Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“ IBNU RUSYD (AVERROES) SANG FILSUF BESAR MUSLIM ”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah


Dosen Pembimbing :
Muhammad Sakinul Jinan, Lc.

Disusun Oleh :

1. Amilina
2. Laila Tanor
3. Nida Aulia
4. Siti Wardiah

Semester: II (Dua)

AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM (Aqidah Wa Falsafatuha)


MA’HAD ALY RASYIDIYAH KHALIDIYAH
AMUNTAI 2023/2024
KATA PENGANTAR

‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan
makalah Sejarah yang berjudul “Ibn Rusyd (Averroes) Sang Filsuf Besar Muslim”
yang alhamdulillah selesai tepat pada waktunya. Sholawat dan salam semoga
selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Beserta
seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Kami sangat berterima kasih kepada Muallim Muhammad Sakinul Jinan,
Lc. selaku Dosen pembimbing pada mata kuliah “Al-Madkhal li Durus At-
Tarikh” yang mana telah memberikan kepada kami tugas ini, tak lupa pula juga
kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mana telah membantu kami
dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini, kami berharap mudah-mudahan
makalah ini dapat membantu dalam pengembangan ilmu pengetahuan untuk lebih
dalam mengenal tentang Ilmu Sejarah.
Sebelumnya kami mohon ma’af jikalau ada terdapat kesalahan kata yang
kurang tepat dan kurang berkenan dalam penulisan ini. Kami menyadari
banyaknya kekurangan baik dalam penyusunan kata-kata maupun dalam
pengambilan kalimat. Untuk itu, kami sangat berharap kritik dan saran dari
pembaca agar dapat memperbaiki segala kekurangan yang ada dalam makalah
ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan Terima kasih.

Amuntai, 22 Maret 2023


Penulis

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................................. 4


B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 4

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd .......................................................................... 5


B. Karya-karya Ibnu Rusyd .............................................................................. 7
C. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd ..................................................................... 9
D. Pengaruh Pemikiran Ibnu Rusyd .................................................................. 16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai salah satu filosof besar muslim, Ibnu Rusyd banyak memberikan
kontribusinya terhadap khazanah dunia filsafat, baik yang berasal dari filsafat
Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ia adalah
seorang cendekiawan muslim yang paling dalam pandangannya, serta paling kuat
pembelaannya terhadap akal dan filsafat. Ia sangat mengagumi filsafat Aristoteles
dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar, menafsirkan filsafat
Aristoteles dan merangkum karya-karyanya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya
sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles. Ibnu Rusyd adalah filosof
muslim besar diperiode terakhir dalam dunia filsafat islam.
Namun, sosok Ibnu Rusyd kurang familiar di dunia islam karena ia lebih
dikenal dengan nama “Averroes” didunia barat. Ia merupakan tokoh yang paling
populer dan di anggap paling berjasa dalam membuka mata peradaban dan
intelektual di dunia barat, ketika Eropa masih berada dalam konflik dan perang
antara Gereja Barat dan Timur dan membebaskan Eropa dari cengkraman
hagemoni kekuasaan gereja (The Dark Middle Ages). Pengaruh Ibnu Rusyd di
dunia barat lebih besar dibanding filosof-filosof muslim lainnya, disebabkan
pemikirannya dalam ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan suatu
gerakan “Averroisme” yang menjadi cikal bakal ideologi modern Sekularisme.

B. Rumusan Masalah

a. Siapakah Ibnu Rusyd ?


b. Bagaimana Pengaruh Ibnu Rusyd di barat ?

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui Riwayat hidup Ibnu Rusyd beserta pemikirannya


b. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Ibnu Rusyd di barat

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd


Ibnu Rusyd atau nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad
bin Muhammad bin Rusyd, berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia.
Ibnu Rusyd lahir di Cordova, ibu kota Andalusia (Spanyol) wilayah islam di
ujung barat benua Eropa tepatmya tahun 520 H/1126 M. Ia tercatat sebagai satu-
satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang di dalam keluarga yang
berlatar belakang sebagai fuqaha’ dan qadhi (hakim) yang menganut madzhab
Maliki, ayahnya Ahmad atau Abu Al Qasim (wafat 563 H/1169 M) menjabat
sebagai qadhi pada masa kekuasaan Murabithun, hingga cordova jatuh ke tangan
kekhalifahan Muwahidun dan kakeknya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad
bin Ahmad bin Rusyd (wafat 520 H/1126 M) sangat terkenal sebagai ahli fiqh
yang menjabat sebagai qadhi al-qudhat dan juga merupakan imam besar Masjid
Jami’ di Cordova.
Lingkungan yang sangat kondusif itulah yang membuat Ibnu Rusyd kecil
haus ilmu pengetahuan, ia tumbuh menjadi anak yang memiliki kejeniusan luar
biasa. Pada usia anak-anak saat itu, Ibnu Rusyd sudah mempelajari berbagai
disiplin ilmu, seperti Al-Qurán, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksak
seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Setelah menginjak
remaja, ia terdorong keluar dari lingkar keluarga dalam menuntut ilmu. Ibnu
Rusyd mendatangi para fuqaha yang menonjol di kawasan Andalusia kala itu
untuk berguru dan menimba ilmu.
Diantara para fuqaha itu antara lain Abu Qasim Basykawal, Abu Marwan
bin Masarrah, Abu Bakar bin Samhun, Abu Ja'far bin Abdul Aziz, Abdullah Al
Maziri, dan Abu Muhammad bin Rizq. Karena itulah, ketika Ibn Rusyd tumbuh
dewasa, ia terkenal dengan ilmuwan yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu
pengetahuan.
Dalam bidang kedokteran, Ibnu Rusyd belajar pada Abu Ja'far Harun At
Tirjali dan Abu Marwan bin Kharbul. Dalam biddang filsafat, ia belajar pada Ibnu
Bajjah, yang di barat dikenal dengan Avinpace, filosof besar di Eropa sebelum

5
Ibnu Rusyd. Selain itu, ia juga berhubungan dengan dokter Abu Marwan bin Zuhr
dan raja Dinasti Muwahhidun. Selain menjalin perhubungan yang akrab dengan
Ibnu Zuhr, Ibnu Rusyd juga mempunyai hubungan yang baik dengan kerajaan
Islam Muwahidun terutama dengan amir ketiga khalifah Abu Yusuf Al-Mansyur.
Hubungan dan kepercayaan tersebut, akhirnya Ibnu Rusyd dilantik sebagai qadhi
di Seville pada tahun 1169. Dua tahun kemudian, beliau dilantik menjadi qadhi di
Cordova. Pada tahun 1179, untuk kedua kalinya ia ditunjuk sebagai qadhi di
Seville dan tiga tahun kemudian ia diangkat sebagai qadhi al-qudhat (hakim
agung) di Cordova. Beberapa bulan sebelum pengangkatannya sebagai hakim
agung, ia dilantik sebagai dokter istana menggantikan posisi Ibnu Thufail pada
tahun 1182 M.1
Namun sayang, karena ajaran filsafatnya banyak ulama yang tidak
menyukainya, bahkan ada yang sampai mengkafirkan Ibnu Rusyd. Ada juga
sekelompok ulama yang berusaha untuk menyingkirkan dan memfitnah bahwa dia
telah menyebarkan ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas
tuduhan itulah, Ibnu Rusyd diasingkan oleh pemerintah ke suatu tempat yang
bernama Lucena pada tahun 1195 M, sebuah kota kecil di sebelah tenggara
Cordova, yang dulu merupakan pemukiman orang-orang yahudi dan kemudian
menjadi daerah pembuangan. Tidak hanya itu, banyak diantara karya-karya
filsafatnya dibakar dan diharamkan untuk dipelajari.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan khalifah Al-Mansur
tentang kebersihan dari Ibnu Rusyd dari fitnah dan tuduhan tersebut, beberapa
tahun kemudian Ibnu Rusyd di panggil kembali oleh sang khalifah. Akan tetapi,
tidak lama kemudian fitnah dan tuduhan itu kembali terulang. Ibnu Rusyd wafat
dalam usia 75 tahun, di Marrakesh (maroko) tepatnya pada 9 Shafar 595 H/11
Desember 1198 M. Ia wafat dengan meninggalkan banyak warisan keilmuan yang
dikenal Barat dan Timur. Kematiannya menjadikan kehilangan yang cukup besar
bagi kerajaan dan umat Islam di Sepanyol. Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu Rusyd
adalah filosof muslim besar periode terakhir dalam dunia filsafat Islam.2

