Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

TOKOH – TOKOH FILSUF MUSLIM DAN PEMIKIRANNYA


di Susun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat
Islam
Dosen Pengampu : Hj. Euis Komala, M. Ag

Disusun Oleh :
Oktaviani Rizka Asih. P 19122229
Ridwan Muhammad F 19122233
Rindi Meiantika 19122237
Extention 5B

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AT-TAQWA
2020/2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT,
karena atas limpahan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Alhamdulillah atas izin Allah kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Tokoh-Tokoh Filsuf Muslim dan Pemikirannya” yang di buat untuk
memenuhi salah satu tugas pada Filsafat Islam. Dengan ini kami mengucapkan
terima kasih kepada Ibu dosen yang memberikan pengarahan.
Kami berharap dengan adanya makalah ini bermanfaat bagi semua dan
kami menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan, maka dari
itu kami berharap adanya saran dan kritik yang membangun demi kebaikan
kedepannya.
Akhir kata kami memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, karena kami masih dalam proses
belajar.

Bandung, 20 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan...........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. Al-Kindi........................................................................................................2

B. Al-Farabi.......................................................................................................5

C. Ibnu Sina.......................................................................................................9

D. Al-Razi........................................................................................................10

E. Ibnu Miskawaih...........................................................................................14

F. Ibnu Rusyd..................................................................................................15

G. Imam Al Ghazali.........................................................................................19

BAB III..................................................................................................................24

PENUTUP.............................................................................................................24

A. Simpulan........................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bersama tentang pembahasan kami ini bertema “
Tokoh- tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya”. Tentu hal ini sangat menarik
untuk kita bahas dan pengupas dengan seksama guna menambah wawasan dan
pengetahuan kita tentang filsafat, terutama filsafat Islam. Filsafat merupakan
bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara
sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu sendiri adalah hasil
pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari
ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis serta dasar-
dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh para filosof Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh filsuf islam dan apa saja pemikirannya ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tokoh filsuf islam dan apa saja pemikirannya

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Kindi
1. Sejarah Hidup
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-
Shabbah ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi.
Kindah merupakan suatu nama  kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan
cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang
melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusasteraan Arab, sang
penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan
Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan
terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada
masa pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami
masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun,
Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah
pusat studi bahasa dan teologi  Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad,
ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual
pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai  disiplin ilmu. Oleh
karena itu tidak heran jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu
alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi,, optika, kedokteran,
matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu
lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang
berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia 
dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf al-‘Arab ( filosof berkebangsaan
Arab).
2. Filsafat atau Pemikirannya
a. Talfiq

2
3

Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat.


Menurutya filsafat adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth).
Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan
benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh
filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang
bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan
mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan
kebaikan sekaligus menjadi tujuan  dari keduanya. Agama disamping
wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang
benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian
membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang
paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu
menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia
menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena pengetahuan
tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-
Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat
untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal
sebaliknya. Kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari
manapun datangnya. Sebab, “tidak ada yang lebih berharga bagi para
pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”.
Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang
yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan
rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi
mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang mengingkari
kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang memperdagangkan
agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang
bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan
Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan
4

alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan ta’wil.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan antara keduanya, yaitu:
 Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir,
belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati
tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan
hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
 Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan
berpikir atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang
dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan
dengan mutlak.
 Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama
mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum,
tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal.
b. Jiwa
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi, tidak tersusun, mempunyai arti
penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan.
Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda
dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah.
Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan
saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang
perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan
pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang
dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran
Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa
adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa
tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan
kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato
berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan
5

accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya


jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa
jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai
tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir.
Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya
berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh
Tuhan.
c. Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia
tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila.
Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan
untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang
memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang
memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya
dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates.
Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk
melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai
keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara.
Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin
perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau
moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
B. Al-Farabi
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn
Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-
Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab
(sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah
ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan, sultan
dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang
ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi
memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan
6

kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki


keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara
utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf
yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak
mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
2. Pemikirannya
a. Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran  filsafat yang
berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan
Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf
sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika
dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan
politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia
dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua
halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak
mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu
diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau
sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan
satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-
Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan
ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut
Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat
diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya
idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu
tidak lebih dari tiga kemungkinan:
 Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar
 Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga
bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar
falsafi.
7

 Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak


benar, padahal definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu
yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena
keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu,
kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu
menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun
terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada
hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis.
Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat
dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan
filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak
kebenarannya.
b. Jiwa
Adapun  jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato,
Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud
setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke
badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara
accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda
dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia
disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan
jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan
bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa
kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui
kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan
jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
c. Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang
politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah
(Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-
8

pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep


Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala,
tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing
mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia
adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia
dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan  kerja otak dilakukan
oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat
penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-
sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-
organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus
orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun
moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang
dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas
berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada
pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks,
cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada
keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan
kefasihan berbicara.
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur
tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang
diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain
menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang
memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara
dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang
termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal
sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini
dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan
pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri, sehingga
ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam
pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang
9

melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi  pada waktu


itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak,
pertentangan dan pemberontakan.
C. Ibnu Sina
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali
ibn Sina. Ia dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada
370 H. Ia mempunyai kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga
dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar
sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah
dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai
ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan
bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.
2. Pemikirannya
a. Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi
manusia kedalam empat kelompok:  mereka yang kecakapan teoretisnya
telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga
mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan
kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa
sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka  yang tajam mereka
mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-
peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian mereka memiliki
kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu
orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah
orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis
mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang
Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan
fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya
pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan
10

imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan


psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni
dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan
yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya
tidak hanya menjadi percaya  tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu.
Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang
hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti
ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji
yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh
jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.
b. Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah
dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi
sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati.
Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima
ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak
berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai
ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk
berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan
dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak
bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga
kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak
tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia
mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan
sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.
D. Al-Razi
1. Sejarah lahir
Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu
Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat, beliau dikenal dengan
sebutan Razhes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu
11

bernama Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1


Sya’ban 251 H/865 M. Perlu diingat bahwasanya tempat yang ia tinggali
yakni Iran ,yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, merupakan
tempat dimana terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan terutama
kebudayaan Yunani dan Persia. Dengan suasana seperti lingkungan seperti
ini mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil al-razi, yakni Abu
Hatim Al-Razi dan Najmun Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan
Al-Razi dengan yang lainnya, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu
Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).
Beliau pernah menjadi tukang intan pada mudanya, penukar uang, dan
pemain kecapi. Lalu beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu kimia dan
meninggalkannya akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang
menyebabkan mata terserang penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu
kedokterang dan filsafat yang ada pada masa itu.
Ayahnya berharap Al-razi menjadi seorang pedagang besar, maka dari
itu ayahnya membekali Al-razi ilmu-ilmu perdagangan. Akan tetapi, Al-
Razi lebih memilih kepada bidang intelektual ketimbang dengan
perdagangan karena menurutnya bidang intelektual merupakan perkara
yang lebih besar ketimbang urusan dengan materi belaka.
Karena ketekunannya dalam bidang kedoteran dan filsafat, Al-Razi
menjadi terkenal sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada
pasien-pasiennya, oleh karena tiu dia sering memberi pengobata cuma-
Cuma kepada orang miskin. Dan karena reputasinya dalam kedokteran, dia
pernah mejabat sebagai kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan
Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia berpindak ke Baghdad dan
memimpin rumah saki di sana pada masa pemerintahan Khlifah Al-
Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya,
kemudian id berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan
meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam
usia 60 tahun.
12

