Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho

Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah : Sejarah Pemikiran Tafsir

Dosen pengampu : Dr. Abdul Fattah, M. Si

Disusun oleh :

1. Mohammad Hilman Rosyidi (2230110125)


2. Muhammad Nabil Faza (2230110136)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR


FAKULTAS UDHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2023

1
KATA PENGATAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah berjudul Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho.
Makalah dengan judul Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho disusun guna memenuhi tugas dari
Bapak Dr. Abdul Fattah, M. SI pada mata kuliah Sejarah Pemikiran Tafsir Institut Agama Islam
Negeri Kudus. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan
bagi pembaca tentang Sejarah Pemikiran tafsir.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Abdul Fattah, M. SI
selaku dosen mata kuliah Sejarah Pemikiran tafsir dari tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah
ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Al-Quran telah mendeklarasikan dirinya sebagai hudan al linnas atau petunjuk bagi
manusia. Tetapi, petunjuk Al-Quran tersebut tidaklah mudah ditangkap maknanya bila tanpa ada
penafsiran.. Oleh karenanya sejak Al-Quran diwahyukan hingga saat ini gerakan penafsiran yang
dilakukan oleh para ulama tidak pernah berhenti. Semangat para ulama untuk mengkaji Al-
Qur’an dan menggali pelajaran darinya tidak pernah padam. Dalam menyingkap dan menguak
rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya, para ulama menggunakan metode dan sudut
pandang yang berbeda, sehingga dari generasi ke generasi selalu lahir karya- karya baru tentang
tafsir al-Qur’an. Salah satu dari sekian banyak karya dan metode tafsir yang ada adalah kitab
tafsir al-manar karangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, beliau berdua adalah duet maut
pemikir kontemporer telah berhasil mendobrak sekat-sekat sectarian yang telah mengakar
rumput dalam tradisi keilmuan islam, terlepas dari kontroversinnya, beliau berdua melakukan
upaya untuk mengupas tuntas ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan sosio-kultural
direlevansikan dengan persoalan waqi’iyyah masa kini, ini tentu merupakan hal yang baru dalam
tradisi keilmuan islam, setelah berabad-abad lamanya terjebak dalam stagnasi intelektualis
muslim yang awalnya lebih cenderung pada melakukan penulisan ulang menjadi lebih berani
dalam melakukan terobosan-terobosan baru demi eksistensi islam di dunia. Maka dari itu, disini
pemakalah akan mencoba menguraikan profil dan latar belakang Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha, bagaimana pendekatan dan metode yang beliau berdua gunakan dalam melakukan
penafsiran, disertai contoh penafsirannya, sehingga diharapkan akan menambah wawasan bagi
pembaca serta akan lebih mengetahui karakteristik dan penafsiran yang sangat jarang ditemui
pada kitab-kitab tafsir sebelumnya.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana biografi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho ?
2. Bagaimana metode dan corak tafsir al-manar ?
3. Bagaimana contoh penafsiran dari tafsir al-manar ?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi

1. Muhammad Abduh

Muhammad Abduh atau 'Abduh (1849 - 11 Juli 1905) adalah seorang teolog Muslim, Mufti
Mesir, pembaharu liberal, pendiri Modernisme Islam dan seorang tokoh penting dalam teologi
dan filsafat yang menghasilkan Islamisme modern. Nama lengkap beliau adalah Muhammad
Abduh Ibn Hasan Khair Allah, dilahirkan pada tahun 1849 M di Mahallat al-Nasr daerah
kawasan Sibrakhait Provinsi al-Bukhairoh Mesir1. Ayahnya Hasan Khairullah berasal dari Turki.
Ibunya bernama Junainah berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa yang
sama dengan Umar bin Khattab2 .

Syeikh Muhammad Abduh dibesarkan dalam lingkungan keluarga petani dikampung


halamannya. Ketika saudara-saudaranya ikut turut membantu ayahnya dalam mengelola lahan
pertanian maka Abduh ditugaskan untukmenuntut ilmu pengetahuan diluar kampung
halamannya setelah belajar membaca dan menulis di rumahnya. Ayahnya mengirimkan Abduh
kesuatu tempat pendidikan pengafalan al-Qur’an untuk menimba ilmu pengetahuan dan ia
mampu menyelesaikan hafalalannya sampai 30 juz setelah dua tahun berlalu ketika usianya baru
berumur 12 tahun3.

