Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HADITS TENTANG KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR DAN TUJUAN


PENDIDIKAN
di Susun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri Mata Kuliah Hadits Tarbawi III
Dosen Pengampu : Hj. Neni Nerlaela, Lc. M. Ag

Disusun Oleh :
Dimas Triyadi 19122229
Fayruz 19122229
Hilma Fadilah 19122229
Ira 19122229
Nia 19122229
Oktaviani Rizka Asih. P 19122229
Sutari 19122229
Vinna 19122229
Wida 19122229
Yuli Rohaeni 19122229
Extention 4B

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AT-TAQWA
2020/2021

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan peradaban manusia dewasa ini tak bisa dilepaskan dari kemajuan ilmu
pengetahuan yang menjadi warisan terbesar dari proses pendidikan yang terjadi.
Proses pendidikan itu dapat dikatakan berlangsung dalam semua lingkungan
pengalaman hidup manusia mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga, sekolah
sampai kepada masyarakat luas. Hal ini berlangsung dalam semua tahapan
perkembangan seseorang sepanjang hayatnya yang dikenal dengan istilah longlife
education.
Dalam Islam pendidikan tidak dilaksanakan hanya dalam batasan waktu tertentu
saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (minal mahd ilaal lahd). Islam juga
memotivasi pemeluknya untuk selalu membaca, menelaah dan meneliti segala
sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi di jagad alam raya ini dalam
rangka meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan yang pada akhirnya akan
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Dalam pandangan Islam tua atau
muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi yang sama dalam
menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi
saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan
duniawi juga. Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan hari kelak dengan
melalui jalan kehidupan dunia ini.
Berbicara tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang
kegiatan belajar mengajar yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia
pendidikan itu sendiri. Belajar mengajar memiliki peran yang sangat penting karena
tanpa itu proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan modern sulit untuk
diwujudkan. Pendidikan pun tidak terlepas dari beberapa komponen penting yakni
pengajar dan peserta didik. Yang dimana keduanya memiliki peran penting nya
masing-masing untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.
Maka dari itu, kali ini penulis akan membahas tentang Kewajiban Belajar dan
Mengajar serta Tujuan Pendidikan dari Perspektif Hadits berikut dengan Kualitas
Hadits itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Hadits Kewajiban Belajar Mengajar dan Kualitas nya
2. Hadits Tujuan Pendidikan dan Kualitasnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Kewajiban Belajar dan Mengajar
1. Pengertian Belajar dan Mengajar
Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk belajar, karena “belajar” telah
dimulainya bahkan sebelum berbentuk sebagai manusia yaitu ketika masih
berbentuk spermatozoa yang belajar berusaha untuk mempertahankan
eksistensinya ditengah 200-600 juta spermatozoa lainnya yang berjuang untuk
survive menembus ovum untuk kemudian menjadi cikal bakal manusia yang
mendiami rahim. Banyak diantaranya yang gugur ditengah jalan dan uniknya
hanya satu atau dua sperma yang berhasil finish mencapai ovum dan terjadi
konsepsi, sementara yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah
dibuahi.
Secara sederhana, belajar berarti berusaha mengetahui sesuatu, berusaha
memperoleh ilmu pengetahuan (kepandaian, keterampilan). Belajar adalah
sesuatu yang menarik karena sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
manusia selalu berusaha mengetahui sesuatu yang berada dalam lingkungannya
untuk menunjukkan eksistensi kemanusiaannya. Sedangkan mengajar adalah
memberikan serta menjelaskan kepada orang tentang suatu ilmu, memberi
pelajaran. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar
mengajar merupakan suatu aktifitas yang dikerjakan dalam rangka memperoleh
ilmu pengetahuan, sedangkan dalam proses itu sendiri ada si pelajar yang
menerima ilmu dan ada guru yang memberikan pelajaran. Maka berbicara tentang
belajar mengajar, tidak bisa dilepaskan dari ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai
objek dari kegiatan ini.
