DISUSUN OLEH :
ALFINSYAH
NIM : 2030304058
DOSEN PENGAMPU :
HENDRI INDRAYANI, M.A.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun
dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan......................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Kindi........................................................................ 2
B. Pemikiran Filsafat Al-Kindi........................................................ 3
C. Karya-Karya Al-Kindi................................................................. 12
D. Biografi Al-Farabi....................................................................... 13
E. Pemikiran Filsafat Al-Farabi....................................................... 15
F. Karya-Karya Al-Farabi................................................................ 26
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 29
B. Saran............................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat
segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu
sendiri adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam
yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis
serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh para filosof
Islam.
Filsafat Yunani paling dominan masuk kedunia Islam ditandai dengan adanya
penterjemahan buku-buku filsafat. Upaya-upaya umat Islam ini dapat memunculkan
tokoh filosof Islam terkenal di dalam atau luar Islam. antara lain: Al-Kindi, Ibnu
Rusyd, Al-Fabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah dan masih banyak lagi. Pedapat Auguste
Comte, bahwa setiap pribadi atau bangsa tumbuh dalam tiga tingkatan yaitu a.
Tingkat agama atau dogma. b. Tingkat filsafat. c. Tingkat ilmu pengetahuan.
Adapun yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah tokoh filsafat muslim
yang bernama, Al-kindi dan Al-Farabi. Alasannya adalah karena tokoh tersebut
merupakan peletak dasar dalam filsafat islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, yang menjadi masalah pada
makalah ini adalah:
1. Bagaimana Biografi Al-Kindi dan Al-Farabi
2. Bagaimana Pemikiran Filsafat Al-Kindi dan Al-Farabi
3. Apa saja Karya-karya Al-Kindi dan Al-Farabi
C. Tujuan Pokok
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui Biografi Al-Kindi dan Al-Farabi
2. Untuk mengetahui Pemikiran Filsafat Al-Kindi dan Al-Farabi
3. Untuk mengetahui Karya-karya Al-Kindi dan Al-Farabi.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Kindi
Al-Kindi lahir di Kufah pada abad sembilan masehi yaitu sekitar tahun 801 M
dan wafat pada tahun 873 M,1 tahun kelahiran dan kematian Al-Kindi tidak diketahui
secara jelas. Al-Kindi hidup selama kurang lebih 72 tahun kelahirannya di kota kufah
merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam. Inilah kota
bersejarah di Irak yang dibangun pada masa ekspansi pertama Islam ke luar
Semenanjung Arab.
Orang tua Al-Kindi adalah gubernur dari Kufah pada masa pemerintahan Al-
Mahdi (775-758 M) dan Harun Al-Rasyid (786-809) dari Bani’Abbas, akan tetapi
beberapa tahun setelah kelahiran Al-Kindi, ayahnya meninggal dunia Ishaq Ibnu As-
Sabah,2 dengan demikian Al-Kindi pun dibesarkan dalam keadaan yatim. Al-Kindi
adalah keturunan suku kindah (Yaman). Ia lahir ditengah keluarga yang kaya akan
informasi kebudayaan dan berderajat tinggi serta terhormat dimata masyarakat.
Kakeknya atau keturunannya yang pertama kali memeluk islam ialah Al-
Asy’ats bin Qeis,3 seseorang yang memimpin utusan Kabilah menghadap Rasul SAW.
Asy’ats termasuk salah seorang sahabat nabi yang paling pertama datang ke kota
Kufah. Ia pun termasuk diantara para sahabat yang meriwayatkan hadist-hadist nabi
bersama dengan Sa’ad Abi Waqqash ia turut berkecimpung dalam peperangan
melawan Persia di Iraq.
Nama Lengkap Al-Kindi ialah Abu Yusuf Yakub ibn Ishaq ibn al-Sahabbah
ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy`as ibn Qais ibn al-Kindi. 4 Lebih populer di
kampus-kampus dan seminar-seminar filsafat dengan sebutan al-Kindi, dinisbatkan
kepada Kindah yaitu suatu kabilah terkemuka pra Islam yang merupakan cabang dari
Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Pendidikan Al-Kindi dimulai dari lingkungan
keluarga yang pertama-tama diberikan padanya adalah membaca Al-Qur’an, menulis
dan berhitung. Pada masa kecilnya, Al-Kindi sempat merasakan masa pemerintahan
Khalifah Harun Al-Rasyid yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong
perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum Muslim.
2
Di kota Baghdad Ia di perlakukan dengan baik oleh Al-Makmun dan saudara-
saudara laki-lakinya Al-Muktashim dan sampai akhirnya Al-Kindi mendapatkan
posisi penting sebagai guru tabib kerajaan, bahkan Ia dipercaya Muktashim untuk
mendidik anaknya yaitu Ahmad. Masa-masa yang penuh dengan dinamika politik dan
intelektual serta puncak kejayaan Daulah Abbasiyah dalam bidang militer dan politik.
Suasana tersebut sangat kondusif bagi Al-Kindi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan filsafatnya.5
a. Jalan Ortodoksi yang banyak ditempuh oleh mayoritas umat Islam yang
berusaha mengembangkan jenis ilmu-ilmu pengetahuan seperti : filologi,
sejarah, jurisprudensi.
