Anda di halaman 1dari 11

KAUSALITAS DAN PENGETAHUAN MENURUT

IBNU RUSYD

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ilsaat Islam

Dosen Pengampu: Akhmad Hasan Saleh, S.Pd., MPI.

Disusun Oleh:

Hamzah Ickhlasul Amal 93350

Muhammad fauzi 933509118

Muhammad Muzaki 933509018

M Helmi Nur K 933509218

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

fAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Karena tanpa rahmat dan
kasih sayang-Nya, kami tak akan dapat menyelesaikan makalah kami tepat pada
waktunya. Dan tak lupa, sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah
kepada junjungan kita, nabi agung Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
filsafat Islam pada semester 2 dengan mengangkat tema “Kausalitas dan
Pengetahuan Menurut Ibnu Rusyd”. Diharapkan, makalah ini akan dapat
menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejarah dan pemikiran tokoh besar
Agama Islam
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Akhmad Hasan Saleh S,Pd,
MPI selaku dosen pengampu mata kuliah ilsaat Islam yang telah memberi
kesempatan untuk memaparkan materi ini. Juga, kepada semua pihak yang telah
berperan dalam penyusunan makalah ini, kami ucapkan terima kasih.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari adanya banyak
kekurangan serta kesalahan yang bertebaran di dalamnya, maka kami harapkan
kritik dan saran yang membangun sehingga di kemudian hari akan menjadi lebih
baik. Kami berharap bahwa makalah ini dapat memberi manfaat bagi para
pembacanya

Kediri, 13 Mei 2019

Penyusun

2
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

A. Latar Belakang..............................................................................................4

B. Rumusan Masalah............................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5

A. Biografi Ibnu Rusyd........................................................................................5

B. Kausalitas Menurut Ibnu Rusyd......................................................................6

BAB III PENUTUP...............................................................................................10

KESIMPULAN..................................................................................................10

DAfTAR PUSTAKA.............................................................................................11

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Silang- Sengkarut”, barangkali itulah ungkapan yang tepat untuk
menggambarkan betapa tegangnya pemikiran Islam era skolastik, baik yang
menyangkut teologi ataupun filsafat. Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf dicurigai,
bahkan di “bid’ah – kafir”kan oleh mereka yang mengaku sebagai penjaga
ortodoksi.

Kelompok filosof muslim seringkali menjadi sasaran utama dalam rangka


“pengkafiran” karena dianggap (paling) menyeleweng dari kebenaran ortodoksi,
dalam hal ini oleh para ahli fiqih (fuqaha’) . Kenyataan ini mngantar hadirnya
Ibnu Rusyd dalam belantika pemikiran Islam saat itu Dengan mengusung konsep
takwil dan akal merdeka ia berusaha melakukan restorasi pemikiran Islam dengan
mengakrabkan filsafat dengan agama, yang salah satu nya mengenai konsep
kausalitas.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Ibnu Rusyd ?
2. Bagaimana konsep kausalitas menurut Ibnu Rusyd ?
3. Bagaiman pengertian pengetahuan menurut Ibnu Rusyd ?

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd
dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126
M, Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya
dengan sebuah nama Averroes. Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama
kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan
terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya
mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula
menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam
ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah
Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.1

Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya
pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku
Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim
dan ia menghapalnya. Ia juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi,
logika, filsafat, dan ilmu pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut
tidak terkenal, tetapi secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi
filsafat. Adapun seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Cordova
pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan kota-kota
besar lainnya di negeri-negeri Islam Timur.2

Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga


ilmuan terutama fiqih, maka ketika dewasa ia diberikan jabatan untuk pertama
kalinya yakni sebagai hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian
iapun kembali ke Cordova, sepuluh tahun di sana, iapun diangkat menjadi qhadi,
selanjutnya ia juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova, dan sebagai seorang
filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar di kalangan Istana,

1
M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963) , h. 197
2
Ibid, h 199

5
terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-99 M). Sebagai
seorang fiolosof, pengaruhnya di kalangan Istana tidak disenangi oleh kaum ulama
dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum
Kristen, sultan berhajat pada kat-kata kaum ulama dan kaum fuqaha. Maka kedaan
menjadi berubah, Ibnu Rusyd disingkirkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia
dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya
Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat yang bernama Lucena di
daerah Cordova. Oleh sebab itu, kaum filosof tidak disenangi lagi, maka timbullah
pengaruh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian
dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun
1198 M.3

