Anda di halaman 1dari 14

PEMIKIRAN FILSAFAT IBN SINA

Oleh : Syahrul Budiman

A. PENDAHULUAN.

Tidak ada sejarah intelektual di dunia Islam yang begitu

mengharu biru selain sejarah filsafat, baik yang bersifat filsafat murni

maupun yang berwujud dalam sistem tasawuf falsafi. Di satu sisi

sumbangannya terhadap kegemilangan peradaban Islam tidak bisa

dipungkiri, tetapi di sisi lain, filsafat juga dianggap sebagai unsur luar

yang mengacak acak ajaran Islam. Kalau antara fiqh dan ilmu kalam

masih bisa bergandengan, maka perseteruan antara fiqh dan filsafat

telah melahirkan sekian klaim pengafiran, bahkan lebih dari itu, juga

pembunuhan. Bisa jadi ini karena watak khas filsafat itu sendiri.

Filsafat apapun nama dan bentuknya, adalah keberanian untuk

mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang dalam pandangan

umum telah diyakini kebenarannya. Akan tetapi, apapun hasilnya dan

apapun penilaian orang terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh

para filsuf muslim, mereka telah mencurahkan tenaga dan pikirannya

untuk membuat sintesa yang harmonis antara agama dan filsafat

sehingga pikiran-pikiran filsafat memperoleh tempat yang layak di

dunia Islam.1

Salah satu dari Filsuf Islam tersebut adalah Ibn Sina, dalam

sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam

. Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat
1

Modern (Yogyakarta:PT.LkiS Pelangi Aksara,2004) h.1-3.

1
banyak hal dibicarakan oleh banyak orang, sedang diantara para

filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh

penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah

satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun

sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah

mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. 2

Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem,

tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya

yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-

metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan

kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme

yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.3

B. BIOGRAFI

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Husain ibn Abdillah ibn

Hasan ibn Ali ibn Sina. Di Eropa dikenal dengan nama Avicenna. Ia

dilahirkan pada tahun 370 H (980 M) disuatu tempat yang bernama

Afsyana di Bukhara. Wilayah ini dikuasai oleh daulat Samani

khalifahnya adalah Nuh ibn Manshur (340 H / 980 M).4

Ayahnya seorang pegawai tinggi pada Dinasti Samaniah (204-395

H / 819-1005 M). Sejak kecil Ibn Sina belajar menghafal Alquran dan

2
M.M.Syarif,Para Filosof Muslim,(Bandung: Mizan, 1994) , h. 101
3 Ahmad Fuad Al Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1984) h. 63.
4Muhaimin, dkk, Studi Islam, Dalam Ragam Dimensi & Pendekatan,
(Jakarta:Kencana,2012) h. 328.

2
ilmu-ilmu agama. Kemudian mempelajari matematika, logika, fisika,

geometri, astronomi, hukum Islam, teologi, kedokteran dan metafisika.

Dengan demikian, ia menguasai bermacam-macam ilmu pengetahuan.

Profesinya dibidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun,

kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil

menyembuhkan Nuh bin Mansur, seorang penguasa Dinasti

Samaniah. Kebesaran nama Ibn Sina terlihat dari beberapa gelar yang

diberikan orang kepadanya, seperti asy-Syaikh ar-Rais (Guru Para

Raja) di bidang filsafat dan Pangeran Para Dokter di bidang

kedokteran. Dia banyak meninggalkan karya tulis, semuanya tidak

kurang dari 267 buah, termasuk buku saku dan kumpulan suratnya,

kebanyakan berbahasa Arab, selainnya berbahasa Persia.5

Dalam usia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia. Musibah ini

menjadi pukulan berat baginya, sehingga ia dengan berat hati

meninggalka Bukhara menuju Jurjan, di mana ia berjumpa dengan

Abu Ubaid al-Jurjani yang kemudian menjadi salah seorang

muridnya, dan penulis sejarah hidupnya. Tetapi, ia tidak lama

bermukim dikota ini karena kekacauan politik, lalu ia pergi ke

Hamazan. Di kota inilah ia menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-

Daulah dari Dinasti Buwaihi (1015-1022). Atas jasanya ini, Sultan

membalasnya dengan mengangkatnya sebagai Wazir Azhim (Perdana

Menteri) di Rayyand. Namun tidak lama ia memangku jabatan

tersebut, pihak militer menangkap Ibn Sina dan merampas hartanya,

serta berencana untuk membunuhnya. Atas bantuan Sultan Syams al-

Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:PT.Ichtiar Baru
5

Van Hoeve,Jilid.2, 2003) h. 167.

