Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-THUSI


Disusun untuk memenuhi tugas individu pada Mata Kuliah Filsafat Islam

Dosen Pengampu: Faiz Fikri Al-Fahmi, S.Kom.I. M.Hum

Disusun Oleh:

Mulia Kurnia Cahya 2103020001

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM SYEKH YUSUF


TANGERANG

Jln Syekh Yusuf No.10, Rt.001/Rw.003, Babakan, Kec. Tangerang, Banten 15118
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum, Wr, Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Pemikiran Filsafat Al-Thusi” dapat
diselesaikan yang Alhamdulillah tepat waktu.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun
penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penulisan makalah ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan dan bimbingan dosen serta teman-teman, sehingga kendala-kendala yang penulis
hadapi teratasi.

Penulis sadar, penyusunan dan penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penyusunan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami, semoga
makalah yang sederhana ini dapat membri acuan pemikiran tersendiri bagi masyarakat terlebih
bagi mahasiswa sebagai tambahan ilmu dan informasi.

Wassalamu’alaikum, Wr, Wb.

Tangerang, 6 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I ......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 2

BAB II ....................................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3

A. BIOGRAFI NASHIRUDDIN AL-THUSI ..................................................................... 3

B. Karya-Karya Nashiruddin Al-Thusi ............................................................................... 5

C. Pemikiran Filsafat Nashiruddin Al-Thusi ....................................................................... 8

BAB III.................................................................................................................................... 12

PENUTUP............................................................................................................................... 12

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat Islam merupakan ilmu yang memiliki peran dalam perjalanan
berkembangnya pendidikan agama Islam. Konsep berpikir yang tidak hanya
berdasarkan logika tetapi juga harus didasarkan pada keimanan. Orang boleh berfilsafat
namun akidah tetap yang paling utama. Filsafat itu bersifat rasional artinya memikirkan
sesuatu tanpa melihat sesuatu. Menurut pendapat orang barat filsafat is mother of
science, tetapi pendapat tersebut dibantah oleh ahli filsafat dari kalangan Islam seperti
Imam Ghozali dan Ibnu Rusyd mengatakan bahwa akidah is mother of science. Hal
tersebut didasarkan karena filsafat merupakan produk dari teologi, oleh karena itu
filsafat harus mendukung teologi. Contoh filsafat adalah seperti Nabi Ibrahim a.s yang
mencari Tuhannya. Pada awalnya Beliau mempercayai bintang, kemudian bulan lalu
matahari. Namun pada akhirnya Beliau mempercayai bahwa yang menciptakan seluruh
alam semesta beserta isinya adalah Allah SWT. Yang terdapat dalam QS Ar-Rum ayat
30 : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah
Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.”
Pada masa Dinasti Abbasiyah, Islam mengalami masa kejayaan khususnya dalam
bidang ilmu pengetahuan. Terdapat berbagai buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab sehingga mempermudah para ilmuwan Islam untuk mempelajari berbagai disiplin
ilmu khususnya filsafat. Kemudian muncullah para filsuf muslim mulai dari Al-Kindi
sampai pada masa Ibnu Rusyd. Pada masa sesudah Ibnu Rusyd muncullah para tokoh
filsafat dari umat Islam seperti Nashiruddin Al-Thusi, Mulla Sadra, Muhammad Abduh,
Muhammad Iqbal.
Tokoh yang akan kita bahas kali ini kurang begitu populer dibanding tokoh-tokoh
besar dalam sejarah Islam seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ar-Razi, dan lainnya. Oleh
karena itu, kemunculan namanya sebagai tokoh penting dalam khazanah perkembangan
peradaban Islam juga menjadi sesuatu yang sulit ditemukan. Padahal
memperbincangkan sejarah Filsafat Islam, kita tak bisa meninggalkan tokoh yang
memberikan sumbangan yang begitu besar bagi perkembangan filsafat Islam khususnya