Sejak awal kehadirannya, islam telah memberikan perhatian yang amat besar
terhadap kegiatan belajar dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini antara lain dapat
dilihat pada apa yang ditegaskan dalam al-Qur’an, dan pada yang secara empiris
dapat dilihat dalam sejarah. Yang dimaksud dengan belajar mengajar
(pendidikan) dalam arti yang seluas-luasnya disini adalah pendidikan yang bukan
hanya berarti formal seperti disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal.
Yaitu pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki
ilmu pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana
saja mereka berada, menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja,
sepanjang hayat manusia itu.
Arti kata belajar dalam buku Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Perwujudan dari berusaha adalah
berupa kegiatan belajar.
Menurut Hintzman, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri
manusia disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku
manusia tersebut.
Menurut Wittig, belajar ialah perubahan yang relatif menetap yang terjadi
dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku manusia sebagai hasil pengalaman.
Belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam
perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman yang
menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan
tertentu. Dikatakan belajar apabila membawa suatu perubahan pada individu yang
belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan, melainkan juga
dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat,
penyesuaian diri.
Menurut pengertian diatas, belajar adalah merupakan proses suatu kegiatan
dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi
lebih luas daripada itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan
hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. Ada juga yang mengatakan bahwa
belajar adalah memperoleh pengetahuan, belajar adalah latihan-latihan
pembentukan kebiasaan secara otomatis, dan seterusnya.
Secara rasional semua ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar.
Maka, belajar adalah ”key term” (istilah kunci) yang paling vital dalam usaha
pendidikan. Sehingga, tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan.
Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya.
Sedangkan pengertian mengajar lebih identik kepada proses mengarahkan
seseorang agar lebih baik. Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan
mendidik atas dasar motif ekonomi. Akan tetapi menurutnya, seorang guru
seharusnya selalu memiliki keikhlasan dan kesadaran akan pentingnya tugas,
sehingga dengan kesadaran tersebut, ia akan terdorong untuk mencapai hasil yang
maksimal.
2. Hadits Kewajiban Belajar Mengajar

‫َع ْن َأن َ ِس ا ْب ُن َماكِل ِ َريِض َ اهّلل ُ َع ْن ُه قَا َل َر ُس ْو ُل اهّلل ِ َصىَّل اهّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َطلَ ُب‬
) ‫الْ ِعمْل ِ فَ ِريْضَ ٌة عَىَل لُك ِ ّ ُم ْسمِل ٍ ( ابن ماجه‬
Artinya
“ Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata Rasulullah SAW telah bersabda
Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam “ ( H.R Ibnu
Majah )
3. Kualitas Hadits Kewajiban Belajar dan Mengajar
Untuk mengetahui kejelasan hadits di atas beserta sumber- sumbernya,
penulis tidak terlepas dari metode takhrij yang digunakan, sebagaimana yang
telah dipaparkan sebelumnya. Sebagai langkah awal, penulis mengawali
kegiatan takhrij dengan bantuan program Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-
Kutub al-Tis’ah yang di dalamnya mencakup Kutub al-Tis’ah (Shahih al-Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, Sunan
Ibn Majah, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Muwatta’ Malik, dan Sunan al-Darimi).
