Assalamualaikum. Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga
makalah dengan judul “Tokoh-Tokoh Ilmuwan Islam” dapat dibuat sesuai harapan dan
selesai tepat pada waktunya. Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat
manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam sebagai agama yang telah
berkembang selama empat belas abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu
diteliti, terutama yang berkaitan dengan sejarah-sejarahnya.
Dalam penyusunan dan pencarian materi ini, penulis mengalami beberapa kendala,
tapi semua dapat diatasi berkat dorongan dan bantuan dari orang tua sehingga kendala-
kendala tersebut dapat teratasi.
Akhirnya saya sebagai penulis masih sangat terbuka terhadap saran dan kritik segala
kekurangan yang terdapat dalam penulisan makalah ini, sehingga dapat menjadi lebih
sempurna di masa yang akan datang. Ucapan terima kasih senantiasa saya sampaikan kepada
Bapak Iwan Sanusi, S.Ag selaku guru Pendidikan Agama Islam. Semoga Allah SWT
memberikan segala kemudahan kepada kita semua untuk mengetahui bahwa banyak ilmuwan
muslim yang berjaya dimasanya.
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
ISI
2.1.1 WHO
2.1.3 WHY
2.1.4 WHAT
2.1.5 HOW
Bagaimana cara pemikiran Ibnu Rusyd?
Pemikiran Ibnu Rusyd
Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat
dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat
syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran
Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer
(asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari
Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan
Thamestius.
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim
sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun
dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim
tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur
Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd
dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya
Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa
dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.
Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti
dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga
memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof
Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari
filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya
mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah /
’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin
sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin
sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak
ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya
dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak
mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam
kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau
terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia
dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn
Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk
ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia.
Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan
kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam
melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara
dialektik.
Ketiga, Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam
melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan
filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan dengan metode
Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir
dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani
diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah
karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan
pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 :
Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu
tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-
teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat
pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak
menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam
cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks
yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil .
Metode ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini. Al-Qur’an kadang
berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy)
untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula
dengan nalar Burhani, ia merpakan metode ta’wil / qiyas untuk membincangkan persoalan-
persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.
Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan Qur’anik
dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks
syar’iy memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas
burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan
sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya
yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak
melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu”
dengan sebutan “tertentu lainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab /
akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan
terhadap obyek yang awal.
Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu
dita’wil, agar diketahui makan bathinyyah (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya adalah
dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan
karakter dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan
bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata
terhdap kecenderungan kelompok ulama yang pandai (al Rasyikhuna fil ‘Ilm) untuk
merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.
2. Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak
Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah ”Akal”,
dan ”Maqqul”. Wujud Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-
Nya.
Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles,
Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya.
Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai
penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di
jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:
a. Dalil wujud Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang
pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa
yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd
mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai
ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai,
tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar.
b. Dalil ‘inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada tujuan segala
sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan
kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan
kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan
demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya
Q.S, al-Naba’:78:6-7
Artinya: Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,. dan gunung-
gunung sebagai pasak? (QS. Al-Naba:6-7)
c. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk
ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan
dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan
padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang
dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang
ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu
di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini. Ayat suci yang
mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj: 73
Artinya: Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan
itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan
seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu.
Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al-Hajj:73)
d. Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya
sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles
sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi
selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada
ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak
e. Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada
perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd
mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan
pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak
logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
Ibnu Rusyd di kenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali.
Hal ini terlihat dalam bukunya berjudul Tahafutut-tahafut, yang merupakan reaksi buku al-
Ghazali berjudul Tahafutut Falasifah. Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapat-
pendapat ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-
Ghazali. Sebagai pembela Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak prinsip
Ijraul-Adat dari al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, dia juga mengemukakan prinsip hukum
kausal dari Aristoteles. Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, kiranya tidak
akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan
pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam tersebut.
Al-Ghazali adalah sebagai golongan filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan
Ibn Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam di dunia Islam
Barat. Walau pun kita tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari pembagian dalam
daftar isi dalam buku itu, kita sudah menilai bahwa pemikir Islam Timur dan Barat jelas-jelas
akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya.
Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para
filsuf dari serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis
buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan Al-Ghazali dan
Ibn Rusyd. Perincian 20 persoalan di atas adalah sebagai berikut:
Dari 20 persoalan ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan”
umat yaitu: pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf
mengatakan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan atas
alam sama dengan qadim-nya illat atas ma’lul-nya (sebab-akibat), yaitu dari segi zat dan
tingkatan, bukan dari segi zaman atau masa.
Namun menurut Al-Ghazali, pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak
bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, karena menurut konsep teologi Islam,
Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio
ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan
demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk
kekafiran.