2. Karyanya
Mengenai karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia belajar, dan siapa
yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya. Menurut Al-Nadim,
beliau belajar filsafat kepada Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan ilmu-
ilmu kuno. Ia sangat rajin dalam menulis dan membaca, mungkin inilah
yang menyebabkan penglihatannya secara berangsur-angsur melemah dan
akhirnya buta total. Ia menolak akan untuk di obati dengan mengatakan
bahwa pengobatan untuknya itu sia-sia karena tak sebentar lagi dia akan
meninggal.
Tak heran jika karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia
menuliskan pada salah satu kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak
kurang sari 200 karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan. Karya-
karyanya yang meliputi:
 Ilmu Falak,
 Matematika,
 Bidang kimia, yang terkenal dengan Kitab As-rar
 Bidang kedoteran, yang terkenal dengan al-mansuri Liber al-
Almansoris
 Bidang Medis, yang terkenal dengan kitab Al-Hawi,
 Mengenai penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar
wa al-Hasbah
Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang
bernama al-Rasa’il Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti Thib
al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai
ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding dengan sebagai filosof.
3. Filsafatnya
Lima Kekal ( Al-Qadiim )
Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai
pemakal memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya
sangat banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada
pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal.
13

5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-
Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama),
al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq
(masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan
aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak
hidup dan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula
pasif itu ruang dan waktu.
Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena
Dia-lah yang menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak
mungkin dia menciptakan ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-
Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu
yang kekal selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan
kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga
materi mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi
lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga kekal
karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.
Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena
materi ini menempati ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang
absolute) juga kekal. Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua
kategori, yakni ruang pertikular yang terbatas dab terikat dengan sesuatu
wujud yang menempatinya,  dan ruang universal yang tidak terikat dengan
maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa
absolut) padad dua kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang
bersifat qadiim dan substansi yang bergerak atau yang mengalir (jauhar
yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah
waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan
bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal.
Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu
sebelum adanya waktu yang terbatas.
14

E. Ibnu Miskawaih
1. Sejarah lahir
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad
ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330
H/ 941 M dan wafat di asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030
M. Dari buku yang kami dapatkan, tidak ada penjelasan yang sangat rinci
mengungkapkan biograpinya. Namun, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan,
bahwa ibnu miskawaih belajar sejarah terutama Taarikh al-Thabari kepada
Abu Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi dan belajar filsafat kepada Ibnu Al-
Khammar, mufasir kenamaan karya-karya aristoteles.
Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut syi’ah. Hal ini didasarkan pada
pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir syi’ah pada masa pemerintahan
Bani Buwaihi ( 320 – 448 M ). Dan ketika sultan Ahmad ‘Adhud Al-Daulah
menjabat sebagai kepala pemerintahan, ibnu Miskawaih menduduki jabatan
yang penting, seperti pengangkatannya sebagai Khazin, penjaga perpustakaan
Negara dan bendarahara negara.
2. Karyanya
Dalam karyanya dalam disiplin ilmu meliputi kedokteran, sejarah dan
filsafat. Akan tetapi, dia lebih terkenal sebagai seorang filosof akhlak, ( al-
falsafat al-‘amaliyat ) ketimbang dengan seorang filosof ketuhanan ( al-
falsafat al-nazhariyyat al-Illahiyat ).
Dalam buku The History of the Muslim Philoshopy disebutkan bahwa
karya tulisannya itu; Al-Fauz al-Akbar, al-Fauz al-Asghar, Tajaarib al-
Umaan ( sebuah sejarah tentang banjir besar yana ditulis pada tahun 369 H/
979 M), Uns al-Fariid ( yakni koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-
kata hikmah ), Tartiib al-Sa’adat ( isinya ahlak dan politik ), al-Mustaufa
( isinya syair-syair pilihan ), al-Jaami’, al-Siyaab, On the Simple Drugs
( tentang kedokteran ), On the composition of the Bajats ( tentang
kedokteran ), Kitaab al-Ashribah ( tentang minuman ), Tahziib al-Akhlak
( tentang akhlak ), Risaalat fi al-Lazza wa al-Aalam fil jauhar al-Nafs,
ajwibaat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql, Al-Jawaab fi Al-Masaa’il al-Salas,
15

