TUGAS INDIVIDU
OLEH:
NAMA: ANSAR,S.Pd.I
NIM: 90156123013
A. Latar Belakang
Filsafat Islam merupakan ilmu yang memiliki peran dalam perjalanan
berkembangnya pendidikan agama Islam. Konsep berpikir yang tidak hanya
berdasarkan logika tetapi juga harus didasarkan pada keimanan. Orang boleh
berfilsafat namun akidah tetap yang paling utama. Filsafat itu bersifat rasional
artinya memikirkan sesuatu tanpa melihat sesuatu.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, Islam mengalami masa kejayaan khususnya
dalam bidang ilmu pengetahuan. Terdapat berbagai buku yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab sehingga mempermudah para ilmuwan Islam untuk
mempelajari berbagai disiplin ilmu khususnya filsafat. Kemudian muncullah para
filsuf muslim mulai dari Al-Kindi sampai pada masa Ibnu Rusyd. Pada masa
sesudah Ibnu Rusyd muncullah para tokoh filsafat dari umat Islam seperti
Nashiruddin Al-Thusi, Mulla Sadra, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal.
Tokoh yang akan kita bahas kali ini kurang begitu populer dibanding tokoh-
tokoh besar dalam sejarah Islam seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ar-Razi, dan
lainnya. Oleh karena itu, kemunculan namanya sebagai tokoh penting dalam
khazanah perkembangan peradaban Islam juga menjadi sesuatu yang sulit
ditemukan. Padahal memperbincangkan sejarah Filsafat Islam, kita tak bisa
meninggalkan tokoh yang memberikan sumbangan yang begitu besar bagi
perkembangan filsafat Islam khususnya madzhab paripatetik ini. Nashiruddin Al-
Thusi adalah seorang pemikir Islam yang tidak hanya dikenal sebagai seorang
filsuf, tetapi juga sebagai ahli astronomi, matematikawan dan saintis/ilmuwan
yang beberapa pemikirannya masih digunakan sampai saat ini. Dia adalah
seorang penulis yang mempunyai banyak karya dalam bidang matematika. Ia
juga seorang biolog, ahli kimia, ahli pengobatan, ahli ilmu fisika, teolog dan
Marja Taqleed. Al-Thusi termasuk satu di antara sedikit astronom Islam yang
mendapat perhatian dari ilmuwan modern. Seyyed Hussein Nasr
mengkategorikan Al-Thusi sebagai salah satu di antara tokoh universal sains
Islam yang pernah lahir dalam peradaban Islam pada abad pertengahan.
Nashiruddin Ath-Thusi adalah salah seorang filosof muslim yang memiliki
gagasan tentang filsafat praktis tidak lain merupakan pengejawantahan dari
perintah-perintah Allah dalam Al-Qur‟an Al-Karim. Ath-Thusi mengkategorikan
perintah-perintah Al-Qur‟an menjadi tiga bagian; pertama, perintah-perintah Al-
Qur‟an yang ditujukan kepada manusia sebagai seorang individu, kedua,
perintah-perintah Al-Qur‟an yang diberikan kepada manusia dalam fungsinya
sebagai suatu keluarga, dan ketiga, perintah-perintah Al-Qur‟an yang diamana
meletakan kepada manusia yang berkedudukan sebagai bagian dari masyarakat
dalam suatu daerah atau negeri. Dari ketiganya, Ath-Thusi menggambarkan
pembagian filsafat praktis menjadi; filsafat etika, filsafat rumah tangga, dan
filsafat politik (Sulaiman,1
2016). Untuk membentuk rumah tangga yang harmonis, penuh kedamaian
dan toleran antar sesama anggota keluarga.