3
Daulah, ia dikeluarkan dari penjara. Lagi-lagi Ibn Sina berhasil

menyembuhkan penyakit perut (maag) yang diderita oleh Sultan dan

sebagai imbalannya. Sultan menobatkannya sebagai menteri untuk

kedua kalinya.Jabatan ini diembannya sampai Syams al-Daulah

meninggal dunia. Kemudian ia mengundurkan diri dan ingin pergi ke

Isfahan untuk berbakti kepada raja Alau al-Daulah. Sebelum niat ini

terlaksana, ia ditangkap oleh Taj al-Muluk, anak Syams al-Daulah, dan

dipenjara dibenteng Fardajan selama empat bulan. Ia berhasih lari dari

penjara di Hamadan dengan cara menyamar ke Isfahan, dimana ia

disambut baik sekali.

Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan

dan meninggal di Hamadan pada 428 H (1047 M) dalam usia 57 tahun.

Diberitakan, penyakit perut (maag) yang membawa kematiannya

sebagai dampak dari kerja kerasnya untuk urusan negara dan ilmu

pengetahuan. Pada waktu siang ia bekerja, malam ia membaca dan

menulis hingga larut malam. Bulan-bulan terakhir kehidupannya, ia

berpakaian putih, menyedekahkkan hartanya kepada fakir-miskin,

dan mengisi waktunya dengan beribadat kepada Allah6.

C. KARYA-KARYANYA.

Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karya cemerlang,

dan tidak heran kalau ia menghasilkan 267 karangan. Di antara

karnyanya yang terpenting adalah :

6Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2005) h. 68

4
a. Al-Syifa, latinnya Sanatio (penyembuhan), ensiklopedi yang terdiri

dari 18 jilid mengenai fisika, matematika dan metafisika. Kitab ini

ditulis pada waktu menjadi menteri Syams al-Daulah dan selesai

masa Alau al-Daulah di Isfahan;

b. Al-Najah, latinnya Salus (Penyelamat), keringkasan dari al-Syifa;

c. Al-Isyarah wa al-Tanbihah (Isyarat dan Peringatan), mengenai logika

dan hikmah;

d. Al-Qanun fi al-Thibb, ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkana

ke dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada universitas-

universitas di Eropa sampai abad XVII;

e. Al-Hikmah al-Arudhiyyah;

f. Hidayah al-Rais li al-Amir;

g. Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiqiyah; dan

h. Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (Logika Timur).7

D. FILSAFAT IBN SINA

1. Metafisika

Berkaitan dengan metafisika, Ibn Sina juga membicarakan

Sifat wujudiah sebagai yang terpenting dan mempunyai

kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi

dalam faham Ibn Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud

terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang

dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud esensi

tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi.

Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibn Sina telah

7Ibid. h.68-69.

5
terlebih dahulu mengajukan filsafat wujudiah dari filosof-filosof

lain. Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai

kombinasi berikut :

1) Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa

ini disebut oleh Ibn Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud

(Impossible being), Contohnya, adanya sekarang ini juga kosmos lain

disamping kosmos yang ada.

2) Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh tidak

mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut Mumkin yaitu

sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak

berwujud. Contoh, alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian

ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.

3) Esensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini

esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; esensi dan wujud

adalah sama dan satu.8

Tuhan adalah Wujud pertama yang immateri dan dari-

Nyalah memancar segala yang ada. Tuhan sebagai al-wujud al-

Awwal berfikir tentang diri-Nya, lalu dari pemikiran itu timbullah

wujud kedua yang disebut akal pertama. Akal pertama ini

mempunyai tiga objek pemikiran, yaitu Tuhan, diri-Nya sebagai

wajib al-wujud dan diri-Nya sebagai mumkin al-wujud. Pemikiran

akal pertama tentang Tuhan melahirkan akal-akal berikutnya

sampai akal kesepuluh. Demikianlah seterusnya , setiap akal yang

jumlahnya sepuluh itu mempunyai tiga objek pemikiran dan dari

8 Ibid. h.69.

6
pemikiran akal inilah kemudian memancar alam ini. Karena itu ia

tidak menerima konsep penciptaan alam dari tiada menjadi ada,

seperti yang difahami oleh teolog Islam. Baginya alam ini qadim

(tidak mempunyai permulaan dari segi waktu). Antara tuhan dan

terjadinya alam tidak terdapat kesenjangan waktu. Pendapat ini

mendapat tantangan keras dari al-Gazali dalam bukunya Tahafut

al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf). 9

2. Jiwa.

Jiwa manusia merupakan rahasia tuhan yang terdapat pada

hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-

makhluk-Nya serta teka-teki kemanusiaan yang belum dapat

dipecahkan dan barangkali tidak akan bisa dipecahkan dengan

memuaskan. Memang jiwa menjadi sumber pengetahuan

bermacam-macam dan tidak terbatas, tetapi bulum lagi diketahui

hakikatnya dengan segala keyakinan. Juga jiwa menjadi sumber

pikiran-pikiran yang jelas, namun sebagian besar pikiran-pikiran

tentang jiwa diliputi oleh kegelapa dan kerahasiaan, meskipun

manusia sejak masa pertamanya sampai sekarang ini masih selalu

dan berusaha dan menyelidiki apa hakikatnya jiwa serta

pertaliannya dengan badan.10

Konsep Jiwa (an-nafs), menurut Ibn Sina terbagi menjadi

tiga: Jiwa tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia. Jiwa

tumbuhan memiliki tiga daya: makan, tumbuh, dan berkembang

9 Van Hoeve, Ensiklopedi, h.167


10 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,(Jakarta:PT.Bulan Bintang, 1991), h. 120

7
biak. Jiwa binatang memiliki dua daya: daya bergerak dan daya

menangkap. Daya bergerak dapat berbentuk marah, syahwat dan

berpindah tempat. Adapun daya menangkap terbagi dua: daya

menangkap dari luar dengan menggunakan indera-indera luar

yang lazim disebut pancaindera, terdiri atas: penglihatan,

pendengaran, penciuman, perasaan lidah, dan perasaan tubuh; dan

daya menangkap dari dalam melalui pancaindera batin, yaitu

indera bersama (al-hiss al-musytarak), indera penggambar (al-khayal),

indera pereka (al-mutakhayyilah), indera penganggap (al-wahamiah),

dan indera pengingat (al-hafizah). Berbeda dengan tumbuh-

tumbuhan dan binatang jiwa manusia hanya mempunyai satu

daya, yaitu daya berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua; akal

praktis (amilah) yang berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya

konkret dan akal teoritis yang berhubungan dengan hal-hal yang

sifatnya abstrak. Akal teoritis mempunyai empat tingkatan , yaitu

1). Akal Materiil, yang beru merupakan potensi, untuk menangkap

arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah berada dalam materi, (2).

Akal bakat, yaitu akal yang kesanggupannya berfikir secara murni

abstrak telah mulai nampak, (3). Akal aktual, yaitu akal yang telah

terlatih untuk menangkap arti-arti murni, dan (4). Akal perolehan,

yaitu tingkat akal yang tertinggi dan terkuat dayanya, yaitu akal

yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanyan sedia untuk

dikeluarkan dengan mudah. Akal serupa inilah yang sanggup

menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (akal

8
kesepuluh). Menurut penjelasan Ibn Sina, akal aktif itu adalah

Jibril.11

Ia menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa

mana dari ketiga jiwa itu yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa

binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berkuasa pada dirinya,

maka orang itu dekat menyerupai sifat-sifat binatang, sebaliknya

jika jiwa manusia yang dominan berpengaruh, maka orang itu

dekat menyerupai sifat-sifat malaikat dan dekat pada

kesempurnaan. Jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan

sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia akan memperoleh

ksesenangan abadi diakhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah dengan

badan dalam keadaan tidak sempurna akibat terpengaruh oleh

godaan hawa nafsu, maka ia akan sengsara selama-lamanya

diakhirat.12

3. Kenabian.

Pendapat Ibn Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan

akal. Akal materiil sebagai yang terendah adakalanya

dianugerahkan Tuhan kepada manusia akal materil yang besar lagi

kuat, oleh Ibn Sina dinamakan al-Hadits yaitu intuisi. Daya yang

ada pada akal materi serupa ini begitu besarnya sehingga tanpa

melalui latihan, dengan mudah dapat menerima cahaya atau

wahyu dari Tuhan. Sejalan dengan Teori kenabian dan

kemukjizatan, Ibn Sina membagi manusia kedalam empat

11 Van Hoeve, Ensiklipedi, h.168


12 Ibid. h. 168

9
kelompok: mereka yang kecakapa teoritisnya telah mencapai

tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka

tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan

kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang

sedemikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka

yang tajam mereka mengambil bagian secara lagsung pengetahuan

tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan

berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh diatas

dunia. Kemudian mereka yang memiliki kesempurnaan daya

intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang-orang

yang daya teoritisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir

adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam

ketajaman daya praktis mereka.13

E. PENGARUH IBN SINA DITIMUR DAN BARAT.

Pemikiran Ibn Sina dalam bidang sains, sastra, dan filsafat

mempunyai pengaruh yang nyata dan kuat baik di Timur maupun di

Barat. Pengaruh pemikiran filsafatnya, yang menjadi perhatian,

tampak dalam sejumlah besar komentar atas karya-karyanya dan

dalam bentuk karya lain mengenai berbagai gagasannya, baik yang

merefleksikan roh pemikirannya ataupun yang menolaknya. Diantara

komentar-komentar yang paling terkenal adalah komentar Ibn

Kammunah, Fakhruddin Ar-Razi dan Nashiruddin At-Thusi atas al-

Isyarat,dan Shadruddin Asy-Syirazi atas bagian-bagian dari Asy-Syifa.

Diantara para pemikir Timur terkemuka yang mencerminkan

13
Nasution, Filsafat, h.75

10
pemikiran Ibn Sina adalah Ath-Thusi, Suhrawardi, Quthbuddin Asy-

Syirazi, Mir Damad, Shadruddin Asy-Syirazi (Mulla Shadra) dan

seorag kristen Suryani Ibn Al-Ibri. Teori-teori iluminasi Suhrawardi

dan Asy-Syirazi, misalnya, berasal dari filsafat Timur-nya Ibn Sina.

Begitu juga, uraian-uraian mereka mengenai wujud dan esensi

diilhami oleh pandangan Ibn Sina tentang subjek ini. Ibn Al-Ibri

begitu setia dengan analisis Ibn Sina mengenai hubungan Tuhan

dengan dunia, keberadaan keburukan, dan hakikat dan kesatuan jiwa

manusia da kemustahilan pra eksistensi dan perpindahan jiwa

(reinkernasi).14

Akan tetapi, seperti yang telah disinggung, tidak semua orang

yang merasakan dampak pemikiran Ibn Sina menanggapinya secara

positif. Ibn Sina juga mendapat kritik keras, seperti dari Al-Ghazali

dan Asy-Syahrastani di Timur dan William dari Auvergne dan

Thomas Aquinas di Barat. Kritik-kritik ini, terutama menolak

gagasannya tentang sifat dasar Tuhan, pengetahuan-Nya tentang hal-

hal partikular dan hubungan-Nya dengan dunia dan kekekalan jiwa.

