IBNU SINA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Mohammad Lukman Chakim, M.H
Disusun Oleh:
Puji Syukur Alhamdulilah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Makalah yang berjudul
“Ibnu Sina” pada mata kuliah Filsafat Islam dengan tepat pada waktunya. Tidak lupa shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang mana
telah menuntun kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang yakni Dinul Islam.
Adapun tujuan utama pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Islam. Disamping itu dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menjadikan sarana
dan prasarana pembelajaran serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para
pembaca.
Selanjutnya makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin. Untuk itu, kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Mohammad Lukman Chakim, M.H selaku
dosen pengampu mata kuliah Filsafat Islam yang sudah memberikan sedikit gambaran terkait
dengan mata kuliah tersebut sehingga dapat kami selesaikan dengan baik.
Terlepas dari ini semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang kami tulis
ini jauh dari kata sempurna yang disebabkan oleh kemampuan dan pengetahuan penulis yang
masih sangat terbatas serta masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca untuk membangun makalah ini menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Kepenulisan ........................................................................................................ 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Filsafat Islam di Dunia Timur ................................................................... 3
2.2 Latar Belakang Ibnu Sina .............................................................................................. 3
2.4 Pemikiran Filsafat Ibnu Sina......................................................................................... 5
2.5 Perbedaan Pemikiran Ibnu Sina dengan Filsuf Lainnya............................................ 6
2.6 Teori Emanasi Ibnu Sina................................................................................................ 9
2.7 Argumentasi Tentang Kenabian Ibnu Sina ................................................................ 11
KESIMPULAN ....................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Mukhtar Gozali, ‘Agama Dan Filsafat Dalam Pemikiran Ibnu Sina’, Jaqfi: Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam,
1.2 (2017), 22–36.
1
1.3 Tujuan Kepenulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan filsafat islam di dunia timur?
2. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang ibnu sina?
3. Untuk mengetahui apa saja karya-karya ibnu sina?
4. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran filsafat ibnu sina?
5. Untuk mengetahui apa perbedaan pemikiran ibnu sina dengan filsuf lainnya?
6. Untuk mengetahui bagaiman teori emanasi ibnu sina?
7. Untuk mengetahui bagaimana argumentasi tentang kenabian ibnu sina?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Maizuddin M Ag, ‘Dr. Juwaini, M.Ag’.
3
• Al-Kindi
• Al-Farabi
• Ibnu Maskawai
• Ibnu Sina
• Ikhwan Al Shafa
• Al-Ghazali
3
Ag.
4
2.3 Karya-Karya Ibnu Sina
1. As-syifa
Buku "As-Syifa" (The Book of Healing) adalah salah satu karya terbesar dari Ibnu
Sina (Avicenna). Ini adalah sebuah ensiklopedia filsafat yang sangat luas yang
mencakup berbagai topik, termasuk metafisika, logika, etika, dan ilmu pengetahuan
alam. Ibnu Sina menulisnya dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang ilmu pengetahuan dan filsafat bagi pembaca.
3. An-Najāt
Ini adalah ringkasan dari karya sebelumnya, "As-Syifa", yang ditujukan untuk
membantu pembaca memahami konsep-konsep filsafat yang kompleks dengan lebih
mudah.4
Metafisika, di sisi lain, membantu manusia dalam memahami hakikat keberadaan dan
hubungan antara realitas fisik dan spiritual. Ibnu Sina memperjuangkan konsep tentang
Tuhan yang dia yakini merupakan sumber segala keberadaan, dan bahwa pemahaman
tentang Tuhan adalah kunci untuk memahami alam semesta secara keseluruhan.
4
Herwansyah; “pemikiran filsafat ibnu sina”, el-fikr, vol 1, no 1, 2017
5
Selain itu, Ibnu Sina juga menekankan pentingnya etika dalam kehidupan manusia.
Baginya, tujuan utama filsafat adalah untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan dan
kesempurnaan moral. Dalam karya-karya seperti "Al-Qasida al-Nuniya" (The Ode of
Contentment), Ibnu Sina merenungkan tentang kehidupan manusia dan mencari jalan
menuju kebahagiaan sejati. Dia berpendapat bahwa kebahagiaan sejati dapat dicapai
melalui pengembangan karakter moral dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri
sendiri dan Tuhan.