1
Ahmad Ridlo Shohibul Ulum,“Ibnu Rusyd Api Islam dari Andalusia”, (Yogyakarta:
Penerbit Anak Hebat Indonesia, 2021), hlm. 38
2
Ibrahim Madkur, “Fi al-Falsafah al-Islamiyah”, Juz 2, (Kairo: Dar al-Ma’arif , 1976),
hlm. 84

6
B. Karya-karya Ibnu Rusyd
Ermest Renan (1823-1892), seorang filosof Perancis mengatakan bahwa Ibn
Rusyd menulis sekitar 78 judul buku dalam berbagai bidang ilmu, dengan rincian
39 judul tentang filsafat, lima tentang ilmu alam, delapan tentang fikih, empat
tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, dua tentang nahwu dan sastra dan
20 judul tentang kedokteran3.
Namun, raibnya karya-karya Ibn Rusyd tersebut terjadi ketika Ibn Rusyd
mengalami fitnah dan pengasingan, pada saat itu karyanya banyak yang dibakar
atas perintah Khalifah. Selain itu, dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi
politik, kehidupan Ibn Rusyd tidak terpaut jauh dengan waktu jatuhnya
pemerintahan Islam di Spanyol, pada abad ke-11 M.
Sebagai seorang filsafat Islam, Ibnu Rusyd juga telah membuat sebuah
karya dalam tulisannya. Beberapa karyanya yang masih dapat dilacak diantaranya
adalah sebagai berikut :

1. Filsafat dan Hikmah


a. Tahafut At Tahafut
b. Jauhar Al Ajram As Samawiyah
c. Ittishal Al 'Aql Al Mufarriq bi Al Insan
d. Masa'il fi Mukhtalif Aqsam Al Manthiq
e. Syuruh Katsirah 'ala Al Farabi fi Masa'il Al Manthiqi Aristha
f. Maqalah fi Ar Radd 'ala Abi Ali bin Sina
2. Ilmu Kalam
a. Fashl Al Maqal fima Baina Al Hikmah wa Asy Syari'ah min Al Ittishal
b. I'tiqad Masyasyin wa Al Mutakallimin
c. Manahij Al Adillah fi 'Aqaid Al Millah
3. Fikih dan Ushul fikih
a. Bidayah Al Mujtahid wa An Nihayah Al Muqtashid
b. Ad Dar Al Kamil fi Al Fiqh
c. Risalah Adh Dhahaya

3
Ernest Renan, “Averroes Et J’Averroesm”, diterjemahkan oleh ‘Adil Za’iyyah, (Cairo:
Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, Cet.I, 2008), hlm. 68

7
4. Ilmu astronomi
a. Maqalah fi Harkah Al Jirm As Samawi
b. Kalam 'ala Ru'yah Jirm Ats Tsabitah
5. Ilmu Nahwu
a. Kitab Adh Dharuri fi An Nahw
b. Kalam 'ala Al Kalimah wa Al Ism Al Musytaq
6. Kedokteran
a. Al Kulliyat fi Ath Thibb
b. Syarh Arjuwizah Ibn Sina fi Ath Thibb
c. Maqalah fi At Tiryaq
d. Nasha'ih fi Amr Al Ishal
e. Mas'alah fi Nawaib Al Humma
Beberapa ahli berpendapat, dari sekian banyak karya Ibnu Rusyd yang bisa
diambil sebagai spirit perumusan dan pengembangan fikih emansipatoris, adalah
ketiga bukunya yang (ditulis berturut-turut pada tahun 1178-1180) merupakan
karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibn Rusyd
yang pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13 diantara nya
adalah sebagai berikut :
1. Kitab Fashl Al Maqal fima Baina Al Hikmah wa Asy Syari'ah min Al Ittishal,
(Kaitan Filsafat dengan Syariat) yang isinya menguraikan adanya keselarasan
antara agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan.
2. Kitab Al-Kasyf an Manahij al-Adillah fa `Aqaid al-Millah, (Menyingkap
berbagai Metode Argumentasi Ideologi Agama-agama) yang menjelaskan
secara terinci masalah-masalah akidah yang dibahas oleh para filsuf dan
teolog Islam.
3. Tahafut al-Tahafut, (Kerancuan dalam Kerancuan) yang kandungan isinya
membela kaum filsuf dari tuduhan kafir sebagaimana dilontarkan al-Ghazali
dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filosof).
4. Buku lainnya yang juga penting dalam bidang hukum Islam/fiqh, adalah
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, yang menguraikan pendapat
Ibnu Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam-imam mazhab.

