Anda di halaman 1dari 19

PEMIKIRAN IBNU RUSYD

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat dan Tasawuf

Disusun Oleh :

Wida Siti Weroh (5122050)

Rini Wihandani (5122057)

Dosen Pembimbing :

Dr. Muh. Hamdan, MA

Dr. Uswatun Hasanah, MA.Hum

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmatnya sehingga penulis dapat menyusun
makalah tentang “ Pemikiran Ibnu Rusyd” dengan sebaik – baiknya. Shalawat serta salam kami
haturkan kepada baginda Nabi agung Muhammad SAW yang kami nantikan syafaatnya di yaumul
akhir kelak.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perencanaan Sistem Intruksional. Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Muh. Hamdan,
MA dan Dr. Uswatun Hasanah, MA.Hum sebagai dosen pembimbing atas bimbinganya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.

Meskipun kami telah menyusun makalah ini dengan maksimal, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca untuk perbaikan selanjutnya.

Kami berharap tulisan ini dapat bermanfaat kepada penulis pada khususnya dan pembaca
pada umumnya.

Jakarta, 05 November2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah filsafat dikenal adanya istilah borrowing yaitu saling meminjam filsafat
satu dengan yang lain. Hal ini terjadi pada filsafat Islam dan Barat, kontak terjadi bersifat
dua arah. Pada zaman keemasan Islam, filsafat Barat masuk ke Dunia Islam dengan
gerakan penerjemahan karya-karya filosof-filosof Yunani Klasik ke dalam bahasa Arab.

Keinginan umat Islam mempelajari filsafat Barat tersebut sejalan dengan semakin
meluasnya kekuasaan Islam dan meningkatnya interaksi Umat Islam dengan bangsa-
bangsa lain terutama Yunani dan Romawi. Orang-orang Persia memegang peranan
penting dalam proses pengaruh bagi gerakan transmisi filsafat Yunani ke Dunia Islam,
karena mereka yang terlebih dahulu berkenalan dengan peradaban dan filsafat Yunani,
sehingga melalui orang-orang Persia ini bangsa Arab muslim mulai mempelajari filsafat
Yunani (Nur Ahmad dalam Iqbal, 2004: xiv). Dalam hal ini umat Islam berjasa
membangkitkankembali warisan intelektual Yunani Kuno yang beberapa abad lamanya
tidak terjamah.
Minat mendalam terhadap filsafat Yunani diperlihatkan oleh Khalifah al-Mansur
(754-775 M) yang memerintahkan penerjemahan terhadapa karya-karya filsafat dan ilmu
pengetahuan Yunani. Puncaknya terjadi pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (786-809
M) dan al-Makmun (813-833 m). Bahkan al-Makmun mendirikan lembaga bernama Bayt
al-Hikmah pada tahun 832 M sebagai wadah bagi gerakan penerjemahan karya-karya
Yunani (Nur Ahmad dalam Iqbal, 2004: xiv).
Pada perkembangan selanjutnya, umat Islam tidak hanya sekedar menerjemahkan
karya-karya Yunani Kuno tersebut, tetapi juga mengembangkan filsafat sendiri. Lahirlah
tokoh-tokoh filosof muslim besar seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan Ibn
rusyd. Tokoh-tokoh tersebut tidak hanya mewakili satu aliran pemikiran, tetapi beraneka
ragam aliran, variasi pemikiran yang tumbuh dan berkembang di pusat-pusat pemikiran
Islam.
Perkembangan pemikiran ini kemudian diadopsi dan dibawa ke Barat pada abad-
abad pertengahan. Barat yang selama beberapa abad mengalami stagnasi mulai melirik
filsafat Islam dan mempelajarinya. Mereka membawa dan mengembangkan aliran-alairan
dalam filsafat Islam yang beraneka ragam tersebut. Pemikiran al-Ghazali lebih banyak
mempengaruhi pemikiran Thomas Aquinas dan Imanuel Kant. Pemikiran Ibn Sina
banyak mempengaruhi Bernard van Trillia dan Aegedius van lesson. Sedangkan
pemikiran Ibn Rusyd berkembang menjadi suatu gerakan Averroisme yang pengaruhnya
ke Barat lebih besar dibandingkan filosof-filosof muslim lainnya. Ibn Rusyd-lah
merupakan tokoh yang paling populer dan dianggap paling berjasa dalam membuka mata
peradaban Barat (Iqbal, 2004: 4).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka penulis membatasi Rumusan Masalah tentang
Pemikiran Ibnu Rusyd sebagai berikut :