Penelusuran dalam program Mausu’ah al-Hadits tersebut menghasilkan temuan
bahwa hadits di atas hanya terdapat dalam kitab Sunan Ibnu Majah sebanyak satu
hadits dengan rangkaian sanad dan matannya sebagai berikut (Al-Mausu’ah,
1997) :

, 7ٍ ‫ َح َّدثَنَا َك ِثرْي ُ ْب ُن ِش ْن ِظرْي‬: ‫ قَا َل‬, ‫ َح َّدثَنَا َح ْف ُص ْب ُن ُسلَ ْي َم َان‬: ‫َح َّدثَنَا ِهشَ ا ُم ْب ُن مَع َّ ٍار قَا َل‬
ُ ‫ َع ْن َأن َ ِس ا ْب ُن َماكِل ِ َريِض َ اهّلل ُ َع ْن ُه قَا َل َر ُس ْو ُل اهّلل ِ َصىَّل اهّلل‬, ‫َع ْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ِسرْي ِ ْي َن‬
ِ ‫ َو َو ِاض ُع الْ ِعمْل ِ ِع ْندَ غَرْي ِ َأ ْههِل ِ مَك ُ َقدِّل‬, ٍ ‫عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َطلَ ُب الْ ِعمْل ِ فَ ِريْضَ ٌة عَىَل لُك ِ ّ ُم ْسمِل‬
) ‫الْ َخنَ ِاز ْي ِر الْ َج ْوه ََر َواللُّْؤ لَُؤ َوا َّذله ََب ( ابن ماجه‬
‫" اخل فانه ضعيف جدا‬....‫ حصيح – دون قوهل " وواضع العمل‬: ‫حمك احلديث‬
“ Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata telah
menceritakan kepada kami Hafs bin Sulaiman berkata, telah menceritakan kepada
kami Katsir bin Syinzhir dari Muhammad bin Sirih dari Anas bin Malik ia
berkata, Rasulullah SAW telah bersabda : Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi
setiap muslim dan orang yang meletakkan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya
( orang yang enggan untuk menerimanya dan orang yang menertawakan ilmu
agama ) seperti seseorang yang mengalungkan mutiara, intan, dan emas ke leher
babi ” ( H.R Ibnu Majah ).
Selanjutnya untuk pencarian yang lebih luas terhadap keberadaan hadits
tersebut ke dalam kitab-kitab hadits lainnya (selain Kutub al-Tis’ah), penulis
menelusurinya dengan menggunakan program Maktabah al-Shamilah. Dari
hasil penelusuran ditemukan bahwa selain terdapat dalam Sunan Ibnu Majah,
hadits yang sama juga terdapat dalam berbagai kitab hadits lainnya
diantaranya :
Jumlah
No Mukharrij Nama Kitab Juz Keluar
1 Al-Thabraniy Al-Mu’jam al-Shaghir 1 2 Hadis
2 Al-Thabraniy Al-Mu’jam al-Aswath 1-8 9 Hadis
3 Al-Thabraniy Al-Mu’jam al-Kabir 9,10 2 Hadis
4 Al-Baihaqiy Sya’ab al-Iman 3 15 Hadis
5 Al-Ashbahaniy Hilyah al-Auliya’ 8,10 2 Hadis
6 Abi Ya’la Musnad Abi Ya’la 5,7 3 Hadis
7 Al-Bazzar Musnad al-Bazzar 1,2 6 hadits
8 Al-Thabraniy Musnad al-Syamiyyin 3,4 2 hadits
9 Al-Qadha’iy Musnad al-Syahab 1 3 hadits
Berdasarkan penilaian oleh para kritikus hadis di atas terhadap masing-
masing perawi hadis, maka dapat diketahui hadis Ibn Majah yang bersanad
Hisyam ibn ‘Ammar, Hafsh ibn Sulaiman, Katsir ibn Syinsir, Muhammad
ibn Sirin dan Anas ibn Malik r.a tersebut di atas sanadnya adalah dha’if.
Kedha’ifannya terletak pada “Hafsh ibn Sulaiman” karena para Muhaditisin
menjarh (mencatatnya) sebagai perawi yang tidak tsiqah dan ada salah
seorang menyebutnya banyak bohong. Bahkan menurut Bukhari ulama
meninggalkannya. Kesimpulannya kedudukan hadis ini berdasarkan sanad
dari Ibnu Majah adalah dha’if. Akan tetapi karena banyak jalur sanad hadits
tersebut baik yang bersumber dari Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Mas’ud maupun Abu Sa’id al-Hudri sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, maka hadits tersebut dapat dinaikkan peringkatnya
menjadi hadits hasan li ghairihi.