Al-Kindi termasuk filosof pertama yang berorientasi pada akal. Ia hidup pada
masa abbasiyah yang orientasi resminya adalah menghadapi keterasingan akal yang
diusung oleh al-manawiyah dan syi’ah. Ia hidup semasa dengan al-makmun,
almutashim, al-watsiq dan al-mutawakkil. Pada masa itu, Ia menghadapi pada masa-
masa penindasan, ketika terjadi transformasi sunni yang di prakarsai al-mutawakkil
guna menentang mu’tazila. Dengan demikian Al-Kindi terlibat pertarungan ideologis
tersebut.6
Al-Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi
pemikiran Islam, tepatnya masa transisi dari teologi tradisional kepada filsafat. Al-
Kindi-lah justru orang Arab pertama yang mengenalkan filsafat ke dalam pemikiran
Arab, sehingga diberi gelar “Filosof Bangsa Arab”. Menurut Atiyeh (1923-2008 M),
dalam kondisi seperti ini setidaknya ada 2 kesulitan yang dihadapi al-Kindi. Pertama,
kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan filosofis ke dalam bahasa Arab yang
saat itu kekurangan istilah teknis untuk menyampaikan ide-ide abstrak. Kedua, adanya
tantangan atau serangan yang dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat;
filsafat dan filosof dituduh sebagai pembuat bid’ah dan kekufuran.7
5
Arsyad Natsir M, 1989, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Bandung : Mizan, hal. 49
6
Nasution Harun, 1973, Filsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 15
7
George N Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno, (Bandung, Pustaka,
1983), hal. 10.
3
Untuk mengatasi kesulitan pertama, al-Kindi melakukan beberapa hal: (1)
menterjemahkan secara langsung sesuai gramatika istilah-istilah Yunani ke dalam
bahasa Arab, seperti kata hyle diterjemahkan dengan thîn (tanah liat). (2) mengambil
alih istilah-istilah Yunani kemudian menjelaskannya dengan menggunakan kata-kata
bahasa Arab murni, seperti failusûf untuk istilah Yunani philosophos (filosof),
falsafah untuk istilah philosophia (filsafat), fanthasiyah untuk istilah phantasia
(fantasi). (3) menciptakan kata-kata atau istilah baru dengan cara mengambil kata
ganti dan menambahkan akhiran iyah di belakangnya, untuk membuat atau
menjelaskan abstraksi-abstraksi yang sulit dinyatakan dalam bahasa Arab. Misalnya,
al-mâhiyah dari kata mâ huwa (apakah itu?) untuk menjelaskan istilah Yunani to ti
esti (esensi); al-huwiyah dari kata ganti huwa (dia) untuk menjelaskan istilah Yunani
to on (substansi). (4) memberikan makna baru pada istilah-istilah lama yang sudah
dikenal.8
Kedua, menyatakan bahwa kebenaran adalah kebenaran yang bisa datang dari
mana saja dan umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya.
Dalam al-Falsafah al-Ulâ, secara jelas al-Kindi menulis,“Kita hendaknya tidak merasa
malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan mengambilnya dari manapun dia berasal,
meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari
kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil
kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat
sang pencari kebenaran, melainkan justru menjadikannya terhormat dan mulia”.10
Ketiga, menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kebutuhan, sebagai sarana dan
proses berpikir, bukan sesuatu yang aneh atau kemewahan. Al-Kindi senantiasa
menekankan masalah ini terhadap orang-orang yang fanatik agama dan menentang
kegiatan filosofis. Al-Kindi, dengan metode dialektika, mengajukan pertanyaan
kepada mereka, “Filsafat itu perlu atau tidak perlu?”. Jika perlu, mereka harus
8
George N Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno, (Bandung, Pustaka,
1983), hal. 12.
9
George N Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno, (Bandung, Pustaka,
1983), hal. 10.
10
Al-Kindi, “al-Falsafah al-Ulâ”, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindî alFalsafiyah,
(Mesir, al-I`timad, 1950), hal. 103. Selanjutnya disebut al-Falsafah al-Ulâ.
4
memberikan alasan dan argumen untuk membuktikannya; begitu juga jika
menyatakan tidak perlu. Padahal, dengan menyampaikan alasan dan argument
tersebut, mereka berarti telah masuk dalam kegiatan filosofis dan berfilsafat. Artinya,
filsafat adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat dihindari, karena sebagai
sarana dan proses berpikir.11Dalam Islam, setelah al-Kindi (801-873 M), argument
seperti ini kemudian digunakan oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M), tokoh filsafat
Aristotelian asal Andalus (Spanyol).12
Keempat, menyatakan bahwa meski metode agama dan filsafat berbeda tetapi
tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, baik dalam tujuan praktis maupun
teoritisnya. Tujuan praktis agama dan filsafat adalah mendorong manusia untuk
mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi, sedang tujuan teoritisnya adalah
mengenal dan mencapai kebenaran tertinggi, Tuhan. Karena itu, menurut al-Kindi,
tidak ada perbedaan yang esensial antara agama dan filsafat, karena keduanya
mengarah kepada tujuan yang sama.13
“Jika seseorang tidak memiliki ilmu pasti (ilm al-kammiyah) dan ilmu
penalaran (ilm al-kaifiyah), maka ia tidak akan mendapatkan ilmu filosofis,
yaitu pengetahuan insani (al-ulûm al-insâniyah) yang diperoleh lewat riset,
upaya dan ketekunan; sebuah pengetahuan yang berada di bawah ilmu ilahiyah
(al-ilm al-ilahy) yang diperoleh tanpa riset, upaya, ketekunan dan waktu,
seperti pengetahuan para rasul yang diberikan secara langsung oleh Tuhan”.14
5
mengandung beberapa arti: (1) sujud dalam shalat, (2) kepatuhan atau ketaatan, (3)
perubahan dari ketidaksempurnaan kepada kesempurnaan, dan (4) mengikuti aturan
secara ihlas. Makna yang terakhir inilah yang digunakan al-Kindi untuk menjelaskan
ayat di atas, sehingga sujud bintang-bintang dan pepohonan adalah dengan cara
mematuhi perintah Tuhan, bukan sujud seperti dalam shalat.15
Menurut al-Kindi, apapun yang disampaikan Rasul dari Tuhan adalah benar
adanya dan dapat diterima oleh nalar, sehingga tidak ada pertentangan di antara
keduanya. Pertentangan yang muncul antara kata-kata al-Qur’an dengan pemahaman
filosofis, sesungguhnya, adalah akibat dari adanya kesalahpahaman kita sendiri dalam