1
madzhab paripatetik ini. Nashiruddin Al-Thusi adalah seorang pemikir Islam yang tidak
hanya dikenal sebagai seorang filsuf, tetapi juga sebagai ahli astronomi,
matematikawan dan saintis/ilmuwan yang beberapa pemikirannya masih digunakan
sampai saat ini. Dia adalah seorang penulis yang mempunyai banyak karya dalam
bidang matematika. Ia juga seorang biolog, ahli kimia, ahli pengobatan, ahli ilmu fisika,
teolog dan Marja Taqleed. Al-Thusi termasuk satu di antara sedikit astronom Islam
yang mendapat perhatian dari ilmuwan modern. Seyyed Hussein Nasr mengkategorikan
Al-Thusi sebagai salah satu di antara tokoh universal sains Islam yang pernah lahir
dalam peradaban Islam pada abad pertengahan.
Dari uraian diatas penulis ingin lebih luas mengetahui salah satu tokoh filsuf muslim
modern, yaitu Nashiruddin Al-Thusi. Oleh karena itu, pada makalah kali ini kami akan
memfokuskan bahasan ini pada Nashiruddin Al-Thusi dan bagaimana pemikiran-
pemikiran filsafat yang Ia munculkan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Al-Thusi?
2. Apa saja karya-karya Al-Thusi?
3. Bagaimana pemikiran Al-Thusi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana Biografi Al-Thusi
2. Untuk mengetahui apa saja karya-karya Al-Thusi
3. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Al-Thusi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Nashiruddin Al-Thusi


Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan
Nashiruddin Al-Thusi.(Mustofa, 1997) Ia lahir pada 18 Februari 1201 M / 597 H di
kota Thus dekat Meshed Persia sekarang sebelah timur laut Iran. Beliau di kenal dengan
sebutan Nashiruddin Al-Thusi. Nama ayahnya Muhammad bin Hasan, yang mendidik
Thusi sejak pendidikan dasar. Nashiruddin Al-Thusi menguasai dua bahasa dengan
baik, bahasa arab dan bahasa persia. Dia juga menulis dengan dua bahasa tersebut.
Nashiruddin Al-Thusi dapat dikatakan sebagai orang yang bisa mewakili dua budaya,
yaitu budaya arab dan budaya persia dengan tingkat penguasaan yang sama.(Cahya,
2015) Sejak usia belia, Al-Thusi sudah mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya
dan pengetahuan logika, fisika, metafisika dari pamannya.
Meskipun demikian beliau juga mempunyai beberapa nama berbeda
dikarenakan kemahsyurannya, antara lain Muhaqqiq Al-Thusi, Khuwaja Thusi dan
Khuwaja Nasir, dan Al-Thusi. Al-Thusi pun dikenal sebagai ilmuwan “serba bisa”
(Multi Talented). Al-Thusi merupakan sarjana Muslim yang kemasyhurannya setara
dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja seperti Thomas Aquinas. Beragam ilmu
pengetahuan dikuasainya, seperti astronomi, politik, biologi, kimia, matematika,
filsafat, kedokteran hingga ilmu agama Islam.(El Saha, 2004)
Selain mempelajari ilmu agama di sekolah itu, Al-Thusi juga mempelajari
Fiqih, Ushul, Hikmah dan Kalam, dan juga Isyaratnya Ibnu Sina, dari Mahdar
Fariduddin Damad,dan Matematika dari Muhammad Hasib, di Nishapur. Kemudian dia
pergi ke Baghdad. Disana dia mempelajari ilmu pengobatan dan Filsafat dari
Qutbuddin, dan juga Matematika dari Kamaluddin bin Yunus dan Fiqih serta Ushul dari
Salim bin Bardan.(M.M.Syarif, 1993)
Al-Thusi lahir pada awal abad ke 13 M, ketika itu dunia Islam telah mengalami
masa-masa sulit. Pada saat itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat di bawah
pimpinan Jengis Khan yang brutal dan sadis bergerak cepat dari Cina ke Barat
menginvensi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan
dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam. Hal itu