Lebih lanjut, Ibnu Sina melihat filsafat sebagai landasan yang kuat bagi ilmu
pengetahuan lainnya, termasuk kedokteran dan matematika. Dalam karyanya yang terkenal,
"Al-Qanun fi al-Tibb" (The Canon of Medicine), dia menggabungkan prinsip-prinsip
filsafat dengan praktik kedokteran, membantu memperkuat dasar ilmiah kedokteran pada
masanya. Pandangan ini menegaskan pentingnya akal rasional dalam mencapai
pengetahuan yang benar dan kemajuan ilmiah.
Secara keseluruhan, pandangan filsafat Ibnu Sina menyoroti pentingnya akal, logika,
dan refleksi dalam mencari pemahaman yang lebih dalam tentang alam semesta dan tujuan
kehidupan manusia. Dia percaya bahwa melalui penggunaan akal yang bijaksana, manusia
dapat mencapai pengetahuan yang mendalam tentang realitas dan mencapai kebahagiaan
sejati. Dengan demikian, warisannya dalam filsafat tidak hanya memengaruhi pemikiran di
dunia Islam, tetapi juga berdampak pada perkembangan filsafat di Barat.5
filsafat Islam tumbuh dan berkembang di bawah naungan Islam, dipengaruhi oleh
ajarannya dan hidup di bawah peradabannya. Adapun tokoh-tokoh dari filsafat Islam yaitu Al
Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Al-Ghazali, Al-Razi. Ibnu Bajjah,Ibnu Rusyd dan masih
banyak yang lainnya.6
menurut Ibnu Sina, Filsafat emanasi atau al-faidh adalah teori pancaran tentang
penciptaan alam, yang mana alam ini maujud karena limpahan dari Yang Mahasa Esa (The One).
Ibnu Sina sepertinya mengalami kesulitan dalam menjelaskan masalah ini, yaitu bagaimana
terjadinya yang banyak (alam) yang bersifat materi berasal dari Allah yang imateri dan Maha
Sempurnah. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah penciptaan alam, melainkan ia adalah
5
Gozali.
6
Y Pangestutiani, A N Habibah, and, ‘Perbandingan Pemikiran Filosof Muslim: Filsafat Jiwa’, Ices, 2019, 332–39.
6
penggerak pertama (Prime Cause). Untuk memecahkan masalah ini, maka Ibnu Sina
memecahkan dengan teori emanasi (pancaran). Sebenarnya teori emanasi ini bukanlah berasal
murni dari hasil renungan Ibnu Sina. Tetapi berasal dari Neoplatonisme yang menyatakan hal
ini terjadi (wujud alam) padahal pancaran dari Yang Esa.
filsafat emanasi Ibnu Sina tidak jauh berbeda dengan emanasi menurut al-Farabi, bahwa
dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua, dan langit
pertma: demikian seterusnya, sehingga tercappai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal kesepuluh
memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawa bulan. Akal pertama adalah
malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril.7
Menurut al farabi Al-Farabi cenderung memahami penciptaan alam oleh Tuhan melalui
proses emanasi sejak zaman azali sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh Tuhan bukan
dari tidak ada menjadi ada. Menurut Al-Farabi, hanya Tuhan saja yang ada dengan sendiri-Nya
tanpa sebab dari luar diri-Nya, dan karena itu ia sebut Waajib alWujuud li zaatih, (yang mesti
ada karena diri-Nya sendiri). Dari-Nya memancar segenap alam ciptaan-Nya, baik yang bersifat
rohani (imateri) maupun yang bersifat jasmani (materi). Segenap alam tidaklah ada dengan
sendirinya, tapi akan karena sebab diciptakan/dipancarkan oleh Tuhan. Oleh karena itu Al-
Farabi menyebut alam itu mukmin al-wujuud li zaatih, wajib al-wujuud li gayrih (boleh ada
dilihat dari dirinya, mesti ada karena sebab diluar dirinya).