Untuk mengetahui kualitas matannya maka :
Pertama, berdasarkan Pemetaan kata-perkata dari hadits di atas dapat

diperoleh pemahaman bahwa: kata ‫ب‬ َ memiliki


ُ َ‫طل‬ makna menuntut
mencari sesuatu maksudnya ilmu itu akan kita peroleh dengan mencari bukan

dengan melamun dan berandai-andai. Kata ‫ْال ِع ْل ِم‬ bermakna ilmu yang
dimaksud oleh hadis di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apa pun yang
bermanfaat. Selanjutnya kata ‫لِ ٍم‬NNN‫لِّ ُم ْس‬NNN‫ةٌ َعلَى ُك‬NNN‫ْض‬
َ ‫ فَ ِري‬memiliki makna
kewajiban dalam artikata keharusan yang harus dilakukan atas setiap muslim
dan muslimah.
Kata , ‫ ِه‬N ِ‫َأ ْهل‬ ِ N‫اض ُع ْال ِع ْل ِم ِع ْن َد َغ ْي‬
‫ر‬N ِ ‫ َو َو‬orang meletakkan ilmu kepada selain
ahlinya maksudnya adalah dalam realita sekarang ilmu yang digunakan tidak
sesuai dengan tempatnya maka ilmu pengetahuan itu tidak akan membawa
manfaat. Dan kata‫َب‬ َّ N‫َوال‬
َ ‫ذه‬N ‫َازي ِْر ْال َجوْ ه ََر َواللُّْؤ لَُؤ‬
ِ ‫َك ُمقَلِّ ِد ْالخَ ن‬ maka ia seperti
mengalungi babi dengan permata, mutiara dan emas. Maksudnya ilmu
pengetahuan yang kita peroleh tidak akan membawa manfaat.
Dengan demikian, dari keseluruhan hadits di atas menunjukkan makna
adanya korelasi antara satu dengan yang lain. Bahwa menuntut ilmu wajib
atas setiap mulim dan muslimah, dan orang yang berilmu menempatkan
dirinya tidak sesuai dengan keahliannya maka ilmuanya tiada berguna (tidak
bermanfaat).
Kedua, matan hadis di atas sama sekali tidak bertentangan dengan al-Qur’an
seperti dalam QS. At-Taubah:122 :
‫ِئ‬ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫َو َما َكا َن الْ ُمْؤ مُن ْو َن لَيْنف ُر ْوا َكآفَّةً َفلَ ْواَل َن َفَر م ْن ُك ِّل ف ْرقَة ِّمْن ُه ْم طَآ َفةٌ لِّيََت َفق‬
‫َّهواىف الدِّيْ ِن‬
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama?”
Walaupun dalam ayat tersebut tidak tampak kata-kata wajibun yang
berarti wajib atau kata-kata faridhatun yang berarti difardukan, tetapi dalam
ayat itu terdapat fi’il mudhari’ yang telah kemasukan lamul amr, yakni lafaz
liyatafaqqahuu. Dalam ilmu Ushul Fiqih ada kaidah yang berbunyi: “Arti
yang pokok dalam amr ialah menunjukkan wajib.” (Kitab As-Sullam: 13;
dan kitab Ushul Fiqh: 31). Dengan demikian, ayat tersebut mengandung arti
bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib.
Kata (‫ ) لِّيَتَفَقَّهُوا‬liyatafaqqahu terambil dari kata ( ‫) فقه‬ fiqh, yakni
pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan
tersembunyi. Bukan sekadar pengetahuan. Penambahan huruf (‫ )ت‬ta’ pada
kata tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan
keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya.
Demikian kata tersebut mengundang kaum muslimin untuk menjadi pakar-
pakar pengetahuan.
