Anda di halaman 1dari 17

FILSAFAT ISLAM IBNU SINA

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam

Dosen Pengampu:

Sholehuddin Al Ayubi, M.Pdi.

Disusun Oleh:

Abdul Ghofur (20170101858)

M. Toyib (20170101870)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-AZHAR
MENGANTI GRESIK
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang telah memberikan hidayah serta
taufik-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam
tidak lupa kami ucapkan untuk junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Makalah ini akan membahas tentang “Filsafat Islam Ibnu Sina”, yang mana
penyusunan makalah ini guna untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah
Filsafat Islam.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa kelancaran dalam
penyelesaian makalah ini tidak lain berkat bantuan dan bimbingan dari orang lain. Untuk itu,
kami ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. H. Mulyadi, M.M., selaku pemilik STAI Al-Azhar Menganti Gresik
2. Bapak Drs. Imam Bahrozi, M.M., selaku ketua STAI Al-Azhar Menganti Gresik
3. Bapak Pristiwiyanto, S.H, M.H., selaku dosen wali kelas IV C PAI Madin STAI Al-Azhar
Menganti Gresik
4. Bapak Suparno, M.Fil.I, selaku Ketua Program PAI STAI Al-Azhar Menganti Gresik
5. Bapak Sholehuddin Al Ayubi, M.Pdi., selaku dosen pengampu Filsafat Islam STAI Al-
Azhar Menganti Gresik

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbang pemikiran bagi pihak
yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Sidoarjo, 08 April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
BAB I ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
C. Tujuan .............................................................................................................................. 1
BAB II....................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 2
A. Riwayat Hidup Ibnu Sina ................................................................................................. 2
B. Falsafah Emanasi (al-Fayd) ............................................................................................. 3
C. Falsafah Jiwa (al-Nafs)..................................................................................................... 5
D. Falsafah Kenabian (al-Nubuwwah) ................................................................................ 10
E. Falsafah Wujud (al-Wujûd) ........................................................................................... 11
BAB III ................................................................................................................................... 13
PENUTUP .............................................................................................................................. 13
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu pembendaharaan ilmu dalam Islam adalah Filsafat Islam, ilmu ini merupakan
produk sumbangan pemikiran para filosof muslim, yang berusaha merekonsilidasikan
pemikiran filsafat dengan ajaran Islam yang sarat dengan muatan-muatan intitusi ilmiah.
Para filosof muslim yang corak berfikir filsafatnya, memang di satu segi terpengaruh
oleh cara berfikir para filosof Yunani (khususnya), namun demikian, mereka tidak begitu saja
menerima pemikiran filsafat para filosof Yunani tersebut. Untuk itu, mereka secara intens
berupaya menyelaraskan antara agama dengan logika wahyu dan filsafat dengan logika rasio.
Makalah ini mencoba membahas salah satu sosok filosof muslim terkemuka, Ibnu Sina.
Menarik untuk dikaji, karena corak berfikir filosofisnya banyak diilhami oleh cara berfikir
filsafat Plato daan Aritoteles. Namun demikian, ia tidak meninggalkan jati dirinya sebagai
seorang filosof muslim. Ia telah berhasil menampilkan pemikiran filosofis dengan coraknya
tersendiri yang belum pernah ada dalam wacana pemikiran para filosof Yunani sebelumnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka memperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana riwayat hidup Ibnu Sina?
2. Bagaimana falsafah emanasi Ibnu Sina?
3. Bagaimana falsafah jiwa Ibnu Sina?
4. Bagaimana falsafah kenabian Ibnu Sina?
5. Bagaimana falsafah wujud Ibnu Sina?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka memperoleh tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui riwayat hidup Ibnu Sina
2. Mengetahui falsafah emanasi Ibnu Sina
3. Mengetahui falsafah jiwa Ibnu Sina
4. Mengetahui falsafah kenabian Ibnu Sina
5. Mengetahui falsafah wujud Ibnu Sina

