifat dan
esensi Tuhan, karena hal itu dinilai dapat meniadakan keesaan-Nya. Karena itu, bagi
Muktazilah, Tuhan adalah Maha Perkasa bukan dengan sifat atau kekuatan yang lain
di luar Diri-Nya melainkan dengan kekuatan yang merupakan esensi diri-Nya.31

Pemikiran al-Kindi tentang sifat-sifat Tuhan tidak berbeda dengan konsep


Muktazilah di atas. Dalam karyanya yang terkenal, al-Falsafah al-Ulâ, al-Kindi
membuat uraian dan pembelaan yang mendalam tentang pandangannya soal sifat-sifat
Tuhan ini. Ada dua sifat Tuhan yang penting yang diuraikan, yaitu: sifat Maha Esa
28
Al-Kindi, “Al-Ibânah an al-Illah al-Fâ`ilah al-Qarîbah li al-Kaun wa al-Fasâd” dalam Abu Ridah
(ed), Rasâil, hal. 215.
29
Al-Kindi, “Al-Ibânah an al-Illah al-Fâ`ilah al-Qarîbah li al-Kaun wa al-Fasâd” dalam Abu Ridah
(ed), Rasâil, hal. 237.
30
A Khudori Soleh, Titik Temu Agama dan Filsafat, (Malang, UIN Press, 2011),
31
Sahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut, Dar al-Kutub, 1971), hal. 37, 81 dan 92.

10
(wahdaniyah) dan sifat ketidaksamaan-Nya dengan makhluk (mukhâlafah li al-
hawâdits). Tentang sifat esa, al-Kindi menjelaskannya lewat dua cara. Pertama,
dengan cara membedakan antara esa mutlak dengan esa metaforis. Esa mutlak adalah
keesaan esensial yang tidak terbagi, sedang esa metaforis adalah keesaan yang ada
pada objek-objek terindera, yang memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut tertentu,
sehingga keesaannya tidak bersifat mutlak melainkan berganda.32

Kedua, menggunakan sebuah argumen yang oleh Musa ibn Maimun atau
Maimonides (1135-1204 M), seorang filosof dan Rabbi Yahudi asal Kordoba,
Spanyol, murid Ibn Rusyd (1126-1198 M), digambarkan sebagai “metode yang benar
untuk membuktikan keniscayaan dan keesaan Tuhan”.33 Argumen tersebut adalah
sebagai berikut:

“Seandainya ada Tuhan lebih dari satu, maka mereka pasti majemuk dan
berganda. Sebab, mereka pasti mempunyai satu sifat yang umum sebagai
Sebab Pertama dan sifat pribadi yang membedakan antara satu dengan yang
lain. Ini menunjukkan bahwa masing-masing Tuhan mempunyai lebih dari
satu atribut: satu atribut yang dipakai bersama dan atribut lainnya yang
membedakan antara yang satu dengan lainnya. Artinya, mereka majemuk. Jika
majemuk, mereka butuh pendahulu yang menyiratkan bahwa Tuhan sebagai
penyebab itu butuh penyebab lainnya. Penyebab tersebut bisa satu atau jamak.
Jika satu maka ia adalah Penyebab Pertama satu-satunya; jika jamak maka
penyebab-penyebab tersebut juga butuh penyebab lainnya yang juga jamak.
Begitu seterusnya sampai pada penyebab-penyebab lainnya yang tidak
terbatas, dan itu tidak mungkin. Karena itu, Penyebab Pertama tersebut pasti
satu adanya, Esa, tidak jamak dan berbeda dengan lainnya”.34

Sifat Tuhan yang lain yang ditekankan al-Kindi adalah ketidaksamaan-


Nya dengan makhluk (mukhâlafah li al-hawâdits). Menurutnya, Tuhan tidak
dapat dijelaskan dengan negasi dan bahwa esensi-Nya juga tidak dapat
diketahui. Kita hanya dapat mengetahui apa yang bukan Dia tetapi sama sekali
bukan tentang Dia. Dalam Rasâil al-Kindi menulis,

Yang Esa adalah satu esensi, tidak pernah berganda, tidak pernah dapat
terbagi dengan cara apapun atau mengenai apapun. Dia bukan waktu atau
tempat. Dia juga bukan badan atau predikat atau keseluruhan atau bagian atau
substansi atau kejadian”.35

32
Al-Kindi, Falsafah al-Ulâ, hal. 147
33
Atiyeh, al-Kindi, hal. 61.
34
Al-Kindi, “Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil al-Kindi,
hal. 207.
Al-Kindi, Falsafah al-Ula, hal. 160. Menurut Atiyeh, konsep al-Kindi ini mirip dengan pemikiran
35

teologi Jahm ibn Shafwan (w. 745 M), seorang tokoh Muktazilah. Menurutnya, Tuhan tidak berkaitan dengan
tinggi atau rendah, tidak terdiri atas bagian-bagian, tidak kiri atau kanan, berat atau ringan. Jika kau berpikir
bahwa Dia adalah sesuatu yang kau ketahui, maka Dia adalah lain dari itu. Atiyeh, al-Kindi, hal. 89.

