Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

PEMIKIRAN FILSAFAT ATH-THUSI

TUGAS INDIVIDU

OLEH:

NAMA: ANSAR,S.Pd.I
NIM: 90156123013

PRODI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUAN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
MAJENE
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat Islam merupakan ilmu yang memiliki peran dalam perjalanan
berkembangnya pendidikan agama Islam. Konsep berpikir yang tidak hanya
berdasarkan logika tetapi juga harus didasarkan pada keimanan. Orang boleh
berfilsafat namun akidah tetap yang paling utama. Filsafat itu bersifat rasional
artinya memikirkan sesuatu tanpa melihat sesuatu.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, Islam mengalami masa kejayaan khususnya
dalam bidang ilmu pengetahuan. Terdapat berbagai buku yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab sehingga mempermudah para ilmuwan Islam untuk
mempelajari berbagai disiplin ilmu khususnya filsafat. Kemudian muncullah para
filsuf muslim mulai dari Al-Kindi sampai pada masa Ibnu Rusyd. Pada masa
sesudah Ibnu Rusyd muncullah para tokoh filsafat dari umat Islam seperti
Nashiruddin Al-Thusi, Mulla Sadra, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal.
Tokoh yang akan kita bahas kali ini kurang begitu populer dibanding tokoh-
tokoh besar dalam sejarah Islam seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ar-Razi, dan
lainnya. Oleh karena itu, kemunculan namanya sebagai tokoh penting dalam
khazanah perkembangan peradaban Islam juga menjadi sesuatu yang sulit
ditemukan. Padahal memperbincangkan sejarah Filsafat Islam, kita tak bisa
meninggalkan tokoh yang memberikan sumbangan yang begitu besar bagi
perkembangan filsafat Islam khususnya madzhab paripatetik ini. Nashiruddin Al-
Thusi adalah seorang pemikir Islam yang tidak hanya dikenal sebagai seorang
filsuf, tetapi juga sebagai ahli astronomi, matematikawan dan saintis/ilmuwan
yang beberapa pemikirannya masih digunakan sampai saat ini. Dia adalah
seorang penulis yang mempunyai banyak karya dalam bidang matematika. Ia
juga seorang biolog, ahli kimia, ahli pengobatan, ahli ilmu fisika, teolog dan
Marja Taqleed. Al-Thusi termasuk satu di antara sedikit astronom Islam yang
mendapat perhatian dari ilmuwan modern. Seyyed Hussein Nasr
mengkategorikan Al-Thusi sebagai salah satu di antara tokoh universal sains
Islam yang pernah lahir dalam peradaban Islam pada abad pertengahan.
Nashiruddin Ath-Thusi adalah salah seorang filosof muslim yang memiliki
gagasan tentang filsafat praktis tidak lain merupakan pengejawantahan dari
perintah-perintah Allah dalam Al-Qur‟an Al-Karim. Ath-Thusi mengkategorikan
perintah-perintah Al-Qur‟an menjadi tiga bagian; pertama, perintah-perintah Al-
Qur‟an yang ditujukan kepada manusia sebagai seorang individu, kedua,
perintah-perintah Al-Qur‟an yang diberikan kepada manusia dalam fungsinya
sebagai suatu keluarga, dan ketiga, perintah-perintah Al-Qur‟an yang diamana
meletakan kepada manusia yang berkedudukan sebagai bagian dari masyarakat
dalam suatu daerah atau negeri. Dari ketiganya, Ath-Thusi menggambarkan
pembagian filsafat praktis menjadi; filsafat etika, filsafat rumah tangga, dan
filsafat politik (Sulaiman,1
2016). Untuk membentuk rumah tangga yang harmonis, penuh kedamaian
dan toleran antar sesama anggota keluarga.