Belajar di al-Azhar merupakan suatu pengalaman yang berharga bagi Abduh, sebab tahun
1872 ia berkenalan dengan Jamaluddin al-Afghani (1839- 1897 M)9 , untuk menjadi muridnya
yang sangat setia. Abduh sangat tertarik dengan gurunya karena ilmunya yang dalam dan pola
fikirnya yang maju. Oleh karena itu disamping belajar di al-Azhar ia tetap bersama jamaluddin
al-Afghani saling berdiskusi tentang berbagai masalah. Setiap kali al-Afghani berdiskusi dengan
Abduh dan teman-temannya selalu meniupkan pembaharuan dan semangat berbakti kepada
masyarakat dan berjihad memutuskan rantai kekolotan dan cara berfikir yang fanatik dan
merubahnya dengan pola fikir yang lebih maju10 . Pemerintah pendudukan yang telah
berpengalaman pahit dengan pemberontakan nasional 1857 itu takut pada ide-ide yang progresif
1
Abdullah Mahmud Syatahat, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh Fi al-Tafsir al- Qur’an, Nasyr al-Rasail, kairo,
t.th, hal.37
2
Muhammad Abduh, Risala al-Tauhid (Risalah Tauhid), op. cit., hal. 7
3
3Abdullah Mahmud Syatahat, op. cit., hal 5

4
revolusioner, dan segera ia diberangkatkan dengan kapal pemerintah ke Suez. Setelah itu ia pun
berangkat ke Kairo, lalu ia sampai ke Universitas al-Azhar dan bertemu dengan para ilmuan
yang tingkat kesarjanaannya yang lebih tinggi dan juga para mahasiswa al-Azhar. Diantara
gagasan-gagasan progresifnya yang sangat membekas dikalangan cendikiawan Mesir terlihat
pada diri Muhammad Abduh.

Belajar di al-Azhar merupakan suatu pengalaman yang berharga bagi Abduh, sebab tahun
1872 ia berkenalan dengan Jamaluddin al-Afghani (1839- 1897 M)9 , untuk menjadi muridnya
yang sangat setia. Pertemuannya dengan Jamaluddin merupakan kesempatan terbaik untuk
berguru, dan ia mendapatkan ilmu sekaligus mewarisi ide-ide gurunya. Dari Jamaluddin ia
mendapatkan imu pengetahuan, diantaranya filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti. Ia merasa
sedikit lebih paham dan mengerti akan ilmu-ilmu yang didapatkannya dari gurunya yang baru
ini, barangkali metode yang diterapkan Jamaluddin yang menyebabkan ia lebih puas. Dari
Jamaluddin tidak saja ditemukan metode pengajaran yang telah lama dicarinya, dan seperti yang
dikatakannya Jamaluddin telah melepaskannya dari kegoncangan jiwa yang dialaminya.
Agaknya inilah yang meneyebabkan Abduh mengikuti setiap kuliah- kuliah yang diberikan oleh
gurunya.

Selama masa hidupnya Abduh sangat membenci dan menentang sikap Taklid yang terjadi
pada umat Islam saat itu. Hal ini ia rasakan semenjak memasuki Universitas al-Azhar, dimana ia
mendapati dua golongan dalam sudut pemahaman yang berbeda diantaranya : kaum mayoritas
yang penuh dengan Taklid dan hanya mengajarkan kepada para siswanya pendapat-pendapat
ulama terdahulu dan sekedar dihafal. Sementara kaum minoritas adalah mereka yang suka akan
pembaharuan Islam yang mengarah kepada penalaran dan pengembangan rasa.

Selain pengetahuan teoritis, Jamaluddin al-Afghani juga mengajarkan kepadanya


pengetahuan praktis, seprti berpidato, menulis artikel dan lain sebagainya. Kegiatan yang
demikan tidak hanya membawanya untuk tampil didepan publik, tetapi juga secara langsung
mendidiknya untuk jeli melihat situasi sosial politik di negerinya. Meskipun Abduh aktif
mencari ilmu pengetahuan diluar al-Azhar, akan tetapi ia tidak lantas melupakan tugasnya
sebagai mahasiswa. Pada tahun 1877, ia berhasil menyelesaikan studinya dengan mendapatkan
gelar ‘amin dan berhak mengajar di Universitas tersebut.

Muhammad Abduh wafat pada tahun 190516di Ramleh Iskandariah yaitu dalam perjalanan
mengunjungi negara-negara Islam. Ia dimakamkan di Mesir setelah di solatkan di Masjid al-
Azhar.

5
2. Rasyid Ridho

Sayyid Rasyid Ridha merupakan murid dari Muhammad Abduh dan termasuk salah satu
muridnya yang terdekat. Ia memiliki nama lengkap Muhammad Rasyid Ridha bin Ali Ridha bin
Muhammad Syamsuddin bin As-Sayyid Bahauddin bin Sayyid Manlan Ali Khalifah Al-
Bagdadiy. Ia dilahirkan di Qalmun, sebuah kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada
27 Jumadil Ula 1282 H. Bertepatan dengan tahun 1865 M.

Ketika Rasyid Ridha mencapai umur remaja, ayahnya telah mewarisi kedudukan, wibawa,
dan ilmu dari sang kakek. Sedangkan Rasyid Ridha mengakui bahwa dirinya sangat terpengaruh
dan bahkan belajar dari ayahnya sendiri secara langsung. Syekh Ahmad merupakan panutan
umat dari berbagai golongan dan strata sosial. Oleh karena itu, majelisnya dipenuhi oleh
berbagai kalangan ulama, budayawan, dan sastrawan.4

Pendidikan pertama Rasyid Ridha tidak lain adalah dari ayahnya, Syekh Ahmad. Ketika
masih kecil, ia belajar di Kuttab, yaitu tempat belajar baca, tulis dan dasar-dasar berhitung untuk
anak-anak. Setelah itu, Rasyid Ridha belajar membaca Al-Qur‟an, khat, dan metematika kepada
sekretaris kampung. Kemudian ia pindah ke Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah di
Tharabis. Di sana, ia bertemu dan berguru kepada Syekh Husain Al-Jisr, seorang pemuka ulama
Syam. Syekh Husain Al-Jisr inilah yang memiliki peranan besar terhadap perkembangan
intelektual Rasyid Ridha. Ia banyak belajar ilmu agama, bahasa dan filsafat kepadanya.