Ibn Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak
mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah
menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada”
dalam bentuk lain.
Pendapat ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian
bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal
ini mereka merujuka pada al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 47-48:
س َب َّن َفال
َ َْللاَ تَح
َّ فَ سلَهُ َوعْده ُم ْخل َّ ض ت ُ َبدَّ ُل َي ْو َم * ا ْنتقَام ذُو َعزيز
ُ َللاَ إ َّن ُر ْ األرض َغي َْر
ُ األر ْ َّ ْال َواحد َّلِل َو َب َر ُزوا َوال
ُس َم َاوات
ْ
القَ َّهار
“Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada
rasul-rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu)
pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan
mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Ibrahim: 47-48).
Ayat ini, menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-
langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta
Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan
Allah dari tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah
yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang mengadakan. Justru
itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof
Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.
Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada
seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya
Allah. Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam
bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu
yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu.
Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim.
Al-Ghazali di sini juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya
daripada alam dan masa” ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum
ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita
membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita
membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat (wujud) yang
ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah gerakan benda (alam), yang
berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum adanya masa.
Dalam perdebatan di atas, kita akan mendapatkan satu pandangan bahwa perdebatan
ini tidak akan pernah usai. Karena dari satu sisi Al-Ghazali menganggap bahwa pendapat
filsuf dan termasuk Ibn Rusyd tentang qadimnya alam termasuk membawa kekafiran.
Kemudian di sisi yang lain Ibn Rusyd juga enggan pendapatnya dianggap akan atau telah
menimbulkan kekafiran. Dan lagi, kedua tokoh ini mungkin juga para pengikut keduanya,
sama-sama memiliki dasar yang kuat dan meyakinkan.
Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka
tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik. Lebih lanjut
dijelaskan, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:
1. Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada
Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan indera, seperti hewan,
tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan Baharu.
2. Jenis Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului
oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya dapat diketahui
dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wjud yang
qadim inilah yang disebut Allah.
3. Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu
wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya
karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada
kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip dengan jenis
yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indera, dan dikatakan wujudnya
mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak
Masalah Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan.
Golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa)
kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan
segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui.
Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu.
Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan
mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi
(mustahil).
Kritik al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan
hanya mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha
Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut Al-
Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang
terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab
yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya
mengetahui segala sesuatu yang secara rinci.
Mengenai penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui
hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah
pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini,
Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.
Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-
Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf tidak
ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang
perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.
Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf timbul dari
penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang
perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan
manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang
dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya
tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu.
Pendapat kedua fiilosof ini sangat menarik untuk dilihat sudut perbedaannya, oleh
sebab itu Oliver Leaman mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan
ajaran agama. Bahwa pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan
pengetahuan, yakni pengetahuan Tuhan dan Manusia. Dalam bukunya diungkapkan;
Tuduhan yang menarik ini semula timbul dari cara para filosof membedakan antara
pengetahuan kita dan pengetahuan Tuhan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam sangat
jel;as mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas dunia
yang sementara ini. Seperti seorang manusia boleh menduga bahwa pengetahuan seperti itu
Masalah yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani.
Masalah yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka
menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang telah
mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup kemungkinan
merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika
kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat
kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna.
Al-Ghazali tidak sepaham dengan pendapat para filosof di atas. Dia mengatakan
bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan
substansi yang berdiri sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan:
“… perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang
terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur
dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau
kehidupan jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian akan
sama dengan keadaannya ketika tidur..dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh
orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan
jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah
satu hal yang pasti. Hal ini pun dari firman Tuhan, “Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat
kematiannya untuk kembali kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat
tidur mereka.
Perdebatan di atas sebenarnya adalah antara para filosof dan Al-Ghazali. bukan antara
Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn Rusyd adalah
dari para filosof atau bahkan "kebencian" Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali, maka Ibn Rusyd
Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-
Muwahhidun setelah kematian Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh
putranya Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibnu
Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova. Pemerintah
juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan sekaligus melarang membaca
karya-karyanya. Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides, Joseph
Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini
Ibnu Rusyd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau
adalah bangsa Yahudi.
2.2.1 WHO
Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar dia al-
Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing
dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan
gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang
miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim
dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang
terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia
pernah memegang jabatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian
tinggi di Baghda.
2.2.3 WHY
Mengapa Al-Ghazali menyukai ilmu itu?