1. Jelaskan mengenai Sejarah atau Biografi Ibnu Rusyd ?


2. Jelaskan Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd ?
3. Sebutkan dan Jelaskan Perdebatan Ibnu Rusyd dan Al-Ghozali ?
4. Jelaskan mengenai Kontribusi Ibnu Rusyd dalam dunia islam barat dan timur ?
5. Karya-Karya Ibnu Rusyd

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka penulis menuliskan Tujuan Makalah tentang
Pemikiran Ibnu Rusyd sebagai berikut :

1. Untuk Mengeahui Sejarah dan biografi Ibnu Rusyd


2. Untuk Mengeahui Pemikiran-Pemikiran Ibnu Rusyd
3. Agar mengetahui Kejadian da perdebatan yang terjadi antara Ibnu Rusyd dan Al-
Ghozali
4. Agar Mengetahui Kontribusi Ibnu Rusyd dalam dunia Islam.
5. Agar mengetahui karya karya ibnu rusyd
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Biografi Ibnu Rusyd

Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd


dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia
lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah
nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya
berasal dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang
memiliki banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri
pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena
prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan
menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.1

Dalam buku karangan Nurcholis Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu


Rusyd, bahwa penyebutan Averrios untuk Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya
metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan seperti
kataIbrani 9 bahasa Yahudi dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd
menjadi Rochd. Dengan demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd.

Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya
pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti, IbnuRusyd bersama-sama merivisi buku
Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan
ia menghapalnya. Ia juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika,
filsafat, dan ilmu pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal,
tetapi secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi filsafat. Adapun seville

1
M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963) , h. 197
terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi
Damaskus, Baghdad, Kairo, dan kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam Timur.2

Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga ilmuan
terutama fiqih, maka ketika dewasa ia diberikanjabatan untuk pertama kalinya yakni
sebagai hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian iapun kembali ke Cordova,
sepuluh tahun di sana, iapun diangkat menjadi qhadi, selanjutnya ia juga pernah
menjadi dokter Istana di Cordova, dan sebagai seorang filosof dan ahli dalam hukum
ia mempunyai pengaruh besar di kalangan Istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf
Ya’qub al- Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang fiolosof, pengaruhnya di kalangan
Istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul peperangan
antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat pada kat-kata kaum ulama
dan kaum fuqaha. Maka kedaan menjadi berubah, Ibnu Rusyd disingkirkan oleh kaum
ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkapdan diasingkan ke suatu tempat yang
bernama Lucena di daerah Cordova. Oleh sebab itu, kaum filosof tidak disenangi lagi,
maka timbullah pengaruh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian
dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M.3

B. Pemikiran-Pemikiran Ibnu Rusyd

Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd


sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya
untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha
mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu
Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai
juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang
menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.4

2
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 94-95
3
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX,( Jakarta: Bulan Bintang, 1973.) hlm. 47
4
hmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Cet. kedelapan (Jakarta:Pustaka Firdaus,1997), h. 108
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof
muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat
Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat
dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur
baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali
filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk
menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles padamasa dinasti Muwahhidun tahun 557-559
H.5

Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan


berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd
juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya
sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.

1. Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd

Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari
filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya
mempelajari hal-hal yangwujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran /
hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha
Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan
Tuhan , maka semakin sempurnalah iabisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan.
Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa
menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya. Jika kemudian
seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar Syar’iy maka
ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang
memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya
mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yangdilarang oleh agama
dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping/guru yang handal yang bisa
membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu. Oleh

5
Ibid, h. 110
karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai
eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi
semacam itubisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat
dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia
dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-
beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh
pengetahuan yakni:

a. Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)


b. lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)
c. Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)6

2. Metafisika

Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah


Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan kepada
Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an
tidak berbeda dari zat-Nya.9 Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan
pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama
Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi
menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam
pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus,
Al-Farabi, dan Ibnu Sina.7

a. Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah,


Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan falasifah, masing-masing golongan tersebut
mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama lainnya, dan menggunakan
ta’wil dalam mengartikan kata-kata Syar’i sesuai dengan kepercayaan
mereka.Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-
dalil yang menyakinkan: Dalil wujud Allah. Dalam membuktikan adanya Allah,
Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa

6
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 116

7
Ibid…117
golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh
Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan
tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya,
dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya
sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang-orang khusus yang
terpelajar.
b. Dalil ‘inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada
tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada
ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini
sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara
kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta
bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-
Naba’:78:6-7

‫ض ِم ٰهدًا َّو ۡال ِج َبا َل اَ ۡوتَادًا‬


َ ‫اَلَ ۡم ن َۡجعَ ِل ۡاۡلَ ۡر‬ ۙ ٧
٦

Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,. dan


gunung-gunung sebagai pasak ? (QS. Al-Naba:6-7).

c. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan
segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis
hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati
benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang
menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk
seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui
Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam
ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini. Ayat suci yang
mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj: 73

artinya : Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah


olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah
sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu
untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al-Hajj:73)

d. Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd
memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang
digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini
tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak
berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak
pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik
pada dzatnya maupun pada sifatnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada
kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.

e. Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah


berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-
sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih
dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan
pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua
jenis ilmu itu.

C. Perdebatan Antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd

Selama bertahun-tahun, para cendekiawan menuduh Abu Hamid al Ghazali yang hidup
antara tahun 1055 hingga 1111, secara sepihak membawa budaya Islam ke arah fundamentalisme
agama. Menutup pintu kultur independen ilmu pengetahuan Islam. Mereka menganggap al
Ghazali telah memantik sikap antipati terhadap sains di kalangan umat muslim. Kemudian
berujung pada kemunduran dan kehancuran peradaban Islam. Setidaknya ini menurut para
akademis dan orientalis.

Karyanya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, dianggap telah membunuh ilmu


falsafah. Sehingga tidak bisa lagi tumbuh di dunia muslim. Alasannya jelas, sikap al
Ghazali terhadap filsafat terlihat ambivalen. Pada satu sisi, ia menerima beberapa bagian
dari filsafat. Seperti ilmu alam dan logika. Di sisi lain, al Ghazali berusaha menguasai
filsafat untuk melakukan kritikan terhadapnya. Polemik al Ghazali dengan para filsuf yang
ia tuliskan dalam karyanya Tahafut al-Falasifah membuat sebagian orang memandang
bahwa al Ghazali ialah orang yang anti filsafat, anti rasio, dan seorang ulama ortodoks
semata.Dari sini kemudian al Ghazali banyak mendapat kecaman. Dituding sebagai
seorang yang bertanggung jawab memundurkan capaian intelektual umat Islam.

Dalam buku tersebut, ia menerangkan kelemahan-kelemahan argumentasi para


filsuf barat dan muslim. Terutama pemikiran Ibnu Sina dan al Farabi. Al Ghazali
mengkritik para filsuf dengan menyanggah tiga butir pendapat. Yaitu kadimnya alam,
Allah tidak tahu yang juz’iyyat dan partikular, serta kebangkitan jasmani di akhirat.
Bahkan tak segan-segan al Ghazali menghukumi kafir.