Risaalat fi Jawaab fi Su’al Ali ibnu Muhammad Abuu Hayyan al-Shufii fi


HAqiiqat al-‘Aql, dan Tharathat al-Nafs.
c. Akhlak
Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat
bahwa akhlak  adalah suatu sikap atau keadaan jiwa yang mendorongnya
untuk berbuat tanpa berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan. Dengan
kata lain, ahklak adalah tindakan yang tidak ada sama sekali pertentangan
dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau
mengenai hal ini sama dengan perkataan plato yang mengatakan bahwasanya
cinta adalah gerak jiwa yang kosong.
Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur
watak naluriah dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan
( riyadhoh ). Serta dia berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang
mana apabila ketigak daya ini beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan
menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.
Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan
daya keinginan. Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai
ketiga daya ini antara lain adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama bagi
jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini lahir dari ilmu. Rasa berani
merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat berani ini timbul dari
sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama bagi jiwa keinginan adalah
sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir dati ‘iffah ( memelihara
kehormatan diri ).
Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani,
dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat
akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu
adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.
F. Ibnu Rusyd
1. Sejarah kelahirannya
Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd, beliau dilahirkan di Cordova,
16

Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M, 15 tahun setelah kematiannya imam


ghazali. Di dunia barat dia lebih terkenal dengan sebutan Averros, sedang
di dunia islam sendiri lebih terkenal dengan nama ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd
adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh
keilmuwan, sedang ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di andalus.
Pada tahun 565 H/ 1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim di Seville
dan Cordova. Dan pada tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah
agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Salah satu faktor yang membuatnya menjadi seorang ilmuwan adalah
karena dia tumbuh dan hidup dalam keluarga yang Ghirah-nya besar
sekali dalam bidang keilmuwan. Akan tetapi yang menjadi faktor
utamanya karena ketajamannya dalam berpikir serta kejeniusan otaknya.
Dengan semua faktor-faktor di atas, tidaklah heran apabila dia menjadi
seorang ilmuwan Muslim yang terkemuka.
Hal yang sangat mengagumkan dari ibnu Rusyd adalah semenjak dia
sudah mulai berakal ( masa baligh ) hampir semua hidupnya ia pergunakan
untuk belajar dan membaca. Tak pernah dia melewatkan waktunya selain
untuk berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan
ketika malam pernikahannya. Dengan keadaan seperti ini, membuat
pemikirannya semakin tajam dan kuat dari waktu ke waktu.
Kehidupannya sebagai seorang hakim tidaklah mulus, ibnu Rusd
pernah mengalami akan tuduhan pahit, yang pada dasarnya hanya untuk
keperluan mobilisasi menghadapi pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di
tuduh kafir, lalu dia di adili dan sebagai hukumannya dia di buang ke
Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu saja, semua jabatannya sebagai
hakim mahkamah agung dicopot serta semua bukunya di bakar, kecuali
buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni ( sains ), seperti kedokteran,
matematika dan astronomi.
Setahun lamanya ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat getir itu,
dan pada tahun 1197 M, khlifah mencabut hukumannya dan
mengembalikkan semua pangkat yang pernah dia pegang sebelumnya.
17

Ibnu Rusyd meninggal 10 desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di marakesh


dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut
perhitungan tahun Hijriyah.
2. Karyanya
Tulisan ibnu Rusyd yang dapat kita dapati pada sekarang ini antara
lain; Fashl al-Maqaal fi maa bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-
Ittishaal, buku ini berisikan korelasi antara agama dan filsafat. Al-
Kasyf’an Manaahij al-Sdillah fi Aqaa’id al-Millat, sedang buku ini
berisikan tentang kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan
sufi. Tahaafut al-Tahaafut, kitab ini berisikan tentang kritikan terhadap
imam ghazali yang kitabnya berjudul Tahaafut al-Falaasifah. Sedangkan
karnyanya dalam bidah fiqih yaitu buku yang berjudul Bidaayat al-
Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid.
 Hukum Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan Mukjizat
Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam
ghazali mengenai sebab-akibat yang memang merupakan kejadian
yang keluar dari kebiasaan
 Terdapat hubungan yang dharuuriiy ( pasti ) antara sebab dan
akibat
Menurut ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu
yang ada di alam ini memiliki sifat dan cirri tertentu yang disebut
dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu
keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya.
Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini dengan
adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa
membedakan antara satu dengan lainnya.
Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang
sifat zatiyyah-nya adalah membasahi. Sifat membakar dan membasahi
ini adalah sifat zatiyyah-nya dan merupakan pembedan antara api
dengan air, jika tidak ada sifat tertentu, tentunya air dan api sama saja,
tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang mustahil.
18

