Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, TUJUAN DAN OBJEK

MASAIL FIQHIYAH
Di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Masail Fiqh Al-Haditsah
Dosen : Inayatillah Ridwan, SHI, M.Pd

DI SUSUN OLEH :

Asri Nurlela 19122164


Bima Abdul Wahid 19122169
Dimas Triyadi 19122176
Fitriyani 20122316
M Hadi Basyar 21122423
Oktaviani Rizka Asih P 19122229
Gitri Nuraeni 19122188
Tri Yugo 20122386
Windi Astuti 19122274
Extention B (Semester 6)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS


TARBIYAH SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT AT-TAQWA)
CIPARAY-BANDUNG 2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang mana telah
memberikan beribu-ribu keni’matan kepada kita semua, diantaranya ni’mat yang
paling besar yaitu nimat iman,islam juga kesehatan. Sehingga atas berkat rahmat
Allah SWT kita semua bisa menjalankan salah satu ibadah yang di perintahkan
oleh-Nya, yaitu Tholabul ‘Ilmi. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah
curahkan kepada Nabi kita ya’ni habibana wa nabiyyana Muhammad SAW, kepada
keluargnya, kepada para sahabatnya, tabi’ut tabi’in, dan kepada kita semua selaku
umatnya dari awal sampai akhir.
Alhamdulillah atas rahmat dan pertolongan dari-Nya, kami bisa menyelesaikan
makalah ini sebagai salah satu tugas dari mata kuliah “Masail Fiqh Al-Haditsah”
Pengertian,Objek, Tujuan, Ruang Lingkup Dan Sistematika Masail Fiqh.Kami
ucapkan terima kasih kepada ibu dosen yang telah memberikan pengarahan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa
dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, mka dari itu kami
berharap kritik da saran untuk memperbaiki penyusunan makalah dan akan diterima
dengan senang hati. Mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini masih
banyak kekurangan, karena kami masih dalam proses belajar.

Bandung, Februari 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................Error! Bookmark not defined.

Daftar Isi .............................................................................................................................. i

BAB I .................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2

C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II................................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3

A. Pengertian Masail Fiqhiyah .................................................................................... 3

B. Ruang Lingkup Masail Fiqhiyah............................................................................. 4

1. Hubungan manusia dengan Allah SWT .............................................................. 4

2. Hubungan manusia dengan sesama manusia ...................................................... 5

3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri ......................................................... 6

4. Hubungan manusia dengan alam sekitar ............................................................. 7

C. Objek Masail Fiqhiyah ............................................................................................ 8

D. Tujuan Masail Fiqhiyah .......................................................................................... 8

BAB III ............................................................................................................................. 11

PENUTUP ........................................................................................................................ 11

A. Simpulan ............................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dari setiap sudut kehidupan umat Islam di seluruh dunia pada
hari ini mencetuskan berbagai masalah-masalah dan isu-isu baru yang tidak
pernah timbul pada zaman- zaman dahulu. Masail Fiqhiyyah, demikian nama
bagian studi yang dibentuk yang berperan untuk membahas serta mencari gali
segala fakta, dalil dan illah-illah mengenai sesuatu isu atau masalah baru yang
timbul.
Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam dalam
menghadapi suatu persoalan langsung menanyakan pada Rosulullah dan
Rosulullah lah yang langsung memberikan jawaban. Sehingga tidak ada masalah
yang terlalu rumit untuk tidak dapat diselesaikan, karena segala sesuatu yang
datang dari rosullah adalah wahyu yang haqq dari Allah, sehingga tidak dapat
diragukan lagi kebenarannyaNamun, semuanya berubah setelah Rosulullah
meninggal dunia dan mengakibatkan terputusnya wahyu, sehingga para sahabat
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang memerlukan penjelasan hukumnya
Studi yang menyangkut berbagai masalah Fiqhiyah tersebut berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dulu tidak ada kini
bermunculan yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.
Karena dimikian dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat islam,
menyebabkan bidang kajian masalah ini sudah akrab dengan masyarakat.
Dibandingkan dengan bidang studi lainnya seperti Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam, dan
sebagainya. Fiqihlah yang paling banyak dikenal dan amat popular di masyarakat
Indonesia.
Ajaran agama Islam sangat sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk itu
perlu adanya upaya untuk mengaktualisasikan ajaran agama Islam dalam konteks
kekinian dan kemodernan, agar nilai-nilai Islam secara efektif, yang sejalan
dengan perkembangan dan kemajuan dunia modern. Elastisitas dan fleksibilitas
hukum islam yang sering didengungkan makin dituntut pembuktiannya. Oleh