8
C. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd
Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu
Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan
waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan
berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Dalam
beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim
sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles.
Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur
Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan
kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya
untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun
tahun 557-559 H.4 Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer
(asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih
rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles
abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.5
Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat
yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik
hingga sekarang. Diantara pemikiran Ibnu Rusyd adalah sebagai berikut:

1. Epistemologi
Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syariah, yaitu salah satu
pandangan Ibn Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni
(perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishal baina al-syariah wa al-hikmah). Ibn
Rusyd memberikan kesimpulan bahwa "filsafat adalah saudara sekandung dan
sesusuan agama". Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal;
filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari
asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat
sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada "pengetahuan yang lebih
sempurna" (at-tamm al-ma`rifah).

4
Ahmad Fuad al-Ahwani, “Filsafat Islam”, Cet. kedelapan (Jakarta: Pustaka
Firdaus,1997), hlm. 110
5
Ibid,. hlm. 108

9
Dalam kitabnya Fashl Al Maqal Ibn Rusyd menjelaskan tentang harmonitas
antara `aql (akal/nalar) dengan naql (tranferensi) mengenai metode (manhaj) dan
tujuan akhir (ghayah). Menurutnya, filsafat merupakan cara untuk mempelajari
segala yang wujud (maujudat) dan merenungkannya sebagai suatu bukti tentang
adanya Sang pencipta. Semakin sempurna pengetahuan terhadap ciptaan-Nya
(maujudat) niscaya, semakin sempurna pula pengetahuan tentang Sang pencipta.
Belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam,
bahkan al-Quran sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang
menghimbau agar mempelajari filsafat.
Untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat
dan teks al-Quran. Ibn Rusyd menegaskan bahwa teks al-Quran itu hendaknya
diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwil, agar diketahui makna
bathinyyah (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan
menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter
dalam menerima kebenaran. Takwil ialah meninggalkan arti lafdzi dari maknanya
yang hakiki ke maknanya yang metaforik (majazi). Adapun Dalil dianjurkannya
berfilsafat diantara lain sebagai berikut,:
ُ َ َ َ
َ ُ ‫الس ٰم ٰوت َو ْال َا ْرض َو َما َخ َل َق ه‬
‫اهلل ِم ْن ش ْيء‬ َّ ‫ا َول ْم َي ْن ُظ ُر ْوا ف ْي َملك ْوت‬
ِ ِ ِ ِ

“ Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala apa
yang Allah ciptakan ”. (Q.S Al-A’raf: 185)

Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan


dasar-dasar Syar’i maka ada beberapa kemungkinan, pertama ia tidak memiliki
kemampuan yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua
ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk tidak terseret pada hal-hal
yang dilarang oleh agama, dan yang ketiga adalah ketiadaan guru yang bisa
membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran
tertentu. Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid,
tidak mempercayai eksistensi Tuhan/meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia
berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3
faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor
tersebut. Sebab kemampuan manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak

10
dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam
cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
a. Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)
b. lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)
c. Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat
dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian
rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat
beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan
pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.

2. Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah
Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan
kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”.6 Wujud Allah ialah Esa-Nya. Wujud
dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya. Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan
jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina,
disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan
”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak
Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di
jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Dan pembuktian terhadap Tuhan pada kitab al-Kasf ‘an Manahij al-Adillat,
Ibnu Rusyd menerangkan beberapa dalil:

a. Dalil inayah al-Ilahi, (pemeliharan Tuhan)


Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dengan mendasarkan pada dua
prinsip. Pertama, segala yang ada ini sesuai dengan kebutuhan manusia. Dan
kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaja
diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Oleh karena itu, kata Ibnu
Rusyd siapa saja yang ingin mengenal Allah wajib mempelajari kegunaan segala
yang ada di alam ini.