B. Kausalitas Menurut Ibnu Rusyd


Dalam catatan sejarah filsafat Islam, Ibn Rusyd tampil untuk merespon
beberapa pandangan Al-Ghazali. Buku monumentalnya Tahafut al-Tahafut
(kerancuan dalam kerancuan) ditulis dalam rangka memberikan ulasan sekaligus
sanggahan dan kritik atas pandangan Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah
(kerancuan para filosof).
Ibn Rusyd berpendapat bahwa wujud yang baru (al-maujudat al-
muhdatsah) mengandaikan adanya empat sebab: sebab efesien (fa’il), sebab
materi (maddah), sebab bentuk (shurah), dan sebab tujuan (ghayah). Keempat
sebab tersebut bersifat pasti (dharuri) dalam membentuk dan melahirkan akibat.
Eksistensi “sebab” menjadi niscaya (dharuri) dalam melahirkan suatu
“akibat”. Para teolog pun berpendapat bahwa kehidupan ini menjadi syarat bagi
adanya alam. Artinya, keberadaan alam tidak terlepas dari suatu tujuan, yakni
adanya sebuah kehidupan. Seorang yang mengetahui pasti seorang yang hidup.
Artinya, “hidup” menjadi syarat yang niscaya dalam pengetahuan karena
bagaimana mungkin seorang yang telah mati, atau benda mati, dapat mengetahui
sesuatu. Hal ini tidak mungkin. Oleh karena itu, “sebab” bukanlah sesuatu yang

3
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX,( Jakarta: Bulan Bintang, 1973.)
hlm. 47

6
bersifat mungkin, dalam arti boleh ada dan boleh tidak ada, melainkan bersifat
pasti. Demikian pula para teolog mengakui bahwa segala sesuatu memilki hakikat
dan batasan (hukum-hukum) yang bersifat dharuri dalam mewujudkan yang ada
(maujud). Karena itu, barang siapa menafikan “sebab” berarti menafikan akal.
Ibn Rusyd meyakini bahwa alam diciptakan Allah lengkap berikut hukum-
hukumnya. Hukum-hukum itulah yang menjadi sifat khusus pada setiap benda di
alam ini. Sifat-sifat tersebut bersifat pasti. Manusia tidak begitu saja mengetahui
sifat-sifat yang ada pada benda-benda dengan segenap kompleksitas
kekhususannya. Untuk mengetahuinya diperlukan penelitian. Karena itu, menolak
hukum kausalitas sebagai sesuatu yang dapat disaksikan lewat pancaindra adalah
pandangan sufistik. Barang siapa yang menafikan itu (sebab efesien) niscaya tidak
akan mampu menolak untuk mengakui bahwa stiap hasil perbuatan adalah akibat
dari si pembuat. Dengan kata kain, setiap akibat mestilah ada pelakunya.
Al-Ghazali juga mengakui hal ini. Sekalipun demikian, pada saat yang
sama ia juga menyangkal pandangannya sendiri. Ia mengatakan bahwa segala
sesuatu memilki tabi’at khusus yang dapat menjadi “sebab” bagi yang lainnya.
Tetapi, ia pun “membolehkan”, seperti pandangan para teolog, nabi yang
dilemparkan ke dalam api dan api tidak membakar seperti yang terjadi pada nabi
Ibrahim. Kemungkinan ini terjadi dengan cara Allah yang mengubah sifat api atau
sifat yang ada pada diri nabi Ibrahim. Allah mengurangi kadar panas pada api
melalui perantara malaikat sampai akhirnya panas pada api hilang sama sekali
atau Allah memperbarui sifat pada diri Ibrahim yang dengan sifat itu efek yang
ditimbulkan api tertolak.
Ibn Rusyd menolak argumen di atas. Ia mengatakan bahwa bahwa
sesunguhnya para filosof menerima mukjizat terjadi pada para nabi—seperti
Ibrahim yang tidak terbakar oleh api. Namun, kadang-kadang “akibat” dapat
berbeda dari biasanya, jika ada faktor penghambat pada “sebab”. Faktor tersebut
berasal dari luar, sehingga akibat yang biasa terjadi, seperti benda akan hangus
bila di bakar, tidak terjadi. Misalnya, bila tubuh dilapisi benda atau materi tahan
api, maka materi tersebut akan menghambat pengaruh api. Sebab inilah yang perlu
dan ini pula yang menjadi ‘hikmah’ penciptaan. Pada konteks ini manusia dituntut