Dari uraian diatas penulis ingin lebih luas mengetahui salah satu tokoh filsuf
muslim modern, yaitu Nashiruddin Al-Thusi. Oleh karena itu, pada makalah kali
ini kami akan memfokuskan bahasan ini pada Nashiruddin Al-Thusi dan
bagaimana pemikiran-pemikiran filsafat yang Ia munculkan dan mengambil ide-
ide kreatif dari Ath-Thusi untuk menjawab problematika kekinian yang berkaitan
dengan keluarga. Antara lain adalah bagaimana pola membangun rumah tangga
yang toleran, keluarga yang mau dan mampu memahami setiap perbedaan tanpa
mengesampingkan etika dalam kehidupan keluarga dewasa ini.
BAB II
PEMBAHASAN
َأَو َلْم َيَر اَّلِذ يَن َك َفُر وا َأَّن الَّس َم اَو اِت َو اَأْلْر َض َك اَنَتا َر ْتًقا َفَفَتْقَناُهَم ا َو َج َعْلَن ا ِم َن اْلَم اء ُك َّل
. َش ْي ٍء َح ٍّي َأَفاَل ُيْؤ ِم ُنوَن
Artinya: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?” (QS.Al-
Anbiya’:30).
2. Filsafat Etika
Tujuan dari filsafat etika (akhlak) Al-Thusi ini adalah untuk menemukan
cara hidup untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Agar bisa mencapai
kebaikan maka dalam hal ini manusia dituntut untuk sering berbuat baik,
menempatkan kebaikan diatas keadilan dan cinta.
Perbuatan baik selalu diusik oleh perbuatan jahat. Selain dari kebaikan
dan kejahatan, satu hal yang mempengaruhi etika adalah penyakit. Penyakit
yang dimaksud adalah penyakit moral manusia, yang merupakan
penyimpangan jiwa dari keseimbangan. Menurut Al-Thusi, penyakit moral
ini bisa disebabkan oleh tiga sebab, yaitu keberlebihan, keberkurangan,
ketidakwajaran akal, dan kemarahan, serta hasrat. (M.M.Syarif, 1993)
Al-Thusi menggolongkan tiga golongan penyakit fatal akal teoritis yang
terbagi menjadi tiga karakter, yaitu:
a. Kebingungan (hairat)
Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk
membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan adanya bukti
saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan terhadap
suatu masalah yang kontroversial.
b. Kebodohan sederhana (Jahl Basith)
Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan
suatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan
semacam itu merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak
untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal kalau merasa puas
dengan keadaan begitu.
c. Kebodohan fatal (Jahl Murakkab)
Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia akan suatu hal dan
dia merasa mengetahui hal itu. Walaupun dia bodoh, dia tidak tahu
bahwa dia memang bodoh. Menurut Al-Thusi, penyakit ini adalah
penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tetapi dengan upaya keras
dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan
kefatalannya menjadi kebodohan bersama.(Suryadi, 2009)
3. Filsafat Jiwa
Pandangan Al-Thusi tentang jiwa, ia berasumsi bahwa jiwa merupakan
suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan lagi
bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan secara kasat mata. Masalah
semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri
merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu
argumen masyarakat tentang adanya seorang ahli argumen dan sebuah
masalah untuk diargumentasikan, sedangkan dalam hal ini, keduanya sama
yang bernama jiwa.(M.M.Syarif, 1993) Jiwa mmpunyai sifat sebagai
substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Jiwa berkerja
untuk mengontrol tuubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi jiwa
tidak bisa dirasa lewat alat-alat tubuh.
D. Filsafat Rumah Tangga
Rumah tangga dalam pandangan Ath-Thusi bukanlah sebuah bangunan rumah
yang terdiri dari dinding, atap, lantai dan segala perabot lainnya, ia adalah sebuah
hubungan istimewa antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, majikan dan
pembantu, serta kekayaan dan pemiliknya. Rumah tangga tercipta untuk mewujudkan
tujuan utama, yang disebut sebagai kebahagiaan. Ia dibangun untuk mewujudkan rasa
ingin memiliki dan rasa ingin melindungi antar anggota keluarga. Rumah tangga
dibangun bukan semata sebagai pemenuh hasrat seksual manusia (Sulaiman, 2016).