11
Berdasarkan uraian-uraian di atas, Tuhan dalam pandangan al-Kindi berarti
adalah sesusatu yang tidak terjangkau, tidak terbayangkan dan tidak tergambarkan
oleh kata-kata. Dalam perspektif filsafat, konsep Tuhan al-Kindi tidak memiliki atau
tidak berkaitan dengan karakteristik-karakterisktik Aristoteles (384–322 SM), Philo
(20 SM-50 M) maupun Plotinus (204–270 M). Satu-satunya sifat Tuhan yang
ditampilkan al-Kindi adalah Esa, tunggal dan tidak terbagi (wahdaniyah) di samping
ketidaksamaan-Nya dengan makhluk (mukhâlafah li al-hawâdits). Meski demikian,
menurut Atiyah (1923-2008 M), hal itu bukan berarti al-Kindi tidak mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan yang lain. Dalam beberapa kesempatan, al-Kindi menyebut-Nya
sebagai Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Sifat kasih
sayang-Nya yang tak terhingga meresap dan meliputi seluruh semesta dan
menopangnya sebagaimana jiwa menopang raga.36

C. Karya-karya
Sebagai seorang filosof Islam yang produktif, diperkirakan karya yang pernah
ditulis al-Kindi dalam berbagai bidang tidak kurang dari 270 buah. Dalam bidang
filsafat, diantaranya adalah:

1. Kitab Al-Kindi ila Al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat


pertama),

2. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al


Muqtashah wa ma fawqa al-Thabi’iyyah  (tentang filsafat yang diperkenalkan
dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika),

3. Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang


filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika),

4. Kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud


Aristoteles dalam kategori-kategorinya),

5. Kitab fi Ma’iyyah al-‘ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu  pengetahuan dan


klasifikasinya),

6. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa  Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan


uraiannya),

7. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa


badan),

8. Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al  Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan


mengenai ide-ide komprehensif),

9. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan filosofis tentang


rahasia-rahasia spiritual),

36
Atiyeh, al-Kindi, hal. 65

12
10. Dan Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-
Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan
kerusakan).37

D. Biografi Al-Farabi

Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan
ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/
Transoxiana). Turkistan pada tahun 257 H /870 M. Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia dan Ibunya berkebangsaan Turki.38 Ia dikenal dikalangan Latin
Abad Tengah dengan sebutan Abu Nashr (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-
Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan. 39 Al-Farabi mempunyai
sebutan layaknya sebutan nama bagi orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya bersal
dari negara Turki.

Sejak kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin belajar, apalagi dalam mempelajari
bahasa, kosa kata, dan tutur bahasa ia telah cakap dan luar biasa. Penguasaan terhadap
bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan sangat ia pahami. Malah sebaliknya, bahasa
Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak ia kuasai.
Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Farabi dapat berbicara dalam tujuh
puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa; Arab,
Persia, Turki, dan Kurdi.40

Menurut literatur, al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai


pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia belajar kaidah-kaidah
bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj  dan belajar logika serta filsafat kepada
seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah  ke Harran,
pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailani.
Tetapi tidak berapa lama di Harran, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu
filsafat. 

Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi,


mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Baghdad merupakan kota
yang pertama kali dikunjunginya. Di sini ia berada selama sepuluh tahun, kemudian
pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-
Hamdani. 

Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke


Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana. Dalam dunia
37
Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet.III, 2002, hal. 17.
Dalam Drs. M.M. Syarif, Sejarah Filosof  Muslim, Jakarta, PT. Rajawali Pers, 2003, hal. 5-6 Hasil karya al-
Kindi meliputi berbagai ilmu seperti Filsafat, logika, psikologi, astronomi, kedokteran, kimia, matematika,
politik, optika, dan lain-lain.
38
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hal. 80
39
Yamani, Pengantar Jalaludin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam,
(Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 2002), hal. 51
40

13
intelektual Islam ia mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (guru
kedua), sedangkan yang menjadi guru pertama adalah Aristoteles yang menyandang
gelar al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama), selain itu al-Farabi juga meyandang
predikat al-Syaikh al-Rais (Kiyai Utama), gelar-gelar ini didapatkan karena ia banyak
memamhami filsafat Aristoteles.

Sebagai seorang filosof yang ternama, dalam hidupnya ia dikenal seorang yang
tidak berkecimpung di dunia politik pemerintahan. Atas dasar inilah ia mendapatkan
sebuah kebebasan dalam mengeluarkan pemikirannya yang tidak terikat dengan
dogma-dogma yang berbau politik di kala itu.