3
dipertegas J.J.O’Connor dan E.F.Robertson, bahwa pada masa itu dunia tengah diliputi
kecemasan. Hilang rasa aman dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk
mengembangkan ilmu pengetahuannya. Al-Thusi pun tak dapat mengelak dari konflik
yang melanda negerinya. Sejak kecil, Al-Thusi digembleng ilmu oleh ayahnya yang
berprofesi sebagai ahli hukum di sekolah Imam Kedua Belas. Karena keahliannya,
akhirnya ia direkrut penguasa dinasti Nizari Ismailiyah. Selama mengabdi, ia mengisi
waktunya dengan menulis beragam karya penting tentang logika, filsafat, matematika
serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlaqi Nasiri yang ditulisnya pada
1232 M.(Cahya, 2015)
Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan akhirnya
menguasai Istana Alamut dan meluluhlantakkannya pada tahun 1251 M. Al-Thusi
selamat, karena Hulagu Khan ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu
pengetahuan. Al-Thusi pun diangkat sebagai penasihat di bidang ilmu pengetahuan
oleh Hulagu Khan. Al-Thusi bahkan juga diangkat sebagai wazir dan pengawas
lembaga-lembaga agama pemerintahan Mongol. Karenanya, ia dapat meningkatkan
pengaruh Imamiyah di Irak dan Iran. Meskipun telah menjadi penasihat pasukan
Mongol, Nashiruddin tetap tak mampu menghentikan kebiadaban Hulagu Khan yang
membumi hanguskan Kota Metropolis Intelektual dunia, yaitu kota Baghdad pada
tahun 1258 M. Terlebih lagi pada saat itu Dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan
Khalifah Al-Mu’tashim yang lemah.
Hulagu Khan sangat senang sekali ketika Al-Thusi mengungkapkan rencananya
untuk membangun observatorium di Margha, Azerbaijan. Kecenderungan
intelektualnya pun akhirnya semakin bertambah saat Hulagu Khan membangun
observatorium untuknya pada tahun 657 H / 1259 M yang dilengkapi dengan alat-alat
yang baik. Beliau juga menulis biografi raja Mongol, yang berjudul Peraturan dan
Kebiasaan Raja-raja Kuno, yang berisi nasihat-nasihat keuangan negara dan
administrasi pemerintahan.
Pembangunan observatorium ini melibatkan para sarjana dari Persia dan
astronom dari China. Observatorium Margha ini mulai beroperasi pada tahun 1262 M.
Disini Al-Thusi menyusun tabel-tabel astronominya yang disebut Zij Al-Ikhani yang
ditulis dalam bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan kemudian
menjadi terkenal di seluruh Asia bahkan sampai ke China. Pada akhir abad ke-7 H / ke-
13 M, observatorium ini juga digunakan untuk mengembangkan 3 ilmu penting lainnya,
yaitu Matematika dan Filsafat. Al-Thusi juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya
4
yang berjudul At-Tadzkira fi ‘Ilm Al-Hay’a (Memoar Astronomi). Al-Thusi mampu
memodifikasi model semesta Apisiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika
untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. (Rabbani, 2018)
Pada musim dingin tahun 672 H / 1273 M, Al-Thusi bersama dengan Agha
Khan pergi ke Baghdad. Agha Khan kembali ke ibu kota setelah selesai musim dingin.
Namun Al-Thusi tetap disana dengan maksud untuk menyelesaikan tugasnya hingga
akhirnya ia meninggal pada tanggal 18 Dzulhijjah pada tahun tersebut. Berdasarkan
surat wasiat yang ditulisnya, ia pun dimakamkan di dekat Haram Kazhimain,
Irak.(Ni’mat, 1987)