memahami makna al-Qur’an. Secara jelas al-Kindi menulis, “Semua ucapan Nabi
Muhammad saw adalah benar adanya dan apa yang disampaikannnya dari wahyu
Tuhan adalah dapat diterima dan ditentukan dengan argument-argumen rasional
filosofis. Hanya orang yang kehilangan akal sehat dan dipenuhi kebodohan yang
menolaknya”.16
2. Creatio Ex Nihilo.
15
Al-Kindi, “Al-Ibânah an Sujûd al-Jirm al-Aqshâ wa Thâ`atuh lillah” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil
al-Kindi, hal. 244 dan seterusnya.
16
Atiyeh, al-Kindi, hal. 24.
17
Ibid, hal. 25; A Khudori Soleh, Epistemologi Ibn Rusyd, (Malang: UIN Press, 2011). Pemikiran
filsafat Stoik mengambil dari seluruh filsafat Yunani dan kemudian (ajaran Kristen) Romawi. Sekolah filsafat
ini di tutup tahun 529 M atas perintah Kaisar Justinian I (483–565 M), karena dianggap mengajarkan sesuatu
yang bertentangan dengan iman Kristen.
18
Atiyeh, Al-Kindi, hal. 48.
6
Al-Kindi juga menolak teori tersebut dan sebagai gantinya memunculkan
gagasan bahwa alam tercipta dari yang tiada (creation ex nihilo), sebagaimana yang
diyakini dalam teologi Islam. Menurutnya, semesta ini terbatas, tidak abadi dan
tercipta dari yang tiada. Namun, argumentasi yang digunakan tidak bersifat teologis
melainkan filosofis, dan itu didasarkan atas prinsip-prinsip logika Aristoteles sendiri.
Ada dua prinsip Aristoteles yang digunakan oleh al-Kindi: (1) bahwa sesuatu yang
tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam bentuk yang
aktual; (2) bahwa materi, waktu dan gerak adalah muncul secara serentak, bersamaan.
Dua prinsip ini oleh al-Kindi kemudian dikembangkan menjadi 9 pernyataan:
1. Dua besaran yang sama, jika salah satunya tidak lebih besar dari yang lainnya,
berarti adalah sama.
2. Jika satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama
tersebut, maka keduanya menjadi tidak sama.
3. Jika sebuah besaran dikurangi, maka sisanya adalah lebih kecil dari besaran
semula.
4. Jika suatu besaran diambil sebagiannya, kemudian sebagiannya tersebut
dikembalikan lagi, maka hasil besarannya adalah sama seperti sebelumnya.
5. Besaran yang terbatas tidak dapat berubah menjadi tidak terbatas, begitu juga
sebaliknya.
6. Jumlah dua besaran yang sama, jika masing-masing bersifat terbatas, adalah
terbatas.
7. Besaran alam aktualitas adalah sama dengan besaran alam potensialitas.
8. Dua besaran yang tidak terbatas tidak mungkin salah satunya menjadi lebih
kecil daripada lainnya.
9. Apa yang dimaksud sebagai lebih besar adalah dalam hubungannya dengan
bagian yang lebih kecil, dan yang disebut sebagai lebih kecil adalah dalam
hubungannya dengan yang lebih besar.19
19
Al-Kindi, “Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil al-Kindi,
hal. 202 dan seterusnya.
7
terbatas. Namun, jika dikatakan tidak terbatas, maka berarti ada dua hal yang sama-
sama tidak terbatas, dan itu mengimplikasikan bahwa keseluruhan adalah sama
dengan bagiannya dan itu tidak masuk akal; jika dikatakan menjadi wujud terbatas,
maka hal itu bertentangan dengan pernyataan bahwa yang tidak terbatas tidak
mungkin melahirkan yang terbatas. Ketiga, jika sebagiannya yang diambil tadi kita
dikembalikan lagi, maka hasilnya adalah sebagaimana yang ada sebelumnya. Namun,
ini mengimplikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar
dari dari sesuatu yang tidak terbatas lainnya (bagian); sesuatu yang tidak masuk akal.20
Berdasarkan hal itu, al-Kindi berarti mempunyai konsep sendiri yang tidak
sama dengan Aristoteles (384–322 SM) yang menyatakan bahwa semesta adalah
terbatas dalam ruang (materi) tetapi tidak terbatas dalam waktu dan gerak. Begitu
pula, al-Kindi tidak sesuai dengan Plato (428-347 SM) yang menyatakan bahwa
semesta adalah terbatas dalam waktu tetapi tidak terbatas dalam materi (ruang).