1
karena itu, kajian fiqih Islam mengenai berbagai persoalan (masail fiqhiyyah)
yang dihadapi oleh masyarakat modern merupakan kajian yang menarik dan
aktual.
Dengan masalah yang sebagaimana dialami oleh masyarakat itulah peran
Masail Fiqhiyah untuk menjawab dari permasalahan tersebut. Maka dari itu perlu
diketahui sebelumnya tentang arti dari Masail Fiqhiyah itu sendiri, ruang lingkup
yang dikaji dan tujuan dari adanya disiplin ilmu Masail Fiqiyah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Masail Fiqhiyah ?
2. Apa ruang lingkup Masail Fiqhiyah ?
3. Apa objek Masail Fiqhiyah ?
4. Apa tujuan Masail Fiqhiyah ?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian Masail Fiqhiyah ?
2. Dapat mengetahui ruang lingkup Masail Fiqhiyah ?
3. Dapat mengetahui objek Masail Fiqhiyah ?
4. Dapat mengetahui tujuan Masail Fiqhiyah ?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masail Fiqhiyah
Kata Masail Fiqhiyah (‫ )المسا ئل الفقهية‬secara etimologi berasal dari bahasa dari
bahasa Arab yang merupakan rangkaian dari dua lafazh, yakni masail dan fiqhiyah.
Hubungan dari kedua lafazh ini dalam nahwu disebut hubungan shifah dan
maushuf, atau na’at dengan man’ut. Lafazh masail (‫ )مسلئل‬adalah bentuk dari jama’
taksir dari mas’alah (‫ )مسئلة‬yang bermakna masalah atau problem. Kata dasarnya
adalah sa’ala )‫(سئل‬dan bermakna “bertanya”. Masail adalah masalah-masalah baru
yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan untuk dicari jawabannya.
Masail fiqhiyah menurut pengertian bahasa adalah permasalahan-permasalahan
baru yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan
dicari jawabannya.
Berdasarkan definisi secara kebahasaan di atas, maka secara istilah, masail
fiqhiyah adalah problem-problem hukum islam baru al-waqi’iyyah (faktual) dan
dipertanyakan oleh umat jawaban hukumnya karena secara eksplisit permasalah
tersebut tidak tertuang di dalam sumber-sumber hukum Islam. Ia juga berarti
persoalan hukum Islam yang selalu dihadapi oleh umat Islam sehingga mereka
beraktivitas dalam sehari-hari selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan
tuntunan Islam.
Jadi masail fiqhiyah merupakan masalah-masalah baru yang muncul setelah
turunnya Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya Rasulullah Saw yang belum ada
ketentuan hukum secara pasti, sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan
kesepakatan para ulama dalam menentukan hukum yang diambil dari Al-quran,
Hadits, Ijma’, Qiyas.
Masail fiqhiyyah disebut juga masail fiqhiyyah al-haditsah (persoalan hukum
Islam yang baru), atau masail fiqhiyyah al-ashriyyah (persoalan hukum Islam
kontemporer).1

1 Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011, hal.5-6.