Dari uraian diatas penulis ingin lebih luas mengetahui salah satu tokoh filsuf
muslim modern, yaitu Nashiruddin Al-Thusi. Oleh karena itu, pada makalah kali
ini kami akan memfokuskan bahasan ini pada Nashiruddin Al-Thusi dan
bagaimana pemikiran-pemikiran filsafat yang Ia munculkan dan mengambil ide-
ide kreatif dari Ath-Thusi untuk menjawab problematika kekinian yang berkaitan
dengan keluarga. Antara lain adalah bagaimana pola membangun rumah tangga
yang toleran, keluarga yang mau dan mampu memahami setiap perbedaan tanpa
mengesampingkan etika dalam kehidupan keluarga dewasa ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Nashiruddin Al-Thusi


Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-
Hasan Nashiruddin Al-Thusi.(Mustofa, 1997) Ia lahir pada 18 Februari 1201 M /
597 H di kota Thus dekat Meshed Persia sekarang sebelah timur laut Iran. Beliau
di kenal dengan sebutan Nashiruddin Al-Thusi. Nama ayahnya Muhammad bin
Hasan, yang mendidik Thusi sejak pendidikan dasar. Nashiruddin Al-Thusi
menguasai dua bahasa dengan baik, bahasa arab dan bahasa persia. Dia juga
menulis dengan dua bahasa tersebut. Nashiruddin Al-Thusi dapat dikatakan
sebagai orang yang bisa mewakili dua budaya, yaitu budaya arab dan budaya
persia dengan tingkat penguasaan yang sama.(Cahya, 2015) Sejak usia belia, Al-
Thusi sudah mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya dan pengetahuan
logika, fisika, metafisika dari pamannya.
Al-Thusi lahir pada awal abad ke 13 M, ketika itu dunia Islam telah
mengalami masa-masa sulit. Pada saat itu, kekuatan militer Mongol yang begitu
kuat di bawah pimpinan Jengis Khan yang brutal dan sadis bergerak cepat dari
Cina ke Barat menginvensi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota
Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan
sangat kejam. Hal itu dipertegas J.J.O’Connor dan E.F.Robertson, bahwa pada
masa itu dunia tengah diliputi kecemasan. Hilang rasa aman dan ketenangan itu
membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya.
Al-Thusi pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda negerinya. Sejak
kecil, Al-Thusi digembleng ilmu oleh ayahnya yang berprofesi sebagai ahli
hukum di sekolah Imam Kedua Belas. Karena keahliannya, akhirnya ia direkrut
penguasa dinasti Nizari Ismailiyah. Selama mengabdi, ia mengisi waktunya
dengan menulis beragam karya penting tentang logika, filsafat, matematika serta
astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlaqi Nasiri yang ditulisnya pada
1232 M.(Cahya, 2015)
Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan
akhirnya menguasai Istana Alamut dan meluluhlantakkannya pada tahun 1251 M.
Al-Thusi selamat, karena Hulagu Khan ternyata sangat menaruh minat terhadap
ilmu pengetahuan. Al-Thusi pun diangkat sebagai penasihat di bidang ilmu
pengetahuan oleh Hulagu Khan. Al-Thusi bahkan juga diangkat sebagai wazir
dan pengawas lembaga-lembaga agama pemerintahan Mongol. Karenanya, ia
dapat meningkatkan pengaruh Imamiyah di Irak dan Iran. Meskipun telah
menjadi penasihat pasukan Mongol, Nashiruddin tetap tak mampu menghentikan
kebiadaban Hulagu Khan yang membumi hanguskan Kota Metropolis Intelektual
dunia, yaitu kota Baghdad pada tahun 1258 M. Terlebih lagi pada saat itu Dinasti
Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Mu’tashim yang lemah.
Hulagu Khan sangat senang sekali ketika Al-Thusi mengungkapkan
rencananya untuk membangun observatorium di Margha, Azerbaijan.
Kecenderungan intelektualnya pun akhirnya semakin bertambah saat Hulagu
Khan membangun observatorium untuknya pada tahun 657 H / 1259 M yang
dilengkapi dengan alat-alat yang baik. Beliau juga menulis biografi raja Mongol,
yang berjudul Peraturan dan Kebiasaan Raja-raja Kuno, yang berisi nasihat-
nasihat keuangan negara dan administrasi pemerintahan.