Pancaran (emanasi) alam dari Tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas Tuhan memikirkan
(ber-ta’aqqul terhadap) diri-Nya. Aktivitas memkirkan itu menjadi sebab bagi pemancaran
segenap alam ciptaan-Nya, seperti pemancaran sinar dari matahari. Dengan mengembangkan
teori emanasi Plotinus, Al-Farabi menghasilkan teori emanasi, yang dapat diungkapkan sebagai
berikut. Tuhan (yakni Wujud I), karena memikirkan diri-Nya, memancarkan Akal I (Wujud II).
Akal I, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal II (Wujud III), dan, karena memikirkan
dirinya sendiri, memancarkan lingkaran langit pertama (al-samaa al-uula), yakni langit
terbesar/terluas dan terjauh dari bumi. Akal II, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal
III (wujud IV), dan, karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan lingkaran langit kedua
yang penuh dengan bintang-bintang tetap. (al-kawaakib al-saabitah). Akal III, karena
memikirkan Tuhan, memancarkan Akal IV (wujud V), dan, karena memikirkan dirinya sendiri,
memancarkan lingkaran langit ketiga, tempat beradanya bola Saturnus (kurrat al-Zuhal). Akal
IV, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal V (wujud VI), dan, karena memikirkan
dirinya sendiri, memancarkan langit keempat, tempat beradanya bola Yupiter (kurrat al-
7
Herwansyah; “pemikiran filsafat ibnu sina”, el-fikr, vol 1, no 1, 2017
7
Musytari). Akal V, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal VI (wujud VII), dan, karena
memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit kelima, tempat beradanya bola Mars (kurrat
al-Mirrikh). Akal VI, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal VII (wujud VIII), dan,
karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit keenam, tempat beradanya bola
matahari (kurrat al-Syams). Akal VII, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal VIII
(wujud IX), dan, karena memancarkan dirinya sendiri, memancarkan langit ketujuh, tempat
beradanya bola Venus (kurrat al-Zahrah).
Akal VIII, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal IX, dan, karena memikirkan
dirinya sendiri, memancarkan langit kedelapan, tempat beradanya bola Merkuri (kurrat al-
Ataarid). Akal IX, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal X, dan, karena memikirkan
dirinya sendiri, memancarkan langit kesembilan, tempat beradanya bola Bulan (kurrat al-
Qamar). Akal X, karena memikirkan Tuhan dan dirinya, hanya memancarkan bumi dan jiwa
yang berda di lingkungan bumi. Akal I sampai dengan Akal X disebut juga oleh Al-Farabi
dengan sebutan al-asy-ya’ al-mufariqah (sesuatu yang terpisah dari materi, atau sesuatu yang
imateri/rohani), yang pada hakikatnya adalah akal-akal dan sekaligus ma’qulat (obyek-obyek
pemikiran).8
berbeda dengan pendapat beliau, Menurut al-Ghazali teori ketuhanan (ilahiyyat) al-
Farabi dan Ibnu Sina yang teperngaruhi oleh filsafat Aristoteles, lebih me-Mehasuci-kan dan
me-Mahaabstrak-kan Tuhan dibandingkan dengan yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah,
menjauhkan Tuhan secara total dari segala yang memiliki cela inderawi dan materi. Tuhan
digambarkan secara rasional murni, yang lebih mendekati teori transenden dan tak terhingga
yang dikembangkan oleh filosof-filosof modern.Lebih jelas al-Ghazali mengemukakan,
pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina tersebut jelas-jelas tidak bisa diterima dalam pandangan
Islam. Sebab, dalam ajaran Islam (yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits) Allah merupakan
Dzat yang Pencipta (al-Khaliq), yaitu yang menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau alam
dikatakan qadim, tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan dengan demikian Tuhan
bukanlah Pencipta.9
bagi al-Ghazali, filsafat itu ada sesatnya. Namun, ada pula benarnya. Selama tidak
bertentangan dengan akidah, maka fisika, logika, matematika, geometri yang merupakan bagian
dari ilmu filsafat, bisa diterima. Tapi, jika bertentangan dengan akidah, seperti metafisika, dan
unsur-unsur dalam fisika maupun psikologi (saat itu psikologi bagian dari ilmu filsafat), maka
8
Andri Ardiansyah, ‘Pemikiran Filsafat Al-Farabi Dan Ibnu Sina’, TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan
Kemanusiaan, 4.2 (2020), 168–83.