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Ibnu Sina


Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan dan kemunduran Daulat Bani Abbasiyah di
mana daerah-daerah yang pada awalnya berada di bawah kekuasaan Khalifah Abbasiyah,
mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri, sementara kota Bagdad sendiri
sebagai pusat pemerintahan Khalifah Abbasiyah telah dikuasai oleh Golongan Bani Buwaihi
pada tahun 334 H. yang kekuasaannya berlangsung sampai tahun 447 H. Demikian pula
daerah Daulat Samani di Bukhara telah berdiri sendiri dan salah satu khalifahnya adalah Nuh
b. Mansur, yang pada masanya inilah, di suatu tempat di daerah Bukhara yang bernama
Afsyana, lahir dan tumbuh seorang bayi yang bernama Ibnu Sina (370 H/980 M).1

Nama lengkap Ibnu Sina ialah Al-Shaykh al-Ra’îs Abû Alî al Husayn b. ‘Abd Allâh b.
Sinâ (Avicenna). Ia dilahirkan dari keluarga yang bermazhab Syi’ah. Di Bukhara, pada
usianya yang sangat muda, 10 tahun ia telah menghafal Alquran dan belajar filsafat, ilmu-
ilmu agama Islam, astronomi, matematika, fisika, metafisika, dan logika. Ia belajar ilmu
kedokteran pada seorang Masehi yang bernama Isâ b. Yahyâ.2

Pada usia 16 tahun, ia telah menjadi seorang dokter dan mampu memecahkan masalah
pengobatan dengan melalui metode eksperimen yang dilakukannya, termasuk mengobati
Sultan Bukhara Nûh b. Mansûr dan berhasil sembuh sehingga ia diberi kesempatan membaca
buku-buku yang ribuan banyaknya dalam perpustakaan sultan. Dengan daya ingat yang
dimilikinya ia dapat menguasai sebagian besar isi buku-buku tersebut walaupun usianya
ketika itu baru 18 tahun.3

Pada usianya yang 22 tahun, ayahnya wafat. Ibnu Sina meninggalkan Bukhara menuju
Jurjan, kemudian ke Khawarizm, akibat kekacauan politik ia berpindah dari suatu daerah ke
daerah lainnya akhirnya sampai ke Hamazan. Oleh Syamsuddaulah, penguasa daerah ini, ia

1
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. ke-2. (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Hal. 168
2
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1989). Hal. 66
3
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafah dalam Islam. Cet. ke-1. (Jakarta: Bumi Aksara,
1991). Hal. 58

2
diangkat menjadi menteri beberapa kali, dan akhirnya ia pindah ke Isfahan dan mendapatkan
sambutan yang istimewa dari penguasa daerah ini.4

Hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang, penuh pula dengan
kesenangan dan kepahitan, dan mungkin saja keadaan inilah yang mempengaruhi
kesehatannya sehingga ia terserang penyakit dingin (cooling) yang tidak bisa disembuhkan
lagi, dan akhirnya beliau wafat di Hamazan pada tahun 428 H./1037 M. dalam usia lima
puluh delapan tahun.5

B. Falsafah Emanasi (al-Fayd)


Sebagaimana gurunya, Al-Fârabî,. Ibnu Sina juga membahas falsafah emanasi (al-
fayd ). Kata al-fayd menurut bahasa berarti juryân al-shay’i bisuhûlah, artinya “mengalirnya
sesuatu dengan mudah”, atau fâda al-anâ’ ay imtilâ’, artinya “tempat itu penuh, tertumpah
isinya”. Menurut filosof, teori emanasi adalah suatu pelimpahan yang pada dasarnya terjadi
dalam bentuk tunggal dan bertingkat secara mekanis-determinis yang akhirnya melahirkan
alam yang beraneka ragam. Dari yang tunggal pertama lahir yang tunggal kedua sebagai satu
kesatuan dan yang pertama adalah akal.6