Pada musim dingin tahun 672 H / 1273 M, Al-Thusi bersama dengan Agha
Khan pergi ke Baghdad. Agha Khan kembali ke ibu kota setelah selesai musim
dingin. Namun Al-Thusi tetap disana dengan maksud untuk menyelesaikan
tugasnya hingga akhirnya ia meninggal pada tanggal 18 Dzulhijjah pada tahun
tersebut. Berdasarkan surat wasiat yang ditulisnya, ia pun dimakamkan di dekat
Haram Kazhimain, Irak.(Ni’mat, 1987)
B. Karya-Karya Nashiruddin Al-Thusi
Al-Thusi merupakan salah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang
ilmu, tidak hanya filsafat semata. Terbukti bahwa ia telah mengarang lebih dari
145 buku dalam bidang ilmu matematika, astronomi, geografi, dan fisika.
Diantara sebagian buku itu, terdapat hasil terjemahan dari buku-buku Yunani dan
penjelasannya. Sebagaimana dia juga mempelajari buku-buku Ibnu Haitsam yang
sangat dikaguminya. Buku-buku tersebut dia tambah dengan penjelasan-
penjelasan dan komentar.(Islamea, 2015)
Meskipun Al-Thusi pandai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan namun
ia bukan seorang ilmuwan atau filsuf yang kreatif sebagaimana filsuf yang ada di
Timur yang memuat gagasan sebelumnya. Ia bukan termasuk ahli fikir yang
kreatif yang dapat memberikan gagasan yang murni dan cemerlang. Hal ini
tampak pada perannya sebagai pengajar gerakan kebangkitan kembali dan dalam
karya-karyanya yang kebanyakan bersifat elektis yakni bersifat memilih dari
berbagai sumber. Meskipun demikian, ia tetap memiliki ciri khas tersendiri dalam
menyajikan bahan tulisannya. Kepandaiannya yang beragam sangat
mengagumkan. Minatnya yang banyak dan mencakup berbagai jenis ilmu
pengetahuan, antara lain filsafat, matematika, astronomi, fisika, mineralogi,
musik, ilmu pengobatan, sejarah, kesusastraan dan dogmatik.(Suryadi, 2009)

C. Pemikiran Filsafat Nashiruddin Al-Thusi


Dalam pemikiran agama, Al-Thusi mengadopsi ajaran-ajaran Neoplatonik
Ibnu Sina dan Suhrawardi, dimana keduanya menyebutkan bahwa demi alasan-
alasan taktis, orang bijak (hukama’) bukan sebagai filsuf. Nashiruddin Al-Thusi
sendiri berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, namun
sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otoritatif,
sekaligus filsafat.
Dalam pemikiran politik, Al-Thusi cenderung menyintesiskan ide-ide
Aristoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre nasihat
kepada raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat.
Buku etiknya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya tersebut
membahas persoalan individu, keluarga, serta komunitas kota, provinsi, desa,
atau kerajaan.
Ath-Thusi mengenalkan skema filsafat praktis yang sejatinya juga refleksi
dari perintah-perintah Al-Qur‟an. Karena Ath-Thusi mengkategorikan perintah-
perintah AlQur‟an dalam tiga bentuk, yakni perintah Al-Qur‟an yang diberikan
kepada manusia sebagai seorang individu, perintah Al-Qur‟an yang ditujukan
pada manusia sebagai anggota keluarga, dan perintah-perintah Al-Qur‟an yang
diamanatkan kepada manusia dalam fungsinya sebagai bagian dari penduduk
suatu kota atau sebuah negara. Dari sini ia menggambarkan filsafat praktis
menjadi tiga, yakni; filsafat etika, filsafat rumah tangga, dan filsafat politik.
Al-Thusi bermaksud menyatukan filsafat dan fikih berdasarkan pemikiran
bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah
memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan
batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada kebiasaan komunitas,
atau diajarkan oleh seorang nabi atau imam, yaitu hukum Tuhan, dan ini
merupakan pokok bahasan fikih.(Murtiningsih, 2012) Keduanya dibagi lagi
menjadi norma-norma untuk individu, keluarga, dan penduduk desa atau kota.
Menurutnya filsafat mempunyai kebenaran-kebenaran yang tetap, sedangkan
fikih ataupun hukum Tuhan mungkin berubah karena revolusi atau keadaan,
perbedaan zaman dan bangsa serta terjadinya peralihan dinasti. Beliau
menafsirkan Negara atau dinasti sepeti daulah menurut pandangan Ismailiyah, hal
ini terlihat dari pandangannya tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-
nabi, penafsiran Fuqaha’ dan juga para imam. Sehingga Al-Thusi menganggap
syariat sebagai suatu tatanan hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana
diyakini kalangan Sunni.(Black, 2006).