Satu sisi menguntungkan dirinya, tetapi kalau dilihat dari segi pemerintahan
maka ia juga rugi karena kurangnya pengalaman dalam mengelola urusan kenegaraan,
juga untuk menguji teori-teorinya terhadap kenyataan politik di kala itu.

Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam
banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta
mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya seperti Ibnu
Sina (370H/980 M-428/1037 M) dan Ibnu Rusyd (520H/1126 M-595 H/1198 M)
bayak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.41

Al-Farabi menunjukan kehidupan spiritualnya dengan usia yang masih sangat


muda dan memperaktikan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah
Islam dan komponis beberapa irama musik, yang masih sering didengarkan dalam
perbendaharaan lagu sufi masuk india. Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam
lima bagian. Buku-buku ini masih dalam naskah bahas Arab, tetapi sebagiannya sudah
diterbitkan dalam bahasa Prancis oleh D’Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum
dipelajari hingga mendalam.42

Sepanjang sejarah hidupnya Al-Farabi berada di pusat ilmu dan peradaban


klasik Islam sampai ia berumur 70 tahun. Di sana ia dapat berdiskusi dan saling
mengambil manfaat dengan banyak ahli dalam berbagai bidang. Paling kurang ia
berada di Bagdad selama 20 tahun, dan dalam selang masa itu ia pernah juga pergi ke
Harran, yang sejak sebelum masa Islam dikenal sebagai salah satu pusat studi ilmu
dan falsafat. Dari Harran ia kembali ke Bagdad.43

Al-Farabi meninggalkan Bagdad untuk selamanya setelah Jenderal Tusun dari


Dailam memasuki Bagdad dan membunuh Khalifah Muttaqi pada tahun 329 H/940
M. Ia bermukim sebentar di Damaskus dan kemudian terus ke Aleppo. Konon ia juga
pernah pergi ke Mesir, yang menurut satu informasi dilakukannya sebelum ia pergi ke
Aleppo, tapi menurut informasi lain dilakukannya lebih kurang satu tahun sebelum ia
wafat. Sisa usia 10 tahun setelah meninggalkan Bagdad, lebih banyak dihabiskannya
41
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hal. 82.
42
Ayi Sofiyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 321
43
Sa‟id Zayid. Abu Nashr Al-Farabi: Fi al-Dzikra al-Fiah li Wafaatih, (Kairo: al-Hai‟ah al- Mishriyah
al-„Ammah li al-Kitab, 1993), hal. 148

14
di Aleppo. Di kota itu ia menjadi bintang terkemuka di tengah-tengah banyak ahli
dalam berbagai bidang, yang menghiasi istana Amir Saif al-Daulah. Al-Farabi hidup
sangat sederhana kendati Amir Saif al-Daulah sangat baik kepadanya dan mau
menjamin biaya hidupnya dengan uang yang berlimpah. Ia merasa cukup mengambil
empat dirham saja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai filosof
yang zahid. Persahabatannya dengan Amir Saif al-Daulah demikian baik sehingga ia
ikut mendampingi Amir itu dalam perjalanan ke Damaskus pada tahun 339 H/950 M.
Di Damaskus itulah Al-Farabi wafat dalam usia 80 tahun dan dikuburkan di sana.44

E. Pemikiran Filsafat Al-Farabi

1. Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya

Al-Farabi dalam risalahnya tentang politik,45 menyatakan bahwa upaya


pertama yang harus dilakukan seseorang ialah mengetahui adanya pencipta bagi alam
dengan segala bagiannya, melalui pengamatan terhadap segala yang maujud ini
dengan mempertanyakan apakah masing-masing bagian maujud ini memiliki sebab
atau bukan. Melalui upaya induksi, orang akan mengetahui bahwa ada sebab bagi tiap
sesuatu. Kemudian, kata Al-Farabi, hendaklah orang itu memperhatikan sebab-sebab
yang dekat, dan mempertanyakan apakah rangkaian sebab-sebab itu akan berlanjut
tanpa akhir atau sebaliknya. Adalah mustahil, kata Al-Farabi, bahwa sebab-sebab itu
berlanjut tanpa akhir karena apa yang tak berakhir tidak bisa diketahui (dipahami).
Sekiranya A menjadi sebab bagi B, B menjadi sebab bagi C, dan C menjadi sebab
bagi A, maka itu berarti bahwa A menjadi sebab bagi dirinya, dan hal itu mustahil,
kata Al-Farabi. Jadi, sebab-sebab itu mestilah ada akhirnya, dan sebab paling akhir
dari sebab yang banyak itu adalah Yang Maha Esa (Al-Wahid). Sebab dari segala
sebab pastilah ada dan Esa; itulah Tuhan Yang Maha Esa.