Sebelum mengenal pemikiran Jalaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
merupakan seorang aktivis dakwah keliling di Qalmun dan desa-desa sekitarnya. Meskipun yang
didakwahkan pada saat itu masih tentang Islam yang bercorak fatalisme, namun sebagai da’i,
tentu ia memiliki pemikiran yang lebih aktif. Sehingga, ia terbiasa untuk berpikir kritis di
samping kekuatan jiwa perjuangan yang kuat. Semenjak menjadi murid terdekat Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha berperan sebagai penerjemah paham keagamaan yang dianut Muhammad
Abduh. Peran ini sangat menyenangkan baginya, karena membuatnya semakin dekat dengan
orang yang dianggap oleh dirinya sendiri sebagai guru yang agung. Salah satu aksi dari perannya
sebagai penerjemah paham itu adalah saat ia menjadi pemimpin redaksi majalah Al-Manâr.
Fungsi majalah ini persis seperti Al-„Urwat Al-Wutsqâ, yaitu sebagai corong pembaruan yang
bersumber pada pemikiran Muhammad Abduh. Hanya saja, ide pembaruan yang dimunculkan
tidak banyak menyinggung masalah politik.

4
Fakhrudin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi…, hal. 62.

6
Majalah ini lebih mengedepankan ide pendidikan kepada umat Islam agar lepas dari belenggu
taklid buta dan pengekoran terhadap Barat secara mentah-mentah. Rasyid Ridha juga pernah
menjabat sebagai ketua parlemen Suriah. Namun akhirnya, ia harus meninggalkan jabatan itu
ketika Prancis berhasil menduduki negeri itu. Terkait politik Islam, ialah penggagas utama
adanya Konferensi Ulama se-Dunia tentang revivalisasi khekhalifahan Islam pasca runtuhnya
kekhalifahan Usmani di Turki tahun 1924 M.

Rasyid Ridho mengalami kecelakaan ketika perjalanan pulang setelah mengantarkan


pangeran Saud Al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia). Ia menderita gegar otak
hingga akhirnya meninggal pada tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H., bertepatan dengan tanggal 22
Agustus 1935 M.5

B. Metode dan corak Tafsir Al-manar

a. Metode tafsir Al-manar


Tafsir Al-Manar bisa dikatakan menggunakan metode tahlili karena penafsirannya dimulai
dari surat al-Fatihah atau berdasarkan susunan surat-surat yang ada di mushaf, menjelaskan dan
menafsirkan ayat per ayat, dengan memaparkan makna dan aspek yang terkandung dalam ayat
tersebut dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat.
Ada beberapa prinsip yang menjadi karakter Tafsir Al-Manar, yaitu:
1) Kandungan Al-Qur’an bersifat universal
Menurut Muhammad Abduh, kandungan Al-Qur’an bersifat universal dan berlaku sampai
datangnya hari kiamat. Ia berpegang teguh pada kaidah al-„ibrah bi umum al-lafzh la bi khushush
as-sabab (pemahaman suatu ayat terletak pada lafalnya yang umum bukan pada sebabnya yang
khusus). Dengan keumuman kandungan Al-Qur’an tersebut, ia menolak pendapat yang
membatasi pengertian dan kandungan Al-Qur’an hanya pada masa tertentu. Misalnya, sifat-sifat
orang munafik yang digambarkan pada awal surat Al-Baqarah, tidak hanya ditunjukkan bagi
kaum munafik pada masa Rasulullah SAW. saja, tetapi berlaku buat setiap orang yang
mempunyai sifat-sifat tersebut, baik pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

2) Al-Qur’an sebagai sumber utama syariat Islam


Muhammad Abduh menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an sebagai
sumber hukum Islam adalah supaya Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber pertama.
Maksudnya, segala madzhab dan pandangan keagamaan disandarkan kepada Al-Qur’an,
bukannya mazhab-mazhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat AlQur’an dijadikan pendukung
dari mazhab-mazhab tersebut.
5
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Tafsir Al-Qur‟an: Studi Kritis Tafsir
AlManar…, hal. 80-81

7
3) Kritis dalam menerima hadist-hadist Nabi.
Contohnya adalah Muhammad Abduh tidak menerima hadis sahih tentang ketentuan Al-
Hawl dan An-Nishab sebagai syarat wajib zakat, hadis tentang Nabi SAW. yang terkena sihir
orang Yahudi, dan hadist tentang penciptaan manusia dari tulang rusuk. Hadist yang
dipeganginya adalah yang mempunyai petunjuk sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an.

4) Teliti terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak israilliyyat.