Kata fiqh di sini bukan terbatas pada apa yang diistilahkan dalam disiplin
ilmu agama dengan ilmu fiqh, yakni pengetahuan tentang hukum-hukum
agama Islam yang bersifat praktis dan yang diperoleh melalui penalaran
terhadap dalil-dalil yang terperinci. Tetapi, kata itu mencakup segala macam
pengetahuan mendalam. Pengaitan tafaqquh (pendalaman pengetahuan itu)
dengan agama, agaknya untuk menggarisbawahi tujuan pendalaman itu,
bukan dalam arti pengetahuan tentang ilmu agama. Pembagian disiplin ilmu-
ilmu agama dan ilmu umum belum dikenal pada masa turunnya al-Qur’an
bahkan tidak diperkenalkan oleh Allah sawt. Al-qur’an tidak membedakan
ilmu. Ia tidak mengenal istilah ilmu agama dan ilmu umum karena semua
ilmu bersumber dari Allah swt. Yang diperkenalkan adalah ilmu yang
diperoleh dengan usaha manusia kasby (acquired knowledge) dan ilmu yang
meruapakan anugerah Allah tanpa usaha manusia (Quraish Shihab, 2002:
289)
Kesimpulannya dari uraian di atas, bahwa hadis tentang kewajiban
menuntut ilmu tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an turut
menguatkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah tersebut.
Ketiga, Tidak Bertentangan dengan hadis yang lebih kuat dan Sirah
Nabi. Hadis tentang kewajiban menuntut ilmu tidak bertentangan dengan
hadis yang lebih kuat. Dalam hal ini ada beberapa hadis yang berhubungan
dengan hadis yang penulis teliti. Berdasarkan penelusuran Maktabah al-
Shamilah. Hadis tentang kewajiban menuntut selain diriwayatkan oleh Anas
bin Malik, juga diriyatkan oleh sahabat lain seperti Alin bin Abi Thalib, Abu
Sa’id al- Khudri dan Abdullah bin Mas’ud.
Dilihat dari makna hadis di atas yang diriwayatkan oleh beberapa
sahabat tersebut, mempunyai makna yang sama dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah yakni menuntut ilmu wajib atas setiap
muslim. Ini mengindikasikan bahwa hadis tentang kewajiban menuntut ilmu
tidak bertentangan dengan hadis lain.
Keempat, Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan fakta
sejarah. Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di muka bumi
ini karena manusia memiliki akal yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan
Allah SWT lainnya. Oleh karena itu, akal memiliki hak yang harus kita
tunaikan. Akal juga membutuhkan “makanan”,. Hal pertama yang harus kita
lakukan bagi setiap muslim terhadap akalnya adalah mengisinya dengan
ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Karena disamping sebagai suatu
kewajiban, belajar juga merupakan kemuliaan tersendiri bagi dirinya.
Karena Allah SWT senantiasa akan mengangkat derajat orang-orang yang
berilmu. Dalam Al-Qur'an Allah mengatakan (QS. Fatir: 28), yang artinya
sebagai berikut:
"Bahwasanya orang-orang yang takut kepada Allah, hanyalah para ulama
(orang yang berilmu)"
Dilihat dari fakta sejarah para sahabat rela meninggalkan kampung
halaman (merantau) demi mencari ilmu, ini membuktikan betapa giatnya
mereka mencari ilmu mereka mahami mencari ilmu bukan hanya sekedar
kewajiban semata akan tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan sehingga
lahirlah ilmuan muslim seperti ilmuan Al Khawarizmi yang
memperkenalkan “Angka Arab” (Arabic Numeral) untuk menggantikan
sistem bilangan Romawi yang kaku. Bayangkan bagaimana ilmu
Matematika atau Akunting bisa berkembang tanpa adanya sistem “Angka
Arab” yang diperkenalkan oleh ummat Islam ke Eropa. Kita mungkin bisa
menuliskan angka 3 dengan mudah memakai angka Romawi, yaitu “III,”
tapi coba tulis angka 879.094.234.453.340 ke dalam angka Romawi tentu
kita akan mengalami kesulitan. Selain itu berkat Islam pulalah maka para
ilmuwan sekarang bisa menemukan komputer yang menggunakan binary
digit (0 dan 1) sebagai basis perhitungannya, kalau dengan angka Romawi
(yang tak mengenal angka 0), tak mungkin hal itu bisa terjadi.