Tak ada satupun filsuf muslim yang berani untuk menjawab kritik terhadap al Ghazali,
kecuali Ibnu Rusyd. Filsuf muslim asal Andalusia. Ibnu Rusyd menyanggah argumen al
Ghazali dengan karyanya berjudul Tahafut al-Tahafut. Menurutnya, bukan argumen
filsuf muslim yang sesat pemikirannya, melainkan pemikiran al Ghazali yang
keliru(rancu)dalammenanggapinya.

Ibnu Rusyd, yang hidup antara tahun 1126 hingga 1198 dan dikenal dengan nama
Averroes di Benua Eropa ini, merasa terpanggil untuk meluruskan pemikiran para filsuf
dari serangan dan pengkafiran al Ghazali. Dia menulis Tahafut al-Tahafut (Kekacauan
dalam Kekacauan). Ibnu Rusyd menunjukan secara tegas bahwa al Ghazalilah yang
sebenarnya dalam kekacauan pemikiran. Berikut penjelasannya terhadap 3 masalah
tersebut.

a. Kadimnya alam

Para filsuf mengatakan, bahwa alam itu kadim. Dalam artian tidak bermula.
Sedangkan menurut al Ghazali, alam diciptakan Tuhan dari sesuatu yang tidak ada.

Karena menurutnya, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah


mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Jika alam tidak bermula, berarti alam
bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta.
Sementara Ibnu Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio
ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam) atau kekosongan, tidak
mungkin berubah menjadi ada (al-wujud).

Barangkali yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah “menjadi ada” dalam
bentuk lain. Artinya, alam ini kadim. Alam diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah
ada.

Bagi Ibnu Rusyd, al Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan. Tidak ada
seorang filsuf muslim satu pun berpendapat kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah.

Akan tetapi, yang mereka maksudkan ialah yang “ada” berubah “menjadi ada”
dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada, ialah suatu yang mustahil. Dari tidak ada
(nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti kadim.

b. Pengetahuan Tuhan

Al Ghazali menyatakan bahwa para filsuf berpendapat Allah tidak mengetahui yang
bersifat juz’iyyat dan partikular di alam. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu
yang telah diciptakan.

Menanggapi hal ini, Ibnu Rusyd menegaskan al Ghazali telah salah paham. Sebab
para filsuf tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah bahwa pengetahuan Tuhan
tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang
perincian itu. Jadi menurut Ibnu Rusyd, pertentangan antara al Ghazali dan para filsuf
timbul dari penyamaan antara pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia.

Padahal, pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera.


Oleh sebab itu, pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang
sesuai dengan penginderaan yang dicernanya.

Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal. Sifatnya tidak


berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu.

Jadi perbedaan antara al Ghazali dan para filsuf muslim lainnya tentang pengetahuan
Tuhan itu sudah jelas. Ia menyamakan ilmu Allah dengan manusia.
c. Kebangkitan jasmani di akhirat

Persoalan terakhir yang menjadi gugatan al Ghazali terhadap para filsuf ialah
menolak terhadap kebangkitan jasmani di akhirat.

Menurutnya, para filsuf mengatakan di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan


kembali dalam wujud rohani, tidak dalam bentuk jasmani. Hal ini bertentangan dengan
ayat-ayat al-Qur’an.

Dalam membantah pemikiran al Ghazali, Ibnu Rusyd menandaskan bahwa filsuf


tidak menolak adanya kebangkitan rohani.

Namun, Ibnu Rusyd sendiri tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama
rohani. Dengan catatan, jasad tersebut bukanlah yang ada di dunia. Karena yang sudah mati
itu hancur disebabkan kematian. Sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali
seperti semula.

Menurut Ibnu Rusyd, dalam hal ini al Ghazali terdapat pertentangan dengan
pendapatnya sendiri. Karena di dalam kitab Tahafut al-Falasifah, al Ghazali mengatakan
bahwa kebangkitan tidak hanya dalam bentuk rohani.