Sebab, bagi al-Kindi, ruang (materi), waktu dan gerak, ketiganya adalah sama-sama
terbatas dan tercipta. Meski demikian, al-Kindi berkesesuaian dengan Plato dalam
masalah hubungan antara gerak dan waktu. Menurut keduanya, waktu muncul seiring
bersama gerak dan perubahan, di mana ada gerak dan perubahan berarti di situ ada
waktu, begitu juga sebaliknya. Tuhan, karena tidak berubah, maka tidak berkaitan
dengan waktu, dan karena itu Dia tidak bermula (qadîm) dan abadi.22
20
Atiyeh, Al-Kindi, hal. 51.
21
Fuad Ahwani, Al-Kindi, hal. 24
22
Fuad Ahwani, Al-Kindi, 24; Atiyeh, Al-Kindi, hal. 53
23
Atiyeh, Ibid, hal. 65
8
Geosentris adalah sebuah konsep kosmologi yang menempatkan bumi sebagai
pusat tata surya, sedang heliosentris adalah pemikiran yang memposisikan matahari
sebagai pusat tata surya. Dalam sejarahnya, konsep geosentris telah muncul sejak
Yunani kuno, mulai Anaximander (610–546 SM), Phytagoras (570– 495 SM) sampai
Aristoteles (384–322 SM), dan merupakan pemikiran yang dominan dalam filsafat
Yunani. Dalam pemikiran mereka, matahari, bulan, bintang dan planet-planet lainnya,
adalah bergerak mengelilingi bumi.24
Kedua, berdasarkan prinsip bahwa segala sesuatu tidak dapat menjadi sebab
atas dirinya sendiri, karena agar dapat menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu itu harus
ada sebelum dirinya. Apa yang dimaksud sebagai “sesuatu” di sini adalah semesta.
Artinya, jika semesta tidak dapat muncul karena dirinya sendiri berarti ia butuh
sesuatu di luar dirinya untuk memunculkannya, dan itu adalah Tuhan.26
24
Kajian tentang masalah ini, lihat referensi-referensi yang mendiskusikan masalah susunan alam
semesta, dari klasik sampai modern.
25
Atiyeh, Al-Kindi, hal. 55.
26
Al-Kindi, “Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil al-Kindi,
hal. 207.
27
Al-Kindi, “Fî Hudûd al-Asyyâ’ wa Rusûmuhâ” dalam Abu Riddah, Rasâil, hal. 174.
9
Keempat, didasarkan atas argumen teleologis, yaitu dalil al-`inâyah. Dalil ini
menyatakan bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur dan menakjubkan ini tidak
mungkin terjadi secara kebetulan melainkan pasti karena adanya tujuan dan maksud
tertentu, sekaligus menunjukkan adanya Dzat Yang Maha Mengatur yang merupakan
“pembangkit dari semua pembangkit, yang pertama dari semua yang pertama, dan
yang menjadi sebab dari semua sebab”. Al-Kindi menulis,
“Keteraturan, ketertiban dan keselarasan alam raya ini adalah wujud dari
pengaturan-Nya yang bijak dan sempurna. Sungguh, kehidupan alam yang
serba teratur dan bijak telah cukup (sebagai bukti tentang ada-Nya) bagi
mereka yang mampu melihat dengan pikiran jernih”.29
Argumen terakhir ini, oleh sebagian filosof, dianggap sebagai dalil paling
efektif untuk membuktikan adanya Tuhan. Dalam tradisi filsafat Islam, dalil ini juga
digunakan oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M),30 sedang dalam tradisi filsafat Barat
dipakai oleh Immanuel Kant (1724–1804 M).
4. Sifat-Sifat Tuhan
Masalah sifat-sifat Tuhan menjadi persoalan yang sangat krusial dalam diskusi
teologi saat itu. Paling tidak muncul tiga madzhab teologi yang berbeda dan
bersitegang karena persoalan ini.
10
(wahdaniyah) dan sifat ketidaksamaan-Nya dengan makhluk (mukhâlafah li al-
hawâdits). Tentang sifat esa, al-Kindi menjelaskannya lewat dua cara. Pertama,
dengan cara membedakan antara esa mutlak dengan esa metaforis. Esa mutlak adalah
keesaan esensial yang tidak terbagi, sedang esa metaforis adalah keesaan yang ada
pada objek-objek terindera, yang memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut tertentu,
sehingga keesaannya tidak bersifat mutlak melainkan berganda.32
Kedua, menggunakan sebuah argumen yang oleh Musa ibn Maimun atau
Maimonides (1135-1204 M), seorang filosof dan Rabbi Yahudi asal Kordoba,
Spanyol, murid Ibn Rusyd (1126-1198 M), digambarkan sebagai “metode yang benar
untuk membuktikan keniscayaan dan keesaan Tuhan”.33 Argumen tersebut adalah
sebagai berikut:
“Seandainya ada Tuhan lebih dari satu, maka mereka pasti majemuk dan
berganda. Sebab, mereka pasti mempunyai satu sifat yang umum sebagai
Sebab Pertama dan sifat pribadi yang membedakan antara satu dengan yang
lain. Ini menunjukkan bahwa masing-masing Tuhan mempunyai lebih dari
satu atribut: satu atribut yang dipakai bersama dan atribut lainnya yang
membedakan antara yang satu dengan lainnya. Artinya, mereka majemuk. Jika
majemuk, mereka butuh pendahulu yang menyiratkan bahwa Tuhan sebagai
penyebab itu butuh penyebab lainnya. Penyebab tersebut bisa satu atau jamak.