Pemikiran filsafat Al-Thusi dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Filsafat Metafisika
Menurut Al-Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, yaitu ilmu
Ketuhanan (‘Ilmi Ilahi) dan filsafat pertama (Falsafah Ula). Ilmu Ketuhanan
meliputi Tuhan, akal, dan jiwa, serta pengetahuan tentang alam semesta dan
hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta yang merupakan filsafat
pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan
kemajemukan, kepastian, dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan
dan ketidakkekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut.
Diantara cabang (furu’) metafisika itu termasuk pengetahuan ke-Nabian
(Nubuwwat). Jelajah subjek itu menunjukkan bahwa metafisika merupakan
esensi filsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-
gagasan.(Syarif, 1963)
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya’
ayat 30, yaitu:

‫َأَو َلْم َيَر اَّلِذ يَن َك َفُر وا َأَّن الَّس َم اَو اِت َو اَأْلْر َض َك اَنَتا َر ْتًقا َفَفَتْقَناُهَم ا َو َج َعْلَن ا ِم َن اْلَم اء ُك َّل‬
. ‫َش ْي ٍء َح ٍّي َأَفاَل ُيْؤ ِم ُنوَن‬
Artinya: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?” (QS.Al-
Anbiya’:30).
2. Filsafat Etika
Tujuan dari filsafat etika (akhlak) Al-Thusi ini adalah untuk menemukan
cara hidup untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Agar bisa mencapai
kebaikan maka dalam hal ini manusia dituntut untuk sering berbuat baik,
menempatkan kebaikan diatas keadilan dan cinta.
Perbuatan baik selalu diusik oleh perbuatan jahat. Selain dari kebaikan
dan kejahatan, satu hal yang mempengaruhi etika adalah penyakit. Penyakit
yang dimaksud adalah penyakit moral manusia, yang merupakan
penyimpangan jiwa dari keseimbangan. Menurut Al-Thusi, penyakit moral
ini bisa disebabkan oleh tiga sebab, yaitu keberlebihan, keberkurangan,
ketidakwajaran akal, dan kemarahan, serta hasrat. (M.M.Syarif, 1993)
Al-Thusi menggolongkan tiga golongan penyakit fatal akal teoritis yang
terbagi menjadi tiga karakter, yaitu:
a. Kebingungan (hairat)
Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk
membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan adanya bukti
saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan terhadap
suatu masalah yang kontroversial.
b. Kebodohan sederhana (Jahl Basith)
Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan
suatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan
semacam itu merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak
untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal kalau merasa puas
dengan keadaan begitu.
c. Kebodohan fatal (Jahl Murakkab)
Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia akan suatu hal dan
dia merasa mengetahui hal itu. Walaupun dia bodoh, dia tidak tahu
bahwa dia memang bodoh. Menurut Al-Thusi, penyakit ini adalah
penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tetapi dengan upaya keras
dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan
kefatalannya menjadi kebodohan bersama.(Suryadi, 2009)
3. Filsafat Jiwa
Pandangan Al-Thusi tentang jiwa, ia berasumsi bahwa jiwa merupakan
suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan lagi
bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan secara kasat mata. Masalah
semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri
merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu
argumen masyarakat tentang adanya seorang ahli argumen dan sebuah
masalah untuk diargumentasikan, sedangkan dalam hal ini, keduanya sama
yang bernama jiwa.(M.M.Syarif, 1993) Jiwa mmpunyai sifat sebagai
substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Jiwa berkerja
untuk mengontrol tuubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi jiwa
tidak bisa dirasa lewat alat-alat tubuh.