5) Merelevansikan penafsiran Al-Qur’an sesuai kebutuhan masyarakat.

b. Corak Tafsir Al-manar


Tafsir Al-Manar memiliki corak penafsiran sebagai berikut:
1) Adabi Ijtima’i

Tafsir yang bercorak Adabi Ijtima’i menurut Husain Adz-Dzahabi adalah tafsir yang
menyingkap balaghah, keindahan bahasa Al-Qur‟an, dan ketelitian redaksinya dengan
menerangkan makna dan tujuan kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an itu
dengan sunnatullah dan aturan hidup masyarakat untuk memecahkan problematika umat Islam
khususnya dan umat manusia pada umumnya.

Dalam kaitannya dengan corak Adabi Ijtima’i ini, Tafsir Al-Manar merupakan kitab tafsir
pertama yang memperkenalkan corak ini. Setiap ayat yang ditafsirkan oleh Muhammad Abduh
dalam Tafsir Al-Manar selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha
mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. Muhammad Abduh menilai keterbelakangan
masyarakat muslim disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan akibat taklid dan
pengabaian peranan akal. Dari segi ini pula, ia berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan penafsiran ilmiah, baik yang berhubungan dengan ilmu dan eksakta maupun humaniora.

Selain itu, Muhammad Abduh juga mengarahkan pandangannya pada perbaikan gaya bahasa.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dalam tafsirnya ditemukan usaha-usaha tersebut.
Kemampuan berbahasa menurutnya tidak dinilai dari pengetahuan bahasa atau istilah-istilah
ilmu bahasa, tetapi dinilai dari rasa yang telah meresap dalam jiwa seseorang karena
mempelajari bahasa harus bertujuan menciptakan rasa tersebut.

2) Ilmi

Corak ini terlihat pada upaya Muhammad Abduh menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan ilmu pengetahuan dan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Kelihatannya,
8
upayanya ini dimaksudkan agar masyarakat lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan
Allah dalam Al-Qur’an jika dalam menafsirkan pesan-pesan itu mufassir menghubungkannya
dengan kejadian-kejadian atau peristiwa yang timbul dalam kehidupan mereka. Hal ini bisa
dilihat dari penafsiran Muhammad Abduh mengenai sihir yang terdapat dalam Al-Qur’an surat
Thaha ayat 66, yaitu dengan menjelaskan bahwa sihir-sihir yang dilakukan oleh kaum Fir’aun
tentang tali yang menyerupai ular adalah dengan melekatkan air raksa pada tali-tali dan tongkat
mereka sehingga tali dan tongkat tersebut seakan bergerak.6

C. Contoh penafsiran Tafsir Al-manar

Landasan utama ajaran Islam tentang poligami adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Secara
eksplisit, dalam surat An-Nisa' (4) ayat 3, Allah memberikan gambaran, bahwa seseorang bisa
beristrikan lebih dari seorang perempuan,. Ketika menafsirkan ayat ini, para pemikir Islam klasik
bersepakat, bahwa praktik poligami diperbolehkan dalam Islam.. Kesepakatan para ulama ini
berkisar pada keputusan hukum bolehnya poligami. Sementara, mengenai jumlah istri yang
diperbolehkan untuk dikawini, terdapat ikhtilaf dikalangan mereka. Hal ini lantaran perbedaan
pemikiran mereka ketika menafsirkan huruf ataf wau dalam avat tersebut.7

Dalam perkembangan umat Islam, lebih-lebih dikalangan para 'ulama' dan pemikir
kontemporer, antara lain ditandai dengan perkembangan budaya dan meningkatkannya status
wanita yang secara global semakin mendapatkan perhatian dunia. Kaum wanita yang dulunya
cenderung diremehkan dan hampir tidak pernah mendapatkan peran dalam kehidupan, semakin
lama semakin tampak peran dan kiprahnya dalam memberikan andil terhadap perkembangan
budaya dan ilmu pengetahuan. Pergeseran nilai dan sistem kehidupan tersebut bergerak dengan
cepat, seiring dengan berkembangan budaya, pemdidikan dan pengalaman kaum wanita. Salah
satu tokoh modernis yang memiliki pemikiran berbeda dengan 'ulama' klasik tentang poligami ini
adalah Muhammad Abduh.8 Pembahasan yang cukup luas, karena ditambah dengan uraian
mengenai beberapa hikmah berpoligami, hukum syariat mengenai poligami yang dilakukan Nabi
Saw.9

Menurut Abduh poin pemahaman dari An-Nisa (4) ayat 3 adalah solusi bagi orang yang takut
memakan harta anak yatim ketika mereka menikahinya, Allah SWT memberikan solusi dengan

6
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Tafsir Al-Qur‟an: Studi Kritis Tafsir
AlManar…, hal. 39.
77
Habieb, Sa'di Abu. Ensiklopedi Ijma': Persepakatan 'Ulama' Dalam Hukum Islam. Penerj. KH. A. Musthafa Bisri dan KH. M.
A. Sahal Mahfudz. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987. 554.
8
Sam'un. “POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD 'ABDUH.” AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic
Family Law (2012): 102
9
Busool, A. N. “Shaykh Muhammad Rashd̄ Ridha Relations With Jamaluddin Al-Afghani and Muhammad Abduh.” The Muslim
World (1976): 272-286.