 Hubungan sebab-akibat dengan adat atau kebiasaan


Menurut ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam
mengemukakan pendapatnya mengenai sebab-akibat yang dianggap
sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu Rusyd mempertanyakan apakah yang
al-ghazali maksud ini adalah adat fa’il (Allah), atau adat maujud, atau
juga adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat
terhadap maujud ini.
Kalaulah yang dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini mustahil
karena apa yang disebut dengan adat adalah suatu kemampuan atau
potensi yang diusahakan oleh fa’il yang mengkibatkan berulang-
ulangnya perhatin mawjud ini. Hal ini sangat bertentangan dengan ayat
Al-Qur’an yang menyatakan bahwa sunnatullah tidak akan berganti
dan tidak berubah[1]. Jika yang dimaksudnya adalah adat bagi maujud,
maka hal ini hanya akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa
karena bagi yang selain itu, bukanlah adat namanya, tetapi tabia’at.
Dan apabila yang dia maksud adalah adat bagi kita dalam menentukan
suatu sifat atau predikat terhadap mawjud, sepert si fulan baik san
sebagainya, maka hal ini mawjud terlepas daripada nisbat (hubungan)-
nya kepada fa’il (Allah).
 Hubungan sebab-akibat dengan akal
Menurut ibnu Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih daripada
pengetahuan tentang gejala yang mawjud beserta sebab-akibatnya yang
menyertainya. Pengingkaran terhadap sebab-akibat berarti
pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan.
 Hubungan sebab-akibat dengan mukjizat
Di awali dengan pendapatnya imam Ghazali, ketika seseorang
percaya akan keniscayaan, maka akan mengakibatkannya tidak
percaya terhadap adanya mukjizat nabi. Mengenai hal ini, ibnu rusyd
membedakan antara dua mukjizat; mukjizat al-Barraaniy dan
mukjizat al-Jawaaniy.
19

Mukjizat al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada


seorang Nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti
tongkat nabi musa yang merumbah menjadi ular, nabi Isa yang dapat
menghidupkan orang mati, dan lainnya. Mukjizat seperti ini yang saat
itu dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan diluar kebiasaan dan
boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan oleh pengetahuan. Ketika
ilmu pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang
sebagai mukjizat lagi.
Mukjizat al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada
seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti
mukjizatNabi Muhammad yakni al-Quran. Mukjizat seperti inilah yang
dipandang oleh ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang sebenarnya, karena
al-quran tidak dapat diungkapkan oleh pengetahuan (sains) dimana
pun dan kapan pun.
G. Imam Al Ghazali
1. Riwayat Hidup, karir dan karyanya
Nama lengkap dari Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibnu
Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Ghazalah,
Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, ia adalah
keturunan persia asli. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf,
karenanya ia (orang tua) hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri
dari menenun wol1. Panggilan Al-Ghazali sebagai sebutan penduduk Khurasan
kepadanya. Sebagian ahli sejarah menyebutnya Al-Ghazali sehubungan
dengan desa tempat dia dilahirkan, yaitu Ghazalah.2
Al-Ghazali belajar di Thus, Jurjan, dan Naisabur. Sampai usia 20 tahun ia
menuntut ilmu dikota kabupatennya- thus- dari kedua gurunya Razakani bin
Muhammad dan Yusuf Al-Nassaj seorng sufiwan terkenal pada tahun 479 H.