Selain itu dunia juga mengenal Ibnu Sina (Avicenna) yang karyanya Al
Qanun fit Thibbi diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard de Cremone
(meninggal tahun 1187), yang sampai zaman Renaissance tetap jadi
textbook di fakultas kedokteran Eropa. Ar Razi (Razes) adalah seorang
jenius multidisiplin. Dia bukan hanya dokter, tapi juga ahli fisika, filosof,
ahli theologi, dan ahli syair. Eropa juga mengenal Ibnu Rusyid (Averroes)
yang ahli dalam filsafat.
Sekarang semua itu tinggal sejarah. Ummat Islam sekarang tidak lagi
menghargai ilmu pengetahuan tak heran jika mereka jadi bangsa yang
terbelakang. Hanya dengan menghidupkan ajaran Islam-lah kita bisa maju
lagi. Dengan adanya hadis Ibn Majah ini harapannya agar ummat Islam
harus kembali giat menuntut ilmu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban
menuntut ilmu tidak bententangan dengan akal sehat, indera dan fakta
sejarah. ilmu pengetahuan merupakan produk dari hasil proses berpikir yang
dilakukan oleh manusia, kalu kita melihat fakta sejarah banyak sekali lahir
ilmuan-ilmuan muslim yang bermunculan diantaranya yang penulis
sebutkan di atas. Ini membuktikan bahwa menuntut ilmu menjadi sebuah
bahan pokok yang harus dipenuhi oleh manusia dalam menjalani kehidupan.
Dengan demikian, analisa dari segi matan: hadis tentang kewajiban
menuntut ilmu adalah Shahih. Karena memenuhi tolak ukur yang sesuai
dengan penetapan tolak ukur Shalahudin al-Adlabi, empat macam
diantaranya:
1). Kajian Linguistik, bahwa hadis tersebut mengandung perintah
mencari ilmu wajib atas setiap muslim dan muslimah 2). Tidak bertentangan
dengan petunjuk al-Qur’an, bahkan al-Qur’an menguatkan kewajiban
menuntut ilmu dengan meninggikan derajat orang yang berilmu diantaranya
dalam surah al-Mujadalah ayat 11 dan at-Taubah 122. 3). Tidak
bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, 4). Tidak bertentangan dengan
akal sehat. Akal merupakan suatu kelebihan yang dimiki manusia yang tidak
dimiliki makhluk lainnya, oleh karenanya hendaknya kita mengisi akal
dengan ilmu yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Ini
menunjukkan hadis di atas tidak bertentangan dengan akal sehat, melainkan
suatu kewajiban yang harus kita penuhi terhadap akal.
4. Syarh Hadits
Hadits di atas menunjukkan bahwa fardhu bagi setiap orang muslim mencari
ilmu, dan orang yang memberikan ilmu bagi selain ahlinya adalah seperti orang
yang mengalungkan babi dengan mutiara, permata dan emas. Orang yang
mempunyai ilmu agama yang mengamalkannya dan mengajarkannya orang lain
seperti tanah tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberikan
manfaat bagi dirinya dan memberi manfaaat bagi orang lain, dan Allah juga
akan memudahkan bagi orang-orang yang selama hidupnya hanya untuk
mencari, dipermudahkan baginya jalan menuju ke surga. Dengan ilmu derajat
orang tersebut tinggi dihadapan Allah SWT, Allah pun akan meninggikan
derajatnya di dunia maupun diakhirat nanti, seorang muslim memperbanyak
mengamalkan ilmu kepada orang lain, maka semakin tinggi pula derajatnya di
hadapan Allah SubḥānahuwaTa’ālā, dibawah ini salah satu hadits yang
menunjukkan bahwa seseorang yang menempuh suatu jalan dalam hidupnya
untuk mencari ilmu, maka Allah akan mempermudahkan baginya jalan menuju
surga. Selain Allah memberikan derajat / kedudukan yang tinggi di dunia
maupun di akhirat bagi orang muslim yang mengamalkan dan mengajarkan
ilmunya kepada orang yang belum tahu. Allah juga : Seorang yang keluar dari
rumahnya dalam mencari ilmu, maka para malaikat akan meletakkan sayap-
sayapnya untuk orang tersebut. Jadi sangat mulia orang yang berniat hanya
untuk mencari ilmu semasa hidupnya.