6
Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002),
hal. 116

11
b. Dalil ikhtira’ (dalil ciptaan)
Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti
ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan
dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi
kehidupan padanya, sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya.
Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tunduk seluruhnya kepada
ketentuannya. Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan
sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia
dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realita ini.
c. Dalil harkah (Gerak.)
Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil
yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles
sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu
keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak
pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pada dzatnya
dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada
dzatnya maupun pada sifatnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada
kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.

3. Tanggapan Ibn Rusyd terhadap kritik Imam Al-Ghazali


Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali terhadap para filosof, Ibn
Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam
rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut al-Tahafut. Adapun hal-hal
yang dilanggar oleh para filosof menurut Imam Al-Ghazali ada 20 persoalan yaitu
16 dalam bidang metafisika dan 4 dibidang fisika namun dari 20 hal itu 17 hal
digolongkan dalam Ahl al-Bid’ah dan berkenaan dengan 3 hal lainnya para filosof
dianggap kafir, yaitu:

1) Qadimnya Alam
Menurut Al-Ghazali, sesuai dengan keyakinan kaum teolog Muslim alam
diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-ijad min al-‘adam, creatio ex nihilo).
Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Sementara itu,

12
menurut filosof Muslim, alam ini qadim dengan arti alam ini diciptakan dari
sesuatu (materi) yang sudah ada.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan
bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya
alam sama dengan qadimnya Allah. Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah
yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada
(al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak
mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu,
materi asal alam ini mesti qadim. 7 Pendapat ini didukung oleh beberapa ayat
alqur’an yang mengandung pengertian bahwa tuhan menciptakan sesuatu dari
sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd merujuk
pada sejumlah ayat al-Qur’an: QS Al-Anbiya [21]:30, Hud [11]:7, Fushshilat
[41]:11 dan Al-Mu’minun [23]:12-14.
Dari keterangan ayat-ayat diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum alam ini
diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yakni ma’(air) dan dukhan (uap). Dengan
demikian, kata Ibnu Rusyd, pendapat para filosof Muslimlah yang sesuai dengan
bunyi ayat, sedangkan pendapat kaum teolog Muslim tidak sesuai dengan arti
lahir ayat, dan dalam hal ini berarti mereka (teolog Muslim) mengambil arti
metaforik, yang seharusnya mengambil arti lahir ayat dan sebaliknya filosof
Muslim yang mengambil arti lahir ayat, 8 yang seharusnya mengambil arti
metaforik.
Menurut Ibnu Rusyd, terjadinya perbedaan pendapat antara kaum teolog
Muslim dan kaum filosof Muslim disebabkan perbedaan dalam memberikan arti
kata al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog Muslim, al-ihdats berarti
menciptakan dari tiada, sedangkan bagi kaum filosof Muslim, kata itu berarti
mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain. 9 Demikian pula dalam
mengartikan arti qadim. Bagi kaum teolog Muslim, qadim berarti sesuatu yang
mempunyai wujud tanpa sebab. Sedangkan bagi kaum filosof Muslim, qadim

7
Harun Nasution, ”Al-Ghazali dan Filsafat”, Makalah Simposium tentang Al-Ghazali
diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta Se-Indonesia, (Jakarta: 26
Januari 1985), hlm. 5
8
Ibid., hlm. 6.
9
Ibnu Rusyd, “Tâhâfut al-Tâhâfut”, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1971),
hlm. 362. (Selanjutnya disebut Ibnu Rusyd, Tâhâfut).

13
berarti sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus-menerus tanpa awal dan
tanpa akhir.10
Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara
mereka tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau
semantik. Lebih lanjut dikatakannya, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini
terbagi ke dalam tiga jenis:11
1. Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti
wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului oleh
zaman. Jenis ini adalah benda-benda yang dapat diketahui dengan indera,
seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka
namakan dengan Baharu.
2. Jenis Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak
didahului oleh zaman. Wujud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia
hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang
ada dan memeliharanya. Wujud yang qadim inilah yang disebut Allah.
3. Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di
atas, yaitu wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh
zaman, tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah
alam semesta. Sebenarnya wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar
qadim dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab yang benar-benar qadim
adanya tanpa sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.