1
Zaky Mubarak, al-akhlaq ‘ind Al-Ghazali, (Mesir: Dar al-Kitab al-araby al-thaba’at al-nasyr, 168),
hal 47

2
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filasafat Islam (Semarang: Dina Utama Semarang,
1933), Cet.1 hal 55
20

Ia menimba ilmunya Abu Nasr Al-Isma’ily di Jurjan dan akhirnya ia masuk


kesekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh al-Juwaini (Imam Al-
Karamain). Selanjutnya ia bermukim di Mu’askar (komplek tentara) selama 5
tahun dan di Baghdad selama 5 tahun berikutnya. Di Baghdad inilah ia
menjadi pemimpin dan guru besar Madrasah Nizhamiyah Baghdad. Ia
berusaha keras menjadi mempelajari Filsafat dan menunjukan pemahamannya
tentang filsafat dengan menulis buku Maqasad al-Falasafiyah (tentang
pemahaman para Filosof, tentu menurut pemahaman Al-Ghazali), kemudian
menunjukan kemampuannya mengkritik argumen-argumen para filosof
dengan menulis Tahafut al-falasafiyah (ketidak konsistenan para filosof),
dalam rangka memberikan kesan tentang kelemahan atau kekacauan
pemikiran para filosof muslim. Setelah sembuh dari mengalami sakit yang
parah selama 6 bulan (kehilangan nafsu makan dan tidak bisa bicara) karena
konflik batin : sama kuat antara dorongan untuk berada di baghdad
(memimpin dan mengajar di Nizhamiyah Baghdad) dan dorongan untuk
meninggalkan Baghdad (untuk menjalani tasawuf) ia berhasil menjalani
kehidupan tasawuf selama 10 tahun di Damaskus, Yerusalem, Mekkah,
Madinah, dan Thus. Setelah mengajar lagi di Naisabur selama 2 tahun, ia
kembali lagi ke Thus mendirikan Khankah (pusat latihan) bagi calon sufi. 3
Usaha ini ia lakukan sampai ia wafat di Thus pada tanggal 14 jumadil akhir
505 H, itu dalam usia 55 tahun. 4 Jasadnya dikebumikan disebelah Timur
benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal
Al-Firdausy.
Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-Islam (argumentasi
islam) karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam,
terutama terhadap kaum Bathiniyat dan kaum Filosof. Karenanya statemen
yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga sebagian orang Islam) bahwa
ia adalah Muslim terbesar sesudah Muhammad. 5
3
Abdul Azis Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), hal 106

4
Muhammad Yusuf Musa, Flasafat al-akhlaq fi al-islam, (Kairo: Dar al-ma’arif, 1963), hal 129

5
Nurcholis Majid, Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), Hal 31
21

Al-Ghazali adalah Fakih, Mutakallim, dan Sufi. Ia mahir bicara dan sangat
produktif dalam mengarang. Karya tulisannya lebih dari 228 buku/risalah.
Dibawah ini hanya akan disebutkan beberapa warisan dari karya ilmiahnya
yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam :
 Ihya’ Ulum Al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan
akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
 Al-Iqtishad fi al-i’tiqad, diuraikan didalamnya akidah menurut aliaran
al-asy’ariyah
 Maqasid al-falasifat, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan
 Taqafut al-falasafiyah, berisikan kritikan terhadap para Filosof.
 Al-Munqiz min al-Dhalal, dipaparkan didalamnya seperangkat ilmu
yang mewarnai zamannya dan berrbagai aliran yang penting. Ilmu dan
aliran-aliran tersebut dikajinya secara kritis, kemudian dijelaskan
kelebihan dan kesalahan-kesalahnya.
 Mizan al-‘amal, didalamnya berisikan penjelasan tentang akhlak.
2. Filsafat
a. Masalah keqadiman Alam
Pada umumnya para filosof bependapat bahwa alam ini qadim, artinya
wujud alam bersamaan wujud Allah. Keqadiman Allah dari alam hanya
dari segi zatnya dan tidak dari segi zaman. Bagi Al-Ghazali, bila alam
dikatakan Qadim (tidak pernah tidak ada), maka mustahil dapat
dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadimnya
alam, menurut Al-Ghazali membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada
dengan sendirinya, tidak diciptakan oleh Tuhan, dan ini bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an.
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada
awalnya tuhan ada, sedang alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan
Alam, maka alam ada disamping adanya Tuhan. Sebaliknya pagi para
filosof muslim yang berpaham bahwa alam itu qadim, seperti bagi Al-
farabi dan Ibnu Sina, bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami
mereka dengan pengertian bahwa alam ada dengan sendirinya.
22