Jalan terbaik bagi kita, kata Al-Farabi, untuk menunjukkan sifat-sifat Yang
Maha Esa itu adalah juga mengamati fenomena yang ada disekitar kita. Dari
fenomena itu kita menjumpai dua kenyataan: yang utama dan yang hina. Maka yang
lebih pantas untuk kita sandangkan kepada Yang Maha Esa adalah sifat yang paling
utama. Kita tahu bahwa sebutan “yang ada” (al-mawjuud) lebih mulia dari sebutan
“yang tidak ada” (al-ma’dum), maka haruslah kita katakan bahwa ia ada (maujud).
Kita juga tahu bahwa “yang hidup” lebih utama dari “yang tidak hidup”, maka
hendaklah kita katakan bahwa ia itu hidup. Kitapun tahu bahwa “yang tahu” lebih
utama dari “yang tidak tahu”, maka hendaklah kita katakan bahwa ia mengetahui.
Begitulah caranya kita menghubungkan semua sifat-sifat kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dengan disertai keinsafan bahwa ia pada hakikatnya Mahasuci dari menyerupai
sifat-sifat utama, lebih mulia, lebih tinggi dari pada apa yang dapat dibayangkan

44
Abdul Aziz Dahlan. Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Karya Unipress, 2003), hal. 59.
45
Imam Sukardi. Disertasi Pemikiran Politik Al-Farabi (Diskursus Kepemimpinan Negara),
(Jakarta:Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hal. 130-131.

15
manusia, dan tidaklah tersedia jalan bagi siapapun untuk mengetahui-Nya
sebagaimana ada-Nya.46

Tuhan Yang Maha Esa itu, menurut Al-Farabi, maha sempurna, bersih dari
segala macam kekurangan, dan suci dari sebab-sebab, seperti sebab-materi, sebab
bentuk, sebab pelaku, dan sebab tujuan. Ia bukanlah materi dan karena itu pada
hakikatnya Ia adalah akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l); Ia memikirkan (ber-ta’aqqul
terhadap) diri-Nya, maka ia adalah akal, aktivitas memikir, dan yang dipikirkan
sekaligus secara aktual (al-‘aql wa al-‘aqli wa al-ma’qul bi al-fi’l). Selanjutnya Al-
Farabi menegaskan bahwa Tuhan, yang disebutnya juga Pencipta Maha Agung (Al-
Bari Jalla Jalaaluh) adalah pengatur sekalian alam, dan tidaklah tersembunyi dari-
Nya sesuatu kendati sekali debu, dan tak satupun dari bagian alam ini luput dari
perhatian (‘inayah)-Nya.

2. Filsafat Penciptaan Alam Secara Emanasi

Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang di dapatnya dari teori
Plotinus47 Yaitu teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk)
dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut
juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran
yang bukan berupa benda.
Ia berpindirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan
wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab,
sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki Zat
yang Agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalm keseluruhan
sejak azali.

Atau apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka zat
yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa)
adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang
matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari
zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form
(surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.48

Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang
banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berobah, jauh
dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun.
Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini
dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.

Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi karena ia


menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang
bersifat materi dari Yang Maha Esa  (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna.

46
M. Wiyono, Pemikiran Filsafat Al-Farabi (Journal Substantia, Vol. 18, No. 1, April 2016), hal. 67.
47
(Jakarta: KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005), hal. 58-59
48
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 160

16
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama
(prime cause), ini telah dikemukakan oleh Aristoteles.

Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta


(Shani, Agent), yang menciptakan dari tiada menjadi ada (cretio ex nihilo).  Al-Farabi
dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka
mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik tentang emanasi.
Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggerak Aristoles menjadi Allah Pencipta,
yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran.

Dalam arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari
energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu.
Sebab itu, meneurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-
Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).

Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Surat Yasin ayat 82:

ُ‫إِنَّ َما أَ ْم ُرهُ إِ َذا أَ َرا َد َش ْيئًا أَ ْن يَقُو َل لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون‬
”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah
Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin : 82).

Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari
pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul
awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga
mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat
materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran
inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).

a. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah
Langit Pertama (al-Asmaul awwal),

b. Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud  IV/Akal Ketiga yakni bintang-
bintang),

c. Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet


Saturnus,

d. Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet


Jupiter,

e. Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet


Mars,

f. Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni


Matahari,

17
g. Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni
Planet Venus,

h. Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni


Planet Mercurius,

i. Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni


Bulan.

Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal
Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal
Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat
unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.49

Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan


sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan.
Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak
disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan.

Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah


benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi
menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap.

Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh , sembilan di antaranya untuk


mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal sepuluh yaitu akal bulan
yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan, maka
pada Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek pemikiran
yaitu zat-Nya saja.

Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran yaitu Tuhan dan
diri akal itu sendiri. Pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai Wajibul
Wujud karena Tuhan, dan sebagai Wujud yang mengetahui Tuhan, keluarlah akal
kedua dan seterusnya.50

3. Filsafat Metafisika
Mengenai pembicaraan filsafat metafisika ini, seperti para filosof lainnya,
yakni membahas tentang masalah ke-Tuhanan. Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan
menjadi 3 (tiga) yaitu:
pertama, membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai
wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat
(paticulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang Wujud
tertentu. Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun
berada dalam benda-benda itu? Kemudian terlebih dahulu dibahas apakah Wujud
serupa itu ada atau tidak, kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa Wujud serupa
49
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet. Ke IX, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal.
27-28
50
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 162

18
itu ada. Apakah Wujud serupa itu sedikit atau banyak? Apakah Wujud serupa itu
berketerbatasan atau tidak? kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa
keterbatasan.51

Al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan


pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud al-Awwal
sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran adanya Tuhan, al-
Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud.

Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak
ada alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada
dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah Wujud yang
sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud  itu tidak ada, akan
timbul kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah
yang disebut dengan Tuhan.

Adapun mumkin al-Wujud tidak akan berubah menjadi Wujud Aktual tanpa
adanya Wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi
Wajib al-Wujud. Walaupun demikian, mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in
infinitum) karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada Wajib al-Wujud.52

4. Filsafat Ke-Nabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama.
Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi
adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah
akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka
dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas
keagamaan.
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai
Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah
adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah
berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :

‫ُوحى * َعلَّ َمهُ َش ِدي ُد ْالقُ َوى‬


َ ‫يي‬ٌ ْ‫ق ع َِن ْالهَ َوى * إِ ْن هُ َو إِال َوح‬
ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬
”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya.  Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).  
Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.”

Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang
mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai
kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-
Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara
filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi.

51
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1, (Bandung: Rosdakarya, 1988), hal.133
52
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, hal. 35-36

19
Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya tentang keingkaran
kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di
gambarkan olehnya adalah:

pertama, Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah


mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan
beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk,
menerima suruhan dan larangan-Nya.

Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya
Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya.

Ketiga, mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya


menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan srigala bisa
berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang Badar dan
mengapa dalam perang Uhud tidak.

Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa.
Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Qur’an, karena mereka
tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah Khalifah yang paling
Fasahah dikalangan orang Arab.

Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca


kitab suci, lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku
Astronomi, logika dan obat-obatan menurutnya.

Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat


bertentangan dengan al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran Islam,
al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber inspirasi yang benar, dapat
diterima akal, dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman hidup manusia.
Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya.
Bahkan perbuatan ini dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-
Qur’an ada dijelaskan:

ِ ‫ْب فِي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِينَ * الَّ ِذينَي ُْؤ ِمنُونَ بِ ْال َغ ْي‬
َ‫ب َويُقِي ُمونَ الصَّالةَ َو ِم َّما َرزَ ْقنَاهُ ْميُ ْنفِقُون‬ َ ‫ك ْال ِكتَابُ ال َري‬
َ ِ‫َذل‬
”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.”
(Q.S. al-Baqarah: 2-3)

Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka
dari itu ”ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi
yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima visi dan
kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu.

20
Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal
kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat
berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya
tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari
Akal kesepuluh.”53

Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada
kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan
filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu
(al-Qur’an) ia akan tersesat, karena antara keduanya sama-sama mendapatkan dari
sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril).

Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-
Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber
hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.

Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk
berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga maupun
tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu bukanlah
sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah cerita dan kebohongan yang di
buat oleh Nabi.

Wahyu berisikan firman-firman Allah, datangnya langsung dari Allah, melalui


perantara Jibril, dan melalui tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak
dimiliki oleh manusia lainnya.

Ada sebagian manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para
Nabi, maka mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang
mereka mengalaminya ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya.

Ada lagi lebih ke bawah yakni, manusia yang awam, maka imajinasinya sangat
lemah sekali sehingga tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur
ataupun terbangun.

Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia
capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan.
Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin
sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan
dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi
kehidupan Negeri.Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih
hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur
studi dan analisa kejiwaan.54

Dalam sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah kritik yang dikemukakan A.


Hanafi, yang termuat dalam buku Filsafat Islam, yakni: pertama, teori al-Farabi telah
53
Harun Nasution, Akal dan Wahyu  dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesi, 1983), hal.17
54
. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 143

21
menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh melalui
pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya.

Akan tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap


perbedaan tersebut, sebab selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai
keluarnya juga sama, maka tentang cara memperolehnya tidak menjadi sebuah
persoalan. Dengan perkataan lain,  nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara
memperolehnya, melainkan keppada sumbernya.

Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi dapat naik ke
alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada kekuatan suci yang
memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima perintah-perintah Tuhan.
Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui
kekuatan pikirannya yang besar.

Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui
pemikiran dan renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu pengetahuan
yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab),
sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat (keadaan) yang
berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bisa dicapai seseorang melalui ilmu
dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan dapat
berhubungan dengan alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh
Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya.

Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak
mudah diperoleh, sebab setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai
filsafat yang sebenarnya hanyalah sedikit saja.

Al-Farabi juga menetapkan bahwa seorang Nabi mempunyai imajinasi yang


luar biasa atau kekuatan rahasia tertentu. Boleh jadi menurut pendapatnya, imajinasi
dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan
yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas mengatakan demikian

Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut di
atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran psikologis
terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril
turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa kadang terdengar
oleh Nabi seperti bunyi lonceng.

Inilah teori ke-Nabian yang telah dicapainya, kemudian ia hubungkan dengan


persoalan-persoalan sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia membuat sebuah kesimpulan
bahwa Nabi adalah seorang yang mempunyai pribadi shaleh dan mempunyai jiwa
untuk memimpin sebuah negeri.

5. Hidup Sesudah Mati

22
Mengenai hidup sesudah mati, yakni hidupnya di akhirat, Al-Farabi, seperti
Al-Kindi, memiliki pandangan bahwa kehidupan manusia di akhirat adalah bersifat
rohaniah, tanpa jasmani. Bagi Al-Farabi, manusia pada hakikatnya adalah jiwanya,
bukan tubuhnya, dan yang pantas disebut jiwa manusia adalah jiwa yang sudah
memiliki akal praktis dan teoritis secara aktual. Bila belum dimiliki secara aktual,
maka jiwa itu belum dapat disebut jiwa manusia, dan itu berarti masih sama saja
dengan jiwa binatang. Bagi Al-Farabi, hanya jiwa manusia yang mengalami
kekekalan di akhirat, baik dalam kebahagiaan maupun dalam adzab penderitaan. Jiwa
yang pernah hidup pada tubuh manusia, tapi tidak mengaktual padanya akal praktis
dan teoritis, akan hancur bersama hancurnya badan.55 Kebahagiaan jiwa manusia
setelah berpisahnya dari badan, tidaklah sama antara satu dengan yang lain, demikian
pula dengan kesengsaraannya. Kualitas jiwa manusia itu berbeda-beda, dan demikian
mestilah, berdasarkan prinsip keadilan, kebahagiaan atau kesengsaraan yang dialami
jiwa manusia itu sesuai dengan kualitas kesucian atau keutamaan jiwa manusia itu
sendiri. Urusan mencocokkan itu berada di tangan Tuhan, kata Al-Farabi.

Menurut Al-Farabi jiwa-jiwa yang kekal dalam kebahagiaan akhirat itu ialah
jiwa-jiwa penduduk kota utama, dan itulah jiwa-jiwa utama, yang mengetahui
kebenaran, keutamaan, dan kebahagiaan sejati, serta setia mengerjakan perbuatan-
perbuatan baik, dan dengan demikian jiwa-jiwa tersebut menjadi kuat dan sempurna,
atau sampai kepada taraf tidak merasa butuh lagi kepada materi. Adapun jiwa-jiwa
yang kekal dalam kesengsaraan di akhirat ialah jiwa-jiwa yang durhaka (fasiq). Jiwa-
jiwa tersebut mengetahui kebenaran, baik dan buruk, serta kebahagiaan sejati, tapi
mereka berpaling dari keutamaan. Mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang
rendah dan tetap teperdaya oleh kesenangan-kesenangan jasmaniah yang rendah.
Setelah badan mengalami kematian/hancur, maka jiwa-jiwa yang durhaka ini terus
hidup kekal dalam kekecewaan atau kesengsaraan. Jiwa-jiwa jaahilah (bodoh) dalam
arti tidak mengaktual akal praktis dan teoritis pada mereka, hancur bersama hancurnya
badan. Sebagaimana telah disinggung, bagi Al-Farabi tidak ada pra-eksistensi jiwa,
dan tidak ada pula reinkarnasi jiwa. Hidup jiwa dalam badan manusia hanya sekali,
dan setelah itu jiwa hidup tanpa badan, dalam kebahagiaan atau dalam kesengsaraan.56

6. Filsafat Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga
menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata
lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof
muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof
berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-
nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah
kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami

55
Al-Farabi, Tahshīlus Sa’ādat, tahqiq Alibu Mulham (Beirut: Daar al-Hilal, 1995), hal. 20.
56
Abdul Aziz Dahlan. Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Karya Unipress, 2003), hal. 64.

23
untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan
bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok
hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan
kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak
saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti. 57 Pendapatnya ini menyangkut
tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.

Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat,


yakni:

a. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah


masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya.
Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan
individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih
dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.58 Selanjutnya, masyarakat yang
sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat
sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan
saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-
bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas
suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara
nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para
penghuni satu kota (negara kota).59

b. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat


yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil
seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung,
lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih
jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.

Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama,
yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah
keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu anggota
tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka tubuh yang lain
akan merasakannya.

Demikian pula anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari
warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan
kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan
pekerjaan yang sesuai dengan kdan spesialisasi mereka.

57
unawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss,
1993), hal. 51
58
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1988) , hal.138
59
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UI Perss, 1993),
hal. 51-52

24
Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah
fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh
manusia. Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah
fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh
manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan,
berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad
yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai
Wahyu.

Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan


kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala
dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-
masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang
mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan).  Kemudian dari
Kepala Negara, membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah
peringkatnya, kemudian di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang
bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai
golongan terendah.

Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam satu
pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat
khayalan semata.

Al-Farabi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara adalah
Nabi / Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar
dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-
sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan kepada seorang
yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara
ideal.

Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi


terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka
dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat.

Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat karena
pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya,
sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit karena kurangnya
pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara itu. Negara yang buruk
tersebut banyak macamnya, misalnya Negera yang fasik, Negara yang bodoh, atau
Negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara
yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam:

Pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya


memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat
tinggal.

25
Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya
mementingkan kekayaan harta dan benda.

Ketiga, Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya


mementingkan kehormatan saja. 

Keempat, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang


penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya.

Kelima, Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya


ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing.

F. Karya-Karya Al-Farabi

Al-Farabi adalah seorang penulis yang produktif. Sepanjang masa hidupnya,


Al-farabi meninggalkan sejumlah karya-karya besar berbentuk tulisan yang penting
bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa jumlah
tulisan Al-Farabi mencapai angka 70 buah yang ditulisnya sewaktu ia berpindah
tempat dari Baghdad ke Damaskus. Namum, sangat sedikit yang sampai kepada kita.
Pada abad pertengahan kayra-karya Al-Farabi sangat terkenal, sehingga orang-orang
Yahudi banyak yang mempelajari karangannya dan menerjemahkannya ke dalam
bahasa Ibrani. Sampai sekarang salinan-salinan tersebut masih tersimpan rapih di
perpustakaan-perputakaan Eropa.

Al-Farabi menulis hampir semua bukunya di Baghdad dam Damaskus, karya-


karya Al-Farabi sendiri tersebar luas di timur pada abad ke- 4-5 H/ ke-10 M dan 11
M. Karya-karyanya juga tersebar luas di Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia
menjadi pengikut Al-Farabi. Beberapa tulisan Al-Farabi telah diterjemahkan ke dalam
bahsa Yunani dan Latin, dan telah mempengaruhi sarjana Yahudi dan Kristen. Karya-
karyanya telah telah diterbitkan pada sepuluh tahun terakhir abad ke 13 H/ ke- 19 M,
dan beberapa diantaranya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa
Modern.60 Karya-karyanya sebagai berikut:

1. Al-Jam’u Baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu

2. Tahqiq Ghard Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Tabi’ah

3. Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al-yunani

4. At-Ta’liqat

5. Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falasafah

6. Kitab Tahshil As-Sa’asdah


Hesti pancawati, Skripsi Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara, (Fakultas ushuluddin
60

Dakwah dan Adab IAIN SMH Banten, 2010), hal. 22

26
7. Risalah fi Isbat Al-Fadhilah

8. ‘Uyun Al-Masa’il

9. Ara’Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah

10. Ihsa Al-Ulum wa at-Ta’rif bi Aghradita

11. Makalat fi Ma’ani Al-Aql

12. Fususul Al-Hikam

13. Risalah Al-aql

14. As-Siyasah Al-Madaniyah

15. Al-mas’il Al-Falasfiyah wa Al-Ajwibah Anha.61

16. Syarh Kitab Al-Burhan

17. Al-Mukhtashar

18. Kalam fi Al-Juz’ wa ma la Yatajazza’

19. Al-wahid wa Al-Wahdah

20. Al-Khair wa Al-Miqdar

21. Kalam fi Maujudat Al-Mutaghayyirah

22. Syarh Kitab as-Sama’wa Al-Alam

23. Kalam Fi Al-Jauhar

24. Risalah fi Mahiyah An-Nafs

25.. Kitab fi Al-Quwwah Al-Mutanahiyah wa Ghair Al-Mutanahiyah.62

26. Al-Tanbiih ‘Alaa Sabiilis Sa’aadah

27. Ringkasan Nawaamis Aflaathuun

28. Ma Yanbaghi

29. Ad-dawa’i Al-Qalbiyah

30. Kalam Fi A’zha’ Al Hayawan


61
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya),
(Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 84
62
Muhsin Labib, Para Filosof, Sebelum dan Sesudah Mula Shadra, (Jakarta: Al-Huda, 2005), hal. 92