D. Filsafat Rumah Tangga
Rumah tangga dalam pandangan Ath-Thusi bukanlah sebuah bangunan rumah
yang terdiri dari dinding, atap, lantai dan segala perabot lainnya, ia adalah sebuah
hubungan istimewa antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, majikan dan
pembantu, serta kekayaan dan pemiliknya. Rumah tangga tercipta untuk mewujudkan
tujuan utama, yang disebut sebagai kebahagiaan. Ia dibangun untuk mewujudkan rasa
ingin memiliki dan rasa ingin melindungi antar anggota keluarga. Rumah tangga
dibangun bukan semata sebagai pemenuh hasrat seksual manusia (Sulaiman, 2016).
Setidaknya ada beberapa persoalan mendasar yang harus diperhatikan dalam
melandasi terbentuknya bangunan rumah tangga yang ideal dalam perspektif Ath-
Thusi, hal-hal tersebut antara lain;
1. Tujuan Berumah Tangga
Tujuan rumah tangga adalah untuk mewujudkan rasa ingin memiliki dan rasa
ingin melindungi antar anggota keluarga, bukan sebagai pemenuh syahwat. Untuk
memelihara keharmonisan keluarga, dibutuhkan ketersediaan harta yang didapat
dengan terhormat, sempurna, dan adil. Laki-laki, menurut Ath-Thusi, diibaratkan
sebagai jantung yang hanya dapat bekerja pada satu tubuh saja, mustahil dapat bekerja
pada lebih dari satu tubuh. Jika seorang laki-laki tidak dapat menjaga dan
memperbaiki keseimbangan keluarga, lebih baik dia tidak menikah apalagi
berpoligami (Mustofa, 1997).
Rumah tangga bukan kepuasan syahwat belaka, melainkan perlindungan atas
pemiliknya yang menjadi tujuan pokok perkawinan. Inteligensia, integritas,
kemurnian, kesederhanaan, kecerdasan, kelembutan hati, dan kepatuhan terhadap
suami merupakan sifat-sifat yang harus ada pada diri seorang istri. Memang baik jika
si istri memiliki keterhormatan kekayaan serta kecantikan, namun semua ini menjadi
tidak berarti apabila tidak dibarengi dengan inteligensia, kesederhanaan, dan
kemurnian. Kesejahteraan mengharuskan suami memiliki banyak gagasan. Suami
boleh saja bermurah hati pada istri, tapi jika menyangkut masalah-masalah yang lebih
luas dari rumah tangganya ia harus menghindarkan dari kecintaannya yang
berlebihan, tidak boleh membuka rahasia serta membicarakan masalah-masalah
penting dengannya. Dalam pandangannya, Ath-Thusi tidak menganjurkan adanya
praktek poligami dalam sebuah rumah tangga, sebab hal tersebut bisa mendatangkan
prahara dalam rumah tangga. Karena wanita pada dasarnya lemah pikirannya dan
secara psikologis cemburu terhadap pasangan lain suaminya dalam merebut cinta dan
kekayaannya (Ath-Thusi, 2008).
2. Penguatan Ekonomi Rumah tangga dan Pelestariannya
Mengingat rumah tangga senantiasa memiliki kebutuhan dasar untuk
keberlangsungan hidupnya, maka rumah tangga butuh kekuatan ekonomi yang
mampu menopangnya sehingga keadilan dalam ruang keluarga bisa terwujud. Dalam
memandang persoalan keuangan setidaknya bisa dilihat sisi perolehan harta dan
sistem operasional pengelolaan harta yang telah didapatkan (Ath-Thusi, 2008).
3. Pendidikan anak dalam keluarga
Hal mendasar bagi perwujudan putra-putri yang shaleh dan shalehah adalah
memberikan nama yang baik untuknya ketika dilahirkan di dunia ini, nama yang baik
adalah nama yang sesuai dengan keadaan, tempat, zaman yang diserasikan dengan
harapan dari kedua orang tuanya. Jika pemberian nama ini tidak sesuai dengan
keadaan sang bayi yang dilahirkan, ini akan mempengaruhi psikologis anak sepanjang
usianya. Lingkungan keluarga merupakan pendidikan yang pertama, karena dalam
keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Dikatakan
yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga,
sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah di dalam keluarga
(Ath-Thusi, 2008).