Al-Ghazali menyukai karya filsafat karena beliau memiliki kejeniusan dan
kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang
ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi
pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya
dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau
memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
2.2.4 WHAT
2.2.5 HOW
a. Metafisika
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang
mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni
bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya
sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode
rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang
meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang
fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali
tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti
logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat
metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para
filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal
dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan
itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu
pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom)
yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang
itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang
diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia,
terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah
transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki
dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan
akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa
suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk
menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas
tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan
adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena
kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi
Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali
dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri Nabi Ibrahim menjadi
suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
c. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah
teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan
tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf
Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang
aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian
alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai
kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,
dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-
mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan
jangan berlebihan.
2.3.1 WHO
Siapakah Al Kindi?
Nama Al-Kindi merupakan nama yang diambil dari suku yang menjadi asal cikal
bakalnya, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dulu
menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang
cukup tinggi dan banyak dikagumi orang.
Sedangkan nama lengkapAl-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq As-Shabbah
bin imron bin Isma’ilal-Asy’ad bin Qays al-Kindi. Lahir pada tahun 185 H (801 M) di
Kuffah.
Ayahnya Ishaq As-Shabbah adalah gubernur Kuffah pada masa pemerintahan al-
Mahdidan Harun ar-Rasyid dari bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah al-
Kindi lahir.
Pada masa kecilnyaal-Kindi sempat merasakan masa pemerintahan khalifah Harun ar-
Rasyid yang terkenal kepeduliannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum
muslim.Ilmu pengetahuan berpusat di Baghdad yang sekaligus menjadi pusat perdagangan.
Dalam bidang penguasaan bahasa asing, Al-Kindi menguasai dua bahasa, yaitu
bahasa Yunani dan Suryani. Ada yang mengatakan bahwa dia juga mengusai bahasa asing
lainnya. Penguasaannya terhadap berbagai bahasa inilah yang telah membantunya menguasai
berbagai macam ilmu dan menadikannya sangat berpengaruh bagi Khalifah Al-Ma'mun,
sehingga dia mengangkatnya sebagai penerjemah buku-buku asing yang dianggap penting.
2.3.3 WHY
Mengapa Ia dipanngil Al Kindi?
Dia dipanggil dengan Al-Kindi karena dihubungkan dengan kabilahnya, yaitu kabilah
Arab Kindah. Dia dijuluki filsuf Arab karena dialah filsuf muslim pertama. Barangkali juga
karena dialah satu-satunya diantara sekian banyak filsuf muslim yang tidak diragukan
kearabannya. Perlu disebutkan bahwa berbagai literatur Barat telah menyelewengkan
namanya menjadi Alchendius, sekalipun literatur Barat saat ini menulis dengan namanya
yang benar, yaitu Al-Kindi.
2.3.4 WHAT
Apa saja karya-karya Al Kindi?
Hasil Karya Al Kindi
Al-Kindi mengamati posisi bintang, planet dan letaknya dari bumi. Dia
memperingatkan dampaknya pada bumi, kemungkinan pengukurannya, penentuan
pengaruhnya sebagaimana yang terjadi pada fenomena air pasang dan surut yang sangat
berkaitan erat dengan posisi bulan. Dia memiliki pikiran yang cerdas dan keberanian ilmiah
yang menjadikannya berani menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena alam
lainnya di atas bumi, sehingga dapat menciptakan penemuan baru. Diantara yang
menakjubkan adalah bahwa seorang orientalis berkebangsaan Belanda, De Bour berpendapat
setelah melihat tesis Al-Kindi bahwa hepotesanya tentang air pasang dan surut tentu
didasarkan pada eksprimen.
Al-Kindi membuat tesis tentang warna biru langit. Dia menjelaskan bahwa warna biru
bukanlah warna langit itu sendiri, melainkan warna dari pantulan cahaya lain yang berasal
dari penguapan air dan butir-butir debu yang bergantung di udara. Tesis ini mendekati banyak
penafsiran ilmiah yang benar, yang kita ketahui pada masa sekarang.
Yaitu ilmu mekanik dalam istilah industri dan teknik saat ini, atau ilmu yang secara
khusus berhubungan dengan alat-alat, rangkaian, dan menjalankan fungsinya. Al-Kindi
banyak belajar ilmu ini baik secara teoritis maupun praktis. Dia telah menjadi insinyur
peradaban Islam dan turut serta dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan seperti
proyek penggalian kanal untuk membuka jaringan sungai Dajlah dan Furat.
Al-Kindi juga menjelaskan secara ilmiah berbagai proses kimiawi penting, seperti
penyaringan dan penyulingan. Al-Kindi juga membuat pedang sebagaimana yang disebutkan
dalam dua bukunya dan dia menjelaskan macam-macam besi dan ciri-cirinya serta cara
pembuatannya dan pencampurannya. Cara seperti itu sampai sekarang masih dipakai dalam
pembuatan pedang, yang mana besi biasa dicampur dengan baja dalam ukuran tertentu
kemudian dipanaskan secara bersamaan dengan campurannya, dengan prosentase karbon
berkisar antara 5 sampai 10% sehingga didapatkan baja yang sangat keras dan menjadi
pedang yang tajam.