2) Pengetahuan tuhan
Menurut Al-Ghazali, para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak
mengetahui yang parsial di alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu Rusyd
rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali dan
menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham sebab tidak ada para filosof Muslim
yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para filosof Muslim adalah
pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan
pengetahuan manusia.

10
Ibid., hlm. 272.
Ibnu Rusyd, “Fashl al-Maqâl wa Taqrir Bayin al-Syari'ah wa al-Hikmat min al-Ittishal”,
11

Tahkik Muhammad Immarat, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1972), hlm. 40-42.

14
Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang
terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat
baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan
manusia berbentuk akibat. Demikian juga, menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan
Allah tidak dapat dikatakan juz'i (parsial) dan kully (umum). Juz'i adalah satuan
yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan
pancaindra. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, yang
hanya dapat diketahui melalui akal." Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja
pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk mengetahui yang parsial. Oleh
karena itulah, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan
ilmu Allah bersifat juz'i dan kully.
Dari itu jelaslah perbedaan antara Al-Ghazali dan para filosof Muslim
tentang ilmu Allah. Al-Ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu
manusia, sedangkan para filosof Muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah
dengan ilmu manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui
panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang
sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang
dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan
sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang
materi itu. Namun, pada dasarnya mereka sependapat bahwa Allah Maha
Mengetahui (partikular dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun mereka
berbeda tentang cara Allah mengetahuinya.

3) Kebangkitan jasmani
Masalah yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan
jasmani. Masalah yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan
jasmani, karena mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut Ibn Rusyd
sanggahan Imam Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim, tentang kebangkitan
jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan
demikian. Semua agama, mengakui adanya kehidupan kedua di akhirat, tetapi
mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang

15
mengatakan rohani dan jasmani. Namun yang jelas, kehidupan diakhirat tidak
sama dengan kehidupan didunia ini. Hal ini sesuai dengan hadits : “Di sana akan
dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tak
pernah terlintas dalam pikiran”, dan ucapan Ibnu Abbas: “Tidak akan dijumpai
diakhirat hal-hal yang bersifat keduniaan kecuali nama saja.” Hidup di akhirat
tentu saja lebih tinggi daripada hidup di dunia.
Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal
kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena
kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan
pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang
buruk.12
Menurut Ibnu Rusyd, sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling
bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku Tahafut al-Falasifat, Al-
Ghazali mengatakan tidak ada seorang Muslim pun yang berpendapat bahwa
kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam bukunya mengenai tasawuf, ia
mengemukakan bahwa pendapat kaum sufi yang ada nanti hanya kebangkitan
rohani.

D. Pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd di Barat


Kemajuan Peradaban Barat (Eropa) sejak abad Ke-12 tak terlepaskan dari
peranan tokoh-tokoh filosof saintis muslim, sejak abad ke-13 banyak sarjana-
sarjana yahudi yang menulis himpunan dan ringkasan atas terjemahan-terjemahan
karya Ibnu Rusyd ke dalam bahasa Ibrani. Selain menterjemahkan karya-karya
Ibnu rusyd, para sarjana Yahudi abad ke-14 juga menulis komentar-komentar
terhadap karya Ibnu Rusyd. Tokoh-tokoh ilmuwan, filosof dan saintis Barat
banyak yang belajar dari filosof dan saintis muslim, sehingga mereka mendapat
tempat yang terhormat di kalangan sarjana-sarjana Barat. Namun tokoh filosof
dan pemikir muslim yang dianggap paling berpengaruh dalam proses alih ilmu
pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat adalah Ibnu Rusyd.

12
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam , (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
hlm. 47. (Selanjutnya disebut Harun Nasution, Misticisme).