B. Karya-Karya Nashiruddin Al-Thusi


Al-Thusi merupakan salah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang
ilmu, tidak hanya filsafat semata. Terbukti bahwa ia telah mengarang lebih dari 145
buku dalam bidang ilmu matematika, astronomi, geografi, dan fisika. Diantara sebagian
buku itu, terdapat hasil terjemahan dari buku-buku Yunani dan penjelasannya.
Sebagaimana dia juga mempelajari buku-buku Ibnu Haitsam yang sangat dikaguminya.
Buku-buku tersebut dia tambah dengan penjelasan-penjelasan dan komentar.(Islamea,
2015)
Meskipun Al-Thusi pandai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan namun ia
bukan seorang ilmuwan atau filsuf yang kreatif sebagaimana filsuf yang ada di Timur
yang memuat gagasan sebelumnya. Ia bukan termasuk ahli fikir yang kreatif yang dapat
memberikan gagasan yang murni dan cemerlang. Hal ini tampak pada perannya sebagai
pengajar gerakan kebangkitan kembali dan dalam karya-karyanya yang kebanyakan
bersifat elektis yakni bersifat memilih dari berbagai sumber. Meskipun demikian, ia
tetap memiliki ciri khas tersendiri dalam menyajikan bahan tulisannya. Kepandaiannya
yang beragam sangat mengagumkan. Minatnya yang banyak dan mencakup berbagai
jenis ilmu pengetahuan, antara lain filsafat, matematika, astronomi, fisika, mineralogi,
musik, ilmu pengobatan, sejarah, kesusastraan dan dogmatik.(Suryadi, 2009) Adapun
karya-karya Al-Thusi sebagai berikut(Suryadi, 2009):
a. Karya di bidang Logika
1. Asas Al-Iqtibas
2. At-Tajrid fi Al-Mantiq
3. Syarhi Mantiq Al-Isyarat
4. Ta’dil Al-Mi’yar

5
b. Karya di bidang Metafisika
1. Risalah Dar Ithbati Wajib
2. Itsari Jauhar Al-Mufariq
3. Risalah Dar Wujudi Jauhari Mujarrad
4. Risalah Dar Itsbati ‘Aqil Fa’al
5. Risalah Darurati Marg
6. Risalah Sudur Kharat Az Wahdat
7. Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul
8. Tashawwurat
9. Talkis Al-Muhassal
10. Halli Musykilat Al-Asyraf
c. Karya di bidang Etika
1. Akhlaki Natsiri
2. Ausaf Al-Asyarf
d. Karya di bidang Dogmatik
1. Tajrid Al-‘Aqaid
2. Qawaid Al-‘Aqaid
3. Risalahi I’tiqodat
e. Karya di bidang Astronomi
1. Al-Mutawassithat Bain Al-Handasa wal Hai’a : Buku suntingan dari
sejumlah karya Yunani, Ikhananian Table (penyempurna Planetary
Tables).
2. Kitab At-Tadzkira fi Al-Ilmal Hai’a : Buku ini terdiri atas empat bab,
yaitu:
1) Pengantar geometrik dan sinematika dengan diskusi-diskusi
tentang saat berhenti, gerak-gerik sederhana dan kompleks.
2) Pengertian-pengertian Astronomikal secara umum, perubahan
sekular pembiasan ekliptik. Sebagian bab ini diterjemahkan oleh
Carr De Vaux yang penuh dengan kritik tajam atas Al-Magest
karya Ptolemy. Kritikan ini merupakan pembuka jalan bagi
Copernicus, terutama pembiasaan-pembiasaan pada bulan dan
gerakan dalam ruangan planet-planet.