9
menikahi empat orang wanita selain anak yatim. Dan jika takut tidak dapat berbuat adil maka
sebaiknya menikahi seorang wanita saja. Karena hal tersebut lebih menjauhkan kita dari berbuat
tidak adil dan zalim kepada kaum wanita10. Dengan demikian sangat jelas bahwa syarat paling
utama kebolehan seorang pria dapat berpoligami adalah mampu adil. Islam mempersempit
kebolehan berpoligami. Poligami hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat. Syarat paling
utama seorang suami untuk berpoligami adalah dia harus benar-benar dapat berlaku adil.
Muhammad Abduh mengatakan:
‫فمن تامل األيتين علم ان اباحة تعدد الزوجات في االسالم امر مضيقة فيه اشد التضييق كانه ضرورة من الضرورات التي تباح‬
‫الجور‬ ‫من‬ ‫واالمن‬ ‫لمحتاجها بشرط الثقة بإقامة العدل‬

Barang siapa merenungkan kedua ayat tersebut, maka akan mengetahui bahwa sesungguhnya
diperrbolehkannya berpoligami di dalam islam adalah sesuatu yang kompleks, didalamnya
terdapat perkara-perkara yang amat rumit, seakan-akan poligami merupakan salah satu darurat
dari kedaruratan-kedaruratan yang hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa bagi orang
yang membutuhkannya, itupun dengan syarat dapat berbuat adil dan jauh dari sikap dzolim.

Poligami dapat merusak keharmonisan keluarga seseorang. Poligami hanya menciptakan


permusuhan di dalam keluarga. Itulah kerusakan yang terjadi pada zaman Muhammad Abduh.
Sehingga menurutnya, sudah tidak mungkin seseorang yang berpoligami dapat mendidik
masyarakat.11

‫وإذا تامل متأمل مع هذا التضييق ما يترتب على التعدد في هذا الزمان من المفاسد جزم بانه ال يمكن الحد أن يربي امة فشا فيها‬
‫ بل يتعاون الرجل مع زوجاته على‬.‫تعدد الزوجات فإن البيت الذي فيه زوجتان لزوج واحد ال تستقيم له حال وال يقوم فيه نظام‬
‫ فمفسدة تعدد الزوجات تنتقل من االفراد الى‬.‫ ثم يجئ االوالد بعضهم لبعض عدو‬،‫افساد البيت كأن كل واحد منهم عدو لآلخر‬
‫االمة‬ ‫الى‬ ‫البيوت ومن البيوت‬.

Dan apabila seseorang merenungkan konsekuensi buruk dari poligami saat ini, maka ia akan
mengambil suatu keputusan simpulan bahwa tidak mungkin bagi seseorang untuk mendidik dan
mengembangkan suatu masyarakat apabila dalam masyarakat itu masih tersebar persoalan
poligami. Karena sesungguhnya rumah yang didalamnya terdapat dua istri dan satu suami, maka
akan sangat sulit untuk menegakkan suatu komando/perintah dan sistem, bahkan berpotensi besar
dalam terjadinya kerja sama antara suami dengan salah satu istri untuk menjatuhkan istri yang
lain seakan-akan istri yang lain itu adalah musuh, maka berawal dari persoalan personal, akan
merambat menjadi persoalan rumah tangga –dalam hal ini poligami— dan akan merambat hingga
kemudian berdampak pada masyarakat secara umum.

10
Mahfud. “POLIGAMI DALAM AL-QUR'AN (Studi Komparatif Atas Tafsir Al-Manar dan Fi Zhilal Al-Qur'an).” Tesis,
Institut PTIQ Jakarta (2021).
11
Madiha Dzakiyah Chairunnisa, Hilman Purnama, Ila Juanda. “Poligami dalam Perspektif Tafsir Modern Al-Manar.”
ISTINBATH (2020): 49.

10
Kemudian, Terdapat perbedaan esensi pada praktik poligami yang terjadi di awal islam yaitu
zaman Nabi Muhammad SAW dengan praktik poligami pada zaman Abduh. Praktik poligami
yang terjadi pada awal perkembangan islam memiliki faidah-faidah diantaranya menyambungkan
nasab (keturunan). Tidak muncul kerusakan poligami pada masa awal islam karena ajaran agama
sudah benar-benar tertenam di dalam hati umat islam.12
‫كان للتعدد في صدر االسالم فوائد اهمها صلة النسب والصهر الذي تقوى به العصيبة ولم يكن له من الضرر مثل ما له االن‬
‫ضرتها‬ ‫يتجاوز‬ ‫الن الدين كان متمكنا في نفوس النساء والرجال وكان اذى الضرة ال‬

Poligami pada zaman awal islam mempunyai faidah-faidah, terutama adalah menyambung nasab
dan hubungan kerabat yang memperkuat kekeluargaan. Pada zaman itu belum ada atau minim
sekali persoalan-persoalan seperti zaman sekarang. Karena, agama pada saat itu benar-benar
menancap pada jiwa-jiwa perempuan maupun laki-laki, dan perempuan pun tidak merasa sangat
dirugikan.