16
Rasionalitas filsafat Ibnu Rusyd justru membawa angin segar bagi dunia
Eropa, bahkan mampu membebaskan Eropa dari cengkraman hegemoni gereja.
Ibnu Rusyd, dengan kemampuannya mengomentari karya-karya Aristoteles, telah
membangkitkan kembali budaya berpikir yang telah lama redup dalam peradaban
tersebut Dalam hal ini, figur Maimonides (Musa bin Maemun) salah satu murid
Ibnu Rusyd yang sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikirannya merupakan
teolog Yahudi yang sangat berjasa bagi perkembangan pemikiran Ibnu Rusyd di
Eropa. Pengaruh Ibnu Rusyd ke Eropa bukan secara langsung, melainkan melalui
murid-muridnya dari Eropa yang belajat ke Spanyol.
Pengaruh Ibnu Rusyd yang demikian besar terlihat dari adanya gerakan
averroisme, yaitu gerakan yang berkembang di Barat sejak abad ke-13 yang
berusaha mentransfer dan mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd ke
dalam peradaban Barat. Gerakan inilah yang akhirnya melahirkan Renaisans
dalam masyarakat Barat, yaitu paham yang berusaha membangkitkan kembali
ilmu pengetahuan, setelah Barat mengalami masa-masa kegelapan. Faktor-faktor
yang mendukung besarnya pengaruh Ibnu Rusyd ke dalam peradaban Barat, 13
Pertama, dari segi lingkungan tempat tinggalnya, Ibnu Rusyd adalah ”orang
Barat”. Ia lahir dan meninggal di Barat. Kedua, Ibnu Rusyd adalah pemikir
Muslim yang sangat tertarik pada pemikiran filosof Yunani, Aristoteles. Ketiga,
dan yang paling penting adalah Ibnu Rusyd pemikir rasional dan berhasil
mengembangkan gagasan-gagasan rasional ke Dunia Barat. Keempat, serangan
Kristen terhadap Islam cenderung mengabaikan etika-etika kemanusian.
Menurut Ibrahim Madkur, ada beberapa alasan yang menimbulkan
perhatian Barat terhadap pemikiran filsafat Ibn Rusyd:
1. Frederick II sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak
tertarik pada komentar-komentar Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles.
2. Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibnu Rusyd, berusaha menerjemahkan
karya Ibnu Rusyd dalam bahasa-bahasa Ibrani dan Latin.
3. Sebagian pengkaji filsafat memandang bahwa untuk memahami filsafat
Aristoteles, sebaiknya membaca filsafat Ibnu Rusyd.

13
Muhammad Iqbal, “Ibn Rusyd & Averroisme: Sebuah Pemberontakan Terhadap
Agama”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004)”, hlm. 93-94