7
untuk terus menggali berbagai rahasia alam yang belum terungkap. Karena itu, ini
bisa saja terjadi, sebelum Ibrahim dibakar tubuhnya lebih dulu diolesi dengan
sesuatu yang menolak pengaruh api. Bagi Ibn Rusyd, api tidak akan berubah
menjadi dingin selagi ia disebut api. Demikian pula dengan benda-benda lain
berikut karakteristik yang dimilikinya.
Perbedaan pandangan kaum mutakallimin, termasuk Al-Ghazali dengan
para filosof dalam soal “sebab”. Al-Ghazali tidak mengingkari hubungan niscaya
antara “sebab” dengan “akibat”, akan tetapi kemudian mengembalikan “sebab”
langsung kepada Allah. Rasa kenyang pada saat perut penuh dengan air sebagai
contoh. Rasa kenyang muncul karena Allah yang memberi rasa tersebut, bukan
air. Sedangkan para filosof meyakini dengan sepenuhnya bahwa air memiliki
sifat—antara lain—mengenyangkan. Sifat ini menjadi ciri khusus pada air.
Demikian pula sifat khusus ini berlaku pada benda lain. Bagi para filosof, Tuhan
menciptakan segala yang ada di alam sekaligus menetapkan hukum- hukumnya.
Oleh karenanya, setiap benda (materi) memiliki sifat-sifat yang berbeda-beda
yang menjadi ciri dan sifat kekhususannya.
Khalil Syarifudin mengtakan bahwa Ibn Rusyd tidak mengingkari
mukjizat para nabi seraya mengakui tidak ada suatu apa pun yang dapat
melemahkan sifat iradah Allah. Tetapi, ia mengatakan lebih lanjut bahwa Ibn
Rusyd menempatkan mukjizat pada urutan kedua sebagai bukti kebenaran seorang
nabi. Bagi Ibn Rusyd, mukjizat adalah persoalan yang datang dari luar diri nabi
yang kemudian memperkuat kebenaran misi kerasulannya, bukan menjadi tolok
ukur kebenaran dari risalahnya. Sedankan orang pada umumnya memandang
mukjizat sebagai dalil. Ingatlah, demikian kata Ibn Rusyd, bahwa dalil satu-
satunya yang dapat menetapkan kebenaran risalah kenabian. Itu sendiri satu-
satunya yang dapat menetapkan kerbenaran. Salah satu risalah kenabian adalah
syari’at itu sendiri yang sudah tercakup dalam Risalah itu.
Ibnu Rusyd memberi perumpamaan dengan dua orang dokter yang salah
satunya “menyembuhkan orang sakit untuk menunjukkan bahwa ia seorang
doketer. Sedangkan dokter yang lain, menunjukkan bahwa ia dapat berjalan di

8
atas air, adalah perbuatan yang keluar dari kebiasaan dan merupakan mukjizat.
Tetapi, hal ini bukanlah dalil untuk menunjukkan bahwa ia seorang dokter.4

4
Aktobi Gozali, Hukum kausalitas antara Al-Ghazali dan Ibn rusyd, (Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah), 13

9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ibn Rusyd memandang bahwa hukum kausalitas bersifat pasti.

Keteraturan alam dan sifat-sifat khusus pada benda-benda menunjukkan adanya

suatu hukum yang bersifat pasti (dharuri). Sunatullah tidak mungkin berubah—

secara aksidental—karena telah menjadi ketetapanNya sejak azali. Dari fakta-

fakta inilah manusia dapat memahami hukum-hukum Allah sehingga ia dapat

mengelola alam ini dan mewujudkan misi Tuhan sebagai khalifah di bumi.

10
DAfTAR PUSTAKA

Gozali, Aktobi, Hukum kausalitas antara Al-Ghazali dan Ibn rusyd, Jakarta : UIN

Syarif Hidayatullah

Nasution, Harun, 1973, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta:

Bulan Bintang

Syarif, M.M., 1963, History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto

Horossowitz

11

Anda mungkin juga menyukai