9
Ahmad Atabik, ‘Telaah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat’, Fikrah, 2.1 (2014), 19–40.
8
bagian dari filsafat tersebut harus ditolak. Al-Ghazali telah meletakkan filsafat pada tempatnya.
Dalam karyanya, Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukkan kekeliruan pemikiran para
filosof Yunani dan para pengikut mereka seperti al-Farabi (m. 950) dan Ibnu Sina (m.
1037). Tahafutul Falasifah memuat 20 persoalan filosofis.
Dari kedua puluh persoalan tersebut, tiga persoalan menyebabkan kekufuran, yaitu:
pemikiran para filosof bahwa alam (yang dimaksud dengan alam adalah apa saja ciptaan Allah,
termasuk alamul ghaib) adalah tidak bermula; Tuhan mengetahui hal-hal partikular dengan cara
yang universal, dan tidak ada kebangkitan fisik di akhirat kelak. Bertentangan dengan pemikiran
Ibnu Sina, al-Ghazali, berpendapat tidak ada keharusan logika untuk menyimpulkan alam tidak
bermula. Bagi al-Ghazali, tidak mustahil bagi akal untuk berfikir bahwa Tuhan ada dan tidak
ada apa pun bersama-Nya. Tuhan mencipta alam dari ketiadaan. Adanya ketiadaan sebelum
penciptaan alam bukanlah sesuatu yang mustahil.
9
Analoginya sering kali diberikan dengan cahaya yang memancar dari sumbernya; semakin jauh
dari sumbernya, semakin redup atau kurang intens cahayanya.
Teori emanasi Ibnu Sina memiliki dampak yang signifikan dalam pemikiran filosofis
dan teologis di dunia Islam, serta di Eropa Barat pada Abad Pertengahan, di mana pemikiran
Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan mempengaruhi pemikiran para filsuf
Kristen seperti Thomas Aquinas.
Teori emanasi Ibnu Sina adalah teori yang menggambarkan bagaimana alam semesta
berasal dari satu sumber asal atau substansi yang murni, yakni Allah. Emanasi merupakan proses
di mana Tuhan memancarkan diri-Nya untuk menciptakan realitas alam semesta. Ibnu Sina
menggunakan konsep ini untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan (Dzat Tertinggi) dan
realitas lain yang lebih rendah.
Kalau kaum mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid berangkat ke peniadaan sifat-
sifat tuhan, dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain wujud Allah swt., maka kaum filosof yang
dipelopori al-farabi, berangkat melalui paham emanasi atau al-faid. Lebih dari Mu’tazilah dan
kaum sufi, al-farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan
berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur, maka dalam pemikiran
Tuhan terhadap pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat paham tauhid tidak
murni lagi.
Menurut al-farabi, Allah swt. Menciptakan ala mini melalui emanasi, dalam arti bahwa
wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir)
Tuhan tentang zat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam.
Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt. Tentang zat-Nya adalah sebab dari adanya ala mini.
Dalam arti bahwa Ia-lah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berpikirnya Allah
swt. Tentang zat-Nya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan
ilmu itu adalah daya (al-qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup
tuhan mengetahui-Nya.
Untuk menjauhkan Tuhan dari arti banyak, al-farabi sebagai Plotinus, berpendapat
bahwa ala mini memancar dari Tuhan dengan melalui akal-akal yang jumlahnya sepuluh. Antara
alam materi dan Tuhan terdapat pengantara. Sedikit berbeda dengan al-farabi, ibnu sina juga
memiliki filsafat Emanasi yang sama, namun bagi Ibnu Sina akal-akal itu melekat, dana kal
kesepuluh yang mengatur bumi adalah Jibril.