Teori emanasi ini telah diperkenalkan oleh Al-Kindi yang membuka jalan bagi Al-
Fârabî untuk membahasnya secara terperinci, yaitu dimulai dari Tuhan sebagai “Wujud
Pertama” dan “Akal Murni” (al-‘aql al-muhaddah) di mana ia sebagai subjek pikir sekaligus
menjadi objeknya. Dengan ta’aqqul (berpikir) mulai ciptaan Tuhan dengan pelimpahan,
wujud kedua dalam urutan emanasi yang disebut al-‘aql al-wwal) dari “akal pertama” ini ber-
ta’qqul, maka terwujudlah al-‘aql al-thânî (demikian seterusnya sampai kepada “akal
kesepuluh” (al-‘aql al-‘âshir) disebut juga dengan (al-‘aql al-fa’âl).7

Pada dasarnya teori emanasi Ibnu Sina adalah pengeluaran akalakal sebagaimana
yang dikemukakan oleh gurunya, Al-Fârabî. Namun ada bedanya, yaitu tatkala “Akal

4
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. ke-2. (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Hal. 169
5
Muhammad Atîf al-Irâqî, Al-Falsafat al-Tarbawiyyah ‘Inda Ibn Sinâ. (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1969).
Hal. 37
6
Abu Bakr Ahmad al-Shahrastanî, Al-Milal wa al-Nihal. Juz III. (Kairo: Muassasa al-Halabî, 1968).
Hal. 32
7
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafah dalam Islam. Cet. ke-1. (Jakarta: Bumi Aksara,
1991). Hal. 46

3
Pertama” ber-ta’aqqul mengeluarkan “akal kedua” di sampingnya juga mengeluarkan dua
wujud yang lain, jadi bukan satu wujud saja seperti yang dikemukakan Al-Fârâbî, yaitu apa
yang disebutnya jarama al-fulk al-‘aqsâ (langit dengan semua planetnya) dan nafs al-fulk al-
‘aqsâ (jiwa dari langit dengan semua planetnya).8

Jadi letak perbedaan antara keduanya adalah teori emanasi Al-Fârâbî mengalirkan
bentuk ganda, (thanâwiyyah), yaitu “Akal Pertama” berpikir tentang asalnya yang wâjib al-
wujûd dan berpikir tentang dirinya sendiri yang mumkin al-wujûd , sedangkan emanasi Ibnu
Sina mengalirkan bentuk tiga-tiga (thalâthiyyah), yaitu “Akal Pertama” berpikir terhadap
Allah sebagai asal kejadiannya, berpikir terhadap dirinya yang wâjib al-wujûd dan berpikir
pada dirinya yang mumkin al-wujûd. Perbedaan pandangan ini merupakan jalan keluar
terhadap kesulitan yang dialami oleh para filosof Yunani dahulu kala.9
Menurut Ibnu Sina, falak itu mempunyai jiwa (nafs) dan jiwa itulah yang
menggerakkan falak secara langsung, sementara al-‘aql hanya menggerakkan falak dari jauh.
Al-‘aql itu sendiri tetap (permanen) sebab ia terasing (mufâraq) dari benda falak, sedangkan
jiwa berhubungan langsung dengan benda falak, dan pada al-‘aql itu ada sesuatu hal yang
disebut al-khayr (kebaikan), kebaikan inilah yang menjadi tujuan falak untuk mencapai
kesempurnaan dirinya. Untuk mencapai kesempurnaan itu falak lalu berputar mengelilingi
al‘aql al-mufâriq-nya. Namun demikian, maksud tersebut tidak akan dicapai sebab tiap-tiap
falak hanya mampu mencapai suatu tingkatan kesempurnaan dalam lingkungan akalnya.,
Oleh karena itu, hanya “akal pertama” yang paling sempurna dibandingkan akal-akal yang
lain karena ia merupakan limpahan langsung dari Tuhan, sedangkan “akal kedua” lebih
rendah dari “akal pertama”, dan “akal ketiga” lebih rendah dari “akal kedua” dan
seterusnya.10