Sedangkan kitabnya yang lain, tentang tasawuf, al Ghazali menyebut bahwa kebangkitan
bagi kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Tidak dalam bentuk jasmani.

Sementara bila dilihat sejarah kehidupan al Ghazali, di akhir hidupnya dia adalah seorang
sufi. Dengan demikian, kritikannya terhadap filsuf lain gugur dengan sendirinya oleh
pendapatnya sendiri.

Perdebatan panjang antara al Ghazali dan Ibnu Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai.
Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan argumen dari kedua
pemikir Islam tersebut.

Al Ghazali dari golongan filsafat di dunia Islam Timur (Persia). Sedangkan Ibnu Rusyd
merupakan salah satu pemikir dari golongan filsafat di dunia Islam Barat
(Andalusia/Spanyol). Keduanya memiliki pendapat berbeda.8

8
https://vinus.id/kritik-ibnu-rusyd-terhadap-pemikiran-al-ghazali/
D. Kontribusi Ibnu Rusyd dalam Dunia Islam Barat

Kenyataan yang tak terbantahkan bahwa kemajuan peradaban Barat (Eropa) sejak
abad ke-12 tidak terlepas dari sumbangan peradaban Arab-Islam yang dikembangkan oleh
tokoh-tokoh filosof saintis muslim. Orang-orang Barat menimba ilmu dari orang-orang
Islam dan membangun peradaban mereka setelah mendapat sentuhan dari peradaban Islam.
Oleh karena itu Gustave Lebon (Nasution, 1985: 74-75) mengakui bahwa orang Arablah
yang menyebabkan Barat mempunyai peradaban, mereka adalah imam bagi Barat selama
enam abad. Demikian juga Rom Landau (Nasution, 1985: 74-75) menegaskan bahwa dari
orang-orang Arab-Islam inilah orang-orang Barat belajar berpikir objektif dan menurut
logika. Arab telah membukakan mata Barat untuk belajar berlapang dada dan
mengembangkan toleransi terhadap kaum minoritas. Hal tersebut membawa Barat kepada
kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan.
Tokoh-tokoh ilmuwan, filosof dan saintis Barat banyak yang belajar dari filosof
dan saintis muslim. Banyak tokoh-tokoh ilmuwan dan filosof muslim Abad Pertengahan
mendapat tempat yang terhormat di kalangan sarjana-sarjana Barat. Namun tokoh filosof
dan pemikir muslim yang dianggap paling berpengaruh dalam proses alih ilmu
pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat adalah Ibn Rusyd.
Ada beberapa faktor yang mendukung besarnya pengaruh Ibn Rusyd ke dalam peradaban Barat
(Iqbal, 2004: 93-94-).
Pertama, dari segi lingkungan tempat tinggalnya, Ibn Rusyd adalah ”orang Barat”.
Ia lahir dan meninggal di Barat (Cordova, Spanyol). Dari segi lingkungn inilah, sangat
mudah bagi orang-orang Barat untuk mengakses pemikirannnya. Apalagi keadaan ini
dipengaruhi pula oleh sikap umat Islam di belahan Timur yang kurang bersahabat dengan
filsafat sejak al-Ghazali menyerang filsafat dan mengkafirkan para filosof.
Kedua, Ibn Rusyd adalah pemikir Muslim yang sangat tertarik pada pemikiran
filosof Yunani, Aristoteles. Ibn Rusyd berjasa dalam menghadirkan kembali warisan
Yunani Kuno kepada Barat. Ibn Rusyd-lah yang menggali dan mengembalikan mutiara
yang telah lama hilang terebut. Sehingga orang Barat merasa berutang budi kepada Ibn
Rusyd dan begitu menghormatinya.
Ketiga, dan yang paling penting adalah Ibn Rusyd pemikir rasional dan berhasil
mengembangkan gagasan-gagasan rasional ke Dunia Barat. Ia Menempatkan posisi akal
pada tempat yang tinggi. Inilah yang kemudian berkembang dan sangat mempengaruhi
pola pikir Barat sejak Abad Pertengahan akhir.