6
3) Bumi dan pengaruh benda-benda angkasa atasnya, termasuk di
dalamnya tentang laut, angin, pasang surut, serta bagaimana hal
ini terjadi.
4) Besar dan jarak antar planet.
3. Zubdat Al-Hai’a, termasuk 9 karya yang terbaik dalam Astronomi
4. Al-Tahsil fil An-Nujum
5. Tahzir Al-Majisti
6. Mukhtasar fi Al-‘Ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin (ringkasan
Astrologi dan penanggalan)
7. Kitab Al-Bari fi Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Afak wa Ahkam An-
Nujum (buku terbaik tentang Almanak, pergerakan bintang dan
Astrologi Kehakiman).
f. Karya di bidang Aritmatika, Geometri dan Trigonometri
1. Al-Mukhtasar bi Jami’ Al-Hisab bi At-Takht wa At-Turab (ikhtisar dari
seluruh perhitungan dengan tabel dan bumi).
2. Al-Jabar wa Al-Muqabala (risalah tentang Al-Jabar).
3. Al-Ushul Al-Maudu’a (risalah mengenai Euclidas Postulate).
4. Qawa’id Al-Handasa (kaidah-kaidah Geometri ).
5. Tahrir Al-Ushul.
6. Kitab Shakl Al-Qatta (risalah tentang Trilateral), sebuah karya dengan
keaslian luar biasa, yang ditulis sepanjang Abad Pertengahan. Buku
tersebut sangat berpengaruh di Timur dan Barat sehingga menjadi
rujukan utama dalam penelitian Trigonometri.
g. Karya di bidang optik
1. Tahrir Kitab Al-Manazir.
2. Mabahis Finikas Ash-Shu’ar wa in Itaafiha (penelitian tentang refleksi
dan defleksi sinar-sinar).
h. Karya di Bidang Seni (Syair)
1. Kitab fi ‘Ilm Al-Mausiqi
2. Kanz At-Tuhaf
i. Karya di bidang medis
1. Kitab Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah(Hadariansyah,
2013) buku ini bercerita tentang cara diet, peraturan-peraturan kesehatan
dan hubungan seksual.
7
C. Pemikiran Filsafat Nashiruddin Al-Thusi
Abad 13 adalah masa kritis “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit
pemikiran politik yang berkembang, bahkan sulit menemukan pemikir politik yang
orisinal pada periode pasca Mongol tersebut. Akan tetapi Al-Thusi merupakan seorang
pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual dan pemikiran pemerintahan
pada masanya. Al-Thusi tidak menciptakan pemikiran baru, tetapi ia mengadopsi dan
mengembangkan pemikiran yang sudah ada. Ia mempelajari filsafat Yunani dan Islam,
misalnya lewat karya-karya Aristoteles, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya. Ia juga
dikenal ahli dalam bidang teologi dan fikih yang sangat berpengaruh di Nishapur,
sebuah kota yang menjadi pusat peradaban yang sangat berpengaruh.
Dalam pemikiran agama, Al-Thusi mengadopsi ajaran-ajaran Neoplatonik Ibnu
Sina dan Suhrawardi, dimana keduanya menyebutkan bahwa demi alasan-alasan taktis,
orang bijak (hukama’) bukan sebagai filsuf. Nashiruddin Al-Thusi sendiri berpendapat
bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, namun sebagaimana doktrin Syiah,
manusia membutuhkan pengajaran yang otoritatif, sekaligus filsafat. Dalam pemikiran
politik, Al-Thusi cenderung menyintesiskan ide-ide Aristoteles dan tradisi Iran. Ia
menggabungkan filsafat dengan genre nasihat kepada raja, sehingga ia tetap
memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat. Buku etiknya disajikan sebagai sebuah
karya filsafat praktis. Karya tersebut membahas persoalan individu, keluarga, serta
komunitas kota, provinsi, desa, atau kerajaan.
Al-Thusi bermaksud menyatukan filsafat dan fikih berdasarkan pemikiran
bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan
manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan
kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh
seorang nabi atau imam, yaitu hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan
fikih.(Murtiningsih, 2012) Keduanya dibagi lagi menjadi norma-norma untuk individu,
keluarga, dan penduduk desa atau kota. Menurutnya filsafat mempunyai kebenaran-
kebenaran yang tetap, sedangkan fikih ataupun hukum Tuhan mungkin berubah karena
revolusi atau keadaan, perbedaan zaman dan bangsa serta terjadinya peralihan dinasti.
Beliau menafsirkan Negara atau dinasti sepeti daulah menurut pandangan Ismailiyah,
hal ini terlihat dari pandangannya tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-
nabi, penafsiran Fuqaha’ dan juga para imam. Sehingga Al-Thusi menganggap syariat
sebagai suatu tatanan hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini
kalangan Sunni.(Black, 2006). Pemikiran filsafat Al-Thusi dibagi menjadi tiga, yaitu:
8
1. Filsafat Metafisika
Menurut Al-Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, yaitu ilmu
Ketuhanan (‘Ilmi Ilahi) dan filsafat pertama (Falsafah Ula). Ilmu Ketuhanan
meliputi Tuhan, akal, dan jiwa, serta pengetahuan tentang alam semesta dan hal-
hal yang berhubungan dengan alam semesta yang merupakan filsafat pertama.
Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan kemajemukan,
kepastian, dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan
ketidakkekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut. Diantara
cabang (furu’) metafisika itu termasuk pengetahuan ke-Nabian (Nubuwwat).
Jelajah subjek itu menunjukkan bahwa metafisika merupakan esensi filsafat
Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-gagasan.(Syarif,
1963)
Bagi Al-Thusi eksistensi Tuhan sebagai postulat (yang sudah terang
akan kebenaran bahwa Allah itu ada), harus diyakini oleh manusia dan bukan
harus dibuktikan. Pembuktian eksistensi Tuhan ataupun wujud Tuhan bagi
manusia adalah mustahil, karena pemahaman manusia tentang wujud Tuhan
sangat terbatas untuk dipikirkan. Meskipun Al-Thusi membagi metafisika atas
ilmu Ketuhanan dan filsafat pertama, tetapi di dalamnya tidak mencakup kajian
pembuktian eksistensi Tuhan, karena ini merupakan hal yang di luar batas
kemampuan pembuktian manusia. Al-Thusi berpendapat sama halnya dengan
filsuf lainnya yang mengulas teori ex nihilo yaitu sebuah teori yang menyatakan
adanya penciptaan sesuatu dari tidak ada.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya’
ayat 30, yaitu:

‫ض كَانَتَا َرتْقًا َففَت َ ْق ٰن ُه َم ۗا َو َجعَ ْلنَا مِ نَ ا ْل َم ۤاءِ ُك َّل ش َْيءٍ ح َۗي ٍ اَ َف ََل‬
َ ‫ت َو ْاْلَ ْر‬ َّ ‫ا َ َولَ ْم يَ َر الَّ ِذ ْينَ َكفَ ُر ْْٓوا ا َنَّ ال‬
ِ ‫سمٰ ٰو‬
َ‫يُؤْ مِ نُ ْون‬
“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi,
keduanya, dahulu menyatu, kemudian Kami memisahkan keduanya dan Kami
menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air? Maka, tidakkah
mereka beriman?”
2. Filsafat Etika
Tujuan dari filsafat etika (akhlak) Al-Thusi ini adalah untuk menemukan
cara hidup untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Agar bisa mencapai kebaikan
9
maka dalam hal ini manusia dituntut untuk sering berbuat baik, menempatkan
kebaikan diatas keadilan dan cinta. Menurut Plato, yang termasuk perbuatan
baik menyangkut kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan.
Keempat hal ini termasuk pada trinitas jiwa yang meliputi akal, kemarahan, dan
hasrat. Namun Al-Thusi yang sependapat dengan Ibnu Maskawaih. Ia
menempatkan kebajikan diatas keadilan, dan cinta sebagai sumber alam
kesatuan, diatas kebajikan.
Perbuatan baik selalu diusik oleh perbuatan jahat. Selain dari kebaikan
dan kejahatan, satu hal yang mempengaruhi etika adalah penyakit. Penyakit
yang dimaksud adalah penyakit moral manusia, yang merupakan penyimpangan
jiwa dari keseimbangan. Menurut Al-Thusi, penyakit moral ini bisa disebabkan
oleh tiga sebab, yaitu keberlebihan, keberkurangan, ketidakwajaran akal, dan
kemarahan, serta hasrat. (M.M.Syarif, 1993) Dari teori tiga sebab ini, Al-Thusi
menggunakannya dengan menggolongkan tiga golongan penyakit fatal akal
teoritis yang terbagi menjadi tiga karakter, yaitu:
a. Kebingungan (hairat)
Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk
membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan adanya bukti
saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan terhadap
suatu masalah yang kontroversial.
b. Kebodohan sederhana (Jahl Basith)
Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia
akan suatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan
semacam itu merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak
untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal kalau merasa puas
dengan keadaan begitu.
c. Kebodohan fatal (Jahl Murakkab)
Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia akan suatu hal
dan dia merasa mengetahui hal itu. Walaupun dia bodoh, dia tidak tahu
bahwa dia memang bodoh. Menurut Al-Thusi, penyakit ini adalah
penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tetapi dengan upaya keras
dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan
kefatalannya menjadi kebodohan bersama.(Suryadi, 2009)