Dengan demikian menurut Ibnu Sina dengan terlimpahnya “akal pertama” dari
Tuhan, dan seterusnya hingga kepada “akal kesepuluh” .tidak dimaksudkan oleh Tuhan dan
tidak pula di atas tabiatnya dengan alasan bahwa kalau Tuhan menginginkan sesuatu untuk
diriNya atas pelimpahan-Nya kepada “akal pertama”, maka itu berarti barang yang diingini

8
Poerwantana, Seluk-Beluk Filsafat Islam. Cet. ke-3. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993). Hal. 148
9
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafah dalam Islam. Cet. ke-1. (Jakarta: Bumi Aksara,
1991). Hal. 64
10
Poerwantana, Seluk-Beluk Filsafat Islam. Cet. ke-3. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993). Hal. 149

4
itu lebih tinggi tingkatannya dari pada yang mengingini, yaitu Tuhan sendiri, sehingga
pelimpahan berjalan di atas kerelaan yang dipikirkan (al-fayd ridâ’ ma’qûl) oleh Tuhan.11

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Ibnu Sina, “Akal Pertama”
mempunyai dua sifat; yaitu sifat wâjib wujûd-nya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat
mumkin wujud-Nya jika ditinjau dari hakekat dirinya.12 Dengan demikian “Akal Pertama” ini
mempunyai tiga objek pemikiran, yaitu Tuhan, Diri-Nya sebagai wâjib wujûd-Nya, dan
Diri-Nya sebagai mungkin wujûd-nya. Dari pemikiran tentang Tuhan, timbul akal-akal,
sementara pemikiran tentang diri-Nya sebagai wâjib wujûd-Nya timbul jiwa-jiwa, sedangkan
pemikirannya tentang diri-Nya sebagai mungkin wujûdNya timbul langit-langit.13

C. Falsafah Jiwa (al-Nafs)


Menurut Ibnu Sina jiwa memancar dari Akal Kesepuluh yang substansinya dapat
dibuktikan melalui tiga cara yaitu, pertama, ketika manusia merenungkan dirinya, pada waktu
itu secara sadar ia mengenal bahwa dirinya “ada” selama hidupnya; kedua, bila manusia
menemukan suatu persoalan dengan menumpahkan segala perhatiannya terhadap persoalan
tersebut, di saat itu ia merasa dirinya bebas dari raga sehingga ia berani berkata bahwa saya
akan berbuat begini tanpa merasa terikat sedikit pun dengan raga; dan ketiga, manusia
mampu menghimpun aktivitas-aktivitas fisik organisme yang dilakukan tampa kesulitan,
pengenalan terhadap aktivitas fisik tersebut membuktikan bahwa jiwa itu lain dari fisik.

Secara garis besar pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi menjadi dua bagian:

1. Fisika, didalamnya dibicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.


a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabathiyat) mempunyai tiga daya, yaitu: makan,
tumbuh, dan berkembang biak. Jadi jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi
pada ketiga komponen itu saja.
b. Jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah) memiliki dua daya yaitu: gerak (al-
muharrikat) dan menangkap (al-mudrikat). Daya menangkap ini terbagi menjadi
dua:

11
Ibid. Hal. 149
12
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978). Hal. 35
13
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafah dalam Islam. Cet. ke-1. (Jakarta: Bumi Aksara,
1991). Hal. 65

5
1) Menangkap dari luar dengan panca indra

2) Menangkap dari dalam dengan indra batin, yang terdiri dari:


a) Indra bersama menerima segala apa yang di tangkap oleh indera luar.

b) Indera representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera
bersama.
c) Imaginasi yang menyusun apa segala apa yang diterima indera bersama.