Dalam pada masa itu, sang anak sedini mungkin diajarkan tentang akhlak
yang baik, sebelum mereka mengenal akhlak yang fasid, ditanamkan moralitas sejak
awal hingga naluri kebaikan selalu menyelimuti jiwa dan kepribadiannya. Menjaga
anak dari arus globalisasi juga menjadi hal penting dalam mendidik anak, karena jika
anak salah memilih teman, maka tidak menutup kemungkinan tabiatnya akan meniru
perangai temannya (Sulaiman, 2016).
4. Pembantu Rumah Tangga
Apabila dalam lingkup rumah tangga terdapat pelayan atau pembantu rumah
tangga (PRT), maka ia harus mendapatkan perlakuan yang baik dari seluruh anggota
keluarga, sehingga ia merasa tergugah untuk menyamakan perangainya dengan
majikannya. Tujuannya tidak lain agar ia melayani seisi rumah atas dasar cinta,
penghormatan, dan bukan didasarkan pada kebutuhan, paksaan dan ketakukan
(Baharun & Mundiri, 2011). Perlakuan yang baik terhadap pembantu rumah tangga
adalah cerminan bagi kebhinekaan dalam ranah masyarakat terkecil, yakni keluarga.
Darinya setiap orang bisa lebih memahami dan menghormati segala status sosial
tanpa harus saling merendahkan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga tercipta
keluarga yang toleran dan saling menghormati antar sesama, tidak merasa tinggi
dalam kedudukan, disamping juga tidak merasa rendah karena direndahkan. Dengan
demikian, jika semua kedisiplinan itu dilaksanakan dengan baik, maka kesejahteraan
keluarga akan mudah digapai.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Nama lengkap Al-Thusi adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin
Al-Hasan Nashiruddin Al-Thusi.
2. Ia lahir pada 18 Februari 1201 M / 597 H di kota Thus dekat Meshed Persia
sekarang sebelah timur laut Iran. Beliau di kenal dengan sebutan Nashiruddin
Al-Thusi.
3. Pemikiran filsafat Al-Thusi terbagi menjadi tiga, yaitu filsafat metafisika,
filsafat etika, dan filsafat jiwa.
4. Persoalan mendasar yang melandasi terbentuknya bangunan rumah tangga
yang ideal dalam perspektif Ath-Thusi, hal-hal tersebut antara lain; Tujuan
berumah tangga, Penguatan Ekonomi Rumah tangga dan Pelestariannya,
Pendidikan anak dalam keluarga,dan pembantu rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Aulia,Itman, (2018), Filsafat Rumah Tangga.Telaan Pemikiran Khawajah
Nahiruddin Ath-Thusi.Jurnal Islam Nusantara.Vol.2 No.1. Juni 2018.
Black, A. (2006) Pemikiran Politik Islam. Dari masa nabi Hingga Masa Kini.
Jakarta: Serambi.
Cahya, I. (2015) Makalah Filsafat Islam~Nasiruddin Ath-Thusi. Available at:
http://inten-cahya.blogspot.com/2015/12/makalah-filsafat-Islamnasiruddin-
ath.html (Accessed: 28 September 2018).
Hadariansyah (2013) Pengantar Filsafat Islam. Banjarmasin: Kafusari Press.
Islamea, M. (2015) Makalah Biografi Nashiruddin Ath-Thusi Sahabat
Rasulullah. Available at: http://raIslamea.blogspot.com/2015/12/makalah-
biografi-nashiruddin-ath-thusi.html (Accessed: 29 September 2018).
M.M.Syarif (1993) Para Filosof Muslim. Bandung: Penerbit Mizan.
Murtiningsih, W. (2012) Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Mustofa, D. H. A. (1997) Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ni’mat, A. (1987) Falāsifah al-Syi’ah Hayātahum wa Arauhum. Beirut: Daral-
Fikr al-Lubnanai.
Rabbani, A. (2018) NASHIRUDDIN ATH-THUSI. RIWAYAT HIDUP. Available
at: https://sosiologi79.blogspot.com/2018/03/nasiruddin-ath-thusi-riwayat-
hidup.html (Accessed: 29 September 2018).
El Saha, M. I. dan S. H. (2004) Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan
Modern. Jakarta: CV Fauzan Inti Kreasi.
Suryadi, D. (2009) Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Syarif, M. M. (1963) History of Muslim Philosophy. Wisbaden: Otto
Horossowitz.

Anda mungkin juga menyukai