Menurut ibnu sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari
Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dari-Nya-lah memancar segala yang
ada. Ia berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib-wujud-nya sebagai
10
pancaran dari Allah swt., dan sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya atau
necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, diri-Nya sebagai wajib wujud-nya, dan diri-nya
sebagai mumkin wujud-nya. Dari pemikiran tentang tuhan, timbul akal-akal. Dari pemikiran
tentang diri-nya sebagai mumkin wujud-nya timbul langit-langit.
Dari akal pertama memancar akal kedua, jiwa, dan langit pertama; dst. Hingga akal
kesepuluh, jiwa, dan bumi. Dari akal kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi
yang berada di bawah bulan, termasuk jiwa manusia. Akal pertama adalah malaikat tertinggi
dan akal kesepuluh adalah Jibril.10
Sebagai al-farabi, kemudian ibnu sina mengembangkan teori emanasi ini sebagai bentuk untuk
mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah tidak bisa menciptakan alam
yang banyak jumlah unsurnya ini secara langsung. Jika Allah berhubungan langsung dengan
alam yang plural ini tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural, Hal ini termasuk citra
tauhid.
Sejauh menyangkut doktrin penciptaan emanative ibnu sina, orang dapat dengan mudah
melihat bahwa teori tersebut didasarkan pada prasangka premis berasal dari Wahyu dan filsafat
yang menyatakan itu Tuhan adalah wujud yang unik dan sangat sederhana.
Jenis-jenis emanasi, Adapun proses terjadinya pancaran tersebut adalah Ketika Allah
wujud (bukan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (berta’aqul) terhadap zat-nya
yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini
memancarkan akal kedua, jiwa pertama, dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai
akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan
hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi
keempat unsur pokok yaitu: air, udara, api, dan tanah. Berlainan dengan Al-farabi, ibnu sina,
akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat
mungkin jika di tinjau dari hakikat dirinya.11
10
Ahmad Baharuddin, ‘Oleh : 204’, 15 (2015), 204–14.
11
Nurul Aini, ‘Proses Penciptaan Alam Dalam Teori Emanasi Ibnu Sina’, Jaqfi: Jurnal Aqidah Dan Filsafat
Islam, 3.2 (2020), 55–75.
11
dengan Akal Aktif tanpa harus bekerja keras. Selain dari itu, Ibnu Sînâ juga mengakui
pernyataan al-Fârâbî bahwa kenabian juga terjadi akibat emanasi dari Akal Aktif. Pernyataan
yang mendasarkan pada pencapaian Akal Aktif tersebut menuai berbagai berdebatan di kalangan
dunia filosof. Ibnu Sînâ dan alFârâbî berbeda dari filosof muslim lainnya seperti al-Ghazâlî,
Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyyah, al-Jâbirî. Al-Ghazâlî, sangat menentang teori kenabian dari al-
Fârâbî dan Ibnu Sînâ. Ibnu Sînâ mengakui bahwa kenabian itu terjadi akibat emanasi dari Akal
Aktif, selain dari itu juga nabi memiliki daya suci yang disebut sebagai al-qudsî alqudsî (intuisi
suci).
Menurut Ibnu Sînâ, akal berfungsi untuk mempertimbangkan sesuatu dalam membuat
definisi mengenai bentuk-bentuk inderawi yang telah diterangi Akal Aktif, sehingga bentuk-
bentuk imajinatif menjadi sebuah konsep abstrak yang tercetak dalam fakultas rasional, baik
dalam bentuk definitif maupun nalar korelasional, semuanya telah dipersiapkan dan terpancar
dari Akal Aktif. Hal demikian menjadi akibat bagi nabi untuk berada pada posisi paling tinggi
di antara seluruh manusia.
Hubungan antara jiwa dan badan menjadi dasar bagi manusia dalam memperoleh akal
materil atau al-‘Aql al-Mâddah, dari interaksionisme Platonisme dan Descartes menjelaskan
bahwa badan dan jiwa meruapakan dua substansi yang saling mempengaruhi antara satu dengan
yang lainnya. Kedua komponen itu membentuk manusia yang memiliki kecerdasan jiwa. Jiwa
yang cerdas merupakan faktor penyebab manusia terangkat derajatnya setingkat malaikat. Jiwa
inilah yang dapat membedakan manusia dengan binatang.
Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar kecerdasan jiwanya
dan cenderung mengikuti ajakan jiwa menuju kebaikan. Dalam diri nabi telah terbentuk akal
materil yang biasa disebut dengan al-‘Aql al-Mâddah. Manusia yang di dalam dirinya terdapat
akal materil, akal ini terbentuk dari intelek teoretis yang menjadikan manusia (nabi) tidak
mampu disetarai oleh manusia seperti filosof.
Manusia demikian dapat menempati derajat akal yang sempurna. Berdasarkan pandangan Ibnu
Sînâ, Nabi adalah manusia yang telah memperoleh fitrah pengetahuan yang berhubungan secara
langsung dengan Akal Aktif.
Manusia biasa mampu memperolehnya hanya dengan memahami satu demi satu apa-
apa yang terjadi berbeda dengan nabi yang memahami segala sesuatu secara menyeluruh dalam
waktu yang bersamaan. Menurut Ibnu Sînâ kenabian tidak dapat diperoleh dengan akal potensial
saja, melainkan dapat diperoleh nabi yang memiliki daya suci. Ia menjelaskan bahwa akal
12
potensial yaitu kekuatan akal yang dapat memahami sesuatu yang khusus merasuk ke dalam
alam pikiran nabi sebagai hasil persenyawaannya dengan Akal Aktif.12
12
Radiyatun Adabiyah, ‘Kenabian Perspektif Ibnu Sina’, Refleksi Jurnal Filsafat Dan Pemikiran Islam, 17.1
(2017), 61–78.
13
KESIMPULAN
Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina telah melampaui kemasyhuran al-
farabi dan al-kindi. Ia lahir dalam kondisi pemerintahan yang masih labil. Ia tumbuh
menjadi seorang ilmuwan dengan berbagai bidang keahlian. Di antaranya: filsafat, logika,
pengobatan. Avicenna sebutannya di Barat dikenal sebagai dokter melampaui kemasyhuran
sebagai filosof. Mereka menggelarnya “the prince of the physicians” dan di dunia islam
disebut dengan al-shaikh al-rais / pemimpin utama para filosof.
Dalam filsafat ia juga mempunyai paham emanasi dan akal-akal baginya adalah
melekat. Wujud ia bagi menjadi tiga bagian, wajib, mungkin, dan mustahil. Filsafatnya
tentang jiwa dan akan lebih terperinci dan sempurna dari falsafat al-farabi.
Pemikiran ibnu sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabi lah, manusia yang paling
unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal actual yang sempurna tanpa
Latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adabiyah, Radiyatun, ‘Kenabian Perspektif Ibnu Sina’, Refleksi Jurnal Filsafat Dan Pemikiran
Islam, 17.1 (2017), 61–78
Ag, Maizuddin M, ‘Dr. Juwaini, M.Ag’
Aini, Nurul, ‘Proses Penciptaan Alam Dalam Teori Emanasi Ibnu Sina’, Jaqfi: Jurnal Aqidah
Dan Filsafat Islam, 3.2 (2020), 55–75
Ardiansyah, Andri, ‘Pemikiran Filsafat Al-Farabi Dan Ibnu Sina’, TAJDID: Jurnal Pemikiran
Keislaman Dan Kemanusiaan, 4.2 (2020), 168–83
Atabik, Ahmad, ‘Telaah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat’, Fikrah, 2.1 (2014), 19–40
Baharuddin, Ahmad, ‘Oleh : 204’, 15 (2015), 204–14
Gozali, Mukhtar, ‘Agama Dan Filsafat Dalam Pemikiran Ibnu Sina’, Jaqfi: Jurnal Aqidah Dan
Filsafat Islam, 1.2 (2017), 22–36
Pangestutiani, Y, A N Habibah, and, ‘Perbandingan Pemikiran Filosof Muslim: Filsafat Jiwa’,
Icess, 2019, 332–39
15