Adapun sebagian karya Al-Kindi dalam bidang kimia dan kimia industri serta ilmu
pertambangan adalah sebagai berikut:
Al-Kindi percaya kepada pendapat para ilmuwan bangsa Yunani yang menjadikan
ilmu matematika sebagai pengantar yang paling tepat bagi ilmu filsafat dan logika. Hal ini
karena ilmu matematika melatih akal untuk berpikir benar dan teratur. Karya Al-Kindi dalam
ilmu matematika mencapai 43 buku. 11 buku diantaranya tentang ilmu hitung dan 32 buku
tentang ilmu geometri.
Beberapa Karya Al-Kindi di Bidang Matematika
"Risalah Fi Al-Iqa"'
"Risalat Al-Madkhal Ila Shina'ati Al-Musiqa"
Al-Kindi adalah seorang dokter terkemuka. Dia telah menulis sebanyak 22 buku di
bidang kedokteran dan banyak memisah-misahkan spesialisasi dalam bidang kedokteran yang
penting, sebagaimana dia juga telah mendahului penggunaan musik sebagai salah satu alat
untuk mengobati beberapa penyakit.
Beberapa Karya Al-Kindi di Bidang Kedokteran
"Kitab Al-Aqrabadzin"
"Kitab Al-Abkhirah"
"Kitab Al-Ghidza' Wa Ad-Dawa"
"Kitab Asyfiyat As-Samum"
"Kitab Kaifiyyati Ishal Ad-Dawa"
Hubungan Al-Kindi yang kuat dengan filsafat memberikan dampak yang sangat besar
bagi perkembangan pemikiran ilmiahnya. Al-Kindi menolak segala pemikiran yang
bertentangan dengan Islam dan berusaha untuk memadukan antara filsafat dan pemikiran
Islam.
2.3.5 HOW
Bagaimana pemikiran Al Kindi?
Pemikiran Ilmiah Al-Kindi
Secara global, fenomena pemikiran ilmiah Al-Kindi dan indikator yang menunjukkan
pada keistimewaannya adalah sebagai berikut:
2.4.1 WHO
Siapakah Al Farabi?
Nama lengkap Al Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Ibnu Turkhan
Ibnu Uzlaq Al Farabi. Dia kelahiran bangsa Turki tetapi mempunyai hubungan darah dengan
bangsa Persi, ia lahir pada tahun 259 H/879 M di Farab. Ayahnya adalah seorang jendral dan
seorang Iran yang menikah dengan wanita Turkistan dan kadang-kadang disebut keturunan
Iran.
2.4.4 WHAT
2.4.5 HOW
2.5.1 WHO
2.5.3 WHY
Mengapa Ibnu Sina dinamakan Father of Doctor?
Penulis-penulis barat telah menganggap Ibnu Sina sebagai “Father of Doctor” karena
beliau telah menggabungkan teori pengobatan Yunani Hipocrates dan Galen dan pengalaman
dari ahli-ahli perubatan dari India dan Parsi serta pengalaman beliau sendiri, Ibnu Sina
meninggal pada tahun 1073, semasa kembali ke kota yang disukainya Hamadhan. Walau
beliau sudah meninggal, namun berbagai ilmunya sangat berguna dan digunakan untuk
penyembuhan berbagai penyakit yang kini diderita umat manusia.
• Asy-Syifa.
Buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar Ibnu Sina, dan terdiri dari empat
bagian. yaitu logik, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai
beberapa naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan di Barat dan Timur.
• An-Najat
Buku ini merupakan keringkasan buku Asy-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama
dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun
1331 M di Mesir.
• Al-Isyart wa Tanbihat
Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada
tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Kemudian,
diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia
• Al-Hikmat Al-Masyriqiiyyah
Buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-
naskahnya yang masih memuat bagian logika. Menurut Carlos Nallino, buku ini berisi filsafat
Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.a
2.5.5 HOW
Bagaimana pemikiran Ibnu Sina?
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas mengenai 5 tokoh ilmuwan Islam mulai dari biografi mereka
hingga karya-karya mereka, dapat kita simpulkan bahwa mereka yang mengembangkan
peradaban Islam sehingga mencapai masa kejayaannya pada waktu itu. Oleh karena itu,
dengan mengetahui biografi mereka, diharapkan kita dapat mengenang serta melanjutkan
cita-cita mereka yang belum terwujud untuk umat Muslim di dunia.