Setidaknya ada beberapa persoalan mendasar yang harus diperhatikan dalam
melandasi terbentuknya bangunan rumah tangga yang ideal dalam perspektif Ath-
Thusi, hal-hal tersebut antara lain;
1. Tujuan Berumah Tangga
Tujuan rumah tangga adalah untuk mewujudkan rasa ingin memiliki dan rasa
ingin melindungi antar anggota keluarga, bukan sebagai pemenuh syahwat. Untuk
memelihara keharmonisan keluarga, dibutuhkan ketersediaan harta yang didapat
dengan terhormat, sempurna, dan adil. Laki-laki, menurut Ath-Thusi, diibaratkan
sebagai jantung yang hanya dapat bekerja pada satu tubuh saja, mustahil dapat bekerja
pada lebih dari satu tubuh. Jika seorang laki-laki tidak dapat menjaga dan
memperbaiki keseimbangan keluarga, lebih baik dia tidak menikah apalagi
berpoligami (Mustofa, 1997).
Rumah tangga bukan kepuasan syahwat belaka, melainkan perlindungan atas
pemiliknya yang menjadi tujuan pokok perkawinan. Inteligensia, integritas,
kemurnian, kesederhanaan, kecerdasan, kelembutan hati, dan kepatuhan terhadap
suami merupakan sifat-sifat yang harus ada pada diri seorang istri. Memang baik jika
si istri memiliki keterhormatan kekayaan serta kecantikan, namun semua ini menjadi
tidak berarti apabila tidak dibarengi dengan inteligensia, kesederhanaan, dan
kemurnian. Kesejahteraan mengharuskan suami memiliki banyak gagasan. Suami
boleh saja bermurah hati pada istri, tapi jika menyangkut masalah-masalah yang lebih
luas dari rumah tangganya ia harus menghindarkan dari kecintaannya yang
berlebihan, tidak boleh membuka rahasia serta membicarakan masalah-masalah
penting dengannya. Dalam pandangannya, Ath-Thusi tidak menganjurkan adanya
praktek poligami dalam sebuah rumah tangga, sebab hal tersebut bisa mendatangkan
prahara dalam rumah tangga. Karena wanita pada dasarnya lemah pikirannya dan
secara psikologis cemburu terhadap pasangan lain suaminya dalam merebut cinta dan
kekayaannya (Ath-Thusi, 2008).
2. Penguatan Ekonomi Rumah tangga dan Pelestariannya
Mengingat rumah tangga senantiasa memiliki kebutuhan dasar untuk
keberlangsungan hidupnya, maka rumah tangga butuh kekuatan ekonomi yang
mampu menopangnya sehingga keadilan dalam ruang keluarga bisa terwujud. Dalam
memandang persoalan keuangan setidaknya bisa dilihat sisi perolehan harta dan
sistem operasional pengelolaan harta yang telah didapatkan (Ath-Thusi, 2008).
3. Pendidikan anak dalam keluarga
Hal mendasar bagi perwujudan putra-putri yang shaleh dan shalehah adalah
memberikan nama yang baik untuknya ketika dilahirkan di dunia ini, nama yang baik
adalah nama yang sesuai dengan keadaan, tempat, zaman yang diserasikan dengan
harapan dari kedua orang tuanya. Jika pemberian nama ini tidak sesuai dengan
keadaan sang bayi yang dilahirkan, ini akan mempengaruhi psikologis anak sepanjang
usianya. Lingkungan keluarga merupakan pendidikan yang pertama, karena dalam
keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Dikatakan
yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga,
sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah di dalam keluarga
(Ath-Thusi, 2008).
Dalam pada masa itu, sang anak sedini mungkin diajarkan tentang akhlak
yang baik, sebelum mereka mengenal akhlak yang fasid, ditanamkan moralitas sejak
awal hingga naluri kebaikan selalu menyelimuti jiwa dan kepribadiannya. Menjaga
anak dari arus globalisasi juga menjadi hal penting dalam mendidik anak, karena jika
anak salah memilih teman, maka tidak menutup kemungkinan tabiatnya akan meniru
perangai temannya (Sulaiman, 2016).