Jika satu maka ia adalah Penyebab Pertama satu-satunya; jika jamak maka
penyebab-penyebab tersebut juga butuh penyebab lainnya yang juga jamak.
Begitu seterusnya sampai pada penyebab-penyebab lainnya yang tidak
terbatas, dan itu tidak mungkin. Karena itu, Penyebab Pertama tersebut pasti
satu adanya, Esa, tidak jamak dan berbeda dengan lainnya”.34
Yang Esa adalah satu esensi, tidak pernah berganda, tidak pernah dapat
terbagi dengan cara apapun atau mengenai apapun. Dia bukan waktu atau
tempat. Dia juga bukan badan atau predikat atau keseluruhan atau bagian atau
substansi atau kejadian”.35
32
Al-Kindi, Falsafah al-Ulâ, hal. 147
33
Atiyeh, al-Kindi, hal. 61.
34
Al-Kindi, “Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil al-Kindi,
hal. 207.
Al-Kindi, Falsafah al-Ula, hal. 160. Menurut Atiyeh, konsep al-Kindi ini mirip dengan pemikiran
35
teologi Jahm ibn Shafwan (w. 745 M), seorang tokoh Muktazilah. Menurutnya, Tuhan tidak berkaitan dengan
tinggi atau rendah, tidak terdiri atas bagian-bagian, tidak kiri atau kanan, berat atau ringan. Jika kau berpikir
bahwa Dia adalah sesuatu yang kau ketahui, maka Dia adalah lain dari itu. Atiyeh, al-Kindi, hal. 89.
11
Berdasarkan uraian-uraian di atas, Tuhan dalam pandangan al-Kindi berarti
adalah sesusatu yang tidak terjangkau, tidak terbayangkan dan tidak tergambarkan
oleh kata-kata. Dalam perspektif filsafat, konsep Tuhan al-Kindi tidak memiliki atau
tidak berkaitan dengan karakteristik-karakterisktik Aristoteles (384–322 SM), Philo
(20 SM-50 M) maupun Plotinus (204–270 M). Satu-satunya sifat Tuhan yang
ditampilkan al-Kindi adalah Esa, tunggal dan tidak terbagi (wahdaniyah) di samping
ketidaksamaan-Nya dengan makhluk (mukhâlafah li al-hawâdits). Meski demikian,
menurut Atiyah (1923-2008 M), hal itu bukan berarti al-Kindi tidak mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan yang lain. Dalam beberapa kesempatan, al-Kindi menyebut-Nya
sebagai Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Sifat kasih
sayang-Nya yang tak terhingga meresap dan meliputi seluruh semesta dan
menopangnya sebagaimana jiwa menopang raga.36
C. Karya-karya
Sebagai seorang filosof Islam yang produktif, diperkirakan karya yang pernah
ditulis al-Kindi dalam berbagai bidang tidak kurang dari 270 buah. Dalam bidang
filsafat, diantaranya adalah:
36
Atiyeh, al-Kindi, hal. 65
12
10. Dan Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-
Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan
kerusakan).37
D. Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan
ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/
Transoxiana). Turkistan pada tahun 257 H /870 M. Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia dan Ibunya berkebangsaan Turki.38 Ia dikenal dikalangan Latin
Abad Tengah dengan sebutan Abu Nashr (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-
Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan. 39 Al-Farabi mempunyai
sebutan layaknya sebutan nama bagi orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya bersal
dari negara Turki.
Sejak kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin belajar, apalagi dalam mempelajari
bahasa, kosa kata, dan tutur bahasa ia telah cakap dan luar biasa. Penguasaan terhadap
bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan sangat ia pahami. Malah sebaliknya, bahasa
Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak ia kuasai.
Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Farabi dapat berbicara dalam tujuh
puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa; Arab,
Persia, Turki, dan Kurdi.40
13
intelektual Islam ia mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (guru
kedua), sedangkan yang menjadi guru pertama adalah Aristoteles yang menyandang
gelar al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama), selain itu al-Farabi juga meyandang
predikat al-Syaikh al-Rais (Kiyai Utama), gelar-gelar ini didapatkan karena ia banyak
memamhami filsafat Aristoteles.
Sebagai seorang filosof yang ternama, dalam hidupnya ia dikenal seorang yang
tidak berkecimpung di dunia politik pemerintahan. Atas dasar inilah ia mendapatkan
sebuah kebebasan dalam mengeluarkan pemikirannya yang tidak terikat dengan
dogma-dogma yang berbau politik di kala itu.
Satu sisi menguntungkan dirinya, tetapi kalau dilihat dari segi pemerintahan
maka ia juga rugi karena kurangnya pengalaman dalam mengelola urusan kenegaraan,
juga untuk menguji teori-teorinya terhadap kenyataan politik di kala itu.