Hadist tersebut merupakan penjelasan tentang hukum mencari ilmu bagi
setiap orang Islam laki laki maupun perempuan, yang telah diriwayatkan oleh
Imam Ibnu Majah dan lain lain. Akan tetapi hadist tersebut diberi tanda lemah
oleh imam Syuyuti.
Adapun hukum menuntut ilmu menurut hadist tersebut adalah wajib. Karena
melihat betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Manusia tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa mempunyai ilmu.
Bahkan dalam kitab taklimulmuta’allim dijelaskan bahwa yang menjadikan
manusia memiliki kelebihan diantara makhluk-makhluk Allah yang lain adalah
karena manusia memilki ilmu. Dan janganlah memberikan ilmu kepada orang
yang enggan menerimanya, karena orang yang enggan menerima ilmu tidak
akan mau untuk mengamalkan ilmu itu bahkan mereka akan menertawakannya.
Ilmu sebagai suatau pengetahuan, yang diperoleh melalui cara-cara tertentu.
Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum muslimin menjalankannya
sebagai suatu ibadah, seperti kita menjalankan sholat,puasa. Maka orang pun
mencari keutamaan ilmu. Disamping itu, timbul pula proses belajar-mengajar
sebagai konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah itu proses belajar
mengajar ini menimbulkan perkembangan ilmu, yang lama maupun baru, dalam
berbagai cabangnya.
Ilmu telah menjadi tenaga pendorong perubahan dan perkembangan
masyarakat. Hal itu terjadi, karena ilmu telah menjadi suatu kebudayaan. Dan
sebagai unsur kebudayaan, ilmu mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam masyarakat Muslim dan dihadapak Allah. Jadi ilmu juga bisa diartikan
atau dijadikan sebagai pusat dari perubahan dan perkembangan di dalam suatu
masyarakat. Kaitannya dengan haditsdiatas tersebut bahwasannya ilmu telah
diibaratkan dengan keutamaan atau kelebihan Nabi yg diberikan Allah
kepadanya. Begitu tingginya derajat orang yang berilmu disisi Allah dan
manfaatnya ataupun pentingnya sangat banyak untuk perubahan-perubahan
dalam masyarakat. “Sungguh mulia orang yang berilmu, dan semasa hidupnya
hanya untuk mencari ilmu adalah agar dimudahkan dalam masuk surga Allah,
Allah pun juga akan juga akan mempermudah baginya masuk surga”.
Keutamaan orang yang berilmu sehingga melebihi orang yang ahli ibadah.
Karena ibadah tanpa ilmu tidak benar dan tidak diterima, dan untuk
membuktikan keutamaan ahli ilmu ini Allah bersama malaikat dan seluruh
penghuni langit dan bumi sampai semut dan ikan bershalawat untuk orang yang
mengajari kebaikan. Keutamaan ilmu tidak terletak beberapa ilmu yang yang
didapat tetapi pada pengembangan dan pengalamannya dalam kehidupan
ataupun masyarakat.tujuan akhir seorang mu’min adalah surga. Untuk itu
seluruh ilmu yang mereka miliki diamalkan. Caranya adalah mencari dan
mengamalkan semua kebijakan tanpa merasa lelah atau capek. Seorang mu’min
itu tak akan merasa puas dan lelah dalam mencari maupun mempelajari ilmu,
karena dengan ilmu semua kebajikan dapat diraih. Selain Allah memberikan
derajat/kedudukan yang tinggi di dunia maupun di akhirat bagi orang muslim
yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya kepada orang yang belum tahu.