17
Sebelum averroisme muncul, Eropa kosong dengan ilmu pengetahuan,
berpikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sember
kebenaran pada saat itu hanyalah agama Kristen (gerejawan) sehingga apa saja
yang tidak sesuai dengan Kristen dianggap salah. Averroisme ini dibangsakan
kepada filosof Muslim, Ibnu Rusyd, namun ajaran keduanya terdapat perbedaan
yang mendasar. Hal ini dilatar belakangi oleh agama yang berbeda. Dalam filsafat
Ibnu Rusyd yang dilatar belakangi oleh ajaran Islam yang bersifat rasional, sangat
sedikit ajaran yang bersifat dogmatis (qath’i al-dalalah) sedangkan yang
terbanyak tersebut adalah yang bersifat zanni al-dalalah. Berbeda dengan Islam,
Kristen semua ajarannya bersifat dogmatis sehingga tidak dapat didamaikan
antara filsafat dengan ajaran agama. Dengan demikian Averroisme mengalami
kesulitan ketika mengembangkan pemikiran rasional Ibnu Rusyd. Pemikiran
filsafat yang dibawa oleh Ibnu Rusyd dalam Islam adalah satu kebenaran.
Kebenaran yang dibawa filsafat tidak akan bertentangan dengan kebenaran
agama, jika dirasa ada pertentangan, diambil arti metaforik (takwil).
Oleh karena itu kebenaran ganda (double truth), kebenaran yang dibawa
agama adalah benar dan kebenaran yang dibawa filsafat juga benar, yang
dikembangkan oleh Averroisme bukanlah berasal dari Ibnu Rusyd. Bahkan ada
Averroisme, Siger de Brabant (1235-1285), pemikiran filsafat mungkin
bertentangan dengan kebenaran agama, tetapi keduanya harus diterima.
Penyimpangan yang lebih ekstrem dari Averroisme, adalah pendapat mereka yang
mengatakan bahwa filsafat mengandung kebenaran, sedangkan agama membawa
hal-hal yang tidak benar. Oleh karena itu tuduhan pemuka gereja terhadap Ibnu
Rusyd seorang atheis tidak tepat dan salah alamat yang semestinya dilontarkan
kepada Averroisme.
Gerakan Averroisme ini mendapat tantangan keras dari pihak gereja. Cara
yang paling tragis ialah dengan cara ancaman bunuh dan penjara. Peristiwa ini
disebut dengan inkuisi sehingga banyak ilmuan yang menjadi korban. Orang-
orang Eropa memang dapat mengenal filsafat dan sains adalah atas jasa orag
Islam, dan hal ini merupakan utang budi Barat terhadap umat Islam. Namun,
perkembangan filsafat dan sains di Eropa berbeda dengan Islam yakni lepas
kendali dari bimbingan agama, yang akhirnya dari sekuler menjadi atheis.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, kita telah dapat membuktikan keluasan dan
kedalaman pemikiran salah seorang filosof muslim besar Andalusia, (Spanyol)
yakni “Ibnu Rusyd” yang lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M dan wafat
pada tanggal 9 shafar 595 H/11 Desember 1198 M. Dikenal dibarat dengan nama
“Averroes”. Ia mempunyai karya sebanyak 78 judul buku dalam berbagai bidang
ilmu, dengan rincian 39 judul tentang filsafat, lima tentang ilmu alam, delapan
tentang fikih, empat tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, dua tentang
nahwu dan sastra dan 20 judul tentang kedokteran. Dan karya tulis Ibnu Rusyd
yang paling kontroversial adalah:
1. Fashl Al Maqal fima Baina Al Hikmah wa Asy Syari'ah min Al Ittishal
2. Al-Kasyf an Manahij al-Adillah fa `Aqaid al-Millah
3. Tahafut al-Tahafut
4. Bidayat al-Mujtahid
Usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi
upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi, al-Farabi dan lain-
lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat
dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama
Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan” Al-
Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.
Pengaruh Pemikiran Ibnu Rusyd di barat sangat besar sehingga melahirkan
suatu gerakan yang dikenal dengan nama “Averroisme”. Namun, Averroisme telah
menyimpang dari pemikiran asli Ibnu Rusyd disebabkan latar belakang perbedaan
agama, sehingga Averroisme kesulitan ketika mengembangkan pemikiran rasional
Ibnu Rusyd. Gerakan Averroisme ini mendapat tantangan keras dari pihak gereja
dan terjadilah peristiwa inkuisisi, namun gerakan ini tidak terbendung lagi
sehingga memicu timbulnya Renaisans di Eropa. Orang-orang Eropa memang
dapat mengenal filsafat dan sains adalah atas jasa orag Islam, Namun mereka
lepas kendali dari bimbingan agama yang akhirnya dari ideologi sekuler yang
menjadikan mereka penganut pahaman atheis.

19
DAFTAR PUSTAKA

al-Ahwani, A. F. (1997). Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.


Elhady, A. (2018). Averroisme. Yogyakarta: BILDUNG.
Fitrianah, Rossi Delta;. (2018). Ibnu Rusyd (Averroisme) Dan Pengaruhnya
DiBarat. Jurnal El-Afkar, 7(1), 16-30.
Iqbal, M. (2004). Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan Terhadap
Agama . Jakarta: Gaya Media Pratama.
Madkur, I. (1976). Fi al-Falsafah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Ma'arif.
Nasution, H. (1973). Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta : Bulan
Bintang .
Nawawi, N. (2017). Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat. Makassar: Pusaka
Almaida Makassar.
Renan, E. (2008). Averroes Et J’Averroesm. Cairo: Maktabah al-Tsaqafah al-
Diniyah.
Rusyd, I. (1971). Tâhâfut al-Tâhâfut. Kairo: Dar al-Ma'arif.
Rusyd, I. (1972). Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syari'ah wa al-Hikmat min
al-Ittishal. Kairo: Dar al-Ma'rif.
Shohibul Ulum, A. (2021). Ibnu Rusyd: Api Islam dari Andalusia. Yogyakarta:
Penerbit ANAK HEBAT INDONESIA.
Zar, S. (2004). Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

20

Anda mungkin juga menyukai