d) Estinasi yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya,
seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat Srigala.
e) Indra pemelihara (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima
oleh indera estinasi.14
c. Jiwa manusia (al-nafs al-nathiqah) yang mempunyai dua daya, yaitu: praktis (al-
‘amilat) dan teoritis (al-‘alimat). Daya praktis hubungan dengan jasad, sedangkan
daya teoritis hubungan dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai 4
tingkatan, yaitu:
1. Akal materi yangsemata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum
dilatih walaupun sedikit.
2. Akal al-makalat merupakan akal materi yang dilati untuk berfikir yang abstrak.
3. Akal aktual yaitu akal malaikat yang sudah dapat berfikir tentang hal-hal yang
abstrak.
4. Akal mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak
tanpa perlu daya upaya, akal inilah yang dapat berhubungan dan menerimah
limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.15
2. Metafisika yang membicarakan tentang:

a. Wujud jiwa (itsbati wujud al-nafsi), dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina
mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut.

14
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978). Hal. 35-36
15
Ibid. Hal. 36-37. Lihat juga Hana Al-Fukhury dan Khalil Al-Jarr, Tarikh Al-Falsafah Al-
Arabiyah, (Bairut: Mulasassat Li Al-Thaba’ah, 1963). Hal. 459-463

6
“Dalil alam kejiwaan yang didasarkan fenomena gerak dan pengetahuan.
Fenomena gerak terbagi ke dalam dua: Pertama, gerakan paksaan yaitu gerakan
yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar. Kedua,
gerakan tiak paksaan, yaitu geraan yang terjadi baik sesuai dengan hukum alam
seperti batu yang jatu pasti kebawa, maupun yang berlawanan seperti manusia
berjalan dan burung terbang. Paahal menurut berat badannya, manusia mesti diam
di tempat, sedangkan burung seharusnya jatuh ke bumi. Hal ini dapat terjadi karena
adanya penggerak khusus yang berbeda dengan unsur Jizim. Penggerak ini disebut
dengan jiwa.”
b. Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis, didasarkan pada hakikat
penciptaan manusia. Bila sese orang membicarakan pribadinya atau mengajak orang
lain berbicara. Dalil ini dikemukakan oleh Ibnu Sina didasari karena ketika
seseorang berkata “saya akan keluar atau aku akan tidur” maka ketika itu yang
dimaksd bukanlah gerak kakinya atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah
jiwanya.
Begitu juga psikologi manusia menunjukkan adanya satu kekuatan yang sesuai dan
mengatur fokus hidup manusia yang menimbulkan fenomena-fenomena dalam
perjalanan hidupnya. Kekuatan yang menguasai dan mengatur tersebut adalah jiwa.
c. Dalil kontinuitas, dalil ini didasarkan oleh Ibnu Sina kepada pembandingan antara
jiwa dan jasad manusia yang senan tiasa mengalami perubahan dan penggantian kulit
yang sekarang ini umpamannya tidak sama dengan kulit 10 tahun lalu, karena telah
mengalami perubahan, seperti mengkerut dan berkurang. Sedangkan jiwa tidak
mengalami perubahan.
d. Dalil manusia terbang atau manusia melayang. Dalil ini menunjukkan daya kreasi
Ibnu Sina yang sangat mengagumkan, meskipun ini bersifat asumsi atau khayalan.
Ringkasnya oleh Ibnu Sina mengandaikan ada seorang tercipta dengan wujud yang
sempurna kemudian diletakkan di udara dengan mata tertutup. Anggota jasadnya
dipisah-pisahkan, sehingga ia tidak merasakan apapun, dalam kondisi demikian
menurut Ibnu Sina, ia tetap yakin, bahwa dirinya ada. Di saat itu ia menghayalkan
adanya tangan, kaki dan organ jasad lainnya. Tetapi semua orang jazsad tersebut ia
khayalkan bukan bagian dari dirinya. Dengan demikian berarti penetapan tentang