Pada zaman Muhammad Abduh, praktik poligami menimbulkan berbagai kemadaratan


diantaranya adalah permusuhan antara anggota keluarga. Selain itu poligami juga melahirkan
berbagai permasalahan lainnya diantaranya pencurian, zina, kebohongan, penghianatan, penipuan
dan pembunuhan. Anak membunuh orang tuanya, orang tua membunuh anaknya, istri membunuh
suaminya, suami membunuh istrinya, dan hal ini benar-benar terjadi pada zamannya. 13 Tinjauan
ini tentu bermuara pada tinjauan dalam perspektif sosial. Menurutnya, poligami telah menjadi
sumber madharat dan penyakit sosial bagi kalangan orang tua maupun anak-anaknya, karena
telah menimbulkan beban dan menjadi sumber penyebab timbulnya kriminilatas dan krisis
moral.14

‫أما اليوم فإن الضرر ينتقل من كل ضرة الى ولدها الى والده الى سائر أقاربه فهي تغرى بينهم العداوة والبغضاء ؛‬
‫غيرها‬ ‫من‬ ‫ولده‬ ‫تغرى ولدها بعداوة اخوته وتغرى زوجها بهضم حقوق‬.

Adapaun pada zaman ini, madharat poligami berkembang pada madharat-madharat lainnya,
yaitu kepada anak, orang tua, kerabat-kerabatnya. Masing-masing diantara mereka menghasut
pada permusuhan dan kebencian. Menghasut anak untuk bermusuhan dengan saudaranya,
Menghasut suami untuk mengurangi atau menyalahi hak-hak anak dari istri lainnya.

Abduh juga mengingatkan, bahwa poligami harus dilihat dari segi mashalih dan mafasid
dalam aplikasinya di masyarakat, dengan alasan bahwa Islam diturunkan untuk kemaslahatan dan
kebaikan umat. Oleh karena itu, bila satu hukum telah menyebabkan kerusakan pada suatu zaman
12
Madiha Dzakiyah Chairunnisa, Hilman Purnama, Ila Juanda. “Poligami dalam Perspektif Tafsir Modern Al-Manar.”
ISTINBATH (2020): 52.
13
Madiha Dzakiyah Chairunnisa, Hilman Purnama, Ila Juanda. “Poligami dalam
Perspektif Tafsir Modern Al-Manar.”
ISTINBATH (2020): 53.

14
Abdurrahman, U. “Penafsiran Muhammad ‘Abduh Terhadap Alquran.” AL-'ADALAH: Jurnal Syari'ah dan Hukum Islam
(2017): 35.

11
yang tidak pernah terjadi di zaman sebelumnya, maka tidak diragukan lagi bahwa hukum tersebut
harus diubah dan praktiknya harus selaras dengan kebutuhan dan maslahat yang terjadi pada saat
ini15. Berdasarkan asumsinya itu, dan dihubungkan dengan kaidah ‫درء المفاس¬د مق¬دم على جلب المص¬الح‬
sehingga ia berkesimpulan bahwa poligami dapat menjadi haram secara mutlak apabila takut
dengan tidak adanya keadilan.16

‫ فيجب على العلماء النظر في هذه المسئلة‬،‫اما واالمر على ما نرى ونسمع فال سبيل الى تربية االمة مع فشو تعدد الزجات فيها‬
‫ وأن من‬.‫خصوصا ً الحنفية منهم الذين بيدهم االمر وعلى مذهبهم الحكم فهم ال ينكرون أن الدين أنزل المصلحة الناس وخيرهم‬
‫ والضرار فإذا ترتب على شيء مفسدة في زمن لم تكن تلحقه فيما قبله فال شك في وجوب تغيير الحكم‬،‫اصوله منع الضرر‬
‫ قال وبهذا يعلم أن تعدد الزوجات محرم‬.‫ يعني على قاعدة درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬: ‫وتطبيقه على الحال الحاضرة‬
‫العدل‬ ‫عدم‬ ‫من‬ ‫قطعا عند الخوف‬.

Adapun dengan fakta realitas yang kita lihat dan kita dengar, maka tidak ada jalan untuk
mencerdaskan masyarakat yang sudah marak akan persoalan poligami. Maka menjadi wajib bagi
ulama’ untuk melakukan peninjauan ulang dalam persoalan ini. terkhusus hanafiyyah yang
memiliki kekuasaan ditangan mereka serta hukum atas madzhab mereka, mereka tidak
mengingkari bahwa sesungguhnya esensi penurunan agama adalah untuk kebaikan dan
kemashlahatan manusia yang tujuan utamanya adalah mencegah ke-madharat-an. Dan hukum
dharar apabila berkonsekuensi pada kerusakan dalam suatu zaman yang belum pernah ditemui
pada zaman sebelumnya maka tidak ada keraguan untuk mengubah hukum itu dan
menyelaraskan pada keadaan zaman sekarang.