4. Pembantu Rumah Tangga
Apabila dalam lingkup rumah tangga terdapat pelayan atau pembantu rumah
tangga (PRT), maka ia harus mendapatkan perlakuan yang baik dari seluruh anggota
keluarga, sehingga ia merasa tergugah untuk menyamakan perangainya dengan
majikannya. Tujuannya tidak lain agar ia melayani seisi rumah atas dasar cinta,
penghormatan, dan bukan didasarkan pada kebutuhan, paksaan dan ketakukan
(Baharun & Mundiri, 2011). Perlakuan yang baik terhadap pembantu rumah tangga
adalah cerminan bagi kebhinekaan dalam ranah masyarakat terkecil, yakni keluarga.
Darinya setiap orang bisa lebih memahami dan menghormati segala status sosial
tanpa harus saling merendahkan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga tercipta
keluarga yang toleran dan saling menghormati antar sesama, tidak merasa tinggi
dalam kedudukan, disamping juga tidak merasa rendah karena direndahkan. Dengan
demikian, jika semua kedisiplinan itu dilaksanakan dengan baik, maka kesejahteraan
keluarga akan mudah digapai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nama lengkap Al-Thusi adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin
Al-Hasan Nashiruddin Al-Thusi.
2. Ia lahir pada 18 Februari 1201 M / 597 H di kota Thus dekat Meshed Persia
sekarang sebelah timur laut Iran. Beliau di kenal dengan sebutan Nashiruddin
Al-Thusi.
3. Pemikiran filsafat Al-Thusi terbagi menjadi tiga, yaitu filsafat metafisika,
filsafat etika, dan filsafat jiwa.
4. Persoalan mendasar yang melandasi terbentuknya bangunan rumah tangga
yang ideal dalam perspektif Ath-Thusi, hal-hal tersebut antara lain; Tujuan
berumah tangga, Penguatan Ekonomi Rumah tangga dan Pelestariannya,
Pendidikan anak dalam keluarga,dan pembantu rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Aulia,Itman, (2018), Filsafat Rumah Tangga.Telaan Pemikiran Khawajah
Nahiruddin Ath-Thusi.Jurnal Islam Nusantara.Vol.2 No.1. Juni 2018.
Black, A. (2006) Pemikiran Politik Islam. Dari masa nabi Hingga Masa Kini.
Jakarta: Serambi.
Cahya, I. (2015) Makalah Filsafat Islam~Nasiruddin Ath-Thusi. Available at:
http://inten-cahya.blogspot.com/2015/12/makalah-filsafat-Islamnasiruddin-
ath.html (Accessed: 28 September 2018).
Hadariansyah (2013) Pengantar Filsafat Islam. Banjarmasin: Kafusari Press.
Islamea, M. (2015) Makalah Biografi Nashiruddin Ath-Thusi Sahabat
Rasulullah. Available at: http://raIslamea.blogspot.com/2015/12/makalah-
biografi-nashiruddin-ath-thusi.html (Accessed: 29 September 2018).
M.M.Syarif (1993) Para Filosof Muslim. Bandung: Penerbit Mizan.
Murtiningsih, W. (2012) Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Mustofa, D. H. A. (1997) Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ni’mat, A. (1987) Falāsifah al-Syi’ah Hayātahum wa Arauhum. Beirut: Daral-
Fikr al-Lubnanai.
Rabbani, A. (2018) NASHIRUDDIN ATH-THUSI. RIWAYAT HIDUP. Available
at: https://sosiologi79.blogspot.com/2018/03/nasiruddin-ath-thusi-riwayat-
hidup.html (Accessed: 29 September 2018).
El Saha, M. I. dan S. H. (2004) Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan
Modern. Jakarta: CV Fauzan Inti Kreasi.
Suryadi, D. (2009) Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Syarif, M. M. (1963) History of Muslim Philosophy. Wisbaden: Otto
Horossowitz.