27
31. Risalah Fi Itsbat Al-Mufaraqat

32. Kitab Ar-Rad Ala Ibnu ar-Rawandi

33. Kitab Al-Ijima’at Al-Madaniyah

34. NushushulHikam.63

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan

Dalam Makalah ini Penulis dapat menyimpulkan bahwa Filsafat Al Kindi dan
Al-farabi mempunyai perbedaan diantaranya yaitu : memadukan anatara filsafat dan
agama. Filsafat berdasarkan akal pikiran adalah pengetahuan yang benar, al-Qur’an
yang membawa argument-argumen yang lebih meyakinkan dan benartidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itumempelajari
filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan berteologi adalah bagian darifilsafat,
sedangkan Islam mewajibkan mempelajari Teologi menurut pemikiran Al Kindi

Sedangkan menurut pemikiran Al Farabi adalah Al Farabi berusaha


memadukan beberapa aliran filsafat fal safah al taufiqhiyah atau wahdah ala falsafah
yang bebrkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus,
jugaantara agama dan filsafat.

Hesti pancawati, Skripsi Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara, (Fakultas ushuluddin
63

Dakwah dan Adab IAIN SMH Banten, 2010), hal. 23-24

28
B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini, pemakalah sangat menyadari bahwa makalah


ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu pemakalah akan berusaha untuk terus berusaha
memperbaiki makalah ini dengan berpedoman pda banyak sumber serta sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi tercapainya
kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

A Khudori Soleh, Epistemologi Ibn Rusyd, (Malang: UIN Press, 2011).


A Khudori Soleh, Titik Temu Agama dan Filsafat, (Malang, UIN Press, 2011),
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
Abdul Aziz Dahlan. Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Karya Unipress, 2003),
Ahwani Al Fuad Ahmad, 1985, Filsafat Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus,
Al-Farabi, Tahshīlus Sa’ādat, tahqiq Alibu Mulham (Beirut: Daar al-Hilal, 1995),
Al-Kindi, “al-Falsafah al-Ulâ”, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindî al-
Falsafiyah, (Mesir, al-I`timad, 1950),
Al-Kindi, “Al-Ibânah an al-Illah al-Fâ`ilah al-Qarîbah li al-Kaun wa al-Fasâd” dalam
Abu Ridah (ed), Rasâil,
Al-Kindi, “Al-Ibânah an Sujûd al-Jirm al-Aqshâ wa Thâ`atuh lillah” dalam Abu Ridah
(ed), Rasâil al-Kindi,

29
Al-Kindi, “Fî Hudûd al-Asyyâ’ wa Rusûmuhâ” dalam Abu Riddah, Rasâil,
Al-Kindi, “Fî Kammiyah Kutub Aristhûthâlîs wa Mâ Yahtaj Ilaih fî Tahshîl al-
Falsafah” dalam Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindi,
Al-Kindi, “Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam” dalam Abu Ridah (ed),
Rasâil al-Kindi,
Arsyad Natsir M, 1989, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Bandung : Mizan,
Ayi Sofiyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
Daudy Ahmad, 1992, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung:
Pustaka Setia, 2009),
George N Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno,
(Bandung, Pustaka, 1983),
Harun Nasution, Akal dan Wahyu  dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesi, 1983),
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet. Ke IX, ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1973),
Hesti pancawati, Skripsi Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara, (Fakultas
ushuluddin Dakwah dan Adab IAIN SMH Banten, 2010),
Ibn Rusyd, “Fashl al-Maqâl” dalam Falsafah Ibn Rusyd, (Beirut, Dar al-Afaq, 1978),
Imam Sukardi. Disertasi Pemikiran Politik Al-Farabi (Diskursus Kepemimpinan
Negara), (Jakarta:Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008),
Khan Mahdi Ali, 2004, Dasar-Dasar Filsafat Islam Pengantar ke Gebrang Pemikiran,
Bandung : Nuansa,
M. M. Syarif, 1985, Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan),
M. Wiyono, Pemikiran Filsafat Al-Farabi (Journal Substantia, Vol. 18, No. 1, April
2016),
Muhsin Labib, Para Filosof, Sebelum dan Sesudah Mula Shadra, (Jakarta: Al-Huda,
2005),
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V,
(Jakarta: UI Perss, 1993),
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
Nasr Hossein Seyyed, Leamen Oliver, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung :
Mizan, 2003)
Nasution Harun, Filsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1, (Bandung: Rosdakarya, 1988),

30
Sa’id Zayid. Abu Nashr Al-Farabi: Fi al-Dzikra al-Fiah li Wafaatih, (Kairo: al-Hai’ah
al- Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 1993),
Sahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut, Dar al-Kutub, 1971),
Soleh Khudori, 2013, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta : Ar-
Ruzz,
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, , 2010)
Supena Ilyas, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Ombak, , 2013)
Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya, (Bandung :
Pustaka Setia, , 2009)
Yamani, Pengantar Jalaludin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat
Politik Islam, (Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 2002),

31

Anda mungkin juga menyukai