‫وما قال االستاذ االمام ماقاله في التشنيع على التعدد إال لتنفير الذواقين من المصريين وامثالهم الذين يتزوجون كثيرا ويطلقون‬
‫والمدني‬ ‫الديني‬ ‫كثيرا لمحض التنقل في اللذة واالغراق في طاعة الشهوة مع عدم التهذيب‬

Dan Abduh tidak mengatakan dalam makalahnya tentang penolakannya pada praktik poligami
kecuali untuk mengasingkan para orang-orang Mesir dan yang lainnya yang beanyak melakukan
praktik kawin-cerai hanya untuk menuruti kesenangan dan tenggelam dalam hawa nafsu dengan
meniadakan etika moralitas beragama dan bersosial.
Budaya buruk yang terjadi pada zaman Abduh adalah budaya kawin-cerai yang pada
praktiknya hanya dilakukan untuk memenuhi hawa nafsunya. Menurut Abduh kebiasaan ini telah
menjadi budaya yang berkembang di masyarakat pada zaman itu. Kebiasaan masyarakat ini,
bertolak belakang dengan tujuan pernikahan yaitu untuk membentuk keluarga sakinah.
Menurutnya monogami merupakan kebiasaan orang-orang yang memiliki peradaban. Sedikit
sekali orang-orang yang beradab maju (civil society) yang melakukan poligami.

15
Mahfud. “POLIGAMI DALAM AL-QUR'AN (Studi Komparatif Atas Tafsir Al-Manar
dan Fi Zhilal Al-Qur'an).” Tesis,
Institut PTIQ Jakarta (2021). 158.

16
Abdurrahman, U. “Penafsiran Muhammad ‘Abduh Terhadap Alquran.” AL-'ADALAH: Jurnal Syari'ah dan Hukum Islam
(2017): 38.

12
‫أال إن التهذيب الذي يعرف به االنسان قيمة الحياة الزوجية يمنع صاحبه التعدد لغير ضرورة فهذه الحياة التي بينها هللا تعالى في‬
‫قوله (ومن اياته أن جعل لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة) فلما تتحق على كمالها مع التعدد ال‬
‫سيما إذا كان لغير عذر ولذلك يقل في المهذبين من يجمع بين الزوجين و أنني ال اعرف احد من اصحابي في مصر وسورية له‬
‫واحدة‬ ‫زوج‬ ‫من‬ ‫أكثر‬.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya moralitas yang masyhur dalam kehidupan manusia dalam soal
pernikahan adalah prrinsip untuk mencegah poligami kecuali karena keterpaksaan kondisi, inilah
kehidupan yang telah dijelaskan oleh Allah dalam ayat ;

‫ومن اياته أن جعل لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة‬

Jarang sekali poligami itu tercapai kesempurnaannya, lebih-lebih ketika dilakukan tanpa udzur,
oleh karena itu, sangat sedikit dari orang-orang yang bermoral yang melakukan poligami, bahkan
aku (syaikh) tidak menemui walupun satu dari shohibku dari Mesir dan Suriah yang memiliki
lebih dari satu istri.

Poligami sangat berlawanan dengan esensi dan nilai kesempurnaan dari pernikahan, menafikan
ketenangan dalam diri, serta kasih dan sayang diantara anggota keluarga. Karena fitrahnya suatu
pasangan adalah seorang suami dan seorang isteri. Abduh mengatakan:17

‫الزوجة‬ ‫أن التعدد خالف االصل وخالف الكمال وينافي سكون النفس والمودة والرحمة التي هي اركان الحياة‬

Sesungguhnya poligami merupakan sesuatu yang bertentangan dengan esensi dan bertentangan
dengan takmiliyyah dalam hal tujuan berkeluarga, poligami menafikan prinsip sakinah,
mawaddah, wa rahmah yang ketiganya merupakan orientasi dalam jalinan pernikahan.

Uraian diatas merupakan beberapa analisis sosial dari Tafsir Al-Manar tentang persoalan
poligami, Pandangan Muhammad Abduh ini telah mendobrak paradigma penafsiran sebelumnya,
yang terikat secara ketat terhadap teks ayat, tanpa memberikan ruang pertimbangan terhadap
pemahaman teks ayat tersebut yang dihubungkan dengan konteks sosial dan dinamika perubahan
jaman. Paradigma penafsiran sebelumnya, yang memandang kebolehan berpoligami sebagai
aturan normatif yang bersifat tetap sudah selayaknya dilakukan pengkajian ulang. Disamping itu,
Abduh juga mengkritik penafsiran yang memperbolehkan poligami secara longgar, di mana
penafsiran pendahulunya yang hanya didasarkan pada kajian-kajian tekstual serta argumen-
argumen kebahasaan semata, tanpa menghubungkan ideal moral yang terkandung dalam ayat-
ayat Al-Qur’an itu dengan misi sosialnya.18 Sehingga, terlepas dari kontroversinya, pemikiran
Abduh pun dirasa berhasil untuk mendobrak fanatisme sektarian yang telah mengakar dan
membudaya berabad-abad lamanya, serta dapat memberikan warna pada penafsiran Al-Qur'an
17
Madiha Dzakiyah Chairunnisa, Hilman Purnama, Ila Juanda. “Poligami dalam
Perspektif Tafsir Modern Al-Manar.”
ISTINBATH (2020): 54.