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam
banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta
mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya seperti Ibnu
Sina (370H/980 M-428/1037 M) dan Ibnu Rusyd (520H/1126 M-595 H/1198 M)
bayak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.41
14
di Aleppo. Di kota itu ia menjadi bintang terkemuka di tengah-tengah banyak ahli
dalam berbagai bidang, yang menghiasi istana Amir Saif al-Daulah. Al-Farabi hidup
sangat sederhana kendati Amir Saif al-Daulah sangat baik kepadanya dan mau
menjamin biaya hidupnya dengan uang yang berlimpah. Ia merasa cukup mengambil
empat dirham saja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai filosof
yang zahid. Persahabatannya dengan Amir Saif al-Daulah demikian baik sehingga ia
ikut mendampingi Amir itu dalam perjalanan ke Damaskus pada tahun 339 H/950 M.
Di Damaskus itulah Al-Farabi wafat dalam usia 80 tahun dan dikuburkan di sana.44
Jalan terbaik bagi kita, kata Al-Farabi, untuk menunjukkan sifat-sifat Yang
Maha Esa itu adalah juga mengamati fenomena yang ada disekitar kita. Dari
fenomena itu kita menjumpai dua kenyataan: yang utama dan yang hina. Maka yang
lebih pantas untuk kita sandangkan kepada Yang Maha Esa adalah sifat yang paling
utama. Kita tahu bahwa sebutan “yang ada” (al-mawjuud) lebih mulia dari sebutan
“yang tidak ada” (al-ma’dum), maka haruslah kita katakan bahwa ia ada (maujud).
Kita juga tahu bahwa “yang hidup” lebih utama dari “yang tidak hidup”, maka
hendaklah kita katakan bahwa ia itu hidup. Kitapun tahu bahwa “yang tahu” lebih
utama dari “yang tidak tahu”, maka hendaklah kita katakan bahwa ia mengetahui.
Begitulah caranya kita menghubungkan semua sifat-sifat kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dengan disertai keinsafan bahwa ia pada hakikatnya Mahasuci dari menyerupai
sifat-sifat utama, lebih mulia, lebih tinggi dari pada apa yang dapat dibayangkan
44
Abdul Aziz Dahlan. Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Karya Unipress, 2003), hal. 59.
45
Imam Sukardi. Disertasi Pemikiran Politik Al-Farabi (Diskursus Kepemimpinan Negara),
(Jakarta:Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hal. 130-131.
15
manusia, dan tidaklah tersedia jalan bagi siapapun untuk mengetahui-Nya
sebagaimana ada-Nya.46
Tuhan Yang Maha Esa itu, menurut Al-Farabi, maha sempurna, bersih dari
segala macam kekurangan, dan suci dari sebab-sebab, seperti sebab-materi, sebab
bentuk, sebab pelaku, dan sebab tujuan. Ia bukanlah materi dan karena itu pada
hakikatnya Ia adalah akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l); Ia memikirkan (ber-ta’aqqul
terhadap) diri-Nya, maka ia adalah akal, aktivitas memikir, dan yang dipikirkan
sekaligus secara aktual (al-‘aql wa al-‘aqli wa al-ma’qul bi al-fi’l). Selanjutnya Al-
Farabi menegaskan bahwa Tuhan, yang disebutnya juga Pencipta Maha Agung (Al-
Bari Jalla Jalaaluh) adalah pengatur sekalian alam, dan tidaklah tersembunyi dari-
Nya sesuatu kendati sekali debu, dan tak satupun dari bagian alam ini luput dari
perhatian (‘inayah)-Nya.
Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang di dapatnya dari teori
Plotinus47 Yaitu teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk)
dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut
juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran
yang bukan berupa benda.
Ia berpindirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan
wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab,
sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki Zat
yang Agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalm keseluruhan
sejak azali.
Atau apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka zat
yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa)
adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang
matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari
zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form
(surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.48
Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang
banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berobah, jauh
dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun.
Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini
dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
46
M. Wiyono, Pemikiran Filsafat Al-Farabi (Journal Substantia, Vol. 18, No. 1, April 2016), hal. 67.
47
(Jakarta: KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005), hal. 58-59
48
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 160
16
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama
(prime cause), ini telah dikemukakan oleh Aristoteles.
Dalam arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari
energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu.
Sebab itu, meneurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-
Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).
ُإِنَّ َما أَ ْم ُرهُ إِ َذا أَ َرا َد َش ْيئًا أَ ْن يَقُو َل لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون
”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah
Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin : 82).
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari
pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul
awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga
mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat
materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran
inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).
a. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah
Langit Pertama (al-Asmaul awwal),
b. Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-
bintang),
17
g. Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni
Planet Venus,
Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal
Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal
Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat
unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.49
Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran yaitu Tuhan dan
diri akal itu sendiri. Pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai Wajibul
Wujud karena Tuhan, dan sebagai Wujud yang mengetahui Tuhan, keluarlah akal
kedua dan seterusnya.50
3. Filsafat Metafisika
Mengenai pembicaraan filsafat metafisika ini, seperti para filosof lainnya,
yakni membahas tentang masalah ke-Tuhanan. Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan
menjadi 3 (tiga) yaitu:
pertama, membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai
wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat
(paticulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang Wujud
tertentu. Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun
berada dalam benda-benda itu? Kemudian terlebih dahulu dibahas apakah Wujud
serupa itu ada atau tidak, kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa Wujud serupa
49
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet. Ke IX, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal.