E. Karya-Karya Ibnu Rusyd

Berikut ini adalah karya-karya Ibn Rusyd yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber,
terutama dari Mawsu‟ab al-Falsafah dan Ibn Rusyd wa alRusydiyyah, atau kecuali jika
disebutkan sumber lain.

1. Kitab Al-Kulliyyat fi al-Thibb. Buku dalam bidang kedokteran ini ditulis sebelum tahun
1162 (558 H).

2. Kitab al-Hiyawan, di selesaikan di Seville pada tahun 1169 (565 H).

3. Syarh Kitab al-Burhan (ulasan buku demonstratione), di kota Seville pada tahun 1170
(566 H).

4. syarh al-Sama‟ wa al-alam (ulasan buku de Caelo et Mundo), di Seville pada tahun 1171
(567 H).

5. talkbish Kitab al-Khathabah (ringkasan buku rhetorica), di Cordova pada tahun 1174 (570
H).

6. Talkhish Kitab al-Syi‟r (ringkasan buku poetica), di Cordova pada tahun 1174 (570 H).

7. Talkhish Ma ba‟d al-Thabi‟ah (ringkasan buku Metaphysica), di Cordova pada tahun


1174 (570 H).

8. Talkhish Kitab al-Akhlaq li Aristhuthalis (ringkasan buku ethica nicomachea), pada tahun
1176 (572 H).

9. Beberapa bagian dari Kitab Al-Jirm al-Samawi (Benda-benda langit), di tulis di Marakisy
pada tahun 1178 (574 H) dan diselesaikannya di Seville pada tahun 1179 (575 H).

10. Talkhish Kitab al-Himmiyat karya Galen, pada tahun 1193 (589 H).

11. Persoalan-persoalan logika (al-Manthiq), ditulis pada saat menjalani pembuangan di


Lucena, tahun 1195 (592 H).
12. Syarh Kitan al-nafs, teks berbahasa Arab separuhnya telah hilang, dan yang ada dalam
terjemahan bahasa Latin sebanyak 6 juz.

13. Syarh al-Sama‟ al-Thabi‟i (ulasan atas buku physica), ditulis pada tahun 1186 (582 H).

14. Talkhish Madkhal Furfuriyus (ringkasan buku pengantar Logika karya Porphyry),
manuskrip terdapat di Leiden dan di Florence.

15. Talkhish Kitab al-Maqulat (ringkasan buku Categoriae), manuskrip terdapat di Leiden dan
Florence. Teks berbahasa Arab diterbitkan oleh Maurice Bouyges di Beirut tahun 1932.

16. Talkhish Kitab al-Ibarah, manuskrip terdapat di Leiden dan Florence.

17. Talkhish Kitab al-Qiyas, Manuskrip terdapat di Leiden dan Florence.

18. Talkhish Kitab al-Burhan li Aristhu, manuskrip terdapat di Leiden dan Florence.

19. Talkhish Kitab al-Jadal, manuskrip terdapat di Leiden dan Florence, dan diterbitkan di
Kairo tahun 1980.

20. Talkhish Kitab al-Safsathah (ringkasan buku Sophistica), manuskrip terdapat di Leiden
dan Florence.

21. Talkhish al-Sama‟ al-Thabi‟i (ringkasan buku Physica), ditulis di Seville pada tahun 1170
(566 H). Dalam bahasa Latin buku ini dikenal sebagai terdapat di Musium Britannia
nomor 9061.

22. Talkhish Kitab al-Hass wa al-Mahsus, ditulis pada tahun 1170 (566 H). Manuskrip
terdapat di perpustakan Aya Sophia Istanbul, dan di Perpustakaan Nasional Paris dalam
bentuk manuskrip dengan hurup Ibrani.