18
Abdurrahman, U. “Penafsiran Muhammad ‘Abduh Terhadap Alquran.” AL-'ADALAH: Jurnal Syari'ah dan Hukum Islam
(2017): 40.

13
melalui pendekatan lain, yaitu pendekatan yang mengedepankan analisis sosial-faktual sekaligus
menjadi bukti bahwa Al-Qur’an benar-benar shalihun li kulli zaman wa makan.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Muhammad Abduh atau 'Abduh (1849 - 11 Juli 1905) adalah seorang teolog Muslim, Mufti
Mesir, pembaharu liberal, pendiri Modernisme Islam dan seorang tokoh penting dalam teologi
dan filsafat yang menghasilkan Islamisme moderen.
Sayyid Rasyid Ridha merupakan murid dari Muhammad Abduh dan termasuk salah satu
muridnya yang terdekat. Ia memiliki nama lengkap Muhammad Rasyid Ridha bin Ali Ridha bin
Muhammad Syamsuddin bin As-Sayyid Bahauddin bin Sayyid Manlan Ali Khalifah Al-
Bagdadiy. Ia dilahirkan di Qalmun, sebuah kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada
27 Jumadil Ula 1282 H. Bertepatan dengan tahun 1865 M.

2. Ada beberapa prinsip yang menjadi karakter Tafsir Al-Manar, yaitu:


 Kandungan Al-Qur’an bersifat universal
 Al-Qur’an sebagai sumber utama syariat Islam
 Kritis dalam menerima hadist-hadist Nabi
 Teliti terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak israilliyyat
 Merelevansikan penafsiran Al-Qur’an sesuai kebutuhan masyarakat

Tafsir Al-Manar memiliki corak penafsiran sebagai berikut:


 Adabi Ijtima’i
 Ilmi

3. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, duet maut pemikir kontemporer telah berhasil
mendobrak sekat-sekat sectarian yang telah mengakar rumput dalam tradisi keilmuan islam,
beliau berdua berhasil mengupas tuntas persoalan poligami dengan pendekatan sosio-kultural
direlevansikan dengan haliyyah masa kini, menurutnya persoalan poligami yang selama ini sudah
dengan nyaman menduduki hukum normative (karena secara tekstual sudah di-nash dalam Al-
Qur’an) perlu dikaji ulang, beliau berpendapat bahwa poligami pada masa kini begitu berpotensi
untuk membuat keguncangan dalam kehidupan rumah tangga sehingga tujuan berumah tangga
yakni Sakinah, mawaddah, wa Rahmah menjadi terancam, serta sangat bertentangan dengan
prinsip dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih. Berangkat dari itu beliau menganalisis
persoalan poligami dalam ranah sosial terutama di mesir, dan mengambil satu kesimpulan bahwa

15
poligami merupakan sesuatu yang boleh dilakukan, akan tetapi dengan persyaratan yang sangat
ketat (Amrun Mudhoyyiqotun), yaitu dengan bersikap Adil. Bahkan, apabila dianalisis lebih
spesifik, secara implisit beliau relative melarang praktik poligami, karena berpotensi merusak
tatanan system dan tujuan berumah tangga, yang kemudian akan merambat pada persoalan umat
secara umum.

16
Daftar Pustaka

Abduh, M. (1989). Risalatuttauhid. (K. F. A.N., Trans.) Jakarta: Bulan Bintang.


Abdurrahman, U. (2017). Penafsiran Muhammad ‘Abduh Terhadap Alquran. AL-'ADALAH:
Jurnal Syari'ah dan Hukum Islam, 25-46.
Busool, A. N. (1976). Shaykh Muhammad Rashd̄ Ridha Relations With Jamaluddin Al-Afghani
and Muhammad Abduh. The Muslim World, 272-286.
Faiz, F. (2002). Hermeneutika Qur'ani antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta:
Qalam.
Habieb, S. A. (1987). Ensiklopedi Ijma': Persepakatan 'Ulama' Dalam Hukum Islam. (K. A.
Mahfudz, Trans.) Jakarta: Pustaka Firdaus.
Imarah, M. (1988). Al-Imam Muhammad 'Abduh Mujaddid Ad-Dunya bi Tajdid Ad-Din. Kairo:
Dar Asy-Syuruq.
Madiha Dzakiyah Chairunnisa, H. P. (2020). Poligami dalam Perspektif Tafsir Modern Al-
Manar. ISTINBATH, 29-60.
Mahfud. (2021). POLIGAMI DALAM AL-QUR'AN (Studi Komparatif Atas Tafsir Al-Manar
dan Fi Zhilal Al-Qur'an). Tesis, Institut PTIQ Jakarta.
Sam'un. (2012). POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD 'ABDUH. AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, 101-116.
Shihab, M. Q. (2002). Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah.
Syatahat, M. A. (2002). Manhaj Al-Imam Muhammad Abduh Fi At-Tafsir Al-Qur'an. Kairo:
Nasyr Rasail.

17

Anda mungkin juga menyukai