3
B. Ruang Lingkup Masail Fiqhiyah
Ruang lingkup pembahasan Masail fiqhiyah meliputi :
1. Hubungan manusia dengan Allah SWT
Ilmu fiqih mengatur tentang ibadah yaitu ibadah mahdzah dan ghairu
mahdzah. Ibadah mahdzah adalah ajaran agama yang mengatur perbuatan-
perbuatan manusia yang murni mencerminkan hubungan manusia itu dengan
sang pencipta yaitu Allah SWT. Sedangkan ibadah ghairu mahdzah adalah
ajaran agama yang mengatur perbuatan antar manusia itu sendiri serta manusia
dengan lingkungan.
Contoh masail fiqhiyyah yang berhubungan dengan ibadah yaitu hukum fiqh
menyikapi shalat jum’at lebih dari satu tempat (ta’adud al jum’at). Pada zaman
sekarang dalam pelaksanaan shalat jum’at sering memunculkan beberapa
fenomena menarik. Semisal aturan lokasi pelaksanaan shalat jum’at yang
menurut sebagian kalangan harus terpusat di satu tempat. Hal ini terkadang
menimbulkan masalah disaat keadaan menuntut sebagian masyarakat membuat
lokasi alternatif. Mungkin anggapan mereka hal itulah yang terbaik dengan
alasan kondisi pemukiman, kapasitas tempat peribadatan dan interaksi sosial di
tengah-tengah mereka adalah faktor-faktor potensial pemicu kejadian semacam
itu. Menyikapi perkembangan di atas, statement mayoritas ulama secara tegas
menghukumi wajib melakukan shalat jum’at di satu tempat dalam sebuah balad
atau qaryah. Al-Syafi’i dalam hal ini berpendapat bahwa shalat jum’at jelas tidak
diperkenankan lebih dari satu tempat, baik ada hajat atau tidak. Namun istinbath
(penggalian) dari ulama syafi’iyyah dalam permasalahan ini akhirnya
memperbolehkan dengan batas hajat tertentu.2
Faktor pemicu terjadinya ta’adud al-jum’at di atas sangat luas
pemahamannya apabila kita dalami satu persatu. Hanya saja syari’at
mempermudah kita dengan memberikan sebuah standar yang lebih fokus dengan
mengembalikan kepada batasan ‘urfi (tradisi mayoritas masyarakat) yang

2 http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail-fiqhiyyah.html diakses pada tanggal 02


September 2015 pada pukul 19.22 WIB.

4
ditopang rasionalisasi tinggi, yaitu semua faktor yang sudah sampai pada tingkat
kesulitan yang diluar batas kemampuan. Artinya semisal konflik masyarakat
dalam satu daerah sudah sampai menyebabkan antar pihak sulit berkumpul
hingga pada taraf hampir mustahil atau semisal kapasitas tempat shalat yang
terbatas dan tidak memungkinkan menampung seluruh masyarakat di daerah
tersebut, disitulah ta’adud al-jum’at diperbolehkan.3
2. Hubungan manusia dengan sesama manusia
Sebagai contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan manusia dengan
sesama manusia yaitu mendonorkan organ tubuh. Pendapat pertama mengatakan
bahwa transplantasi seperti hukumnya haram. Meskipun pendonoran tersebut
untuk keperluan medis bahkan sekalipun telah sampai dalam kondisi darurat.
Dalil pendapat yang pertama yang Artinya adalah : “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu”( Q.S An Nisa 29 )
Kelompok kedua berpendapat bahwa transplantasi hukumnya jaiz (boleh)
namun memiliki syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah adanya kerelaan dari
si pendonor, kondisi si pendonor harus sudah baligh dan berakal, organ yang
didonorkan bukanlah organ vital yang menentukan kelangsungan hidup seperti
jantung dan paru-paru serta merupakan jalan terakhir yang memungkinkan untuk
mengobati orang yang menderita penyakit tersebut.
Dalil pendapat kedua yang artinya adalah : “Mengapa kamu tidak mau
memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu
apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar
hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan.

3 Qomaruzzaman, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Tim


Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003, hal.55-56.

5
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
melampaui batas” ( Al-An’am 119 )
Dari fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa dalam kondisi tidak
ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan organ tubuh orang yang
sudah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup dapat dibenarkan
oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan dan izin dari
keluarga atau ahli waris.
3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
Contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya
sendiri yaitu tentang hukum rebonding. Rebonding adalah meluruskan rambut
agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah. Prosesnya dua tahap. Pertama,
rambut diberi krim tahap pertama untuk membuka ikatan protein rambut.
Kemudian rambut dicatok, yaitu diberi perlakuan seperti disetrika dengan alat
pelurus rambut bersuhu tinggi. Kedua, rambut diberi krim tahap kedua untuk
mempertahankan pelurusan rambut.
Proses rebonding melibatkan proses kimiawi yang mengubah struktur protein
dalam rambut. Proses rebonding menghasilkan perubahan permanen pada
rambut yang terkena aplikasi. Namun rambut baru yang tumbuh dari akar rambut
akan tetap mempunyai bentuk rambut yang asli. Jadi, rebonding bukan pelurusan
rambut biasa yang hanya menggunakan perlakuan fisik, tapi juga menggunakan
perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein dalam rambut secara
permanen. Inilah fakta (manath) rebonding.
Rebonding hukumnya haram, karena termasuk dalam proses mengubah
ciptaan Allah (taghyir khalqillah) yang telah diharamkan oleh nash-nash syara’.
Dalil keharamannya adalah keumuman firman Allah.
Artinya : “Dan aku (syaithan) akan menyuruh mereka (mengubah ciptaan
Allah), lalu mereka benar-benar mengubahnya”. (QS An-Nisaa` [4] : 119).
Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah, karena syaitan
tidak menyuruh manusia kecuali kepada perbuatan dosa. Mengubah ciptaan
Allah (taghyir khalqillah) didefinisikan sebagai proses mengubah sifat sesuatu
sehingga seakan-akan ia menjadi sesuatu yang lain (tahawwul al-syai` ‘an