10
Pandangan Al-Thusi secara keseluruhan, ia menganggap bahwa
manusia adalah makhluk sosial, maka untuk memperkuat sikap daripada
manusia itu sendiri, manusia mesti mencapai sebuah watak yang baik
terhadap sesamanya sampai batas sempurna. Kesempurnaan ini
disebutnya dengan peradaban. Manusia hidup saling membutuhkan
maka sangat mustahil manusia bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang
lain.
3. Filsafat Jiwa
Pandangan Al-Thusi tentang jiwa, ia berasumsi bahwa jiwa merupakan
suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan lagi
bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan secara kasat mata. Masalah
semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri merupakan
suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu argumen
masyarakat tentang adanya seorang ahli argumen dan sebuah masalah untuk
diargumentasikan, sedangkan dalam hal ini, keduanya sama yang bernama
jiwa.(M.M.Syarif, 1993) Jiwa mmpunyai sifat sebagai substansi sederhana dan
immaterial yang dapat merasa sendiri. Jiwa berkerja untuk mengontrol tuubuh
melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi jiwa tidak bisa dirasa lewat alat-alat
tubuh.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Nama lengkap Al-Thusi adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin
Al-Hasan Nashiruddin Al-Thusi. Ia lahir pada 18 Februari 1201 M / 597 H di kota
Thus dekat Meshed Persia sekarang sebelah timur laut Iran. Beliau di kenal dengan
sebutan Nashiruddin Al-Thusi. Karya-karya Al-Thusi meliputi berbagai bidang, yaitu:
Logika, Metafisika, Etika, Dogmatik, Astronomi, Aritmatika, Geometri dan
Trigonometri, Optik, Seni (Syair), dan medis. Pemikiran filsafat Al-Thusi terbagi
menjadi tiga, yaitu filsafat metafisika, filsafat etika, dan filsafat jiwa.

12
DAFTAR PUSTAKA

Black, A. (2006) Pemikiran Politik Islam. Dari masa nabi Hingga Masa Kini. Jakarta:
Serambi.
Cahya, I. (2015) Makalah Filsafat Islam~Nasiruddin Ath-Thusi. Available at: http://inten-
cahya.blogspot.com/2015/12/makalah-filsafat-Islamnasiruddin-ath.html (Accessed:
28 September 2018).
Hadariansyah (2013) Pengantar Filsafat Islam. Banjarmasin: Kafusari Press.
Islamea, M. (2015) Makalah Biografi Nashiruddin Ath-Thusi Sahabat Rasulullah.
Available at: http://raIslamea.blogspot.com/2015/12/makalah-biografi-nashiruddin-
ath-thusi.html (Accessed: 29 September 2018).
M.M.Syarif (1993) Para Filosof Muslim. Bandung: Penerbit Mizan.
Murtiningsih, W. (2012) Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Mustofa, D. H. A. (1997) Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ni’mat, A. (1987) Falāsifah al-Syi’ah Hayātahum wa Arauhum. Beirut: Daral-Fikr al-
Lubnanai.
Rabbani, A. (2018) NASHIRUDDIN ATH-THUSI. RIWAYAT HIDUP. Available at:
https://sosiologi79.blogspot.com/2018/03/nasiruddin-ath-thusi-riwayat-hidup.html
(Accessed: 29 September 2018).
El Saha, M. I. dan S. H. (2004) Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern.
Jakarta: CV Fauzan Inti Kreasi.
Suryadi, D. (2009) Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Syarif, M. M. (1963) History of Muslim Philosophy. Wisbaden: Otto Horossowitz.

13

Anda mungkin juga menyukai