27-28
50
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 162
18
itu ada. Apakah Wujud serupa itu sedikit atau banyak? Apakah Wujud serupa itu
berketerbatasan atau tidak? kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa
keterbatasan.51
Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak
ada alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada
dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah Wujud yang
sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud itu tidak ada, akan
timbul kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah
yang disebut dengan Tuhan.
Adapun mumkin al-Wujud tidak akan berubah menjadi Wujud Aktual tanpa
adanya Wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi
Wajib al-Wujud. Walaupun demikian, mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in
infinitum) karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada Wajib al-Wujud.52
4. Filsafat Ke-Nabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama.
Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi
adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah
akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka
dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas
keagamaan.
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai
Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah
adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah
berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang
mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai
kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-
Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara
filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi.
51
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1, (Bandung: Rosdakarya, 1988), hal.133
52
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, hal. 35-36
19
Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya tentang keingkaran
kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di
gambarkan olehnya adalah:
Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya
Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya.
Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa.
Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Qur’an, karena mereka
tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah Khalifah yang paling
Fasahah dikalangan orang Arab.
ِ ْب فِي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِينَ * الَّ ِذينَي ُْؤ ِمنُونَ بِ ْال َغ ْي
َب َويُقِي ُمونَ الصَّالةَ َو ِم َّما َرزَ ْقنَاهُ ْميُ ْنفِقُون َ ك ْال ِكتَابُ ال َري
َ َِذل
”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.”
(Q.S. al-Baqarah: 2-3)
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka
dari itu ”ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi
yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima visi dan
kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu.
20
Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal
kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat
berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya
tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari
Akal kesepuluh.”53
Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada
kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan
filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu
(al-Qur’an) ia akan tersesat, karena antara keduanya sama-sama mendapatkan dari
sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril).
Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-
Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber
hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.
Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk
berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga maupun
tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu bukanlah
sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah cerita dan kebohongan yang di
buat oleh Nabi.
Ada sebagian manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para
Nabi, maka mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang
mereka mengalaminya ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya.
Ada lagi lebih ke bawah yakni, manusia yang awam, maka imajinasinya sangat
lemah sekali sehingga tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur
ataupun terbangun.
Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia
capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan.
Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin
sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan
dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi
kehidupan Negeri.Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih
hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur
studi dan analisa kejiwaan.54
21
menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh melalui
pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya.
Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi dapat naik ke
alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada kekuatan suci yang
memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima perintah-perintah Tuhan.
Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui
kekuatan pikirannya yang besar.
Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui
pemikiran dan renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu pengetahuan
yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab),
sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat (keadaan) yang
berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bisa dicapai seseorang melalui ilmu
dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan dapat
berhubungan dengan alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh
Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak
mudah diperoleh, sebab setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai
filsafat yang sebenarnya hanyalah sedikit saja.
Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut di
atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran psikologis
terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril
turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa kadang terdengar
oleh Nabi seperti bunyi lonceng.
22
Mengenai hidup sesudah mati, yakni hidupnya di akhirat, Al-Farabi, seperti
Al-Kindi, memiliki pandangan bahwa kehidupan manusia di akhirat adalah bersifat
rohaniah, tanpa jasmani. Bagi Al-Farabi, manusia pada hakikatnya adalah jiwanya,
bukan tubuhnya, dan yang pantas disebut jiwa manusia adalah jiwa yang sudah
memiliki akal praktis dan teoritis secara aktual. Bila belum dimiliki secara aktual,
maka jiwa itu belum dapat disebut jiwa manusia, dan itu berarti masih sama saja
dengan jiwa binatang. Bagi Al-Farabi, hanya jiwa manusia yang mengalami
kekekalan di akhirat, baik dalam kebahagiaan maupun dalam adzab penderitaan. Jiwa
yang pernah hidup pada tubuh manusia, tapi tidak mengaktual padanya akal praktis
dan teoritis, akan hancur bersama hancurnya badan.55 Kebahagiaan jiwa manusia
setelah berpisahnya dari badan, tidaklah sama antara satu dengan yang lain, demikian
pula dengan kesengsaraannya. Kualitas jiwa manusia itu berbeda-beda, dan demikian
mestilah, berdasarkan prinsip keadilan, kebahagiaan atau kesengsaraan yang dialami
jiwa manusia itu sesuai dengan kualitas kesucian atau keutamaan jiwa manusia itu
sendiri. Urusan mencocokkan itu berada di tangan Tuhan, kata Al-Farabi.
Menurut Al-Farabi jiwa-jiwa yang kekal dalam kebahagiaan akhirat itu ialah
jiwa-jiwa penduduk kota utama, dan itulah jiwa-jiwa utama, yang mengetahui
kebenaran, keutamaan, dan kebahagiaan sejati, serta setia mengerjakan perbuatan-
perbuatan baik, dan dengan demikian jiwa-jiwa tersebut menjadi kuat dan sempurna,
atau sampai kepada taraf tidak merasa butuh lagi kepada materi. Adapun jiwa-jiwa
yang kekal dalam kesengsaraan di akhirat ialah jiwa-jiwa yang durhaka (fasiq). Jiwa-
jiwa tersebut mengetahui kebenaran, baik dan buruk, serta kebahagiaan sejati, tapi
mereka berpaling dari keutamaan. Mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang
rendah dan tetap teperdaya oleh kesenangan-kesenangan jasmaniah yang rendah.