7
wujud dirinya berarti bukan hasil dari indra dan jasmaninya, melainkan dari sumber
lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.16
Demikian dalil-dalil yang dikemukakan Ibnu Sina tentang bukti adanya jiwa.
e. Hakikat jiwa tau jauhar rohani seperti yang dikemukakan Aristoteles adalah “
kesempurnaan awalbagi jasad alami yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibnu
Sina. Karena defenisi tersebut belum membrikan gambaran tentang jiwa yang
membedakannya dengan jasat. Karena bila jasad mengalami kehancuran, maka jiwa
ikut hancur.
Untuk itu, merurut Ibnu Sina jiwa merupakan subtansi rohani yang tidak
tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad, kesatuan antara keduanya bersifat
accident. Hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa. Untuk mendukung
pendapatnya, Ibnu Sina mengemukakan beberapa Argumen:

1. Jiwa dapat mengetahui objek pikiran dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh
jasad.
2. Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak dan zat yang tanpa alat. Sedangkan
indera manusia hanya dapat mengetahui yang konkret dengan alat.
3. Jasad bisa merasakan lelah setelah memikul atau berkerja berat, bahkan dapat
rusak. Sedangkan jiwa digunakan untuk berfikir tentang masalah besar tidak
membuatnya menjadi lelah atau rusak.
4. Jasad dan pengakatnya akan mengalami kelemahan pada waktu usia tua,
misalnya umur 50 tahun. Sebaliknya jiwa atau daya jiwa akan semakin kuat.
Karena jiwa bukan bagian dari jasad dan keduanya merupakan subtansi yang
berbeda.17
f. Hubungan jiwa dengan jasad.

Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan plato sudah membiarkan masalah ini.
menurut Aristoteles hubungan kebudayaan bersifat esensial. Sebaliknya, Plato

16
Ibrahim Madkhour, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Makrifat, 1969). Hal.
145-147
17
Ibid. Hal. 162-168. Lihat juga Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam. (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989). Hal. 82

8
hubungan keduanya lebi bersifat accident, karena jiwa dan jasad adalah dua subtansi
yang berdiri sendiri.18

Ibnu Sina dalam hal ini, nampaknya lebih sependapat dengan Palato, bahwa
hubungan keduanya lebih bersifat accident, binasanya jasad tidak mengakibatkan
binasanya jiwa.

Menurut Ibnu Sina, selain eratnya hubungan keduanya juga antara keduanya
saling pengaruh mempengaruhi, saling bantu membantu. Jasad adalah tempat bagi
jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain tidak
akan terciptanya jiwa bila tidak diciptakan jasad yang ditempatinya.19 Jika tidak
demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad yang
ditempati beberapa jiwa.

g. Kekekalan jiwa.

Untuk mendasari pendapatnya ini, Ibnu Sina mengemukakan 3 dalil:

1. Dalil al-infishal, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat accident,
masing-masing unsur mempunyai subtansi sendiri, yang berbeda antara yang
satu dengan yang lain. Karena jiwa bersifat kekal walaupun jasad binasa.
Sedangkan jasad tidak dapat hidup tanpa adanya jiwa.
2. Dalil al-basarhat, yaitu jiwa adalah jauhar rohnya yang selalu hidup dan tidak
mengenal mati. Karena hidup (nyata) merpuakan sifat dari jiwa, maka mustahil
bersifat lawannya (mati). Karenanaya jiwa juga dinamakan jauhar basith (yang
hidup selalu)
3. Dalil al-musyabahat. Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia sesuai dengan
filsafat emanasi, bersumber dari akal Fa’al (akal kesepuluh) bebagai pemberi
segala bentuk. Karena akal kesepuluh ini merupakan esensi yang berfikir,
bersifat azali dan kekal, maka jiwa sebagai maf’ul (akibat)nya akan kekal
sebagai mana ‘illat (sebab)nya.20

18
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam I, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999). Hal. 76
19
Ibrahim Madkhour, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Makrifat, 1969). Hal. 173
20
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam I, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999). Hal. 77