Bahkan, Mulla Shadra, pengikut Ibn Sina, juga menolak keras

pandangan kekekalan alam semesta dan ketidakmungkinan

kebangkitan jasmani. Juga, Ibn Rusyd dalam karya terkenalnya,

Tahafut At-Tahafut, yang berusaha membela filsafat sebagaimana

yang terkandung, khususnya dalam karya-karya Ibn Sina, menuduh

Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung:
14

CV. Pustaka Setia, 2010), h.141-142.

11
bahwa Ibn Sina kadang-kadang menyalahpahami dan mendistorsi

Aristoteles.15

Pengaruh Ibn Sina merambah juga kepada Aquinas juga pada

para teolog Barat resmi. Penerjemah karyanya De Anima, Gundisalvus,

menulis De Anima yang sebagian besar merupakan pengambilan

besar-besaran dari doktrin-doktrin Ibn Sina. Demikian juga, dengan

para filsuf pertengahan, Robert Grosseteste dan Roger Bacon. Duns

Scotus dan Count, juga memberi kesaksian tentang pengaruh Ibn Sina

yang abadi itu. Bahkan, tahun 1951, Pemerintah Mesir dan Liga Arab

membentuk sebuah Panitia dari Kairo untuk menyunting ensiklopedi,

Kitab Asy-Syifa, dan sebagian ensiklopedi tersebut telah diterbitkan.16

F. KESIMPULAN

Nama lengkap Ibn Sina adalah Abu Ali al-Husain ibn Abdillah

ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Di Eropa dikenal dengan nama Avicenna.

Ia dilahirkan pada tahun 370 H (980 M) disuatu tempat yang bernama

Afsyana di Bukhara. Wilayah ini dikuasai oleh daulat Samani

khalifahnya adalah Nuh ibn Manshur (340 H / 980 M).

Konsep Pemikiran Filsafatnya adalah Metafisika yang membahas

tentang Esensi dan Wujud, sebagaimana yang telah diuraikan diatas

bahwa Tuhan adalah Wujud pertama yang immateri dan dari-Nyalah

memancar segala yang ada. Tuhan sebagai al-wujud al-Awwal berfikir

15 Ibid. h.142
16 Ibid. h.143

12
tentang diri-Nya, lalu dari pemikiran itu timbullah wujud kedua yang

disebut akal pertama. Akal pertama ini mempunyai tiga objek

pemikiran, yaitu Tuhan, diri-Nya sebagai wajib al-wujud dan diri-Nya

sebagai mumkin al-wujud.

Dalam hal tentang Jiwa Ibn Sina berpendapat Konsep Jiwa (an-

nafs), terbagi menjadi tiga: Jiwa tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa

manusia. Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya: makan, tumbuh, dan

berkembang biak. Jiwa binatang memiliki dua daya: daya bergerak

dan daya menangkap. Daya bergerak dapat berbentuk marah, syahwat

dan berpindah tempat.

Demikian juga tentang Kenabian Ibn Sina berpendapat bahwa

tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Akal materiil sebagai

yang terendah adakalanya dianugerahkan Tuhan kepada manusia akal

materil yang besar lagi kuat, oleh Ibn Sina dinamakan al-Hadits yaitu

intuisi. Daya yang ada pada akal materi serupa ini begitu besarnya

sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat menerima

cahaya atau wahyu dari Tuhan.

13
DAFTAR BACAAN

Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim, Pembuka Pintu


Gerbang Filsafat Barat Modern. Yogyakarta:PT.LkiS Pelangi Aksara,2004.

Syarif, M.M, Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, 1994.

Al Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam. Jakarta:Pustaka Firdaus,


1984.

Muhaimin, dkk, Studi Islam, Dalam Ragam Dimensi & Pendekatan.


Jakarta:Kencana,2012.

Ichtiar Baru Van Hoeve, Tim Redaksi, Ensiklopedi Islam.


Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve,Jilid.2, 2003.

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta:Gaya Media


Pratama, 2005.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam. Jakarta:PT.Bulan Bintang,


1991.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan
Ajarannya. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.

14

Anda mungkin juga menyukai