6
shifatihi hatta yakuna ka`annahu syaiun akhar), atau dapat berarti
menghilangkan sesuatu itu sendiri (al-izalah).
Dari definisi tersebut, berarti rebonding termasuk dalam mengubah ciptaan
Allah (taghyir khalqillah), karena rebonding telah mengubah struktur protein
dalam rambut secara permanen sehingga mengubah sifat atau bentuk rambut asli
menjadi sifat atau bentuk rambut yang lain. Dengan demikian hukum rebonding
adalah haram.
Selain dalil di atas, keharaman rebonding juga didasarkan pada dalil Qiyas.
Dalam hadis Nabi SAW, diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, dia berkata,“Allah
melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, yang mencabut bulu alis
dan yang minta dicabutkan bulu alisnya, serta wanita yang merenggangkan
giginya untuk kecantikan, mereka telah mengubah ciptaan Allah.” (HR
Bukhari).
Sebagian ulama telah menyimpulkan adanya illat dalam hadis tersebut,
sehingga mereka mengambil kesimpulan umum dengan jalan Qiyas, yaitu
mengharamkan segala perbuatan yang memenuhi dua unsur illat hukum, yaitu
mengubah ciptaan Allah dan mencari kecantikan. Abu Ja’far Ath-Thabari
berkata dalam hadis terdapat dalil “bahwa wanita tidak boleh mengubah sesuatu
dari apa saja yang Allah telah menciptakannya atas sifat pada sesuatu itu
dengan menambah atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik untuk
suami maupun untuk selain suami.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/156;
Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41; Tuhfarul Ahwadzi, 7/91).
Adapun meluruskan atau mengeriting rambut tanpa perlakuan kimiawi yang
mengubah struktur protein rambut secara permanen, yakni hanya menggunakan
perlakuan fisik, seperti menggunakan rol plastik dan yang semisalnya,
hukumnya boleh. Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, tapi termasuk
tazayyun (berhias) yang dibolehkan bahkan dianjurkan syara’, dengan syarat
tidak boleh ditampakkan kepada yang bukan mahrom.
4. Hubungan manusia dengan alam sekitar
Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan
berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Akan tetapi, doktrin tersebut tidak

7
diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak
terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung.
Ini tentunya sangat mengkhawatirkan. Alam akam menjadi amcaman yang
serius. Fiqh Islam pun tumpul. Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang
mengantarkan norma Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan.
Sampai saat ini, belum ada fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara
tentang persoalan lingkungan. Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam
mazhab hanya berbicara persoalan ibadah, mu’amalah, jinayah, munakahat dan
lain sebagainya. Sementara, persoalan lingkungan (ekologi) tidak mendapat
tempat yang proporsional dalam khazanah islam klasik. Karena itulah,
merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan
yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah
aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i
dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.4
C. Objek Masail Fiqhiyah
Dengan lahirnya masail fiqhiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang
sudah terjawab maupun sedang diselesaikan, bahkan prediksi munculnya persoalan
baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat meneliti dan memahami berbagai
metodologi penyelesaian masalah yang dilalui oleh para ulama baik klasik
(mutaqddimin) maupun kontemporer (muta-akhkhirin).
Dari sudut fiqh penyelesaian suatu masalah dikembalikan kepada sumber pokok
yaitu Al-Qur’an dan al-Sunnah, kemudian ijma’, qiyas dan seterusnya. Sehingga produk
hukum (istinbath al-hukm) yang dihasilkan senantiasa berada dalam koridor yang
benar.
D. Tujuan Masail Fiqhiyah
Masa'il fiqhiyah termasuk menghubungkan seuatu hukum dengan hukum lainya
yang belum ada nashnya dan didasari atas kumpulan hasil pemahaman para
mujtahid terhadap Al-Qur'an dan Hadits.