9
Dari uraian di atas, memberikan satu pendapat dan penilaian bahwa secara eksplisit,
Ibnu Sina mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah roh manusia
saja. Pengingkaran kebangkitan jasmani inilah yang menimbulkan kritikan tajam dari al
Ghazali, bahkan para filosof muslim yang berpendapat seperti itu dihukum kafir oleh nya.21
Pendapat ini mengandung arti, bahwa pembalasan di akhirat nanti hanya disediakan untuk
roh semata, sedangkan jasad akan lenyap seperti jasad tumbuhan dan hewan. Padahal
manusia yang diberi beban agama adalah manusia yang tersusun dari roh dan jasad.
Sebenarnya terjadinya perbedaan dalam memahami ajaran dasar dalam Islam, yang tidak
akan membawa kepada kekafiran.

Uraian di atas juga, mengisyaratkan bahwa Ibnu Sina menempatkan jiwa manusia pada
peringkat yang paling tinggi. Ia disamping sebagai dasar berfikir, juga mempunyai daya-daya
yang terdapat pada jiwa tumbuhan dan hewan. Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa
menurut Ibnu Sina, jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya jasad. Sedangkan jiwa
tumbuhan dan hewan yang ada dalam diri manusia akan hancur dengan matinya badan dan ia
tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Karena fungsi-fungsinya bersifat fisik dan jasmani,
maka pembalasan untuk kedua jiwa ini ditentukan di dunia ini juga.

D. Falsafah Kenabian (al-Nubuwwah)


Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa akal mempunyai empat tingkat dan yang
paling rendah adalah akal materil (al-‘aql alhayûlâni). Adakalanya Tuhan menganugrahkan
kepada manusia akal materil yang besar dan kuat yang menurut Ibnu Sina diberi nama
“alhads”. Daya yang ada pada akal materil serupa ini sangat kuat sehingga tanpa melalui
latihan, mudah dapat berhubungan dengan “Akal Aktif”, dengan mudah dapat menerima
cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci (quwwah qadasiyyah),
dan inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, namun akal ini hanya terdapat
pada nabi-nabi.22

21
Ibrahim Madkhour, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Makrifat, 1969). Hal. 187
22
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978). Hal. 38

10
E. Falsafah Wujud (al-Wujûd)
Ibnu Sina dalam masalah wujud memadukan pandangan Mutakallimin, Aristoteles
dan Neo-Platonisme, sehingga menjadi suatu metode tersendiri dalam menganalis wujud. Ia
juga sepaham dengan gurunya Al-Fârabî bahwa al-wujûd bersifat emanasioistis yaitu dari
Tuhanlah kemaujudan yang mesti adanya.23

Menurut Ibnu Sina sifat wujud-lah yang terpenting dan mempunyai kedudukan di
atas segala sifat yang lain termasuk esensi (mâhiyyah). Esensi menurut Ibnu Sina terdapat
dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap esensi yang
dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud maka esensi tidak besar artinya,
oleh karena itu wujud lebih penting dari esensi.24

Menurut Ibnu Sina kalau esensi dikombinasikan dengan wujud maka akan terjadi tiga
kemungkinan yaitu:
1. Esensi yang tak dapat mempunyai wujud disebut “mumtana’ ”,yaitu sesuatu yang
mustahil ber-wujud (mumtana’ al-wujûd). Misalnya, adanya kosmos lain sekarang ini
di samping kosmos yang ada.
2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh tidak, hal ini disebut mumkin, yaitu
sesuatu yang mungkin berwujud dan mungkin juga tidak ber-wujud (mumkin al-
wujûd). Misalnya alam ini pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan
hancur menjadi tidak ada.
3. Esensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini, esensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud, esensi dan wujud sama dan satu. Di sini, esensi tidak dimulai
oleh tidak ber-wujud dan kemudian berwujud, tetapi esensi mesti dan wajib
mempunyai wujud selama-lamanya ini disebut (wâjib al-wujûd) Necessary Being),
wâjib al-wujûd inilah yang mewujudkan mumkin al-wujûd dan itulah Tuhan.25