BAB III
PENUTUP
A. Implikasi
Berdasarkan apa yang sudah di jelaskan diatas, bahwasanya menuntut ilmu itu
adalah perkara yang wajib yang harus kita jalankan. Karena bagaimana kita bisa
hidup dengan bahagia sesuai ajaran Allah jika semuanya tidak dilakukan atas dasar
ilmu yang kita miliki.
Namun di era globalisasi dan moderniasasi ini, rasanya banyak masyarakat
awam yang tidak paham terhadap wajibnya menuntut ilmu sehingga banyak kita
temui kebodohan yang merajalela di Indonesia ini yang berakibat pada kejahatan
yang sering kita temui dikarenakan minimnya ilmu pengetahuan yang dimiliki
sehingga tujuan pendidikan pun tidak tercapai. Walaupun sebetulnya ada pula yang
sadar akan kewajiban menuntut ilmu tapi terkendala akan masalah biaya. Sehingga
perlu adanya kesadaran dari seluruh elemen masyarakat mulai dari pemerintah
sampai kepada masyarakat terpencil untuk bisa melek akan ilmu pengetahuan dan
menanamkan keyakinan bahwa menuntut ilmu itu wajib. Karena pada dasanya
banyak kita temui dijalanan banyak anak anak yang seharusnya mereka fokus untuk
menuntut ilmu tapi mereka malah fokus bekerja ataupun menjadi anak yang tidak
baik di lingkungannya.
Namun ada pula anak didik kita yang sekolah pun mampu, orang tua masih
lengkap namun masih kurang bertanggung jawab terhadap apa yang harusnya dia
lakukan. Maka dari itu tugas seorang guru yang sangat penting dimana harus
menanamkan etos belajar yang tinggi dengan landasan menuntut ilmu itu wajib.
Karena hakikat belajar sesungguhnya tujuannya adalah adanya perubahan tingkah
laku dari hal yang buruk kepada suatu hal yang baik yang terjadi di dalam diri
seseorang. Yang bahkan kegiatan belajar mengajar sudah dimulai sejak di dalam
lingkungan keluarga yang diperankan oleh orang tua dan anak sehingga lingkungan
keluarga lah yang menjadi pondasi utama yang membentuk perilaku dan sikap
seorang anak untuk akhirnya terjun di masyarakat.
Maka dari itu perlu adanya upaya dari setiap lapisan masyarakat untuk sama
sama membangun kesadaran melek ilmu pengetahuan demi mewujudkan tujuan
pendidikan yakni terciptanya masyarakat yang memiliki perilaku atau tingkah laku
yang baik yang bisa menjadi salah satu komponen dalam pembangunan nasional.
B. Kesimpulan

1. Hadits Kewajiban Belajar dan Mengajar yang diriwayatkan Ibnu Majah


berkualitas Hasan li ghairihi karena banyak jalur sanad hadits tersebut
baik yang bersumber dari Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Mas’ud maupun Abu Sa’id al-Hudri sebagaimana telah disebutkan.
Padahal sebelumnya berkualitas dhaif karea Hafs Ibnu Sulaiman bukan
orang yang Tsiqah dan anyak berbohong menurut para ulama.
DAFTAR PUSTAKA
http://tahseeniat.com/2018/11/23/hadis-tentang-menuntut-ilmu/
http://rohmahsyaidatur.blogspot.com/2015/11/kewajiban-belajar-mengajar.html?m=1
https://www.google.com/amp/s/yrsholihin.wordpress.com/2015/08/22/18-negara-
bebas-hutang-penghapusan-hutang/amp/

Anda mungkin juga menyukai