Setelah badan mengalami kematian/hancur, maka jiwa-jiwa yang durhaka ini terus
hidup kekal dalam kekecewaan atau kesengsaraan. Jiwa-jiwa jaahilah (bodoh) dalam
arti tidak mengaktual akal praktis dan teoritis pada mereka, hancur bersama hancurnya
badan. Sebagaimana telah disinggung, bagi Al-Farabi tidak ada pra-eksistensi jiwa,
dan tidak ada pula reinkarnasi jiwa. Hidup jiwa dalam badan manusia hanya sekali,
dan setelah itu jiwa hidup tanpa badan, dalam kebahagiaan atau dalam kesengsaraan.56
6. Filsafat Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga
menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata
lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof
muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof
berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-
nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah
kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami
55
Al-Farabi, Tahshīlus Sa’ādat, tahqiq Alibu Mulham (Beirut: Daar al-Hilal, 1995), hal. 20.
56
Abdul Aziz Dahlan. Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Karya Unipress, 2003), hal. 64.
23
untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan
bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok
hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan
kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak
saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti. 57 Pendapatnya ini menyangkut
tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama,
yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah
keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu anggota
tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka tubuh yang lain
akan merasakannya.
Demikian pula anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari
warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan
kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan
pekerjaan yang sesuai dengan kdan spesialisasi mereka.
57
unawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss,
1993), hal. 51
58
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1988) , hal.138
59
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UI Perss, 1993),
hal. 51-52
24
Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah
fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh
manusia. Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah
fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh
manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan,
berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad
yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai
Wahyu.
Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam satu
pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat
khayalan semata.
Al-Farabi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara adalah
Nabi / Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar
dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-
sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan kepada seorang
yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara
ideal.
Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat karena
pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya,
sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit karena kurangnya
pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara itu. Negara yang buruk
tersebut banyak macamnya, misalnya Negera yang fasik, Negara yang bodoh, atau
Negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara
yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam:
25
Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya
mementingkan kekayaan harta dan benda.
F. Karya-Karya Al-Farabi
4. At-Ta’liqat
26
7. Risalah fi Isbat Al-Fadhilah
8. ‘Uyun Al-Masa’il
17. Al-Mukhtashar
28. Ma Yanbaghi
27
31. Risalah Fi Itsbat Al-Mufaraqat
34. NushushulHikam.63
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
Dalam Makalah ini Penulis dapat menyimpulkan bahwa Filsafat Al Kindi dan
Al-farabi mempunyai perbedaan diantaranya yaitu : memadukan anatara filsafat dan
agama. Filsafat berdasarkan akal pikiran adalah pengetahuan yang benar, al-Qur’an
yang membawa argument-argumen yang lebih meyakinkan dan benartidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itumempelajari
filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan berteologi adalah bagian darifilsafat,
sedangkan Islam mewajibkan mempelajari Teologi menurut pemikiran Al Kindi
Hesti pancawati, Skripsi Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara, (Fakultas ushuluddin
63
28
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
29
Al-Kindi, “Fî Hudûd al-Asyyâ’ wa Rusûmuhâ” dalam Abu Riddah, Rasâil,
Al-Kindi, “Fî Kammiyah Kutub Aristhûthâlîs wa Mâ Yahtaj Ilaih fî Tahshîl al-
Falsafah” dalam Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindi,
Al-Kindi, “Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam” dalam Abu Ridah (ed),
Rasâil al-Kindi,
Arsyad Natsir M, 1989, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Bandung : Mizan,
Ayi Sofiyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
Daudy Ahmad, 1992, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung:
Pustaka Setia, 2009),
George N Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno,
(Bandung, Pustaka, 1983),
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesi, 1983),
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet. Ke IX, ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1973),
Hesti pancawati, Skripsi Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara, (Fakultas
ushuluddin Dakwah dan Adab IAIN SMH Banten, 2010),
Ibn Rusyd, “Fashl al-Maqâl” dalam Falsafah Ibn Rusyd, (Beirut, Dar al-Afaq, 1978),
Imam Sukardi. Disertasi Pemikiran Politik Al-Farabi (Diskursus Kepemimpinan
Negara), (Jakarta:Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008),
Khan Mahdi Ali, 2004, Dasar-Dasar Filsafat Islam Pengantar ke Gebrang Pemikiran,
Bandung : Nuansa,
M. M. Syarif, 1985, Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan),
M. Wiyono, Pemikiran Filsafat Al-Farabi (Journal Substantia, Vol. 18, No. 1, April
2016),
Muhsin Labib, Para Filosof, Sebelum dan Sesudah Mula Shadra, (Jakarta: Al-Huda,
2005),
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V,
(Jakarta: UI Perss, 1993),
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
Nasr Hossein Seyyed, Leamen Oliver, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung :
Mizan, 2003)
Nasution Harun, Filsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1, (Bandung: Rosdakarya, 1988),
30
Sa’id Zayid. Abu Nashr Al-Farabi: Fi al-Dzikra al-Fiah li Wafaatih, (Kairo: al-Hai’ah
al- Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 1993),
Sahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut, Dar al-Kutub, 1971),
Soleh Khudori, 2013, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta : Ar-
Ruzz,
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, , 2010)
Supena Ilyas, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Ombak, , 2013)
Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya, (Bandung :
Pustaka Setia, , 2009)
Yamani, Pengantar Jalaludin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat
Politik Islam, (Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 2002),
31