Selanjutnya wâjib al-wujûd ini ada dua macam, yaitu:


1. Wâjib bidhâtihi sesuatu yang kepastian wujud-Nya disebabkan oleh zat-Nya sendiri.
Artinya, adanya tidak bergantung pada adanya sebab lain selain diri-Nya. Dalam hal

23
M. M. Syarif, Para Filosof Muslim. Cet. ke-2. (Bandung: Mizan, 1989). Hal. 103
24
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978). Hal. 39
25
Ibid. Hal. 40

11
ini, esensi tidak bisa dipisahkan dengan wujud, keduanya adalah satu dan wujud-Nya
tidak didahului oleh tiada (ma’dum). Ia akan tetap ada selamalamanya. Itulah Allah
swt. Yang Maha Esa, Yang Hak; Ia adalah al-‘Aql al-Muhaddah.
2. Wâjib bigayrihi yaitu sesuatu yang kepastian wujudnya oleh zat yang lain, artinya
sesuatu yang berwujud karena benda lain yang mewujudkannya. Misalnya, adanya
empat karena 2 + 2 atau 3 + 1; adanya basah karena ada air, kebakaran disebabkan
oleh api.26

26
Abu Bakr Ahmad al-Shahrastanî, Al-Milal wa al-Nihal. Juz III. (Kairo: Muassasa al-Halabî, 1968).
Hal. 26

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian yang sederhana ini dapatlah disimpulkan bahwa Ibnu Sina adalah
salah seorang filosof Islam abad pertengahan yang mempunyai andil besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan baik di barat maupun di timur terutama dalam
masalah filsafat, Psikologi, matematika, fisika dan metafisika serta ilmu agama
lainnya. Pandangannya mengenai falsafah emanasi, al-nafs dan al-wujûd ia tetap
tidak melepaskan diri dari pandangan gurunya Al-Fârabî namun ia telah
mengembangkan dan menyempurnakannya dengan metode logika yang sempurna
dan mudah dipahami. Ibnu Sina berusaha memadukan antara pemikiran Plato,
Aristoteles maupun NeoPlatonisme, walaupun keaslian pandangannya sebagai
seorang filosof Muslim yang besar tetap tampak.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang “Filsafat Islam Ibnu
Sina”. Makalah ini pun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang
ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan
sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima
kasih.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Fukhury, Hana dan Khalil Al-Jarr, 1963. Tarikh Al-Falsafah Al-Arabiyah.


(Bairut: Mulasassat Li Al-Thaba’ah).

Ali, Yunasril, 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafah dalam Islam. Cet. ke-1. (Jakarta:
Bumi Aksara)

Al-Irâqî, Muhammad Atîf, 1969. Al-Falsafat al-Tarbawiyyah ‘Inda Ibn Sinâ. (Mesir: Dâr al-
Ma’ârif)

Al-Shahrastanî, Abu Bakr Ahmad, 1968. Al-Milal wa al-Nihal. Juz III. (Kairo: Muassasa al-
Halabî.)

Daudy, Ahmad, 1989. Kuliah Filsafat Islam. (Jakarta: Bulan Bintang).

Hanafi, A. 1976. Pengantar Filsafat Islam, Cet. ke-2. (Jakarta: Bulan Bintang)

Madkhour, Ibrahim, 1969. Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Makrifat).

Nasution, Harun, 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang).

Poerwantana, 1993. Seluk-Beluk Filsafat Islam. Cet. ke-3. (Bandung: Remaja Rosdakarya).

Syarif, M. M.. 1989. Para Filosof Muslim. Cet. ke-2. (Bandung: Mizan).

Zar, Sirajuddin, 1999. Filsafat Islam I. (Padang: IAIN Iman Bonjol Press).

14

Anda mungkin juga menyukai