b. Tuhan tidak mengetahui yang Juz’iyyat (parsial)


Para filosof muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah
hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui yang selain-Nya
(Juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu
dengan Ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak
mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di Alam ini selalu terjadi perubahan-
perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan
membawa perubahan kepada zat-Nya. Ini mustahil terjadi pada Allah.6
Menurut Al-Ghazali pendapat para filosof itu merupakan kesalahan
fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu.
Karena Ilmu merupakan i’dhafah (sesuatu yang rangkaian yang
berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah, tidak membawa perubahan
pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah.
Perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan para filosof tentang
pengetahuan Allah itu wajar terjadi. Menurut para filosof muslim
berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan zat. Sementara
menurut Al-Ghazali berbedanya objek ilmu tidak membawa perubahan
pada ilmu dan zat. Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran
konkret, sedngkan para filosof menarik masalah pada tataran abstrak.
c. Kebangkitan jasmani di Akhirat
Menurut para Filosof Muslim, yang akan dibangkitakan di Akhirat
nanti adalah rohani saja, sedangkan jasman akan hancur. Jadi yang akan
merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Al-Ghazali
dalam menyanggah pendapat para filosof Muslim lebih banyak bersandar
pada arti tekstual Al-Qur’an. Menurut Al-Ghazali tidak ada alasan untuk
menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara
bersamaan. Gambaran Al-Qur’an dan Hadis Nabi tentang kehidupan
diakhirat bukanlah mengacu kepada kehidupan rohani saja, akan tetapi
pada kehidupan yang bersifat rohani dan jasmani. Pemahaman bahwa
kehidupan di syurga dan Neraka itu bersifat rohani saja, menurut Al-

6
Al- Ghazali, Tahafut, op.cit ; hal 206-207
23

Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad


di hari akhirat, dan pemahaman demikian bertentangan dengan apa yang
diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadis Nabi, dan oleh karena itu
dikufurkannya.
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Dapat disimpulkan, dari lahirnya para tokoh di atas tadi yang menjadi
sebab adanya karya-karya mereka yang banyak, merupakan hal yang
membanggakan bagi khazanah keilmuan islam. Sayangnya saja, karya-karya
mereka yang banyak itu tidak kita temui secara keseluruhan pada saat ini,
karena terjadinya keadaan-keadaan yang menyulitkan para filosof, seperti
halnya kejadian yang menimpa ibnu rusyd yang karya-karyanya di bakar.
Tapi, bukan berarti kita tidak dapat mempelajari karya-karya mereka yang
tersisa saat ini, kita juga dapat mempelajari karya-karya filosof yang lahir
setelah mereka dan dengan sebab ini pula banyak karya-karya baru yang
mereka tuliskan sehingga kita sebagai orang muslim tidak kehilangan akan
khazanah keilmuan berkat jerih payah mereka.

24
25
DAFTAR PUSTAKA
https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/metodologi-studi-islam/
tokoh-tokoh-filsafat-islam-dan-pemikirannya/
Muhammad Yusuf Musa, falsafat al-Ahklaq fi al-Islam, kairo: Dar al-A’raf, 1945
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., filsafat islam, filosof dan filsafatnya, jakarta:
rajawali pers, 2004
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Paramadina, 1997
Nasution Hasyimsyah, filsafat islam, jakarta, Gaya media Pratama, 1998.

26

Anda mungkin juga menyukai