4 http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail-fiqhiyyah.html diakses pada tanggal 02


September 2015 pada pukul 19.22 WIB.

8
Dengan lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik
yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya
persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat mentelaah berbagai
metodologi penyelesaian masalah mulai dari metode ulama klasik sampai metode
ulama kontemporer.
Dari penjelasan di atas maka tujuan dari Masa'il fiqhiyah secara umum adalah
untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang
muncul dalam masyarakat di kehidupan modern yang sering kali jadi pertanyaan-
pertanyaan sehingga membutuhkan jawaban-jawaban logis tentang kepastian
hukum. Sedangkan tujuan khususnya mempelajari Masail Fiqhiyah bagi kita calon-
calon pendidik adalah agar nantinya ketika mengajar kita sudah siap dan dapat
menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan serta pertanyaan-
pertanyaaan yang mungkin muncul dari peserta didik.
Tujuan lain dari adanya masail fiqhiyah adalah :
1. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Masail Fiqiyah termasuk bidang studi yang
paling banyak mengandung perdebatan, nuansa dan sekaligus keuntungan.
Semua itu akan menjadi hikmah dan rahmat, manakala disikapi secara adil,
obyektif, kritis dan dinamis.
2. Adanya ilmu Masail Fiqiyah ini menunjukkan kepedulian yang kuat dan
mendalam dari kalangan para ahli hukum islam untuk memberikan jawaban
terhadap berbagai masalah yang berkembang.
3. Berbagai jawaban yang mereka berikan itu dapat digunakan sebagai bahan
perbandingan dan menambah memperkaya khazanah inteletual.5
4.
Ilmu Masail Fiqiyah juga menunjukkan adanya kebebasan berfikir secara
tanggung jawab di kalangan umat islam dan sekaligus toleransi dan
kedewasaan sikap dalam menghadapi berbagai perbedaan pendapat.6
5. Dengan keilmuan masail fiqhiyyah diharapkan mampu memahami dengaan
baik tentang problema-problema yang timbul dalam Fiqh Islam, memberikan

5 Hasby Ash-shiddiq, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Yogyakarta, 1974, hal.183.
6 Abuddin Nata, Masail Al-fiqiyah, Preneda Media, Jakarta, 2003, hal.223-224.

9
kemampuan untuk membahas dan memecahkan masalah-masalah Fiqh yang
actual dan memasyarakatkannya dengan pendekatan yang luas, yang tidak
hanya terfokus pada teks-teks fiqih klasik akan tetapi juga pada pendekatan-
pendekatan rasional.7

7 Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011, hal. 7

10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Masail fiqhiyah merupakan masalah-masalah baru yang muncul setelah
turunnya Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya Rasulullah Saw yang
belum ada ketentuan hukum secara pasti, sehingga dalam mencari
jawabannya memerlukan kesepakatan para ulama dalam menentukan hukum
yang diambil dari Al-quran, Hadits, Ijma’, Qiyas.
2. Ruang lingkup pembahasan masail fiqhiyah meliputi ;
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT
b. Hubungan manusia dengan manusia
c. Hubungan manusia dengan diri sendiri
d. Hubungan manusia dengan alam sekitar
3. Tujuan dari Masa'il fiqhiyah secara umum adalah untuk menjawab dan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam
masyarakat di kehidupan modern yang sering kali jadi pertanyaan-pertanyaan
sehingga membutuhkan jawaban-jawaban logis tentang kepastian hukum.
Sedangkan tujuan khususnya mempelajari Masail Fiqhiyah bagi kita calon-
calon pendidik adalah agar nantinya ketika mengajar kita sudah siap dan
dapat menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan serta
pertanyaan-pertanyaaan yang mungkin muncul dari peserta didik.

11
DAFTAR PUSTAKA
Ash-shiddiq, Hasby, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Yogyakarta, 1974
Nata, Abuddin, Masail Al-fiqiyah, Preneda Media, Jakarta, 2003.
Qomaruzzaman,Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul
Masail,Tim Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003.
Ardiansyah, velliez, 2012, http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail
fiqhiyyah.html diakses pada tanggal 02 September 2015 pada pukul 19.22 WIB.

12

Anda mungkin juga menyukai