23. Tahafut al-Tahafut, buku ini merupakan buku Ibn Rusyd yang paling terkenal karena
isinya bertujuan menyanggah serangan Al-Ghazali terhadap paara filosof dan upayanya
untuk membela filsafat. Diterbitkan di Kairo bersama buku Tahafut al-Falasifah karya Al-
Ghazali dan Tahafut al-Falasifah karya Khawjah Zadeh oleh Al-Mathba‟ah al-Alamiyah
pada tahun 1885 dari manuskrip Istanbul.

24. Fashl al-Maqal fi Ma Bayn al-Hikmah wa al-Syari‟ah min wa al-Ittishal.

25. Al-Kasyf „an Manahij al-Adillah fi Aqa‟id al-Millah, ditulis di Seville pada tahun 1179
(575 H).
26. Dhaminah li Mas‟alah al-Ilm al-Qadim, merupakan apendiks yang terdapat pada
buku Fashl al-Maqal.

27. Maqalah fi Ittishal al-Aql bi al-Insan, manuskrip terdapat di Escoreal.

28. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid dalam bidang fiqih, telah diterbitkan
berulang-ulang, di Kairo, Beirut, dan beberapa tempat lain.

29. Syarh al-Urjuzah li Ibn Sina, yakni uraian yang dibuat untuk mengulas baitbait syair Ibn
Sina menngenai kedokteran.

30. Masalah mengenai penolakannya terhadap Ibn Sina yang


membagi mawjudat menjadi mumkin „ala al-ithlaq (the absolutely possible).

31. kitab yang berbicara mengenai penolakan Al-Farabi terhadap Aristoteles


tentang tartib (tatanan), qawanin al-barahin (aturan pembuktian), dan alhudud (batasan)
dalam Analytica posteriora.

32. Kitab al-atsar al-Uwiyyah (Meteorologica).

33. Kitab al-Kawn wa al-Fasad (de Generatione et Corruptione).[15]

Buku-buku yang dikarang oleh Ibnu Rusyd banyak sekali dari berbagai disiplin ilmu:
Filsafat, Kedokteran, Politik, Fikih, dan masalah-masalah agama. sebagian karya-karyanya banyak
yang hilang dan ada juga yang dibakar dikeranakan beberapa sebab diantaranya. Pertama, tulisan-
tulisannya yang asli bahasa arab mengandung anti filsafat dan filosof.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tidak dapat dibantah bahwa perkembangan dan kemajuan peradaban Barat yang
spektakuler seperti sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari sentuhan peradaban Islam Abad
Pertengahan, karena pada Abad Pertengahan, Islam tampil sebagai puncak peradaban dunia.
Masyarakat Masyarakat Barat pada saat itu berada dalam abad keterbelakangan, kemandegan
berpikir dan kebekuan. Barat menimba sebanyak-banyaknya capaian peradaban Islam tersebut.
Tokoh yang paling berpengaruh bagi Barat dalam transformasi peradaban tersebut adalah Ibn
Rusyd (Averroes).

Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Menetapkan sesuatu sangatlah Rasional jadi Mudah diterima
oleh semua kalangan apalagi barat, banyak pemikiran para Filsuf mengandung pemikiran-
pemikiran dari Ibnu Rusyd.

Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat dengan
argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan keunggulan
itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan
jelas. Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu
pengetahuan pada diri Ibnu rusyd.

Serta Buku karangan beliau sangatlah banyak dari mulai fiqih, mantik kedokteran. Dll.
DAFTAR PUSTAKA

Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Syarif, M.M. History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963

Qasim, Mahmud, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al Gharbi Sudan: Jamia’ah
Ummi Durman al-Islamiyah, 1967

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd & Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.

https://vinus.id/kritik-ibnu-rusyd-terhadap-pemikiran-al-ghazali/

Anda mungkin juga menyukai